Tanggapan Arsitektur Nusantara Terhadap Variabel Iklim Di Lingkungan Tropis Lembab. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Abstrak Arsitektur Nusantara menunjuk pada pemahaman yang dibangun berdasarkan konteks iklim tropis dua musim dan konteks wilayah tertentu yang berada dalam garis khatulistiwa. Karakteristik arsitektur nusantara yang tanggap iklim akan didefinisikan dalam tulisan ini sebagai sebuah paradigma dasar untuk membangun pemahaman dan menilai potensi keberlanjutan konsep arsitektur nusantara nantinya. Beberapa bangunan tradisional akan digunakan sebagai studi kasus dan metoda pembahasan yang dipilih dalam pembentukan paradigma ini adalah metoda deskriptif-kualitatif. Analisa terhadap studi kasus beberapa bangunan tradisional di wilayah Nusantara ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi perumusan paradigma berfikir dalam wilayah keilmuan arsitektur sebagai pendukung keberlanjutannya dalam konteks ontologis dan aksiologis. Melalui



pengetahuan ilmiah yang



kontekstual terhadap karakteristik ‘tempat,’ dalam hal ini adalah Nusantara dan potensi iklimnya diharapkan Arsitektur Nusantara menjadi bagian dari pengetahuan yang membentuk keilmuan arsitektur khususnya arsitektur yang tanggap terhadap iklim di Indonesia.



Kata kunci: arsitektur nusantara, tanggap iklim, paradigma berfikir, potensi



keberlanjutan



P a g e 1 | 15



1. PENDAHULUAN Arsitektur nusantara menunjuk pada pengertian arsitektur yang dibangun berdasarkan tanggapan terhadap iklim tropis lembab dua musim dan berada pada wilayah tertentu yang berada dalam lintasan garis khatulistiwa. Pengertian ini penting untuk memberikan batasan/konteks yang tegas mengingat luasnya cakupan pengertian nusantara, baik dari sisi sejarah, politik maupun budaya. Terkait dengan pemahaman tersebut di atas, maka diperlukan paradigma yang dapat memberikan dasar untuk membangun pengetahuan ilmiah melalui kajian terhadap arsitektur nusantara. Wilayah Indonesia yang berada di sepanjang lintasan garis katulistiwa, merupakan ‘tempat’ yang memiliki karakteristik alamiah bagi arsitektur nusantara. Karakteristik alamiah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Suhu udara rata-rata yang tinggi, karena arah sinar matahari selalu vertikal dan intensitas cahaya tinggi. Umumnya suhu udara berkisar antara 20 - 23°C, bahkan di beberapa tempat rata-rata suhu tahunan dapat mencapai 30°C; 2. Amplitudo suhu rata-rata tahunan yang kecil. Di katulistiwa antara 1 – 5°C, sedangkan amplitudo hariannya lebih besar; 3. Tekanan udara yang rendah dengan perubahan secara perlahan dan beraturan; 4. Curah hujan yang relatif tinggi, dengan kecepatan angin bervariasi dan kelembaban udara tinggi. Kondisi iklim tropis yang lembab dengan beberapa faktor spesifik yang hanya akan dijumpai pada iklim tersebut memberikan konsekuensi logis berupa arsitektur yang spesifik dan kemungkinan besar memiliki penyelesaian berbeda dengan arsitektur bangunan di wilayah lain yang memiliki perbedaan kondisi iklim. Arsitektur nusantara dalam konteks kajian ini merupakan arsitektur yang dibangun berdasarkan tanggapannya terhadap iklim. Arsitektur yang tanggap iklim merupakan sebuah keniscayaan mengingat kenyataan bahwa arsitektur memiliki persyaratan dasar berupa ‘tempat’ beserta seluruh karakteristik alamiahnya termasuk iklim sebagai syarat keberlangsungannya. Akan tetapi, ranah arsitektur kontemporer Indonesia seakan tidak atau kurang mengindahkan arsitektur nusantara dalam P a g e 2 | 15



