Tesis HN 23 Juni 2016 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Ekstraksi gigi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan dalam kedokteran gigi tetapi menimbulkan soket pada tulang alveolar. Soket ekstraksi gigi biasanya dapat sembuh dengan normal, tetapi menimbulkan defek sebagai dampak pencabutan gigi tersebut (Weijden dkk, 2009). Dampak pencabutan gigi dapat menimbulkan berbagai masalah pada rahang yaitu gangguan susunan gigigeligi, masalah oklusi, masalah pada TMJ dan masalah stomatognatik (Quaker, 2011), juga resorpsi linggir alveolus (Weijden dkk, 2009). Resorpsi tulang rahang sebagai dampak pencabutan gigi paling besar terjadi pada tahun pertama khususnya pada enam bulan pertama, dan berlangsung sepanjang hidup sampai kehilangan tulang rahang dalam jumlah yang besar (Jahangiri dkk, 1998). Kehilangan tulang paling besar terjadi dalam dimensi horizontal biasanya pada aspek fasial linggir rahang, juga dalam arah vertikal yang tampak dari sisi bukal (Lekovic dkk, 1997; Lindhe, 2005). Proses resorpsi menyebabkan penyempitan dan pemendekan linggir alveolus sehingga terjadi relokasi linggir ke posisi palatal/lingual (Iasella dkk, 2003). Derajad resorpsi pada tulang alveolar tergantung beberapa hal antara lain anatomi, fungsi, riwayat pemakaian protesa dan metabolisme (Kubilius dkk, 2012). Bukti ilmiah menjelaskan bahwa terapi preservasi soket gigi dalam pembuatan protesa maupun implan menguntungkan dalam hal mencegah pengurangan tinggi vertikal dan kehilangan linggir alveolar dibanding 1



2



penyembuhan secara alami, meskipun belum ada guideline yang pasti tentang jenis bahan dan teknik yang paling baik yang dapat digunakan untuk preservasi soket gigi (Cioban dkk, 2013). Volume tulang alveolar yang adekuat dan linggir alveolus yang memadai penting dalam rekonstruksi prostetik yang estetis serta fungsional, sehingga dalam rencana perawatan diperlukan pengetahuan mengenai proses penyembuhan soket ekstraksi gigi serta perubahan kontur yang disebabkan oleh resorpsi tulang rahang (Weijden dkk, 2009). Bone grafting dengan atau tanpa membran dapat digunakan untuk mempertahankan anatomi linggir tulang alveolar pada soket ekstraksi gigi (Irinakis, 2006). Boix dkk (2006) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa injectable bone substitute yang mengandung polimer dan kalsium fosfat secara signifikan meningkatkan preservasi linggir alveolar pasca ekstraksi gigi. Barone dkk (2008) menyatakan bahwa preservasi linggir alveolar menggunakan tulang babi kombinasi membran kolagen signifikan dalam mengurangi resorpsi linggir tulang alveolar setelah ekstraksi gigi. Guided bone regeneration dan bone substitute sintetis atau xenograft berasal dari bovine dapat mempertahankan lebar dan tinggi interproksimal linggir tulang alveolar (Mardas dkk, 2010). Canuto dkk (2011)



menyatakan



bahwa



nanocrystalline



hydroxyapatite



meningkatkan



penyembuhan soket alveolar, angiogenesis, epitelialisasi dan osteogenesis. Bone grafting yang dapat digunakan untuk preservasi linggir alveolar antara lain adalah autograf, allograft, xenograft maupun material sintesis. Bone substitute juga dapat digunakan untuk preservasi linggir alveolar. Berbagai bahan



3



biomaterial bone substitute telah dikembangkan untuk digunakan dalam berbagai bidang biomedis (Oliva dkk, 1996). Menurut Garagiola (2006), ciri ideal bone substitute antara lain adalah bahan tersebut dapat seutuhnya diterima oleh organisme yang hidup (excellent biocompatibility), bone substitute-nya meningkatkan konduksi pembentukan tulang baru dari dinding defek tulang host (high osteoconductivity), permukaan area dalam yang luas sehingga memungkinkan revaskularisasi oleh tulang host, high porosity yang memungkinkan bahan bergabung dengan tulang baru, moderately slow resorption sehingga terjadi remodeling dalam jangka waktu yang lama serta mempunyai modulus elastisitas yang adekuat. Glass ionomer cement (GIC) merupakan salah satu bone substitute selain hydroxyapatite (HA), tricalcium phosphate (TCP), polymethylmethacrylate (PMMA), poruous polyethylene polymer serta bioactive glass (Salata dkk, 1999; Pryor dkk, 2009). GIC telah digunakan dalam bidang Otolaryngology dan Ortopedi. GIC digunakan dalam bidang Otolaryngology untuk sementasi implan koklea serta pembuatan prefabricated artificial ossicles (Nicholson, 1998) sedangkan dalam bidang Ortopedi telah digunakan untuk menambah stabilisasi dynamic hip screw pada kaput femur pasien osteoporosis (Jonk dkk, 1990). GIC juga



digunakan



melapisi



skull



imperfecta



untuk



mencegah



kebocoran



cerebrospinal fluid (Loescher dkk, 1994). Glass Ionomer Cement diperkenalkan tahun 1970 oleh Wilson dan Kent sebagai bahan tambal pada kedokteran gigi. GIC menjadi populer karena mengandung beberapa sifat dalam satu bahan tambal yaitu fluor release, ekspansi



4



termal dan modulus elastisitas yang sama dengan dentin, adhesi pada enamel maupun dentin serta mempunyai sifat biokompatibilitas. GIC mempunyai sifat biokompatibilitas yang sempurna terhadap jaringan gigi sehingga diuji untuk digunakan memperbaiki kehilangan struktur tulang (Leyhausen dkk, 1998), meskipun material GIC masih mempunyai kelemahan dalam hal compressive strength dan low resorption (Goenka, 2012). Berbagai penelitian dilakukan untuk menyempurnakan GIC, sehingga dapat digunakan semakin luas dalam bidang biomedis. Glass Ionomer Cement terdiri dari campuran kalsium, aluminium, fluorosilikat dengan polycarboxylic acid yang berbentuk pasta semen porous. Sifat porous permukaan GIC memungkinkan terjadinya osteokonduksi dimana tulang baru dibentuk pada material bone substitute (Mao dan Kamakshi, 2014). Glass ionomer cement yang telah keras melepas berbagai sustansi anorganik seperti silika, kalsium fosfat, fluorida serta aluminium (Nicholson dkk, 1991). Banyak penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh substansi yang terkandung dalam GIC terhadap sel secara in vitro maupun in vivo. Beck Jr dkk (2012) secara in vivo pada tikus percobaan menyimpulkan bahwa silika nanopartikel signifikan meningkatkan bone mineral density (BMD). Kim Jr. dkk (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan silikon meningkatkan aktivitas osteoblas dan mineralisasi tulang sel MC3T3-E1. Selain pengaruh silika, pengaruh Aluminium juga banyak diteliti dalam hal



potensi osteogeniknya.



Penelitian oleh Salata dkk (1999), pada uji in vitro kultur osteoblas dengan akumulasi aluminium pada GIC, sel-sel memperlihatkan aktivitas fisiologi normal



5



tanpa adanya tanda-tanda toksik dengan scanning electron microscopy. Pengaruh fluorida paling banyak diteliti dalam hubungannya sebagai agen mitogenik terhadap osteoblas (Caverzasio dkk 1997; Lau dkk 1989). Menurut Buric dkk (2003), fluorida sebagai pembentuk Glass ionomer materials (GIMIs) mempunyai peran sentral dalam stimulasi osteogenesis, sebagaimana halnya fluorida



menstimuli osteoid pada pasien osteoporosis.



