TB Paru Kasus Relaps [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS TB PARU KASUS KAMBUH BTA POSITIF



OLEH: dr. Shella Novita PEMBIMBING: dr. Esther Meylina Sipahutar NIP. 198505142011012009



PEMERINTAH KABUPATEN LEBONG DINAS KESEHATAN TAHUN 2015



1



BAB 1 ILUSTRASI KASUS



1.1.



1.2. 1.2.1



Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Agama Tanggal datang Jenis Pembiayaan



: Tn. Sumitro : Laki-laki : 42 tahun : Lb. Tambang : Islam : 9 Juli 2015 : BPJS



Anamnesis Keluhan Utama Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak kurang lebih 2 minggu sebelum



datang ke PKM Muara Aman. 1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu. Batuk dirasakan terus-menerus, tidak dipengaruhi cuaca ataupun debu. Dahak berwarna putih kehijauan dengan jumlah dahak kurang lebih satu sendok teh. Batuk berdarah tidak dijumpai. Keluhan sesak nafas dijumpai terutama saat pasien batuk. Sesak nafas tidak dipengaruhi perubahan posisi ataupun aktifitas. Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari karena sesaknya dan dapat tidur dengan satu bantal. Nyeri dada disangkal pasien. Bunyi mengi tidak dijumpai. Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul. Keringat pada malam hari dijumpai meskipun ruangan tidak panas. Nafsu makan menurun sejak satu bulan ini. Mual muntah tidak dikeluhkan pasien. Riwayat trauma dada tidak dijumpai. Riwayat mengonsumsi obat-obatan dan narkotik disangkal. Pasien sudah pernah berobat ke PKM Muara Aman kurang lebih tujuh hari yang lalu dan dilakukan pemeriksaan dahak. Hasil pemeriksaan menunjukkan BTA positif. 1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Pasien pernah menderita tb paru satu tahun yang lalu dan sudah minum obat selama 6 bulan dan telah dinyatakan sembuh setelah pemeriksaan rontgen dada dan



2



pemeriksaan dahak ulang. Riwayat darah tinggi, kencing manis, asma, ataupun penyakit jantung disangkal pasien. 1.3. Pemeriksaan Fisik 1.3.1 Status Generalis Keadaan umum : kesadaran compos mentis. Berat badan : 47 kg Tinggi badan : 160 cm BMI : 18,4 (underweight) Tekanan darah : 130/90 mmhg Frekuensi nadi : 80x/menit Frekuensi nafas : 26x/menit, regular Suhu : afebris Kepala Wajah Rambut Kulit Mata Telinga Hidung Tenggorok Leher Paru



Jantung



: normosefali, deformitas (-), massa (-) : kesan paresis nervus fasialis (-) : hitam, penyebaran merata : ikterik (-), infeksi kulit (-) : sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil isokor : serumen (-), secret (-) : deformitas (-), deviasi septum (-), secret (-) : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 : pembesaran KGB (-) : Inspeksi : simetris pada inspirasi dan ekspirasi Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri Perkusi : sonor/sonor Auskultasi : vesikular, rhonki +/+, wheezing -/: Inspeksi : iktus kordis terlihat Palpasi :iktus kordis teraba di sela iga 5 linea Perkusi



midklavikularis sinistra :batas jantung kiri 2 jari medial linea midklavikularis sinistra, batas jantung



Ektremitas



kanan di linea sternalis kanan Auskultasi : S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-) : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, sianosi -/-



1.4.PemeriksaanqPenunjang Hasil sputum BTA (8 juli 2015) Sewaktu : - (negatif) Pagi : ++ (positif dua) Sewaktu : ++ (positif dua) 1.5.DiagnosisqKerja TB Paru Kasus Kambuh BTA Positif 1.6.Tatalaksana



3



-OAT kategori II -Curcuma 2x1 tablet -Ambroxol sirup 3x1sdm -Edukasi tentang penyakit tb paru dan tb paru kasus kambuh -Edukasi lama pengobatan tb paru kasus kambuh -Edukasi untuk kontrol teratur ke PKM Muara Aman setiap sebelum lobat ahabis 1.7.Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam



: ad bonam : ad bonam : dubia ad bonam



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1.



