Teori Disonansi Kognitif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Teori Disonansi Kognitif Teori disonansi kognitif pertama kali dikemukakan oleh psikolog Leon Festinger pada tahun 1957. Menurut Festinger, perilaku seseorang dapat dijelaskan dari keinginan mendasar pada diri seseorang untuk selalu konsisten antara sikap yang telah ada dengan perilaku aktualnya. Kognisi terkait dengan sikap atau perilaku yang dipegang seseorang yang terekam dalam pikirannya. Ketika kognisi seseorang mengalami konflik, misalnya saya seorang yang jujur, sementara kognisi lain mengatakan saya seorang pembohong, maka keadaan ini menimbulkan ketidaknyamanan yang diakibatkan karena adanya ketidakkonsistenan. Kondisi ini dikatakan sebagai kondisi yang tidak sesuai (dissonant conditions). Lebih lanjut Festinger mengemukakan, bahwa seseorang dimotivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan sebanyak mungkin, bahkan bila perlu mengubah sikap yang sudah dianutnya. Cognitive dissonance sebagian besar merupakan bentuk teknik pembelaan diri (self denfense technique) yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh harga diri (self esteem). Untuk mendapatkannya seseorang harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan berbagai pilihan dan kemungkinan yang beragam. Istilah disonansi kognitif menurut Festinger berarti ketidaksesuaian antara kognisi sebagai aspek sikap dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang (Effendy, 2003). Setiap orang yang mengalami disonansi akan berupaya mencari dalih untuk mengurangi disonansinya, karena pada umumnya setiap manusia berperilaku konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten dengan yang diyakininya. Sedangkan dalam kamus komunikasi dissonance artinya “situasi psikologi yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari ketidakserasian antara dua unsur atau hal dalam suatu proses komunikasi (Effendy, 1989). Secara definitif, cognitive dissonance berasal dari dua suku kata, yaitu cognitive dan dissonance. Cognitive merupakan knowledge (pengetahuan), sedangkan dissonance dikatakan sebagai ketidakcocokan (incongruity). Dua kata ini oleh psikolog digabungkan, yang kemudian dikenal dengan istilah cognitive dissonance. Teori yang diungkapkan oleh Leon Festinger ini mengemukakan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah pada saat mereka sedang berada pada situasi konflik. Ini dapat terjadi karena pada dasarnya manusia didorong oleh keinginan untuk selalu berada dalam suatu keadaan psikologis yang seimbang (konsonan) (Venus, 2004). Jadi jika manusia berada dalam ketidakkonsistenan antara kepercayaan atau tindakan yang menimbulkan ketidaknyamanan, inilah yang disebut disonansi kognitif pada manusia. Semakin besar disonansi yang dialami manusia, maka akan semakin besar pula ketidaknyamanan yang akan dirasakan seseorang dan keadaan ini akan mendorong manusia untuk mencapai keadaan yang konsonan atau konsisten. Dalam keadaan disonan orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagai cara. Disonansi membuat orang resah. Contohnya:



Kognisi: “Saya tahu kalau saya senang merokok” Disonan: “Saya tahu rokok merusak kesehatan” Dihadapkan dalam situasi disonan seperti itu saya akan: -Mengubah perilaku, berhenti merokok, memutuskan mengubah kognisi tentang lingkungan -Memperkuat salah satu kognisi disonan -Mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting Dalam teori ini beranggapan bahwa ada dua elemen pengetahuan yang merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri, pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen satunya (Severin & Tankard, 2005). Teori ini berpendapat bahwa disonansi akan terjadi karena secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmoni/keselarasan dan selain upaya itu semua, akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan meningkatkan disonansi. Teori disonangi kognitif ini dapat diasumsikan sebagai berikut: 1. Teori ini banyak berhubungan dengan sikap, perubahan sikap dan persuasi. 2. Keadaan inkonsistensi atau ketidakselarasan antara kognitif dan tindakan. 3. Perubahan sikap akan mudah terjadi apabila berada dalam ketidakseimbangan kofnitif diantara komponen sikap dalam diri individu. 4. Ketidaksesuaian antara kognisi sebagai aspek dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang. 2. mengubah salah satu apakah sikap ataukah perilaku. 6. Keinginan mendasar pada diri seseorang untuk selalu konsisten antara sikap yang telah ada dengan perilaku aktualnya di langgar. 7. Ketidakkonsistenan antara kepercayaan atau tindakan yang menimbulkan ketidaknyamanan. Teori disonansi kognitif berada dalam cakupan komunikasi interpersonal (komunikasi antar manusia). Inti dari teori ini adalah antara elemen-elemen kognitif mungkin terjadi hubungan yang tidak pas (nonfitting relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif. Disonansi kognitif menimbulkan desakan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari peningkatannya, hasil dari desakan itu terwujud pada perubahan pada kognisi, perubahan pada tingkah laku, dan menghadapkan diri pada beberapa informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu (Sarwono, 2004).



