5 0 539 KB
TERAPI INHALASI
Oleh : Ni Luh Made Rasmawati dr. Tjahya Aryasa EM.,SpAn
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH 2017
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI ............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan .........................................................
3
2.2 Penyakit Parenkimal Paru ..................................................................................
6
2.2.1 Asma ........................................................................................................
6
2.2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis ..............................................................
8
2.3 Pertimbangan Terapi Inhalasi ............................................................................ 11 2.3.1 Keuntungan Terapi Inhalasi ..................................................................... 11 2.3.2 Kelemahan Terapi Inhalasi ...................................................................... 11 2.4 Sifat Fisik Aerosol ............................................................................................ 12 2.5 Jenis-Jenis Obat Inhalasi .................................................................................... 14 2.5.1 Bronkodilator ........................................................................................... 14 2.5.2 Anti Inflamasi Pada Saluran Nafas .......................................................... 17 2.5.3 Obat-Obatan Penunjang ........................................................................... 19 2.6 Jenis-Jenis Generator Aerosol ............................................................................ 20 2.6.1 Pressurized Metered Dose Inhaler (pMDI) ............................................. 21 2.6.2 Dry Powder Inhaler (DPI) ....................................................................... 23 2.6.3 Nebulizer .................................................................................................. 25 2.7 Aplikasi Terapi Inhalasi Pada Pasien Dengan Ventilasi Mekanik ..................... 30 BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 38
iii
1
BAB I PENDAHULUAN Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi pernafasan pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera.1 Terapi ini telah lama dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), selain pemberian dengan cara peroral, injeksi intramuskular, dan intravena.2,3 Pada umumnya, terapi inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat khusus yang dapat membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan teknik tertentu dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat. Aerosol adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi.3 Keuntungan utama dari terapi inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara langsung menuju lumen internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di dalam paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang diberikan lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang diberikan secara inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan efek samping sistemiknya juga akan lebih rendah.2,3 Adapun beberapa tipe perangkat pembentuk aerosol atau generator aerosol yang umm digunakan yaitu pressurized metered dose inhaler (pMDI), dry powder
1
2
inhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan generator aerosol disesuaikan dengan penderita. Terapi inhalasi harus dapat menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi ukuran partkel aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat secara efisien mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator (device) yang baik juga harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien, hal ini dapat meliputi ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok untuk segala usia yang ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari pasien terhadap pengobatan yang diberikan.1 Pemahaman terhadap terapi inhalasi ini baik tujuan, jenis-jenis regimen obat, cara kerja obat, serta tipe-tipe generator aerosol sangat penting diketahui oleh seorang dokter. Maka melalui pembuatan makalah ini, diharapkan dapat memberikan lebih banyak informasi tentang terapi inhalasi kepada teman-teman sejawat dokter muda.