Pelepasan fluorida secara perlahan tetapi berlangsung lama menjadi stimulus pada aktifitas osteoblastik sehingga meningkatkan ikatan implan pada tulang. Selain itu fluorida juga mempengaruhi proses mitogenik kartilago dan tulang. Kemungkinan peningkatan stimulasi diakibatkan oleh efek growth factor dan sinerginya dengan calcitonin. Menurut Burr dan Allen (2014), osteoblas memproduksi alkaline phospatase (ALP) dan osteocalcin dalam jumlah banyak menunjukkan tingkat bone formation-nya.



Menurut Canuto (2011), keberhasilan suatu bone graft



dalam regenerasi tulang dapat diukur dengan meningkatnya faktor-faktor proosteogenik yaitu Bone Morphogenetic Protein-2,-4 (BMP), ALP, dan osteocalcin (Burr dan Allen, 2014). Osteocalcin merupakan protein non-kolagen yang diproduksi oleh osteoblas matur selama proses bone formation. Osteocalcin berperan dalam mengikat kalsium dan hidroksilapatit pada tahap remodeling tulang dan disimpan dalam matriks ekstraseluler. Peranan osteocalcin secara fisiologis belum diketahui secara pasti, tetapi osteocalcin mempunyai potensi sitogenesis dan kristalisasi apatit (Termine, 1989; Chenu dkk, 1994).



6



B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: Apakah terjadi peningkatan ekspresi osteocalcin pada soket ekstraksi gigi yang diaplikasi GIC.



C. Tujuan Penelitian Mengetahui dan mengkaji pengaruh aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi terhadap ekspresi osteocalcin.



1.



D. Manfaat Penelitian Memberikan informasi ilmiah GIC dapat meningkatkan ekspresi osteocalcin pada soket ekstraksi gigi sebagai marker bone formation sehingga dapat



2.



digunakan untuk osteopreservasi mencegah resorpsi tulang alveolar rahang. GIC dapat dipertimbangkan sebagai bahan osteopreservasi pasca pencabutan gigi karena pada umumnya dokter gigi menggunakan GIC sebagai bahan tambal pada praktek sehari-hari. E. Keaslian penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang ekspresi osteocalcin



pada soket ekstraksi gigi yang diaplikasi GIC menggunakan quantitative real time Polymerase Chain Reaction (qPCR) belum pernah dilakukan



berdasarkan



literatur yang ada di Perpustakaan UGM maupun jurnal-jurnal yang dirilis melalui internet.



7



Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan penggunaan GIC antara lain adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Jonk dkk (1989) tentang evaluasi biologis glass ionomer cement (Ketac-O) sebagai material interface pada penggantian total sendi. 2. Jonk dan Gobbelaar (1990) melakukan eksperimen dan evaluasi klinis penggunaan Ionos bone cement (glass ionomer) pada penggantian sendi. 3. Evaluasi awal in vivo GIC untuk digunakan sebagai bone substitute tulang alveolar tikus wistar oleh Brook dan Lamb (1991). Evaluasi membandingkan pengaruh berbagai jenis GIC dengan hidroksiapatit terhadap tulang menggunakan transmission electron microscopy (TEM). 4. Evaluasi biologis GIC dengan metode kultur sel osteoblas dilakukan oleh Meyer dkk (1993), tidak ditemukan adanya tanda-tanda toksik pada analisis scanning electron microscopy meskipun sebelumnya diketahui terdapat efek toksik aluminium terhadap osteoblas. 5. Penelitian oleh Bretegani dkk (1996) menyatakan bahwa implantasi immediate granul GIC meningkatkan osteogenesis selama penyembuhan tulang alveolar tikus. 6. Penelitian lain dilakukan oleh Buric dkk (2003) melihat respon glass ionomer microimplant (GIMI) pada linggir alveolar maksila anjing.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Telaah pustaka 1. Tulang Tulang dibentuk oleh jaringan tulang bersama darah, sumsum tulang, kartilago, jaringan adiposa, sistem syaraf serta jaringan ikat fibrous. Jaringan tulang dibentuk oleh jaringan ikat dimana matriksnya mengeras yang disebabkan deposisi kalsium fosfat serta mineral lainnya (Saladin, 2010). a) Fungsi tulang Tulang berfungsi sebagai dukungan mekanis, homeostatis kalsium dan hematopoiesis sumsum tulang, selain untuk fungsi pengaturan endokrin (Burr dan Allen, 2014). Fungsi mekanis tulang terjadi oleh adanya tulang kortikal dan trabekula. Tulang kortikal juga berperan dalam menahan tekanan. Tulang trabekula menahan tekanan dengan cara mengarahkan stress ke lempeng tulang yang lebih kuat. Fungsi mekanis tulang tidak sederhana dengan sekedar menahan beban sederhana, tetapi juga harus mempunyai derajad strength dan stiffness tertentu. Tulang mempunyai banyak organisasi material yang memungkinkan beradaptasi terhadap tekanan berulang untuk menghindari fraktur pada level fisiologis (Burr dan Allen, 2014). Fungsi lain dari tulang adalah fungsi protektif terhadap regio kepala untuk menghindari pengaruh fatal akibat injuri. Secara mikrostruktur tulang pada regio



8



9



kepala tidak berbeda dengan tulang lainnya, tetapi mampu menyerap energi besar dengan trauma minimal pada tulang (Burr dan Allen, 2014). Selain fungsi mekanis dan protektif, tulang juga berfungsi sebagai organ hematopoietik yang menghasilkan sel darah merah selama kehidupan. Fungsi hematopoietik terjadi pada tulang spongy seperti tulang iliak, vertebra dan femur proksimal. Rongga sumsum di dalam tulang merupakan daerah penting sumsum merah



yang



berfungsi



hematopoiesis



selama



masa



pertumbuhan



dan



perkembangan. Rongga tersebut diisi oleh yellow fat pada orang dewasa. White fat dan brown fat juga terdapat pada tubuh manusia yang diperankan oleh osteocalcin produksi osteoblas. Yellow marrow fat berasal dari sel prekursor yang sama yang berdiferensiasi menjadi osteoblas pembentuk tulang. Tulang kanselosa dengan permukaan luas bertanggungjawab untuk rapid turnover jaringan tulang serta keseimbangan kalsium jangka panjang (Burr dan Allen, 2014). Bone turnover peka pada perubahan metabolisme energi yang terjadi akibat perubahan usia, defisiensi hormon maupun produksi hormon skeletal. Perubahan metabolisme terjadi dalam jangka panjang melalui pertukaran kalsium dan fosfat serta mineral lainnya seperti magnesium. Tulang kortikal dan kanselosa merupakan tempat penyimpanan dan pergantian ion secara cepat selama fase mineralisasi (Burr dan Allen, 2014). Tulang sebagai organ endokrin berfungsi dalam mengatur metabolisme fosfat dan energi dengan mensekresikan dua hormon yaitu fibroblast growth factor-23 (FGF-23) dan osteocalcin. FGF-23 produksi osteosit, berperan dalam menurunkan reabsorbsi fosfat pada ginjal serta menurunkan level serum 1,25dihydroxyvitamin D3. Tulang juga membantu pengaturan proses mineralisasi pada ginjal dan usus. Osteocalcin yang dilepas oleh matriks tulang dalam bentuk



