Teori Dasar Panas Bumi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III TEORI DASAR



3.1 Sistem Panas Bumi Panas Bumi adalah energi panas yang berasal dari dalam bumi. Seperti diketahui bahwa bumi memiliki bagian-bagiannya yang di dalamnya dapat berupa inti bumi, mantel bumi dan kerak bumi. Kerak bumi terdiri dari lempeng-lempeng yang mengapung di atas astenosfer. Secara perlahan lempeng-lempeng tersebut terus bergerak sehingga lempeng-lempeng tersebut saling berjauhan atau saling bertabrakan. Lempeng-lempeng yang bertabrakan salah satunya akan menunjam ke bawah menuju astenosfer. Karena panas dari astenosfer dan panas dari gesekan, ujung lempeng akan mencair dan temperaturnya akan meningkat. Karena hal tersebut terjadilah perubahan temperatur dari bawah hingga permukaan atau disebut gradient temperature.



Gambar 3.1. Pergerakan Lempeng Tektonik (Dalam Saptadji, 2000) Sumber panas yang dihasilkan akan dipindahkan ke sekelilingnya secara konduksi maupun konveksi. Secara konduksi biasanya terjadi melalui batuan.



21



Sedangkan secara konveksi terjadi melalui kontak langsung dengan air yang kemudian bergerak ke atas karena temperatur airnya naik sehingga terjadinya arus konveksi.



Gambar 3.2. Perpindahan Panas Di Bawah Permukaan (Dalam Saptadji, 2000) Ada beberapa syarat utama dalam sistem panas bumi, yaitu (i) Sumber Panas (ii) Batuan reservoar untuk mengakumulasi panas (iii) Penghalang untuk menahan panas (Harsh Gupta dan Sukanta Roy, 2007). Sistem panas bumi diklasifikasiakn ke dalam beberapa kategori. 3.1.1 Sistem Geopressured Lingkungan hidrotermal yang air panasnya hampir sepenuhnya tertutup dari pertukaran dengan batuan sekitarnya disebut sistem geopressured (Jones, 1970 ; Duffield dan Sass, 2003). Sistem tersebut biasanya terbentuk dalam cekungan yang terisi sedimen dengan cepat sehingga tekanannya lebih tinggi dari tekanan normal air hidrothermal.



22



3.1.2 Sistem Magma Magma adalah sumber utama dari semua sumber panas bumi bertemperatur tinggi. Di beberapa lokasi, magma muncul di kedalaman 5 Km dari kerak seperti di Kilauea Volcano, Hawaii. Namun, masih banyak kesulitan untuk mengembangkan energi panas dari magma, seperti penempatan yang tepat untuk pengeboran dan biaya yang mahal karena pengeboran perlu menggunakan bahan yang tahan lingkungan korosif panas. 3.1.3 Sistem HDR (Hot Dry Rock) Sistem panas bumi yang sumber panasnya tersimpan di dalam batuan panas yang impermeabel tanpa ada transport dari fluida. Berdasarkan penyebabnya, sumber panas bumi pada HDR dapat dibagi dalam 3 kategori: (i) Panas yang ditransfer dari magma atau disimpan didalam batuan kering sekitar magma, (ii) panas yang dikonduksikan ke kerak dangkal yang menyebabkan anomali, (iii) panas yang disimpan di dalamnya karena konsentrasi tinggi mineral radioaktif atau patahan skala besar. 3.1.4 Sistem Hidrothermal Sistem ini adalah sistem yang paling sering digunakan karena lebih ekonomis karena keberadaan reservoar yang tidak terlalu dalam dan juga karena pori-pori batuan mengandung uap atau air atau keduanya. Sistem panas bumi ini memiliki 5 komponen, yaitu: 1. Sumber Panas (Heat Source) 2. Fluida 3. Batuan Reservoar 4. Batuan Penutup (Cap Rock)



