Teori Hukum Post Modern [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar Belakang Perjalanan sejarah umat manusia telah memasuki apa yang disebut zaman Postmodern. Namun demikian nampaknya belum ada kesepakatan tentang konsep Postmodern tersebut. Dalam studi Postmodernisme mengisyaratkan adanya dua hal. Pertama, Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman Modern. Dalam pengertian ini era modern telah dianggap berakhir dan dilanjutkan dengan zaman berikutnya, yaitu Postmodern. Kedua, Postmodernisme dianggap sebagai gerakan intelektual yang mengkritik dan mendekonstruksi paradigma pemikiran pada zaman modern. Sebagaimana diketahui bahwa modernisme yang sangat mengagungkan kekuatan rasionalitas, mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis meskipun telah menghasilkan berbagai sains modern dan teknologi akan tetapi telah menyisakan problem serius, yakni membawa manusia pada absolutisme, alienasi serta cenderung represif. Oleh karenanya Postmodern muncul sebagai gugatan atas worldview zaman modern yang bersifat absolut dan represif ini. Postmodern membawa dan mewacanakan Pluralisme, relativisme dan penolakan terhadap kebenaran tunggal seperti yang terjadi di zaman modern.



B.



Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang berupa:



1. Bagaimakah sejarah Postmodernisme? 2. Siapakah para tokoh dan teori dasar postmodernisme? C.



Tujuan



1.



Untuk memahami sejarah postmodernisme



2.



Untuk mengetahui para tokoh dan teori dasar postmodernisme



BAB II PEMBAHASAN



A. Sejarah lahirnya Postmodernisme



Postmodernisme berasal dari kata post dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.[1] Istilah Postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya. Istilah postmodernsme pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman Inggris bernama John Watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah Postmodernisme telah dibuat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni asal Amerika, Charles Jenck untuk menjelaskan gerakan anti modernisme.[2] Istilah postmdernisme pertama-tama dipakai dalam seni arsitektur. Diantara ciri utama arsitektur modern adalah gedung-gedung tinggi menjulang yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Dari seni arsitektur, istilah Postmodernisme dipakai juga untuk bidang teori sastra, teori social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama. Dalam kajian Postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal. Pertama. Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua. Postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual movmen) yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada absolutisme dan cenderung represif,[3] yang keduanya akan kami bahas dalam babbab selanjutnya. Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.[4]



B. POSTMODERNISME: SEBAGAI MODE PEMIKIRAN



a. Ciri-ciri Pemikiran Postmodernisme



Dalam upaya pemetaan wilayah Postmodernisme, menurut Amin Abdullah ada tiga fenomena dasar yang menjadi tulang pungung arus pemikiran postmodernsme yang ia istilahkan dengan ciri-ciri strukur fundamental pemikiran Postmodernisme, yaitu:



1.



Dekonstruktifisme Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang selama ini dianggap baku –yang biasa disebut dengan grand theory- ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme. Hal itu terjadi karena grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh para pemikir Postmodernisme. Para



protagonis



pemikiran



Postmodernisme



tidak



meyakini



validitas



“konstruksi”bangunan keilmuan yang ” baku” , yang “standar” yang telah disusun oleh genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada. Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan atau bangunan keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan “ deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.[5]



2.



Relativisme Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang men-dobrak keyakinan para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan social yang bersifat universal yang dibangun oleh rasio. Manivestasi pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latarbelakang sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing. Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas keanusiaan itu sendiri.[6]



3.



Pluralisme Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era pluralisme sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang,Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan dengan paradigma tunggal seperti yang dikedepankan oleh pendekatan kebudayaan barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-budaya di luar budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan



khususnya, dari ketiga ciri pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat diresapi oleh sebagian besar masyarakat.[7]



b. Munculnya Kesadaran Baru Pemikiran Islam Di tengah arus global Postmodernisme, di mana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah (historical necessity) dalam mendekonstruksi –salah satu ciri Postmodernisme- kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian keagamaan.



1.



Dekonstruksi Pembacaan Terhadap Teks: dari Transmisi menuju Kreasi Teks adalah kodifikasi semangat zaman dari baik pengalaman pribadi dan kolektif dalam berbagai situasi tertentu. Tujuan dalam mengkodifikasi sejarah adalah mewariskan pengalaman-pengalaman setiap generasi kepada generasi-generasi selanjutnya, demi mengkontinukan kekuatannya atau paling tidak demi membimbing dan mengorientasikannya menuju masa depan.[8] Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci Al-Quran. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku (tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subyek (seorang muslim), teks Al Quran, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan huku-hukumnya. Sejak pertama kali Al Qur’an diwahyukan, ia sudah melakukan dekonstruksi radikal terhadap epistemologi serta syair-syair jahiliyyah waktu itu. Ayat pertama yang diturunkan bunyinya adalah : “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”(Q.S.96:1) jadi,sejak pertama umat Islam sudah ditantang untuk membaca teks berupa alam raya. Alam itu sendiri artinya “tanda” yang menunjuk kepada realitas di luarnya. Kemudian Al Quran memperkenalkan “ada” (being) yang mendasari “semua yang ada” (beings) dengan berbagai cara yang bersifat dialogis dan relasional, bukannya definitive positivistik.



Kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap teks dikarenakan beberapa alas an dibawah ini : Pertama kitab suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau “pemakai jasa” senantiasa berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi peradaban yang turun temurun masyarakat modern bias berkembang tanpa rujukan kitab suci sehingga posisi kitab suci bias saja semakin assign meskipun secara substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat. Kedua bahasa apapun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal. Disini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk menyimpan pesan agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh kendaraan bahasa yang digunakannya. Ketiga ketika bahasa agama “disakralkan”, maka akan muncul beberapa kemungkinan. Biasa jadi pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bias juga justru makna dan pesan agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang telah disakralkan tadi. Keempat kitab suci – disamping kodifikasi hukum Tuhan – adalah sebuah “rekaman” dialog Tuhan dengan sejarah Diana kehadiran Tuhan diwakili oleh RasulNya. Ketika dialog tadi dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan pemiskinan nuansa sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi kehilangan “ruh”-nya ketika setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa teks. Kelima ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemology, kembali pada teks Kitab suci yang disakralkan tadi akan lebih menenangkan ketimbang mengambil faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme. Keenam semakin otonom dan berkembang pemikiaran manusia, maka semakin otonom manusia untuk mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Lebih dari itu, ketika orang membaca teks kitb suc,bisa jadi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah proses dialog kritis antara dua subyek. Dengan demikian,orang bukannya menafsirkan dan minta fatwa pda kitab suci sebagai teman dialog yang bebas dari dominasi.[9] Oleh karena itu ketika membaca teks, seorang pembaca tidaklah pergi menuju sejarah teks-teks sejak awal dibukukan untuk memahami makna-makna historisnya dan perkembangan kata-kata yang membutuhkan berhari-hari bahkan bertahun-tahun berkutat dalam berbagai rujukan, referensi induk, kamus bahasa, serta ensiklopedia. Akan tetapi membaca teks adalah proses memahami makna yang digunakan sebagai argmen sesuai



dengan semangat zaman. Teks dalam pengertian ini tidak memiliki faktor-faktor permanen, akan tetapi adalah kumpulan faktor yang berubah, dimana setiap zaman membaca dirinya karena zamanlah yang menafsirkan teks dalam pembacaan. Ketika zaman-zaman berubah maka pembacaan terhadap teks pun berubah sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu teks bukanlah dokumen yang layak untuk ditimbun karena ke-kuno-annya, akan tetapi ia adalah realitas yang hidup dalam keadaan diam yang akan bangkit melalui pembacaan sehingga hidup kembali dalam berbagai bentuk yang menarik.



2.



Dekonstruksi Terhadap Barat: Upaya Pembebasan Diri Demi Berkreasi Pada era posmodernisme narasi-narasi besar mulai dikritik orang dan sekarang narasi kecil semakin memperoleh perhatian. Implikasi trend ini di dalam dunia antropologi sangat terasa. Dimana Barat mulai sadar dan memperhatikan adanya ”the other world” yang memiliki eksistensi dan hak hidup sebagaimana “dunia barat”. Tren ini sekaligus merupakan kritik terhadap arogansi Barat yang menganggap mereka sebagai wakil dari dunia yang paling beradap, paling demokratis, dan paling digdaya sehingga merka merasa berhak menjadi pemimpin dan polisi dunia.[10] Klaim-klaim semacam ini mempunyai alasan tersendiri, walaupun pada tataran operasional mereka sering melanggar dan merusak prinsip-prinsip yang telah mereka bangun sendiri. Dan pada akhirnya sikap seperti ini akan menyudutkan posisi mereka sendiri dimata Negara-negara lain, terutama bagi Negara yang memiliki faham agama, ideologi dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu Hassan Hanafi merupakan salah satu dari sekian banyak intelektual Muslim telah memulai untuk melakukan pengawalan terhadap kesadaran peradaban umat Islam yang selama ini sedikit banyak masih dibawah pengaruh Barat. Perhatian terhadap peradaban Islam itu ia buktikan melalui bukunya Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat yang merupakan wajah lain dan tandingan Orientalisme. Dimana orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas superioritas. Dengan bahasa yang lebih sederhana Orientalisme lama adalah pandangan ego eropa terhadap the other non eropa; subyek pengkaji muncullah kompleksitas superioritas dalam ego eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang dikaji juga mengakibatkan munculnya kompleksitas inferioritas dalam diri the other non eropa.[11]



Sedangkan dengan adanya kajian tentang Oksidentalisme telah menyeimbangkan peran yang selama ini berlaku, dimana ego eropa yang kemarin berperan sebagai pengkaji, kini berubah arah menjadi obyek yang dikaji. Sedangkan the other non eropa yang kemarin menjadi objek yang dikaji, kini berperan sebagai subyek pengkaji. Oleh karena itu adanya kajian tentang Oksidentalisme ini sebagai upaya untuk menumbangkan superioritas Barat dalam bidang bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori, dan pendapat. Teugas lain dari Oksidentalisme di sini adalah mengembalikan keseimbangan kebudayaan umat manusia, memperbaiki keseimbangan yang selama ini hanya menguntungkan kesadaran eropa dan merugikan kesadaran non eropa. Meskipun demikian, dengan sikap rendah hati, Hassan HAnafi menyatakan bahwa Oksidentalisme sesungguhnya bukan merupakan lawan dari Orientalisme, melainkan hanya sebuah hubungan dialektis yang salaing mengisi dan melakukan kritik antara yang satu dengan yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia barat atas timur. Menurut Hassan Hanafi, jika Oksidentalisme telah selesai dibangun dan dipelajari oleh para peneliti dari berbagai generasi, lalu menjadi arus utama pemikiran di Negara kita serta memberikan andil dalam membentuk kebudayaan tanah air, maka akan terdapat hasilhasil pokok sebagaimana di bawah ini:[12] a.