10



undercarboxylated selama resorbsi berperan membantu mengatur proliferasi sel beta pankreas serta meningkatkan sekresi insulin. Tulang melalui beberapa hormonnya membantu mengatur proses di dalam sumsum tulang, otak, ginjal serta pankreas dengan mempengaruhi mineralisasi tulang skeletal, pembentukan lemak serta metabolisme glukosa (Burr dan Allen, 2014). b) Struktur makroskopis tulang Secara makroskopis tulang dapat dibagi menjadi dua yaitu tulang kortikal padat (kompak) dan tulang porus kanselosa yang mengandung trabecular strut (gambar 1)(Doblar dkk, 2004). Tulang kortikal merupakan komponen primer dari diafisis tulang panjang maupun tulang pendek ekstremitas. Kanal haversi pada tulang kortikal menyebabkan porositas sekitar 3-5% yang dapat bertambah seiring pertambahan usia maupun akibat osteoporosis. Tulang kompak juga ditemukan disekitar tulang kanselosa vertebra, metafise tulang panjang, krista iliaka serta tulang tengkorak kepala (Burr and Allen, 2014). Tulang kanselosa terdapat pada metafise tulang panjang, vertebra, krista iliaka, dan tulang iga. Tulang kanselosa terdiri dari lempeng dan batang tulang dengan ketebalan 200 µm yang mengisi 25-30% volume seluruh jaringan tulang.



11



Gambar 1 Potongan tulang menunjukkan tulang kortikal dan trabekula (Doblar dkk, 2004).



c) Struktur mikroskopis tulang Secara mikroskopis (gambar 2), unsur sel dalam tulang sangat kecil jika dibandingkan dengan massa tulang keseluruhan. Sebagian besar tulang terdiri atas matriks tulang dan substansi interstisial bermineral yang tersimpan dalam lapisan/lamela dengan ketebalan 3-7 µm. Rongga-rongga lentikuler disebut lakuna menyebar agak rata pada substansi interstisial. Lakuna ditempati oleh sebuah sel tulang atau osteosit. Lakuna menembus lamela kanalikuli membentuk anastomosis dengan kanalikuli yang berdekatan. Lakuna yang satu dengan lainnya terhubung melalui saluran yang sangat halus, meskipun jarak antar lakuna berjauhan. Saluran halus tersebut berfungsi sebagai saluran untuk nutrisi sel-sel tulang. Sistem kanalikuli yang saling terhubung menjadi sarana pertukaran metabolit antar sel-sel perivaskular terdekat (Fawcett, 2002; Doblar, 2004). Terdapat tiga lamela tulang kompak yaitu lamela yang sebagian besar tersusun konsentris mengelilingi saluran vaskular memanjang yang membentuk



12



unit silindris disebut sistem Havers atau osteon, sistem interstisial berupa potongan tulang berlamel dengan ukuran dan bentuk tidak beraturan, lamela sirkumferensial dalam dan luar yang tidak terputus dan mengitari bagian batang yang berada pada permukaan korteks tepat di bawah periosteum (Fawcett, 2002). Saluran vaskular dalam tulang kompak terbagi menjadi dua kategori yakni kanal Havers yaitu saluran memanjang di pusat osteon kanal Volkman yaitu saluran yang menerobos tulang dalam arah tegak lurus maupun serong. Kanal Havers terdiri atas satu atau dua pembuluh darah kecil yang terbungkus oleh jaringan ikat yang terhubung dengan permukaan melalui Kanal Volkman, tetapi pada kenyataannya kanal Havers dan kanal Volkman beranastomosis dalam konfigurasi tiga dimensi yang cukup rumit (Fawcett, 2002). Periosteum pada masa embrional dan masa pertumbuhan terdiri atas selsel pembentuk osteoblas, tetapi setelah pertumbuhan tulang berhenti periosteum berubah menjadi sel-sel pelapis tulang tidak aktif yang dapat menjadi aktif kembali sebagai osteoblas pembentuk tulang baru ketika terjadi cedera pada tulang (Fawcett, 2002). Endosteum merupakan lapisan tipis yang tersusun oleh sel gepeng. Endosteum melapisi dinding rongga-rongga tulang yang menampung sumsum tulang. Endosteum mempunyai fungsi yang mirip dengan periosteum dalam hal potensi osteogeniknya, meskipun strukturnya jauh lebih tipis dibanding periosteum. Semua rongga dalam tulang termasuk kanal Havers dan rongga sumsum tulang spons dilapisi oleh endosteum (Fawcett, 2002).



13



Gambar 2 Struktur mikroskopis tulang kortikal (a). Sketsa 3D tulang kortikal (b). Potongan sistem Havers (c). Foto mikrograf sistem Haversi (Doblar dkk, 2004)



d) Sel-sel Tulang Menurut Saladin (2010), tulang seperti halnya jaringan ikat lainnya terdiri dari sel-sel, serat dan substansi dasar. Ada empat tipe dasar sel-sel tulang yaitu: 1. Sel Osteogenic (Osteoprogenitor) Sel osteogenic (osteoprogenitor) yaitu stem sel yang berkembang dari selsel mesenkim, ditemukan hampir pada seluruh tipe sel tulang. Sel osteogenic ditemukan pada endosteum yaitu lapisan dalam periosteum juga pada kanalis



14



sentralis. Sel osteogenic menggandakan diri terus-menerus dan sebagian kecil berubah menjadi osteoblas (Saladin, 2010). 2. Osteoblas Osteoblas



berasal



dari



stem



sel



mesenkim



pluripoten



yang



bertanggungjawab dalam membentuk serta mempertahankan arsitektur tulang skeletal. Osteoblas memproduksi matriks protein ekstraseluler serta mengatur mineralisasinya pada awal pembentukan tulang dan kemudian mengalami remodeling (Neve dkk, 2010). Osteoblas merupakan sel pembentuk tulang yang tersusun kuboidal maupun angular pada satu lapisan tulang di bawah permukaan endosteum dan periosteum. Osteoblas merupakan sel yang tidak mengalami mitosis, sehingga osteoblas hanya terbentuk dari mitosis dan diferensiasi sel-sel osteogenik. Osteoblas mensintesis matriks tulang dalam bentuk matriks organik lunak yang mengalami pengerasan melalui pembentukan mineral. Stress dan fraktur merangsang



sel



osteogenik



memperbanyak



diri



dengan



cepat



serta



menghasilkan osteoblas dalam jumlah yang banyak sehingga mampu menguatkan dan membentuk ulang tulang. Selain itu, osteoblas juga mensekresi osteocalcin, dulunya dianggap sebagai satu-satunya struktur protein pada tulang (Saladin, 2010). Ada beberapa faktor transkripsi spesifik yang tetap bertanggungjawab pada diferensiasi sel mesenkim pluripoten menjadi sel osteoblas. Salah satu dan yang terpenting adalah Cbfa1 (Core-binding factor α1) berperan penting dalam diferensiasi osteoblas meskipun tidak sendiri mencapai fenotip osteoblas matur. Cbfa1 banyak terekspresi pada sel-sel turunan osteoblas dan mengatur



