Teknik Pembenihan Udang Windu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEKNIK PEMBENIHAN UDANG WINDU



Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teknologi Pembenihan Ikan



DHEA ZERIA SANTIKA NPM 230110150213



UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI PERIKANAN JATINANGOR 2018



DAFTAR ISI



BAB



Halaman



KATA PENGANTAR ................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................



v



DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................



x



PENDAHULUAN ........................................................................................ 1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1.2 Tujuan ................................................................................................. 1.3 Manfaat ...............................................................................................



1 1 2



II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Klasifikasi Udang Windu (Penaeus monodon) .................................. 2.2 Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) ................................... 2.3 Habitat dan Penyebaran Udang Windu (Penaeus monodon) ............. 2.4 Makanan dan Kebiasaan Makan Udang Windu (Penaeus monodon) 2.5 Reproduksi .......................................................................................... 2.6 Induk Udang Windu (Penaeus monodon) .......................................... 2.7 Teknik Pembenihan Udang Windu (Penaeus monodon) ................... 2.8 Perkembangan Larva Udang Windu (Penaeus monodon) .................



4 4 4 6



I



8



III PENUTUP ................................................................................................... 19 3.1 Kesimpulam ........................................................................................ 19 3.2 Saran ................................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri perikanan



budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high demand product). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi udang di dalam negeri pada tahun 2013 dapat menembus hingga lebih dari 600.000 ton, sehingga dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak terkait guna merealisasikan target tersebut. Tahun 2013, capaian produksi udang nasional diproyeksikan sebesar 608.000 ton (KKP 2013). Udang windu (Penaeus monodon) merupakan komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986. Udang windu (Penaeus monodon) adalah salah satu jenis udang konsumsi yang menjadi komoditas andalan dari berbagai daerah di Pulau Jawa seperti Banyuwangi, Karawang, Lebak, dan Garut. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi dari budidaya udang windu, penyediaan dan pemeliharaan benih menjadi langkah awal dalam kegiatan budidaya tersebut.



1.2



Tujuan Tujuan dari dibuatnya makalah mengenai teknik pembenihan udang windu



adalah sebagai berikut: 1)



Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai teknik pembenihan udang windu.



2)



Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teknik Pembenihan Ikan.



1.3



Manfaat Manfaat yang bisa diambil dari makalah mengenai teknik pembenihan



udang windu adalah mengetahui teknik pembenihan udang windu dan dapat mengimplementasikannya pada kehidupan nyata.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Klasifikasi Udang Windu (Penaeus monodon) Penaeus monodon atau udang windu termasuk ke dalam golongan



crustaceae (udang-udangan) atau udang penaide. Udang windu secara internasional dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa garis-garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan (Suyanto dan Mujiman 1994). Klasifikasi udang windu adalah sebagai berikut (Agung 2007): Phylum Sub phylum Class Sub class Ordo Sub ordo Famili Genus Species



2.2



: Arthropoda : Mandibulata : Crustaceae : Malacostraca : Decapoda : Matantia : Penaidae : Penaeus : Penaeus monodon



Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) Tubuh udang windu terdiri dari 2 bagian utama yaitu kepala dada



(cephalothorax) dan perut (abdomen). Cephalotorax tertutup oleh kelopak kepala yang disebut carapace. Bagian depan carapace memanjang, meruncing, dan bergigi-gigi disebut cucuk kepala atau rostrum. Gigi rostrum bagian atas biasanya terdiri dari 7 buah dan bagian bawah 3 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas (kepala : 5 ruas, dada : 8 ruas) dan abdomen 6 ruas, terdapat ekor dibagian belakang. Pada cephalotorax terdapat anggota tubuh, berturut-turut yaitu antenulla (sungut kecil), scophocerit (sirip kepala), antenna (sungut besar), mandibula (rahang), 2 pasang maxilla (alat-alat pembantu rahang), 3 pasang maxilliped, 3 pasang pereiopoda (kaki jalan) yang ujung-ujungnya bercapit disebut chela. Insang terdapat di bagian sisi kiri dan kanan kepala, tertutup oleh carapace (Bell dan Lightner 1992).



Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang pleopoda (kaki renang) yaitu pada ruas ke-1 sampai 5. Sedangkan pada ruas ke-6 kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau uropoda. Ujung ruas keenam ke arah belakang terdapat telson. Bagian-bagian tubuh udang windu dapat dilihat pada Gambar 1.



Gambar 1. Bagian-bagian Tubuh Udang Windu (Sumber: Sutaman 1993)



2.3



Habitat dan Penyebaran Udang Windu (Penaeus monodon) Udang windu bersifat bentik, dan menyukai dasar perairan yang lembut,



biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Udang windu lebih suka bersembunyi di rumpon dan membenamkan diri dalam lumpur pada saat moulting, hal ini dilakukan udang untuk menghindari pemangsaan. Menurut Mudjiman (2003), udang dewasa bertelur di laut kemudian larva yang menetas bergerak ke daerah muara. Semakin dewasa udang akan bergerak secara berkelomok menuju ke laut untuk melakukan perkawinan. Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa. Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman 1994).



2.4



Makanan dan Kebiasaan Makan Udang Windu (Penaeus monodon) Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik



hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak besifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo 1976).



Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea. Dalam usaha budidaya, udang windu mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo 2000).



2.5



Reproduksi Alat reproduksi antara udang jantan dan udang betina terdapat perbedaan



yang khas. Menurut Lestari (2009), sistem reproduksi betina menggunakan sepasang ovarium, oviduk, lubang genital dan thelycum, sedangkan sistem reproduksi jantan menggunakan testes, vasa deferensia, petasma dan apendiks maskulina. Alat kelamin udang dapat dilihat pada Gambar 2.



Gambar 2. Jenis Kelamin Udang Windu Betina dan Jantan (Sumber: Murtidjo 2003)



2.6



Induk Udang Windu (Penaeus monodon) Kuantitas dan kualitas produksi benih udang windu (Penaeus monodon) di



hatchery bergantung kepada kualitas induk. Di Indonesia ada beberapa daerah yang berpotensi sebagai daerah sumber induk udang penaeid yaitu Samudra Hindia, Laut Arafura, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone (Haryati dkk. 2010). Pengelola hatchery beranggapan bahwa ada daerah tertentu yang terkenal sebagai sumber induk, karena induk dari daerah tersebut mempunyai fekunditas yang tinggi, bisa bertelur



beberapa kali, serta menghasilkan nauplius yang



ukurannya besar dan lebih sehat (Soleh dan Soegiarto 1994). Ketersedian induk udang dengan kualitas baik serta jumlah yang cukup sangat penting bagi usaha pembenihan udang. Dalam hal ini, pemilihan induk udang sangat menentukan keberhasilan



pembenihan udang windu. Sebagai



peddoman, syarat calon induk udang windu yang baik serta produktif. Menurut Murtidjo (2003) adalah sebagai berikut: a)



Berat induk udang betina minimal 100 g, sedangkan induk udang jantan minimal 80 g.



b)



Tubuh induk udang tidak cacat luka, terutama organ reproduksi dan bagian punggung.



c)



Bentuk punggung induk udang relative datar dan berkulit keras. Perkembangan gonad merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum



terjadi pemijahan. Menurut Effendi (2002), pematangan kematangan gonad dapat dilakukan dengan dua cara,yaitu cara histologi dan morfologi.atorium maupun di lapangan. Penelitin yang dilakukan secara histologi akan diketahui anatomi perkembangan gonad tadi lebih jelas dan mendetail, sedangkan hasil pengamatan secara morfologi tidak akan sedetail dengan cara histologi, namun cara morfologi ini banyak dilakukan para peneliti. Tingkat kematangan gonad pada induk udang betina dapat dirangsang supaya udang cepat melakukan pemijahan. Menurut Murtidjo (2003), bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan, anatara lain: a)



Pemijatan tangkai bola mata dan bola mata.



b)



Pembakaran tangkai mata dengan menggunakan solder atau dengan benda perak nitrat.



c)



Pengikatan tangkai mata.



d)



Pemotongan atau pengguntingan tangkai mata. Cara yang paling praktis dan efektif serta menunjukkan hasil yang baik



adalah dengan melakukan pemotongan tangkai mata (ablasi). Ablasi pada udang windu berpedoman pada perkembangan alat kelamin kepiting yang dihambat oleh hormone yang dikeluarkan oleh kelenjar pada tangkai mata. Apabila tangkai mata kepiting dihilangkan, hormon yang menghambat perkembangan alat kelamin tidak diproduksi sehingga kepiting sanggup mematangkan telur dan memijah.