Kontrol atau pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir. Dengan demikian terror kesadaran eropa akan berkurang, sebab kesadaran Eropa kini bukan lagi menjadi pihak yang berkuasa.



b.



Mempelajari kesadaran Eropa dalam kapasitas sebagai sejarah bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah.



c.



Mengembalikan barat ke batas alamuahnya, mengakhiri perang kebudayaan, menghentikan ekspansi tanpa batas, mengembalikan filsafat Eropa kelingkungan di mana ia dilahirkan, sehingga partikulasi barat akan terlihat.



d.



Menghapus mitos “kebudayaan kosmopolit”; menemukan spesifikasi bangsa di seluruh dunia, dan bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban serta kesadaran tersendiri.



e.



Membuka jalan bagi terciptanaya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannnya dari “akal” Eropa yang menghalangi nuraninya.



f.



Dengan Oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru di mana tidak ada lagi penyakit rasialime terprndan seperti yang terjadi selama pembentukan kesadaran Eropa yang akhirnya menjadi bagian dari strukturnya.



Dari semua penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Oksidentalisme ini diharapkan posisi Timur yang selama ini menjadi obyek kajian Barat bisa berubah bentuk relasinya menjadi sebuah titik keseimbangan antara Barat dan Timur. Selain itu, yang ingin diwujudkan oleh Hassan Hanafi adalah mendobrak dan mengakhiri mitos Barat yang selama ini memegang supremasi dunia.



3.



Dekonstruksi Hukum Islam Pada pertengahan 1980-an, Prof. Dr. Muanawir Sjadzali, MA. Melemparkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Salah satugagasan beliau adalah tentang perlunya pemikiran ulang mengeni pembagian harta waris yang selama ini menggunakan hukum lama dalam pelaksanaannya.Terlepas setuju atau tidak dengan gagasan pembaruan itu, pak munawir telah ikut merangsang dan mendorong umat Islam khususnya di Indonesia untuk mebicarakan kembai aspek tertentu hukum Islam sehingga tetap relevan digunakan dalam setiap masa. Berangkat dari penulis beranggapan, bahwa masalah hukum Islam akan selalu menjadi perbincangan, perdebatan, dan pembahasan yang tidak akan pernah berakhir, karena problematika social akan terus berkembang seiring dengan laju dan semangat zaman. Pada dasarnya para ulam membagi hukum menjadi dua macam, yaitu hukum syari’at yang bersumber dari nash agama yaitu al-Qur’an dan Hadis yang sifatnya mengikat dan tidak berubah. Hanya sja dalam melaksanakannya Allah selalu meberikan kemudahan dan keringanan disaat menemukan kesulitan. Allah berfiiran(al-Baarah, 2:185). Sedngkan hukum fikih dalah hasil ijtihad dari para mujahid. Ijtihad di sini akan menghasilkan hukum yang berbed karena setiap mujahid bisa jadi mempunyai pandangan yang berbeda dengan yang lain sesuai dengan tingkatan intelektual, lingkungan, serta latar belakang pemikirannya. Oleh karena itu hukum fikih adalah produk pemikiran manusia yang tidak berrsifat “sakral” (bisa berubah) dan kebenarannya terikat oleh waktu.[13] Oleh Karena itu,dalam suatu masalah terkadang terjadi perbedaan pendapat dalam penerapan hukumnya, misalnya masalah hukum potong tangan sebagai akibat perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam kaitannya dengan masalah potong tangan di atas ulama tradisional serta modern dihadapkan dengan realitas zaman yang berbeda sehingga dalam penerapannya tidak berada dalam satu warna. Menurut hemat penulis perbedaan pendapat di atas lahir karena perrbedaan pemahaman teks nash serta tuntutan untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga dalam kerangka Postmodernisme perlu diupayakan untuk melakukan