perancangan bangunan karena tidak adanya paradigma-paradigma yang menjadi dasar pengkinian dan keberlanjutan arsitektur nusantara. Oleh karena itu, dengan merujuk pada aspek fungsional (utilitas) pada arsitektur tradisional Indonesia yang tanggap iklim sebagai landasan idiil, maka implementasi pengkinian arsitektur nusantara



dapat



menyesuaikan



aspek



tektonis/struktural



bangunan



dengan



paradigma dasar arsitektur tanggap iklim yang dirumuskan dalam kajian ini Paparan dalam kajian ini merupakan upaya untuk merumuskan karakteristik dasar arsitektur nusantara yang tanggap iklim melalui studi kasus beberapa bangunan arsitektur tradisional di Indonesia. Karakteristik dasar tersebut dapat dikaji dan disimpulkan keberlanjutan



sebagai



asumsi



arsitektur



dasar/paradigma



nusantara,



yaitu



untuk



melalui



menentukan



sumbangannya



potensi terhadap



pengetahuan ilmiah yang kontekstual terhadap karakteristik ‘tempat,’ dalam hal ini adalah Nusantara dan potensi iklimnya.



P a g e 3 | 15



2. Tanggapan arsitektur nusantara terhadap variabel iklim di lingkungan tropis lembab. 1. Iklim sebagai Elemen Pembentuk Arsitektur Penelitian yang dilakukan oleh Said dan Aufa (2012) memberikan definisi variabel iklim sebagai elemen pembentuk arsitektur vernakular, yaitu arsitektur yang bersifat asli lokal, bukan dari tempat lain. Dalam hal ini perwujudannya berkaitan sangat erat dengan seluruh kondisi setempat dimana ia tumbuh. Arsitektur vernakular bisa dilihat sebagai naungan pengendali kenyamanan termal. Dalam hal ini, Rumah Adat di kampung tambera, sebuah tipe bangunan adat tradisional di wilayah tersebut, digunakan sebagai studi kasus. Penelitian ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa bangunan nusantara mempertimbangkan faktor iklim untuk mencapai kenyamanan termal. Tanggapan tersebut disesuaikan dengan konteks iklim lokal yaitu pada halhal berupa bentuk, material, dan konstruksi; serta elemen-elemen pengendali iklim 1.



2. Arsitektur sebagai Ungkapan Teknologi untuk Menanggapi Iklim Adaptasi terhadap iklim mempengaruhi penentuan bentuk pada arsitektur (Rapoport, 1969 dalam Said dan Aufa, 2012). Lebih lanjut Rapoport menguraikan bahwa aspek mendasar dalam mengatasi permasalahan iklim ada pada kemampuan masyarakat melakukan pemilihan tapak, material yang sesuai dengan iklim lokal, menggunakan sumber daya minimum untuk mendapatkan kenyamanan maksimum, dan adaptasi model tradisional terhadap kondisi iklim. Herniwati (2008), melakukan penelitian dengan studi kasus pada arsitektur rumah panggung Suku Kaili (Saoraja) yang ternyata sangat adaptif terhadap iklim tropis lembab. Teknologi yang ditemukan masyarakat Kaili memberikan pilihan kenyamanan penghuni dengan pengaliran udara secara bebas, temperatur yang ideal untuk beraktivitas, dan material lokal yang menjamin ketersediaan dan keberlanjutannya. Penelitian yang dilakukan Said dan Aufa (2012) dan penelitian yang dilakukan oleh Suwantara, Damayanti dan Suprijanto (2012) memberikan gambaran pengaruh iklim terhadap bentuk arsitektur hunian melalui beberapa metode. 1



https://www.scribd.com/doc/315242261/Arsitektur-Nusantara-yang-Tanggap-Iklim-Paradigma-dalampenentuan-potensi-berkelanjutan-docx



P a g e 4 | 15



Pertama, melalui analisis



terhadap



tipe-tipe



iklim dan relevansi tipe-tipe



tersebut dengan persyaratan bangunan, bentuk, dan material. Kedua, analisa kondisi dan posisi berbagai tipe hunian dalam rentang skala iklim. Dan ketiga, alternatif desain arsitektur hunian dalam batasan beberapa kombinasi variabel iklim.