23



5. Permeabilitas Sistem hidrothermal terdiri dari sistem satu fasa dan sistem dua fasa. Hal ini berdasarkan pada jenis kandungan fluidanya. Sistem satu fasa umumnya berisi air dengan temperature 90˚-180˚ dan tidak terjadi pendidihan selama eksploitasi. Sistem dua fasa terdiri dari sistem dominasi uap dan sistem dominasi air. Pada sistem dominasi uap, sumur-sumurnya mengandung memproduksikan uap keringa atau uap basah dan jumlah air yang terkandung relatif lebih sedikit. Sedangkan pada sistem dominasi air, sumur-sumurnya menghasilkan fluida berupa campuran uap dan air. Pada sistem ini, tekanan maupun temperatur tidak konstan terhadap kedalaman. Setiap sistem hidrotermal memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Model sistem hidrotermal yang sering digunakan adalah model dari White (1967). Ia berpendapat bahwa fluida panas bumi berasal dari air permukaan yang masuk ke permukaan melalui rekahan atau batuan yang permeabel. Saat di bawah permukaan, bila air kontak dengan batuan panas, air tersebut menjadi panas dan lebih ringan terhadap air dingin. Bila memungkinkan air ini akan masuk melalui rekahan batuan yang permeabel dan muncul kembali ke permukaan sebagai manifestasi permukaan panas bumi.



24



Gambar 3.3 Model Sistem Hidrotermal (White, 1967) 3.2 Manifestasi Panas Bumi di Permukaan Adanya sistem panas bumi dibawah permukaan bisa ditandai dengan kemunculan manifestasi-manifestasi di permukaan. Kemunculan manifestasi ini akan berbeda-beda pada tiap lapangan. Manifestasi muncul akibat adanya perambatan panas dari bawah dan adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panas bumi mengalir ke permukaan. Hochstein dan Brown (2000) mengklasifikasikan manifestasi permukaan kedalam 4 kelompok berdasarkan cara panas yang dikeluarkan. 3.2.1 Keluaran Terdifusi (Diffusive Heat Discharge) Cara ini membentuk manifestasi berupa tanah beruap (steaming ground), tanah hangat (warm ground), dan kolam panas. Umumnya manifestasi ini muncul dengan cara konduksi.



25



Tanah beruap merupakan manifestasi berupa uap panas yang nampak keluar dari permukaan tanah. Uap panas ini diperkirakan muncul dari lapisan tipis yang berada dekat permukaan dan mengandung air panas yang temperaturnya sama atau lebih besar dari titik didihnya. Tanah hangat terjadi ditempat yang terdapat sumber panas bumi atau di sekitaran manifestasi panas bumi yang pancaran panasnya lebih kuat. Manifestasi ini muncul di beberapa daerah seperti di Ngawha, Selandia Baru dan juga Hawaii. Terbentuknya kolam air panas adalah akibat adanya aliran air panas yang melalui rekahan-rekahan batuan dibawah permukaan. Air panas ini berasal dari reservoar air panas yang berada jauh di bawah permukaan atau dari air tanah yang menjadi panas karena pemanasan oleh uap panas. Akibat perpindahan dari bawah permukaan ke atmosfir maka terjadilah penguapan air di permukaan. 3.2.2 Keluaran Langsung (Direct Heat Discharge) Cara ini membentuk manifestasi fumarol dan mata air panas. Fumarol merupakan lubang kecil yang memancarkan uap panas yang mengandung butiranbutiran air (wet steam) atau bisa juga uap panas yang kering (dry steam). Apabil terdapat asam borik yang tinggi pada fumarol, maka manifestasi ini disebut soffioni. Sedangkan bila mengandung gas H2S maka disebut solfatar. Mata air panas muncul karena adanya aliran air panas yang melalui rekahanrekahan batuan dibawah permukaan. Jenis reservoar dibawah permukaan seringkali ditentukan berdasarkan sifat air permukaan. Biasanya mata air panas yang bersifat asam adalah manifestasi yang berasal dari sistem panas bumi yang berdominasi uap. Sedangkan mata air panas yang bersifat netral merupakan manifestasi permukaan yang berasal dari sistem panas bumi dominasi air dan jenuh dengan silika. Namun, di beberapa daerah seperti di kaki gunung, terdapat mata air panas bersifat netral yang berasal dari sistem panas bumi dominasi uap. Bila laju aliran air tidak terlalu besar, umumnya terbentuk teras-teras silika di sekitar mata air panas tersebut.