dekonstruksi hukum islam yang sudah tidak relevan dengan semangat zaman melalui pemahaman kontekstual terhadap nash-nash yang ada ssuai dengan realitas masyarakat. Sehingga akhirnya muncul cendekiawan muslim kontemporer seperti Fazlurrahman yang dalam kasus pencurian perlu diterapkan teori gradasi. Artinya, pencuri yang baru pertama kali mencuri tidak harus dipotongtangan, melainkan hukum ta’zir. Sementara Muhammad Syahrur, memahami hukuman potong tangan daam al-Qur’an sebagai hukum yang tertinggi . artinya kita boleh berijtihad mengurangi hukuman tersebut dan tidak boleh melebihi ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an.[14] Sebagai catatan akhir, pembaruan hukum Islam mutlak diperlukan. Pendekatanpendekatan model apa pun dalam mengimple-mentasikannya berhak untuk diketengahkan, kemudian dibahas serta diuji kelayakannya. Untuk itu jika dekonstruksi hukum Islam merupkan sebuah keniscayaan maka tentu tidak pada tempatnya kalau ia hanya diserahkan kepada Fazlurrahman ataupun Muhammad Syahrur, karena dalam hal ini semua kalangan bisa ambil bagian asalkan pendapatnya sesuai dengan proporsinya dan bisa dipertanggung jawabkan. C. POSTMODERNISME: SEBAGAI PERIODE KESEJARAHAN



a.



Ciri Postmodernisme Dalam analisa sosio-historis, kaitan antara Postmodernisme dan Islam sampai sejauh ini sedikit sekali mendapat perhatian. Diantara yang sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed Postmodernisme bahaya dan Harapan Bagi Islam. Dalam analisanya terdapat cirri-ciri Postmodernisme yang sangat menonjol, diantaranya sebagai berikut:[15]



1.



Berusaha memahami era posmodernis berarti mengasumsikan pertanyaan tentang, hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas; memudarnya kepercayaan keapada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya semangat pluralism.



2.



Meledaknya industri media massa, dimana kekuatan media massa menjelma bagaikan “agama”, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, dan tanpa disadari telah diatur oleh media massa, seperti televise dan sinema yang menjadi instrument kut dakam memproyeksikan kultur dominant dari peradaban global.



3.



Munculnya radikaisme etnis dan keagamaan yang diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafatyang dinilai gagal memenuhi janjinyauntuk mebebaskan manusia.



4.



Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta ketertarikan romantisme dengan masa lalu.



5.



semakin menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan



6.



semakin terbukanya peluang bagi kelas-kelas untuk mengemukakan pendapat dengan bebas, karena demokrasi adalah syarat mutlak bagi perkembangan era posmodernisme



7.



semakin terbukanya peluangakan berkembangnya eklektisme dan percampuran berbagai wacana.



8.



ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh ahli posmodernis, meskipun mereka mengklaim dapat menjangkaunya.



b.



Kaum Muslim Memasuki Fase Sejarah Postmodernisme Untuk mendapatkan penjelasan tentang apa yang sedang terjadi dalam masyarakat muslim, kita perlu menganalisis posmodernisme sebagai ilmu sosial. Sebagai langkah awal kita lihat apakah trend posmodernisme telah empengaruhi pemikiran muslim kontemporer. Terlepas dari membanjirnya literatur di barat-tentang seni, arsitektur, sastra- posmodernisme belum cukup berkesan di mata kaum muslim. Lalu apa makna Postmodernisme bagi umat Islam? Adakah perbedaan antara posmodernisme dengan modernisme? Atau jangan-jangan Postmodernisme –secara esensialmerupakan bentuk lain dari modernisme? Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas kita harus memperjelas apa yang dimaksudkan dengan modernisme menurut kacamata umat Islam. Bagi umat Islam, modernisme adalah salah satu fase sejarah yang ditandai dengan maraknya aktivitas mulai dari maraknya pemikiran Islam hingga tindakan politik, dari arsitektur hingga mode berpakaian. Fase modernis Muslim pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa, sehingga dalam beberapa hal umat Islam banyak unsure kesamaannya dengan Negara Eropa. Oleh Karena itu jika fase modern berarti mengejar pendidikan Barat, tekhnologi dan industrialisai pada fase pertama periode pasca colonial, maka postmodern bias diartikan sebagai upaya kembali kepada nilai-nilai tradisional Muslim dan menolak modernisme yang nantinya akan mebangkitkan rospon kaum muslim dalam segala bidang, termasuk politik, arsitektur, serta mode pakaian.[16] Oleh karena itu Postmodernisme dalam dunia islam mempunyai arti peralihan menuju identitas Islam yang sejati yang bertentangan dengan identitas Barat.[17] Berbagai respon diberikan masyarakat muslim terhadap posmodernisme ini. Jika Postmodernisme dipandang semata-mata sebagai bentuk respon dan jawaban terhadap kekurangan-kekurangan dan kelemahan modernisme, maka kita dapat melihat kembali bentuk-bentuk respon masyarakat muslim terhadap modernisme. Karena baik disadari atau



tidak, respon masyarakat terhadap modernisme sebenarnya merupakan refleksi, apresiasi dan respon masyarakat muslim terhadap munculnya posmodernisme. Di antara respon masyarakat muslim tersebut adalah: a.



Ada yang mengingkari seluruh nilai-nilai modernitas dan melihatnya sebagai akar penyebab munculnya problem modern



b.



Ada yang melihatnya sebagai sebuah berkah



c.



Ada yang melakukan kritik dan memodifikasi modernisme Sikap-sikap seperti ini ada pada masyarakat muslim pascamodern atau postmodern. Maka logika dialektikanya, bahwa respon masyarakat muslim terhadap postmodernisme adalah:



a.