Definisi Tuberkulosis 2,5 Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh



kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara. 2.2.



Epidemiologi 1 Sejak zaman purba, penyakit TB dikenal sebagai penyebab kematian yang



menakutkan, sampai pada saat Robert Koch menemukan penyebabnya. Penyakit ini masih termasuk penyakit yang mematikan. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dari 2,5 juta orang meninggal setiap tahun. Mycobacterium tubercolosis menginfeksi



4



8,7 juta kasus baru pada tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia Tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta). Sepertiga pasien dengan tubercolosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV (Human Imunno Defisiensi Virus) . Pada tahun 2005, WHO (World Health Organisation) memprediksi bahwa akan terdapat 10.2 juta kasus baru dan Afrika akan memiliki lebih banyak kasus daripada daerah lainnya. Di Inggris jumlah kasus meningkat, dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara tahun 1999 dan 2000. TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan Indonesia termasuk kedalam kelompok dengan masalah TB terbesar (high burden countries). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Berdasarkan hasil survei pada tahun 2010, jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia mencapai 289 per 100.000 penduduk. 2.3.



Klasifikasi Tuberkulosis 4,5



Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Departemen Kesehatan yaitu: a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1. Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis 1. Tuberkulosis paru BTA positif 



Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif



5







Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif







Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif



2. Tuberkulosis paru BTA negatif Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi: 



Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas







Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif







Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa



c.Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: 



Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)







Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai



lesi



aktif



kembali,



kemungkinan : • Infeksi sekunder • Infeksi jamur • TB paru kambuh







Kasus pindahan (Transfer In)



harus



dipikirkan



beberapa



6



Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah 



Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.







Kasus Gagal  Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)  Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan ataugambaran radiologik ulang hasilnya perburukan







Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik







Kasus bekas TB  Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung  Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik



7



Patogenesis 1,2



2.4.



Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ ,Pada waktu batuk/bersin,penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler (percikan dahak). 2.4.1



Infeksi Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di



jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut: a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya. 



Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.







Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.



 Penyebaran secara hematogen dan limfogen.



8



Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu berkulosismilier,



meningitis



tuberkulosis,



typhobacillosis



Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:  Sembuh



dengan



meninggalkan



sekuele



(misalnya



pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma).  Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer. 2.4.2



Infeksi Post Primer Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah



tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.



9



b. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi: 



Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas.







Memadat



dan



membungkus



diri



(enkapsulasi),



dan



disebut



tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. 



Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).



2.5.



Diagnosis 3,5 Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,



mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. 2.5.1 Gejala Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. a. Gejala respiratorik • Batuk ≥3 minggu • Batuk darah



10



• Sesak napas • Nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. b. Gejala sistemik • Demam • Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun 2.5.2 Tanda Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura. 2.5.3



Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai



keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi sewaktu (SPS)



11



a. S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua b. P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas. c. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi hari.



3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif 1 kali positif, 2 kali negatif



BTA + Ulangi BTA 3



kali Bila 1 kali positif, dua kali negatif BTA + Bila 3 kali negatif BTA Table 1 Interpretasi hasil pemeriksaan tb paru Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD yang merupakan rekomendasi WHO



Tabel 2 Interpretasi hasil pemeriksaan tb paru berdasarkan rekomendasi WHO 2.5.4



Pemeriksaan Bactec



12



Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)



2.5.5



Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik



untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC. 2.5.6



Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi



ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila: 



Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)







Hemoptisis berulang atau berat







Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +



Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk. radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif:



13







Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru.







Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.







Bayangan bercak milier.







Efusi Pleura



Gambaran radiologi yang dicurigai Tb paru inaktif : 



Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah.







Kalsifikasi.







Penebalan pleura.



14



Gambar 1 Alur Diagnosis Tb paru



2.6.