2.7



Teknik Pembenihan Udang Windu (Penaeus monodon)



2.7.1 Pemeliharaan induk Pemeliharaan induk udang windu (Penaeus monodon) meliputi berbagai kegiatan seperti berikut ini: 1) Persiapan wadah dan media Menurut Yusuf (2011), bahwa wadah dalam pemeliharaan biasanya menggunakan bak beton dan sebelum digunakan terlebih dahulu disterilkan agar terbebas dari bibit penyakit. Sterilisasi wadah dapat digunakan kaporit dengan dosis 100 ppm. Pemakaian kaporit dilarutkan dalam air kemudian ditebar secara merata pada dinding, lantai, dan area sekitar bak pemeliharaan. Pembilasan kaporit yang telah disebar dapat dilakukan setelah 24 jam dengan air tawar, lalu disiram dengan KMnO4 sebanyak 10 mg/l. Peralatan yang digunakan juga harus disterilkan seperti selang aerasi, batu aerasi, pipa inlet dan outlet. 2) Pemberian pakan Pemberian pakan salah satu fungsinya digunakan untuk memacu kematangan gonad. Pemberian pakan untuk induk menurut SNI (2009), yaitu berupa cumi-cumi, kekerangan dan cacing laut. Dosis yang diberikan antara 20 % sampai dengan 30 % biomas/hari dengan frekuensi 4 kali/hari sampai dengan 6 kali /hari. Menurut Yusuf (2011), bahwa pakan yang diberikan berupa pelet sebanyak 15 % dari biomassa dengan diberi hormon antidopamin dapat memacu kematangan



gonad. Selain itu ada tambahan pakan segar berupa, tiram dan cacing laut sebanyak 30 % dengan perbandingan 75:25. 3) Pengelolaan kualitas air Menurut SNI (2009), air laut yang digunakan dalam pemijahan haruslah bersih, untuk itu perlu dilakukan penyaringan air dengan koral, pasir, arang dan ijuk dengan digunakan waring sebagai pemisah. Air laut yang digunakan juga harus disterilakan bisa menggunakan klorin 100% (5 g/l sampai 10 g/l) atau kaporit 60% (15 g/l sampai dengan 20 g/l) dan dinetralkan dengan aerasi kuat atau natrium tiosulfat maksimum 40 g/l. Kualitas air bahwa kualitas air pemeliharaan induk udang windu dengan nilai suhu berkisar 29 - 30 oC, salinitas 30 – 31 ppt, pH 7,5 – 7,7, oksigen terlarut 5,1 – 7,7 mg/l (Shabrina 2015). 4) Pencegahan dan pengendalian penyakit Menurut Sutrisno dkk (2010), pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan dari dini dengan pengecekan bakteri dua minggu sekali seperti, total bakteri colony dan total vibrio colony. Pengecekan virus sendiri dapat dilakukan dengan Metode PCR meliputi: WSSV, TSV, IMNV dan IHHNV yang dilakukan sebulan sekali. Menurut WWF (2012), pencegahan penyakit dapat dilakuakan dengan penerapan biosecurity seperti, membuang dan mengganti air yang terkena virus, menyiapkan saarana sterilisasi dan memabatasi akses masuk ke lokasi budidaya. 2.7.2



Seleksi Induk Menurut Yuliati (2009) bahwa, induk udang windu yang akan dipelihara



harus diseleksi terlebih dahulu, induk udang windu harus dalam keadaan sehat atau bebas dari serangan penyakit dan induk tidak dalam keadaan stres. bahwa berat induk udang betina minimal 100 g, sedangkan induk udang jantan minimal 80 g, tubuh induk udang tidak cacat , terutama organ reproduksi dan bagian punggung dengan bentuk punggung induk udang relative datar dan berkulit keras. Semakin besar tubuh induk maka, akan jumlah telur yang dihasilkan akan semakin banyak (Pujiati dkk 2014).