Ada yang menerima secara utuh posmodernisme dalam Islam sebagai jawaban terhadap problem-problem modern



b.



Ada yang masih terkagum-kagum terhadap modernisme sehingga tidak peduli dengan wacana posmodernisme.



c.



Mayoritas di antara umat muslim tetap dalam bentuknya yang tradisional



d.



Yang paling banyak di antara mereka adalah tidak tahu wacana postmodernisme sama sekali sehingga tidak memberikan respon apa-apa, kendatipun kadang-kadang tanpa disadari pola pemikira maupun tindakan mereka mengarah pada pola posmodernisme.[18]



C. Aspek-aspek Peradaban Postmodernisme dalam Islam



1) Dalam bidang Pendidikan Ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dalam memandang ilmu pengetahuan, dari pemisahan keilmuan agama dengan keilmuan umum kepada paradigma integralistik, yaitu penyatuan antara dua kelompok besar ilmu tersebut. Hal ini karena dinilai bahwa pemisahan antar keduanya telah menyebabkan pada kehidupa yang tidak seimbang. Mereka yang mengenyam pendidikan umum akan terasa jauh dari agama sehingga merasa kekeringan spiritualitasnya. Pergeseran nilai juga terjadi akibat berkembang pesatnya ilmu dan tehnologi yang tidak berwawasan manusiawi. Pemaknaan hiduppun menjadi tidak lagi pengabdian suci untuk menata kehidupan berkebudayaan secara harmonis, melainkan sudah mengukuhkan suatu tatanan hukum rimba. Nilai-nilai cinta kasih telah bergeser pada individualistik.[19] Oleh karenanya, dalam transformasi nilai yang amat krusial itu, orientasi pendidikan memegang peranan penting sebagai suatu harapan untuk meluruskan penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam pranata sosial sehingga diperlukan konsep pendidikn yang memberika gambaran dalam upaya memanusiakan manusia dengan menekankan harmonisasi



hubungan, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alam yang ditopang oleh nilainilai normatif ilahiyah.



2) Dalam Bidang Teknologi Informasi Sebagaimana dinyatakan Akbar S. Ahmad, bahwa ciri sosiologis peradaban posmodernisme adalah dengan mendominasinya media massa. Dalam realitas kehidupan, hal ini bisa dilihat dengan sangat nyata. Dalam kehidupan muslim, hal ini dapat dilihat seperti semakin luasnya media dakwah. Dakwah tidak lagi hanya dengan pengajian-pengajian akan tetapi melalui telavisi, radio, internet, telephone celluler, majalah, buku, dan berbagai media baik elektronik maupun cetak yang lain. Bagaimana pentingnya media massa ini juga telah turut mengilhami umat Muslim untuk mendirika stasiun televisi maupun radio, memiliki penerbitan dan percetakan. Hal ini terlihat dengan mulai munculnya stasiun televisi maupun radio yang Islam oriented. Pada umumnya ini didirikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Demikianlah karakteristik masyarakat posmodern, sebagaimana dinyatakan Jalaluddin Rahmat bahwa masyarakan yang akan datang adalah masyarakat yang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi. Sebagaimana alam pada zaman pertanian, modal pada zaman industri, maka informasi adalah kekayaan dan kekuasaan pada zaman pascamoderndalam masyarakat.[20]



3) Dalam bidang Arsitektur Dinyatakan oleh Andy Siswanto, bahwa kecenderungan arsitektur posmodernisme adalah bersifat naratif, simbolisme dan fantasi. Masa lalu bisa ditulis kembali sebagai fiksi. Ide regionalisme berkembang pada zaman posmodernisme, terlebih di dunia ketiga seperti Indonesia. Konsep ini sering diromantisir dan dipolitisir dalam semangat nasionalisme. Bahkan bisa dipadukan dalam kerangka “eksotisme atau orientalisme”. Pandangan ide ini adalah bahwa arsitektur tradisional, baik yang adiluhung maupun yang merakyat dipercaya mampu merepresentasikan sosok arsitektur yang sudah terbukti ideal: sebuah harmoni yang lengkap dari “bentuk jadi, budaya, tempat dan iklim”. Oleh karenanya, misi gerakan ini adalah mengembalikan kelangsungan rangkaian arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau yang ada pada suatu wilayah budaya tertentu dengan mencoba mengimbangi perusakan budaya setempat oleh kombinasi kekuatan sistem produksi baik rasionalisasi, birokrasi, pengembangan skala besar maupun oleh gaya internasional.[21] Beberapa bangunan di Indonesia dinilai memiliki mazhab sendiri –bercitra arsitektur tropis tradisional yang non purisme, adanya dialog antara elitisme dan populisme dan



berwawasan ekologis. Dari segi perancangan bersifat hibrid, eklektik dan liberal, seni ornamentasi dan simbolisme.[22] Dan demikianlah bangunan-bangunan yang terlihat sekarang, seperti pada masjid-masjid yang baru, bangunan UIN Sunan Kalijaga, pusat-pusat perbelanjaan yang baru dan sebagainya.



