TB Update Ix 2017 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

,6%1 



3'3,



352&((',1* %22.



£1RYHO PDQDJHPHQW WR HQG 7%¤ WORKSHOP , SIMPOSIUM, PAMERAN Hotel Bumi Surabaya 29-30 April 2017 Editor: M. Amin Daniel Maranatha Soedarsono Laksmi Wulandari Helmia Hasan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNAIR – RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2017



Naskah TB UPDATELengkap IX - 2017, Surabaya SYMPOSIUM TB UPDATE - IX 2017 “ NOVEL MANAGEMENT TO END TB ”



i



Editor : M. Amin, Daniel Maranatha, Soedarsono, Laksmi W., Helmia Hasan



Editor Pelaksana : Rena Arusita Maranatha, Devi Ambarwati, Nur Nubli Julian.



©2017 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK Unair - RSUD Dr. Soetomo Surabaya



337 + xvi hal



ISBN 978-602-14008-1-4



Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK Unair - RSUD Dr. Soetomo Surabaya



Diterbitkan oleh : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK Unair - RSUD Dr. Soetomo Surabaya Surabaya, April 2017



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“Novel management to end TB”



iii



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



KATA PENGANTAR Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insidens dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% dari seluruh penderita di dunia. Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia, tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia. Pada bulan Maret 1993, WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency karena kurang lebih 1/3 penduduk dunia terinfeksi TB. Alasan utama munculnya atau meningkatnya sebab TB global ini antara lain disebabkan: 1. Tingkat Kemiskinan dan Pendidikan penduduk. 2. Kondisi geografis dan demografik Indonesia 3. Perlindungan kesehatan yang belum memadai 4. Pendidikan mahasiswa kedokteran maupun tenaga kesehatan yang harus terus ditingkatkan, khususnya mengenai TB. 5. Kurangnya sarana diagnostik, pengobatan maupun pengawasan kasus TB dan penatalaksanaan yang kurang adekuat. 6. Adanya epidemi HIV 7. Peningkatan kasus Diabetes Melitus 8. Tingginya kasus merokok di masyarakat 8. Ketidakpatuhan berobat Berbagai hal yang menimbulkan masalah yang berkaitan dengan TB pada akhirnya akan mengerucut dengan munculnya kuman TB yang kebal obat lini pertama (MDR-TB). Saat ini masalah MDR-TB merupakan ancaman serius, khususnya di Indonesia. Ketidakpatuhan pengobatan memicu terjadinya kebal obat lini kedua (preXDR-TB bahkan XDR-TB). Segenap daya upaya yang optimal dari segala pihak baik yang bersifat ilmiah kedokteran, sosial maupun politis / program dikerahkan untuk menanggulangi masalah TB ini. Dalam rangka menuju Indonesia Sehat perlu adanya peningkatan pengetahuan dokter spesialis, dokter umum, mahasiswa kedokteran, serta paramedis tentang ilmu penyakit paru khususnya terkait Tuberkulosis, maka Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD dr. Soetomo Surabaya akan menyelenggarakan Kegiatan Ilmiah Nasional TB Update IX 2017. Kegiatan tersebut merupakan komitmen dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga untuk menyampaikan update keilmuan Tuberkulosis yang rutin diadakan tiap dua tahun sekali.



HRZE. (2) NixTB Trial (TB Alliance): BPaL (Bedaquiline + Pretomanid + Linezolid) combination regimen aiming pre-XDR-TB, XDR-TB, TDR-TB for 6 months. Notably, in spite of the critical antagonism is observed in two-drug BDQ plus Pa combination setting, three-drug BDQ + Pa + L combination provides an excellent additive efficacy. In this presentation, profiles of the novel candidate compounds and latest information of promising combination regimen projects will be reviewed.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



40



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



PEDOMAN TATALAKSANA INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN DARI PDPI 5HYLRQR %DJLDQ3XOPRQRORJLGDQ.HGRNWHUDQ5HVSLUDVL).816"568''U0RHZDUGL 6XUDNDUWD



3HQGDKXOXDQ Eliminasi TB pasca 2015 yang disebut HQG 7% 6WUDWHJ\ mempunyai misi untuk mencapai angka =HUR7% pada tahun 2050. =HUR7% adalah =HURGHDWK =HUR7% VXIIHULQJdan =HURQHZLQIHFWLRQSalah satu misi WHO yang ingin dicapai sampai tahun 2050 adalah menurunkan insidens TB hingga kurang dari 1 kasus per 1 juta penduduk per tahun dan TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Indonesia termasuk negara dengan beban TB yang tinggi dan menempati urutan ke-2 di dunia dengan kasus TB terbanyak. Kondisi ini dapat dipastikan terdapat jumlah individu yang cukup tinggi sudah terinfeksi kuman TB atau /DWHQW 7% ,QIHFWLRQ (LTBI) dalam bahasa Indonesia disebut Infeksi TB Laten (ITBL). Tuberkulosis adalah penyakit menular maka semakin banyak jumlahnya bila pengaturan pengendalian infeksi tidak dilakukan dengan benar. Sebagian kecil (5-10%) dari individu terinfeksi tersebut berpotensi untuk menjadi kasus sakit dan akan terus menjadi sumber penularan bila tidak diobati hingga sembuh. Saat ini sudah ada program pemerintah Indonesia untuk melindungi kelompok berisiko tinggi seperti pasien HIV dan anak untuk mencegah agar tidak menjadi TB aktif. Untuk itu perlu panduan lebih komprehensif mengenai tatalaksana pencegahan individu terinfeksi (TB Laten). Bila hal tersebut tidak segera diintervensi maka dipastikan angka kejadian TB baru akan meningkat. Bila hanya melakukan pengobatan pasien yang sakit, maka penurunan insidens TB hanya sebesar 2% pertahun, sehingga akan sulit bagi Indonesia untuk mencapai VWUDWHJ\ yang dicanangkan WHO. Walaupun demikian bukan berarti semua individu yang terinfeksi harus diobati, terutama di negara endemis seperti Indonesia. Diperlukan pertimbangan yang seksama untuk menentukan kelompok yang perlu dicegah agar tidak menderita TB aktif. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) telah meyusun Pedoman Tatalaksana TB Laten yang diharapkan akan menjadi acuan bagi sejawat praktisi untuk menentukan pertimbangan klinis dalam penanganan pasien dalam praktek sehari hari dan untuk membantu pemerintah dalam mencapai strategi (1' 7%. Ada beberapa pedoman tentang tatalaksana TB laten di tingkat global telah terbit. Pedoman dari :+2*XLGHOLQHVRQWKHPDQDJHPHQWRIODWHQWWXEHUFXORVLVLQIHFWLRQ yang terbittahun 2014. Pedoman TB laten yang dikeluarkan WHO terutama ditujukan kepada negara berpenghasilan tinggi atau negara-negara berpenghasilan menengah ke atas dengan perkiraan tingkat kejadian TB kurang dari 100 per 100 000 penduduk. Pedoman WHO ini bertujuan untuk memberikan panduan dengan pendekatan kesehatan masyarakat yang berbasis bukti selain itu juga dari sisi klinis tentang pengobatan dan tatakeloka LTBI terutama pada individu dengan risiko tinggi untuk menjadi TB aktif.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



41



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Sedangkan CDC mengeluarkan pedoman /DWHQW WXEHUFXORVLV LQIHFWLRQ D JXLGH IRU SULPDU\ KHDOWK FDUH SURYLGHUV, yang terutama ditujukan untuk layanan primer, jadi sebagian besar berisi tentang identifikasi populasi yang berisiko mendapatkan ITBL, dan cara diagnostic di layanan primer yaitu menggunakan tuberculin skin test (TST). 'HILQLVL Tuberkulosis laten adalah seseorang yang terinfeksi kuman 0 7XEHUFXORVLV tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon Gamma Release Assay (IGRA) positif. Istilah TB laten diciptakan Clemens von Pirquet yang mengembangkan uji WXEHUNXOLQ tahun 1907. Istilah TB laten untuk menggambarkan anak-anak yang tidak menampakkan gejala TB tetapi memiliki respon positif terhadap uji WXEHUNXOLQ. 3DWRJHQHVLV Infeksi tuberkulosis awalnya terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuklei yang mengandung kuman TB yang mencapai alveoli paru. Droplet ukuran 1 – 5 mikron yang hanya dapat melewati atau menembus sistem mukosilier. Kuman TB ini tertelan oleh makrofag alveolar dalam waktu 2 sampai 8 minggu, sebagian besar kuman ini hancur atau terhambat dan sejumlah kecil kuman mungkin menggandakan diri di aveol dan dilepaskan ketika makrofag mati. Sebagian kuman yang hidup dapat menyebar melalui saluran getah bening atau melalui aliran darah ke jaringan yang lebih jauh dan organ lain seperti ginjal, otak , dan tulang. Proses imunologi melalui rangkaian imunitas selular dan selanjutnya membentuk granuloma, dalam kondisi inilah disebut TB laten.



Gambar 1. Perjalanan penyakit TB Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



42



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Prosses imunologi terbentuknya kondisi TB laten melalui proses LQQDWHLPPQXQLW\ dan respons imun seluler. 5 Pada proses ini m.tb akan difagositosis oleh makrofag dan sel dendritik melalui reseptor seperti FRPSOHPHQWUHFHSWRU (CR) 3, VFDYHQJHU UHFHSWRU PDFURSKDJH PDQQRVH UHFHSWRU (MMR), WROO OLNH UHFHSWRUV (TLR), NOD2 dan GHQGULWLFFHOOVSHFLILFLQWHUFHOOXODUDGKHVLRQPROHFXOHJUDEELQJQRQLQWHJULQ (DC-SIGN). Hal ini kan mengaktivasi PDFURSKDJHVLJQDOLQJSDWKZD\ menyebabkan sekresi sitokin inflamasi, kemokin dan molekul antimicrobial, dan mengaktivasi vitamin D receptor (VDR), yang meliputi induksi ekspresi katelisidin peptide antimikobrial, dan E-defensin termasuk induksi aktivasi antimikrobial melalui proses autofagi. Proses selanjutnya merupakan proses imunitas adaptif sehingga terjadi kondisi TB laten. Makrofag dan sel dendritik yang terinfeksi akan mensekresi sitokin meliputi IL-12, IL-23, IL-7, IL-15 dan TNFD dan presentasi antigen ke sel T meliputi sel T CD4 (MHC kelas II), sel T CD-restriksi (antigen glikolipid) dan sel TJG (fosfoligan). Sel T ini akan memproduksi sitokin efektor IFNJ, yang mengaktifkan makrofag yang akhirnya dengan TNFD akan membunuh mikobakteria intrasel melalui granulisin dan SHUIRULQ PHGLDWHG SDWKZD\. Kelompok risiko terinfeksi TB atau TB laten Berdasarkan proses pathogenesis TB tidak semua individu berisiko tetapi terutama individu yang kontak seperti berikut ini: x Kontak erat dengan pasien TB aktif atau suspek TB x Berada pada tempat dengan risiko tinggi untuk terinfeksi tuberkulosis (misalnya, lembaga pemasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang, dan tempat penampungan tunawisma) x Petugas kesehatan yang melayani pasien tuberkulosis. x Bayi, anak-anak, dan dewasa muda terpajan orang dewasa yang berisiko tinggi terinfeksi TB aktif. Kelompok risiko tinggi TB laten menjadi TB aktif Perubahan TB laten menjadi TB aktif disebut juga proses reaktivasi. Proses ini membutuhkan keadaan kuman 0 WXEHUFXORVLV tidak lagi berada dalam fase dorman. Beberapa faktor dapat memicu reaktivasi ini x Infeksi HIV x Bayi dan anak usia < 5 tahun x Pasien yang mendapat pengobatan immunoterapi misal Tumor Necrosis Faktor-alfa ( TNF alfa ) antagonis, kortikostreroid sistemik, terapi immunosupresi pada transplantasi organ x Pasien dengan riwayat terinfeksi tuberkulosis pada 2 tahun terakhir x Pasien dengan riwayat TB aktif tidak berobat atau berobat tidak adekuat termasuk pasien yang pada foto toraks terlihat fibrotik x Pasien diabetes, silikosis, gagal ginjal kronik, leukemia, limfoma atau kanker kepala, leher atau paru x Pasien yang telah dilakukan operasi gastrektomi atau E\SDVV usus halus x Pasien yang berat badan nya < 90% berat ideal x Tuna wisma, perokok, peminum alkohol atau penyalah gunaan obat x Warga binaan lapas x Petugas kesehatan



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



43



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Secara keseluruhan proses TB laten dan aktivasi menjadi TB aktif seperti pada algoritma proses infeksi TB di bawah ini.



Gambar 2. Patogenesis tuberkulosis



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



44



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Tabel 1. Faktor risiko aktivasi TB Faktor risiko



Risiko TB



Rekomedasi WHO deteksi dan terapi LTBI Negara A



Negara B



10-100



Wajib



Wajib



15



Wajib



Wajib untuk



20-70



Wajib



Faktor risiko tinggi HIV/AIDS Kontak erat Penerima transplantasi organ



kontak erat (< 5 tahun) -



TNF-ĂůƉĂďůŽĐŬĞƌƐ



6,9-52,5



Wajib



2,8



Wajib



6-19



Wajib



2,9-5,3



-



Silikosis Faktor risiko sedang Penyakit fibronodular pada radiologi dada



Imigran dari negara prevalensi tinggi TB



Petugas kesehatan



2,55



Dipertimbangkan -



Tahanan, panti jompo, pecandu obat-obatan



-



Dipertimbangkan



Faktor risiko rendah Diabetes melitus



1,6-7,83



Dipertimbangkan -



Perokok



2-3,4



Tidak rekomendasi -



Pemakai kortikosteroid



2,8-7,7



Tidak rekomendasi



2-3



Tidak rekomendasi



hŶĚĞƌǁĞŝŐŚƚ



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



45



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya DIAGNOSIS TB LATEN



Baik TST maupun IGRA dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi Infeksi TB laten. IGRA belum dapat menggantikan TST pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Jumlah kuman pada individu terinfeksi atau TB laten tidak diketahui, tapi dipercaya sangat sedikit dan perlu diteliti di masing masing organ sehingga tidak mungkin dilakukan pemeriksaan langsung kuman tuberkel pada penderita TB laten dan sebagai gantinya dilakukan pemeriksaan imunologi sebagai penanda infeksi TB. Pemeriksaan imunologi pada individu terinfeksi TB laten dimungkinkan karena pada kondisi tersebut terjadi induksi imun respons selular Th-1 yang cukup kuat dan merupakan penanda (marker) yang sensitif terdapatnya kuman TB tuberkulosis yang dorman. Saat ini pemeriksaan imunologi untuk TB laten ada 2 hal yaitu pemeriksaan “in vivo” berupa uji tuberkulin dan pemeriksaan “ex vivo” yaitu IGRA, kedua pemeriksaan ini belum dapat membedakan apakah ini infeksi laten atau aktif, atau pun membedakan bekas TB. Sehingga harus diketahui perbedaan TB laten dan TB aktif Tabel 2.



Perbedaan TB laten dan TB aktif



TB laten



TB aktif



Tidak ada gejala



Memiliki salah satu gejala berikut demam, batuk, nyeri dada, berat badan turun, keringat malam, hemoptisis, lemah dan nafsu makan menurun



Uji tuberkulin atau IGRA positif



Uji tuberkulin atau IGRA positif



Foto toraks normal



Foto toraks abnormal tetapi bisa normal pada orang imunokompromis atau TB ekstraparu



Hasil pemeriksaan mikrobiologi negatif (BTA, Hasil pemeriksaan mikrobiologi dapat positif kultur dan Gene Xpert) ataupun negatif , termasuk pada TB ekstraparu TIdak dapat menularkan



Dapat menularkan kuman TB ke orang lain



Perlu terapi pencegahan pada kondisi tertentu



Perlu pengobatan sesuai standar terapi TB



Uji tuberkulin Uji tuberkulin telah digunakan sejak lebih dari 100 tahun, merupakan pengukuran imunitas seluler GHOD\HG W\SH K\SHUVHQVLWLYLW\ (DTH) terhadap purified protein derivative (PPD) tuberkulin, yang merupakan antigen berbagai mikobakteria termasuk 0WE, BCG 0WE, BCG 0ERYLVdan berbagai mikobakteria di lingkungan, hal ini menyebabkan uji tuberkulin lebih rendah spesifisitasnya di daerah yang vaksinasi BCG nya tinggi dan infeksi mikobakterium selain 0WE. Reaksi hipersensitvitas tipe lama (DTH) ini terjadi 2-8 minggu setelah seseorang terinfeksi kuman TB. Pengukuran reaksi tuberkulin pada manusia dilakukan dengan Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



46



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



mengukur diameter indurasi yang terjadi pada kulit pada 48-72 setelah penyuntikan antigen. Reaksi terhadap tuberkulin dimulai sejak beberapa jam penyuntikan berupa reaksi hipersentivitas tipe I sampai III dan puncaknya yaitu DTH pada 48-72 jam dan bertahan hingga 1 bulan tergantung kuantitas dan kualitas reaksi awal. Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikan intradermal 0,1 ml PPD 5 TU dengan tehnik Mantoux selanjutnya pembacaan hasil uji tuberkulin dilakukan dalam 4872 jam oleh tenaga kesehatan terlatih bukan oleh pasien atau keluarga pasien. Intepretasi uji tuberkulin pada individu dengan riwayat vaksin BCG sama dengan individu yang tidak divaksin karena reaksi silang oleh BCG akan berkurang sesuai waktu. Penilaian uji tuberkulin dilakukan dengan mengukur berapa mm indurasi bukan dengan menulis positif atau negatif kemerahan atau reaksi di kulit lainnya. Interferon–Gamma Release Assays (IGRAs) Pemeriksaan IGRA digunakan untuk menentukan TB laten dengan mengukur respons imun terhadap protein TB dalam darah. specimen dicampur dengan peptide untuk menstimulasi antigen dari m.tuberculosis dibandingkan dengan kontrol. Pada orang yang terinfeksi TB sel darah putih akan mengenali antigen yang terstimulasi sehingga mengeluarkan IFN-J, sehingga hasil pemeriksaan IGRA adalah berdasarkan jumlah IFN-J yang dikeluarkan. saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan IGRA yaitu : ‡ 4XDQWL)(521o7% *ROGLQ7XEH WHVW 4)7*,7 ‡ 76327o.7% Peran IGRA terhadap TB laten ‡ $ODW GLDJQRVLV /7%, EDUX jEHUEDJDL ULVHW XQWXN 7%DNWLI ‡ 7HVVSHVLILN WHUKDGDS0WE reactive T-cells ‡ 7LGDN GLSHQJDUXKL YDNVLQ %&* ‡ /HELK MDUDQJGLSHQJDUXKL ROHKLQIHNVL170 ‡ KDQ\DPHPEXWXKNDQ[NXQMXQJDQ ‡ WLGDN PHQ\HEDENDQ IHQRPHQD ERRVWHU ‡ KDVLO LQWHSUHWDVL WLGDN GLSHQJDUXKL SHUVHSVL SHWXJDV NHVHKDWDQ ‡ KDVLO GLGDSDWNDQ GDODP  MDP ‡ NHWHUEDWDVDQQ\D GDUDK KDUXV GLSURVHV GDODP  MDP VHWHODK GLDPELO ‡ EHOXPEDQ\DNGDWDWHQWDQJ,*5$SDGDDQDNGLEDZDKWDKXQSDVLHQEHNDV TB, orang yang pernah dilakukan pemeriksaan IGRA intepretasi IGRA Pemeriksaan IGRA menggunakan purified antigens m. tuberculosis untukmenstimulasi limfosit darah perifer memproduksi interferon-J (IFN-J). Intepretasi hasil pemeriksaan IGRA berdasarkan jumlah INF-J yang dikeluarkan SDGD4XDQWLIHURQ 4)7 PHQJJXQDNDQ(/,6$VHGDQJNDQSDGDSDGD76327®.7% menghitung jumlah sel yang mengeluarkan INF-J PHQJJXQDNDQ (/,6327 Laboratorium harus melaporkan kedua data kuantitatif dan kualitatif. Intepretasi kualitatif dilaporkan berupa positif, negatif dan intermediate atau borderline. hasil “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



47



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



kuantitatif dilaporkan berupa angka meliputi respons terhadap antigen, nil dan mitogen. hasil kuantitatif ini berguna bagi klinisi untuk menentukan diagnosis dengan dikombinasi hasil anamnesis berupa faktor risiko dan lainnya. Tabel 3. Perbandingan Uji Tuberkulin dengan Uji Pelepasan Interferon-c (IGRA) Karakteristik Performa & Uji Tuberkulin Operasional



IGRA



Perkiraan sensitivitas (pada 75-90% (lebih rendah pada 75-95% (pada pasien pasien dengan TB aktif) pasien immunocompromised) immunocompromised data tidak adekuat, namun menjanjikan) Perkiraan spesifitas (pada populasi sehat yg tidak terpapar ataupun terjangkit penyakit TB)



75-90% (lebih rendah pada 90-100% (tetap sama pada populasi yang telah pasien yang telah mendapat tervaksinasi BCG terutama vaksin BCG) bila vaksin BCG diberikan setelah bayi)



Reaksi silang dengan BCG



Ya



Reaksi silang dengan Ya infeksi non tubercolusis mycobacteria



Cenderung sering Cenderung sering, bukti terbatas



namun



Hubungan antara tes Hubungan positif: sedang - Tidak ada cukup bukti positif dan risiko kuat berikutnya TB aktif selama tindak lanjut Korelasi dengan paparan Ya DLJĐŽďĂĐƚĞƌŝƵŵ ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ



Ya (hubungan erat dengan paparan dibanding dengan uji tuberculin, namun tidak selalu)



Manfaat mengobati hasil Ya uji positif (berdasarkan ƌĂŶĚŽŵŝnjĞĚ ĐŽŶƚƌŽůůĞĚ ƚƌŝĂůƐ)



Tidak ada bukti



Reabilitas



Bukti terbatas, namun cenderung tinggi; tidak ada bukti mengenai variasi subjek saat serial testing



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



Sedang dan bervariasi



“ Novel Management to end TB ”



48



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Karakteristik Performa & Uji Tuberkulin Operasional



IGRA



Fenomena peningkatan



Tidak



Ya



Potensial terjadi konversi Ya dan reverse



Bukti terbatas



Efek samping



Jarang



Jarang



Biaya bahan



Rendah



Sedang – tinggi



Potensial terjadi konversi Ya dan reverse



Bukti terbatas



Efek samping



Jarang



Jarang



Biaya bahan



Rendah



Sedang – tinggi



Jumlah visitasi pasien 1 kali untuk mengikuti tes



2 kali



Wajib menggunakan Tidak infrastruktur lab



Ya



Waktu yang dibutuhkan 2-3 hari untuk mendapatkan hasil



1-2 hari, namun lebih lama bila dilakukan berkelompok



Wajib menggunakan Ya personel terlatih



Ya



Alur diagnosis TB laten Pemeriksaan TB laten tidak dilakukan secara rutin tetapi untuk indiviu berisiko, atau pada pemeriksaan kesehatan khusus seperti pada pemeriksaan kesehatan sekolah atau pekerjaan tertentu. Diagnosis TB laten juga harus menyingkirkan TB aktif untuk menghindari pemberian terapi yang salah. alur prosedur diagnosis seperti pada algoritme seperti di bawah ini. 1. Setiap individu berisiko TB laten dilakukan evaluasi gejala dan tanda TB 2. Bila didapatkan gejala atau tanda TB maka harus dievaluasi diagnosis TB aktif atau penyakit respirasi lain, 3. Bila tidak didapatkan tanda dan gejala TB maka lakukan pemeriksaan untuk TB laten baik uji tuberkulin atau pun IGRA 4. Bila hasil pemeriksaan uji tuberkulin atau IGRA positif , singkirkan kemungkinan TB aktif dengan foto toraks, bila terdapat abnormal,lakukan investigasi penyakit TB, bila hasil foto toraks normal ditetapkan sebagai TB laten dan diberikan pengobatan TB laten sesuai kelompok risiko dan kebijakan setempat.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



49



Terapi TB Laten Terdapat beberapa regimen pengobatan untuk pengobatan TB laten. Pelayanan kesehatan sebaiknya memilih regimen pengobatan yang tepat berdasarkan : x x x



Hasil uji kepekaan obat kasus indeks (sumber penularan, jika diketahui) Penyakit lain yang menyertai Kemungkinan adanya interaksi obat



Pilihan pengobatan TB laten Beberapa pilihan pengobatan yang direkomendasikan untuk pengobatan TB laten, yaitu: x Isoniazid selama 6 bulan x Isoniazid selama 9 bulan x Isoniazid dan Rifampetine (RPT) sekali seminggu selama 3 bulan x 3-4 bulan Isoniazid dan Rifampisin x 3-4 bulan Rifampisin



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



50



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Keterangan : Hasil keputusan panel menunjukkan hasil pegobatan TB laten dengan INH 6 bulan atau 9 bulan, regimen RPT dan INH selama 3 bulan memiliki kesamaan hasil. Panel tersebut tidak menetapkan regimen yang digunakan karena terdapat persamaan hasil pengobatan INH-R selama 3-4 bulan dan R selama 3-4 bulan sebagai pilihan alternatif terhadap INH 6 bulan. Berdasarkan hal di atas dan kondisi di Indonesia dengan beban TB tinggi dan ketersediaan obat maka direkomendasikan terapi yang diberikan untuk TB laten adalah INH selama 6 bulan. Untuk pasien dengan risiko tinggi untuk terjadi penyakit TB aktif, pasien yang dicurigai kemungkinan tidak patuh atau yang diberikan dosis intermiten sebaiknya dipikirkan untuk dilakukan pengawasan minum obat secara langsung (DOT). Tabel 4. Pemilihan regimen pengobatan TB laten yang efektif KďĂƚ



>ĂŵĂ



ŽƐŝƐ



&ƌĞŬƵĞŶƐŝ



ŽƐŝƐƚŽƚĂů



9 bulan



Dewasa: 5 mg/Kg Anak: 10-20 mg/Kg Dosis maksimal: 300 mg Dewasa: 15 mg/Kg Anak: 20-40 mg/Kg Dosis maksimal: 900 mg Dewasa: 5 mg/Kg Anak: tidak direkomendasikan Dosis maksimal: 900 mg Dewasa: 15 mg/Kg Anak: tidak direkomendasikan Dosis maksimal: 900 mg ĞǁĂƐĂĚĂŶĂŶĂŬƵƐŝĂшϭϮƚĂŚƵŶ͗ INH: dapat dibulatkan sampai dengan hampir 50 mg atau 100 mg, maksimum 900 mg: 15 mg/Kg RPT: 10.0 – 14.0 kg: 300 mg 14.1 – 25.0 kg: 450 mg 25.1 – 32.0 kg: 600 mg 32.1 -49.9 Kg: 750 mg шϱϬ͘ϬŬŐ͗ŵĂŬƐϵϬϬŵŐ Dewasa: 10 mh/Kg Dosis maksimal: 600 mg



Tiap hari



270



6 bulan



Isoniazid (INH)



3 bulan



Isoniazid (INH) dan Rifapentine (RPT)



Rifampisin (R)



“ Novel Management to end TB ”



Dua kali 76 seminggu Tiap hari



180



Dua kali seminggu Satu kali 12 seminggu



Tiap hari



120



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



51



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Evaluasi sebelum pemberian terapi Evaluasi sebelum pemberian profilaksis harus dilakukan pada pasien yang akan mendapatkan obat untuk menjamin kepatuhan dan keamanan pengobatan. Evaluasi ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan edukasi tentang manfaat terapi ITBL bagi individu dan kesehatan masyarakat dalam pencegahan TB, pentingnya kepatuhan dalam pengobatan dan kemungkinan terjadi efek samping termasuk interaksi obat dan apa yang harus dilakukan selama pengobatan. Sebelum pengobatan harus diperhatikan hal–hal seperti kesanggupan pasien, interaksi obat, kontak dengan 0XOWL 'UXJ 5HVLVWHQ (MDR), faktor risiko sesuai obat, dan dokumentasi. Evaluasi selama pemberian obat profilaksis Setiap pasien yang memulai pengobatan pencegahan harus mendapat edukasi yang cukup tentang dosis, efek samping, dan kapan obat dihentikan. Hentikan pengobatan sesegera mungkin dan datang ke dokter jika terdapat tanda anoreksia, muntah, LNWHULN, ruam, SDUHVWKHVLD, kelelahan yang lama, nyeri abdomen, lebam, DUWKUDOJLD. Pemeriksaan SGOT dan SGPT disarankan untuk pasien riwayat kelainan hati, penyakit hati kronik, Alkohol, HIV, hamil, usia lanjut dengan pengobatan lain.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Tatalaksana Infeksi TB Laten. Jakarta.2016



2.



World Health Organization. Guidelines on the Management of Latent Tuberuclosis Infection. Geneva 2015



3.



Center for Disease Control and Prevention.Latent Tuberculosis Infection:A Guide for Primary Health Care Providers.2013



4.



Druszczynka M,Kowalewicz-kulbat M, Fol M, Wlodarczyk M, Rudnicka W. Latent M. Tuberculosis infection- Pathogenesis, diagnosis, treatment and prevention strategies. Polish Journal of Microbiology 2012;61:3-10.



5.