Menurut Yusuf (2011), bahwa salah satu kriteria induk yang baik adalah organ reproduksi dalam keadaan baik dan bebas penyakit bakteri maupun virus. Apabila terinfeksi bakteri maupun virus, maka akan menyebabkan carier pada keturunan benih udang yang dipijahkan. Hal ini akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas bih udang yang dihasilkan.



2.7.3 Ablasi Proses ablasi mata merupakan proses pemotongan tangkai mata udang untuk mempercepat kerja hormon dalam pematamgan gonad. Proses ablasi mata tersebut dilakukan pada induk udang betina dengan menggunakan gunting yang terlebih dahulu dipanaskan. Proses ablasi mata dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak jaringan atau organ lain dari induk udang. Tujuan teknik ablasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan kerja organ–X, yang memproduksi hormon penghambat kematangan gonad atau GIH (gonad inhibiting hormone) dan MIH (moting inhibiting hormone). Turunnya kerja organ-X akan meningkatkan kerja organ-Y yang menghasilkan hormon GSH (gonad stimulating hormone) atau hormon untuk mempercepat kematangan gonad dan MH (molting hormone) (Yusuf 2011). 2.7.4 Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad untuk induk jantan memiliki ciri-ciri yaitu kantong sperma atau petasma di kaki renang ke-5 terdapat garis putih yang menunjukan sperma.



Tingkat kematangan gonad atau telur induk betina dapat



dilihat dari punggung udang mulai dari carapace sampai kepangkal ekor (telson). Tingkat kematangan gonad yang semakin matang ditandai dengan warna ovari yang kekuningan dan tebal. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) menurut pendapat Noventi (2001), pada udang windu adalah sebagai berikut :  TKG I (belum matang): ovarium tipis, bening dan tidak jelas menyambung pada dorsal eksoskeleton. Bila dibedah ovarium tampak kosong seperti jaringan tidak berwarna



 TKG II (kematangan awal): ovarium tipis, seperti garis menumpuk dan menyambung pada eksoskeleton. Ovarium mulai membesar pada bagian depan dan pertengahan. Warna ovarium putih pucat, coklat muda samapi hijau keabu-abuan  TKG III (kematangan akhir): ovarium tebal, padat dan gelap mengisis bagian depan dada samapai belakang perut, dapat terlihat melalui eksoskeleton  TKG IV (matang): ovarium meluas dan menebal mengisi semua ruang dalam rongga badan  TKG V (luruh): ovarium lemah dan tipis, dari luar tampak seperti TKG 1 yang belum matang



2.7.5 Proses Perkawinan dan Pemijahan Bak yang digunakan untuk proses perkawinan terlebih dahulu dicuci menggunakan air tawar dan dilakukan pencucian menggunakan larutan klorin sebanyak 50 ppm. Selanjutnya dibilas dengan air tawar hingga bau klorin hilang. Tahap selanjutnya air laut dimasukkan ke bak pemijahan dengan salinitas 28 oC, suhu air 28-29 oC. Induk jantan maupun betina dimasukkan ke bak pemijahan dengan perbandingan 1:1 atau dengan kepadatan 4 ekor/m2 (Murtidjo 2003). Menurut Murtidjo (2003), pemijahan akan terjadi sekitar pukul 14.00 sampai 03.00, apabila telur sudah disemburkan secara sempurna induk udang harus segera diangkat dan dikembalikan ke bak penampungan. Tujuannya agar telur yang dikeluarkan tidak dimakan oleh induk udang.



2.7.6



Penetasan Telur Menurut Yuliati (2009), bahwa induk dimasukkan ke dalam bak peneluran



setelah terjadi perkawinan dan dibiarkan sampai mengeluarkan telurnya/spent. Induk yang akan mengeluarkan telurnya akan berada pada permukaan air dan berputar untuk mengeluarkan telurnya, setelah telurnya habis induk kembali berenang ke dasar. Induk betina akan bertelur dan menghasilakn naupli lebih banyak apabila melalui perkawinan alami.