15



ekspresi berbagai gen spesifik osteoblas. Runt-related gen lain yang selalu berperan dalam diferensiasi sel mesenkim multipoten adalah runx-2 yang terlibat dalam produksi matriks protein tulang seperti kolagen tipe I, osteopontin, sialoprotein tulang serta osteocalcin (Neve dkk, 2010) 3. Osteosit Osteosit merupakan pembentuk osteoblas yang terperangkap dalam matriks yang terdeposisi. Osteosit berada pada rongga kecil lakuna yang saling terhubung melalui rongga yang lebih kecil disebut kanalikuli. Osteosit mempunyai tonjolan sitoplasma menyerupai jari dan terhubung dengan osteosit lain melalui kanalikuli. Sebagian terhubung dengan osteoblas pada permukaan tulang. Antar osteosit yang berdekatan terhubung oleh tonjolan osteosit pada gap junction lain sehingga dapat mengangkut nutrisi dan sinyal kimia ke dalam osteosit. Selain itu, dengan adanya tonjol yang saling terhubung menyebabkan sampah metabolik dibuang ke pembuluh darah terdekat. Osteosit berfungsi dalam meresorbsi serta membentuk matriks tulang sehingga osteosit juga berperan dalam mempertahankan homeostasis dalam hal densitas tulang serta konsentrasi ion kalsium dan fosfat dalam darah. Para peneliti menduga bahwa osteosit juga berperan sebagai sensor strain, osteosit akan mengalirkan cairan ekstraseluler pada lakuna dan kanalikuli jika ada tekanan pada tulang. Aliran tersebut akan merangsang osteosit mensekresi sinyal biokimia dalam mengatur remodeling tulang (Saladin, 2010). 4. Osteoklas



16



Osteoklas merupakan sel yang meresorpsi tulang. Sel ini banyak ditemukan pada permukaan tulang. Osteoklas terbentuk dari stem sel yang sama dengan sel darah. Osteoklas dibentuk melalui fusi/penyatuan beberapa stem sel, sehingga osteoklas mempunyai ukuran yang lebih besar (sampai mempunyai diameter 150 µm) yang dapat dilihat dengan kasat mata. Osteoklas biasanya mempunyai tiga sampai empat nukleus meskipun dapat mencapai 50 nukleus. Sisi osteoklas yang berhadapan dengan permukaan tulang mempunyai batas berbentuk cekungan yang dalam oleh membran plasma sel. Osteoklas sering ditemukan pada cerukan resorption bays (Howship lacunae) tempat osteoklas menempel. Remodeling tulang terjadi akibat kombinasi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan pembentukan tulang oleh osteoblas (Saladin, 2010). e) Matriks Tulang Matriks tulang terdiri dari matriks organik dan anorganik. Matriks anorganik tulang terdiri dari 1/3 sampai 2/3 berat kering matriks tulang seluruhnya. Matriks anorganik terdiri dari 85% hidroksiapatit yaitu garam kalsium fosfat berkristal (Ca10(PO4)6(OH)2), 10% kalsium karbonat (CaCO3), dan sejumlah kecil magnesium, sodium, potasium, fluorida, sulfat, karbonat serta ion hidroksit. Osteoblas mensintesis matriks organik yaitu kolagen dan kompleks protein-karbohidrat yang terdiri dari glikosaminoglikan, proteoglikan serta glikoprotein (Saladin, 2010). Para engineer mengelompokkan tulang sebagai komposit pada klasifikasi material karena terdiri dari dua kombinasi struktur yaitu keramik dan polimer.



17



Kolagen pada tulang adalah polimer dan hidroksiapatit beserta mineral lainnya sebagai keramik. Keramik mampu menyokong beban tubuh tanpa melengkung. Tulang menjadi lunak dan mudah ditekuk, jika tulang kekurangan garam kalsium (Saladin, 2010). Komponen protein pada tulang memungkinkan tulang mempunyai derajad fleksibilitas. Tulang memiliki rasio mineral dengan kolagen yang berbeda pada masing-masing regio tulang, sehingga tension dan kompresi tiap bagian tulang skeletal juga berbeda (Saladin, 2010). 2. Klasifikasi Tulang Menurut



Saladin



(2010),



berdasarkan



bentuknya



tulang



dapat



diklasifikasikan menjadi empat: 1.



Tulang panjang, perbandingan tulang lebih panjang daripada lebar yang memberi dukungan rigid terhadap otot skeletal untuk pergerakan tubuh. Tulang panjang terdiri dari humerus, radius dan ulna, metakarpal, phalang kaki dan tangan, femur, tibia dan fibula serta metatarsal.



2.



Tulang pendek, panjang dan lebar tulang hampir sama terdiri dari tulang karpal serta tulang tarsal. Tulang pendek mempunyai gerakan terbatas disertai sedikit gerakan meluncur sehingga ankle dan wrist dapat bergerak dalam berbagai arah.



3.



Tulang pipih berfungsi untuk menutup dan melindungi organ lunak dan menjadi permukaan yang luas buat perlekatan otot. Tulang pipih terdiri dari tulang kranial, iga, sternum, scapula dan tulang pinggul.



18



4.



Tulang irreguler mempunyai bentuk yang tidak sama dengan salah satu kategori tulang di atas. Tulang irregular terdiri dari vertebra, tulang sphenoid dan ethmoid serta tengkorak kepala.



3. Proses Penyembuhan Tulang Proses penyembuhan tulang terdiri atas beberapa fase yang saling tumpang tindih yaitu fase inflamasi, fase repair serta fase remodeling. Fase inflamasi terbentuk hematom di dalam fraktur beberapa jam sampai beberapa hari setelah trauma. Sel-sel inflamasi seperti makrofag, monosit, limfosit, dan sel polimorfonuklear serta fibroblast infiltrasi ke dalam tulang melalui perantaraan prostaglandin. Hal ini terjadi untuk pembentukan jaringan granulasi, pertumbuhan jaringan pembuluh darah serta migrasi sel-sel mesenkim. Oksigen serta nutrisi disuplai melalui terbukanya tulang kanselosa dengan otot (Kalfas, 2001). Fibroblast akan mengendap selama masa repair pada stroma yang membantu



mendukung



pertumbuhan



pembuluh



darah.



Matriks



kolagen



mengendap pada saat pertumbuhan pembuluh darah berlanjut, osteoid disekresikan dan kemudian mengalami mineralisasi menyebabkan pembentukan soft callus pada sisi repair. Masa 4-6 minggu soft callus sangat lemah dalam menahan pergerakan, sehingga diperlukan proteksi berupa fiksasi untuk mendukung proses penyembuhan. Osifikasi callus tidak terjadi jika imobilisasi tidak adekuat, sehingga menyebabkan penyatuan dengan pembentukan jaringan fibrous yang tidak stabil. Normalnya callus mengalami osifikasi dengan menjembatani kedua fragmen fraktur dengan woven bone (Kalfas, 2001).



19



Penyembuhan fraktur selesai pada fase remodeling dan tulang sembuh kembali dengan bentuk, struktur dan mechanical strength yang sama dengan tulang sebelum terjadinya fraktur. Remodeling berjalan lambat beberapa bulan sampai bertahun-tahun dengan dukungan mechanical strength oleh tulang. Kekuatan tulang kembali dicapai dalam 3-6 bulan (Kalfas, 2001). Proses penyembuhan fraktur tulang meliputi berbagai jaringan yaitu hematoma yang disertai inflamasi, jaringan granulasi, jaringan ikat, jaringan fibrokartilago, proses mineralisasi dan proses pembentukan tulang (osifikasi), serta remodeling tulang pada bagian kortikal maupun kanselosa (Lukman, 1997). Fase hematoma yang disertai inflamasi diawali terjadinya trauma yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah, periosteum, jaringan otot serta kerusakan struktur tulang itu sendiri. Pembuluh darah yang rusak menyebabkan sel mast melepas katekolamin, bradikinin serta serotonin yang menimbulkan efek konstriksi pembuluh darah. Konstriksi pembuluh darah akan diikuti terbentuknya benang-benang fibrin sehingga terjadi hematom pada celah fragmen fraktur. Ujung-ujung fraktur akan mengalami nekrosis dan pada saat bersamaan terjadi proses inflamasi dimana trombosit melepaskan mediator yang menyebabkan vasodilatasi, eksudasi cairan plasma yang berisi sel-sel inflamasi masuk ke bagian yang mengalami fraktur. Sel-sel inflamasi tersebut adalah leukosit PMN diikuti oleh makrofag dan limfosit (Lukman, 1997). Mediator yang berperan dalam inflamasi adalah sitokin. Sitokin yang dilepas trombosit terdiri dari platelet derived growth factor (PDGF), transforming