26



3.2.3 Keluaran Berkala (Intermitten Heat Discharge) Cara ini membentuk manifestasi berupa geyser. Geyser merupakan mata air panas yang menyembur ke udara secara intermitten. Tinggi air, selang waktu erupsi, dan lamanya air menyembur ke permukaan sangat beraneka ragam di tiap tempat. Manifestasi ini mencirikan sistem panas bumi berdomnasi air. 3.2.4 Keluaran Tersembunyi (Concealed Discharge) Cara ini membentuk manifestasi berupa rembesan sungai. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan semua tipe discharge fluida panas di bawah permukaan baik yang dangkal maupun yang dalam. Rembesan pada tempat dangkal terjadi bila air panas bumi dari reservoar keluar sebagai mata air yang tersembunyi di dasar sungai, danau, atau masuk ke sistem air tanah dangkal. 3.3 Geofisika Metode Gravitasi 3.3.1 Prinsip Dasar Gravitasi Metode gravitasi adalah salah satu jenis metode geofisika yang sangat sensitif terhadap perubahan vertical, oleh karena itu metode ini sering digunakan untuk mempelajari kontak intrusi, batuan dasar, struktur geologi, endapan sungai purba, zona lemah di dalam massa batuan dan lain-lain. Adanya perbedaan massa jenis batuan dari suatu tempat dengan tempat lain menimbulkan medan gravitasi yang tidak merata pula dan perbedaan inilah yang terukur di permukaan bumi. Dalam pengukuran gravitasi, alat yang digunakan disebut gravimeter. Gravimeter yang biasa digunakan di dalam penelitian adalah gravimeter LaCoste Romber yang merupakan tipe Zero Length Spring, yang memiliki tingkat pembacaan dari 0 sampai 700mGal, dengan ketelitian 0,01mGal dan drift rata-rata kurang dari 1mGal tiap bulannya.



27



Gravimeter perlu dikalibrasi karena keadaan-keadaan komponen alat ukur tersebut setiap saat dapat berubah dari keadaan baku yang disebabkan oleh temperatur, tekanan udara atau pengaruh mekanisme lainnya. Prinsip pengukuran dari gravimeter ini menggunakan hukum Newton II tentang gravitasi yang menyatakan bahwa gaya tarik-menarik antara 2 benda yang masing-masing mepunyai massa m1 dan m2 dengan jarak r, dirumuskan sebagai berikut:



F(r) =



G(r) =



F m1



G



m1. m 2 2 r



=



G



m1. m 2 r2



Dimana: F = besar gaya gravitasi antara dua titik massa yang ada (Newton) G = besar konstanta gravitasi Newton (6673 x 10-1



NM 2 kg 2 )



m1 = massa benda pertama (kg) m2 = massa benda kedua (kg) r = jarak antara benda pertama dan benda kedua (m) 3.3.2 Reduksi Gravitasi Karena bumi mempunyai bentuk hampir spheroid dan homogen isotropik, sehingga terdapat variasi harga percepatan gravitasi untuk masing-masing tempat. Hal ini disebabkan karena pengukuran di lapangan dilakukan di permukaan bumi pada stasiun-stasiun lokasi pengamatan di daerah menarik (area of interest).



28



Pembacaan ini akan terpengaruh oleh keadaan topografi dan faktor-faktor lain, oleh karena itu pembacaan harus dikoreksi. Hal-hal yang dapat mempengaruhi harga percepatan gravitasi adalah: a.



Perbedaan derajat garis lintang



b.



Perbedaan topografi



c.



Kedudukan bumi dalam tata surya



d.



Variasi rapat massa batuan di bawah permukaan bumi



e.



Perbedaan elevasi tempat pengukuran



3.3.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tidal Correction) Koreksi pasang-surut pada pengukuran gaya berat dilakukan untuk memperhitungkan pengaruh benda-benda di luar bumi seperti matahari dan bulan. Pasang-surut bumi dapat memberikan pengaruh gravitasi hingga 0,3 mGal, dengan periode ± 12 jam. Harga koreksi pasang-surut bergantung pada lintang dan waktu. Berikut adalah persamaan pengaruh gaya berat bulan di titik P (Longman,1959): c Up=G(r)[( r )3(cos 2θ +



1 3 )+



1 G



r ( c )(



Dimana: Up



= Potensi di titik P akibat pengaruh bulan



θ



= Lintang



M



= Moon



29



c R



)4 (5 cos 3θ + 3 cosθ)]



E



= Earth



c



= Jarak rata-rata ke bulan



r



= Jari-jari bumi ke titik P



R



= Jarak dari pusat ke bumi ke bumi ke bulan



3.3.2.2 Koreksi Kelelahan Alat (Drift Correction) Dalam akuisisi data gravitasi, pengukuran dilakukan dengan membentuk looping karena titik awal dan akhir pengukuran merupakan titik yang nilai gravitasi mutlaknya sudah diketahui. Koreksi drift ini diasumsikan sebagai sebuah persamaan yang linier dalam selang waktu (t) tertentu.