Ai JW, Ruan QL, Liu QH, Zhang WH. Updates on the risk factors for latent tuberculosis reactivation and their managements. Emerging Microbes and Infections. 2016; 5: 1-8. --- oOo ---



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



ROLE OF IGRA IN TB CONTROL -XVWLQXV)UDQV3DOLOLQJDQ 3'3,-DZD7LPXU



PENDAHULUAN 6HFDUD JOREDO WXEHUNXORVLV 7% EHUODQMXW PHQMDGL PDVDODK NHVHKDWDQ PDV\DUDNDW \DQJ PHQJDQFDP %HUGDVDUNDQ GDWD ODSRUDQ :+2 WDKXQ  WHUGDSDWPLO\DUSHQGXGXN GXQLDWHODK WHULQIHNVLWXEHUFXORVLV 7% GHQJDQ   MXWD SHQGXGXN GXQLD PHQGHULWD 7% VHUWD  MXWD SHQGHULWD 7% PHQLQJJDO VHWLDSWDKXQ,QGRQHVLDWHUPDVXNQHJDUDGHQJDQEHEDQ7%\DQJWHUWLQJJLNHGXD VHWHODK ,QGLDPHODPSDXL &KLQD 3'3, 3DGD NHEDQ\DNDQ LQGLYLGXLQIHNVL 0WXEHUFXORVLVDZDOQ\DGLHOLPLQDVLDWDXGDSDWGLNHQGDOLNDQROHKVLVWHPSHUWDKDQDQ WXEXK GDQ LQIHNVL PHQMDGL EHQWXN ODWHQ :DODXSXQ EHQWXN ODWHQ DWDX DNWLI VLPWRPDWLN LQIHNVLXV  SHQ\DNLW 7% PHUXSDNDQ EDJLDQ VXDWX VSHNWUXP \DQJ GLQDPLV 6HVHRUDQJ GHQJDQ LQIHNVL 7% ODWHQ /7%,  VHFDUD NODVLN GLDQJJDS DVLPWRPDWLNGDQWLGDNLQIHNVLXV:DODXSXQGHPLNLDQNXPDQ7%ODWHQWHWDSKLGXS GDQ NHPXGLDQ GDSDW PHQMDGL UHDNWLI XQWXN PHQ\HEDENDQ SHQ\DNLW 7% 'DSDW GLSDVWLNDQ GL ,QGRQHVLD WHUGDSDW MXPODK /7%, \DQJ FXNXS WLQJJL ,GHQWLILNDVL GDQ SHQJREDWDQ /7%, GDSDW PHQXUXQNDQ ULVLNR EHUNHPEDQJQ\D PHQMDGL SHQ\DNLW 7% DNWLI GDQ SHQWLQJ XQWXN VWUDWHJL SHQJHQGDOLDQ 7% =XPOD  *HWDKXQ   TES UNTUK INFEKSI TB LATEN 7HVXQWXN/7%,GLSHUOXNDQXQWXNLGHQWLILNDVLVHVHRUDQJ\DQJPHPSXQ\DLULVLNR WLQJJL XQWXN PHQMDGL SHQ\DNLW 7% DNWLI GDQ \DQJ DNDQ EHUPDQIDDW DSDELOD PHQGDSDWSHQJREDWDQXQWXN/7%, MXJDGLVHEXWWHUDSLSUHYHQWLIDWDXSURILODNVLV  -DGL KDQ\D SDGD PHUHND \DQJ DNDQ PHQGDSDW NHXQWXQJDQ GDUL SHQJREDWDQ \DQJ DNDQ GLWHV 6KDUPD   7HV XQWXN /7%, GLSHUOXNDQ DSDELOD ULVLNR XQWXN SHQJHPEDQJDQ PHQMDGL SHQ\DNLW7%DNWLIGDUL LQIHNVLODWHQPHQLQJNDWWHUPDVXN LQIHNVLEDUX NRQWDN HUDW VHVHRUDQJ GHQJDQ SDVLHQ 7%  DWDX PHQXUXQQ\D NHPDPSXDQ XQWXN PHQDKDQ LQIHNVL ODWHQ DNLEDW LPXQRVXSUHVL NDVXV DQDN \DQJ NRQWDN GHQJDQ SDVLHQ 7% DNWLILQIHNVLGHQJDQKXPDQLPPXQRGHILFLHQF\YLUXV +,9 DWDXLPXQRVXSUHVLDNLEDW SHQJREDWDQ DWDX SHQ\DNLW VHSHUWL GLDEHWHV \DQJ EHOXP WHUHJXODVL EDLN  6HEDOLNQ\D VNULQLQJ XQWXN /7%, SDGD VHVHRUDQJ DWDX NHORPSRN \DQJ VHKDW GDQ EHULVLNRUHQGDKXQWXNSURJUHVLIPHQMDGLSHQ\DNLWDNWLIWLGDNODKWHSDWNDUHQDQLODL SUHGLNWLI SRVLWLI WHV 7% \DQJ UHQGDK GDQ ULVLNR XQWXN SHQJREDWDQ OHELK EDQ\DN GDULNHXQWXQJDQQ\D%DODQVDQWDUDULVLNRGDQNHXQWXQJDQMXJDEHUEHGDGLWHPSDW GHQJDQ EHEDQ WLQJJL ULVLNR XQWXN UHLQIHNVL \DQJ WLQJJL GDQ VNULQLQJ XQWXN /7%, PHPSXQ\DL QLODL SUHGLNWLI QHJDWLI UHQGDK +RUYDW  



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



53



Tidak ada standar emas untuk LTBI, dan semua tes yang ada adalah cara tidak langsung untuk menunjukkan adanya bukti sensitisasi respons imunologi terhadap antigen TB. Ada dua tes yang walaupun tidak sempurna tetapi dapat diterima untuk identifikasi LTBI: the tuberculin skin test (TST) dan the gamma interferon (IFNJ) release assay (IGRA). Kedua tes tergantung pada imunitas seluler (respons sel-T memori), dan kedua tes tidak dapat secara akurat membedakan antara LTBI dan penyakit TB aktif (Pai, 2014). 7(6 78%(5.8/,1 767 TST telah dipergunakan selama lebih dari 100 tahun dan dikembangkan oleh Charles Mantoux pada tahun 1908. Tes tersebut dibuat berdasarkan hasil kerja dari Robert Koch. TST (dikenal dengan nama tes Mantoux) dilakukan dengan menyuntikkan secara intradermal 5 unit tuberculin (TU) PPD-S purified protein derivative (PPD) atau 2TU PPD RT23 (dianggap ekivalen). Pada seorang yang mempunyai sel imunitas seluler terhadap antigen tuberkulin, suatu reaksi hipersensitif tipe lambat akan terjadi dalam 48-72 jam. Reaksi akan menimbulkan indurasi lokal di kulit di lokasi penyuntikan. Diukur diameter transversal (dalam milimeter pada indurasi) oleh petugas terlatih. Penting untuk diketahui bahwa imunitas seluler terhadap antigen tuberkulin dapat mencerminkan paparan terhadap antigen yang mirip dari mikobakteri lingkungan non-tuberculous mycobacteroium (NTM) atau vaksinasi dengan basil Mycobacterium bovis Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi sebelumnya yang telah membaik (dengan mekanisme imunologi atau dengan pengobatan) (Horvat, 2015). Dalam hal interpretasi TST yang positif, penting untuk mempertimbangkan lebih banyak daripada hanya mengukur besarnya indurasi. Perlu dipertimbangkan indurasi TST pada tiga dimensi (besarnya indurasi pada tes sekarang dan juga hubungannya dengan hasil tes sebelumnya apabila pernah dikerjakan), pretes kemungkinan adanya infeksi dan risiko penyakit apabila memang terkena infeksi. Menzies dan kawan mengembangkan suatu algoritma interaktif yang sederhana Web-based – the Online TST/IGRA Interpreter (version 3.0 www.tstin3d.com)- yang menggabungkan semua dimensi dan juga menghitung risiko yang serius akibat reaksi pengobatan. TST mempunyai beberapa kekurangan, dapat terjadi reaksi positif palsu dan negatif palsu. Ada dua penyebab penting pada positif palsu yaitu infeksi dengan NTM dan setelah vaksinasi BCG. NTM tidak begitu penting secara klinis sebagai penyebab hasil TST positif palsu, kecuali pada penduduk dengan prevalensi yang tinggi NTM dan prevalensi infeksi TB yang rendah. Pengaruh BCG pada spesifisiti TST tergantung pada kapan BCG diberikan dan berapa dosisnya. Apabila BCG diberikan pada waktu kelahiran (atau pada waktu bayi) dan tidak diulang, pengaruh spesifisiti TST minimal dan dapat diabaikan pada interpretasi hasil. Sebaliknya apabila BCG diberikan setelah masa bayi (misalnya waktu masuk sekolah) dan atau diberikan beberapa kali (efek buster), spesifiti TST akan menjadi masalah (Menzies, 2008).



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



54



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Hasil negatif palsu terjadi sebagai akibat sensitiviti terbatas terutama pada beberapa kelompok pasien (imunosupresi, akibat kondisi medis, seperti pada penyakit TB aktif, infeksi HIV atau malnutrisi, atau pemberian obat imunosupresif atau akibat penyebab sumber preanalitik atau analitik dari tes variabiliti (penyimpanan atau cara penyuntikan tuberkulin yang tidak benar atau interpretasi hasil tes yang salah). Tidak beruntung, bahwa individu dengan TST yang sensitivitinya kurang, sering berisiko tinggi untuk progesif menjadi penyakit TB aktif apabila terinfeksi. Anergi yang diakibatkan oleh TB aktif sendiri dapat menyebabkan hasil tes TST yang negative (Horvat, 2015; Auguste, 2016). TST juga diketahui mempunyai masalah dengan reprodusibiliti, dengan variabiliti pada si pembaca sendiri dan antar beberapa pembaca dalam mengukur besarnya indurasi. Interpretasi tes yang diulang dipersulit oleh beberapa hal, adanya mekanisme UHFDOO imunologi hipersensitiviti pada TB (reaksi buster), reaksi konversi yaitu hasil TST dari negatif menjadi positif (infeksi baru), dan reversi (hasil positif menjadi negatif) (Menzies, 2008). PRINSIP ASAI IGRA Dua macam IGRA tersedia di banyak Negara, asai 4XDQWL)(5217%*ROG,Q 7XEH (QFT) (Cellestis/Qiagen, Carnegie, Australia) dan asai T-SPOT.TB (Oxford Immunotec, Abingdon, United Kingdom). Kedua tes telah disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) dan Health Canada dan CE (Conformite Europeenne) untuk digunakan di Eropa (Pai, 2014). Tes IGRA merupakan tes darah LQYLWUR dari respons imunitas seluler, diukur pelepasan IFNJ dari sel T setelah stimulasi dengan antigen spesifik pada 0 WXEHUFXORVLVFRPSOH[ (dengan pengecualian subgalur BCG), menggunakan peptida dari antigen UHJLRQ RI GLIIHUHQFH  (RD1) yaitu HDUO\ VHFUHWHG DQWLJHQ WDUJHW  ESAT-6 dan FXOWXUH ILOWUDWH SURWHLQ CFP-10 dan juga peptida dari satu antigen tambahan (TB7.7(Rv2654c), yang bukan termasuk antigen RD1 di dalam format tabung. Sampel dari darah pasien langsung dimasukkan dalam satu set dari tiga tabung. Tabung pertama sebagai kontrol yang tidak mengandung antigen TB atau mitogen. Tabung kedua mengandung ketiga macam antigen spesifik 0 WXEHUFXORVLV. Tabung ketiga mengandung bahan mitogen SK\WRKHPDJJOXWLQLQ (PHA). Selama inkubasi sel T memberi respons terhadap antigen TB dengan memproduksi IFNJ. Hasilnya dilaporkan sebagai jumlah IFNJ dalam unit internasional (IU) per mililiter. Seseorang dikatakan positif untuk infeksi 0 WXEHUFXORVLV apabila respons IFNJ terhadap antigen TB diatas FXWRII tes (setelah substraksi respons EDFNJURXQG IFNJ dari kontrol negatif). Hasil IGRA indeterminate dapat terjadi akibat respons IFNJ yang rendah terhadap kontrol positif (mitogen) atau respons dengan EDFNJURXQG tinggi terhadap kontrol negative (Lalvani, 2010; Campbell, 2015). Antigen tersebut cukup spesifik dibanding PPD untuk 0WXEHUFXORVLV karena tidak dienkode di dalam genom dari galur vaksin BCG atau spesies NTM umumnya, selain dari 0 PDULQXP, 0 NDQVDVLL, 0 ]XOJDL, dan 0 IODYHVFHQV.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



55



Walaupun demikian, tidak semua NTM telah diteliti untuk reaksi silang. Terdapat bukti adanya reaksi silang antara ESAT-6 dan CFP-10 dari 0WXEHUFXORVLV dan 0 OHSUDH, tetapi signifikansi klinis dari masalah ini di tempat dengan penyakit lepra dan TB secara endemis (India dan Brasilia) belum banyak diteliti. Asai T-SPOT.TB adalah asai HQ]\PHOLQNHG LPPXQRVRUEHQW VSRW (ELISPOT) dilakukan pada sel darah SHULSKHUDO EORRG PRQRQXFOHDU FHOOV (PBMCs) yang diinkubasi dengan dua antigen spesifik TB yaitu peptida ESAT-6 dan CFP-10. Asai ini membutuhkan pemisahan PBMC dari darah pasien dan jumlahnya sel dihitung sebelum tes dilaksanakan. Hasilnya dilaporkan sebagai jumlah sel T yang memproduksi IFNJ (VSRWIRUPLQJFHOOV). Seseorang dikatakan postif untuk infeksi 0 WXEHUFXORVLV apabila jumlahnya spot enam atau lebih di ZHOOV antigen TB (setelah dikurangi EDFNJURXQG dari well antigen TB). Tes dikatakan negatif apabila hanya terdapat lima atau kurang (setelah pengurangan EDFNJURXQG pada well antigen) (Horvat, 2015). DUGAAN PENYAKIT TB AKTIF Tiga reviu sistemik menilai kemampuan IGRA untuk mendiagnosis penyakit TB pada orang dewasa termasuk TB ekstrapulmonal dengan kesimpulan yang konsisten, bahwa penyakit TB aktif tidak dapat diinklusi atau dieksklusi menggunakan pemeriksaan IGRA. Disebabkan karena IGRA (seperti TST) mempunyai sensitivity yang suboptimal untuk penyakit TB aktif, terutama pada pasien HIV, hasil negatif tidak dapat mengesampingkan adanya TB aktif. Tes IGRA juga tidak dapat membedakan antara LTBI dan TB aktif, sehingga spesifisiti diagnosis TB selalu lemah (kurang) di negara dengan beban TB yang besar (Metcalfe, 2011; Sester, 2011). Metcalfe dan kawan melakukan meta-analisis untuk menilai pemeriksaan QFT dan T-SPOT.TB pada orang dewasa dengan penyakit TB paru aktif yang diduga atau yang pasti, di negara dengan penghasilan rendah atau sedang. Pada pasien HIV, sensitiviti T-SPOT.TB sebesar 76% (95% confidence interval (CI), 45%-92%), untuk pemeriksaan QFT 60% (95% confidence interval (CI), 34%-82%). Spesifisiti untuk kedua jenis IGRA rendah pada semua partisipan, untuk T-SPOT.TB sebesar 61% (95%CI, 40%-79%) dan untuk QFT 52% (95% CI, 41%-62%). Pada pasien HIV untuk pemeriksaan T-SPOT.TB spesifisiti sebesar 52% (95% CI, 40%-63%) sedangkan untuk pemeriksaan QFT 52% (95\CI, 35%-65%). Tidak ada bukti konsisten bahwa IGRA lebih sensitif daripada TST untuk diagnosis TB aktif di negara berpenghasilan rendah dan sedang. Penelitian ini menjadi dasar kebijakan WHO 2011 untuk penggunaan IGRA di negara berpenghasilan rendah dan sedang, yang menyatakan bahwa untuk diagnosis penyakit TB aktif tidak menggunakan IGRA dan TST (Metcalfe, 2011). Fan dan kawan dalam ringkasannya untuk performa IGRA pada diagnosis TB ekstrapulmonal, mendapatkan bahwa IGRA dan TST mempunyai spesifisiti rendah dalam membedakan TB dari LTBI, terutama di negara berpenghasilan rendah (Fan, 2012).



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



56



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Beberapa penelitian telah menilai meningkatnya nilai IGRA pada algoritmik untuk diagnosis penyakit TB aktif. Dengan kata lain, pertimbangan pada faktor risiko konvensional, termasuk gejala, keluhan dan penemuan kelainan pada foto toraks, apakah IGRA memperbaiki risiko stratifikasi pada suspek TB secara individu ? Sebagaimana dengan TST, beberapa penelitian ini menentukan bahwa terdapat keterbatasan nilai tambahan untuk orang dewasa pada kondisi insidens TB yang rendah atau tinggi (Pai, 2014; Yan, 2015; Huo, 2016). PASIEN HIV Tiga reviu sistemik meringkaskan performa IGRA pada populasi HIV, dengan kesimpulan hasilnya sedang. Cattamanchi dan kawan menunjukkan bahwa pada pasien HIV dengan TB aktif, perkiraan sensitiviti di negara berpenghasilan rendah sampai sedang adalah heterogen, yang lebih tinggi untuk asai T-SPOT.TB (72%; 95% CI, 62-81%) daripada untuk asai QFT (61%;95% CI, 47-75%). Walaupun demikian, IGRA bila dibandingkan dengan TST secara konsisten tidak lebih sensitif. IGRA terutama asai T-SPOT.TB, mungkin kurang dipengaruhi oleh derajat imunosupresi, tetapi hasilnya berbeda antar letak geografis (Cattamanchi, 2011). Pada meta-analisis lainnya, Santin dan kawan menganalisis pengaruh dari HIV pada derajat hasil IGRA yang indeterminate. Diperkirakan proporsi pool indeterminate untuk pasien HIV adalah 8,2% untuk asai QFT dan 5,9% untuk asai T-SPOT.TB. Proporsi indeterminate lebih tinggi pada tempat dengan KLJKEXUGHQ (12,0% untuk asai QFT dan 7,7% untuk asai T-SPOT.TB) daripada di tempat dengan ORZ EXUGHQ atau intermediet (3,9% untuk asai QFT and 4,3% untuk asai T.SPOTTB). Proporsi juga lebih tinggi pada pasien dengan CD4+ 200 (3,1% untuk asai QFT dan 7,9% untuk asai T.SPOT-TB) (Santin, 2012). Jadi, hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa performa IGRA sama dengan TST untuk identifikasi dugaan LTBI pada pasien HIV. Kedua TST dan IGRA mempunyai sensitiviti suboptimal untuk TB aktif, sehingga disarankan untuk menggunakan kedua macam tes, terutama pada pasien dengan imunsupresi yang berat (Pai, 2014; Ai, 2016). IMID (Immune-mediated Inflammatory Diseases) Skrining TB pada pasien dengan IMID sebelum terapi dengan obat biologik imunomodulasi (umpama tumor necrosis factor alpha (TNF-a) inhibitor) telah banyak dilakukan. Walaupun demikian, metode skrining dan algoritmenya masih tetap kontroversi. Winthrop dan kawan, dan Smith dan kawan, mereviu performa IGRA pada pasien IMID. Penilaiannya masih terbatas, karena penelitian umumnya jumlah pasiennya sedikit dan bervariasi tergantung obat imunosupresif yang digunakan dan macam pasien dengan IMID. Saat ini belum ada bukti yang jelas bahwa IGRA lebih baik daripada TST untuk identifikasi pasien dengan IMID. Saat ini, belum ada penelitian yang telah dilakukan pada nilai prediktitif IGRA untuk pasien dengan IMID (Winthrop, 2012; Shim, 2014).



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



57



Shahidi dan kawan mengevaluasi pada pasien dengan LQIODPPDWRU\ ERZHO GLVHDVH pengaruh terapi imunosupresif pada proporsi hasil indeterminate dan hasil IGRA dan TST yang positif. Hasil indeterminate sebesar 5% untuk asai QFT, dengan asai T.SPOT-TB menunjukkan hasil yang sama. Kedua hasil positif QFT (pooled odds ratio (OR) = 0,37; 95% CI, 0,16-0,87) dan hasil positif TST (pooled OR = 0,28; 95%, 0,10-0,80) secara signifikan dipengaruhi oleh terapi imunosupresif (P = 0,02 untuk keduanya) (Pai, 2014). Pada penelitian prospektif dan longitudinal, Chang dan kawan melaporkan perbandingan skrining asai TST dan LTBI pada 107 pasien Korea dengan artritis rematik (n=61) atau spondilitis ankilosing (n=46) yang memulai terapi dengan antagonis TNF-a. Hasil QFT adalah indeterminate untuk 7 (6,5%) pasien. Sisanya 100 pasien, hasil QFT dan TST bertentangan untuk 33 pasien (33%), termasuk 16 dengan hasil QFT negatif dan TFT positif dan 17 pasien dengan hasil QFT posiitf dan TST negatif. Tidak ada pasien yang berkembang menjadi penyakit TB aktif selama terapi 18 bulan dengan antagonis TNF, termasuk 16 pasien dengan hasil TST positif tetapi QFT negatif yang tidak mendapat terapi untuk LTBI. Walaupun Chang dan kawan menyimpulkan bahwa skrining dengan asai QFT cukup memadai untuk pasien sebelum mendapat terapi dengan antagonis TNF di daerah dengan prevalensi TB yang moderat atau tinggi, atau pasien dengan faktor risiko TB, terdapat bukti bahwa strategi tes ganda TST dan IGRA memperbaiki sensitivity (Chang, 2011). DIALISIS UNTUK END-STAGED RENAL DISEASE Uremia berhubungan dengan gangguan imunitas. Pasien dengan gagal ginjal kronik, baik yang menjalani hemodialisis ataupun tidak, mempunyai risiko tinggi untuk reaktivasi dari TB laten, diperkirakan 2,4 kali lebih tinggi dari risiko pada orang sehat. Lebih jauh, pasien dialisis sering menunjukkan anergi pada tes kulit, menegaskan kebutuhan tes yang lebih baik untuk diagnosis LTBI. Menarik adalah bahwa data saat ini menunjukkan pada pasien dialisis untuk penyakit ginjal HQGVWDJH, QFT-GIT lebih sensitif untuk diagnosis LTBI daripada TST, dan mungkin juga T-SPOT.TB. Dua penelitian pada pasien hemodialisis, dilakukan tes TST, QFT-GIT dan T-SPOT.TB. Hanya QFT_GIT saja yang secara signifikan berasosiasi dengan faktor risiko klinis untuk LTBI. Penelitian lainnya mengkonfirmasi bahwa QFT-GIT yang positif berasosiasi dengan faktor risiko untuk TB, sedangkan TST yang positif berasosiasi hanya dengan riwayat vaksinasi BCG, mendukung adanya sensitiviti yang lebih superior dan spesifik daripada QFT-GIT melebihi TST pada populasi ini. Hanya ada satu penelitian mendapatkan TSPOT.TB berkorelasi dengan faktor risiko untuk LTBI untuk T-SPOT.TB (Chung, 2010) Kesesuaian antara berbagai asai sama dengan pada populasi imunokompromis. Penelitian menunjukkan kesesuaian yang lemah sampai moderat untuk QFT-GIT terhadap TST, dan kesesuaian yang kurang sampai sedang untuk T-SPOT.TB terhadap TST. Hasil indeterminate juga sama pada mereka di populasi lainnya, tipikal sekitar 5% untuk kedua tes. Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



58



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Suatu reviu sistemik mengevaluasi 30 penelitian dibanding IGRA dengan TST pada pasien penyakit ginjal HQGVWDJH. Disimpulkan bahwa asai QuantiFERON lebih kuat berasosiasi dengan faktor risiko klinis untuk TB dibanding TST. Asai TSPOT.TB secara signifikan tidak berbeda dengan TST sehubungan dengan asosiasi dengan risiko faktor klinis (Grant, 2012; Pai, 2014). Faktor risiko untuk QFT-GIT yang hasilnya indeterminate pada pasien dialisis dievaluasi pada suatu penelitian, sebanyak 20 dari 427 (4,7%) pasiennya memberi hasil QFT-GIT indeterminate. Prediktor hasil indeterminate adalah hemodialisis (bertentangan dengan dialisis peritoneal), lamanya waktu mendapat dialisis, anemia dan hipoalbuninemia (Shu, 2012), Tes serial dengan QFT-GIT dan T-SPOT.TB pada pasien dialisis dievaluasi di Korea. Konversi yang awalnya negatif terjadi pada 17 dari 55 (30%) pasien yang dites dengan QFT-GIT dan pada 12 dari 41 (29%) yang dites dengan T-SPOT.TB. Reversi dari yang sebelumnya positif terjadi pada 9 dari 43 (20%) pada mereka yang dites dengan QFT-GIT dan pada 17 dari 57 (29%) yang dites dengan T.SPOTTB. Data yang ada mengesankan bahwa pada pasien hemodialisis yang dites dengan QFT-GIT lebih sensitif daripada TST, dan perlu dipertimbangkan untuk digunakan pada pasien hemodialysis (Chung, 2010). PASIEN IMUNOKOMPROMIS LAINNYA, KEGANASAN DAN TRANSPLAN Beberapa pasien TB imunokompromis mempunyai risiko untuk menjadi reaktif. Pada pasien dengan keganasan, keganasan hematologi, atau kanker kepala dan leher risikonya meningkat untuk menjadi TB aktif dibanding dengan masyarakat umumnya. Kelompok lainnya adalah resipien transplan organ solid, yang risikonya meningkat 20-74 kali lipat daripada populasi umumnya (Munoz, 2005; Kamboj, 2006). Data terbatas untuk menggunakan QFT-GIT dan/atau T-SPOT.TB pada populasi ini. Hanya ada dua penelitian yang mengevaluasi IGRA pada pasien hematologi. Satu penelitian menganjurkan bahwa T-SPOT.TB lebih sensitif daripada TST pada keadaan dengan leukopenia, yang mungkin berhubungan dengan TST dengan faktor risiko klinis untuk LTBI. Pada penelitian pasien resipien transplan sel punca (VWHP FHOOV) di Korea Selatan (autolog 41% dan transplan allogeneic 59%) menunjukkan kesesuaian yang lemah antara TST dengan QFT-GIT pada populasi ini, selama follow-up rerata 0,8 tahun. Dua pasien menjadi TB aktif, yang satu positif dengan QFT-GIT dan yang keduanya negatif dengan TST (Moon, 2013). Beberapa penelitian telah mengevaluasi IGRA pada berbagai populasi pasien resipien atau calon transplan organ solid. Satu penelitian mengevaluasi calon untuk transplan hati dengan TST dan QFT-GIT, tidak berasosiasi dengan faktor risiko klinis untuk LTBI. Penelitian menggunakan skoring 0RGHO IRU (QG6WDJH /LYHU'LVHDVH (MELD) berasosiasi dengan TST yang negatif, tetapi tidak signifikan mempengaruhi QFT-GIT, mengesankan bahwa sensitiviti QFT-GIT mungkin lebih dipertahankan pada penyakit hati yang lanjut. Pada penelitian lainnya, resipien transplan ginjal di tes dengan T-SPOT.TB dan TST dan dimonitor secara longitudinal. Beberapa pasien dengan TST hasilnya negatif tetapi positif dengan “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



59



T-SPOT.TB kemudian menjadi penyakit TB aktif, mengesankan bahwa T-SPOT.TB mungkin ada peranannya, sebagai tambahan atau pengganti TST untuk diagnosis LTBI pada populasi ini. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa QFT-TB dan bukannya TST yang berkorelasi deangan faktor risiko klinis untuk LTBI pada calon transplan ginjal. Penelitian pada calon transplan organ solid yang semuanya dites dengan QuantiFERON GOLD atau QFT-GIT. Pada penelitian ini IGRA berkorelasi positif dengan adanya faktor risiko klinis untuk LTBI. Menarik adalah bahwa lebih dari 40% calon transplan hati mempunyai hasil indeterminate, dibanding dengan hanya 10% calon transplan ginjal. Hasil indeterminate kesemuanya disebabkan hasil negatif pada kontrol positif (Theodoropoulos, 2012). Sehubungan dengan kurangnya data, dan kesulitan untuk membuat rekomendasi yang pasti pada penggunaan IGRA untuk mendiagnosis LTBI pada populasi ini. TST tetap merupakan tes terbaik yang diteliti pada populasi ini, kami menyarankan bahwa tes ini merupakan tes terpilih sambil menunggu data lainnya (Redelman-Sidi, 2013). HCW dan Testing Serial Tes serial untuk LTBI merupakan indikasi untuk populasi di tempat dengan risiko tinggi, seperti petugas kesehatan (health care workers - HCW) dan petugas penjara. Tujuan dari testing serial untuk identifikasi infeksi TB yang baru dan mentarget individu dengan infeksi baru (yang berisiko penyakit menjadi progresif) untuk diberi terapi preventif (Nasreen, 2016). Zwerling dan kawan mendapatkan bahwa di tempat dengan insidens TB yang rendah dan moderat, prevalens IGRA yang positif (FURVVVHFWLRQDO) pada HCW lebih rendah secara signifikan daripada hasil TST yang positif. Walaupun demikian, pada tempat dengan insidens tinggi, tidak terdapat perbedaan konsisten pada prevalensi yang hasilnya positif. Hasil IGRA menunjukkan korelasi yang baik dengan faktor risiko kerja terpapar TB di tempat dengan insidens rendah dan moderat. Jadi menggunakan IGRA daripada TST untuk skrining satu kali mungkin menghasilkan prevalensi tes positif yang lebih rendah dan lebih sedikit petugas kesehatan yang membutuhkan terapi LTBI, terutama di tempat dengan insidens TB yang rendah (Zwerling, 2012). Apabila FXWRII sederhana negatif/positif digunakan untuk tes serial, masalah dapat timbul dari hasil konversi dan reversi yang tinggi, dan spesifisiti tinggi dari IGRA daripada TST harus dibalans terhadap probabiliti tinggi dari konversi positifpalsu setelah awalnya hasil tes negatif. Hasil tersebut dari penelitian rumah sakit di Amerika yang mulai menerapkan tes IGRA untuk skrining karyawan setelah menggunakan pedoman CDC 2005, yang merekomendasi bahwa perubahan dari hasil IGRA negatif menjadi positif (menggunakan FXWRII diagnostik IFNJ ³0,35IU/ ml) dapat diobati sebagai konversi. Peneltian ini telah melaporkan konversi dan reversi IGRA yang tinggi, suatu fenomena yang juga dijumpai di penelitian lainnya di tempat insidens TB yang rendah (Pai, 2014).



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



60



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Suatu penelitian HCW yang dilaksanakan oleh &'&·V7%(SLGHPLRORJLF6WXGLHV &RQVRUWLXP (TBESC) pada 2563 HCW yang menjalani skrining TB di 4 rumah sakit di tes setiap 6 bulan, dengan TST, QFT dan asai T-SPOT.TB. P.oporsi partisipan dengan tes konversi selama penelitian adalah 138/2263 (6,1%0 partisipan untuk asai QFT, 177/2137 (8,3%) partisipan untuk asai T-SPOT.TB dan 21/2293 (0,9%) partisipan untuk TST. Penelitian ini juga mendapatkan reversi yang sangat tinggi pada HCW dengan hasil QFT dan T-SPOT.TB positif (Dorman, 2013). Pada penelitian lebih dari 9000 petugas kesehatan di Stanford University Medical Center, sebanyak 4,4% yang awalnya hasil QFT negatif mengalami konversi setelah 2 tahun, yang lebih tinggi daripada konversi TST 0,45%. Hal yang sama, konversi QFT sebesar 5,3% dilaporkan dari rumah sakit Kanada, sedangkan dengan TST tidak ada konversi pada kohort yang sama. Pada Central Arkansas Veterans Healthcare System, konversi QFT ditemukan 30 X lebih tinggi dari konversi dasar TFT sebelum menggunakan QFT (Pai, 2014). Beberapa hasil konversi IGRA yang tinggi ini tidak sesuai dengan insidens TB yang rendah di Amerika dan Kanada, berdasarkan konversi TST yang rendah dibawah 1% di banyak rumah sakit. Untuk mengatasi masalah ini, institusi pemelihara kesehatan mulai menggunakan FXWRII yang lebih ketat atau ulangan tes untuk eliminasi konversi positif-palsu, dan beberapa institusi telah kembali menggunakan serial TST (Joshi, 2012). IGRA juga mempunyai nilai reversi yang tinggi pada beberapa penelitian, berkisar antara 20-60%, dan hal ini terjadi walaupun tanpa terapi LTBI. Umumnya reversi IGRA lebih banyak terjadi pada mereka dengan nilai IFNJ (atau VSRW FRXQWV) sedikit diatas ambang batas diagnostik (zona ERUGHUOLQH), tidak tergantung pada pemberian terapi LTBI. Reversi juga diamati pada keadaan dengan respons IGRA yang awalnya positif kuat. Apabila tes diulang lebih sering pada individu yang sama, akan nampak pola atau fenotipe yang lebih kompleks, termasuk konversi yang stabil maupun tidak stabil (WUDQVLHQW), ada yang menunjukkan hasil persisten positif (hasil positif ORQJ WHUP) dan persisten negatif (negatif ORQJWHUP) dan lintasan lainnya yang lebih kompleks. Data longitudinal untuk prognosis fenotipe masih terbatas, dan tidak jelas apakah setiap subgroup harus mendapat terapi preventif. Pada beberapa reviu, IGRA menunjukkan pola yang dinamis pada tes serial, yang secara konsisten menunjukkan kecepatan yang tinggi pada angka konversi dan reversi. Saat ini belum ada data yang memberi kesan bahwa IGRA lebih baik untuk identifikasi infeksi TB baru dibanding TST, dan faktanya apabila menggunakan nilai FXWRII untuk konversi sesuai dari pabrik pembuatnya, akan memberi hasil konversi yang tidak sesuai dengan apa yang diperkirakan atau diharapkan secara epidemiologi. Hasil interpretasi IGRA tidak cenderung dipengaruhi subyektivitas seperti pada pembacaan hasil indurasi TST, tetapi terdapat faktor lain yang mempengaruhi reprodusibilitinya. Program tes kerja perlu membuat standarisasi protokol tes IGRA untuk membatasi variabiliti hasil. Juga jelas bahwa definisi konversi yang sederhana tidak lagi valid dan pedoman yang ada pada tes serial perlu diperbaharui untuk mencerminkan data yang diperoleh (Pai, 2012).