3. Bentuk Arsitektur dan Tanggapan terhadap Iklim Variabel-variabel iklim seperti temperatur, kelembaban, angin, curah hujan, serta radiasi dan pencahayaan menjadi pertimbangan utama dalam tanggapan bangunan terhadap iklim (Suwantara, Damayanti dan Suprijanto, 2012).Tanggapan tersebut bisa



dikelompokkan



ke dalam



faktor-faktor



bentuk, material,



dan elemen



pengendalinya (Said dan Aufa, 2012). Daerah tropis lembab, dicirikan oleh curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi, temperatur sedang dengan rentang harian dan musiman yang kecil, dan intensitas radiasi yang tinggi. Tanggapan



yang



diperlukan adalah bentuk yang sesuai dengan konteks ‘tempat’ dan fungsinya. Menurut



Alexander (1977) dalam Mentayani dan Ikaputra (2012), bentuk yang



bagus itu bukan hanya indah, tetapi juga bisa cocok dengan keadaan sekitarnya, bukan hanya memikirkan bangunan itu saja, tetapi harus memikirkan konteksnya. Demikian pula, bentuk yang ada harus memiliki alasan di balik kemunculannya 2.



“When we speak of design, the real object of discussion is not the form alone, but the ensemble comprising the form and its context. Good fit is a desired property of this ensemble which relates to some particular division of ensemble into form and context.“



3. Hasil Dan Pembahasan



2



https://www.scribd.com/doc/315242261/Arsitektur-Nusantara-yang-Tanggap-Iklim-Paradigma-dalampenentuan-potensi-berkelanjutan-docx



P a g e 5 | 15



Rumah adat dari Sumba Barat yang dikenal dengan rumah menara adalah salah satu rumah adat yang menarik untuk dibahas. Rumah adat ini memiliki ciri khas dari bentuk atap yang tinggi dengan sistem struktur yang menggunakan material lokal dan tenaga manusia untuk membangunnya. Secara keseluruhan ditinjau dari segi aspek arsitekturalnya, semua rumah adat mempunyai keunikan dan daya tarik tersendiri untuk ditelaah dan dipelajari lebih lanjut serta dikembangkan dan diberikan informasi selengkap-lengkapnya kepada masyarakat dari segi bentuk bangunan, fungsi ruang hingga sistem strukturnya. Dalam menata kampung adat, masyarakat Sumba selalu mengaitkan tata ruang dengan fenomena alam (menyesuaikan dan menggunakan orientasi yang terkait dengan peredaran matahari-bulan,



arah



angin,



arah



gunung-laut,



dsb.),



serta



meggunakan



bentukbentuk dasar (archetype) seperti lingkaran, elips, segi empat sebagai simbolsimbol kehidupannya. (Windadari, dkk, 2006) Menurut kepercayaan masyarakat Sumba, dunia terbagi menjadi tiga bagian yaitu dunia atas sebagai tempat para dewa dan arwah leluhur, dunia tempat kehidupan manusia dan dunia bawah sebagai tempat hewan. Kepercayaan ini terwujudkan dalam struktur rumah adat sumba yaitu bagian atap menara (uma deta) yang melambangkan dunia atas, ruang dalam rumah (uma dei) sebagai tempat kehidupan dan kolong rumah (kali kambunga) sebagai tempat hewan. (Windadari, dkk, 2006) Secara struktural, rumah ini juga terbagi menjadi bagian atas yaitu atap, bagian tengah adalah lantai, dan bagian bawah adalah pondasi. Selain ketiga elemen struktural itu, ada juga elemen nonstruktural yaitu dinding. Rumah adat yang dikenal rumah adat menara menjadi bahan/objek yang menarik untuk dianalisis dari segi konstruksi bangunan yang tinggi dalam menahan beban angin, penggunaan material Sistem Struktur Rumah Adat Barat.