Penatalaksanaan 1,2,3



2.6.1



Tujuan Pengobatan







Menyembuhkan penderita







Mencegah kematian







Mencegah kekambuhan



15



 2.6.2



Menurunkan tingkat penularan Jenis dan Dosis OAT



a. Isoniazid (H) Isoniazid bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kgbb, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10mg/kgbb. b. Rifampisin (R) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Dosis 10mg/kgbb diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. c. Pirazinamid (Z) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kgbb, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35mg/kgbb. d. Streptomisin (S) Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15mg/kgbb sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75gr/hari sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50gr/ hari e. Etambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15mg/kgbb, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 30mg/kgbb. 2.6.3



Prinsip Pengobatan Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :



a. Menghindari penggunaan monoterapi



16



Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.  Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.  Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama



yaitu 4 sampai 7 bulan. Tahap



lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan



2.6.4



Panduan OAT di Indonesia WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases) merekomendasikan panduan OAT Standar yaitu: a. Kategori 1  2RHZE/4 R3H3  2RHZE/4 RH



17



 2RHZE/6 HE Diberikan kepada:  Penderita baru TBC paru BTA positif  Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat  Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat” b. Kategori 2  2RHZES/ RHZE/ 5R3H3E3  2RHZES/ RHZE/ 5RHE Diberikan kepada:  Penderita kambuh.  Penderita gagal terapi  Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat. c. Kategori 3  2RHZ/ 4R3H3  2RHZ/ 4RH  2RHZ/ 6HE Diberikan kepada:  Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan  Penderita TB ekstra paru ringan 2.6.5



Kemasan dan Dosis OAT a. Kemasan obat tunggal yaitu obat disajikan secara terpisah INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol b. Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination- FDC) yaitu terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet



Obat



Dosis (mg/kgbb/hari



BB60kg



Max



18



Rifampisin INH Pirazinamid Ethambutol Streptomisi



) 8-12 4-6 20-30 15-20 15-18



300 150 750 750 Sesuai BB



450 300 1000 1000 750



(mg) 600 300 1000



600 450 1500 1500 1000



n Tabel 3 Dosis obat yang dipakai di Indonesia



BB



Harian



Fase Insentif 2bulan Harian 3x/minggu



Fase Lanjutan 4 bulan Harian 3x/mingg



(kg) RHZE



RHZ



RHZ



RH



u RH



150/75/40



150/75/400



150/150/50



150/75



150/150



30-37



0/275 2



2



0 2



2



2



38-54



3



3



3



3



3



55-70



4



4



4



4



4



5 5 5 5 Tabel 4 Dosis OAT kombinasi dosis tetap



5



>71



2.7



Efek Samping Obat 1 Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek



samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat yaitu: a. Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasaterbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat



19



dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra) Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus b. Rifampisin • Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :  Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang  Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare  Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan • Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :  Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus  Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi,rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang  Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. c. Pirazinamid



20



Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. d. Etambutol Etambutol



dapat



menyebabkan



gangguan



penglihatan



berupa



berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi e. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tibatiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.



21



2.7.1



Penanganan Efek Samping Obat Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi



secara simptomatik



22



 Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat / allopurinol  Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti tertulis di atas  Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian



dosis



yang



ditingkatkan



perlahan-lahan



dengan



pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya  Kelainan



yang



harus



dihentikan



pengobatannya



adalah



trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon  Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik. 2.8



Evaluasi Pengobatan 3,4,6 Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,serta evaluasi keteraturan berobat. a. Evaluasi klinik •



Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan







Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit







Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.



b. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9) •



Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak



23







Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik  Sebelum pengobatan dimulai  Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)  Pada akhir pengobatan







Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)



c. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:  Sebelum pengobatan  Setelah 2 bulan pengobatan  Pada akhir pengobatan d. Evaluasi efek samping secara klinik  Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap  Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan  Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid  Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol  Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri 



Pada anak dan dewasa mudaumumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.



Yang paling penting adalah



evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman e. Evalusi keteraturan berobat



24



 Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikanmengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan  Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. f. Evaluasi penderita yang telah sembuh Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. 2.9



Komplikasi 2,3 Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan



komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus. b. Komplikasi pada stadium lanjut: 



Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik







Kolaps lobus akibat sumbatan duktus







Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru







Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah







Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan



25



sebagainya



DAFTAR PUSTAKA



1. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis.2005.38-58 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2008 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2006 4. PAPDI. Hemoptisis. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI 5. Efusi Pleura Tuberkulosis. J Respirol Indo vol 17. 1994 6. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi 4, hal 9981005. Jakarta. 2006



26