Drift correction =



( gakhir−hawal) (takhir−tawal) .(tn-tawal)



3.3.2.3 Koreksi Spheroid dan Geoid/Koreksi Lintang (Lattitude Correction) Koreksi ini dilakukan akibat bentuk bumi yang tidak bulan. Sehingga, digunakan refrensi spheroid sebgai pendekatan untuk muka laut rata-rata (geoid) dengan menghabiskan efek benda di atasnya. Spheroid reference (glintang) diberikan oleh persamaan GRS67 (Geodetic Reference System 1967): g(ϕ) = 978031,8 (1+0,005304 sin2 ϕ + 0,0000059 sin2 2 ϕ Dengan ϕ adalah sudut lintang dalam radian. 3.3.2.4 Koreki Udara Bebas (Free Air Correction) Koreksi akibat pengaruh ketinggian terhadap referensi spheroid. Karena nilai gravitasi yang berbanding terbalik dengan nilai kuadrat jarak, maka diperlukan koreksi terhadap perubahan elevasi antar stasiun pengamat, sehingga semua pembacaan di lapangan di reduksi ke bidang acuan (datum plane).



30



Koreksi ini didapat dari hasil diferensiasi persamaan skalar tentang percepatan gravitasi:



d g FA d Re Req



g=



F m



= -2.



G.M 3 R



=



G . m. M 2 m .r g = -2. R eq



G.M 2 R



=



= -0,09406 mGal/ft



= untuk daerah ekuator (45oLU - 45oLS) Berbeda halnya dengan gaya gravitasi, nilai minus yang muncul karena hasil



diferensiasi menandakan bahwa asumsi awal dari penurunan rumus ini titik pengamatan berada di bawah datum plane, sedangkan penambahan koreksi udara bebas dilakukan jika pengamatan berada di atas datum plane. Sedangkan untuk perhitungan Free Air Anomaly nya (FAA) dalam satuan meter adalah: FAA= gobs - gϕ + 0,3085.h FAA= gravitasi terkoreksi udara bebas h = ketinggian permukaan dari datum (msl) satuan meter 3.3.2.5 Koreksi Bouguer (Bouguer Slab Correction) Koreksi akibat suatu benda yang memiliki densitas di antara bidang acuan dan titik amat. Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan benda berupa slab tak terhingga. BC = 2πGρh = 0.04193. ρ.h BC



= koreksi Bouguer (mGal)



31



P



= densitas rata-rata kerak bumi (2.67 g/cm3)



h



= ketinggian (m)



G



= konstanta universal gravitasi (6.672x10-11 Nm2/kg2)



Gambar 3.4 Koreksi Bouguer yang berbeda nilainya antara pengukuran di permukaan dan di bawah permukaan (Telford, 1976). Ketika pengukuran gravity dilakukan di bawah permukaan seperti pada gambar di atas (Gambar 3.1), maka slab di antara stasiun1 dan stasiun 2 akan berkerja gaya tarik menarik yang berbeda-beda tiap stasiun, yaitu gaya tarik ke bawah pada stasiun 1 dan gaya tarik ke atas pada stasiun 2. Oleh karena itu nilai dari koreksi bouguer menjadi 2 kalinya. 3.3.2.6 Koreksi Medan (Terrain Correction) Koreksi medan dilakukan sebab setiap stasiun pengukuran gravitasi memiliki bentuk permukaan yang tidak rata/datar atau memiliki kontur tertentu. Misalkan jika di dekat stasiun pengukuran terdapat bukit maka bukit tersebut memiliki medan yang



32



mampu menekan gravimeter untuk menaikkan percepatan gravitasi. Koreksi ini selanjutnya bisa didapatkan melalui pengolahan data menggunakan Hammer Chart.



3.3.2.7 Anomali Gravitasi Bouguer (Bouguer Gravity Anomaly) Bouguer Gravity Anomaly atau sering disebut juga dengan Complete Bouguer Anomaly (CBA) adalah nilai dari hasil penjumlahan seluruh koreksi-koreksi perhitungan gravity terhadap gobs sehingga persamaannya menjadi: CBA = FAA - BC + TC 3.3.2.8 Regresi Polinomial (Polynomial Regresion) Anomali Bouguer merupakan penjumlahan dari anomali regional dan anomali residual. Kedua anomali tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan anomali yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, anomali-anomali tersebut harus saling dipisahkan. Sehingga diperlukan suatu metode pemisahan anomali regional dengan anomali residual yang cukup baik, agar didapatkan anomali residual (sebagai anomali yang merupakan target dalam survei penelitian metode gravitasi) yang akurat untuk permodelan geologi bawah permukaan bumi. 3.3.2.9 Second Vertical Derivatives (SVD) Second Vertical Derivatives atau turunan vertikal ke-dua adalah salah satu teknik filtering dalam metode gaya berat yang digunakan untuk meningkatkan persepsibilitas dari anomali gravity yang mungkin berkaitan dengan target penelitian (body of interest).