Tujuh Makna Rumah Adat Sumba P a g e 6 | 15



1) Kediaman jiwa-jiwa leluhur. Labbe sebagai tempat tinggal dan tempat melaksanakan tugas-tugas mereka untuk melihat dan melindungi penghuni rumah. Ruang Mata Merapu sebagai tempat berdiskusi antaraRato dengan jiwa-jiwa leluhur dan tempat menyampaikan doadoa kepada Sang Pencipta yang hanya boleh dilakukan oleh Rato 2) Posisi elemen bangunan penyampai doa.Tahap penyampaian doa dimulai dari: a). tiang Lapale, b). tiang Masela, c). ruang Mata Merapu, d). karaga duka, e). labbe, f). uma dana, dan g). kado uma. Keseluruhan elemen-elemen penyampai doa membentuk suatu pola yang menyerupai tangga yang dipercaya



dan



diyakini



oleh



penganut



kepercayaan



Merapu



dapat



menyampaikan doa-doa mereka kepada Sang Pencipta.



Gambar Struktur Rumah Adat Sumba Sumber: Internet



3) Rumah ibarat anatomi tubuh manusia.



merupakan perumpaman sebuah



rumah beserta seluruh elemen-elemennya sebagai anatomi bentuktubuh manusia. Mulai dari bagian bawah yaitu kaki yang dilambangkan dengan tiang-tiang penopang rumah (pari’i patienga ngaingo dan pari’i rippi), bagian tengah yaitu badan manusia beserta jantung dan rahim yang dilambangkan dengan parapige dan lekki, hingga bagian atas rumah yaitu kepala yang dilambangkan dengan uma dana. Konstruksi sambungan antar elemenelemennya yang berupa uwedan kasikara juga diumpamakan sebagai urat manusia. P a g e 7 | 15



4) Prinsip gender pada kehidupan sosial. Peran pria sebagai manusia terpilih yang dianugerahi kemampuan khusus, mendominasi di setiap upacaraupacara adat suku We’e Lowo dan Anawara. Fenomena tersebut menjadi hal yang lazim sebab pada hakikatnya pria yang berkemampuan khusus itulah yang berperan aktif mempersatukan warga kampung Tarung yang masih hidup dengan arwah anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. 5) Implementasi gender pada elemen bangunan dan tata ruang rumah adat. Elemen-elemen bangunan yang mengandung prinsip gender yaitu kado uma (melambangkan pasangan suami istri) dan pata pari’i (melambangkan sebuah simbol kehidupan keluarga utuh dan ideal, yang terdiri dari maselaatautiang bapak, kawisu atau tiang ibu, lapale atau tiang anak laki-laki, dan ma poddu atau tiang anak perempuan). Secara horizontal dalam tata ruang sebagian besar rumah adat di kampung Tarung milik suku We’e Lowo, semua rumah terbagi menjadi domain pria (kiri) dan domain wanita (kanan). 6) Peran tiap rumah pada masa Wulla Poddu. Pada masa Wulla Poddu 12 Tubba diwajibkan berpartisipasi dalam menyambut datangnya bulan suci Merapu. 7) Pelataran ruang sakral untuk upacara adat. Unsur tata masa dalam pola kampung Tarung memiliki kerakteristik pola kompak memanjang yang berorientasi ke pelataran ruang sakral tempat pelaksanaan upacara-upacara adat atau disebut juga dengan natara. Di dalam area natara terdapat elemenelemen sakral yang membentuk satugaris atau poros linier sakral dari sisi utara ke selatan dengan urutan sebagai berikut yaitu; 1) Uma kabubu, 2) Katoda, 3) Watu dodo, dan 4) Adong.