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan Sistem pernafasan memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh. Fungsi utamanya adalah untuk menyediakan oksigen, mengeliminasi karbondioksida, regulasi pH, untuk pembentukan suara dan pertahanan tubuh terhadap mikroba. Fungsi lain dari sistem pernafasan adalah dapat mempengaruhi konsentrasi kimia arterial dengan menghilangkan bahan tertentu dari kapiler paru dan memproduksi dan menambahkan bahan lainnya ke dalam darah. Terdapat dua buah paru-paru yang utamanya terdiri dari jutaan alveolus (kantong tipis berisi udara). Alveolus ini merupakan tempat dari pertukaran gas antara paru-paru dan darah. Aliran udara agar dapat sampai ke alveolus adalah melalui saluran nafas dan udara dapat masuk/keluar paru karena adanya mekanisme inspirasi (perpindahan udara dari lingkungan ke alveolus) dan ekspirasi (perpindahan udara kea rah sebaliknya). Inspirasi dan ekspirasi ini disebut sebagai siklus respirasi.4 Sistem pernafasan terdiri dari saluran nafas dan parenkim paru. Saluran nafas dibagi menjadi 3 regio yaitu saluran nafas atas, zona konduksi dan zona respirasi. Saluran nafas atas terdiri dari hidung atau mulut, faring (yang bercabang menjadi saluran makanan dan saluran nafas), dan laring (dimana terdapat pita suara). Zona konduksi dimulai dari trakea, bronkus, dan bronkiolus terminalis, dan zona respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolus, dan kantong alveolus Pada dinding trakea dan bronkus terdapat cincin
3
4
kartilago (tulang rawan), yang memberikan bentuk silindris dan mempertahankan saluran ini agar tidak kolaps. Kartilago ini secara progresif menjadi semakin kecil pada generasi akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam bronkiolus. Pada trakea dan bronkus tidak semua dindingnya dibentuk oleh tulang rawan, melainkan juga dibentuk oleh otot polos yang dapat berkontraksi dan relaksasi sehingga akan mempengaruhi radius saluran nafas. Bronkiolus dicegah untuk tidak kolaps bukan melalui rigiditas dindingnya, namun oleh tekanan transpulmonal yang juga mengembangkan alveoli. Dengan demikian apabila alveolus melebar, maka bronkiolus juga akan melebar. Dinding bronkiolus hampir semuanya terbentuk oleh otot polos kecuali pada bagian bronkiolus respiratorius yang dibentuk oleh sel epitel paru, jaringan fibrosa, dan beberapa serabut otot polos.4,5
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernafasan 4
5
Gambar 2.2 Zona konduksi dan zona respirasi saluran nafas 4 Kavum nasi atau oral akan menangkap partikel-partikel dari udara karena adanya rambut pada kavum nasi dan juga mukus. Seluruh saluran nafas, dari hidung sampai bronkiolus respiratorius, dipertahankan agar tetap lembab oleh lapisan mukus yang melapisi seluruh permkaannya. Mukus ini disekresikan oleh sel goblet mukosa dalam, lapisan epitel saluran nafas, dan kelenjar submukosa yang kecil. Selain untuk mempertahankan kelembaban, mukus juga dapat berperan dalam menangkap partikel-partikel kecil dari udara inspirasi dan menahannya agar tidak sampai ke alveoli. Mukus nantinya akan dibersihkan oleh adanya gerakan silia oleh epitel bersilia yang terdapat pada seluruh permukaan saluran nafas. Gerakan silia akan selalu mendorong ke arah atas atau ke arah
6
faring, sementara gerakan silia pada sel epitel mukosa hidung mengarah ke bawah menuju faring. Sehingga mukus-mukus tersebut akan terkumpul pada faring, untuk selanjutnya dapat ditelan atau dibatukkan. Akibat adanya mekanisme ini paru-paru dapat dijaga agar tetap bersih dari berbagai macam partikel-partikel tertentu dan juga bakteri. Mekanisme pertahanan lainnya adalah bronkiolus dapat berkonstriksi untuk membantu mencegah masuknya partikelpartikel tertentu atau iritan mencapai alveolus. Selain itu mekanisme pertahanan terhadap infeksi juga diperankan oleh sel-sel yang terdapat pada saluran nafas dan alveolus, yaitu makrofag. Sel tersebut menangkap dan menghancurkan partikel udara dan bakteri yang terinhalasi yang telah mencapai alveolus. Makrofag ini dapat cidera atau rusak apabila terpapar asap rokok dan gas-gas polutan.4,5 2.2 Penyakit Parenkimal Paru 2.2.1 Asma Asma adalah suatu penyakit obstruksi jalan nafas yang reversible dengan dikarakteristikan oleh hiperreaktivitas bronkus, bronkokonstriksi, dan inflamasi saluran nafas kronik. Perkembangan penyakit asma bersifat multifaktorial yang meliputi penyebab genetik dan lingkungan.6 Patofisiologi terjadinya asma adalah karena adanya inflamasi kronik spesifik dari mukosa saluran nafas bawah. Pengaktifan dari kaskade inflamasi menyebabkan terjadinya infiltrasi sel eosinophil, neutrophil, sel mast, sel T, dan leukotrin ke mukosa saluran nafas. Rekruitmen sel-sel tersebut akan memicu terbentuknya mediator proinflamasi lainnya seperti histamine, prostaglandin,
7