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



61



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



MONITORING TERAPI OAT Respons IGRA berhubungan dengan beban kuman dan antigen di dalam tubuh. Apabila hal ini benar, pemberian terapi dan menurunnya jumlah antigen seharusnya akan menurunkan respons IGRA yang dapat digunakan untuk monitoring terapi. Pertanyaan di klinik yang penting adalah apakah IGRA dapat digunakan untuk menilai respons terapi dan untuk prediksi kegagalan atau relaps pada TB aktif. Konversi sputum dan kultur menjadi negatif merupakan monitor parameter terapi yang baku. Beberapa penelitian mencoba menghubungkan perubahan respons IFNJ pada IGRA dengan marker respons terapi ini. Denkinger dan kawan mendapatkan penurunan signifikan respons IFNJ yang berlanjut tetapi tidak ada hubungan signifikan dengan konversi negatif pada hapusan basil tahan asam atau kultur. Penelitian lainnya mendapatkan hasil tidak konsisten yang umumnya tidak mendukung penggunaan IGRA untuk monitoring terapi TB aktif (Denkinger, 2013). Terdapat marker yang baku untuk monitoring terapi pada TB aktif, tetapi sampai saat ini belum ada penanda untuk terapi LTBI yang sukses. Hal yang sama untuk monitoring terapi TB aktif, penelitian menunjukkan hasil yang konfliktif pada pengaruh keberhasilan terapi LTBI pada respons IGRA. Data yang ada saat ini berasal dari penelitian acak pasien LTBI yang mendapat isoniazid atau plasebo dan diukur respons CFP-10 dan ESAT-6 dengan asai ELISPOT pada saat awal penelitian dan berikutnya pada bulan 1, 3, dan 6. Terdapat penurunan respons sepanjang waktu, penurunannya sama pada kelompok terapi dan plasebo. Chiappini dan kawan secara sistematik mereviu data penggunaan IGRA untuk monitoring terapi TB aktif dan laten, menyimpulkan bahwa monitoring IGRA sepanjang waktu nampaknya hanya mempunyai nilai spekulatif (Chiappini, 2013). NILAI PREDIKTIF UNTUK PENGEMBANGAN MENJADI PENYAKIT TB Diel dan kawan mengevaluasi nilai prediktif positif dan negatif dari IGRA terhadap TST untuk pengembangan menjadi TB aktif pada individu yang tidak diobati. Disarankan bahwa nilai prediktif positif dan negatif dari IGRA mungkin lebih tinggi daripada TST pada populasi dengan risiko tinggi. Kekurangannya adalah tidak menyertakan perbedaan lamanya IROORZXS pada cara analisis, sehingga perkiraan nilai prediktif tidak disesuaikan untuk jumlah SHUVRQ\HDUV selama IROORZXS (Diel,2012). Pada meta-analisis IGRA oleh Rangaka dan kawan, kemampuan prognostik diringkas dalam bentuk insidens rate dan rasio risiko pada penelitian longitudinal. Limabelas penelitian yang merupakan gabungan sampel sebanyak 26680 partisipan disertakan dalam analisis. Insidens TB aktif selama median IROORZXS 3 tahun adalah 2-24 per 1000 SHUVRQ\HDUV untuk individu dengan IGRA negatif. Untuk individu dengan IGRA positif, insidens TB adalah 4-48 kasus per 1000 SHUVRQ\HDUV, mengesankan bahwa kebanyakan individu dengan IGRA positif tidak progresif menjadi penyakit TB selama IROORZXS. Keadaan ini sama dengan data dari TST (Rangaka, 2012). Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



62



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Dibandingkan dengan hasil tes negatif, hasil IGRA positif dan TST positif kebanyakan sama berkaitan dengan risiko pengembangan menjadi TB aktif (pooled incidence rate ratio (IRR) pada lima penelitian yang menggunakan IGRA dan TST adalah 2,11 (95% CI, 1,29-3,46) untuk IGRA dan 1,60 (95% CI, 0,94-2,72) untuk TST (pada 10mm cutoff). Walaupun demikian, proporsi individu dengan IGRA positif pada 7 dari 11 penelitian yang menilai kedua IGRA dan TST umumnya lebih rendah daripada individu dengan TST positif. Disimpulkan bahwa baik IGRA maupun TST tidak mempunyai akurasi tinggi untuk prediksi TB aktif, walaupun penggunaan IGRA pada beberapa populasi mungkin mengurangi jumlah orang yang akan mendapat terapi preventif (Rangaka, 2013). Beberapa penelitian longitudinal berikutnya menunjukkan karakteristik dari 20 penelitian longitudinal tersebut. Pada individu dengan IGRA positif, insidens berkisar antara 3,7-84,5 per 1000 SHUVRQ\HDUV dari follow-up, sedangkan untuk IGRA negatif berkisar 2,0-32,0 per 1000 SHUVRQ\HDUV. Insidens UDWH tertinggi, pada individu dengan IGRA positif dan IGRA negatif, didapatkan pada penelitian yang mengikuti subyek dengan kondisi imunokompromis, seperti pasien ibu dengan HIV, bayi terpapar HIV, atau laki-laki dengan silicosis (Pai, 2014). Penelitian untuk evaluasi nilai prediktif konversi IGRA, menyimpulkan bahwa konversi QFT yang baru merupakan indikator sekitar 8 kali lipat lebih tinggi untuk pengembangan menjadi penyakit TB (dibanding dengan non-konvertor) selama 2 tahun konversi pada kohort dewasa di Afrika Selatan. Walaupun demikian, bahkan pada konvertor QFT, risiko penyakit TB keseluruhannya adalah rendah (1,46 kasus per 100 person-years). Walaupun data terbatas, penelitian ini mengesankan bahwa konversi IGRA (yang mungkin mengindikasikan infeksi baru) mungkin lebih prediktif daripada hasil IGRA positif yang tunggal. Keseluruhannya, data saat ini menunjukkan bahwa nilai prediktif IGRA untuk pengembangan menjadi penyakit TB rendah dan sedikit lebih tinggi daripada TST walaupun tidak signifikan, data mengesankan bahwa kebanyakan (>95%) dari mereka dengan hasil IGRA atau TST positif tidak berkembang menjadi penyakit TB selama IROORZXS. Mengapa tes LTBI yang ada mempunyai nilai prediktif yang jelek untuk TB aktif ? Terdapat beberapa alasan. Pertama, risiko keseluruhan untuk pengembangan dari LTBI menjadi TB aktif pada keadaan tidak adanya infeksi baru atau keadaan imunosupresi berat adalah rendah ( 6 o diagnosis TB dan obati dengan OAT x Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat o diagnosis TB dan obati dengan OAT x Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat o observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



71



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB: ͻĂƚƵŬшϮŵŝŶŐŐƵ ͻĞŵĂŵшϮŵŝŶŐŐƵ ͻƚƵƌƵŶĂƚĂƵƚŝĚĂŬŶĂŝŬĚĂůĂŵϮďƵůĂŶƐĞďĞůƵŵŶLJĂ ͻDĂůĂŝƐĞ 'ĞũĂůĂͲŐĞũĂůĂƚĞƌƐĞďƵƚŵĞŶĞƚĂƉǁĂůĂƵƐƵĚĂŚĚŝďĞƌŝŬĂŶƚĞƌĂƉŝLJĂŶŐĂĚĞŬƵĂƚ



WĞŵĞƌŝŬƐĂĂŶŵŝŬƌŽƐŬŽƉŝƐͬƚĞƐ ĐĞƉĂƚŵŽůĞŬƵůĞƌ ;dDͿd



WŽƐŝƚŝĨ



EĞŐĂƚŝĨ



ĚĂĂŬƐĞƐĨŽƚŽZŽŶƚŐĞŶ ĚĂĚĂ ĚĂŶͬĂƚĂƵƵũŝ ƚƵďĞƌŬƵůŝŶΎͿ



^ƉĞƐŝŵĞŶ ƚŝĚĂŬ ĚĂƉĂƚ ĚŝĂŵďŝů



dŝĚĂŬĂĚĂĂŬƐĞƐĨŽƚŽZŽŶƚŐĞŶ ĚĂĚĂĚĂŶƵũŝƚƵďĞƌŬƵůŝŶ



^ŬŽƌŝŶŐƐŝƐƚĞŵ



^ŬŽƌшϲ



^ŬŽƌфϲ



hũŝƚƵďĞƌŬƵůŝŶ ATAU ŬŽŶƚĂŬdƉĂƌƵ ĚĞǁĂƐĂ;нͿ



hũŝƚƵďĞƌŬƵůŝŶ E ŬŽŶƚĂŬdƉĂƌƵ ĚĞǁĂƐĂ;ͲͿ



dĂŶĂŬ ƚĞƌŬŽŶĨŝƌŵĂƐŝ ďĂŬƚĞƌŝŽůŽŐŝƐ



ĞƌŬŽŶƚĂŬ dengan ƉĂƐŝĞŶd ƉĂƌƵĚĞǁĂƐĂ



dĂŶĂŬŬůŝŶŝƐ



dŝĚĂŬĂĚĂͬƚŝĚĂŬ ũĞůĂƐďĞƌŬŽŶƚĂŬ ĚĞŶŐĂŶƉĂƐŝĞŶ dƉĂƌƵĚĞǁĂƐĂ



KďƐĞƌǀĂƐŝŐĞũĂůĂƐĞůĂŵĂϮŵŝŶŐŐƵ dĞƌĂƉŝKdΎΎͿ DĞŶĞƚĂƉ



DĞŶŐŚŝůĂŶŐ



Gambar 1. Alur pendekatan diagnosis TB pada anak di Indonesia Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



72



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak WĂƌĂŵĞƚĞƌ 0,05 dan 95%CI = 0,334,79 yang berarti bahwa ketidakpatuhan bukan faktor risiko kejadian MDR TB. Lama pengobatan dengan kejadian MDR TB pada penderita TB di RSUD Jayapura diketahui bahwa sebagian besar responden menjalani pengobatan sesuai standart program pengobatan TB. Proporsi lama pengobatan yang sesuai antara kelompok MDR dan non MDR memiliki jumlah terbanyak yaitu 61,11% pada Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



270



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



kelompok MDR dan 96,67% pada kelompok non MDR sedangkan proporsi lama pengobatan yang tidak sesuai pada kelompok MDR yaitu 38,89% dan 3,33% pada kelompok non MDR. Uji &KL6TXDUH menunjukkan nilai p=0,003 dan 95%CI=0,060,49 yang berarti bahwa secara statistik lama pengobatan merupakan faktor protektif terhadap kejadian MDR TB. Kepemilikan seorang pengawas minum obat bagi penderita TB diharapkan dapat mengurangi risiko putus obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari jumlah keseluruhan 48 sampel yang diteliti terdapat proporsi sebesar 83,33% kelompok MDR dan 70% pada kelompok non MDR memiliki PMO. Proporsi terkecil yang tidak memiliki PMO pada kelompok MDR sebesar 16,67% dan 30% pada kelompok non MDR. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p= 0,493 dan 95%CI=0,49-9,27 sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya PMO bukan faktor risiko kejadian MDR TB pada penderita TB. Komorbid HIV dengan kejadian MDR TB pada penderita TB di RSUD Jayapura diketahui bukan merupakan faktor risiko kejadian MDR TB. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa kelompok MDR yang memiliki komorbid HIV hanya sebesar 5,56% sedangkan kelompok non MDR yang memiliki HIV yaitu 33,3%. Uji statistik menunjukkan nilai p = 0,035 dengan 95%CI = 0,01-1,02. Hasil penelitian menunjukkan komorbid Diabetes melitus banyak diderita oleh penderita MDR TB di RSUD Jayapura. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada kelompok MDR terdapat proporsi sebesar 27,78% dan 3,33% pada kelompok non MDR memiliki komorbid diabetes melitus. Proporsi terbanyak tidak memiliki komorbid diabetes melitus pada kelompok non MDR yaitu 96,67%. Hasil statistik menunjukkan nilai p = 0,022, OR= 11,1 95% CI= 1,18-105,24, dapat disimpulkan bahwa komorbid diabetes melitus merupakan faktor risiko kejadian MDR TB pada penderita TB di RSUD Jayapura. Tabel 2 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian MDR TB di RSUD Jayapura Faktor Risiko Ketidakpatuhan berobat Tidak patuh Patuh Lama pengobatan Sesuai Tidak Adanya PMO Ada Tidak Komorbid HIV Ya Tidak Komorbid DM Ya Tidak



MDR



Non MDR n %



CI 95 %



p



23,33 76,67



0,33-4,79



0,743



29 1



96,67 3,33



0,06-0,49



0,003



83,33 16,67



21 9



70 30



0,49-9,27



0,493



1 17



5,56 94,44



10 20



33,33 66,67



0,01-1,02



0,035



5 13



27,78 72,22



1 29



3,33 96,67



1,18-105,2



0,022



n



%



5 13



27,78 72,22



7 23



11 7



61,11 38,89



15 3



“ Novel Management to end TB ”



OR



11,15



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



271



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat pengobatan TB sebelumnya memiliki pengaruh terhadap kejadian MDR TB. Analisis korelasi 6SHDUPHQ menunjukkan bahwa antara riwayat pengobatan TB sebelumnya dengan kejadian MDR TB terdapat korelasi negatif yang tinggi sebesar 85% dan korelasi tersebut signifikan secara statistik (p= 0,001). Tabel 3 Hubungan Riwayat Pengobatan TB sebelumnya dengan Kejadian MDR TB 5LZD\DW SHQJREDWDQ7% VHEHOXPQ\D



0'57% U S Q



  



Faktor Risiko yang Memiliki Pengaruh Terhadap Kejadian MDR TB 1. Komorbid Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (WHO,1999). Prevalensi TB meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi DM. Studi di Taiwan menemukan pada sekitar 21,5% pasien bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan kultur.(Doohley, dkk, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana HW DO., (2006) di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan non TB. Hasil analisis &KL6TXDUHpada penelitian ini menunjukkan bahwa risiko menjadi MDR TB pada penderita TB dengan komorbid diabetes melitus adalah 11,15 kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa diabetes melitus merupakan faktor risiko kejadian MDR TB di RSUD Jayapura. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gomes HW DO., (2014) yang menyatakan bahwa komorbid diabetes melitus merupakan faktor risiko kejadian resisten obat pada penderita TB di Portugal. 2. Riwayat pengobatan sebelumnya Riwayat pengobatan TB sebelumnya harus diketahui sejak awal pengobatan guna penerapan paduan pengobatan dan menghindari resisten obat. Kategori riwayat pengobatan TB sebelumnya sesuai dengan tipe pasien TB yaitu kasus baru, kasus kambuh (UHODSV), kasus putus berobat (GHIDXOW), kasus gagal (IDLOXUH) dan kasus pindahan. Studi di Eropa menemukan penderita TB dengan riwayat pengobatan sebelumnya memiliki risiko 10,23 kali menderita MDR TB dibandingkan Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



272



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



yang tidak memiliki riwayat pengobatan sehingga riwayat pengobatan menjadi penentu terbesar kejadian MDR TB di Eropa. (Faustini dkk, 2006). Data riwayat pengobatan sebelumnya pada penelitian ini menggunakan data TB 01 responden penelitian. Berdasarkan data tersebut, diketahui riwayat pengobatan TB sebelumnya pada responden MDR TB yaitu riwayat pengobatan gagal sebesar 20,8%, riwayat pengobatan putus berobat sebesar 10,4% dan 6,2% penderita dengan riwayat kambuh sedangkan pada penderita non MDR diketahui riwayat pengobatan kasus baru 52,1%, riwayat pengobatan kambuh 8,3% dan riwayat gagal 2,1%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh responden MDR TB pada penelitian ini telah terpapar dengan OAT sebelumnya sehingga menjadi resisten sedangkan pada responden non MDR sebagian besar belum terpapar dengan OAT sebelumnya (kasus baru). Analisis korelasi 6SHDUPDQ dilakukan untuk melihat korelasi antara riwayat pengobatan sebelumnya dengan kejadian MDR TB di RSUD Jayapura. Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi negatif yang kuat (-0,85) dan signifikan secara statistik (p= 0,001) antara riwayat pengobatan sebelumnya dengan kejadian MDR TB di RSUD Jayapura. Hal ini berarti bahwa semakin banyak penderita TB yang berobat secara teratur maka semakin sedikit kejadian MDR TB. Hasil penelitian Gomes HWDO.,(2014) di Portugal menyatakan bahwa munculnya resistensi obat disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat selama proses pengobatan TB sebelumnya sehingga riwayat pengobatan sebelumnya menjadi faktor dominan kejadian resisten. Faktor Risiko yang Tidak Memiliki Pengaruh Terhadap Kejadian MDR TB 1. Ketidakpatuhan berobat Ketidakpatuhan pada penelitian ini adalah sifat tidak taat penderita TB terhadap pengobatan TB. Obat antituberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat dengan jangka waktu pengobatan tertentu. Ketika penderita TB lalai terhadap pengobatan dapat menimbulkan resistensi obat sehingga bakteri TB menjadi lebih virulen dan susah disembuhkan. Hasil penelitian menunjukkan perbandingan proporsi responden yang patuh pada kedua kelompok responden lebih besar yaitu 75% daripada yang tidak patuh yaitu hanya sebesar 25% sehingga faktor ketidakpatuhan berobat penderita TB dalam penelitian ini secara signifikan tidak ada hubungan dengan kejadian MDR TB di RSUD Jayapura ( p = 0,743). Berdasarkan hasil wawancara diketahui penyebab responden lalai saat menjalani pengobatan TB adalah faktor lupa ataupun sengaja tidak minum OAT karena aktifitas yang lama diluar rumah, OAT habis dan lupa kembali ke rumah sakit, pernah hentikan pengobatan karena menderita panyakit lain ataupun hamil dan beberapa mengatakan bahwa pernah hentikan pengobatan sendiri disebabkan efek samping obat yang dirasakan tanpa ada penjelasan petugas kesehatan sebelumnya bahkan hentikan pengobatan karena sudah merasa sehat.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



273



Hasil penelitian menemukan bahwa sebanyak 72,22% responden MDR TB memiliki kepatuhan pada pengobatan TB namun tidak sembuh dan menjadi MDR. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terjadi mutasi gen tertentu dari bakteri 0WXEHUFXORVLV pada responden MDR TB di RSUD Jayapura sehingga menimbulkan resisten obat dan menyebabkan faktor ketidakpatuhan bukan faktor risiko kejadian MDR TB di RSUD Jayapura. Hasil penelitian Srivastava HWDO., (2011) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan tidak menyebabkan MDR TB tetapi karena adanya variabilitas farmakokinetik obat anti tuberkulosis yang ditimbulkan pada penderita TB sehingga menimbulkan resisten. 2. Lama pengobatan Standar program pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama enam hingga sembilan bulan menjadi alasan utama gagalnya pengobatan TB. Waktu pengobatan yang lama dapat menyebabkan kelalaian bagi penderita TB untuk minum OAT secara teratur sesuai standar pengobatan. Hal tersebut menjadi beban bagi penderita TB sehingga penderita malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Lama pengobatan yang tidak sesuai standar program (6 bulan) dapat mempengaruhi dosis obat menjadi tidak adekuat, hal ini menyebabkan bakteri TB menjadi resisten terhadap obat. (Masniari dkk, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjalani pengobatan TB sesuai dengan standar pengobatan TB yang seharusnya. Kelompok responden MDR TB sebanyak 61,11% dan kelompok responden non MDR sebanyak 96,67%. Hal ini menyebabkan faktor lama pengobatan menjadi faktor protektif (p = 0,003, 95%CI= 0,06-0,49) terhadap kejadian MDR TB di RSUD Jayapura yang berarti bahwa penderita TB di RSUD Jayapura telah menjalani pengobatan TB sesuai standar pengobatan maka akan terhindar dari kejadian MDR TB. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Pratama HW DO.,(2011) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara lama terapi dengan resistensi obat rifampisin dan isoniazid. Temuan lain penelitian ini menunjukkan bahwa 61,11% responden MDR TB telah menjalani pengobatan TB sesuai standar program yaitu selama 6 bulan tetapi hasil pengobatan menunjukkan bakteri TB tetap hidup dan menjadi resisten sehingga penderita melanjutkan pengobatan ke tahap pengobatan MDR TB. Hal tersebut dapat terjadi apabila adanya mutasi gen tertentu pada bakteri 0WXEHUFXORVLV yang menyebabkan kegagalan pengobatan. (Brooks dkk, 2012). Penelitian ini juga menunjukkan 38,89% responden MDR TB dan 3,33% responden non MDR memiliki waktu pengobatan yang tidak sesuai disebabkan karena mengalami putus obat. Hal tersebut terjadi karena awal pengobatan TB dilakukan pada dokter praktek swasta (DPS) yang tidak menerapkan program DOTS dan juga tingkat mobilisasi yang tinggi dari penderita selama menjalani pengobatan TB sehingga menyebabkan pengobatan tidak tuntas.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



274



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



3. Adanya PMO Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung seorang pengawas menelan obat (PMO). PMO bertugas mengawasi penderita TB menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan agar pasien mau berobat secara teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan dan memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala TB agar memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan. (Depkes RI, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitian memiliki PMO. PMO merupakan anggota keluarga seperti orangtua, suami/istri, dan saudara yang tinggal dalam satu rumah dengan responden. PMO berperan sesuai tugas dan fungsinya. Hasil wawancara responden MDR juga menunjukkan bahwa 83,33% responden memiliki PMO dan 16,67% responden tidak memiliki PMO selama pengobatan TB. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan PMO bukan faktor risiko kejadian MDR pada penelitian ini. Studi di Bangladesh menyebutkan bahwa tidak adanya pengawas minum obat selama masa pengobatan dapat menyebabkan asupan obat tidak teratur sehingga menimbulkan resisten pada penderita TB. ( Rifat dkk, 2015). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Flora HWDO., (2013) yang menyatakan bahwa adanya pengawas menelan obat selama pengobatan TB dapat mengurangi kejadian MDR TB karena penderita TB dapat secara teratur memperoleh obat anti TB sehingga kecil kemungkinan untuk menderita MDR. 4. Komorbid HIV HIV dan TB merupakan masalah kesehatan dunia. Semakin luasnya penyebaran HIV, diikuti oleh peningkatan kasus TB. HIV merupakan faktor risiko terbesar untuk menjadi TB karena infeksi opurtunistik. HIV juga meningkatkan risiko reaktivasi TB laten. Penelitian Welss HW DO (2007) menyimpulkan bahwa infeksi HIV menyebabkan malabsorpsi OAT dan terjadinya resistensi obat rifampisin sehingga penderita TB dengan komorbid HIV memiliki risiko gagal pengobatan. Penelitian Sharma HW DO., (2005) juga membuktikan bahwa koinfeksi TB-HIV mengakibatkan terlambatnya diagnosa TB karena sputum yang rendah BTA +, pengobatan TB lebih rumit karena adanya interaksi OAT-ARV dan efek samping obat lebih banyak dibandingkan penderita HIV. Propinsi Papua sebagai salah satu propinsi di Indonesia dengan kasus TB dan HIV yang sangat tinggi telah melakukan upaya penanggulangan terhadap kedua penyakit tersebut melalui pelayanan kolaborasi TB-HIV. Bagi seseorang yang diketahui menderita TB akan dilakukan pemeriksaan HIV begitupun sebaliknya bagi penderita HIV akan dilakukan pemeriksaan TB. Hal tersebut dilakukan sejak awal pengobatan sehingga pengobatan terhadap kedua penyakit tersebut dapat berjalan dengan baik. Hasil &KL6TXDUH menunjukkan nilai p= 0,035 dan 95%CI= 0,01-1,02 yang berarti bahwa komorbid HIV bukan faktor risiko kejadian MDR TB pada penderita TB di RSUD Jayapura. Hasil penelitian



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



275



menunjukkan bahwa responden MDR TB yang memiliki komorbid HIV yaitu 5,56% sedangkan pada responden non MDR TB yang memiliki komorbid HIV yaitu 33,33%. Hal ini menunjukkan bahwa seorang penderita TB dengan komorbid HIV bila menjalani pengobatan secara teratur tidak akan menimbulkan MDR TB. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Skrahina HW DO., (2013) yang menyatakan bahwa koinfeksi HIV merupakan faktor risiko kejadian MDR TB di Belarus. KESIMPULAN Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian MDR TB di RSUD Jayapura adalah komorbid diabetes melitus dan riwayat pengobatan sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana E, et al. 2006, “Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in indonesia”, Int J Tuberc Lung Dis;10(6):696-700 Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, 2013, Riset kesehatan dasar 2013, Kemenkes RI, Jakarta. Brooks GF.,Karen CC.,Janet SB., Stephen AM.,Timothy AM., alih bahasa: Aryandhito WN, 2012, Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick &Adelberg edisi 25, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis cetakan ke 8, p 1-37. Jakarta Doohley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W, 2009, “Impact of diabetes mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis”, Am J Trop Med Hyg;80(4):634-9. Faustini, A., Hall AJ., Perucci CA, 2006, “Risk factors for multidrug resistant tuberculosis in Europe: A System-atic Review”. Thorax an International Journal Of Respiratory Medicine, (61) :158-16. Flora MS.,Amin MN., Karim MR., Afroz S., Islam S., Alam A., Hossain M, 2013, “Risk factor of multidrug resistant tuberculosisg in Bangladesh population: a case control study” Bangladesh Med Res Counc Bull;39:34-41 Gomes M., Ana C., Denisa M., Raquel D., 2014, “Risk factor for drug-resistant tuberculosis”. Journal of tuberculosis research (2): 111-118. Diunduh dari http://dx.doi.org/10.4236/ jtr.2014.23014 tanggal 9 Maret 2015 Kementerian Kesehatan RI, 2013, Pedoman manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resistensi obat, Kemenkes RI, Jakarta. Masniari L, Priyanti ZS, Tjandra YA, 2007, “Faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan penderita TB paru”. J Respir Indo, 27(3): 176-185 Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



276



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Pratama GB, 2011, Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi Rifampisin dan/ Isoniazid pada pasien tuberkulosis paru di BKPM Semarang, Karya Tulis Ilmiah, FK Universitas Diponegoro, Semarang Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013, Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Propinsi Papua, Kemenkes RI, Jakarta. Rifat M, John H, Christopher O, Ashaque H, Sven Gudmund H, Abul Hasnat M, 2015, “Factor related to previous tuberculosis treatment of patients with multidrug resistant tuberculosis in Bangladesh” BMJ Open; 5:e008273.doi:10.1136/bmjopen-2015-008273.http:// bmjopen.bmj.com tanggal 11 Februari 2016 Sharma SK, Alladi Mohan & Tamilarasu Kadhiravan, 2005,” HIV-TB co-infection: epidemiology, diagnosis & management”, Indian J Med Res 121;pp 550-567 Skrahina A, Henadz H, Aksana Z, Evgeni S, Andrei A, Sven H, Valiantsin, Andrei Dadu, Pierpaolo de Colombani, Masoud D, Wayne van Gemert & Matteo Zignol, 2013, “Multidrug resistant tuberculosis in Belarus: the size of the problem and associated risk factors”, Buletin of WHO Vol. 91; 1, 36-45. http://www.who.int/bulletin/volumes/91/1/12-104588/en diunduh tanggal 13 November 2015 Srivastava S, Pasipanodya J.G, Meek C, Leff R, Gumbo T, 2011, “Multidrug Resistant Tuberculosis Not Due to Non Compliance but to Between patient Pharmacokinetic Variability”, The Journal of Infectious Diseases; 204 (12):51-1959 Wells Charles D, J. Peter Cegielski, Lisa J. Nelson, Kayla F. Laserson, Timothy H. Holtz, Alyssa Finlay,Kenneth G. Castro and Karin Weyer, 2007, “HIV infection and multidrug resistant tuberculosis-The perfect storm”,The Journal of Infectious Diseases; 196:S86–107 http:// jid.oxfordjournals.org/, diunduh tgl. 13 November 2015 World Health Organization, Departement of NoncummunicableDisease Surveillance, 1999, Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its complications: report of a WHO consultation, WHO, Geneva World Health Organization, 2006, Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis, WHO, Geneva World Health Organization, 2010, Global tuberculosis control 2010, WHO, Geneva. World Health Organization, 2014, Drug resistant TB surveilance & response supplement global tuberculosis report 2014, WHO, Geneva. World Health Organization, 2013, Global tuberculosis report 2013, WHO, Geneva. World Health Organization, 2014, Global tuberculosis report 2014, WHO, Geneva --- oOo ---



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



#tbu006 THE MICROBIOLOGICAL DETECTION OF TUBERCULOUS MENINGITIS AND ITS DRUG SENSITIVITY PATTERNS 7LWLHN6XOLVW\RZDWL'HE\.XVXPDQLQJUXP(NR%XGL.RHQGKRUL1L0DGH0HUWDQLDVLK 'HSDUWPHQWRI&OLQLFDO0LFURELRORJ\)DFXOW\RI0HGLFLQH, Airlangga University – Dr. Soetomo Hospital Surabaya, Indonesia