33



Beberapa gravitasi lokal memiliki anomali dengan amplitudo rendah dan dapat dengan mudah dikaburkan oleh medan gravitasi regional. Teknik derivative filtering yang sering digunakan adalah first derivative (gradien) (Fajklewicz, 1976 ; Butler, 1989) dan second derivative (kurva) (Elkins, 1951) yang dikalkulasikan dari grid anomali bouguer lengkap. SVD telah menjadi teknik filtering yang sering digunakan karena amplitudo dan lebarnya dari hasil turunan ke-dua ini lebih tinggi dan sempit daripada turunan vertikal pertamanya (gradien); oleh karena itu maka lebih mudah untuk diinterpretasi. Mengingat hasil nilainya yang berasal dari turunan ke-dua, maka sebenarnya teknik SVD ini sangat rentan terhadap noise, error, dan pengaruh topografi. Oleh sebab itu teknik filtering ini hanya bisa dilakukan untuk interpretasi-interpretasi skala luas seperti halnya dalam kasus ini, sesar. Beberapa peneliti membuat percobaan antara vertical derivative dan horizontal derivative untuk aplikasi gravitasi dangkal, dan beberapa hasilnya menunjukkan bahwa horizontal derivative tidak terpengaruh dengan efek topogradi dan menentukan objek-objek dangkal lebih baik dibandingkan dengan vertical derivative. 3.4 Struktur Geologi Pada Lapangan Panas Bumi 3.4.1 Definisi Sesar Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran relatif (displacement) yang berarti, melalui bidang rekahnya (Billings, 1972). Adapun di lapangan indikasi suatu sesar dapat dikenal melalui: a.



Sumber air panas



b.



Kelurusan mata air



34



c.



Gawir/bidang sesar



d.



Pergeseran sungai/aliran



e.



Breksiasi, gouge, milonit



f.



Pergeseran kedudukan lapisan



g.



Kelurusan zona alterasi hidrotermal



h.



Pemotongan kontinuitas lereng dan lineasi permukaan



i.



Gejala-gejala struktur minor seperti: cermin sesar. gores garis, lipatan, dsb.



Gambar 3.5. Klasifikasi sesar berdasarkan orientasi stress ellipsoid. P=sumbu tegasan utama, Q=sumbu tegasan kedua, R=sumbu tegasan terkecil. B=sesar naik, D=sesar mendatar, F=sesar normal (Anderson, 1951) Sesar dapat dibagi kedalam beberapa jenis/tipe tergantung pada arah relatif pergeserannya. Selama sesar dianggap suatu bidang datar, maka konsep jurus dan



35



kemiringan juga dapat dipakai, dengan demikian jurus dan kemiringan dari suatu bidang sesar dapat diukur dan ditentukan. 3.4.1.1 Sesar Turun (Normal Faults) Sesar turun adalah patahan yang terjadi karena gaya tegasan tensional horisontal pada batuan yang bersifat retas dimana “hangingwall block” telah mengalami pergeseran relatif ke arah bagian bawah terhadap “footwall block”. 3.4.1.2 Horsts dan Grabens Dalam kaitannya dengan sesar normal yang terjadi sebagai akibat dari tegasan tensional, seringkali dijumpai sesar-sesar normal yang berpasang pasangan dengan bidang patahan yang berlawanan. Dalam kasus yang demikian, maka bagian dari blok-blok yang



turun akan membentuk “graben” sedangkan pasangan dari blok-



blok yang terangkat sebagai “horst”. Contoh kasus dari pengaruh gaya tegasan tensional yang bekerja pada kerak bumi pada saat ini adalah “East African Rift Valley” suatu wilayah dimana terjadi pemekaran benua yang menghasilkan suatu “rift”. Contoh lainnya yang saat ini juga terjadi pemekaran kerak bumi adalah wilayah di bagian barat Amerika Serikat, yaitu di Nevada, Utah, dan Idaho. 3.4.1.3 Half-Grabens Half-Grabens adalah patahan normal yang bidang patahannya berbentuk lengkungan dengan besar kemiringannya semakin berkurang kearah bagian bawah sehingga dapat menyebabkan blok yang turun mengalami rotasi. 3.4.1.4 Sesar Naik (Reverse Faults) Reverse Faults adalah patahan hasil dari gaya tegasan kompresional horisontal pada batuan yang bersifat retas, dimana “hangingwall block” berpindah relatif kearah atas terhadap “footwall block”. 3.4.1.5 Sesar Naik (Thrust Faults)