P a g e 8 | 15







KAMPUNG TAMBERA    



 Terletak di desa Doka Kaka kecamatan Loli merupakan kampong Ina-



Ama atau kampong adat utama suku loli sekaligus pusat pelaksanaan ritual Wulla Poddu, sebuah ritual suci penganut Marapu (kepercayaan tradisional penduduk asli Sumba Barat) yang dilaksanakan selama satu bulan penuh. Rato di kampong adat tambera bernama Yewa L. Kodi.  Saat ini kampung Tambera dihuni oleh 12 kabisu(sub-klan) yang mendiami 20 buah rumah adat dengan nama dan fungsi tersendiri. Di dalam kampung adat Tambera terdapat beberapa benda-benda sakral yang kemudian di tetapkan sebagai benda cagar budaya. Berikut ini adalah benda cagar budaya yang berada di situs Tambera.



(Kampung Adat Tambera) Sumber: Hasil Studi Lapangan 1.  Doddu/ ubbu ; Tambur suci yang hanya dibunyikan setahun sekali yaitu sepanjang pelaksanaan Wulla Poddu(Bulan Suci) yang berlangsung antara P a g e 9 | 15



bulan November sampai dengan oktober. 2.   Lede Kodaka ; Gong suci yang terbuat dari serbuk besi. Gong ini hanya boleh dibunyikan pada bulan Wulla Poddu. 3.   Paleti Lango-Pedenga Rasi ; sepasang gong suci yang dibunyikan saat perayaan ritual-ritual pemujaan yang berlangsung di dalam rumah. 4.   Soro Bonu- Karawang Jawa ; sepasang gong suci yang dibunyikan saat kemarau panjang dengan tujuan meminta datangnya hujan. 5.   Kaleku Boru Podda/ kawuku; Simpul tali terbuat dari kulit pohon yang dibentuk menyerupai bola. Dipercaya sebagai symbol perkembangan manusia dan bahan pangan. 6.    Kaweda; wadah kecil terbuat dari anyaman rotan atau pandan. 7.   Dari dewa; untaian muti terbuat dari batuan alam sebagai pelengkap busana adat rato Rumata Tambera dan Rumata Geila Koko yang digunakan dengan cara dililitkan di sekeliling rahang. 8.    Rewo/ kau; Sejumput rambut yang digunakan oleh rato rumata. 9.    Nombu Wara; Tombak besi yang terbuat dari serbuk besi. 10.  Nombo Tei; tombak suci yang digunakan sebagai kelengkapan busana penari laki-lak yang tampil saat Wulla Poddu.  11.  Nombu Tadaila Goro; Bahan Dasar tombak ini sama dengan nombu Wara dan nombu Tei namun ujung-ujung nya tumpul dan dilengkapi hiasan bulu ayam dan giring-giring. 12.  Teko; Parang suci yang duigunakan berpasangan dengan tomabak suci dan hanya digunakan pada saat wara serta kala berlangsung ritual-ritual tertentu selama bulan suci.



P a g e 10 | 15



(Kampung Adat Tambera) Sumber: Hasil Studi Lapangan 13.  Kedde Kawuku; Gasing yang dibuat khusus dan dimainkan selepas upacara pogo mawo oleh kabisu (sub-klan) wee Lowo dan dimainkan oleh suka wee lwo dan suku ana wara. 14.  Dinga Leba ; Guci keramat yang terbuat dari keramik kuno 15.  Putta Pangede; Seutas tali yang konon digunakan untuk membunuh putri kamuri. 16.  Tukka Wee; Tempayang  Suci yang terbuat dari tanah liat. 17.  Daa walla Gole; kuda kepang beserta aksesoris penunggang yang terbuat dari kulit kayu dan bahan alami lainnya. 18.  Gading ponggu;gelang yang terbuat dari gading gajah dan dikenakan pada lengan bagian atas. 19.  Watu Bela; Hiasan dada terbuat dari logam campuran yang digunakan sebagai aksesoris pelengkap busana penari wanita. 20.  Padi Ana Gaga; Batu keramat berwarna hitam yang dipercaya sabagai tempat bermukim atau symbol marapu kilat.