%DFNJURXQG7XEHUFXORVLVFRQWLQXHVRQHRIWKHPDMRUFKDOOHQJHVWRJOREDOKHDOWK Mycobacterium tuberculosisFDQDIIHFWDQ\RUJDQRWKHUWKDQWKHOXQJSDUHQFK\PD LQFOXGHFHQWUDOQHUYRXVV\VWHP7KHPRUWDOLW\UDWHRIWXEHUFXORXVPHQLQJLWLV 7%0 DUH KLJK ZRUOGZLGH ZLWK XS WR KDOI RI VXUYLYRUV VXIIHULQJ LUUHYHUVLEOH VHTXHODH 'LDJQRVLV RI 7%0 LV GLIILFXOW GXH WR SDXFLEDFLOODU\ YDULRXV FOLQLFDO PDQLIHVWDWLRQ DQG LQYDVLYH SURFHGXUH WR DSSURSULDWH VSHFLPHQV 2EMHFWLYH 7R VWXG\ WKH GLVWULEXWLRQ DQG SURILOHV RI 7%0 DQG LWV GUXJ VHQVLWLYLW\ SDWWHUQV LQ 'U 6RHWRPR +RVSLWDO6XUDED\DGXULQJ2FWREHUXQWLO6HSWHPEHU0HWKRG6SHFLPHQV ZHUH FHUHEURVSLQDO IOXLGV ,GHQWLILFDWLRQ DQG GUXJ DQWL 7% VHQVLWLYLW\ WHVW ZHUH GRQH E\ BACTEC MGIT 960 V\VWHP LQ &OLQLFDO 0LFURELRORJ\ /DERUDWRU\ 'U 6RHWRPR +RVSLWDO 6XUDED\D 5HVXOW 0RVW SDWLHQWV ZLWK 7%0 ZHUH ZRPHQ   %DVHG RQ DJH JURXSV PRVW GRPLQDQW ZDV DGXOWSRSXODWLRQ   3URSRUWLRQ SHUFHQWDJH RI SRVLWLYH M. tuberculosis DPRQJ  VSHFLPHQV ZHUH  )LUVW OLQH DQWL 7% GUXJ VHQVLWLYLW\ SDWWHUQ RI  LVRODWHV ZHUH  PRQR UHVLVWDQW  SRO\UHVLVWDQW QR PXOWLSOH GUXJ UHVLVWDQW DQG  SDQ VXVFHSWLEOH &RQFOXVLRQ'HWHFWLRQRIMycobacterium tuberculosisIURP7%0VXVSHFWSDWLHQWV ZHUH ORZ 0LFURELRORJLFDO GLDJQRVLV ZHUH LPSRUWDQW WR JLYH LQIRUPDWLRQ RI DFWLYH GLVHDVH DQG GUXJ VHQVLWLYLW\ SDWWHUQ 5HVLVWDQFH WR ILUVW OLQH DQWL 7% GUXJV LV DODUPLQJ WR SURSHUO\ PDQDJH 7%0 SDWLHQWV .H\ZRUGV  Mycobacterium tuberculosis 7%0 GUXJ VHQVLWLYLW\ WHVW



3HQGDKXOXDQ Tuberculous meningitis 7%0  PHUXSDNDQ VDODK VDWX SHQ\DNLW LQIHNVL SDGD VLVWHPVDUDISXVDW\DQJPDVLKPHQMDGLWDQWDQJDQGXQLD+DOLQLGLNDUHQDNDQ7%0 PHPSXQ\DL DQJND PRUWDOLWDV GDQ PRUELGLWDV WHUWLQJJL GDUL NHVHOXUXKDQ EHQWXN SHQ\DNLWWXEHUNXORVLV 7% 'DWDglobal TB reportWDKXQPHQXQMXNNDQEDKZD  MXWD NDVXV EDUX WHUGLUL GDUL  MXWD NDVXV 7% SDUX \DQJ GLGLDJQRVLV VHFDUD EDNWHULRORJL  MXWD NDVXV 7% SDUX \DQJ GLGLDJQRVLV VHFDUD NOLQLV GDQ  MXWD NDVXV 7% HNVWUDSDUX Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



278



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Kasus TB ekstraparu di Indonesia adalah sejumlah 6,05% dari total kasus TB yang tercatat 3. Suatu studi epidemiologi TB ekstraparu di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 5-10% dari total kasus TB ekstraparu merupakan TBM. CDC (&HQWHUVIRUGLVHDVHFRQWURODQGSUHYHQWLRQ) tahun 2005 menunjukkan persentase TBM sebesar 6,3% dari kasus TB ekstraparu (1-3% dari keseluruhan kasus TB)4. TBM disebabkan oleh bakteri 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV FRPSOH[. Bakteri tahan asam ini masuk ke dalam tubuh inang melalui droplet inhalasi. Infeksi lokal di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke ekstraparu termasuk sistem saraf pusat (SSP). Penyebaran hematogen bisa terjadi pada saat awal infeksi sebelum dikendalikan oleh sistem imun adaptif5. Orang yang terinfeksi TBM, bakteri basil tersebut berdiam di meningen atau parenkim otak sebagai hasil dari pembentukan fokus subpial atau subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatik yang dikenal sebagai fokus 5LFK. Ukuran fokus 5LFK semakin membesar sehingga ruptur atau pecah dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid dan menyebabkan meningitis6. Lokasi perluasan tuberkel menentukan tipe dari infeksi SSP7. Kasus TBM jarang tetapi mematikan. Kasus TBM yang tidak mendapat terapi angka kematian hampir 100%. Orang yang terkena TBM dan mampu bertahan, biasanya akan mengalami defisit neurologi atau sekuel permanen8. Diagnosis TBM sering menjadi terlambat atau tidak tepat dikarenakan presentasi klinis dari pasien TBM pun bervariasi mulai dari sindrom meningitis akut yang cepat sampai dengan demensia progresif yang lambat9. Diagnosis TBM ditentukan berdasarkan gejala klinis, pencitraan (QHXURLPDJLQJ), dan karakteristik perubahan dari cairan serebrospinalis 10 . Diagnosis definit/pasti dari TBM adalah hasil pemeriksaan mikrobiologis dari spesimen cairan serebrospinalis. Pemeriksaan mikrobiologis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan basil tahan asam (BTA) =LHKO1HHOVHQ dan pemeriksaan kultur sebagai JROGVWDQGDUG 11. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting terkait manajemen terapi dan mempengaruhi prognosis TBM. Akan tetapi, deteksi bakteri 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV FRPSOH[ dari cairan serebrospinalis pun masih menjadi tantangan karena angka sensitivitas yang masih rendah. Kesulitan diagnosis secara bakteriologis disebabkan sifat pausibasiler serta proses pengambilan spesimen yang sulit dan invasif 12. Tantangan lain adalah kasus TB dengan resistensi obat yang semakin meningkat dan semakin memperburuk prognosis sehingga penting untuk manajemen pemberian obat anti TB. Pemeriksaan mikrobiologis menjadi sangat penting karena menentukan kondisi aktif dari bakteri serta dapat melihat pola sensitivitas 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV terhadap obat anti TB. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan mempelajari distribusi dan profil 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV pada pasien TBM serta pola resistensi terhadap obat anti TB lini pertama di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya selama periode Oktober 2015 sampai dengan September 2016.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



279



0DWHULDOGDQ0HWRGH Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya selama periode Oktober 2015 sampai dengan September 2016. Data pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin didapatkan dari data register di laboratorium Mikrobiologi Klinik. Pasien dengan suspek TBM berjumlah total 180 orang. Spesimen dikirim berupa cairan serebrospinalis dari kontainer atau wadah steril. Spesimen diproses untuk pemeriksaan mikroskopis dengan pembuatan sediaan direk dan dilakukan pengecatan BTA dengan Ziehl Neelsen. Spesimen juga dilakukan kultur Mycobacterium tuberculosis dengan BACTEC MGIT 960 system. Hasil MGIT positif dilakukan uji identifikasi dengan melihat secara mikroskopis adanya serpentine cord (gambar 1) dan tes serologi antigen MPT64.



Gambar 1. 6HUSHQWLQHFRUG adalah gambaran seperti ekor kuda khas 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV yang bisa dilihat secara mikroskopis pengecatan =LHKO1HHOVHQ dari pertumbuhan koloni media cair.



Identifikasi tersebut untuk membedakan Mycobacterium tuberculosis dengan Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). Uji sensitivitas obat anti TB lini pertama dilakukan dengan BACTEC MGIT 960 system. Obat yang diujikan antara lain streptomisin (1,00 Pg/mL), isoniazid (0,10 Pg/mL), rifampisin (1,00 Pg/mL), and etambutol (5,00 Pg/mL)13. +DVLO Total spesimen berupa cairan serebrospinalis dari pasien dengan suspek TBM adalah 180 spesimen. Spesimen tersebut dilakukan pemeriksaan direk mikroskopis dengan hasil BTA positif adalah 11 spesimen. Persentase pemeriksaan mikroskopis adalah sebesar 6,11%. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat diisolasi dari 180 spesimen hanya sejumlah 35 isolat. Angka positivitas hasil pemeriksaan mikroskopis dan kultur Mycobacterium tuberculosis dari spesimen cairan serebrospinalis dari pasien suspek TBM dapat dilihat pada gambar 2.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



280



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Gambar 2. Angka positivitas hasil pemeriksaan mikroskopis dan kultur 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV dari pasien suspek TBM di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Oktober 2015 s.d. September 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka positivitas hasil pemeriksaan mikroskopis adalah 6,11%, sedangkan angka positivitas hasil kultur 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV adalah 19,44%.



Distribusi pasien TBM dengan hasil kultur positif berdasarkan jenis kelamin adalah dominan perempuan dengan jumlah 19 dari 35 pasien TBM. Distribusi berdasarkan usia terbanyak adalah 23 orang dewasa (> 15 tahun) dan 12 orang anak-anak (0-14 tahun). Proporsi distribusi pasien TBM berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada gambar 3.



>ĂŬŝͲůĂŬŝ ϱϰ͘Ϯϵ



ϯϰ͘Ϯϵ



ϰϱ͘ϳϭ WĞƌĞŵƉƵĂ Ŷ



Ŷсϯϱ



ϲϱ͘ϳϭ







ϬͲϭϰƚĂŚƵŶ шϭϱƚĂŚƵŶ



Ŷсϯϱ







Gambar 3. Proporsi distribusi pasien TBM berdasarkan jenis kelamin (kiri) dan usia (kanan) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Oktober 2015 s.d September 2016. Distribusi berdasarkan jenis kelamin adalah mayoritas perempuan (54,29%). Distribusi berdasarkan usia paling banyak adalah dewasa (usia >15 tahun) yaitu 65,71%.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



281



Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 1 (satu) isolat yang resisten terhadap rifampisin yang disebut sebagai monoresisten serta 1 (satu) isolat yang resisten terhadap streptomisin, isoniazid, dan etambutol yang disebut sebagai poliresisten. Isolat yang mengalami multiple drug resistant (MDR) tidak ditemukan pada penelitian ini. Sisa 33 isolat semuanya sensitif terhadap ke-4 (empat) obat anti TB lini pertama. Pola sensitivitas Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti TB lini pertama dapat dilihat pada gambar 4.



Gambar 4. Pola sensitivitas 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV terhadap obat anti TB lini pertama di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Oktober 2015 s.d September 2016. Sensitivitas terhadap streptomisin, isoniazid, rifampisin, dan etambutol adalah masing-masing 97,14%.



3HPEDKDVDQ TBM merupakan penyakit infeksi yang membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat. Pengobatan lebih awal dengan obat anti TB yang efektif sangat menentukan keberhasilan pengobatan TBM. Keterlambatan diagnosis akan memperburuk prognosis bahkan menyebabkan kematian14. Pemeriksaan direk mikroskopis dari spesimen cairan serebrospinalis pada penelitian ini rendah (6,11%). Jha dkk dalam studinya di India tahun 2015 mendapatkan angka positivitas yang rendah (2,5%)15. Studi meta analisis Chiang dkk tahun 2014 juga menunjukkan angka positivitas pemeriksaan direk BTA yang rendah (8,9%)16. Beberapa studi lainnya juga menunjukkan angka kurang dari 10% dan sesuai dengan penelitian ini. Hal ini dikarenakan perkiraan jumlah harus mencapai 100.000 organisme baru bisa dilihat secara mikroskopis sehingga sensitivitas pemeriksaan direk menjadi rendah17. Hal tersebut juga dikarenakan sifat pausibasiler sehingga membutuhkan volume cairan serebrospinalis yang lebih banyak (>6 ml) dan keterampilan dalam pembacaan mikroskopis 18 . Meskipun kurang sensitif, pemeriksaan ini sederhana, cepat dan murah untuk membantu diagnosis TBM8. Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



282



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Angka positivitas kultur Mycobacterium tuberculosis pada penelitian ini rendah (19,44%). Studi yang dilakukan oleh Thakur dkk tahun 2010 menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 27,4%8. Studi lain menunjukkan sensitivitas kultur bervariasi antara 18% sampai dengan 83%12 sesuai dengan penelitian ini. Sensitivitas kultur lebih baik dibandingkan pemeriksaan mikroskopis. Kultur pada media cair juga lebih cepat dan sensitif dibandingkan kultur pada media padat. Waktu tengah dari kultur dengan media cair adalah 10-14 hari. Kultur yang positif dapat diidentifikasi dan dilanjutkan untuk uji sensitivitas terhadap obat anti TB17. Sama halnya dengan pemeriksaan mikroskopis, peningkatan sensitivitas kultur dapat dilakukan dengan penambahan volume deposit dari cairan serebrospinalis19. Distribusi pasien TBM dalam penelitian ini didominasi oleh perempuan (54,29%). Studi surveilan Ducomble dkk di Jerman tahun 2002-2009 menunjukkan bahwa pasien TBM mayoritas adalah perempuan20. Studi lain menunjukkan bahwa laki-laki yang dominan21. Variasi hasil ini masih belum jelas sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut. Distribusi berdasarkan usia menunjukkan bahwa usia dewasa lebih banyak menderita TBM dibanding dengan anak-anak. Hasil ini sesuai dengan studi surveilan Ducomble dkk di Jerman tahun 2002-2009 20 . Hal tersebut dikarenakan usia dewasa mengekspresikan faktor resiko seperti diabetes melitus dan kondisi imunokompromis lainnya. Uji sensitivitas Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti TB lini pertama pada penelitian ini menunjukkan bahwa isolat monoresisten terhadap rifampisin sebesar 2,86% dan isolat poliresisten (resisten streptomisin, isoniazid dan etambutol) sebesar 2,86%. Tidak ada isolat MDR pada penelitian ini. Studi Wang dkk di China tahun 2015 menunjukkan angka tinggi kasus TBM dengan resistensi obat yaitu 48% dengan any resistance dan 12% kasus MDR. Studi tersebut menjelaskan bahwa penyebab tingginya angka resistensi dikarenakan strain Beijing yang mendominasi isolat bakteri Mycobacterium tuberculosis di China (80%)22. Parwati dkk tahun 2010 mengemukakan bahwa isolat Mycobacterium tuberculosis dari pasien TB di Indonesia hanya sebesar 33% yang terdeteksi sebagai strain Beijing23, sedangkan data strain isolat yang berasal dari pasien suspek TBM sendiri belum ada. Jadi, kemungkinan kecilnya angka strain Beijing di Indonesia sebagai penyebab rendahnya angka MDR pada pasien TBM di Indonesia. Negara beban tinggi mempunyai proporsi angka MDR yang bervariasi antara 1% - 14%, bahkan bisa lebih. Probabilitas kasus TBM dengan MDR menjadi 0,1%-1,4%. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk mencurigai TBM secara klinis. Pasien TBM dengan MDR mempunyai angka keparahan sebesar 57% dengan gangguan fungsional yang signifikan. Angka mortalitas hampir mendekati 90% pasien TBM dengan MDR dan HIV12. Obat anti TB lini pertama yang dianggap paling penting dalam pengobatan TBM adalah isoniazid. Hal ini dikarenakan aktivitas bakterisidal lebih awal (early bactericidal activity) dan penetrasi yang baik pada cairan serebrospinalis. Oleh karena itu, resistensi isoniazid dianggap mempengaruhi keberhasilan pengobatan TBM dibandingkan dengan TB paru24. Suatu studi di Vietnam menunjukkan bahwa



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



283



pasien TBM dewasa yang resisten terhadap isoniazid dan atau streptomisin akan mengalami klirens bakteri yang lambat di cairan serebrospinal, meskipun tidak berbeda dalam respon klinis 25. Rifampisin juga merupakan obat anti TB lini pertama yang bakterisidal poten, baik terhadap bakteri persisten maupun dorman. Resisten terhadap rifampisin juga akan menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif26. Apabila bakteri penyebab mengalami resisten terhadap isoniazid dan rifampisin (MDR), maka kematian akan terjadi pada hampir semua pasien TBM dengan MDR sebelum hasil uji sensitivitas obat anti TB selesai. Jadi, TBM dengan MDR merupakan prediktor kuat untuk terjadinya kematian25. Pemeriksaan molekuler dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan sensitivitas dan kecepatan diagnosis TBM. Di Indonesia alat pemeriksaan molekuler dengan XpertMTB/RIF telah dikembangkan hampir di rumah sakit setiap propinsi untuk diagnosis TB paru serta melihat hasil resistensi terhadap rifampisin dengan waktu yang lebih cepat. Program pemeriksaan molekuler dengan XpertMTB/RIF mulai dibuka akses untuk pelayanan terhadap spesimen ekstra paru termasuk cairan serebrospinalis. Beberapa studi menyatakan bahwa sensitivitas XpertMTB/RIF bervariasi dari 50%-80% dengan tetap merujuk pada beberapa teknis terkait jumlah volume cairan serebrospinalis. Pemeriksaan molekuler tetap harus didukung dengan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang lain seperti hasil laboratorium dan data radiologis27. Kekurangan pada penelitian ini adalah ketiadaan data klinis dan hasil pemeriksaan penunjang pasien suspek TBM serta tidak adanya riwayat pengobatan TB sebelumnya. .HVLPSXODQ TBM merupakan penyakit infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masih menjadi tantangan global. Hal ini dikarenakan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis TBM secara mikrobiologi sebagai diagnosis definit/pasti mempunyai angka positivitas yang rendah. Akan tetapi, pemeriksaan mikrobiologi diperlukan untuk mengetahui infeksi aktif dari bakteri dan menentukan pola sensitivitas bakteri terhadap obat anti TB. Resistensi terhadap obat anti TB sangat mempengaruhi efektivitas manajemen terapi dari pasien TBM. 8FDSDQ 7HULPD .DVLK Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh Staf Departemen dan Instalasi Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala kontributor dalam penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teknisi Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



5()(5(16, 1.



World Health Organization. Global tuberculosis report. Geneva, Switzerland : WHO Press; 2012.



2.



World Health Organization. Global tuberculosis report. Geneva, Switzerland : WHO Press; 2014.



3.



World Health Organization. Global tuberculosis report. Geneva, Switzerland : WHO Press; 2015.



4.



CDC. Extrapulmonary tuberculosis cases and percentages by site of disease: reporting areas. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention; 2005.



5.



Krishnan N, Robertson BD, Thwaites G. The mechanisms and consequences of the extra-pulmonary dissemination of 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV. Tuberculosis (Edinb) 2010; 90: 361–66.



6.



Rich AR, McCordock HA. The pathogenesis of tuberculous meningitis. Bull. Johns Hopkins Hosp. 1933; 52:5–37.



7.



Katti MK. Pathogenesis, diagnosis, treatment, and outcome aspects of cerebral tuberculosis. Med Sci Monit 2004;10:RA215-29.



8.



Thakur R, Goyal R, Sarma S. Laboratory Diagnosis of Tuberculous Meningitis – Is There a Scope for Further Improvement?. Journal of Laboratory Physicians 2010;2: Issue-1.



9.



Vinnard C, Macgregor RR. Tuberculous Meningitis in HIV-Infected Individuals. Curr HIV/ AIDS Rep . 2009 August ; 6(3): 139–145.



10. Marx GE, Chan ED. Review Article Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment Overview. Hindawi Publishing Corporation Tuberculosis Research and Treatment 2011:9. 11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman nasional pengendalian tuberculosis. Jakar ta : Kemenkes RI; 2014 12. Murthy JMK. Tuberculous meningitis: The challenges. Neurology India Sep-Oct 2010; 58(5). 13. Global laboratory initiative. Mycobacteriology Laboratory Manual. First edition: GLI; 2014. 14. Vinnard C, Winston CA, Wileyto EP, Macgregor RR, Bisson GP. Isoniazid resistance and death in patients with tuberculous meningitis: retrospective cohor t study. BMJ. 2010;341:c4451. 15. Jha SK, Garg RK, Jain A, Malhotra HS, Verma R, Sharma PK. Definite (microbiologically confirmed) tuberculous meningitis: predictors and prognostic impact. Infection ¬¬  ² 16. Chiang SS, Khan FA, Milstein MMB, Tolman AW, Benedetti A, Starke JR, Becerra MC. Treatment outcomes of childhood tuberculous meningitis: a systematic review and metaanalysis. Lancet Infect Dis 2014; 14: 947–57. 17. Torok ME. Tuberculous meningitis: advances in diagnosis and treatment. 2015. British Medical Bulletin, 2015, 113:117–131. 18. Ho J, Marais BJ, Gilbert GL, Ralph AP. Diagnosing tuberculous meningitis – have we made any progress?.Tropical Medicine and International Health 2013;18: (6) 783–793.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



19. Thwaites GE, Chau TTH & Farrar J (2004b) Improving the bacteriological diagnosis of tuberculous meningitis. Journal of Clinical Microbiology 42, 378–379. 20. Ducomble T, Tolksdorf K, Karagiannis I, Hauer B, Brodhun B, Haas W, Fiebig L. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis : an investigation of national surveillance data, Germany, 2002 to 2009. Surveillance and outbreak repor ts 2012. www.eurosurveillance.org 21. De Souza CH, Yamane A, Pandini JC, Ceretta LB, Ferraz F, da Luz GD, Simoes PW. Incidence of tuberculous meningitis in the State of Santa Catarina, Brazil. . Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical 2014; 47(4):483-489. 22. Wang T, Feng GD, Pang Y, Liu JY, Zhou Y, Yang YN, Dail W, Zhang L, Li Q, Gao Y, Chen P, Zhan LP, Marais BJ, Zhao YL, Zhao G. High rate of drug resistance among tuberculous meningitis cases in Shaanxi province, China. Scientificreports 2016. 23. Parwati I, Alisjahbana B, Apriani L, Soetikno RD, Ottenhoff TH, van der Zanden AGM, van der Meer J, van Soolingen D, van Crevel R. 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV¬%HLMLQJJHQRW\SH is an independent risk factor for tuberculosis treatment failure in Indonesia. J Infect Dis (2010) 201 (4): 553-557. 24. Senbayrak S, Ozkutuk N, Erdem H, Johansen IS HW DO. Antituberculosis drug resistance SDWWHUQV LQ¬DGXOWV ZLWK¬WXEHUFXORXV PHQLQJLWLV UHVXOWV RI¬KD\GDUSDVDLY VWXG\ $QQ &OLQ Microbiol Antimicrob 2015; 14:47. 25. Thwaites GE, Lan NT, Dung NH, Quy HT, Oanh DT, Thoa NT, et al. Effect of antituberculosis drug resistance on response to treatment and outcome in adults with tuberculous meningitis. J Infect Dis 2005;192:79-88. 26. Makeshkumar V, Madhavan R, Narayanan S. Prevalence of drug resistance in 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV in a teaching hospital of Kanchipuram district, Tamilnadu, South India. American journal of microbiological research (2014); 2 (1): 35-40. 27. Bahr NC, Marais S, Caws M, van Crevel R, Wilkinson RJ, Tyagi JS, Thwaites GE, Boulware DR.GeneXpert MTB/Rif to Diagnose Tuberculous Meningitis: Perhaps the First Test but not the Last. Clinical Infectious Diseases 2016. --- oOo ---



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



286



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



#tbu007 Characteristics of the New MDR TB in the Hospital Soetomo and Side Effects Encountered During 2016 8PL)DWPDZDWL



Background: The MDR TB prevalence rate is by 6900 in which there are 1.9 % of new cases and 12 % of cases fail. Indonesia ranks eighth out of 27 countries in the world. This study is aimed to investigate the characteristics of the new MDR TB patient demographic data, treatment, and side effects Methods: This research uses descriptive analysis with the data restrospektive of Medical record (RM). Data were analyzed qualitatively Results: The number of new patients are 82 people consisting of 41 men and 41 women. 16 patients came from Surabaya and 47 was from outside Surabaya. Among those, 28 patients are 51 – 60 years old. The number of patients who are in the intensive phase (0-8 months) are 47 patients while 35 patients are in the advanced phase (9-24 months). The main cause is the highest MDR TB relapse 33 patients Cycloserin and ethionamide prescribed to all of the subject followed by levofloxacin which is prescribed to 68 patients. The other medication are kanamycin, capreomycon, moxifloxacin and Para Amino Salicylat (PAS) which are administer to 27,14,7 patient consecutively. Nausea is the one of the Adverse Drug reaction (ADR) That is preverly emerged. There are 30 patients complary this ADR and treatment which Omeprazole and Ranitidin Conclusions Characteristics of patients greatly differed between patients categories. In Soetomo hospital effort should be made for improved management case, drug and prevented or eliminated adverse drug reaction Keyword: MDR TB, patient characteristic, side effects, treatment



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



287



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang



Menurut WHO, pada tahun 2012 di dunia diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita MDR-TB dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia, kemudian meningkat pada tahun 2014 menjadi 480.000 kasus (WHO, 2015). Di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 6900 kasus baru MDR-TB setiap tahunnya dan menempati peringkat ke 8 dari 27 negara di dunia. Diperkirakan 1,9% dari kasus TB baru dan 12% dari kasus TB yang menjalani pengobatan ulang merupakan kasus MDR-TB (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Penderita MDR-TB cenderung terlambat didiagnosis sehingga resistensi yang terjadi semakin berkembang, sehingga dibutuhkan diagnosis dan penanganan yang segera terhadap pasien MDR-TB (Chan, 2015). Adanya resistensi OAT yang mengawali terjadinya MDR-TB dibuktikan dengan pemeriksaan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis dengan metode tes cepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini di Indonesia, ada 2 metode tes cepat yang dapat digunakan untuk pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk Rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoniazid), sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen dan MGIT (Mycobacteria Growth Indicator Tube). MDR-TB disebabkan karena bakteri yang resisten terhadap OAT lini pertama yang paling efektif yakni Isoniazid atau Rifampisin (WHO, 2010). Resistensi dapat terjadi karena adanya mutasi pada gen kromosom bakteri, ataupun adanya toleransi obat karena perubahan epigenetik pada ekspresi gen dan modifikasi protein yang menyebabkan bakteri menjadi toleran terhadap OAT (Jonshon et al, 2006; Zhang dan Yew, 2015). Resistensi pada isoniazid terjadi pada gen katG dan inhA atau pada daerah promotor dan resistensi rifampisin terjadi pada daerah hot spot 81 bp rpoB (Da Silva dan Palomino, 2011. Pengobatan MDR-TB terdiri atas obat lini-kedua dengan program pengobatannya menggunakan strategi pengobatan yang standard (standardized treatment). Klasifikasi OAT dibagi atas 5 kelompok berdasarkarkan potensi dan efikasinya, yaitu: 1). Kelompok 1: sebaiknya digunakan karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik yaitu Pirazinamid dan Etambutol; 2). Kelompok 2: bersifat bakterisidal yaitu Kanamisin atau Kapreomisin jika alergi terhadap Kanamisin; 3). Kelompok 3: florokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi yaitu Levofloksasin; 4). Kelompok 4: bersifat bakteriostatik tinggi yaitu PAS, Etionamid, Sikloserin; 5). Kelompok 5: obat yang belum jelas efikasinya. Paduan OAT yang diberikan kepada semua pasien dengan diagnosa MDR-TB menurut Kementerian Kesehatan RI adalah Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) dimana pada fase intensif (fase awal) diberikan OAT kanamisin, levofloxacin, etionamid, sikloserin, pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada fase lanjutan yaitu diberikan OAT mengikuti fase intensif kecuali kanamisin. (CDC, 2006; Nawas, 2010; Kementerian Kesehatan RI, 2014; WHO, 2014).



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



288



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



1.2Rumusan Masalah Bagaimana karakteristik pasien TB MDR baru di rumah sakit dr Soetomo Surabaya dan efek samping yang ditemukan selama tahun 2016? 1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Menganalisa dan mengkaji karakteristik pasien TB MDR baru di rumah sakit dr Soetomo Surabaya dan efek samping yang ditemukan selama tahun 2016 1.4Manfaat Penelitian (1) Dapat memberikan gambaran terkait karakteristik pasien TB MDR baru tahun di rumah sakit dr Soetomo Surabaya dan efek samping yang ditemukan selama tahun 2016 (2) Dapat memberikan masukan bagi peningkatan pelayanan dan mencegah serta meminimalkan efek samping pada pasien TB MDR



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1 Definisi MDR tuberkulosis 0XOWLGUXJUHVLVWDQWTB (MDR-TB) merupakan penyakit TB dimana bakteri tidak lagi merespon atau mengalami resistensi terhadap dua obat antituberkulosis (OAT) yang paling utama, Isoniazid dan Rifampin (WHO, 2015). Menurut Kementerian Kesehatan RI, MDR-TB adalah terjadinya resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Terjadinya MDR-TB paling banyak berasal selama masa pengobatan yang dilakukan pasien terduga TB. Hal tersebut dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak lengkap atau ketidaksesuaian dengan farmakoterapi obat, seperti misalnya dosis yang tidak tepat atau gagal memenuhi tahap pengobatan. Pada MDR-TB, bakteri TB mengalami resistensi obat dan sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. 2.1.9.1 Tujuan terapi tuberkulosis Pengobatan MDR-TB a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah: Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) b. Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut: 1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



289



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut: Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-CsPAS-Z-(E) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan (injeksi) dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan (Nawas, 2010; Kementerian Kesehatan RI, 2014).



BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan menggunakan data retrospektif 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di Poli MDR-TB RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Februari – Maret 2017 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang terdiagnosis TB MDR serta menjalani rawat jalan di Poli MDR-TB RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 3.3.2 Sampel Sampel penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis TB MDR yang menjalani rawat jalan dan sesuai dengan kriteria inklusi dalam periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2016. 3.4 Kriteria Inklusi Kriteria inklusi penelitian ini meliputi pasien dewasa yang terdiagnosis TB MDR yang menjalani rawat jalan di Poli MDR-TB RSUD Dr. Soetomo periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2016. 3.5 Prosedur Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan metode WLPH OLPLW VDPSOLQJ,



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



290



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



3.6 Metode Pengumpulan Data Data penelitian didapatkan dari RM pasien yang meliputi identitas pasien, riwayat TB pasien, terapi yang didapatkan meliputi pemilihan obat, kombinasi terapi, regimen dosis, lama terapi, efek samping, terapi untuk mengatasi efek samping obat kemudian dituliskan ke dalam lembar pengumpul data (LPD) untuk kemudian dimasukkan ke tabel dan direkapitulasi. 3.7 Analisis Data Dianalisis secara deskriptif



BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Jumlah dan Jenis Kelamin Pasien Berdasarkan data yang telah diperoleh, selama periode waktu 1 Januari 2016 – 31 Desember 2016 didapatkan 82 pasien. 41 pasien dengan jenis kelamin laki-laki (50%) dan 41 pasien dengan jenis kelamin perempuan (50%), seperti yang terlihat pada gambar 5.1.