Menurut Festinger bahwa disonansi kognitif dapat terjadi dari beberapa sumber yaitu: 1. Inkonsistensi logis. Contoh: Keyakinan bahwa 1 liter air akan mendidih apabila dipanaskan, secara logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa air 5 liter tidak akan mendidih apabila dipanaskan. 2. Nilai-nilai budaya (cultural mores), kebudayaan seringkali menentukan apa yang disonan dan konsonan. Contoh: Makan dengan tangan di pesta resmi di Eropa menimbulkan disonansi, tetapi makan dengan tangan di warung Jakarta dirasakan sebagai konsonan. 3. Pendapat umum, disonansi dapat terjadi karena suatu pendapat yang dianut orang banyak dipaksakan pada pendapat individu. Misalnya seorang remaja senang menyanyi lagu keroncong, hal ini menimbulkan disonansi karena pendapat umum percaya bahwa keroncong hanya kegemaran orang tua.



Pengalaman masa lalu, contoh berdiri di bawah hujan, tetapi tidak basah. Keadaan ini disonan karena tidak sesuai dengan pengalaman masa lalu (Sarwono, 2004). Sedangkan cara untuk menghindari disonansi adalah dengan menambah informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah perbendaharaan elemen kognitif dalam diri orang yang bersangkutan. Sebagian besar teoritis kognitif percaya bahwa manusia memperoleh informasi yang diterima melalui lima tahap, yaitu: Pertama, sendory input yakni terjadinya proses penginderaan terhadap stimuli yang ada dilingkungan. Tidak semua stimuli yang akan diserap oleh alat indera. Hanya stimuli yang sesuai dengan kebutuhan saja yang masuk dalam proses ini. Kedua, central processing. Pada tahap ini terjadi proses pemberian makna (persepsi) terhadap informasi yang masuk. Pemberian makna adalah proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor internal dan eksternal. Ketiga, information storage, yakni tahap penyimpanan informasi yang masuk ke gudang memori manusia. Ada dua tipe gudang memori: memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka jangka panjang (long term memory). Keempat, information retrieval yakni pengambilan kembali informasi yang disimpan dalam gudang memori. Kelima, utilization, bagaimana cara kita memanggil dan mentransformasikan informasi akan mempengaruhi perilaku non verbal dan pembicaraan yang akan dilakukan. (Surip, 2011: 63-67). Akibat disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan psikologis pada yang bersangkutan atau pada orang-orang di sekitarnya. Ketidaknyamanan ini dapat berbentuk perasaan malu, cemas, bingung, marah, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan unsur kognisi adalah setiap pengetahuan, opini, konsep-konsep kepercayaan tentang lingkungan, perilaku sendiri maupun perilaku orang lain. Unsure kognisi yang akhirnya akan menjadi pedoman berperilaku tentunya terbentuk sepanjang hidup seseorang melalui pendidikan formal nonformal Teori Festinger ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Dampak dari teori tersebut adalah: Untuk mengurangi keadaan disonansi, maka orang akan melakukan tindakan untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologisnya, sehingga terjadi keadaan konsonan atau keseimbangan kembali. Tindakan yang diambil hendaknya tidak menimbulkan keadaan inkonsistensi baru. Dan menurut Venus (2004) metode untuk mengurangi disonansi adalah:



Dengan demikian seseorang yang mengalami disonansi dalam dirinya akan mudah menguranginya agar segala tindakan dan perbuatannya selalu tetap konsisten dengan keyakinan dan kognisinya. Contohnya yakni bila seorang konsumen dalam suatu produk mengalami dissonance, ia akan mengubah struktur sikapnya untuk mengurangi dissonance tersebut. Konsumen ini sebelumnya mungkin telah tergoda oleh informasi baru dalam iklan yang menjanjikan nilai-nilai baru atau justifikasi atas kepercayaan lama yang menyangkut pada proses transfer terhadap sikap yang dianutnya. Bisa jadi ia akan mengejar terus informasi baru tadi dan menelusurinya hingga keputusan terhadap struktur sikap barunya menjadi lengkap sehingga kadar dissonance dapat dikurangi. 1. Pembuatan keputusan, yang akan meningkatkan pencarian informasi baru, kepercayaan yang semakin mantap dan menguatkan pengetahuan yang ada. 2. Paksaan untuk mengalah. 3. Ekspos pada informasi-informasi (pencarian informasi baru). 4. Dukungan sosial. 1. Mengubah kognisi. 2. Menambah kognisi. 3. Mengubah atau mengganti kepentingan. 4. Membuat misinterpretasi informasi. 5. Mencari informasi pembenaran. Sekali proses terjadi pada tahap cognitive menurut Festinger (Kasali, 2001), adjustment akan terus berlangsung kepada proses selanjutnya yatu affective dan cognitive. Namun demikian Berkman & Gilson (1936) lebih pragmatis dalam mengkaji kembali praktek dissonance ini. Dalam telaahnya dikatakan bahwa kebanyakan intra-attitude dissonance yang terjadi, terutama disebabkan adanya konflik antara komponen-komponen cognitive dan affective. Masalahnya para pesaing memang mengkonsentrasikan komunikasi persuasifnya pada kedua tahap ini. Pada tahap cognitive, pesaing berusaha meyakinkan konsumen dengan menonjolkan kekhasan dan keunggulannya dan menyesalkan konsumen yang tidak mencoba produk dari dulu. Pada tahap affective, pesaing mencoba mempengaruhi alam emosi konsumen menjadi suka atau tidak suka. Ketidakseimbangan antara rasio dan emosi adalah prasyaratutama bagi keberhasilan kampanye dissonance. Bagi produk atau jasa tertentu yang pasar sasarannya sangat labil dan emosional, dissonance dimulai dengan mengacaukan alam emosi (Surip, 2011: 70,72).