4) Dalam bidang Seni Islam Tradisi yang secara sadar mengikat spritualitas dengan seni terus berjalan di kalangan muslim. Seni bertindak sebagai jembatan yang membawa inspirasi, trend, gaya dan ide-ide di antara kultur Islam. Selama beberapa periode di negara-negara muslim seni dihambat dan sulit mencari pelindung. Karena itu, ekspresi seni di negara Muslm diaprisiasi secara steril. Bakat-bakat seni muslim kontemporer telah menemukan ekspresinya. Salah satu buktinya bayaknya seni film yang disutradari oleh seniman muslim, antara lain kontribusi muslim dalam sinema India yang memiliki industri perfilman terbesar di dunia.[23]



BAB III KESIMPULAN



Dari data yang telah diungkapkan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa : 1. Gambaran tentang Postmodernise jika dipahami sebagai mode pemikiran, maka akan ditemukan adanya karakteristik yang diantaranya: a.



Dekonstruktif



b.



Relativisme



c.



Pluralisme 2. Gambaran peradaban postmodernisme dalam Islam jika dipahami sebagai mode pemikiran adalah:



a.



Adanya pemikiran dekonstruksi terhadap pembacaan teks agama



b.



Adanya wacana dekonstruktif terhadap pemahaman akan peradaban Barat yang diwujudkan sebagai kajian Oksidentalisme



c.



Adanya Dekonstruksi dalam hukum Islam



3. Gambaran peradaban postmodernisme dalam Islam jika dipahami sebagai periode kesejarahan, maka akan ditemukan adanya karakteristik yang di antaranya: a.



Timbulnya sikap kritis terhadap proyek modernitas



b.



Meledaknya industri media massa.



c.



Munculnya radikaisme etnis dan keagamaan sebagai reaksi terhadap kegagalan proyek modernitas.



d.



Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas baru.



e.



semakin menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan



f.



semakin terbukanya pintu demokrasi



Dengan aspek-aspek peradaban : a.



Dalam aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah adanya pergeseran paradigma dari yang memisahkan ilmu umum dengan ilmu agama kepada integrasi antar keduanya.



b.



Dalam aspek teknologi dan Informasi, mulai banyaknya media masa-media massa yang dimiliki oleh umat muslim, baik yang elektronik maupun yang cetak.



c.



Dalam bidang arsitektur berkembangnya arsitektur yang berpaham regional, yaitu memadukan khazanah klasik dengan arsitektur modern, seperti bangunan UIN Sunan Kalijaga.



d.



Dalam bidang Seni, mulai banyaknya seni muslim yang bermunculan dan mengembangkan berbagai aliran musik dengan bernafaskan Islam.



DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Ahmed, Akbar S., Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam terj. M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993 Arifin, Syamsul, et.all. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS, 1996. Hanafi, Hassan, Membumikan Tafsir Revolusioner, terj. Yudian Wahyudi dkk, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, tt. Hanafi, Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina, 2000. Hidayat, Komarudin, “Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme”, Kalam, Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994). Hum, Makhrus Munajat, M., Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004. Kamal, Zainul, Islam Negara dan Civil society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Kumpulan Karangan, Jakarta: Paramadina, 2005. Nata, Abuddin , Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1998 Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk., Yogyakarta: LKiS, 1993. Suyoto dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, Yogjakarta: Penerbit Aditya Media, 1994. Sihabuddin, “Postmodernisme dalam Islam dan Respon Masyarakat Muslim” AKADEMIKA, Vol.10.No.2 Maret 2002, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Siswanto, Andi. “Menyangkal Totalisme dan Fungsionalisme: Postmodernisme dalam arsitektur dan Desain Kota”, Kalam, Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994).



[1] Dikutip dari internet. http ://aryaverdimandhani.blospoth.com. [2] http :/aryaverdimandhani.blospoth.com.



Lihat makalah Dr. Agussalim Situmpol, “Sejarah dan Peradapan Islam”, hal. 5 Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 96. [5] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 99-101. [6] Ibid., hlm. 103-104 [7] Ibid., hlm. 104-105 [8] Hassan Hanafi, Membumikan Tafsir Revolusioner, terj. Yudian Wahyudi dkk, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, tt), hlm. 45. [9] Komarudin Hidayat, “Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme”, Kalam, Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994), hlm. 57-58. Lihat juga Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk. (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 150- 152. [10] Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000). [11] Hassan Hanafi, Oksidentalisme…, hlm. 26. [12] Ibid., hlm. 51-59 [13] Zainul Kamal, Islam Negara dan Civil society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Kumpulan Karangan, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 62-63. [3] [4]



[14] Makhrus



Munajat, M. Hum, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm. 113. [15] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme…, hlm. 21-41 [16] Ibid., hlm. 46 [17]Ibid., hlm. 47 [18] Sihabuddin, “Postmodernisme dalam Islam dan Respon



Masyarakat Muslim”,



AKADEMIKA, Vol. 10. No.2. Maret 2002., hlm. 50-51 [19] Syamsul



Arifin, et.all., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRESS, 1996), hlm.152-153 [20] Jalaluddin



Rahmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm.67 [21] Andy Siswanto, “Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme; Posmodernisme dalam Arsitektur dan Desain Kota”, KALAM Jurnal Kebudayaan, Edisi 1, 1994., hlm.36-37 [22] Ibid., hlm.38 [23] Ibid., hlm. 210



Tugas Mata Kuliah FILSAFAT HUKUM



Resume Buku FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN ( Dr. Munir Fuady, S.H, M.H, LL.M ) Guna Memenuhi Tugas Terstruktur I



Disusun Oleh : LOVETYA



Universitas Brawijaya Fakultas Hukum Malang 2008



BAB I Dunia Hukum Sedang Bergejolak



Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an? Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di manamana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini. Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajarwajar saja.