20



growth factor-β (TGF-β) yang berfungsi merangsang sel-sel mesenkim yang belum berdiferensiasi menjadi fibroblast, osteoblas dan kondrosit. TGF-β juga membentuk sitokin lain yang bersifat osteokonduktif dan osteoinduktif seperti bone morphogenetic protein (BMP) dan osteogenic protein-1 (OP-1) yang berfungsi mempercepat penyembuhan tulang. BMP berfungsi menstimulasi sel mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas (Lukman, 1997). Jaringan granulasi akan terbentuk setelah fase inflamasi dan hematom. Bersamaan dengan tahap ini, sel-sel nekrotik dan eksudat akan diresorpsi dan digantikan oleh sel-sel osteoprogenitor yang telah berdiferensiasi menjadi fibroblast, fibrosit, sel-sel mononuklear dan endotel pembuluh darah kapiler. Neovaskularisasi terjadi dengan bantuan angiogenetic factor. FGF adalah mediator terpenting untuk angiogenesis penyembuhan fraktur tulang (Lukman, 1997). Proses penyembuhan tulang berlangsung terus dan jaringan granulasi mengalami transformasi menjadi jaringan ikat yang terdiri dari serabut-serabut kolagen. Fase ini disebut juga fase mesenkimal karena sel-sel yang dominan adalah fibroblas, kondroblas dan makrofag. Serabut kolagen yang disintesis adalah kolagen tipe I dan II. Fibroblas mensintesis serabut kolagen tipe III dan V. Kolagen tipe I lebih dominan pada tahap ini. ALP dan protein spesifik tulang seperti proteoglycan core protein, kolagen tipe II, bone gla protein serta osteocalcin terus meningkat (Lukman, 1997).



21



Kelanjutan dari fase mesenkimal adalah fase kondroid dan kondroidosteoid. Sel-sel mesenkim berdiferensiasi menjadi kondroblas yang mendeposisi matriks kolagen menjadi kondrosit. Serabut kolagen yang dominan disintesis adalah kolagen tipe II dan IX. Kolagen tipe II akan dideposisi pada area kartilago yang telah matur. Sel-sel osteoid mulai terbentuk pada fase kondroid-osteoid yang mengikuti fase kondroid dengan terbentuknya jaringan kolagen matur, sehingga terbentuk jaringan kalus (Lukman, 1997). Soft callus terbentuk pada daerah sentral inflamasi yaitu di sekitar medula dan daerah interfragmen fraktur yang didominasi oleh jaringan kartilago. Tulang selanjutnya akan terbentuk melalui proses osifikasi endokondral. Sel-sel mesenkim bermigrasi dari jaringan lunak sekitar dan berdiferensiasi menjadi selsel kondroid. Kartilago dan jenis kartilago hialin yang terbentuk pada tahap ini mengalami mineralisasi membentuk woven bone (tulang immature) dan selanjutnya mengalami remodeling menjadi lamellar bone (Lukman, 1997). Hard callus sebagai kallus primer terbentuk melalui proliferasi sel-sel osteoprogenitor di periosteum dan sumsum tulang. Sel-sel ini secara langsung membentuk osifikasi intramembranosa membentuk tulang trabekula bermineral (Lukman, 1997). Fase berikutnya adalah fase osteogenik dimana kalus fraktur mengalami mineralisasi. Fase ini terjadi mulai minggu ketiga setelah fraktur dengan mulai dilepaskannya kalsium oleh mitokondria dan mulai berkurangnya proteoglikan beserta agregat-agregatnya. Mineralisasi kalus fraktur berlangsung mengikuti



22



urutan aktivasi sel-sel. Sel kondrosit mensintesis kolagen tipe I yang mempunyai ruang hole zone untuk deposisi kristal-kristal kalsium hidroksiapatit di antara serabut-serabut kolagen. Proses ini terjadi dengan dua cara yaitu dengan menghilangkan matriks fibrokartilago kalus dengan konsentrasi proteoglikan yang tinggi sehingga menghambat mineralisasi dan cara kedua yakni setelah sel-sel mempersiapkan matriks untuk mineralisasi, kondrosit selanjutnya osteoblas akan melepaskan kompleks kalsium fosfat ke dalam matriks dengan jalan melepaskan kuncup-kuncup vesikel matriks dari membran sel. Vesikel-vesikel tersebut akan membawa



neutral



protease



mendegradasi



matriks



kaya



proteoglikan,



menghidrolisis adenosine triphosphate (ATP) dan ester fosfat yang kaya energi serta menyediakan ion fosfat yang berguna untuk pengendapan kalsium (Lukman, 1997). Selama mineralisasi berlangsung, ujung fragmen tulang ditutupi oleh massa kalus fusiformis yang berisi woven bone yang terus meningkat. Semakin banyak mineral yang terdeposisi semakin keras kalus yang terbentuk (Lukman, 1997). Pada tahap akhir penyembuhan tulang akan terbentuk lamellar bone terbentuk dari woven bone yang sudah terbentuk sebelumnya, disertai resorpsi kalus yang tidak diperlukan. Proses ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan pasien sudah mampu melakukan aktifitas dan fungsi normal. Secara radiologis tampak union utuh penyembuhan tulang pada periosteum, endosteum, tulang kortikal dan trabekula (Lukman,1997).



23



4. Perbedaan Mandibula dengan Tulang Panjang Tulang merupakan jaringan dinamis yang terus-menerus mengalami remodeling untuk mempertahankan tulang skeletal dalam kondisi sehat. Saat ini sangat sedikit penelitian yang dilakukan terhadap tulang rahang. Tulang rahang merupakan tulang yang unik dibanding tulang lainnya dalam tubuh. Terdapat beberapa perbedaan tulang rahang dengan tulang lainnya antara lain: tulang rahang



mengalami



remodeling



lebih



cepat



daripada



tulang



skeletal,



perkembangannya berbeda dari tulang axial maupun appendikular meskipun memiliki perkembangan yang sama dengan tulang kraniofasial. Secara embriologi, tulang rahang berasal dari sel neural crest dari lapisan benih neuroektoderm, sedangkan tulang axial skeleton berasal dari sel sklerotom dan tulang skleton appendikular berasal dari sel mesoderm lempeng lateral (Bukka dkk, 2014). Tulang rahang mengalami osifikasi secara intramembranous juga endokondral.



Penyakit-penyakit



tertentu



seperti



cherubism,



sindrom



hiperparatiroid tumor rahang dan bisphosphonate related osteonecrosis terjadi hanya pada tulang rahang. Bone mineral density tulang trabekula mandibula lebih sedikit terpengaruh jika dibandingkan dengan tulang tibia pada kasus ovariektomi dan malnutrisi tikus percobaan. Selain itu, stem sel mesenkim atau sumsum tulang stroma yang berasal dari tulang rahang mempunyai potensi osteogenik lebih tinggi dibandingkan tulang lainnya. Tulang rahang dipengaruhi oleh perubahan akibat



24



usia sehingga penuaan akan mengakibatkan atropi pada tulang rahang (Matsura dkk, 2014).