36



Thrust Fault adalah patahan “reverse fault” yang kemiringan bidang patahannya lebih kecil dari 150. . Pergeseran dari sesar “thrust fault” dapat mencapai hingga ratusan kilometer sehingga memungkinkan batuan yang lebih tua dijumpai menutupi batuan yang lebih muda. 3.4.1.6 Strike Slip Faults Strike Slip Faults adalah patahan yang pergerakan relatifnya berarah horisontal mengikuti arah patahan. Patahan jenis ini berasal dari tegasan geser yang bekerja di dalam kerak bumi. Patahan jenis “strike slip fault” dapat dibagi menjadi 2(dua) tergantung pada sifat pergerakannya. Dengan mengamati pada salah satu sisi bidang patahan dan dengan melihat kearah bidang patahan yang berlawanan, maka jika bidang pada salah satu sisi bergerak kearah kiri kita sebut sebagai patahan “leftlateral strike-slip fault”. Jika bidang patahan pada sisi lainnya bergerak ke arah kanan, maka kita namakan sebagai “right-lateral strike-slip fault”. Contoh patahan jenis “strike slip fault” yang sangat terkenal adalah patahan “San Andreas” di California dengan panjang mencapai lebih dari 600 km. 3.4.1.7 Transform-Faults Transform-Faults adalah jenis patahan “strike-slip faults” yang khas terjadi pada batas lempeng, dimana dua lempeng saling berpapasan satu dan lainnya secara horisontal. Jenis patahan transform umumnya terjadi di pematang samudra yang mengalami pergeseran (offset), dimana patahan transform hanya terjadi diantara batas kedua pematang, sedangkan dibagian luar dari kedua batas pematang tidak terjadi pergerakan relatif diantara kedua bloknya karena blok tersebut bergerak dengan arah yang sama. Daerah ini dikenal sebagai zona rekahan (fracture zones). Patahan “San Andreas” di California termasuk jenis patahan “transform fault”. 3.4.2 Pemetaan Struktur Geologi



37



Sesar-sesar dapat diinterpretasi melalui foto geologi yang didukung oleh hasil geologi lapangan. Sesar adalah media yang dapat merupakan jalan keluarnya panas ke permukaan (Santoso, 2004). 3.5 Geokimia Panas Bumi Dalam eksplorasi panas bumi, data kimia fluida panas bumi berguna untuk memberikan gambaran mengenai sistem panas bumi di bawah permukaan yang meliputi temperatur, jenis reservoar, dan asal muasal air. Untuk mengetahui data kimia panas bumi, fluida yang digunakan adalah air dan gas dari manifestasi panas bumi yang muncul di permukaan. Kandungan kimia fluida panas bumi pada setiap tempat akan berbeda-beda meskipun berada di lapangan yang sama. Perbedaan ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: 1. Temperatur 2. Kandungan gas 3. Sumber air 4. Jenis batuan 5. Kondisi dan lamanya interaksi air batuan 6. Adanya pencampuran antara air dari satu sumber dengan air dari sumber lainnya 3.5.1 Tipe Air Panas Bumi Dalam mentukan tipe air, Nicholson (1993) Menggunakan 3 anion Cl-SO4HCO3 3.5.1.1 Air Klorida



38



Air ini merupakan tipikal dari sistem panas bumi dengan temperatur yang tinggi karena air ini berasal langsung dari reservoar sebelum sampai ke permukaan. Unsur Cl mendominasi pada tipe air ini dengan pH yang agak asam sampai netral. Pada kemunculannya di permukaan, tipe air ini biasanya dibarengi dengan terbentuknya silika sinter di sekelilingnya. Air klorida juga bisa dipergunakan dalam menentukan suhu perkiraan bawah permukaan. 3.5.1.2 Air Sulfat Dikenal juga dengan nama lain air asam-sulfat, air ini terbentuk dari kondensasi gas panas bumi ke permukaan. Air ini biasanya berada di zona upflow utama dengan topografi daerah yang tinggi. Ciri dari tipe air ini adalah kandungan ion SO4 yang tinggi dengan pH rendah. 3.5.1.3 Air Bikarbonat Tipe air ini biasa ditemukan di daerah non-vulkanik dengan temperatur tinggi. Air bikarbona terbentuk dari kondensasi uap air dan gas ke dalam permukaan yang kandungan oksigennya sedikit. Kandungan kimia tipe ini didominasi oleh HCO 3 dengan pH air yang hampir netral. Air ini bisa menyebabkan korosi pada sumur. 3.5.1.4 Air Sulfat-Klorida Tipe air ini terbentuk dari berbagi macam proses seperti pencampuran klorida dan sulfat pada kedalaman yang variabel, oksidasi H 2S pada air klorida, kondensasi gas vulkanik dekat permukaan, dan kondensasi uap magma. Ciri dari air ini adalah kandungan Cl dan SO4 yang seimbang dengan kisaran pH 2-5 3.5.1.5 Air Dilute klorida-bikarbonat Air ini terbentuk karena interaksi air klorida dengan air tanah atau air bakarbonat saat terjadinya lateral flow. Kemungkinan air ini berada pada batas antara