2.8



Perkembangan dan Pertumbuhan Embrio Telur Sampai Stadia Larva Udang Windu Penaeus monodon) Telur udang setelah terjadi pembuahan akan melakukan proses



embriogenesis atau perkembangan embrio. Telur yang terbuahi dengan sempurna embrio akan mengalami perkembangan dan akan menetas menjadi naupli. Naupli yang telah menetas akan melakukan metamorfosis hingga menajadi naupli enam (N6). Berikut adalah tahapan perkembangan embrio telur hingga menetas menjadi naupli yang tercantum dalam Tabel 1.



Tabel 1. Tahap Perkembangan Embrio dan Stadia Nauplius (Motoh 1996)



Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea, mysis dan post larva (Gambar 3).



Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) (Sumber: Suwignyo 1990) Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti pada gambar diatas yaitu : 1)



Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.



2)



Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.



3)



Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.



4)



Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.



5)



Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.



6)



Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan



pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo 2000).



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan Udang windu (Penaeus monodon) adalah salah satu jenis udang konsumsi



yang menjadi komoditas andalan dari berbagai daerah di Pulau Jawa seperti Banyuwangi, Karawang, Lebak, dan Garut. Udang windu bersifat omnivor, dan aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Teknik pembenihan udang windu (penaeus monodon) memiliki 7 tahap yaitu pemeliharaan induk, seleksi induk, ablasi, mentoring tingkat kematangan gonad, proses perkawinan dan pemijahan, penetasan telur dan perkembangan serta pertumbuhan embrio telur sampai stadia larva udang windu (penaeus monodon).



3.2



Saran Pada pembuatan makalah mengenai Teknik Pembenihan Udang Windu,



sebaiknya disertakan dengan praktik langsung mengenai Teknik Pembenihan Udang Windu.



DAFTAR PUSTAKA



Agung, M. U. K. 2007. Penelusuran Efektifitas Beberapa Bahan Alam Sebagai Kandidat Antibakteri Dalam Mengatasi Penyakit Vibriosis Pada Udang Windu. Makalah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. 36 Hal. Bell, T. A. and D.V. Lightener. 1992. Shrimp Facility Clean-up and Re-stocking Procedures. The Cooperative Extension, University of Arizona, Tucson, Arizona, USA. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP. 2013. Kebangkitan Budidaya Udang Windu Melalui Penerapan Teknologi “Double Screening”. Haryati, Zainuddin dan S. Muchlis. 2010. Pengaruh Pemberian Berbagai Kombinasi Pakan Alami pada Induk Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Terhadap Potensi Reproduksi dan Kualitas Larva. Ilmu Kelautan, Vol 15 (3): 163 – 169. Lestari, A. 2009. Manajemen Resiko dalam Usaha Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), Studi Kasus di PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murtidjo, B.A., 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kansius. Jakarta. Poernoma, A., 1976. Budidaya Udang Windu di Tambak Potensial Budidaya Produksi dan Udang Sebagai Lahan Makanan di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Organisasi (LIPI) Jakarta. 41 Halaman. Pujiati, I., S. Ningsih, S. Palupi dan Tri Windono, 2002. Uji toksisitas ter-hadap larva Artemia salina Leach. Dari fraksi n-heksan, khloroform, etil asetat dan air ekstrak etanol rimpang temumangga (Curcuma mangga VaL). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Universitas Surabaya, Surabaya : 109-115. SNI 01-7246-2006. Produksi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Di Tambak Dengan Teknologi Intensif. Badan Standarisasi Nasiona Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Kansiua.Yogyakarta. Soleh, M. & Sugiarto, 1994. Pengamatan pematangan telur induk udang windu yang berasal dari berbagai perairan. Laporan tahunan Balai Budidaya Air Payau Jepara, 1993 – 1994



Sutrisno, E., W.T. Prabowo., dan S. Slamet. 2010. Produksi Calon Induk Udang Vaname (L. vannamei) dengan Resirkulasi Tertutup pada Bak Raceway. Situbondo: Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo. Suyanto, S.R dan A. Mujiman., 1994. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya.Jakarta. Toro, V dan Soegiarto., 1979. Biologi Udang Windu. Proyek Penelitian Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oceanoligi LIPI. Jakarta. 144 Halaman. Yuliati, Evi. 2009. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Pembenihan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Skripsi. IPB.