P a g e 11 | 15



4. Benang Merah Dari Kedua Pembahasan Kajian dalam paparan ini diawali dengan terlebih dahulu merumuskan konsep tentang arsitektur nusantara. Proses perumusan ini didasari atas kajian dari pustaka berupa



penelitian-penelitian



sebelumnya.



Konsep



arsitektur



nusantara



yang



digunakan adalah rumusan Prijotomo (2012) tentang arsitektur nusantara yaitu arsitektur yang ‘bertempat’ di wilayah Nusantara, merupakan arsitektur yang dibangun berdasarkan tanggapan atas dua musim di lintasan khatulistiwa, memiliki karakter kesetempatan dan kesementaraan, dibangun dalam konsep naungan dan bukan perlindungan serta memiliki dasar filosofis terbangun yang berbeda dengan arsitektur Eropa. Arsitektur Nusantara dapat dipahami sebagai sebuah sistem pengetahuan yang mendasarkan diri pada sistem pengetahuan yang berakar pada ‘tempat’ terbangunnya, terutama dari konsep struktur yang tanggap gempa, dan pemilihan material organik/kayu, berbeda dengan konsep arsitektur Eropa yang tidak tanggap gempa dan dibangun dengan material batu/anorganik. Rumusan tanggap iklim dari contoh-contoh arsitektur tradisional yang diteliti dalam kajian ini merupakan sintesa dari pemahaman yang searas yaitu arsitektur yang dibangun berdasarkan konteks ‘lokal’ dengan seluruh karakteristik spesifik, termasuk iklim tropis lembab di mana arsitektur tersebut terbangun. Kondisi iklim tropis yang lembab menuntut perlunya syarat-syarat khusus dalam perancangan bangunan dan lingkungan binaan, mengingat adanya beberapa faktor spesifik yang hanya dijumpai secara khusus pada iklim tropis. Hal ini memberikan konsekuensi logis yaitu elemen-elemen arsitektural, seperti komposisi, bentuk, fungsi bangunan, citra bangunan, dan nilai-nilai estetika bangunan yang terbentuk di daerah beriklim tropis akan sangat berbeda dengan kondisi bangunan yang ada di wilayah lain dengan iklim berbeda.



P a g e 12 | 15



Kesimpulan Karakteristik dasar arsitektur tanggap iklim yang ditemukan pada beberapa contoh arsitektur tradisional Indonesia dalam beberapa literatur adalah naungan dan



pengendali kenyamanan termal. Variabel iklim yang menjadi pertimbangan adalah temperatur, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi sinar matahari, dan curah hujan. Tanggapan tersebut pada arsitektur diwujudkan melalui bentuk, pemilihan material, dan rancangan elemen-elemen pengendali iklim. Dapat disimpulkan bahwa temuan dari kajian teoritis dalam paparan ini adalah nilai adaptif dan fleksibel



terhadap ‘tempat’ sebagai dasar berarsitektur di wilayah tropis lembab seperti Indonesia. Selanjutnya, diharapkan konteks adaptif dan fleksibel tersebut sebagaimana yang ditemukan melalui kajian terhadap bangunan arsitektur tradisional di Indonesia dalam penelitian ini dapat menjadi asumsi dasar/paradigma bagi penentuan potensi keberlanjutan arsitektur nusantara yang tanggap iklim dalam konteks kekinian.



P a g e 13 | 15



Daftar Pustaka 







https://www.scribd.com/doc/315242261/Arsitektur-Nusantara-yang-Tanggap-Iklim-Paradigmadalam-penentuan-potensi-berkelanjutan-docx



P a g e 14 | 15



Lampiran Foto



P a g e 15 | 15