*DPEDUDistribusi Pasien MDR-TB Berdasarkan Jenis Kelamin



4.2 Usia Pasien Berdasarkan data yang telah diperoleh, didapatkan juga rentang usia pasien MDR tahun 2016 dengan distribusi usia dapat dilihat pada gambar 5.2. < 20Tahun = 3 Pasien, 21 – 30 = 12 pasien, 31 – 40 = 17 pasien, 41 – 50 = 18 pasien, 51 – 60 = 28 pasien, 61 - 70 = 9 pasien, 71 – 80 = 2 pasien



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



291



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



*DPEDUDistribusi Pasien MDR-TB Berdasarkan Usia



Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rentang usia pasien MDR TB terbanyak adalah 51 – 60 = 28 pasien 4.3 Domisili Pasien Berdasarkan data yang telah diperoleh, didapatkan juga domisili pasien MDR tahun 2016 dengan distribusi usia dapat dilihat pada gambar 5.3 Domisili Pasien Pasien yang berasal dari Surabaya 35 pasien dan luar Surabaya 47 pasien



*DPEDU Domisili pasien MDR



Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa domisili pasien MDR TB terbanyak berasal dari luar surabaya (47 pasien) 4.4 Penyebab Pasien MDR TB Selain terdiagnosa MDR-TB, penyebab pasien MDR diperoleh Setelah lalai = 19 pasien, Gagal pada pengobatan pertama = 24 pasien, Baru = 10 pasien, Lain – lain = 4 pasien, Kambuh = 33 pasein



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



292



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



*DPEDUPenyebab Pasien MDR-TB



Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa Penyebab pasien MDR TB terbanyak adalah kambuh (33 pasien) 4.5 Fase Pengobatan Pasien Berdasarkan data yang telah diperoleh, didapatkan fase pengobatan pasien intensif 0-8 bulan 47 pasien dedangkan fase lanjutan 9-24 bulan 35 pasien



*DPEDUFase pengobatan pasien MDR



Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pengobatan pasien MDR-TB paling banyak terjadi fase intensif 0-8 bulan (47 pasien)



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



293



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya 4.6 Terapi untuk mengatasi efek samping yang diterima pasien



No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30



Nama obat Antasida Syrup Allopurinol tab Simvastatin Meloxicam Paracetamol Domperidon Omeprazole Bisoprolol Amitriptiline Tebokan Special Cetirizin Vitamin B Kompleks Kalium Sustained Release / KSR Prednison Gentamycin Metoclopramide Ondancetron Loperamide New Diatabs Amiodaron Ranitidine Mecobalamin Calsium Polystyrene Sulfonate / Kalitake Mertigo Asam Mefenamat Ketokonazole Natrium Diclofenac Sucralfat Syr Ibuprofen Garamycin



Jumlah 5 21 2 6 14 18 30 2 4 3 16 2 9 1 1 1 7 1 5 1 30 3 2 1 5 1 2 1 2 1



Dari penelitian di atas pengatasan efek samping terbanyak adalah omeprazole dan ranitidine (30 pasien ), kemudian allopurinol



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



294



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



4.7 Terapi pasien



No 1 2 3 4 5 6 7



Terapi Kanamycin Capreomycin Bedaquiline Para amino salisylat (PAS) Moxifloxacin Clofazimine Linezolid



Jumlah pasien 15 27 3 7 14 2 1 BAB V



KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Poli TB MDR RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada pasien TB MDR baru selama tahun 2016 dengan total 82 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dapat diambil kesimpulan: 1. Jumlah pasien laki – laki 41 dan wanita juga 41 pasien 2. Domisili pasien luar Surabaya 47 pasien, dalam kota Surabaya 35 pasien 3. Rentang usia pasien yang terbanyak 51 – 60 tahun sebesar 28 pasien 4. Penyebab TB MDR terbanyak Kambuh sebesar 33 pasien 5. Efek samping terbanyak adalah mual muntah sebesar 30 pasien 6. Terapi yang paling banyak di terima pasien Omeprazole dan Ranitidine 7. Terapi injeksi yang banyak di terima pasien adalah Capreomycin 5.2 Saran 1. Perlu peran apoteker dalam kolaborasi interprofesional dalam pemberian konseling, PRQLWRULQJ, evaluasi, dan penanggulangan terkait penggunaan kombinasi OAT, regimentasi dosis, dan meningkatnya kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan agar tercapainya RXWFRPH terapi yang diinginkan 2. Perlu dilakukan dokumentasi dan pencatatan yang baik mengenai pemeriksaan setiap bulan berupa data laboratorium dan data klinik (tekanan darah, berat badan, suhu tubuh) pasien MDR-TB agar dapat mengevaluasi obat dan dosis yang digunakan



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



295



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



#tbu008 Optimalisasi Peran Dokter Dalam Edukasi Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas Sebuah Model Edukasi Terintegrasi 5DKPDW%DNKWLDU.ULVSLQXV'XPD5RQ\,VQXZDUGDQD(PLO%DFKWLDU0RHUDG 1. Bagian IKM Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur 2. Bagian Penyakit Dalam/Sub Bagian Paru RSUD A.W. Syahranie/Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur Korespondensi: [email protected]



ABSTRAK Background. Although success rate TB treatment In Samarinda East Kalimantan is 87%, the trend of loss to follow-up and and relapse increasing since 5 year. The physicians in Puskesmas is not empowered optimally in TB programme. The aims of research to determine effectiveness of education by a physician in maintaining the regularity of treatment of TB patients in health centers. Method. A quasi experimental non equivalence design in which devide by two groups: education by TB worker and education by physician and TB worker. The regularity of taking medicines among TB lung patients and length of not taking medication as the effect. The TB patients > 15 year and < 65 year has registered in SITT period January to June, 2016 used as sample. The data of regularity of taking medicines from TB card 01. Results. Although 85% of doctors who have been trained in TB program but physician participation in the management of TB management is still low only at diagnosis and drug side effects. Only educational intervention by doctors and TB worker were lowered regularity taking medicines and the number of days did not taking the medicine significantly (p = 0.032). Educate physicians and TB officers significantly reduce the occurrence of loss to follow-up. Conclusion. The involvement of physicians in the management of TB treatment can increase the regularity of taking medicines and decreases loss to follow-up. We suggest that health promotion conducted by TB team is important tool for the success of the treatment. Key word: Primary Health Care Doctor, regularity taking medicines, TB



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



,



3HQGDKXOXDQ 7XEHUNXORVLV 7%  PHUXSDNDQ PDVDODK NHVHKDWDQ PDV\DUDNDW XWDPD GDODP NHVHKDWDQJOREDO,QGRQHVLDPHUXSDNDQVDODKVDWXGDULQHJDUDGHQJDQEHEDQ SHQ\DNLW 7% \DQJ WLQJJL PHQHPSDWL SHULQJNDW  NHGXD VHWHODK ,QGLD  /DSRUDQ :RUOG+HDOWK2UJDQL]DWLRQ :+2 SDGDWDKXQPHQJJDPEDUNDQDQJNDNDVXV EDUX 7% PHQFDSDL  RUDQJ SHU  SRSXODVL DWDX PHQFDSDL  RUDQJSHQGXGXN\DQJWHUMDQJNLW7%GHQJDQDQJNDNHPDWLDQ7%\DQJPHQFDSDL  RUDQJ  RUDQJ SHU  SHQGXGXN  0HQXUXW GDWD 5LVNHVGDV  SUHYDOHQVL 7% GL .DOLPDQWDQ 7LPXU  DGDODK   GDULMXPODK SHQGXGXN 0DVDODK XWDPD SURJUDP 7%GL.DOLPDQWDQ 7LPXU DGDODK UHQGDKQ\D DQJND SHQHPXDQ NDVXV EDUX 7% 'DWD WDKXQ  PHQJJDPEDUNDQ FDVHGHWHFWLRQUDWHVHEHVDUGDQFDVHQRWLILFDWLRQUDWHVHEHVDUSHU SHQGXGXN WDUJHW QDVLRQDO !   VHGDQJNDQ DQJND NHEHUKDVLODQ SHQJREDWDQ VXFFHVV UDWH  VHEHVDU  0HVNLSXQ DQJND NHEHUKDVLODQ SHQJREDWDQFXNXS WLQJJL WHWDSL WHUGDSDW NHFHQGHUXQJDQ SHQLQJNDWDQ MXPODK NDVXV 7% GHQJDQ SHQJREDWDQXODQJVHSHUWLNDVXVGHQJDQWLSHORVVWRIROORZXSJDJDOGDQNDPEXK .RWD 6DPDULQGD VHEDJDL SXVDW SHPHULQWDKDQ 3URYLQVL .DOLPDQWDQ 7LPXU PHPSXQ\DLDQJNDNRQYHUVLGDQDQJNDNHVHPEXKDQ\DQJUHQGDK\DLWXGDQ   .HSDWXKDQ SHQJREDWDQ PHUXSDNDQ XQVXU \DQJ SHQWLQJ GDODP PHQMDPLQ NHEHUKDVLODQ SHQJREDWDQ  7% .HWLGDNSDWXKDQ SHQJREDWDQ  SHQGHULWD 7% GDSDW PHQ\HEDENDQ NHNDPEXKDQ JDJDO PHQJDNLEDWNDQ NHPDWLDQ PHQMDGL VXPEHU SHQXODUDQGDQSHQJREDWDQPHQMDGLOHELKODPD%HEHUDSDIDNWRU\DQJEHUNDLWDQ GHQJDQ NHSDWXKDQ SHQGHULWD 7% XQWXN PLQXP REDW  DGDODK IDNWRU XPXU SHQGLGLNDQ SHQJHWDKXDQ VLNDS SHNHUMDDQ SHQGDSDWDQ MDUDN SHOD\DQDQ PRWLYDVL GDQ GXNXQJDQ SHQJDZDV PHQHODQ REDW 302  .HSDWXKDQ GDODP SHQJREDWDQ 7% VDQJDW SHQWLQJ NDUHQD VHEDJLDQ EHVDU NDVXV 7% GDSDW GLVHPEXKNDQMLNDSDVLHQPHPDWXKLUHMLPHQSHQJREDWDQGDQMLNDVHRUDQJSHQGHULWD 7%WLGDNGLREDWL DWDXPHQMDODQLSHQJREDWDQ\DQJWLGDNDGHNXDWSDVLHQ WHUVHEXW EHULVLNR WHUNHQD 0XOWLGUXJ 5HVLVWDQW 7% 0'57%  0DQDMHPHQ WDWDODNVDQD SHQJREDWDQ 7% GL 3XVNHVPDV GLODNXNDQ ROHK WLP 7%3XVNHVPDV7LP7%PHUXSDNDQSHODNVDQDSURJUDP7%\DQJWHUGLULGDULGRNWHU SHUDZDWGDQWHQDJDODERUDQ'DODPLPSOHPHQWDVLQ\DGL3XVNHVPDVSHQJREDWDQ 7%XPXPQ\DGLODNXNDQROHKSHWXJDV7%\DQJWHUODWLKGDQSHUDQGRNWHU3XNHVPDV WHUEDWDV SDGD SHQHJDNDQ GLDJQRVLV GDQ NRQVXOWDVL WHUXWDPD MLND WHUGDSDW HIHN VDPSLQJREDW0LQLPQ\DSHUDQGRNWHUGDODPSHQJREDWDQ7%EHUGDPSDNWLQJNDW NHSHUFD\DDQ SHQGHULWD WHUKDGDS VNHPD SHQJREDWDQ \DQJ GLEHULNDQ NHSDGD SHQGHULWD 3HQHOLWLDQ LQL EHUWXMXDQ  XQWXN PHQJHWDKXL  HIHN NHWHUOLEDWDQ GRNWHU GDODP XSD\D XQWXN PHQMDJD NHWHUDWXUDQ EHUREDW SHQGHULWD 7% GL 3XVNHVPDV ,,



%DKDQ GDQ &DUD



3HQHOLWLDQLQL GLODNXNDQ GHQJDQGHVDLQ TXDVL H[SHULPHQWDO QRQHTXLYDOHQFH GHVLJQ 3HQHOLWLDQ GLODNXNDQ GL ZLOD\DK NHUMD 3XVNHVPDV NRWD 6DPDULQGD SDGD EXODQ 1RYHPEHU  ² 'HVHPEHU  3RSXODVL GDODP SHQHOLWLDQ LQL DGDODK “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



297



seluruh penderita TB yang telah di diagnosis oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan sputum dan terdapat dalam Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) yang berjumlah 561 penderita. Penderita TB yang berusia > 60 tahun, anak (< 15 tahun) dan status penderita seperti pindahan (transfer in) baik dari Puskesmas Samarinda maupun dari daerah lain merupakan eksklusi dari penelitian ini. Variabel independent adalah jumlah ketidak teraturan pengobatan dan jumlah hari mangkir pengobatan. Sedangkan variabel dependen adalah ketidak teraturan pengobatan. Dalam melakukan intervensi Puskesmas dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok puskesmas yang difasilitasi oleh petugas kesehatan saja dan Puskesmas yang difasilitasi dokter dan petugas TB. Dokter dan petugas TB sebelumnya telah mendapatkan pelatihan program TB strategi DOTS. Selanjutnya peneliti melakukan assesment terhadap pengetahuan dokter dan petugas TB terkait dengan pola pemberian pengobatan penderita TB dan evaluasinya di Puskesmas. Peneliti melakukan intervensi pada dokter dan petugas TB Puskesmas sebelum diberikan pengobatan kepada penderita (awal pengobatan) antara lain: Penyuluhan tentang pentingnya keteraturan berobat, mengingatkan pasien tentang waktu pengambilan obat berikutnya, komunikasi secara efektif dan membina sambung rasa dan kepercayaan dengan penderita. Pada kunjungan ulang pengambilan obat, peneliti melakukan assesment tentang pengobatan yang telah dijalani sebelumnya dan konseling. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu jumlah tidak mengambil obat sebagai representasi dari ketidakteraturan pengobatan serta jumlah hari tidak berobat selama masa pengobatan tahap awal (intensif) dan lanjutan (intermitten) dan variabel terikat yaitu pemberian edukasi pentingnya keteraturan minum obat penderita TB oleh dokter dan petugas TB Puskesmas. Untuk keteraturan minum obat tidak dilakukan uji validitas dan realibitas karena dengan studi observasi pada kartu berobat pasien TB langsung. Output intervensi di amati melalui kartu penderita (TB .01) dan out come pengobatan melalui kartu register kabupaten (TB 03) melalui SITT. Penderita yang dievaluasi adalah yang mulai pengobatan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2016. Data dianalisa dengan menggunakan SPSS, versi 20. Data yang dikumpulkan meliputi demografi, informasi terkait dengan hasil 2 bulan pertama pengobatan dan akhir pengobatan. Data dianalisa dengan menggunakan independent t-test dengan tingkat signifikansi P < 0.05. ,,, +DVLO 3HQHOLWLDQ Berdasarkan data SITT jumlah penderita TB di kota Samarinda sebanyak 561 dan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 268 penderita TB (Gambar 1)



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



298



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Gambar 1. Seleksi Responden Penelitian Tabel 1. Karakteristik Responden Karakteristik Responden 8PXU 15 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50 50 – 60 -HQLV.HODPLQ Laki – Laki Perempuan 7LSHSHPEHULSHOD\DQDQSHQJREDWDQ Petugas TB Dokter + Petugas TB +DVLOSHQJREDWDQEXODQ .RQYHUVL  Konversi Tidak Konversi Tidak dilakukan +DVLODNKLU3HQJREDWDQ Sembuh + Lengkap Loss to follow up Gagal .HWHUDWXUDQ%HUREDW Teratur Jumlah tidak mengambil obat Rata – rata hari tidak mengambil obat



Total N (268) 38 (15 – 60) Mean 23 (8,6%) 66 (24,6%) 59 (22%) 64 (23,9%) 56 (20,9%) 139 (51,9%) 129 (48,1%) 137 (51) 131(49) 230 (85,5%) 21 17 261 (97,4%) 5 2 214 (79,5%) 54 ( 1-6 kali) 0,72 ± 2,7 hari







“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



299



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Penelitian ini menganalisa 268 responden dengan penderita TB dengan batasan umur 15 tahun sd 60 tahun. Kelompok umur terbanyak menderita TB adalah 21 – 30 tahun (24,6%), berjenis kelamin laki laki (51,4%), sebanyak 230 (85,5%) mengalami konversi pada akhir bulan ke 2 pengobatan. Sebanyak 258 (92,2%) penderita sembuh atau pengobatan lengkap dan sebanyak 37 (13,8%) tidak teratur mengambil obat. Tabel 2 Profil Tenaga Kesehatan pengelola TB (dokter dan petugas Puskesmas) Karakteristik Umur Jenis kelamin Laki – Laki Perempuan Lama Berkerja Pelatihan Program TB DOTS Sosialisasi program TB (PAL, Simposium dengan Thema TB, TB Day dll)



Dokter N=10 25-39 tahun



Petugas TB N=20 23 - 52



2 8 4.6 tahun 4 10



8 12 11.9 tahun 20 20







Karakteristik tenaga kesehatan menunjukkan rata rata lama bekerja tenaga dokter sebagai petugas TB adalah 4,6 tahun sedangkan pada petugas TB adalah 11,9 tahun. Hanya 40% dokter yang kpernah mendapat pelatihan TB DOTS sedangkan kelompok petugas TB semuanya telah mendapatkan pelatihan standar TB DOTS. Semua petugas TB pernah mendapatkan sosialisasi TB dari berbagai sumber. Tabel 3. Analisa statistik independent t-test



Frekuensi tidak mengambil obat Jumlah hari tidak mengambil obat



Kelompok Intervensi Dokter + petugas TB Petugas TB Dokter + petugas TB Petugas TB



N 131 137 131 137



Sig 0.017 0.032







Analisa statistik menunjukan rata-rata frekuensi penderita TB tidak mengambil obat dan jumlah hari penderita TB tidak mengambil obat pada kelompok dokter dan petugas TB atau kelompok petugas TB saja adalah berbeda menunjukkan terdapat penurunan jumlah hari tidak mengambil obat pada kelompok dokter dan petugas TB dibandingkan dengan kelompok petugas TB saja.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



300



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Tabel 4. Potensi Resiko Terjadinya Ketidakpatuhan Pengobatan TB Potensi Resiko Terjadinya Ketidakpatuhan Pengobatan TB Tinggi Sedang Rendah ‡Outcome pengobatan TB ‡Ada keluarga yang mengerti xPekerjaan sebelumnya tidak baik (/RVVWR tentang penyakit TB xJarak tempat tinggal IROORZXS, gagal, kambuh) ‡Penderita ditemukan secara xPMO yang aktif ‡Pengetahuan tentang penyakit TB xPengobatan Ulang passif rendah xTingkat pendidikan ‡Ada aggota keluarga yang ‡Penderita ditemukan secara aktif menderita TB dan sembuh rendah ‡Usia Lanjut ‡Tidak mengalami konversi pada 2 bulan pertama pengobatan 



,9 3HPEDKDVDQ Ketidakpatuhan berobat penderita TB berdampak meningkatkan risiko bertambah parahnya penyakit, tetap menjadi sumber penularan dan menjadi resistan obat3. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan frekuensi dan jumlah hari tidak mengambil obat pada kelompok dokter dan petugas TB dibandingkan dengan kelompok petugas TB saja. Protokol pemantauan pengobatan dengan mengevaluasi kartu berobat penderita secara rutin sehingga penderita TB yang tidak datang mengambil obat selama 3 hari pada fase pengobatan awal (intensif) dan selama 1 minggu pada fase lanjutan dilakukan pelacakan 6. Pengamatan secara kontinu terhadap kartu penderita TB akan berdampak kepada tingginya angka keberhasilan pengobatan1,6,7. Hasil observasi peneliti menunjukkan banyak kartu TB 01 pada bagian pengambilan obat tidak diisi secara lengkap meskipun sudah diberikan obat. Hal ini dapat diketahui karena ada perbedaan jumlah obat di kotak penyimpanan dengan jumlah yang tertulis dikartu pengobatan. Dari sisi kualitas komunikasi pemberi pelayanan kesehatan beberapa faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan adalah pemahaman tentang instruksi dan kualitas interaksi. Instruksi merupakan arahan, perintah atau petunjuk dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas sedangkan kualitas interaksi seberapa kuat hubungan komunikasi antara petugas dan penderita TB. Pemberian informasi selama proses diagnosis, pengobatan, prosedur pengambilan obat dan evaluasi pengobatan dengan pemeriksaan laboratorium memerlukan ketepatan instruksi dan kualitas interaksi6,8. Implementasi pemberian instruksi dan kualitas interaksi dilakukan dengan pemberian edukasi oleh tim TB Puskesmas kepada penderita, keluarga dan Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian instruksi pada pengobatan memerlukan keterampilan komunikasi terutama dalam aspek penjelasan secara terperinci, penekanan hal hal penting, dan upaya untuk memastikan apakah pesan sudah dipahami oleh penderita melalui mekanisme cross check. Promosi kesehatan dengan cara memberi penyuluhan perorangan secara berkesinambungan dapat meningkatkan kepercayaan pasien terhadap skema pengobatan yang akan dijalani. Pengetahuan penderita yang rendah dapat “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



301



mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam menjalani pengobatan terutama pada pengobatan yang memerlukan waktu yang lama4. Pemetaan potensi resiko terjadinya ketidakpatuhan dalam pengobatan TB dapat dilihat dalam tabel 4 dapat menjadi acuan petugas kesehatan dalam memperlakukan setiap penderita TB yang akan menjalani pengobatan. Interpretasi yang tepat dengan pengamatan kartu pengobatan yang teratur dan konsisten akan dapat mengurangi penderita TB yang tidak teratur berobat. Rendahnya pengetahuan9,10, outcome hasil pengobatan TB sebelumnya tidak baik, penderita lanjut usia, penderita yang ditemukan secara aktif, tidak mengalami konversi pada 2 bulan pertama pengobatan11 sangat berpotensi untuk menjadi tidak teratur. Sharing task antara dokter dengan petugas TB berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan kepatuhan penderita meminum obat baik pada fase awal maupun pada fase lanjutan. Keterlibatan dokter secara aktif dalam proses edukasi pasien selama menjalani pengobatan dapat meningkatkan kepercayaan diri penderita, yang akan menimbulkan motivasi untuk menyelesaikan pengobatan. Komunikasi dokter – pasien TB sejak awal pengobatan memberikan dampak yang baik terhadap pengobatan selanjutnya. Dalam penelitian ini meskipun pertemuan dokter dan pasien tidak sesering petugas TB dengan pasien tetapi keterampilan komunikasi terurama dalam membina sambung rasa dan menjaga proses komunikasi merupakan unsur yang diinginkan oleh penderita TB. Hasil penelitian menunjukkan meskipun 20,5% penderita pernah berobat tidak teratur selama masa pengobatan ternyata jumlah pasien yang masuk kedalam keriteria loss to follow up cukup kecil (1,86%). Hal ini disebabkan strategi edukasi terintegrasi didasarkan pada evaluasi terstruktur yang dilakukan oleh dokter maupun petugas TB dalam mengidentifikasi secara dini potensi terjadinya loss to follow up. Penerapan teknik komunikasi dokter – pasien seperti berdiskusi dengan penderita dan tidak memotong pembicaraan berdampak kepada meningkatnya kepercayaan diri penderita untuk secara terus terang menjelaskan tentang keluhan yang mereka rasakan selama meminum obat. Pemberian informasi yang jelas, runtut dan benar tentang penyebab kegagalan pengobatan dan penularan TB, mendengarkan respon penderita, mengidentifikasi serta menyelesaikan setiap hambatan agar penderita mengikuti program pengobatan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Upaya petugas kesehatan untuk memulai pengobatan sesegera mungkin berdampak sulitnya pasien untuk merubah perilaku mereka sesuai yang diharapkan. Hal ini sesuai hasil penelitian yang menunjukkan beberapa penderita tidak datang mengambil obat setelah 2 minggu pertama pengobatan. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain sudah merasa sembuh, takut makan obat terus menerus, efek samping OAT dan tidak tahu pengobatan harus selama 6 bulan. Assesment yang menyeluruh kepada penderita TB seperti pada gambar 2 dapat dilaksanakan untuk mengetahui secara dini potensi kemungkinan terjadinya loss to follow up atau kegagalan pengobatan10. Flowchart ini bermanfaat bagi petugas untuk menghindarkan penderita agar tidak masuk kedalam kategori pengobatan tidak teratur. Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



*DPEDU  )ORZFKDUW 3URVHGXU 7DWDODNVDQD 3HQGHUWLWD 7% \DQJ 7LGDN 3DWXK %HUREDW 'HVHQWUDOLVDVL SHQJREDWDQ 7% GDSDW PHQMDGL DOWHUQDWLI PHQJXUDQJL UHVLNR NHWLGDNSDWXKDQ SHQJREDWDQ  .HWLND SHQGHULWD VXGDK GLGLDJQRVLV PHQGHULWD 7% WDQSDNRPSOLNDVLGLUXPDKVDNLWGRNWHUPHQJLULPNH3XVNHVPDVWHUGHNDWGHQJDQ ORNDVLGRPLVLOLXQWXNPHQHUXVNDQSHQJREDWDQQ\D-LNDGLGLDJQRVLVGL3XVNHVPDV SHQJREDWDQGDSDWGLODNXNDQNH3XVNHPDV3HPEDQWX3RVNHVGHVDWDX3ROLQGHV 'HVHQWUDOLVDVL SHQJREDWDQ GDSDW PHQLQJNDWNDQ DNVHV SHQJREDWDQ \DQJ GLVHEDENDQ PDVDODK ELD\D GDQ MDUDN WHPSDW WLQJJDO 0HNDQLVPH SHPLOLKDQ WHPSDWEHUREDWPHPHUOXNDQSURVHVNRPXQLNDVL\DQJEDLNNDUHQDGDSDWPHQMDGL DODVDQ EDJL SHQGHULWD XQWXN WLGDN GDWDQJ PHQJDPELO REDW +DVLOSHQHOLWLDQMXJDPHQXQMXNNDQPHVNLSXQZDNWXSHQ\XOXKDQGL3XVNHVPDV WHUEDWDVNDUHQDVLWXDVLGDQNRQGLVL3XVNHVPDVVHSHUWLMXPODKSDVLHQ\DQJEDQ\DN GDQ SHOD\DQDQ OXDU JHGXQJ GRNWHU GDQ SHWXJDV 7% PDPSX PHQFDUL DOWHUQDWLI ODLQGDODPPHODNXNDQSURPRVL WHQWDQJ7%GHQJDQFDUD PHQJRSWLPDONDQSRVWHU EURVXUGDQOHDIOHWNHSDGDSHQGHULWDGDQNHOXDUJDQ\D3XVNHVPDVMXJDPHODNXNDQ SHQ\XOXKDQ SDGD NHORPSRN NHORPSRN PDV\DUDNDW \DQJ GLSHUNLUDNDQ EHUHVLNR WLQJJLWHULQIHNVL7%+DO\DQJPHQDULN\DQJGLGDSDWNDQSDGDSHQHOLWLDQLQLDGDODK WLQJJLQ\DUHVSRQGRNWHUGDODPPHQLQJNDWNDQNHSDWXKDQSHQGHULWD7%3HQHUDSDQ SULQVLI NRPXQLNDVL HIHNWLI VHSHUWL PHPELQD VDPEXQJ UDVD PHQMDJD SURVHV NRPXQLNDVL WHNQLN PHQJJDOL LQIRUPDVL GDQ PHQXWXS ZDZDQFDUD PHPEXDW



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya







SHQGHULWD 7% PHUDVD GLKDUJDL GDQ OHELK WHUEXND WHUKDGDS SHUPDVDODKDQ \DQJ GLKDGDSL VHKLQJJD MXPODK SHQGHULWD 7% \DQJ KLODQJ PHQLQJJDONDQ SHQJREDWDQ PHQMDGL MDXK EHUNXUDQJ 3HQJJDEXQJDQSHQJHPEDQJDQNHWHUDPSLODQNRPXQLNDVLGDQPHPSHUOLKDWNDQ HPSDWL NHSDGD SHQGHULWD 7% VHEDJDL EDJLDQ GDUL SHQGLGLNDQ SURIHVLRQDO PHGLV GDQ SURPRVL 3URVHV GLDORJLV GDSDW PHQJLGHQWLILNDVL DNDU PDVDODK SHQGHULWD VHFDUD ULQFL SDUDOHO LQLVLDWLI NRQWHN VSHVLILN \DQJ GLSHUOXNDQ XQWXN PHQGRURQJ GDQ PHPSHUWDKDQNDQ KXEXQJDQ LQWHUSHUVRQDO VDOLQJ SHUFD\D DQWDUD GRNWHU SHWXJDV7%GDQSHQGHULWD-LNDSDGDSHUWHPXDQSHUWDPDWLPEXOKDUDSDQSRVLWLI VHVHRUDQJ SHQGHULWD 7% WHQWDQJ SHQWLQJQ\D NHWHUDWXUDQ EHUREDW WLGDN KDQ\D EHUSHQJDUXK VHFDUD VWUXNWXUDO PHPEHQWXN WLQGDNDQ SRVLWLI ODLQQ\D WHWDSL MXJD PHQLQJNDWQ\D NHSHUFD\DDQ SHQGHULWD WHUKDGDS GRNWHU \DQJ PHPHULNVD .HWLGDNSDWXKDQ PHUXSDNDQ PDVDODK WHUEHVDU GDODP SHQJHQGDOLDQ 7% GDQ GDSDWPHQ\HEDENDQVHRUDQJSHQGHULWD7%PHQMDGLWHWDSVDNLWGDQPHQMDGLOHELK SDUDK PHQ\HEDUNDQ 7% NHSDGD RUDQJ ODLQ NH RUDQJ ODLQ PHQMDGL 7% UHVLVWDQ REDWGDQPHQLQJJDOGXQLD%HEHUDSDIDNWRU\DQJPHQ\HEDENDQNHWLGDNSDWXKDQ GDODP SHQJREDWDQ 7% DGDODK  SDVLHQ PHUDVD VXGDK VHPEXK NXUDQJQ\D SHQJHWDKXDQGDQPRWLYDVLGDODP PHQ\HOHVDLNDQSHQJREDWDQNH\DNLQDQSULEDGL DWDX EXGD\D WHQWDQJ 7% LQVWUXNVL SHWXJDV NHVHKDWDQ \DQJ NXUDQJ GLSDKDPL SHQGHULWD DNVHV XQWXN PHQGDSDWNDQ SHOD\DQDQ NHVHKDWDQ KDPEDWDQ EDKDVD GDQ KXEXQJDQ LQWHUSHUVRQDO \DQJ NXUDQJ EDLN GHQJDQ SHWXJDV 7% 6DODK VDWX SUHGLNWRU WHUEDLN GDODP PHQLODL NHSDWXKDQ EHUREDW SDVLHQ 7% DGDODK NHWDDWDQ GDODP SHQJREDWDQ VHEHOXPQ\D 0HVNLSXQ SHQGHNDWDQ '276  GDODP WDWDODNVDQD GDQ PDQDMHPHQ 7%  WHODK PHQJXEDKVLNDSPDV\DUDNDWGDQSURYLGHUWHUKDGDSSULQVLISHQJREDWDQ7%WHWDSL NXUDQJQ\DNHVDGDUDQWHUKDGDSSHQ\DNLW7%GDQUHVLNRSHQXODUDQQ\DEHUNRQWULEXVL WHUKDGDS PDVDODK NHWLGDNWHUDWXUDQ SHQJREDWDQ  5HQGDKQ\D NHVDGDUDQ  GDSDW PHQJDNLEDWNDQWLGDNWHUSHULQFLQ\DLQIRUPDVL\DQJGLVDPSDLNDQSHQGHULWDNHSDGD GRNWHU5HQGDKQ\DNHVDGDUDQEHUKXEXQJDQHUDWGHQJDQPRWLYDVLSHQGHULWDXQWXN PHQHUXVNDQ SHQJREDWDQ 3HQHOLWLDQLQLPHPSXQ\DLEHEHUDSDNHOHPDKDQ3HWXJDV7%3XVNHVPDVDZDOQ\D WLGDNPHQ\DGDULNHKDGLUDQSHQHOLWLKDGLUGL3XVNHVPDV1DPXQVHWHODKLQWHUYHQVL PHUHND PHQMDGL VDGDU DNDQ WXMXDQ VWXGL GDQ NHKDGLUDQ SHQHOLWL  PXQJNLQ WHODK PHQ\HEDENDQELDVGDODPKDVLOSDVFDLQWHUYHQVL6HODLQLWXVWXGLLQLWLGDNPHQLODL NHSDWXKDQ WHUKDGDS XSD\D XQWXN SHQFHJDKDQ 7% DNWLI 9



.HVLPSXODQ



.HWHUOLEDWDQ GGRNWHU GDODP PDQDMHPHQ WDWDODNVDQD SHQJREDWDQ SHQGHULWD 7% GL 3XVNHVPDV GDSDW PHQJXUDQJL NHWLGDNWHUDWXUDQ  EHUREDW SHQGHULWD 7% 3URPRVL NHVHKDWDQ GHQJDQ NRPXQLNDVL HIHNWLI  ROHK WLP 7% 3XVNHVPDV GDSDW PHQJXUDQJLWHUMDGLQ\DORVVWRIROORZXS



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



8FDSDQ 7HULPD .DVLK 7HULPD NDVLK NDPL VDPSDLNDQ SDGD VHPXD SLKDN \DQJ WHODK PHPEDQWX WHUVHOHQJJDUDQ\DSHQHOLWLDQLQL7HULPDNDVLK\DQJWHUKLQJJDMXJDNDPLVDPSDLNDQ SDGD GHNDQ )DNXOWDV.HGRNWHUDQ 8QLYHUVLWDV 0XODZDUPDQ GDQ 'LQDV .HVHKDWDQ 3URSLQVL.DOLPDQWDQ 7LPXUGDQ'LQDV .HVHKDWDQ.RWD 6DPDULQGD .HSXVWDNDDQ 1.