5. Osteocalcin Osteocalcin merupakan 49 asam amino peptida yang disintesis khusus oleh osteoblas dan disimpan dalam matriks mineral tulang sebagai kristal hidroksiapatit. Osteocalcin tidak diekspresikan oleh sel non-osseus. Osteocalcin mempunyai level tertinggi pada osteosit, karena sel ini bertanggung jawab pada peningkatan maturasi mineral (Bukka dkk, 2014). Secara genetik osteocalcin berlokasi pada lengan pendek kromosom 12 (12p). Gen berada pada 3,9 kilobasa kromosom DNA disertai empat exon yang dipisahkan oleh tiga bagian besar rangkaian. Pre-pro-molekul terdiri dari 84 asam amino yang menghilangkan polipetida pada vitamin-K dependent post transkripsi, yang kemudian menjadi gamma-carboxylate pada tiga residu asam glutamat membentuk bone Gla-protein yang berikatan kuat dengan mineral hidroksiapatit matriks osteoid (Zanatta dkk, 2014). Osteocalcin merangsang sekresi insulin oleh pankreas, meningkatkan sensitifitas insulin pada sel adiposit serta membatasi pertumbuhan jaringan adiposa (Saladin, 2010). Osteocalcin merupakan osteoblas-spesific protein sebagian kecil ditemukan pada tulang dan peredaran darah, sehingga dapat menjadi marker metabolisme tulang (Lian dkk, 1989). Osteocalcin dikenal



25



sebagai marker bone formation juga marker biomekanis khusus (Zanatta dkk, 2014). Pada tikus percobaan gen osteocalcin ditemukan dalam tiga kluster yaitu OG1 dan OG2 yang terdapat pada tulang, sedangkan osteocalcin related gen (ORG) terdapat pada ginjal. Protein sejenis osteocalcin yang terdapat pada ginjal disebut nephrocalcin (Chenu dkk, 1994). a. Struktur Osteocalcin Osteocalcin (bone Gla-protein), protein vitamin-K dependent merupakan protein non kolagen tulang yang paling banyak terdiri dari 1-2% dari total matriks protein tulang. Dari sejumlah kecil 49-residu protein mengandung tiga kalsium berikatan dengan residu γ-carboxyglutamic acid yang berada pada matriks ekstraseluler terikat hidroksiapatit. Struktur osteocalcin polipeptida banyak ditemukan pada spesies vertebrata. Vitamin-K dependent mensintesis Gla residu pada tiga posisi 17, 21 dan 24 post translasi dan dua residu cysteine (cys 23 dan 29)



membentuk ikatan intramolekul disulfida yang tetap bertahan. Regio



rangkaian



Gla residu 17 dan 21 berikatan kuat dengan protein vitamin-K



dependent pada tulang dan kartilago membentuk matrix gla protein (MGP) (Lian dkk, 1989).



b. Sintesis Osteocalcin Osteocalcin disintesis oleh osteoblas (Gambar 4) dan disimpan dalam matriks mineral tulang. Berbagai penelitian menunjukkan biosintesis osteocalcin



26



diatur oleh hormon 1,25(OH)2D3. Sintesis merupakan cerminan dari peningkatan level selular mRNA osteocalcin. Hormon 1,25(OH)2D3 selain mempertahankan jumlah kalsium normal juga berperan dalam peningkatan resorpsi tulang, menstimulasi sintesis osteocalcin secara in vitro pada konsentrasi dimana terjadi penurunan sintesis kolagen dan level mRNA (Lian dkk, 1989).



Gambar 3 Sintesis osteocalcin dalam sel osteoblas. Gen BGLAP mengkoding osteocalcin terutama diekspresi pada osteoblas dan sedikit pada odontoblas. Post transkripsi yang distimulasi oleh vitamin D, peptida preproosteocalcin mengalami proteolisis sehingga meningkatkan prepeptida (23aa) dan peptida proosteocalcin (75aa). Peptida proosteocalcin mengalami karboksilasi pada Gla residu 17, 21 dan 24 sehingga terbentuk Gla residu tergantung Vitamin-K. Pada umumnya proses ini terjadi hanya pada sintesis pro-osteocalcin baru. Peptida Gla dan Glu pro-osteocalcin ditujukan pada proses proteolisis akhir yang memproduksi osteocalcin carboxylated dan undercarboxylated. Kedua bentuk tersebut dirilis oleh fromoosteoblas dalam proses tergantung kalsium. Gla residu terkarboksilasi terlibat dalam ikatan kalsium dan hidroksiapatit sehingga osteocalcin



27



menumpuk pada matriks tulang bermineral sedangkan undercarboxylated osteocalcin memiliki ikatan lemah dengan hidroksiapatit sehingga dirilis pada sirkulasi (Patti A dkk, 2013).



c. Hubungan Osteocalcin dengan Mineralisasi Matriks Tulang Penelitian pada embrio ayam dan tikus menemukan peningkatan osteocalcin pada jaringan tulang pada matriks ekstraseluler seiring dengan awal terjadinya mineralisasi jaringan tulang. Akumulasi osteocalcin pada tulang terjadi bersamaan dengan deposisi hidroksiapatit pada masa pertumbuhan skeletal. Perbandingan konstan osteocalcin dengan kalsium pada masa pertumbuhan tulang menunjukkan adanya hubungan sintesis osteocalcin dengan mineralisasi. Sintesis osteocalcin meningkat 200 kali lipat pada periode deposisi mineral matriks ekstraseluler meskipun pada hari ke-35 kultur osteoblas dengan mineralisasi, induksi mRNA osteocalcin menunjukkan penurunan sintesis osteocalcin selama deposisi mineral (Lian dkk, 1989). Osteocalcin berperan dalam mengikat kalsium dan hidroksiapatit pada tahap remodeling tulang dan akan disimpan dalam matriks ekstraseluler (Chenu dkk, 1994).



6. Ekstraksi Gigi dan Resorpsi Tulang Alveolar Ekstraksi gigi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan dalam kedokteran gigi (Weidjen dkk, 2009). Tindakan pencabutan gigi dilakukan karena berbagai alasan, meskipun perkembangan kedokteran gigi modern telah



28



mendukung untuk gigi tetap dipertahankan dalam rongga mulut, tetapi ekstraksi gigi harus dilakukan karena kondisi tertentu (Peterson dkk, 2003). a) Indikasi Ekstraksi Gigi Menurut Peterson dkk (1998), ada berbagai indikasi dilakukan tindakan pencabutan gigi antara lain adalah: 1.



Karies gigi parah yang tidak mungkin ditambal



2.



Nekrosis pulpa atau pulpitis irreversibel yang tidak mungkin dilakukan perawatan endodonti dimana saluran akar mengalami kalsifikasi dan tidak mungkin dilakukan perawatan dengan standar perawatan endodonti atau perawatan endodonti yang mengalami kegagalan



3.



Penyakit periodontal parah yang mengakibatkan mobiliti parah gigi akibat kehilangan tulang yang berlebihan



4.



Alasan ortodontik dimana biasanya gigi premolar pertama maupun premolar kedua dicabut untuk mendapatkan ruangan untuk alignment gigi-geligi



5.



Gigi malposisi yang menyebabkan trauma jaringan lunak dan tidak mungkin direposisi secara ortodonti. Misalnya gigi molar ketiga yang tumbuh bukoversi sehingga menyebabkan ulserasi jaringan lunak pada pipi



6.