Science is an essentially anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more likely to encourage progress than its law-and-order alternatives (Paul Feyerabend, 1982: 17).



Bagi para penganut ajaran postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarahmusyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaanperbedaan tersebut harus selalu dihormati. Aliran postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama dengan paham terakhir di bidang hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum serta bersama pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mereka bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum, yang tentu saja radikal, yaitu yang disebut dengan aliran hukurn kritis (critical legal studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies, yaitu Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:



the critical legal studies movement has undermined the central ideas of modem legal though and put another conception of law in their place (Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).



Dalam berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan perkembangan aliran terakhirnya di abad kedua puluh itu. Ada yang secara langsung melawan paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat dipengaruhi oleh pola pikir ilmiah – rasional berdasarkan ilmu dan teknologi. Aliran-aliran hukum yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dengan cara berpikir dengan menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang dilakukan paharn positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan grundnorm dari Hans Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum alam, bahkan ajaran-ajaran seperti dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav Radbruch sebelumnya sudah dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada, sekitar dekade 1930-an. Jadi, tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat konservatif dan cenderung mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding oleh banyak orang. Aliran realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang ada dengan mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja, eksistensi kehidupan aliran. realisme hukum tersebut kemuthan memang dalarn keadaan megap-megap dan dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya para pelopor dari aliran realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl Llewellyn, Joreme Frank, dan Felix Cohen. Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan munculnya aliran baru pada akhir abad ke~20 yang disebut dengan critical legal studies. Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti – liberal, antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya. Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya, manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang crengan senjata canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan. Meskipun penggunaan agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat yang sama afas nama perjuangan menegakkan agama secara kaku.



Sebagai konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendri. (I. Bambang Sugiharto, 1996:30).



Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara berpikir yang sekuler dan kapital – liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur lelap karena dipandang hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika pada masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali.



Relativisme Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif benar atau tidak.sekarang zaman postmodern telah datang, yang akan menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan pola pikir zaman modern yang terkesan congkak (arogan) tersebut. Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.



BAB II Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas. Di samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati. Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif. Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi: “Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. “



(Stanley J. Gren-i, 2001: 69).



Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap, dan tepat termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa. yang tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi sebagai permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah berbagai cara. bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut. Dengan demikian, aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.



BAB III Pengaruh Dari Realisme Hukum The life of the law has not been logic, it has been experience … the law can not dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics., (Oliver Wendell Holmes)



A.



Latar Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa pernikir hukum di Amerika



Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya yang cukup segar dan elegan.. Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut: Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktor perkembangan sosial dan politik. Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound. Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini. Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya, aliran



realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.



B.



Konsep Pemikiran Dari Realisme Hukum Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum. Bagi seorang



advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang. Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari . aliran realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos “hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik ke dalam simbolsimbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas menolak upayaupaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum. Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism. Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific Jurisprudence. Constructive Scepticism.



C.



Hubungan Realisme Hukum Dengan Critical Legal Studies Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan oleh kaurn positivist dan



naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn hanya menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undangundang. Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran hukum (legal reasoning) merupakan penalaran yang bersifat syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn dan premis minor berupa faktafakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan hakim. Menurut ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-sama meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal, ketika hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan perasaan dari hakirn yang memutuskan perkara tersebut. Aliran realisme hukurn pada prinsipnya me.mberikan beberapa tesis sebagai berikut: 1.



Tesis Pertama Aturan hukurn yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakirn karena masing-masing fakta hukum dalarn masing-masing kasus yang bersangkutan bersifat unik.



2.



Tesis Kedua Karena itu, dalarn memutus perkara, hakirn membuat hukum yang baru.



3.



Tesis Ketiga Putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral d.ari hakim itu sendiri, bukan bbrdasarkan pertimbangan hukum.



Karena masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum seperti kerangka-kerangka yang mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang sebenarnya merupakan tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan.



Unsur-unsur antropologis sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai keadilan, kebenaran, perlindungan, rasa sayang, empati, dan. lain-lain tidak pernah lagi dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam robot-robot. Dari sini timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin komputer saja.



D.