39



zona upflow dengan zona outflow bertemperatur tinggi. pH air ini dekat dengan kandungan Cl sebagai anion utama dan HCO3 yang jumlahnya bervariatif.



3.5.2 Geokimia Gas Panas Bumi Sama seperti air panas bumi, gas panas bumi juga digunakan untuk interpretasi dalam eksplorasi panas bumi. Gas-gas ini biasa muncul pada manifestasi fumarol dan kolam air panas. Nicholson (1993) menjelaskan jenis-jenis gas dan kandungan kimianya serta kegunaannya dalam interpretasi. 3.5.2.1 Karbon Dioksida (CO2) Merupakan gas yang keberadaannya sangat berlimpah pada sistem panas bumi. Gas terbentuk dari alterasi batuan karbonat atau pemanasan air meteorik terlarut. 3.5.2.2 Hidrogen Sulfida (H2S) Gas ini terbentuk dari alterasi reservoar atau dari sumber magma. Rasio CO2/H2S digunakan dalam interpretasi migrasi gas. Meningkatnya nilai rasio berbanding lurus dengan jarak migrasi gas. Gas ini 2-3 kali lebih larut daripada karbon dioksida. 3.5.2.3 Ammonia (NH3) Merupakan gas yang paling mudah terlarut dibandingkan dengan gas-gas panas bumi lainnya. Kandungan amonia yang tinggi mengindikasikan hasil alterasi dari batuan sedimen organik. Dalam perjalanannya menuju permukaan, gas ini bisa berkurang karena reaksi dengan batuan di sekitarnya. 3.5.2.4 Hidrogen (H2)



40



Gas yang reaktif tinggi dan mudah berkurang bila mengalami reaksi dengan batuan sekitarnya. Semakin jauh migrasi gas hidrogen maka kandungan gasnya semakin sedikit. Rasio H2/CO2 dapat digunakan dalam menentukan arah aliran dan zona upflow. 3.5.2.5 Metana (CH4) Dari berbagai macam gas hidrokarbon, metana adalah gas yang paling banyak ditemui dalam panas bumi. Konsentrasi metana yang tinggi megindikasikan alterasi batuan sedimen atau menunjukkan bahwa gas berasal dari air dengan pH netral. 3.5.2.6 Nitrogen (N2) Pada sistem panas bumi, gas ini lebih banyak berasal dari air meteorik, meskipun bisa juga berasal dari magma. Dalam sistem temperatur rendah, gas ini bisa menjadi komponen gas utama. 3.5.2.7 Oksigen (O2) Keberadaan oksigen mengindikasikan adanya kontaminasi udara selama proses pengambilan sampel. Rasio O2/N2 dipergunakan untuk melihat seberapa besar kontaminasi yang terjadi pada gas. 3.5.2.8 Argon (Ar) Gas mulia Argon berguna dalam sistem panas bumi yang berasal dari air meteorik. Argon digunakan sebagai unsur konservatif dalam rasio yang penggunannya hampir sama dengan Cl pada kimia air. 3.5.3 Menentukan Asal dan Lingkungan Air dan Gas Interpretasi terhadap asal dan lingkungan air dapat menggunakan diagram Cl100Li-25B (Gambar 3.4). Data yang diplot adalah unsur klorida, lithium, dan boron pada masing-masing manifestasi mata air. Sedangkan untuk gas dapat menggunakan