bradikinin, tromboksan, leukotriene, platelet activating factor, dll yang akan berpengaruh terhadap berbagai target organ. Hal ini menyebabakan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema dinding saluran nafas, infiltrasi sel radang pada saluran nafas, dan peningkatan aktivitas sel pensekresi mukus. Adanya peningkatan jumlah sel-sel inflamasi mengakibatkan hipersensitivitas saluran nafas serta memicu remodeling saluran nafas.6 Terapi asma terdiri dari dua modalitas terapi obat: (1) untuk mengurangi inflamasi kronik dan menangani hiperresponsif saluran nafas dengan obat anti inflamasi yaitu glukokortikoid inhalasi dan penghambat leukotriene, dan (2) untuk menangani kontraksi berlebihan akut dari otot polos saluran nafas yaitu dengan obat golongan bronkodilator yang dapat merelaksasi saluran nafas. Target kerja obat pada saluran nafas dapat langsung merelaksasi otot polos atau dengan menghambat/memblok aksi dari bronkokonstriktor.4 2.1. Jenis-jenis Terapi Farmakologi Untuk Asma6 Kelas
Obat
Kortikosteroid
Beclomethasone
inhalasi
Aksi
Efek Samping
Mengurangi
Disfonia
Budesonide
inflamasi jalan nafas
Myopati otot laring
Ciclesonide
Menurunkan
Kandidiasis orofaringeal
Flunisolide
hiperresponsifitas
Fluticasone
jalan nafas
Mometasone Triamcinolone 2-agonis : stimulasi
Terapi dengan hanya
Formoterol
reseptor 2 dalam
bronkodilator kerja panjang
Salmeterol
cabang
dapat menyebabkan
trakeobronkial
inflamasi jalan nafas dan
Bronkodilator
Arformoterol
kerja panjang
meningkatkan insiden asma
8
eksaserbasi. Harusnya tidak digunakan kecuali dengan kortikosteroid inhalasi. Kombinasi
Budesonide +
kortikosteroid
formoterol
inhalasi +
Fluticasone+sal
bronkodilator
meterol
kerja panjang
Kombinasi bronkodilator kerja panjang dengan kortikosteroid inhalasi
Leukotriene
Montelukast
modifiers
Zafirlukast Zileuton
Mengurangi sintetis
Minimal
leukotrin dengan menghambat enzim 5- lipoxygenase
Methylxanthines
Theophylline
Meningkatkan cAMP
Mengganggu siklus tidur
Aminophylline
dengan menghambat
Mual/muntah
fosfodiesterase, blok
Anoreksia
reseptor adenosin,
Sakit kepala
pelepasan
Disaritmia
katekolamin endogen Mast cell stabilizer
Cromolyn
Menghambat
Batuk
pelepasan mediator
Iritasi tenggorokan
dari sel mast, stabilisasi membran
2.2.2 Penyakit Paru Obstrutif Kronis (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai gejala pernafasan dan hambatan aliran udara persisten karena adanya abnormalitas saluran nafas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan partikel atau gas berbahaya/polusi yang signifikan. Faktor risiko dari penyakit ini adalah genetik, merokok atau sebagai perokok pasif, paparan terhadap debu dan partikel-partikel berbahaya (terutama di pertambangan batubara, pertambangan emas, dan industri tekstil), paparan terhadap polusi
9
udara baik indoor maupun outdoor, asma dan hiperreaktifitas saluran nafas, bronkitis kronis, infeksi, serta berat badan lahir rendah.7 Adanya inhalasi terhadap asap rokok maupun gas-gas polusi lainnya dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Respon inflamasi ini adalah normal, namun pada pasien PPOK inflamasi tersebut mengalami modifikasi yaitu menjadi lebih kuat. Hal tersebut masih belum jelas, namun dikatakan ada pengaruh faktor genetik atau karena adanya stres oksidatif dan proteinase yang berlebihan di dalam paru-paru.7 Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya PPOK adalah karena adanya (1) stres oksidatif yang dibentuk oleh asap rokok dan agen berbahaya lainnya, serta pelepasan dari sel inflamasi teraktivasi seperti makrofag dan neutrophil, maupun karena adanya penurunan antioksidatif endogen, (2) ketidakseimbangan protease-antiprotease, (3) peningkatan sel inflamasi seperti makrofag pada saluran nafas perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah pulmoner, yang secara bersamaan dengan peningkatan aktivasi neutrophil dan peningkatan limfosit, dan (4) peningkatan mediator inflamasi. Respon inflamasi kronis ini dapat menginduksi destruksi jaringan parenkimal (menghasilkan emfisema) dan mengganggu proses perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menghasilkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan gas terperangkap dan terjadinya hambatan aliran udara yang progresif.7 Patofisiologi dari PPOK dapat meliputi terjadinya hambatan aliran udara dan terperangkapnya udara (sehingga menimbulkan hiperinflasi), abnormalitas pertukaran gas, dan hipersekresi mukus. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
10
nafas perifer dapat mengurangi terperangkapnya gas, dengan demikian volume paru menurun dan memperbaiki gejala dan kapasitas olahraga. Pada pemeriksaan spirometri PPOK ditandai dengan hasil FEV1/FVC post bronkodilator