Kritik Terhadap Realisme Hukum Sebagai sebuah aliran yang menjelajahi sampai ke dunia filsafat, adalah wajar jika terhadap aliran realisme hukum



terjadi perbedaan pendapat dan kritikan-kritikan. Bahkan, pada awal-awal kelahirannya, tentang konsep – konsep dari aliran ini sempat menjadi perdebatan yang terbilang sengit di antara para ahli hukum. Sekitar tahun 1931, bahkah terjadi perdebatan yang cukup seru di antara para ahli hukurn kala itu, khususnya antara Roscoe Pound, Karl Llewellyn, dan Jorerne Frank. Polemik tersebut sangat membekas dan terus berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari aliran realisme hukurn ini. Kritik terhadap aliran realisme hukum juga diajukan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan pandangannya tentang proses judisial. Dalam hal ini kritik diajukan terhadap statement yang normatif dan terhadap konsep “logic”, sedangkan terhadap penekanan kaum realis hanya terhadap kasus-kasus yang susah saja. Mengenai logika hukum, kaum realisme hukum dikritik bahwa kaum realisme hukum tersebut, terutama Joreme Frank, gagal melihat bahwa logika bukan alat untuk menemukan sesuatu, melainkan lebih merupakan suatu demonstrasi, di mana dari premise yang tetap dapat ditarik kesimpulan tertentu dengan alasan yang logis. Sebagaimana diketahui bahwa kaum realisme hukum memang menentang penarikan kesimpulan hukum dengan menggunakan logika melalui silogisme. Akan tetapi, sebenarnya kaum realisme hukurn sudah membedakan antara alasan (reason) untuk suatu pendapat (opinion) dan logika (logic) untuk mengambil suatu keputusan hukum..



BAB IV Critical Legal Studies : Latar Belakang dan Perkembangan



A.



Latar Belakang Lahirnya Critical Legal Studies Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh



kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran critical legal studies datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer. Aliran critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme hukum.



B.



Critical Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini, maka pada akhir abad



ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.



Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).



C. Critical Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi terhadap aliran-aliran hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya tersebut sangat berpegang pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor politik dan moral, dengan mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak individual dan penyandang kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan politik dan sosial di antara para anggota masyarakat. Di samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif, karena hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara bertugas untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim di pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya, seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.



D. Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum Aliran critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum. Selanjutnya, kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan kaurn adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan baik. Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai berikut: Teori marxist dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori critical race, Teori radical criminology. E.. Critical Race Theory ( Race – Crits ) Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan critical legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies, yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.



F. Respons dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies Sebagai suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal studies ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara respons yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah responsns dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal dalam hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies ini, baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang didapati. Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil oleh aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal malahan overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang tidak menyetujuinya.



BAB VI Critical Legal Studies Tentang Kekuasaan dan Masyarakat



A.



Peranan Hukum dalam Masyarakat



Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.



BAB VII Critical Legal Studies Menurut Roberto Unger



A.



Kritik Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang mereka lakukan



hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum. Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat (Roberto Unger, .1986: 11).



B.



Konsep – Konsep dari Aliran Critical Legal Studies



Telaahan dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif yang bersifat persuasif. Para pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.



C.



Program – program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies Para penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan.



Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.



Makalah Postmodernisme



PENDAHULUAN Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru. Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Misalnya Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud. Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur “posmo”- nya itu. Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya. Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya ada tiga unsur atau elemen yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan nanti. Yang pertama adalah mengenai sejarah ataupun konsep dasar dari postmodernisme itu sendiri. Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator daripada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme.



PEMBAHASAN A. SEJARAH DAN KONSEP DASAR POSTMODERNISME Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia. Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsifungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio. Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern. Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun



metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilainilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner. Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme. Namun dalam penampilannya



yang mutakhir tersebut, modernisme mulai



menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi. Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia



dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme. Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme. Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni



merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan



kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234). Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.



Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsepmetafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya. Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi. Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barakbarak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan



pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida. Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini. Sebagai



gerakan



pemikiran,



postmodernisme



‘berhasil’



menawarkan



opini,



melontarkan apresiasi dan menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodernisme justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern. Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan teknologinya. Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus. Sehingga demikian ada banyak ragam dan terminologi dan makna dalam istilah postmodernisme tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut : (1) “Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam “Beyond Modernism; Beyond Self”) (2) “Logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya” (Frederic Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984) Pada perkembangan selanjutnya, istilah postmodernisme dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh Francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge” tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa akibat pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.



Maka itu prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo atau meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang diartikan ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme dan lainnya. Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar (meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953), Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak. Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas, yang dibangun oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tiadanya rasa aman dianggap tidak masuk akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta. Sehingga demikian, Lyotard menolak segala macam bentuk meta-narasi, yang ada bukan kebenaran tetapi kebenarankebenaran yaitu kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).



B. INDIKATOR POSTMODERNISME Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu : Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa,



semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks. Sedangkan



menurut



Pauline



Rosenau



mengatakan



bahwa,



postmodernisme



menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain : Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu. Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.



Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”) Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja. Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah otokritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain. Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu: 1. Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme; 2. Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan 3. Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang



meliputi



Marxisme



Barat,



struktualisme



Prancis,



nihilisme,



etnometodogi,



romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.



Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.



C. ANALISIS FENOMENA FAKTUAL Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai Negara penjunjung tinggi HAM. Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM. Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.



Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah. Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, social, politik dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama. Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut. Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya. Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local / identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi. Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita



melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbedabeda, tetapi tetap satu jua).



PENUTUP Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,



kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis. Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan,



ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity). Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tandatanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.



DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta Santoso, Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam “Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI



http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme-dalam.html#uds-searchresults diakses pada tanggal 27 Agustus 2010 http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2010 http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Agustus 2010