WHO. Global TB Report 2013 - 2015



2.



Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur (2016) Evaluasi Program TB tahun 20112015, Dinas Kesehatan provinsi Kalimantan Timur.



3.



Wulandari, L. (2012). The Role of Knowledge Against Suspect Behavior Search Pulmonary TB Patient Treatment in Indonesia (Data Analysis Survey of Knowledge, Attitude, Behaviour of Tuberculosis in 2010). Thesis, School of Public Health. University of Indonesia. Depok.



4.



Erawatiningsih, (2005). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat. Dari : http:// isjd.pdii.lipi.go.id /admin/jurnal/25309117124.pdf.



5.



Mariana M, Antonius O. Yacob RS, Yunita M, Lukman HT, Bachti A (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien TB yang diobati dengan strategi DOTS di kota Jayapura Provinsi Papua tahun 2008. Kumpulan Hasil Riset operasional TB tahun 2005 – 2009. Kelompok kerja riset operasional TB (TB Operational Research Group) Dirjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI



6.



Depkes RI (2015) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta



7.



Croffton’s, 2009. Clinical Tuberculosis. Third Edition. International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease. Macmillan-Africa, Malaysia.



8.



Tucker JD, Wong B, Nie J, Kleinman A. Rebuilding patient– physician trust in China. /DQFHW 2016;388(10046):755. doi:10.1016/S0140-6736(16)31362-9



9.



Yepita S, Sugiyanto (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Keteraturan Minum Obat Pada Pasien TB Paru di BP4 Yogyakarta.



10. Chimbanrai, B.et al (2008). “Treatment seeking Behaviors an Improvement Adherence to Treatment Regimen of Tuberculosi Patients Using Intensive Triad Model. Program, Thailand”. Southeast Asian J Trop Med Public Health 39(3) : 526- 41. 11. Notariana KA (2010). Hubungan Keteraturan Berobat dengan Konversi dahak Penderita TB Paru Kasus Baru Setelah Pengobatan Fase Intensif. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta, SKRIPSI 12. Sumartojo E M, Geiter L J, Miller B, et al. Can physicians treat tuberculosis? Report on a national survey of physician practices. Am J Public Health 1997; 87: 2008–2011.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



13. Tucker JD, Wong B, Nie J, Kleinman A. Rebuilding patient– physician trust in China. /DQFHW 2016;388(10046):755. doi:10.1016/S0140-6736(16)31362-9 14. Mukhsin, Yodi. (2006). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keteraturan Minum Obat Pada Penderita TBC Paru yang Mengalami Konversi di Kota Jambi. Thesis UGM. Yogyakarta. 15. Jaka P (2009). Hubungan Motivasi Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Dalam mengikuti Program Pengobatan Sistem DOTS di Wilayah Puskesmas Genuk Semarang. JURNAL VISIKES - Vol. 8 / No. 1 / Maret 2009 RR



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



306



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



#tbu009 MYCOBACTERIUM KANSASII DETECTED FROM SPECIMEN BRONCHOALVEOLAR LAVAGE OF TB PATIENT 'HE\.XVXPDQLQJUXP1L0DGH0HUWDQLDVLK6RHGDUVRQR Department of Clinical Microbiology, Medical Faculty of Airlangga University / Dr SoetomoAcademic Centre Hospital, Surabaya,Indonesia 1 Department of Pulmonology ,Medical Faculty of Airlangga University Dr Soetomo Academic Centre Hospital,,Surabaya.Indonesia 2 Corresponding email : [email protected]



ABSTRACT Background: 1RQWXEHUFXORXV0\FREDFWHULD (NTM) lung infections is the leading cause of illness reported to be increasing in Europe, North America, South Africa and Asia. 0\FREDFWHULXPNDQVDVLL is a significant cause of disease in human and is one of the most common NTM isolated from clinical specimens. Risk factors that predispose individual to 0NDQVDVLL infection are a history of lung disease , such as previous pulmonary TB. Indonesia is a high burden TB. However increasing information NTM lung disease caused by bacteria NTM such as 0NDQVDVLL is not widely known and need to be studied Cases Isolat culture growth from specimen BAL patients, a 56 year old man who having had a productive cough for 1 month and dyspnea with hemoptisis for 7 days before admission at SoetomoAcademic Hospital. He also have weight loss .He had been previous TB as the chronic TB. Result of a chest radiograph showed fibroinfiltrat in lung dextra. Mycobacteria were cultured from BAL samples on LJ medium and MGIT machine and identified as 0 NDQVDVLL by PCR assay targeting 16SrRNA gene. Analysis sequencing use BLAST NCBI showed  homologi with 0 .DQVDVLL *HQ%DQN ATCC 12478. Conclusion: The presence of 0NDQVDVLL in the chronic TB patients has a significant impact on clinical judgement and patient management. This cases highlight the importance of speciation of mycobacteria for appropiate diagnosis and choose an apropiate treatment plan. Key word: Mycobacterium kansasii, BAL specimens , Non tuberculous Mycobacteria.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



307



PENDAHULUAN 1RQWXEHUFXORXV0\FREDFWHULD (NTM) adalah penyebab utama penyakit infeksi (McGarvey&Bermudez,2002). Penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh NTM dilaporkan meningkat di Eropa, Amerika Utara , Afrika Selatan dan Asia (da Costa HW DO.,2013). Penyakit infeksi paru NTM berkisar 77,2% dari semua manifestasi penyakit NTM (Cassidy HWDO 2009). Prevalensi kejadian infeksi NTM paru di Amerika meningkat sejak 1997-2007 sekitar 20-47 kasus/100.000 penduduk atau 8,2% per tahun, dan menjadi penyebab kematian, terutama jenis kelamin laki-laki(Adjemian HWDl.,2012). Data di Asia timur menunjukan 31% pasien hasil kultur NTM terkait infeksi NTM , hal ini tidak berbeda dengan Kanada 33% dan Netherland sekitar 25 % (Simons, 2011). Salah satu faktor risiko terjadinya NTM adalah Tuberkulosis. Data di Asia menyebutkan 37% NTM pasien terkait dengan riwayat TB , sedangkan di Brazil sekitar 76% faktor utama NTM adalah TB (da Costa HW DO., 2013). NTM juga ditemukan sekitar 17,6% pada pasien MDR-TB dan 12,4% pada TB ekstrapulmoner (Gopinath & Singh ,2010). Di Indonesia, informasi meningkatnya penyakit paru akibat bakteri NTM masih belum banyak diketahui, padahal Indonesia merupakan KLJK EXUGHQ Tuberkulosis ke empat setelah Cina, India dan Afrika Selatan(WHO, 2014). Salah satu spesies NTM yang patut menjadi perhatian adalah 0\FREDFWHULXP NDQVDVLL LAPORAN KASUS Seorang laki laki berusia 56 tahun, dirawat dirumah sakit karena batuk darah dan sesak sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk produktif dikeluhkan satu bulan sebelumnya. Penurunan berat badan dan nafsu makan serta keluar keringat dingin dirasakan oleh pasien . Sembilan bulan sebelum masuk rumah sakit pasien didiagnosis TB dan telah putus berobat TB. Riwayat pengobatan TB 10 tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh. Pemeriksaan fisik tampak anemis, dan auskultasi didapatkan ronchi di paru kanan. Tekanan darah saat masuk rumah sakit dalam batas normal dan saturasi Oksigen 91% .Pemeriksaan darah HB 10,1 g%, Lekosit 8480/mm3 Trombosit 640.000, BUN 10mg/dL, Serum kreatinin 0,65 mg/dL, SGOT 35U/l . SGPT 32U/l, albumin 2,96 Natrium 113 mmol/L, Kalium 3,9 mmol/L. CRP; 76,75. Gambaran radiologis X foto thorax PA tampak fibroinfiltrat disertai multiple cavitas di lapang paru kanan dengan area konsolidasi di suprahiler kanan, tampak infiltrat di suprahiler dan parahiler pericardial kiri dan tampak penebalan pleura kanan kiri atas. Pemeriksaan Gen Xpert dari spesimen dahak dan BAL hasilnya negatif. Selama perawatan pasien dilakukan kultur dari spesimen Bronhoalveolar lavage dan didapatkan hasil pertumbuhan koloni karakteristik VORZJURZHUVpada media Lowenstein Jensen dan MGIT.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



308



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya















Gambar 1. (kiri: koloni bakteri Non tuberculous Mycobacteria pada media Lowenstein Jensen , kanan: Tampilan karakteristik hasil pemeriksaaan mikroskopis dengan pengecatan ZN. Tampak karakteristik mikroskopis bakteri Batang Tahan Asam (BTA) batang langsing berwarna merah dari koloni yang tumbuh di media LJ).



Identifikasi dan diferensiasi 1RQWXEHUFXORXV0\FREDFWHULD (NTM) dilakukan dengan menggunakan LPPXQRFKURPDWKRJUDSK\ tes antigen MPT64. Selanjutnya identifikasi spesies NTM dengan metode pemeriksaan PCR menggunakan target gen 16S rRNA menggunakan primer Mb246 dan MBR247 dan dilanjutkan PCR Nested dengan primer Mb1 dan MbR7. Tahapan selanjutnya disekuensing ABI 377 system. Analisis data hasil sekuensing menggunakan BLAST NCBI dan menujukkan homologi 99% hasil 0\FREDFWHULXPNDQVDVLL ATCC 12478 *HQ%DQN











Gambar 2. Hasil sequence dan hasil homologi spesies M.Kansasii



',6.86, 0\FREDFWHULXPNDQVDVLL adalah salah satu spesies NTM yang diketahui sangat virulen kedua setelah 0 DYLXP dan menjadi penyebab utama penyakit paru di Inggris dan Eropa barat. Penelitian Garima HWDO, 2012 di India utara mencatat bahwa dari 306 pasien, diketahui 3,5% 0 NDQVDVLL. Infeksi 0NDQVDVLL dapat terjadi akibat aerosol. Faktor risiko infeksi 0 NDQVDVLL antara lain penyakit paru kronis, riwayat TB ,keganasan dan alkoholik ( Sonenberg, HW DO, 2000). Hasil kultur 0NDQVDVLL pada pasien laporan kasus ini mempunyai riwayat TB Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Moon HW DO 2015, yang menjelaskan 39 orang pasien dari total 104 pasien mempunyai riwayat TB pada isolat yang positif 0NDQVDVLL. Penelitian Huang HWDO, 2009 mendapatkan hasil 7,3% pasien dengan penyakit TB paru terdapat pertumbuhan bakteri NTM pada spesimen saluran nafasnya , sedangkan penelitian Aliyu HW DO, menjelaskan adanya prevalensi “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



309



infeksi NTM pada pasien VXVSHFW TB di Nigeria. ( Aliyu HWDO., 2013) . Bakteri NTM mampu menempel pada mukosa yang rusak, tidak seperti 0WXEHUFXORVLV yang mampu menempel pada mukosa yang utuh.Faktor yang mendukung bahwa riwayat TB menjadi faktor risiko terjadinya penyakit NTM antara lain karena kerusakan paru oleh TB menyebabkan berkurangnya normal FOHDULQJ terhadap patogen, berat badan yang rendah juga mempengaruhi kemungkinan terinfeksi NTM (da Costa HWDO.,2013) Usia tua merupakan faktor risiko terinfeksi NTM.. Hal ini disebabkan usia tua mempunyai kecenderungan kelemahan respon terhadap infeksi dibandingkan usia muda ( da Costa, HWDO., 2013). Usia tua berkaitan dengan kegagalan regulasi misalnya berkurangnya T sel CD8+dan penurunan proliferasi sel T. (Naylor HWDO, 2005.) Gejala penyakit NTM paru bervariasi dan tidak spesifik, umumnya pasien mempunyai gejala batuk, dan gejala penyerta lain misalkan sesak, nyeri dada dan batuk darah, lemah, letih, demam, dan berat badan menurun. Pemeriksaan klinis auskultasi , dapat dijumpai rhonki, whezing. (Griffith, 2007) . Hemoptisis terjadi di 42% pasien 0 NDQVDVLL diakibatkan infeksi didalam bronkus dan erosi dari pembuluh darah bronkus oleh kavitas. Terjadinya kavitas pada infeksi oleh 0 NDQVDVLL dilaporkan terjadi pada 57% kasus. . 0\FREDFWHULXP NDQVDVLL merupakan bakteri yang bersifat photochromatogenic, yang VORZ JURZLQJ Mycobacteria , bentuk batang tahan asam. Bentuk koloninya dapat berupa kasar dan halus( Tille,2015 ) Lingkungan reservoir untuk bakteri ini masih belum diketahui, namun beberapa penelitian menemukan 0\FREDFWHULXPNDQVDVLL di air bersih misalnya air minum atau di air pancuran dan mampu bertahan lama di air (Yeager, 2011) .0NDQVDVLL juga dapat ditemukan di hewan ternak, tanah, dan tidak dapat bertahan lama di tanah untuk waktu tertentu. Organisme ini dapat menyebabkan infeksi akibat host menghirup aerosol yang mengandung bakteri tersebut dari air atau lingkungan( Mc Garvey J and Bermudez LE, 2002) Mekanisme patogenesis infeksi bakteri 0NDQVDVLL, setelah masuk terhirup paru-paru, bakteri akan menempel di CR3 (CD11b/CD18) makrofag alvoeolus dan dinternalisasi oleh fagosom yang tidak bergabung dengan lisosom atau memproduksi O2-, sehingga makrofag menjadi tempat yang ideal untuk berkembangbiaknya bakteri dan menyebabkan penyebaran bakteri ke jaringan lain yang membentuk karakteristik cavitas(Mc Garvey and Bermudez, 2002). Infeksi yang disebabkan  0 NDQVDVLL dilaporkan meningkat angka kejadiannya, sejak muncul AIDS sekitar 138 per 100.000 orang. Pada kasus ini masih ditemui kesulitan untuk menentukan apakah pasien terdiagnosis penyakit NTM paru, sebab kriteria yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis tersebut walaupun dari beberapa kasus secara klinis memenuhi syarat, namun secara mikrobiologis belum memenuhi syarat antara lain, isolat 0 NDQVDVLL yang tumbuh berasal dari satu spesimen, sesuai kriteria ATS(Griffith,HW DO, 2007.Diagnosis NTM-PD ( 1RQWXEHUFXORXV 0\FREDFWHULD) Pulmonary Disease sesuai ATS/IDSA American Thoracic Society and Infectious Disease Society., Harus memenuhi gejala klinis dan tanda radiologi yang Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



310



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



mendukung dan kultur dari beberapa sampel saluran pernafasan harus tumbuh sebagai spesies NTM. Gejala klinis yaitu.Gejala paru, gambaran foto toraks berupa nodul dan kavitas atau gambaran HSCT menunjukkan bronkiektasis multifokal dengan nodul kecil dan kriteria mikrobiologis antaralain terdapat paling sedikit 2 (dua) sampel sputum, jika satu sampel hasilnya nondiagnostik dipertimbangkan pengulangan pengambilan sputum dan biakan atau paling sedikit hasil biakan positif dari bilasan bronkus atau Gambaran histopatologi 0\FREDFWHULXP dari biopsi transbronkial atas paru (inflamasi granulomatous atau BTA) dan biakan positif untuk MOTT atau gambaran histopatologi Mycobacterium dari biopsi ( inflamasi granulomatous atau BTA) dan salah satu atau lebih sputum atau bilasan bronkus positif untuk MOTT. Penyakit NTM paru adalah penyakit kronis, diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengevaluasi klinis pasien. Komponen penegakan diagnosis klinis infeksi NTM pada kasus ini masih diperlukan kelengkapan terutama data klinis dan radiologis dan mikrobiologis. KESIMPULAN Adanya 0\FREDFWHULXP NDQVDVLL pada pasien dengan gejala klinis TB kronis yang mendukung masih membutuhkan kemaknaan dari sisi radiologis dan mikrobiologis Sehingga dapat menjadi pertimbangan diagnosis dan terapi pasien. DAFTAR PUSTAKA Adjemian; Jennifer; Kenneth, NO;Amy, ES; Steven MH; Rebecca,P. 2012 .’Prevalence of Nontuberculous Mycobacteria Lung Disease in U.S. Medicare Beneficiaries’. Am J Respir Crit Care Med 185(8),pp.881-86 Aliyu, G; El-Kamary ,SS; Abimiku, A. 2013 .×Prevalence of Non-Tuberculous Mycobacterial Infections among Tuberculosis Suspects in Nigeria. PLoS One.;8(5):pp1-8. Amrute, NM;Denge, AP; Gore, DG; Godbole, SS.2011.’ Identification of Several Mycobacterium Species by Using Amplified 16S Ribosomal DNA’.Int J of Biosci, Bio chem and Bio informa .1(3):pp 3-6 Cassidy ,PM; Hedberg, K; Saulson, A; McNelly, E; Winthrop ,KL. 2009.’’Nontuberculous Mycobacterial Disease Prevalence and Risk Factors’: A Changing Epidemiology’. Clin Infect Dis,49(12): pp124-9. Da Costa ,ARF; Falkinham ,JO; Lopes, ML.2013.’ Occurence of Nontuberculous Mycobacterial Pulmonary Infection in an Endemic Area of tuberculosis. Plos Negl Trop Dis,7(7): pp 2340 Garima K, Basil VM, Pathak, R.,Kumar S., Narang.,A ., Rawat KS., Chaudhry ,A., Nair , D., Ramchandran ,VG.,Bose , M., 201 Are we overlooking infections owing to non-tuberculous mycobacetria during routine conventional laboratory investigations?., International Journal of Mycobacetriology, (1)pp: 207-211.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



311



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Gopinath ,K.Singh, S. 2010. ‘Non-Tuberculous Mycobacteria in TB-Endemic Countries: Are We Neglecting the Danger?’ PLoS Negl Trop Dis.;4(4)pp 61 Griffith, DE; Aksamit ,T; Brown, BA;2007. ‘An Official ATS/IDSA Statement: Diagnosis, Treatment, and Prevention of Nontuberculous Mycobacterial Diseases’. Am J Respir Crit Care Med.175(4):pp 367-416. Honda, JR; Knight, V. 2015. Pathogenesis and Risk Factors for Nontuberculous Mycobacterial Lung Disease. Clin Chest Med. .36(1):pp 1-11. Huang,TC; Tsai JY;Shu,CC;Lei CY;Wang YJ;Yu,JC; Lee, NL; Yang CP; Group Tami. 2009. ‘Clinical significance of isolation of non tuberculous mycobacteria in pulmonary tuberculosis patients, Respiratory med: 103 ( 1484-91 McGarvey ,J; Bermudez, LE. 2002. Pathogenesis of nontuberculous mycobacteria infections. Clin Chest Med. 23,pp.569-583 Moon, SM: Park, YH: Jeon ,K; Kim,YS; Chung MJ; Huh, HJ; Seok ,C; Lee , NY; Shin,JS; Koh,JW; 2015: Clinical significance of Mycobacterium kansasii Isolates from respiratory Specimens, Plos One 10. pp 1-10. Naylor K,Li G, Vallejo AN,. 2005 The influence of age on T cellgeneration and TCR diversity.J Immunol ; pp 174;2 Simons ,S. 2011. ‘Nontuberculous Mycobacteria in Respiratory Tract Infections, Eastern Asia’. Emerg Infect Dis. 17(3) Sonnenberg P, Murray,J;Glyyn,JR; Thomas RG, Godfrey FaussettP, Shearer S; 2000. Risk factor for pulmonary disease due toculture positive M tuberculosis or non tuberculous Mycobacteria in South African gold miner. Eur Resp J ; 15:pp 291-296 Tabarsi ,P; Baghaei ,P; Farnia, P; Mansouri ,N; Chitsaz E; 2009; Non tuberculous mycobacteria among patients who are suspected for multidrug-resistant tuberculosis-need for earlier identification of nontuberculous mycobacteria. Am J med Sci 337: pp. 182-4 Tille, PM, 2015. Bailey and Scott’s Diagnostic Microbiology, 13th edition. Elsevier MosbyMisoury WHO. 2014 Global Tuberculosis Report :171 ---o0o--¬



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



#tbu010 MODEL EVALUASI PELAYANAN KESEHATAN PADA PENGENDALIAN TB DI INDONESIA 0DULD+ROO\+HUDZDWL



3XVOLW6XPEHU'D\DGDQ3HOD\DQDQ.HVHKDWDQ%DOLWEDQJNHV.HPHQNHV



ABSTRAK Background 7% GLVHDVH UHPDLQV D KHDOWK SUREOHP LQ ,QGRQHVLD GHVSLWH WKH FRQWURO PHDVXUHV DOUHDG\ FDUULHG RXW VLQFH WKH FRORQLDO HUD (YDOXDWLRQV ZHUH FRQGXFWHGIRUWKLVLVVWLOODQHYDOXDWLRQSURFHVVVRWKLVWLPHWKHUHVHDUFKHUVRIIHU DFRPSUHKHQVLYHHYDOXDWLRQWKDWLVWKHZD\WKHQHZPHDVXUHPHQWVLQWKHIRUPRI ODWHQW YDULDEOHV HQYLURQPHQW LQIUDVWUXFWXUH SURFHVVHV WDUJHWV DQG RXWSXW  ZLWK WKHSXUSRVHRIWKLVHYDOXDWLRQWRSURYLGHLQSXWRQSROLF\PDNHUV7%FRQWUROLQWKH IXWXUH 7KH UHVHDUFK TXHVWLRQ LQGLFDWRUV ZKDW ZLOO EH VXSSRUWLQJ WKH HYDOXDWLRQ PRGHO LQ WKLV VWXG\" :KDW LQGLFDWRUV VXSSRUWLQJ ODWHQW YDULDEOH WKH HQYLURQPHQW LQIUDVWUXFWXUH SURFHVVHV WDUJHWV DQG RXWSXW RQ KHDOWK FDUH" Methods 7KH VWXG\ ZDV GRQH E\ XVLQJ D FRPELQDWLRQ RI GDWD 33/ 5LIDVNHV  DQG  7KHPHWKRGXVHGLVVHFRQGDU\GDWDDQDO\VLVDVZHOODVWKHDGGLWLRQRITXDOLWDWLYH GDWDXVLQJV\VWHPVUHVHDUFKDVZHOODVYDULDEOHPRGHOLQJPHWKRGXVLQJ6WUXFWXUDO (TXDWLRQ 0RGHOLQJ DQDO\VLV Results 7KH UHVXOWV RI WKH QDWLRQDO PRGHO RXWOLQHG LQ D URZ ZLWK WKH ODUJHVW FRQWULEXWLRQ^LQIUDVWUXFWXUHWRSURFHVVWDUJHW QRWLILFDWLRQRI7%FDVHVRIDOO W\SHVDQGQHWZRUNLQJVXVSHFWHG WR&DVH'HWHFWLRQ5DWHSURFHVVWRWDUJHW UHJLVWUDWLRQ RI 7% FDVHV WUHDWHG   3URFHVV WR &XUH 5DWH  3URFHVV IRU &DVH 'HWHFWLRQUDWH7DUJHWWRWKHFDVHQRWLILFDWLRQUDWH,QSXWV HQYLURQPHQW WR WKH IXOILOOPHQW RI JRRG LQIUDVWUXFWXUH IDFLOLWLHV  WKH LPSOHPHQWDWLRQ SURFHVV WR WKH DFKLHYHPHQWV RI FDVH GHWHFWLRQ UDWH DQG  WKH IXOILOOPHQW WKH WDUJHW  UHJLVWUDWLRQ RI 7% FDVHV WUHDWHG  WR FXUH UDWH` Conclusion 1HHG LPSURYHPHQW RQ  RI WKH DERYH ILQGLQJV DQG PXVW EH GRQH FRQFXUUHQWO\ DQG VXSSRUW FRPPLWPHQW DQG DGHTXDWH IXQGLQJ .H\ZRUGV (YDOXDWLRQ  &RQWURO ² 7%  0HWKRGV



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



313



PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara berkembang, dalam proses pembangunan kesehatan masyarakatnya mengacu kepada UUD 1945 amandemen 2 pasal 28 H ayat (1) dan amandemen 4 pasal 34 ayat (3). Bukti tersebut terlihat pada adanya 1.938 rumah sakit dan 9.314 puskesmas, (Kemenkes RI, 2008) dan UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan Perpres 72 tahun 2012 tentang SKN sebagai dasar dan arah pembangunan kesehatan untuk mewujudkan hak penduduknya. Permasalahan penyakit TB masih merupakan masalah utama di Indonesia, terbukti dengan kasus prevalens TB masih menduduki urutan ke 3 di dunia setelah Afrika Selatan dan Kamboja” (WHO, 2015). Upaya pengendalian TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak zaman penjajahan Belanda, selanjutnya di buat Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4) yang selanjutnya di kerjakan di puskesmas, dan beberapa buku pedoman pengendalian TB nasional, mulai tahun 2007 sampai 2014 (Kemenkes, P2PL, 2014). Upaya pengendalian TB sudah banyak dilakukan, tetapi model evaluasi pengendalian TB pada pelayanan kesehatan di Indonesia masih jarang. Penelitian ini mengungkapkan model evaluasi pelayanan kesehatan dengan metode baru, untuk pengendalian TB di Indonesia. Beberapa Teori yang di pakai adalah teori Health Sistem Organization, Hirarki Sistem, Indikator Input Proses Output dan Indikator SARA(Rakich,1995; Barry,2012;Boerma,2012;WHO, 2013). Pertanyaan Penelitian: Indikator apa saja yang akan mendukung model evaluasi pada penelitian ini? Indikator apa saja yang mendukung laten lingkungan, sarana prasarana, proses, target dan output pada pelayanan kesehatan? METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan secara kross seksional dengan metode mix method yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif berupa pengolahan data sekunder dari data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes tahun 2011) dan data P2PL 2011. Pengolahan data dilakukan dengan analisa univariat, bivariat dan SEM (6WUXNWXUDO(TXDWLRQ0HWRGHOLQJ) Selanjutnya model dari hasil evaluasi program pengendalian TB secara matematis tersebut akan dikonfirmasi dengan hasil penelitian kualitatif dan pertimbangan substansial akan direkomendasikan kepada para pengambil kebijakan atau sebagai model akhir.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



314



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Keterangan: 1. Variabel output: 1. laten &5 2. laten &'5 3. laten &15 2. Variabel laten lingkungan: ketepatan letak, tidak DTPK, jumlah penduduk dilayani, akreditasi, pendidikan pimpinan/ penanggung jawab, visi yankes ke masyarakat. 3. Variabel laten sarpras: pelayanan TB, waktu, kondisi ruangan pelayanan medis, komposisi tenaga menurut jenis dan status, pelatihan , ketersediaan peralatan penanggulangan TB, sumber dan kualitas air, listrik, peralatan komunikasi,pengolahiman limbah, transportasi, sik, sik dengan komputer, biaya operasional, obat dan vaksin). Variabel laten proses: perencanaan, struktur organisasi, rujukan dan penggunaan sop atau pedoman. 4. Variabel laten capaian/target; Target 1 :  QRWLILNDVL kasus TB semua tipe, penjaringan suspek, dan suspek yang diperiksa BTA. Target 2: penderita TB paru BTA positif yang dicatat/diobati, GHIDXOW NRQYHUVL HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa model evaluasi program pengendalian TB di Indonesia dengan pemakaian output berupa: &DVH 'HWHFWLRQ 5DWH (&'5 , &DVH 1RWLILFDWLRQ 5DWH &15 dan &XUH 5DWH &5 mendapatkan hasil yang konsistensi dan model yang fix. Hill Bradford (Alexander Kramer, 1999), menyatakan bahwa suatu penelitian dapat diterima apabila ada hubungan kausalitas, konsistensi, temporalitas, analogi pendukung, dan logis. Melalui pertimbangan diatas maka hasil evaluasi pada pemodelan pengendalian TB nasional harus di mulai dari:



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



315



1. Pembenahan pada laten sarana prasarana untuk menunjang laten proses di pelayanan kesehatan di Indonesia. Hubungan ini kuat (t = 214,34) . Indikator sarana prasarana antara lain: komposisi tenaga menurut jenis dan status sumber dan kualitas air, keadaan ruang pelayanan medis, sistem informasi yang menggunakan komputer, biaya operasional, listrik, sarana transportasi, pelayanan TB, pembiayaan, obat TB, sedang indikator laten proses: struktur organisasi, rujukan, standar operasional prosedur. Analogi teori dalam buku 0DQDJLQJ +HDOWK 6HUYLFHV 2UJDQL]DWLRQV, mengatakan bahwa sarana prasarana akan mempermudah konversi dalam organisasi dalam hal ini di sebut proses. Analogi teori Sosial Determinan Kesehatan (SDK) menyatakan bahwa pada struktur sosial yaitu pelayanan kesehatan juga di pengaruhi oleh determinan intermediate dimana material atau kelompok sosial ekonomi tertentu akan mencari pelayanan kesehatan sesuai dengan strata nya, demikian pada hasil peneliti ini. Pada kelompok negara yang mempunyai beban penyakit TB yang tinggi selanjutnya akan menempati strata tertentu dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan kesehatan (WHO,2010). Laten sarana prasarana terutama sumber daya manusia menentukan keberhasilam pembangunan kesehatan, WHO mengatakan bahwa tenaga kesehatan berperan 80% dalam pembangunan kesehatan. Situasi pengadaan SDM kesehatan yang sesuai dengan standart komposisi di pelayanan kesehatan tingkat kabupaten di Indonesia masih sekitar 25%. Fakta ini dapat di generalisasi bahwa Indonesia masih terkendala pada pembangunan kesehatan. Hasil penelitian diatas didukung analogi penelitian Lucie Bok dkk., (2012) di Tanzania mendapatkan bahwa beban kerja petugas pelayanan kesehatan primer akan menentukan pelaksanaan pekerjaan sesuai sop. Xiaolin Wei dkk.,(2011) menyimpulkan bahwa staf yang berkualitas dan kualitas pelayanan yang terjamin akan mendukung kesuksesan desentralisasi pelayanan kesehatan. Ruth Belling, (2012) menunjukkan layanan TB berbasis rumah sakit sedikit lebih, di banding layanan berbasis masyarakat, hal ini disebabkan beberapa kekurangan misal akomodasi untuk pengobatan pasien, tenaga kerja profesional, kepemimpinan strategis, pimpinan klinik perawat dan jalur karir terstruktur untuk perawat TB dan beberapa perawat pekerja sosial/outreach untuk mendukung pasien dengan kebutuhan kompleks. Pemecahan masalah indikator sarana prasarana yang sesuai standart, (PMK 75 tahun 2014 dan Permenkes 416 tahun 1990) seperti air 39%, keadaan ruang pelayanan medis yang standart (67%), listrik (66%), transportasi (68%), perlunya di laksanakan secara konkuren (UU RI. no.23, 2014), demi terciptanya keselamatan di yankes (Kementerian Kesehatan, 2010). Situasi di Indonesia dengan wilayah yang luas masih terkendala dengan sistem informasi dengan komputer (50%), biaya operasional yang aman (42%) dan adanya pelayanan kesehatan TB (74%) yang sesuai teori Rakich, 1995; Barry, 2012; WHO, 2013, sehingga proses under diagnosa, dan under reporting sangat banyak, walaupun sudah ada jalan keluar yaitu rujukan, U no. 44, 2009, Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



316



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



tetapi belum jelas-jelas mengatur alur rujukan sesuai ISTC. Kudakwashe C Takarinda dkk.,(2012) menyimpulkan perlu perencanan yang lebih baik dalam strategi tindaklanjut pasien TB agar datang ke pelayanan kesehatan sesuai jadwal, dalam proses rujukan . Hasil penelitian ini dimasukkan ketersediaan obat KDT1/3 sebagai indikator sarpras dengan pertimbangan substansial. Model laten sarana prasarana dan proses berada pada tahap kedua dalam penelitian ini, di mana pada tahap kedua adalah domain dari kemenkes dan dinas kesehatan, dalam hal ini penerapannya masuk ke masalah konkuren wajib. 2. Untuk mencapai penemuan kasus (FDVH GHWHFWLRQ UDWH perlu adanya peningkatan laten pencapaian/target 1 (notifikasi kasus TB semua tipe dan penjaringan suspek). ( t = 37,28). Penemuan kasus menurut buku pedoman pengendalian TB dapat di lakukan dengan aktif dan pasif. Perlu di catat bahwa kegiatan penjaringan suspek dan notifikasi suspek hanya di lakukan oleh pelayanan kesehatan yang sudah mempunyai jejaring dengan program pengendalian TB di kabupaten. Maka apabila kabupaten ingin menuntaskan permasalahan TB di daerahnya maka sebaiknya harus mulai mengikutkan semua pelayanan kesehatan di daerahnya dengan memberi pembekalan tentang manajemen TB, termasuk cara pelaporannya. Dukungan beberapa hasil penelitian luar negeri antara lain. T Jacob John, (2014) menyatakan penerapan tehnologi untuk deteksi dan manajemen infeksi TB laten pada anak yang aktif, memegang peranan dalam pengendalian TB. Xinxu Li, (2010) mengatakan bahwa, penemuan kasus dan pengobatan TB secara aktif sangat efektif di Cina. Esti Febriani dkk., (2015) mengatakan penemuan TB aktif melalui kontak tracing sangat efektif. 3. Program pengendalian TB di Indonesia pada pemodelan ini memerlukan adanya laten proses (struktur organisasi, rujukan dan sop) untuk mencapai target 2 (penderita TB BTA positif yang di obati yang di catat). Nilai t = -27,83. Struktur organisasi bertujuan mempermudah seseorang menerapkan perannya di suatu organisasi, hasil penelitian menunjukkan bahwa stuktur organisasi pelayanan kesehatan banyak di buat dan dimiliki oleh rumah sakit dan laboratorium, sedang puskesmas yang mempunyai struktur organisasi secara umum di beberarapa kabupaten hanya sebesar 0,2%. Pemenuhan tenaga yang sesuai komposisi dan jenis hanya 25%, maka penggunaan struktur organisasi malah akan menghambat petugas pelayanan saling menutup keperluaan tenaga dan pekerjaan, sehingga beberapa tugas program pengendalian TB terutama pada pencatatan penderita TB positif yang di obati (TB01), banyak terbengkalai, dan hal ini menyebabkan kesalahan rekap di register TB03 di kabupaten. Proses rujukan yang diikuti ketersediaan sdm, membuat tidak di patuhinya sop, sehingga kegiatan pencatatan penderita TB BTA positif yang di obati terabaikan.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



317



4. Program pengendalian TB di Indonesia juga memerlukan adanya laten proses yang membuat terjadinya FXUH UDWH. Dibuktikan nilai t = 23,83. Walaupun proses pada pelayanan TB dengan target berkorelasi negatif, tetapi pada proses dan kejadian FXUH UDWH menghasilkan hubungan positif. Maka dari pemodelan diatas maka dapat di generalisasi bahwa kejadian FXUHUDWH di pandang dari segi proses yang terjadi di pelayanan kesehatan sangat besar perannya, seperti tulisan Varkevisser, (2003) menyebutkan bahwa kegagalan berobat di sebabkan karena adanya indikator di pelayanan kesehatan, adanya indikator ketidak tahuan pasien, adanya beberapa penyakit lain yang bersamaan dengan penyakit TB, adanya indikator kebudayaan, sosial dan ekonomi (Varkevisser C.P, 2003). teori HSO oleh Jonathon mengatakan bahwa dengan adanya proses yang dalam HSO di sebut sebagai konversi, yang di lakukan oleh manager atau pimpinan dalam menggabungkan struktur, tugas, tehnologi dan orang untuk menuju ke output organisasi. Peran pimpinan atau manager atau pimpinan pusat sangat besar dalam upaya pencapaian FXUHUDWH. Struktur, tugas dan tehnologi, orang yang ada di pelayanan kesehatan harus bisa mengkonversi untuk tercapainya program pengendalian TB. Pembenahan sarana prasarana yang mendukung proses menyebabkan terjadinya FXUH UDWH yang tinggi, yang berdampak menurunkan prevalensi kasus TB di masyarakat. Berbicara tentang tehnologi, orang, dan penugasan mengingatkan tehnologi penegakan diagnosa TB di Indonesia masih memakai smear positif, sedangkan beberapa survey sudah menempatkan prevalensi yang beragam dengan penggunaan tehnologi yang bervariasi. Sehingga hal ini menyebabkan kesimpang siuran data prevalensi yang ada. Akibat semua itu sehingga terjadilah under diagnosis yang akhirnya juga berdampak under reporting dan menyebabkan pengobatan kurang maksimal. Pemerintah seharusnya mulai memperhatikan dampaknya apabila penyakit menular seperti TB ini tidak serius di tangani dan biaya katastropinya. Peneliti dalam tulisan ini juga mengatakan bahwa dengan adanya keluarga sehat maka akan terurai salah satu simpul masalah. 5. Program pengendalian TB di Indonesia juga memerlukan adanya laten proses yang membuat peningkatan penemuan kasus TB (FDVHGHWHFWLRQUDWH  Nilai t = 15,77. Pengendalian TB di Indonesia memfokuskan indikator penemuan kasus diantara suspek merupakan target utama yang harus di capai, karena dengan penemuan kasus lebih awal maka akan secepatnya di obati, dan otomatis memutus mata rantai penularan. Penemuan kasus baik melalui &'5 maupun &15 sangat menentukan langkah selanjutnya. Penggunaan angka penemuan kasus FDVH GHWHFWLRQ UDWH yang memakai persentase sebagai target, kadang membuat kecurangan, karena itu kelemahan pemakaian angka penemuan kasus ini perlu di kombinasi dengan &15. Dalam semua kebijakan, Olivia Oxlade dkk., (2015) menyatakan bahwa diagnosis dini sangat penting. Disamping karena adanya akses penderita TB ke pelayanan kesehatan seperti adanya proses di pelayanan kesehatan, indikator penentu penemuan kasus TB Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



318



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



lain adalah kesadaran masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan, biaya transportasi, jam buka pelayanan kesehatan dan juga waktu tunggu yang lama. 6. Program pengendalian TB di Indonesia juga memerlukan adanya variabel laten target 1 yang didukung indikator notifikasi kasus TB semua tipe dan penjaringan suspek yang membuat terjadinya &15. Nilai t = 13,68. Peralatan diagnosa ikut menentukan perolehan &15, disamping jumlah penduduk yang harus selalu di XSGDWH. Penemuan penderita dengan cepat memerlukan tehnologi pendukung. Analogi penelitian pada hubungan konsep ini sama dengan analogi penelitian pada hubungan konsep no.1 dan 5 yaitu pada temuan Xiaolin Wei dkk., (2011) dan Ruth Belling (2012) pada hubungan konsep no 1. Beberapa hasil diatas, maka dapat di tarik garis besar bahwa pemodelan dengan 3 RXWSXW sangat di perlukan dan tetap harus di lakukan kombinasi ketiganya. 7. Perlu hubungan antara variabel laten lingkungan (pimpinan yang berlatar sesuai), pelayanan kesehatan yang mempunyai visi kesehatan ke masyarakat, akreditasi pelayanan kesehatan yang menyebabkan terpenuhinya laten sarana prasarana. nilai t = 8. Beberapa teori yang mendukung adalah Management Metode For +HDOWK 6HUYLFH2UJDQL]DWLRQVyang mengatakan bahwa makro environmental yang salah satunya adalah adanya pimpinan dan kebijakan akan sangat menentukan tersedianya sarana dan prasarana di pelayanan kesehatan. Peran pimpinan dan kebijakan yang ada penilaian mutu (akreditasi) sangat menentukan pemenuhan sarana prasarana (Jonathon S. Rakich, 1995). Kebijakan pemerintah tentang pimpinan, visi dan akreditasi di yankes sangat diperlukan. 8. Program pengendalian TB di Indonesia memerlukan adanya variabel laten proses dan capaian/target 1. Nilai t = -2,68. Hubungan negatif antara struktur organisasi sebagai indikator pendukung proses dengan capaian notifikasi kasus TB semua tipe menceritakan bahwa dengan adanya struktur organisasi yang di terapkan pada situasi dimana jumlah tenaga kesehatan kurang akan menyebabkan beban seorang petugas akan berlebihan. Fenomena ini menerangkan adanya struktur organisasi membuat pelaporan (notifikasi kasus TB semua tipe) dan (penjaringan suspek) menjadi berkurang, hal ini karena beban petugas dan sarpras yang tidak memadai. 9. Perlu adanya laten capaian/target 2 (penderita TB BTA positif yang di obati yang di catat). agar terjadi FXUHUDWH di Indonesia, dikuatkan hasil analisa nilai t= 2,47. Varkevisser pada no 4 diatas. Menambahkan gagal berobat di sebabkan adanya kombinasi penyakit, indikator pelayanan kesehatan (sop,supervisi,pelatihan, kualitas layanan,aturan obat, rendahnya akses ke yankes karena transportasi dan waktu, dan dukungan sosbud dan ekonomi).



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



319



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



Generalisasi pemodelan nasional: Penguatan sistem pengendalian TB perlu dilakukan mulai dari tengah yaitu pengadaan sarana prasarana yang di perlukan untuk terjadinya proses, selanjutnya pada hilir yaitu pencapaian target dengan capaian case notifikasi rate, serta penguatan di proses dan di pencapaian FXUH UDWH. Penguatan sistem di tengah dan di hilir ini adalah bagian dari kemenkes dengan jajaran kementerian yang lain, selanjutnya diikuti penguatan sistem di hilir yaitu dinas kesehatan dan pelayanan kesehatan di bawahnya serta dukungan pemerintah daerah.







&DVH 'HWHFWLRQ 5DWH



7YDOXH 



7YDOXH  7YDOXH 



7DUJHW &DSDLDQ



&DVH 1RWLILFDWLRQ 5DWH



7YDOXH  3URVHV /LQJNXQ JDQ 7YDOXH 



6DUDQD 3UDVDUDQD



7YDOXH  7YDOXH 



7DUJHW &DSDLDQ 7YDOXH 



&XUH5DWH



7YDOXH 



0HWRGH6WUXNWXUDO+DVLO(YDOXDVL3URJUDP3HQJHQGDOLDQ7%'L,QGRQHVLD



Gambar 2. Model Struktural Hasil Evaluasi Program Pengendalian TB di Indonesia



.HVLPSXODQ: Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu pembenahan sistem program pengendalian TB nasional pada 9 hubungan variabel laten penting sesuai urutan kontribusinya. 1. Di perlukannya pemenuhan 9 indikator variabel laten sarana prasarana untuk terjadinya proses di pelayanan kesehatan, (6 indikator mayor) antara lain: (1) sistem informasi dengan komputer (2) sumber dan kualitas air, (3) listrik, (4) sarana transportasi, (5) biaya operasional, (6) ketersediaan obat KDT1/3. Tiga indikator spesifik atau indikator yang hanya dimiliki dalam model nasional yaitu; komposisi tenaga, ruang penunjang medis, dan pelayanan TB. 2. Di perlukan kenaikan kegiatan indikator penjaringan suspek dan notifikasi kasus TB semua tipe untuk terjadinya penemuan kasus melalui FGU 3. Diperlukan kenaikan indikator seperti struktur organisasi, rujukan dan sop untuk terjadinya target 2 (pencatatan pasien TB BTA positif yang di obati). 4. Diperlukan kenaikan indikator struktur organisasi, rujukan dan sop untuk terjadinya cXUH UDWH 5. Diperlukan kenaikan indikator struktur organisasi, rujukan dan sop untuk



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



320



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



kenaikan capaian &DVH'HWHFWLRQ5DWH. 6. Diperlukan kenaikan kegiatan indikator penjaringan suspek dan notifikasi kasus TB semua tipe untuk kenaikan capaian &15. 7. Diperlukan pemenuhan indikator seperti adanya adanya visi pelayanan kesehatan ke masyarakat; akreditasi TB ke mayor, pimpinan pendidikan yang sesuai, dan visi yankes agar terpenuhinya sarana prasarana di pelayanan kesehatan. 8. Diperlukan pemenuhan indikator struktur organisasi, rujukan dan sop untuk terjadinya target 1 9. Diperlukan pemenuhan indikator pencatataan penderita TB BTA positif yang di obati untuk terjadinya FXUH UDWH. 6DUDQ 1. Untuk pemangku kebijakan program pengendalian TB disarankan untuk memakai ketiga indikator output (&'5, &15, dan &XUHUDWH) sebagai bagian dari evaluasi. 2. Kemenkes RI dan jajarannya lebih konsisten dan konsekwen dalam membenahi program TB, dengan pemenuhan sarana prasarana 5 mayor dan 3 spesifik, baik advokasi antar kementerian maupun pada organogramnya, terutama pada pimpinan, akreditasi dan visi. 3. Kepala Dinas kesehatan kabupaten/kota, membuat peraturan sesuai dengan ISTC untuk dijalankan bersama, terutama alur pelaporan dengan komputer, mengadvokasi pemerintah daerah dan membuat kebijakan agar semua pelayanan kesehatan melakukan TB DOTS, mengadvokasi dalam pemenuhan sarpras yang disebutkan diatas. 4. Wasor TB kabupaten, mengadakan supervisi, bimbingan dan pelatihan TB DOTS. 5. Pimpinan pelayanan kesehatan (umum dan swasta) mengirim tim ikut pelatihan TB DOTS, meng-skkan, serta memfasilitasi pelaksanaan sesuai ISTC. 6. Lintas sektor agar mendukung keberadaan sarpras di yankes sesuai fungsinya:listrik, air, alat komunikasi dengan jaringannya, pendanaan TB, transportasi umum, materi pelajaran kepemimpinan dan manajemen organisasi kesehatan yang terakreditasi. DAFTAR PUSTAKA 1.



Herawati, Maria H.(2016). Diser tasi. Pengembangan Model Pengendalian TB Di Indonesia.Depok : FKM UI.



2.



Kemenkes RI.(2008). Hasil Rapat Koordinasi Bidang Kesehatan. Jakar ta: Tidak di publikasikan.



3.



WHO. (2015, -). Global TB Report 2015 20th Edition. Dipetik Oktober Kamis, 2015, dari http:/



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



321



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya /www.who.int/tb/publications/global_report/en/: 4.



Kemenkes, P2PL. (2014). Buku Pedoman Pengendalian Tuberkulosis Nasional. Jakarta: Kemenkes RI.



5.



Jonathon S. Rakich, B. B. (1995). Managing Health Services Organizations Third Edition. Baltimore, Maryland: Health Professions Press



6.



Barry, C. e. (2012). Post -2015 Goals, Target And Indicators. Paris: The Center For International Governance Innovation (CIGI).



7.



Boerma, T. (2012). WHO Framework For Measurement Of Service Coverage Dimension Of Universal Health Coverage Measuring and Monitoring Country Progress Toward UHC



Concepts, Indicator And Experience. Washington: WHO. 8.



WHO. (2013). Service Availabile delivery and Readiness Assessment (SARA) An Annual Monitoring System For Servic. Switzerland: WHO.



9.



Kemenkes Badan Litbangkes.(2012). Laporan Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011.



Jakar ta: Kemenkes Balitbangkes. 10. Alexander Kramer, M. K. (1999). Modern Infectious Disease Epidemiology Concepts, Methods, Mathematical Models, and Public Health. New York: Springer. 11. Lucie Blok, S. v. (2012). Measuring workload for tuberculosis service provision at primary care level: a methodology. Human Resources for Health , 1 - 10. 12. Xiaolin Wei, G. Z. (2011). Evaluating the impact of decentralising tuberculosis microscopy services to ruraltownship hospitals in gansu province, china. BMC Public Health , 1 - 8. 13. Ruth Belling, S. M. (2012). Pan-London tuberculosis services: a service evaluation. BMC Health Services Research 2012, 12:203 , 1 -12. 14. John, T. J. (2014). Golden Jubilee Lecture. Tuberculosis Control in India: Why are we Failing? Indian Pediatrics 526 Volume 51 July 15, 2014 , 523 -527. 15. Xinxu Li, H. Z. (2010). Active Pulmonary Tuberculosis Case Detection and Treatment Among Floating Population in China: An Effective Pilot. J Immigrant Minority Health (2010) 12:811–815. 16. Esty Febriani, R. H. (2015). The effectiveness of contact tracing in increasing active TB case finding. National TB Research Parade Comemorating The World TB Day 2015 The 4th Indonesia Tb research Parade (hal. 37). Jakarta: TORG, Kemenkes RI, P2PL Subdit TB. 17. Varkevisser C.P. (2003). Designing and Conduct Health System Research Projects, Volume 1 Proposal Development And Fieldwork. USA: CIDRC. 18. Olivia Oxlade, A. P. (2015). Modeling the impact of tuberculosis interventions on epidemiologic outcomes and health system costs. BMC Public Health , 1 – 14 ---o0o--Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



322



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



TB Diagnostic Development and the First-line Anti-TB Drug Sensitivity Profile of MTBC of Pulmonary TB Patients in Soetomo Hospital Surabaya 1L0DGH0HUWDQLDVLK6RHGDUVRQR7XWLN.XVPLDWL'HE\.XVXPDQLQJUXP (NR%XGL.RHQGKRUL'HVDN1\RPDQ6XU\D6XDPHLWULD'HZL6XJHQJ+DULMRQR +DQLN8ULIDK-D\DQWL3XWUL&DWXU(QGUD.XUQLD Department of Medical Microbiology, Faculty of Medicine Universitas Airlangga, Surabaya 60131 Indonesia 2 Department of Pulmonology and Medical Respirology, Faculty of Medicine Universitas Airlangga 3 Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga, Surabaya 60115 Indonesia  'U6RHWRPR+RVSLWDO6XUDED\D,QGRQHVLD 1



Abstract Achievement the success of tuberculosis control is started with the first important step to implement the standard diagnosis method for TB surveillance. Early and accurate diagnostic assay to detect MTBC with anti-TB drug sensitivity is crucialto report the valid data as the evidence basefor effective treatment in the best clinical outcome, and forTB drug resistance surveillance fordeterminingthe strategy of TB control. Methods: This study is an operational research of TB laboratory division in Department of Clinical Microbiology, Soetomo Hospital Surabaya Indonesia. Detection – identification of 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV FRPSOH[(MTBC)and first line anti-TB drugs sensitivity test of sputum specimens from clinical suspected pulmonary TB patients using liquid culture standard method BACTEC MGIT System(BD) and TB test Ag MPT64 (SD Bioline). Analyzing of TB laboratory result data at January 2016 until December 2016. Results: Totally 1752 sputum specimens from suspected pulmonary TB patients were examined and analyzed, detected 389 (22, 20%) positive MTBC; a side important evidence revealed 15 (3, 86%) MDR-TB strains of 389 MTBC isolates. Conclusion: this study reported, detection rate of MTBC from suspected pulmonary TB patients were low. One constraints on the implementation of the standard clinical setting to decide a suspected pulmonary TB, and the other could be related to the complex clinically cases in this tertiary hospital. The important step in TB management is implementation of the clinical algorithm in TB diagnosis, beside the crucial useful the developed diagnostic tools. Early and accurate diagnosis of TB with anti –TB drug sensitivity performance should be use for appropriate therapy promptly. Surveillance MDR – TB in endemic TB region is crucial for evidence base to determine strategy to decrease mortality and to stop transmission. Keywords: TB diagnostic development, TB surveillance, TB control, MDR-TB, Soetomo Hospital Surabaya Indonesia Corresponding author: email address [email protected] “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



323



,QWURGXFWLRQ Infectious diseases control, integrated data from the drug resistance surveillance system to enable us to assess comprehensively all the key indicators needed to monitor. Progress and to identify and correct problems, developed more precise estimates of the burden of tropical diseases, improving the methodology to measure incidence, prevalence and mortality (WHO, 2016). We are now entering the era of the Sustainable Development Goals, in which paradigm shifts are expected in all sectors, including health. TB is an infectious disease that, despite all progress, claims a number of deaths paralleled only by those from HIV/ AIDS. To end the epidemic (defined as an incidence of fewer than 100 cases per million people) by 2035 will require a rapid upgrade of care and managerial standards.During the next years, we will need to change our mentality and adopt all effective innovations. Novel ways of diagnosing and reporting already exist and their adoption will help us evolve further towards interventions that are more user friendly, cheaper and more sustainable. In 2015, it marks the deadline for global TB targets set in the context of the Millennium Development Goals (MDGs), and is a year of transitions: from the MDGs to a newera of Sustainable Development Goals (SDGs), and from theStop TB Strategy to the End TB Strategy. It is also two decadessince WHO established a global TB monitoring system (WHO, 2016). Effective diagnosis and treatment of TB saved anestimated 43 million lives between 2000 and 2014. TB now ranks alongside HIV as a leading cause of deathworldwide. HIV’s death toll in 2014 was estimated at 1.2million, which included the 0.4 million TB deaths among HIVpositivepeople.Worldwide, 9.6 million people are estimated to have fallenill with TB in 2014: 5.4 million men, 3.2 million women and1.0 million children. Globally, 12% of the 9.6 million new TBcases in 2014 were HIV-positive.To reduce this burden, detection and treatment gaps mustbe addressed, funding gaps closed and new tools developed(WHO, 2016). In 2014, 6 million new cases of TB were reported to WHO, fewer than two-thirds (63%) of the 9.6 million people estimated to have fallen sick with the disease. This means that worldwide, 37% of new cases went undiagnosed or were not reported. The quality of care for people in the latter category is unknown. Of the 480 000 cases of multidrug-resistant TB (MDR-TB) estimated to have occurred in 2014, only about a quarter of these – 123 000 were detected and reported. From 2016, the goal is to end the global TB epidemic by implementing the End TB Strategy. Adopted by the World Health Assembly in May 2014 and with targets linked to the newly adopted SDGs, the strategy serves as a blueprint for countries to reduce the number of TB deaths by 90% by 2030 (compared with 2015 levels), cut new cases by 80% and ensure that no family is burdened with catastrophic costs due to TB disease burden and 2015 assessment, revised estimates for Indonesia (1 million new cases per year, double the previous estimate) explain the upward revision to WHO’s global estimates of incident cases compared with those published in 2014. Importantly, however, revisions also affect estimates for previous years and the trend in TB incidence globally as well as in Indonesia is still downward since around 2000. Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



324



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



In Indonesia on 2015, incident rate of all TB cases were about 395 cases per 100.000 population; estimated incidence of MDR/RR-TB cases among notified pulmonary TB were about 10.000 cases. New cases of MDR/RR-TB was about 2,8% with 32.000 incidence cases of MDR/RR-TB (WHO, 2015; WHO, 2016). Ministry of Health Indonesia reported, there were 1.860 of confirmed MDR/RR-TB cases from 15.380 suspected patients in Indonesia on 2015 with 1.287 people that were being treated (Ministry of Health Office of East Java, 2016). Of the 9.6 million new TB cases in 2014, 58% were in the South-East Asia and Western Pacific regions. India, Indonesia and China had the largest number ofcases: 23%, 10% and 10% of the global total. All three of the 2015 targets, for incidence, prevalenceand mortality.In 2014, an estimated 190 000 people died of MDR-TB. Worldwide, 58% of previously treatedpatients and 12% of new cases were tested, up from 17%and 8.5% respectively in 2013. This improvement is partlydue to the adoption of rapid molecular tests.The number of cases detected (123 000) worldwide representedjust 41% of this global estimate, and only 26% ofthe 480 000 incident cases of MDR-TB estimated to haveoccurred in 2014. Detection gaps were worst in the WesternPacific Region, where the number of cases detectedwas only 19% of the number of notified cases estimated tohave MDR-TB.Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) had been reported by 105 countries by 2015 an estimated 9.7% of people with MDR-TB have XDR-TB. In 2014, co-epidemic of TB and HIV, an estimated 1.2 million (12%) of the 9.6 millionpeople who developed TB worldwide were HIV-positive. It is important diagnostic and laboratory strengthening. In the diagnostics pipeline, tests based on molecular technologiesare the most advanced. A diagnostic platform called the GeneXpertOmniR is in development. It is intended for point-of-care testing for TB and rifampicin-resistant TB using Xpert MTB/RIF (WHO, 2016). The important initial step in TB control is the strategic management of case finding and immediately follow the next crucial step of determining TB diagnosis. In determined TB diagnosis need the accurate specimen and obediently implementing the standard TB laboratory method. Early and accurate diagnostic assay to detect and identify MTBC with anti-TB drug sensitivity information is important as the evidence base for determining the appropriate effective anti-TB treatment to achieve the good clinical outcome, otherwise for TB surveillance in TB control program. Tuberculosis is the chronic infectious disease, primary attack the lung tissue that could spread throughout the body tissue or organs.Accurate specimen can be obtained from a part of the tissue or secretory product of the tissue injury of the focus of infectious process. Development standardized TB diagnostic method based on microscopy method, culture method, and nucleic acid amplification tests (NAATs) method have been recommended or endorsed by WHO. One of these method have been used in public services included Indonesia is the liquid culture standard method BACTEC MGIT System (BD) to detect Mycobacteria and anti-TB drug sensitivity, that is followed by the species identification using TB test Ag MPT64, niacin accumulation test, nitrite reduction test, or other biochemical tests, or NAATs. “ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



325



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



The rapid test and point of care is nucleic acid amplification detection, GeneXpert MTB/RIF, Xpert Ultra, GeneXpert Omni as development device. One constrain on the implementation of the standard clinical setting to decide a suspected pulmonary TB, especially in the complex clinical cases. The other important step in TB management is deciding and implementing of the clinical algorithm in TB diagnosis. Otherwise it should be emphasized the important initial step in finding the accurate specimen with continued use of the developed the diagnostic tools. Early and accurate diagnosis of TB with anti –TB drug sensitivity performance could be conduct appropriate therapy promptly. Surveillance TB and anti-TB drug resistance in endemic TB area is crucial to determine strategy to decrease mortality and to stop transmission in TB control. 0HWKRG This study was conducted in TB laboratory Devision, Clinical Microbiology Laboratory Department of Dr. Soetomo Hospital, Surabaya Indonesia, at January 2016 until December 2016. The sputum specimens from suspected pulmonary TB patients that attended which outpatients and inpatients. The sputum specimens included spontaneously sputum and BAL. 5HVXOW At January 2016 until December 2016 in Dr. Soetomo Hospital, Surabaya Indonesia, reported Mycobacterium tuberculosis complex (MTBC) were positive 389 (22, 20 %) of totally 1752 sputum specimens from suspected pulmonary TB patients among outpatients and inpatients. The other detected Non Tuberculous Mycobacteria (NTM) was 100 (5, 71 %) (Table 1). 7DEOH  7KH SURILOH RI 0\FREDFWHULD GHWHFWLRQ RI VSXWXP VSHFLPHQV IURP VXVSHFWHG SXOPRQDU\ 7% SDWLHQWV LQ 6RHWRPR +RVSLWDO 6XUDED\D ,QGRQHVLD DW-DQXDU\²'HFHPEHU



7RWDO QXPEHURI VSHFLPHQV 1752



0\FREDFWHULDVSHFLHV 07%& 389 (22,20 %)