41



diagram H2-H2S/10-5CH4 (Gambar 3.5). Data yang diplot adalah gas hidrogen, hidrogen sulfida, dan metana pada masing-masing manifestasi fumarol. Selain itu juga bisa dengan plottingpada diagram 100N2-CO2-10000Ar (Gambar 3.6). Data yang diplot adalah unsur gas nitrogen, karbon dioksida, dan argon pada tiap-tiap manifestasi fumarol. 3.5.3.1 Menghitung Perkiraan Suhu Bawah Permukaan Kegiatan ini menggunakan metode geotermometer. Untuk suhu air, sebelum dilakukan perhitungan kita harus melihat apakah air tersebut telah mengalami pencampuran dengan air permukaan atau belum dengan cara plotting pada diagram Na-10K-1000Mg0.5 (Gambar 3.5). Air yang bisa digunakan dalam perhitungan geotermometer adalah air yang masuk ke dalam zona partial equilibration. Beberapa metode perhitungan geotermometer yang akan digunakan adalah:



Gambar 3.6 Diagram Cl-SO4-HCO3 (Giggenbach, 1988 dalam Nicholson, 1993)



42



Gambar 3.7 Diagram Cl-100Li-25B (Giggenbach, 1991 dalam Powell, 2010)



Gambar 3.8 Diagram H2-H2S/10-5CH4 (Giggenbach, 1991 dalam Powell, 2010)



43



Gambar 3.9 Diagram 100N2-CO2-10000Ar (Giggenbach, 1992 dalam Powell, 2010) 3.5.3.1.1 Na-K-Mg Geotermometer Metode ini melakukan perhitungan dengan menggunakan unsur sodium, pottasium dan magnesium pada air yang masuk ke zona partial equilibration dalam diagram Na-10K-1000Mg0.5 (Gambar 3.6). Di zona tersebut akan terlihat langsung besar perkiraan suhu di bawah permukaan. 3.5.3.1.2 Na-K Geotermometer Variasi Na-K pada air panas bumi dipengaruhi oleh pertukaran ion dalam mineral alkali feldsparnya dan juga perubahan temperatur. Perhitungan ini lebih tepat digunakan untuk tipe air klorida atau yang memiliki kandungan Cl yang tinggi meskipun bisa juga digunakan untuk air dengan tipe bikarbonat. Na-K Geotermometer memiliki banyak persamaan. Namun, yang sering digunakan adalah persamaan berdasarkan Fournier (1979) dan Giggenbach (1988):



44



Gambar 3.10 Diagram Na-10K-1000Mg0.5 (Giggenbach, 1988 dalam Powell, 2010) 3.5.3.1.3 Na-K-Ca Geotermometer Dalam Na-K-Ca Geotermometer, ada beberapa aturan yang harus digunakan dalam perhitungan: - Hitung [Log (Ca1/2/Na) + 2.06], bila hasilnya positif, hitungan temperatur t˚C dengan β = 4/3 - Bila t < 100˚C, gunakan temperatur tersebut



45



- Bila t > 100˚C atau [Log (Ca1/2/Na) + 2,06] negatif, maka hitung temperatur t˚C dengan β = 1/3



Selain menggunakan air, perkiraan suhu bawah permukaan bisa juga dihitung dengan geotermometer gas. Dalam penelitian ini, metode geotermometer gas yang akan dipakai adalah sebagai berikut: 3.5.3.1.4 H2-Ar Geotermometer Metode ini melakukan perhitungan dengan menggunakan konsentrasi gas hidrogen dan argon. Metode ini cocok untuk manifestasi fumarol. Persamaan geotermometer ini adalah:



3.5.3.1.5 CAR-HAR Geotermometer CAR-HAR menjajarkan CO2 geotermometer dengan H2 geotermometer menggunakan konsentrasi argon sebagai wakil dari rasio uap gas. Karena ketergantungan konsentrasi argon, konsentrasi udara cukup rentan. Metode ini baik digunakan untuk mata air panas dan fumarol, disajikan dalam bentuk grafik (Gambar 3.11). 3.5.3.1.6 Menentukan Arah Aliran Fluida Bawah Permukaan Arah aliran fluida bawah permukaan bisa diketahui dengan menggunakan Geo-indikator. Metode ini digunakan dengan melihatrasio dari kandungan kimia air panas dan gas. Rasio yang akan digunakan adalah Na/Ca, Na/K, Na/Li, Mg/Ca, HCO3/SO4 dan CO2/H2S. Menurut Nicholson (1993) rasio ini digunakan untuk



46



menentukan zona upflow dan zona outflow pada lapangan panas bumi ini. Nilai rasio yang kecil menunjukkan air berasal dari zona upflow, begitupun sebaliknya.



Gambar 3.11 Grafik CAR-HAR (Giggenbach dan Glover, 1992 dalam Powell, 2010)



47