Fraktur gigi atau fraktur akar menyebabkan nyeri yang tidak dapat diatasi meskipun telah dilakukan perawatan endodonti



29



7.



Pencabutan gigi preprostetik dimana dilakukan pencabutan gigi karena gigi tersebut mengganggu dalam penempatan full denture, partial denture maupun fixed partial denture



8.



Gigi impaksi yang tidak mungkin erupsi menuju oklusi fungsional akibat kekurangan ruang kecuali pada pasien dengan masalah medis atau usia di atas 35 tahun



9.



Supernumerary teeth yang menimbulkan gangguan erupsi gigi, resorpsi gigi serta pergeseran gigi-geligi



10. Gigi dengan lesi patologis yang tidak dapat dirawat dengan bedah endodonti 11. Terapi preradiasi pada perawatan tumor tertentu 12. Gigi fraktur atau luksasi parah pada garis fraktur tulang rahang dicabut untuk mencegah terjadinya infeksi 13. Alasan estetika dimana pasien memutuskan dilakukan pencabutan gigi misalnya pada kondisi gigi mengalami pewarnaan tetrasiklin, flourosis maupun malposisi protrusi 14. Alasan ekonomi disebabkan pasien tidak mampu membayar prosedur perawatan gigi.



b) Resorpsi Tulang Alveolar Perubahan linggir tulang alveolar dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah trauma termasuk trauma pencabutan gigi, perubahan patologis



30



kronis akibat periodontitis, kelainan perkembangan, edentulous dalam jangka lama, posisi gigi, kondisi tulang rahang atas atau rahang bawah (Kubilius dkk, 2012). Perubahan yang terjadi pada linggir alveolar dapat berupa resorpsi tulang alveolar. Derajad resorpsi linggir alveolar tergantung pada anatomi, fungsi, metabolisme serta riwayat pemakaian protesa. Ukuran alveolus mempengaruhi derajad penyembuhan tulang dimana tulang yang lebih lebar akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh. Tinggi dan lebar tulang alveolar selalu mengalami perubahan setelah pencabutan gigi, tetapi tidak pernah melampaui ketinggian tulang sebelum gigi dicabut. Setelah penyembuhan krista residual linggir alveolus bergeser ke arah lingual. Linggir residual akan berbentuk cekungan jika dilihat dari aspek lateral. Besarnya kerusakan dinding fasial akibat trauma atau penyakit akan menentukan besarnya perubahan kontur (Kubilius dkk, 2012). Perubahan yang terjadi setelah pencabutan gigi dapat berupa perubahan intraalveolar maupun extraalveolar. Perubahan intraalveolar Soket akan terisi oleh gumpalan darah dalam 24 jam merupakan perubahan intraalveolar yang segera terjadi setelah pencabutan gigi. Gumpalan darah kontraksi dan hancur membentuk jaringan granulasi dalam 2-3 hari. Biasanya jaringan granulasi akan menutupi linggir tulang alveolar setelah 4-5 hari dan epitel berproliferasi jika tepi jaringan lunak menutupi jaringan granulasi dan osteoid



31



akan terlihat pada dasar soket sebagai tulang yang belum terkalsifikasi dan membentuk anyaman pembuluh darah dan jaringan ikat setelah satu minggu. Tiga minggu kemudian alveolus akan terisi oleh jaringan ikat sementara osteoid mulai mengalami mineralisasi dan epitel akan menutupi permukaan soket. Setelah enam minggu terjadi pembentukan tulang trabekula. Deposisi tulang dalam soket akan terlihat jelas setelah dua bulan. Deposisi akan melambat 4-6 bulan kemudian tetapi akan masih berlanjut selama beberapa bulan kemudian (Kubilius dkk, 2012). Perubahan ekstraalveolar Berdasarkan anatomi, linggir tulang alveolar bukal (labial, fasial) lebih tipis daripada lingual/palatal. Soket alveolar dibatasi oleh tulang kortikal yang secara radiologis tampak sebagai lamina dura, yaitu lapisan tipis yang membentuk sebagian besar dinding soket alveolar. Lamina dura mempunyai ketebalan 1-2 mm membentuk linggir tulang alveolar. Lamina dura merupakan bagian dari periodonsium, sehingga jika gigi dicabut akan menyebabkan kerusakan peridonsium yang berdampak pada resorpsi tulang. Resorpsi tulang semakin parah jika dilakukan elevasi/pembukaan flap pada waktu pencabutan gigi (Kubilius dkk, 2012). Setelah elevasi flap mukoperiosteal dilakukan dan gigi dicabut, terjadi peningkatan jumlah osteoklas dalam satu minggu pada kedua dinding dalam dan luar alveolar. Osteoklas berada pada linggir alveolar yang mengalami pencabutan gigi dua minggu kemudian. Jaringan ikat muda dan bundel tulang digantikan oleh



32



tulang immatur secara intermittent. Osteoklas masih terdapat pada sisi bukal dan area linggir alveolar selama empat minggu kemudian, tulang immatur digantikan oleh tulang trabekula. Tulang kortikal menutupi soket alveolar selama delapan minggu. Dinding luar serta linggir alveolar secara berkelanjutan mengalami resorpsi. Perubahan linggir alveolar terjadi dalam 12 bulan dapat dilihat dengan berkurangnya linggir alveolar



50% dari 12 mm menjadi 5,9 mm setelah



pencabutan gigi dilakukan. Sementara itu, dinding alveolar kehilangan dimensi vertikal sebanyak 0,7-1,8 mm dimana sisi bukal lebih banyak daripada sisi lingual. Dua pertiga pengurangan linggir alveolar terjadi pada tiga bulan pertama (Kubilius dkk, 2012).



7. Bone substitute Menurut Pryor dkk (2009), bone substitute adalah bahan sintetis kombinasi inorganik atau organik yang secara biologis dapat memperbaiki defek tulang autogenous maupun allogenous. Bone substitute idealnya mempunyai kandungan yang biokompatibel dengan host serta tidak memicu reaksi inflamasi parah, mudah diaplikasikan pada defek tulang dalam waktu singkat, bentuk dan volume bahan dapat bertahan dalam waktu yang lama tanpa berubah bentuk. Bahan juga tidak penghantar panas, bioaktif, dapat disterilisasi dan dapat digunakan sewaktuwaktu. Pemakaian bone substitute dalam bidang bedah kraniofasial meningkat seiring dengan kemajuan material bone substitute dalam hal kemudahan



33



aplikasinya, keamanan, waktu operasi yang semakin singkat dan dapat digunakan secara klinis dalam berbagai kasus yang berhubungan dengan defek tulang (Pryor dkk, 2009) Berdasarkan asalnya (origin), bone substitute diklasifikasikan menjadi tiga grup yaitu allograft yang berasal dari manusia, xenograft yang berasal dari spesies lain seperti bovine serta alloplast yang diproduksi secara sintetis (Sanz dan Vignoletti, 2015). Berbagai bahan yang digunakan sebagai bone substitute antara lain adalah hydroxyapatite (HA), tricalcium phosphate (TCP), polymethylmethacrylate (PMMA), poruous polyethylene polymer serta bioactive glass (Pryor dkk, 2009). GIC sebagai bone substitute telah banyak digunakan dalam aplikasi bedah minor (Salata dkk, 1998) serta bidang biomedis (Hatton dkk, 2006).