170 100 (5, 71 %)



Among these MTBC isolates revealed the profile of the first-line anti-TB drug sensitivity were as follow: still have the high sensitivity to Isoniazide (INH) 90,49% which 352 strains still INH sensitive among 389 MTBC strains of TB patients, the sensitivity to Rifampicin 94, 34 % (367/ 389 MTBC strains), Streptomycin sensitivity was 95, 89 % (373/ 389 MTBC strains), and 96, 40 % (375 sensitive to Ethambutol).This study reported that MDR-TB were 15 (3,86%) among MTBC strains of pulmonary TB patients that formerly not suspected MDR-TB. Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



326



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



7DEOH7KHSURILOHRI07%&GHWHFWLRQDQGWKHILUVWOLQHDQWL7%GUXJVHQVLWLYLW\ RI LVRODWHV RI VSXWXP IURP VXVSHFWHG SXOPRQDU\ 7% SDWLHQWV LQ 6RHWRPR +RVSLWDO6XUDED\D ,QGRQHVLDDW-DQXDU\ ² 'HFHPEHU  7RWDO QXPEHURI 07%& VSXWXP SRVLWLYH VSHFLPHQV 389 (22, 20 1752 %)



)LUVW/LQH'UXJ6HQVLWLYLW\7HVW 6HQVLWLYH  675(3



,1+



373 (95, 89 %)



352 (90, 49 %)



5,) 367 (94, 34 %)



0'57%



(7+ 375 (96, 40 %)



15 (3,86%)



'LVFXVVLRQ This revealed that MTBC strains isolated from TB patients in Soetomo Hospital Surabaya still high sensitive to first-line anti-TB drugs which more than 90 % sensitive to Streptomycin, Isoniazid, Rifampicin, and Ethambutol. Otherwise detected 3, 86 % MDR-TB strains among 389 MTBC isolates, this interest fact to aware in all TB cases could be included MDR-TB cases in not suspected MDR-TB cases; based on this finding must be understand in TB pathogenesis as the chronic disease process which the unique character of MTBC strains; from this understanding can be committed or recommended that all of the suspected TB cases must be detected MTBC strains with included determine anti-TB sensitivity test. This recommended could have the advantage for patient care accurately, and to aim in stop transmission in population. In Indonesia estimated by WHO have incidence of MDR/RR-TB cases among notified pulmonary TB were about 10.000 cases (WHO, 2016). East Java province at 2015 reported that 1.860 MDR/ RR-TB cases confirmed (with GeneXpert MTB/RIF and liquid culture method) of 15.380 suspected MDR-TB patients (MoH Office East Java, 2016); around 12 % MDR-TB positive confirmed; this could be over suspected clinically MDR-TB cases. Introduced and recommended the important role of usefully the developed TB diagnostic tools to determine MDR-TB. Accurate specimen can be obtained from a part of the tissue or secretory product that as a part of tissue inflammation or tissue injury in the focus of tissue infection process, or the specimen is a part of the tissue or secretion product that exactly, correct volume and frequency, and correctly handling. It represent of the infection focal or systemic. In TB cases, the specimen as sputum, blood, tissue biopsy, urine, and deep swabbing. Some of suspected pulmonary TB cases need accurate blood specimen besides the sputum specimen e.g. spontaneous sputum or BAL (Ahmed et al., 1998; Banada et.al., 2013; Bwanga et.al., 2015). TB laboratory examination must be included the detection and identification MTBC or NTM in conjunction with anti-TB drug sensitivity. Detection of Mycobacteria accurately should used the standard microscopy method, standard culture method, and the standard nucleic acid amplification method (Boehme et al., 2010; Drobniewski et. Al., 2013; ECDC, 2016; Faksri et. al., 2015). Also the



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



327



important one is identification MTBC or NTM accurately using biochemical reaction method, DNA hybridization method or line probe assay, or antigen detection method (Nakajima et. al., 2010; Potdar et.al., Pourhajibagher and Nasrollahi 2013; Rebollo et.al., 2006; Sinha et al., 2003; Tu et.al., 2016; Ushio et.al., 2016; Wellinghausen et.al., 2009). One of the recommended WHO in detection–identification of Mycobacterium tuberculosis complex and first line anti-TB drugs sensitivity test of sputum specimen from clinical suspected pulmonary TB patients using the liquid culture standard method BACTEC MGIT System (BD) to detect Mycobacteria and anti-TB drug sensitivity. Identification using TB test Ag MPT64, niacin accumulation test, nitrite reduction, heat stable catalase test, and PNB test. The rapid test and point of care is nucleic acid amplification detection, GeneXpert MTB/RIF, Xpert Ultra, GeneXpert Omni as development device (Garberi et.al., 2011; ISTC, 2014; Mc Nerney et.al., 2015; Mertaniasih et.al., 2013 and 2014). One constrain on the implementation of the standard clinical setting to decide a suspected pulmonary TB, especially in the complex clinical cases. The other important step in TB management is deciding and implementing of the clinical algorithm in TB diagnosis. Otherwise it should be emphasized the important initial step in finding the accurate specimen with continued use of the developed the diagnostic tools. Used the endorsement guideline algorithm in TB patient care as the systematically all TB cases in pulmonary TB and extra pulmonary TB (Nahid et.al., 2016; Nahid et.al., 2012; WHO, 2015; WHO, 2016). Early and accurate diagnosis of TB with anti –TB drug sensitivity performance could be conduct appropriate therapy promptly. Surveillance TB and anti-TB drug resistance in endemic TB area is crucial to determine strategy to decrease mortality and to stop transmission in TB control. &RQFOXVLRQ TB diagnostic development with the standard liquid culture method conducted at January 2016 – December 2016, in Soetomo Hospital Surabaya can be reported that is detected 22, 20 % MTBC isolates among 1752 MTBC; strains still high sensitive to the first-line anti-TB drugs, more than 90 % among suspected pulmonary TB patients. Otherwise interesting one to understanding the finding of MDR-TB among this isolates for awareness in the patient management. The accurate specimens from the accurate clinical suspected TB need to examine with the developed TB diagnostic tools for determining TB diagnostic with drug sensitivity.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



328



TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



5()(5(1&( 1.



Ahmed N, Mohanty AK, Mukhopadhyay U, Batish VK, Grover S. (1998). PCR-based rapid detection of 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV in blood immunocompetent patients with pulmonary tuberculosis. J Clin Microbiol 36(10): 3094-3095.



2.



Banada PP, Koshy R, Alland D. (2013). Detection of 0\FREDFWHULXPWXEHUFXORVLV in blood by use of the Xpert MTB/RIF assay. J ClinMicrobiol 51(7): 2317-2322.



3.



Bwanga F, Disque C, Lorenz MG, Allerheiligen V, Worodria W, Luyombya A, Najjingo I, Weizenegger M. (2015). Higher blood volumes improve the sensitivity of direct PCR diagnosis of blood stream tuberculosis aming HIV-positive patients: an observation study. BMC Infect Dis 15(48): 1-5.



4.



Boehme CC, Nabeta P, Hillemann D, Nicol MP., Shenai S, Krapp F, Allen J, Tahirli R, Blakemore R, Rustomjee R, Milovic A, Jones M, O’Brien SM, Persing DH, Ruesch-Gerdes S, Gotuzzo E, Rodrigues C, Alland D, and Perkinis MD. 2010. Rapid Molecular Detection of Tuberculosis and Rifampin Resistance. The New England Journal of Medicine, 363 (11):1005-1015.



5.



Drobniewski F, Nikolayevskyy V, Maxeiner H, Balabanova Y, Casali N, Kontsevaya I, and Ignatyeva O. 2013. Rapid diagnostics of tuberculosis and drug resistance in the industrialized world : clinical and public health benefits and barriers to implementation. BMC Medicine, 11:190-200.



6.



ECDC technical document. 2016. Handbook on Tb Laboratory Diagnostic methods the European Union.



7.



Faksri K, Hanchaina R, Sangka A, Namwat W, and Lulitanond V. 2015. Development and application of single-tube multiplex real-time PCR for lineage classification of Mycobacterium tuberculosis based on large squence polymorphism in Northeast Thailand. Elsevier, 95:404-410.



8.



Garberi J, Labrador J, Garberi F, Garberi JE, Peneipil J, Garberi M, Scigliano L, and Troncoso A. 2011. Diagnosis of 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV using molecular biology technology. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine, 1 (2): 89 – 93.



9.



International Standards for Tuberculosis Care. 2014. Diagnosis Treatment Public Health. 3rd ed.



10. McNerney R, Cunningham J, Hepple P, Zumla A. (2015). New tuberculosis diagnostic and rollout. Int J Infect Dis 32: 81-86. 11. Mertaniasih NM, Wiqoyah N, Kuntaman, Wahyunitisari MR, Kusumaningrum D. (2013). Polymerase chain reaction of 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV gyrB gene region for rapid screening test of pulmonary tuberculosis. Folia Medica Indonesiana 49(1): 16-20. 12. Mertaniasih NM, Wiqoyah N, Kusumaningrum D, Soedarsono, Perwitasari ADS, Artama WT. (2014). Specific gyrB sequence of mycobacterium tuberculosis clinical isolated from sputum of pulmonary tuberculosis patients in Indonesia. Bali Med J3(3): 143-153. 13. Nahid P, Dorman SE, Alipanah N, Barry PM, Brozek JL, Cattamanchi A, Chaisson LH, Chaisson RE, Daley CL, Grzemka M, Higashi JM, Ho CS, Hopewell PC, Keshavjee SA, Lienhardt C, Menzies R, Merrifield C, Narita M, O’Brien R, Peloquin CA, Raftery A, Saukkonen



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



J, Schaaf HS, Sotgiu G, Starke JR, Migliori GB, and Vernon A. 2016. Official American Thoracic Society / Center for Disease Control and Prevention / Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guidlines : Treatment of Drug-Susceptible Tuberculosis. ATS / CDC / IDSA Clinical Practice Guidelines for Drug-Susceptible TB, 63:e147-e195. 14. Nahid P, Kim PS, Evans CDA, Alland D, Barer M, Diefenbach J, HWDO, Clinical Research and Development of Tuberculosis Diagnostics: Moving from Silos to Synergy Clinical R&D of Tuberculosis Diagnostics d JID 2012:205 (Suppl 2) d S159. 15. Nakajima C, Rahim Z, Fukushima Y, Sugawara I, van der Zanden AGM, Tamaru A, Suzuki Y. (2010) Identification of 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV clinical isolates in Bangladesh by a species distinguishable multiplex PCR.BMC Infect Dis 10(118): 1-7. 16. Potdar P, Thakur P. (2013). Development of sequence based molecular diagnostic test to evaluate MDR and XDR in 0 WXEHUFXORVLV patients from Western India. Am J Infect Dis Microbiol 1(3): 50-58. 17. Pourhajibagher M, Nasrollahi M. (2013). An appropriate method for rapid diagnosis of pulmonary tuberculosis in the clinical laboratories: Staining or polymerase chain reaction (PCR)?. Afr JMicrobiol Res 7(6): 440-443. 18. Rebollo MJ, Garrido RSJ, Folgueira D, Palenque E, Pedroche CD, Lumbreras C, Aguado JM. (2006). Blood and urine samples as useful sources for the direct detection of tuberculosis by polymerase chain reaction. Diag Microbiol and Infect Dis 56: 141-146. 19. Sinha P, Gupta A, Prakash P, Anupurba S, Tripathi R, and Srivastava GN. 2016. Differentiation of Mycobacterium tuberculosis complex from non-tubercular mycobacteria by nested multiplex PCR targeting IS6110, MTP40 and 32kD alpha antigen encoding gene fragments. BMC Infectious Diseases, 16:123-132. 20. Taci N, Yurdakul AS, Ceyhan I, Berktas MB, Ögretensoy M. (2003). Detection of 0\FREDFWHULXP WXEHUFXORVLV DNA from peripheral blood in patients with HIV-seronegative and new cases of smear-positive pulmonary tuberculosis by polymerase chain reaction. Respir Med 97: 676-681. 21. Tu Y, Zeng X, Li H, Zheng R, Xu Y, and Li Q. 2016. A strip array for spoligotyping of Mycobacterium tuberculosis complex isolates. Journal of Microbiological Methods, 122:23-26. 22. Ushio R, Yamamoto M, Nakashima K, Watanabe H, Nagai K, Shibata Y, Tashiro K, Tsukahara T, Nagakura H, Horita N, Sato T, Shinkai M, Kudo M, Ueda A, and Kaneko T. 2016. Digital PCR assay detection of circulating Mycobacterium tuberculosis DNA in pulmonary tuberculosis patient plasma. Elsevier, 99:47-53. 23. Wellinghausen, N, Kochem AJ, Disqué C, Mühl H, Gebert S, Winter, J, Matten J, Sakka SG. (2009). Diagnosis of bacteremia in whole-blood samples by use of a commercial universal 16S rRNA gene-based PCR and sequence analysis. J ClinMicrobiol 47(9): 2759-2765. 24. WHO, 2015. Implementing Tuberculosis Diagnostics. Policy framework.



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”







TB UPDATE VIII - 2017, Surabaya



25. WHO 2015a, *OREDOWXEHUFXORVLVUHSRUW, World Health Organization, Geneva, diakses 1 Desember 2015, http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/191102/1/ 9789241565059_ eng.pdf?ua=1. 26. WHO, 2016. Global TB Report. Clinical R&D of Tuberculosis Diagnostics d JID 2012:205 (Suppl 2) d S159. 27. WHO. 2016. Tuberculosis Diagnostics. Key messages. www.who.int/tb --- oOo ---



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



331



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



Review Management of Haemoptysis in TB. ,VQX3UDGMRNR Departement of Pulmonology and Respiration Faculty of Medicine Airlangga University-Dr. Soetomo Teaching Hospital 6XUDED\D(DVW-DYD,QGRQHVLD



Abstract. : Massive hemoptysis is a life threatening condition and can lead asphyxiation. Haemoptysis is the expectoration of blood or of blood stain sputum. In the literature, the amount varies from 200- 1000 ml per 24 hour, but is usually defined as more than 600 ml. of expectorated blood in 24 hours. Any amount of haemoptysis that causes respiratory compromise and/or haemodinamic instability is live threatening and constitus a medical emergency..Hemoptysis is a potentially life-threatening manifestationof underlying lung disease. It is essential to recognize the severity of bleeding(massive versus nonmassive) in patients who present with hemoptysis and determine the potential causes so that appropriate interventions can be initiated.The mortality ranges 7-30% for non massive haemoptysis, and up to 80% for massive haemoptysis. Massive haemoptysis is a frightening experience for both doctors and patient alike .The objective of the present chapter is to guide clinicians in the approach and management of this potentially lethal event. Key words: Haemoptysis- haemodinamic instability- guide the approach managemant DEFINITION AND NATURAL HISTORY Hemoptysis is the expectoration of gross blood or blood-streaked sputum. Hemoptysis is classified as massive or nonmassive based on the rate of bleeding. Expectoration of less than 100 mL of blood in a 24-hour period is considered nonmassive hemoptysis. The definition of massive hemoptysis varies widely in the literature, ranging between 100 and 600 mL of blood in a 24-hour period; however, the most commonly used definition is 600 mL in 24 hours. It is estimated that more than 400 mL of blood in the alveolar space is sufficient to cause impairment of oxygenation.Most cases of hemoptysis, both massive and nonmassive,are self-limited and resolve spontaneously. In a survey study of 230 chest physicians, 86% indicated that they had treated patients with massive hemoptysis during the previous year, and 28% reported death from pulmonary hemorrhage.Asphyxia rather than exsanguination is usually the cause of death, and it is commonly accompanied by cardiovascular collapse. The death rate from untreated massive hemoptysis ranges from 30% to 85% in multiple studies Among patients who survive the initial hemorrhagic episode, bleeding ceases in 75% of cases within 24 hours, and in all cases by day



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



332



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



DIFFERENTIAL DIAGNOSIS Acute bronchitis is the most common cause of nonmassive hemoptysis Other frequent underlying causes of nonmassive hemoptysis include bronchiectasis, pulmonary tuberculosis, and lung cancer.Although there is overlap, massive hemoptysis is more often due to advanced bronchiectasis, lung cancer, pulmonary tuberculosis (that erodes into a large vessel), and lung abscess. The etiology largely depends on the demography of the population sample. Bronchogenic carcinoma and chronic inflammatory lung disease are the most common causes of massive hemoptysis in the United States. Tuberculosis remains the leading cause of massive hemoptysis worldwide.Less common causes include aspergillomas, bronchial adenomas, chest trauma, pulmonary arteriovenous malformations, cocaineinduced lung injury, pulmonary embolism, cardiac mitral valve stenosis, pulmonary alveolar hemorrhage syndromes,and cystic fibrosis. As patients with cystic fibrosis live longer, complications such as massive hemoptysis are becoming increasingly common. In a retrospective cohort of 28,853 patients with cystic fibrosis observed over 10 years, the incidence of massive hemoptysis was 0.87%, and the overall prevalence was 4.1%.11 More recently, iatrogenic causes of massive hemoptysis have increased in frequency; these include bleeding following a transbronchial biopsy or transthoracic needle biopsy or bleeding from a ruptured pulmonary artery caused by Swan- Ganz catheter placement. DIAGNOSIS History and Physical Examination Hemoptysis must first be differentiated from hematemesis and epistaxis. Hemoptysis is characterized by cough with frothy sputum that is alkaline when tested by litmus paper. In contrast, hematemesis originates from the gastrointestinal tract, is accompanied by nausea and vomiting, and is frequently acidic. Epistaxis is usually traumatic and may be localized by anterior rhinoscopy and examination of the oropharynx. Aspirated blood or swallowed blood from any of the sites can make it difficult to initially identify the origin of bleeding. Upon clinical presentation, only 30% of patients spontaneously report the site of bleeding. However, when queried, patients are highly accurate in predicting the bleeding site (50% of the time), while physical examination by a physician identifies the origin of bleeding only 43% of the time and is equivocal 25% of the time. Therefore, all patients with hemoptysis should be asked about the site of the bleeding.The clinical history and physical examination help to narrow the differential diagnosis. In a patient with known pulmonary tuberculosis, the source of the bleeding may be a pulmonary artery aneurysm (Rasmussen’s aneurysm) in an old cavitary lesion. In smokers older than 40 years, bronchogenic carcinoma is more prevalent and should be considered. A history of deep vein thrombosis suggests pulmonary infarction and/or embolism. Travelers or immigrants from Asia, the Middle East, and South America may develop hemoptysis as an initial manifestation of paragonimiasis and hydatiform cysts. Cyclical hemoptysis occurring during a menstrual cycle suggests the diagnosis of catamenial



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



333



hemoptysis. On physical examination, saddle nose with rhinitis and septal perforation are signs of Wegener’s granulomatosis. Stridor raises thepossibility of tracheal tumors or a foreign body. Oral and aphthous ulcers, genital ulcers, and uveitis are suggestive of Behçet’s disease, in which pulmonary arteriovenous malformations are responsible for hemoptysis. Digital clubbing may be seen in bronchiectasis, tuberculosis, and lung carcinoma. Laboratory and Imaging Studies Studies that should be obtained in patients with significant bleeding or recurring hemoptysis include measurement of hemoglobin and hematocrit (to assess the magnitude and chronicity of bleeding), coagulation studies (including international normalized ratio, partial thromboplastin time), and platelet count (to exclude thrombocytopenia or another coagulopathy), urinalysis, and renal function tests (to exclude pulmonary-renal syndromes such as vasculitis,Goodpasture’s syndrome, or Wegener’s granulomatosis). Routine laboratory data,however, are usually not helpful in the diagnosis or managementof hemoptysis, except in the presence of a coagulopathy or thrombocytopenia. In these circumstances,bleeding can be more severe and laboratory data are crucial when initiating appropriate therapy.A chest radiograph is useful in localizing the bleeding source if there is a lung mass, cavitary lesion, or alveolar hemorrhage.In general, a chest radio graph localizes bleeding in 60% of cases and is equivocal in 15% Chest computed tomography (CT) scanning inconjunction with other diagnostic tests localizes the lesion in 63% of cases.8 Thoracic CT scans with contrastmay detect aneurysms and arteriovenous malformationsor bronchiectasis not visible on routine chest radiograph.Therefore, except for life-threatening situations,thoracic CT scans should be performed prior to bronchoscopy. Bronchial artery angiography (standard or selective) is highly effective in localizing the source of bleeding and identifying a vessel for embolization The bronchial arteries supply the proximal airways, such as the trachea and mainstem bronchi, whereas the pulmonary circulation supplies the intrapulmonary airways and alveoli. The bronchial circulation (a high pressure circuit with systolic pressure of 120 mm Hg) is the most common source of massive hemoptysis, accounting for 95% of all cases. Less than 5% of bleeding arises from the pulmonary circulation (a low pressure circuit with a systolic pressure of 15–20 mm Hg). If bronchial artery angiography does not reveal a bleeding vessel, a pulmonary angiogram is required to investigate the pulmonary circulation. Bronchial arteriography is highly sensitive in identifying a source of bleeding, but this imaging modality is invasive and time consuming and only employed when other diagnostic techniques have failed. There are no specific independent risk factors that predict the onset or the extent of hemoptysis. However, the presence of cavitation on radiologic examination and perihilar location of a pulmonary infiltrate may predict recurrence after a sentinel event of hemoptysis.Pulmonary artery aneurysm within such cavitary lesions (Rasmussen’s aneurysm) may occur as a result of erosion of the blood vessel, predisposing the patient to massive bleeding. Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



334



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



MANAGEMENT All patients with massive hemoptysis should be admitted to the intensive care unit (ICU) to allow closer monitoring of hemodynamic status and assessment of the magnitude of blood loss. Patient management should be undertaken in a stepwise fashion: (1) airway protection and patient stabilization, (2) localization of the bleeding source, and (3) administration of specific therapy Initial management is undertaken by the medical team in most cases, with surgical intervention warranted in certain circumstances. Step 1 includes admission to the ICU, maintenance of an adequate airway, administration of supplemental oxygen, correction of coagulopathy, fluid resuscitation, and attempts to localize the bleeding source. If the airway is compromised or if bleeding continues, the patient should be intubated by an experienced physician. A size 8 or larger caliber endotracheal tube (ETT) should be used to permit subsequent bronchoscopic localization of bleeding, adequate suctioning of the airway, and specific endobronchial therapy. A Carlin’s double-lumen ETT facilitates lung separation, suctioning of blood, and localization of the bleeding site with concurrent flexible bronchoscopy The double-lumen tube also can be left in place for 24 hours without the bronchoscope, allowing time for the bleeding to stop. Some authors discourage the use of the double-lumen ETT due to difficulty in placement, increased rates of tube dislodgement, and increased rates of post operative pneumonia and ischemic mucosal injury. Step 2 includes bronchoscopy to localize the bleeding site and suction the airway. Bronchoscopy has been reported to successfully localize bleeding in 49% to 92.9% of cases of massive hemo ptysis. The yield of bronchoscopy is greater if the procedure is performed in the first 24 hours after the onset of bleeding.However, the ideal timing of bronchoscopy is controversial.The consensus is to perform immediate bronchoscopy in patients with rapid clinical deterioration and delay bronchoscopy for up to 48 hours in stable patients. Most pulmonologists use a flexible bronchoscope in patients with massive hemoptysis because it is easy to use at the bedside and can reach distal lesions. Others prefer rigid bronchoscopy because of its greater ability to suction blood and secretions and maintain airway patency; however, its inability to visualize the upper lobes or peripheral lesions remains a major limitation. Once the bleeding is localized, the patient should be placed in a dependent position with the bleeding side down to prevent aspiration Step 3 involves administration of specific therapy. Flexible bronchoscopy permits directed therapy using iced saline to lavage the involved lung and administration of topical hemostatic agents, such as epinephrine or thrombin-fibrinogen.Icesaline lavage of up to 1000 mL in 50-mL aliquots at the bleeding site has been shown to be up to 90% effective in stopping bleeding in some studies. There are no specific recommendations based on the literature on the choice of agent for site-specific therapy, as most case reports are uncontrolled observation al studies. Other alternative site-specific therapies using the flexible bronchoscope include endo bronchial tamponade using a balloon tamponade catheter to prevent aspiration to the unaffected contralateral lung and preserve gas exchange (Figure 3).



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



335



A bronchus-blocking balloon catheter has been designed to be used through the working channel of the flexible bronchoscope and has a second channel that is used to instill vasoactivehemostatic agents such as ice saline, epinephrine, vasopressin, or thrombin-fibrinogen to control bleeding. Once bleeding has ceased, the balloon may be deflated, the catheter removed, and the patient referred for subsequent therapy. Non bronchoscopic medical management is used to treat massive hemoptysis if endobronchial therapy fails; this includes bronchial artery embolization with or without adjunctive pharmaco logic therapy with intravenous vasopressin. Bronchial artery embolization achieves immediate control of bleeding in 75% to 90% of cases.Postembolization recurrence of hemoptysis has been observed in 20% of cases. Surgical Management Surgery is indicated if bronchial artery embolization is unavailable or technically unfeasible or if bleeding or aspiration of blood continues despite embolization. Surgical resection of the bleeding site is possible if the lesion can be localized and the patient is a surgical candidate. Surgery is also preferable when the acuity (rate and amount of bleeding) of hemoptysis precludes safe bronchial artery embolization. More specific indications for surgery in massive hemoptysis include persistent bleeding from a mycetoma resistant to medical management, bronchial adenoma, iatrogenic pulmonary artery rupture, leaking aortic aneurysm, hydatid cysts, and selected arteriovenous malformatio ns.Surgery is contraindicated in patients with lung carcinoma involving the trachea, mediastinum, heart, great vessels, or parietal pleura; active tuberculosis; cystic fibrosis; multiple arteriovenous malformations; multifocal bronchiectasis; diffuse alveolar hemorrhage; and poor cardio pulmonary reserve. Spirometry when available is a more accurate predictor of surgical risk (forced expiratory volume in 1 second < 50%) than dyspnea. The extent of surgical resection is influenced by several factors, including preoperative pulmonary function, site of bleeding, and severity of blood loss. A final decision on the timing and extent of surgery in massive hemopty sis must be individu alized. For example, a proximal tumor makes a limited resection unfeasi ble and a pneumo nectomy more likely. An emergency pneumonectomy may be indicated inde pendent of pulmo nary function if the blood loss is severe, if bronchial artery embolization is not available, and if endovascular treatment has failed. Less than 10% of patients with massive hemoptysis require emergent surgery; in these patients, 20% mortality and 25% to 50% morbidity have been repor ted There are no recent randomized studies directly comparing medical versus surgical treatment in patients with massive hemoptysis. Observational studies comparing mortality rates between medical and surgically treated patients are limited by selecti on bias, variation in patient selection, and variati ons in medical and surgical therapy. More im portantly, none of the series used bronchial artery embolization as part of medical management. Current recommendations about medical versus surgical therapy for massive hemoptysis must be individualized.



CONCLUSION Hotel Bumi Surabaya



Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”



336



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



Massive hemoptysis is a serious manifestation of underlying pulmonary disease. The major etiologies have not changed through the years, with bronchiectasis, lung cancer, pulmonary tuberculosis, and lung abscess constituting the majority of cases. A stepwise approach to treatment that includes stabilization of the patient, identification of the bleeding site, and bronchoscopic evaluation and therapy is recommended. Arteriography of the bronchial vessels with embolization is effective if endobronchial therapy fails in constricting bleeding and is a bridge towards definitive therapy. 5()(5(1&(6 1.



Corder R. Hemoptysis. Emerg Med Clin North Am 2003; 21:421–35.



2.



Haponik EF, Fein A, Chin R. Managing life-threatening hemoptysis: has anything really changed? Chest 2000;118:1431–5.



3



Marshall TJ, Jackson JE. Vascular intervention in the thorax: bronchial artery embolization for haemoptysis. Eur Radiol 1997;7:1221–7.



4.. Reisz G. Topical hemostatic tamponade: another tool in the treatment of massive hemoptysis. Chest 2005;127: 1888–9. 5.



Cahill BC, Ingbar DH. Massive hemoptysis. Assessment and management. Clin Chest Med 1994;15:147–67.



6.



Jean-Baptiste E. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med 2000;28:1642–7.



7.



Flume PA, Yankaskas JR, Ebeling M, et al. Massive hemoptysis in cystic fibrosis. Chest 2005;128:729–38.



8.



Yoon W, Kim JK, Kim YH, et al. Bronchial and nonbronchial systemic artery embolization for life-threatening hemoptysis: a comprehensive review. Radiographics 2002;22:1395–409.



9.



Ong TH, Eng P. Massive hemoptsis requiring intensive care. Intensive Care Medicine 2003;29:317–20.



10. Hakanson E, Konstantinov IE, Fransson SG, Svedjeholm R. Management of life-threatening haemoptysis. Br J Anaesth 2002;88:291–5. 11. Valipour A, Kreuzer A, Koller H, et al. Bronchoscopy guided topical hemostatic tamponade therapy for the management of life-threatening hemoptysis. Chest 2005; 127:2113–8. 12. Dupree HJ, Lewejohann JC, Gleiss J, et al. Fiberoptic bronchoscopy of intubated patients with life-threatening hemoptysis. World J Surg 2001;25:104–7. 13. Chan AL, Yoneda KY, Allen RP, Albertson TE. Advances in the management of endobronchial lung malignancies. Curr Opin Pulm Med 2003;9:301–8. 14. Wong ML, Szkup P, Hopley MJ. Percutaneous embolotherapy for life-threatening hemoptysis. Chest 2002;121: 95–102.



“ Novel Management to end TB ”



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



337



TB UPDATE IX - 2017, Surabaya



TAKE HOME MESSAGES ‡ 0DVVLYH KHPRSW\VLV GHILQHGDV H[SHFWRUDWLRQRI PRUHWKDQP/ RIEORRG from the lung in a 24-hour period, requires admission to the intensive care unit. ‡ $ ILUVW VWHS LQ GLDJQRVLQJ KHPRSW\VLV LV WR GHWHUPLQH WKH EOHHGLQJ VRXUFH respiratory tract versus a nasopharyngeal or gastrointestinal tract source.Querying the patient identifies the correct source in 50% of cases. ‡ 0DVVLYHKHPRSW\VLVLVPDQDJHGLQDVWHSZLVHIDVKLRQSURWHFWWKHDLUZD\DQG stabilize the patient, localize the bleeding site, and administer specific therapy. ‡ $ FKHVW UDGLRJUDSK ORFDOL]HV EOHHGLQJ LQ  RI FDVHV DQG LV HTXLYRFDO LQ 15%. ‡ )OH[LEOH EURQFKRVFRS\ IDFLOLWDWHV ORFDOL]DWLRQ RI WKH EOHHGLQJ VLWH VXFWLRQLQJ of the airway, and administration of site-specific therapy. ‡ 6XUJLFDOPDQDJHPHQWRIPDVVLYHKHPRSW\VLVLVGHILQLWLYHLQVHOHFWHGFDQGLGDWHV if the lesion can be localized. --- oOo ---



Hotel Bumi Surabaya Sunday 30th April 2017



“ Novel Management to end TB ”