8. Glass Ionomer Cement (GIC) a. Komposisi GIC Glass Ionomer Cement merupakan nama generik yang diberikan untuk bahan yang digunakan pada kedokteran gigi sebagai bahan tambal maupun luting cement. Penamaan diperoleh dari formula yang mengandung glass powder dan ionomer yang mengandung asam karboksilat (Anusavice, 2004). Secara umum, GIC terdiri dari larutan cairan asam poliakrilat sebagai ionomer dan asam fluoroaluminosilikat sebagai glass powder. Semen merupakan hasil reaksi asam basa semen ketika mengeras yang diawali oleh reaksi cairan ionomer polyacid



34



dengan kalsium yang dilepas oleh glass membentuk polysalt tidak terlarut (Nicholson dkk, 1991). b. Glass Ionomer Cement pada Kedokteran Gigi Menurut sejarahnya, bahan yang digunakan pada tubuh manusia khususnya rongga mulut harus mempunyai sifat stabil tetapi pasif dan tidak menyebabkan interaksi merugikan dengan jaringan sekitar. Material aktif GIC kemungkinan berasal dari fluorida yang dilepas. GIC telah banyak mengalami proses penyempurnaan dalam hal komposisi, sifat, strength agar dapat digunakan untuk berbagai keperluan di bidang kedokteran gigi maupun biomedis (Nicholson dkk, 1991). Dalam kedokteran gigi, GIC yang pertama sekali digunakan diperkenalkan oleh Davitson. Bahan yang digunakan mempunyai keuntungan dibanding bahan lainnya karena tidak memerlukan bonding untuk melekat ke kavitas dan juga mempunyai sifat biokompatibilitas, tetapi mempunyai kekurangan dalam hal strength dan toughness. Resin modified-glass ionomers (RMGIs) yang mengandung hydrophilic monomer dan polymer mirip Hidroxyethylmethacrylate (HEMA) diperkenalkan untuk mengatasi kekurangan GI konvensional. RMGIs dan HEMA mempunyai flexural strength yang lebih tinggi dibanding Glass Ionomer (GI) konvensional. Pada perkembangan selanjutnya bioactive glass (BAG) ditambahkan ke GI untuk meningkatkan bioaktif dan kemampuan regenerasi gigi serta remineralisasi dentin. BAG yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut antara lain mengandung



35



silikon, sodium, kalsium dan fosfor dengan perbandingan tertentu. Bahan ini diperkenalkan oleh Larry dan Hench pada tahun 1969 dengan komposisi kimia dan perbandingan berat Na2O 24,5%, SiO2 45%, P2O5 6%, CaO 24,5%. Secara klinis bahan tersebut awalnya digunakan untuk menggantikan jaringan tulang yang hilang pada manusia. Bahan tersebut berikatan dengan tulang melalui produksi hidroksiapatit disertai ikatan dengan kolagen tetapi meskipun berikatan tidak ditolak oleh tubuh manusia (Koroushi dan Keshani, 2014). Penambahan BAG pada RMGI mengurangi compressive strength tetapi jauh lebih kuat jika dibanding penambahan BAG pada GI konvensional (Marending, 2009). Wilson dan Kent mengembangkan pemakaian asam polyalkenoat pada alumino-silikat (ASPA) yang mengandung kalsium oksida, fluorida, alumina dan silika. Penambahan asam tartatik (ASPA II) berpengaruh pada waktu manipulasi bahan sampai mengeras juga mengendalikan deposisi alumina sehingga penggunaannya menjadi lebih baik secara klinis. Pada tahap pencampuran powder dengan asam polialkenoat, fluorida akan dirilis sehingga bisa diabsorbsi oleh struktur gigi. Adanya fluorida akan menurunkan melting point, menambah strength semen, menambah waktu manipulasi bahan serta memberikan efek kariostatik (Mickenautsch dkk, 2011). Menurut Purton dan Rodda (1988), semen tidak hanya melepas ion fluorida tetapi juga ion kalsium dan fosfat. Biokompatibilitas dan Bioaktivitas Selama puluhan tahun terakhir, berbagai bahan biomaterial telah digunakan dalam dunia kedokteran, bahan-bahan baru juga dikembangkan dan



36



diperkenalkan



untuk



digunakan



dalam



biomedis.



Sehubungan



dengan



kegunaannya, syarat krusial biomaterial adalah biokompatibel terhadap jaringan sekitarnya (Oliva dkk, 1996). Biokompatibilitas adalah kemampuan material untuk tidak menginduksi respon negatif oleh jaringan hidup. Komponen yang dilepas oleh material biokompatibel tidak toksik, tidak menginduksi reaksi inflamasi dan tidak ditolak oleh jaringan sekitar. Glass ionomer cement yang pertama sekali diperkenalkan oleh Wilson dan Kent (1971) terdiri dari reaksi asam basa dengan komponen dasarnya adalah kalsium aluminosilikat mengandung fluorida dan asam homopolimer atau kopolimer asam alkenoat (Wilson dan McLean, 1985). Seperti sudah diketahui bahwa substansi anorganik GIC dapat dilepas oleh semen yang telah mengalami pengerasan. Berbagai substansi yang penting adalah silika, kalsium fosfat, fluorida dan aluminium. Silika secara alami terdapat pada makanan dan minuman, sehingga tidak dihubungkan dengan masalah biokompatibilitas pada GIC. Kalsium fosfat merupakan komponen anorganik utama tulang dan gigi sehingga meskipun dilepas dari GIC tidak menyebabkan efek biologis pada tubuh. Fluorida yang terkandung dalam GIC dapat bertahan selama 18 bulan, tetapi telah terbukti bahwa fluorida mempunyai efek dalam pembentukan tulang. Aluminium merupakan



substansi



yang



masih



diragukan



dapat



mempengaruhi



biokompatibilitas GIC, karena dapat berbahaya pada konsentrasi tertentu. Pada pengujian biokompatibilitas fluorida dan aluminium, aluminium diduga berpengaruh terhadap biokompatibilitas GIC. Meskipun demikian, pada uji in vitro kultur osteoblas dengan akumulasi aluminium pada GIC, sel-sel



37



memperlihatkan aktivitas fisiologi normal tanpa adanya tanda-tanda toksik dengan scanning electron microscopy (Salata dkk, 1999). Menurut Brook dan Hatton (1998), GIC yang tidak mengalami pengerasan dapat melepas sejumlah polyacid dan ion ke area reseptor sehingga menyebabkan kerusakan jaringan lunak maupun jaringan syaraf. Menurut Kawahara dkk (1979), biokompatibilitas GIC dianggap cukup baik karena asam poliakrilat bersifat lemah dan tidak mampu berdifusi ke dalam dentin karena mempunyai berat molekul besar. Pada pemeriksaan histologi efek GIC terhadap pulpa, GIC menunjukkan gambaran reaksi minimal infiltrasi inflamatori dan menghilang setelah satu bulan. Percobaan implantasi GIC pada tulang terbukti bahwa GIC tidak dapat berikatan secara kimiawi, ikatannya merupakan ikatan kimia interlocking mekanis yang lemah. Syarat penting agar suatu material dapat berikatan secara kimia dengan tulang adalah dapat membentuk lapisan apatit pada permukaannya. Komposisi



GIC



tidak



hanya



bioinert



osteokonduktifitas dengan tulang yang



tetapi



menunjukkan



aktivitas



terjadi karena adanya pertukaran ion



dalam lingkungan biologis. GIC telah dikembangkan untuk digunakan sebagai semen tulang yang memiliki sifat osteokonduktif dengan respon klinis dan biologis yang baik (Suprastiwi, 2009).



Toksisitas Material melepas komponen tertentu dapat merusak atau mengiritasi selsel sekitar. Pada kejadian toksik bahan GIC yang telah dilaporkan, sifat toksik



38



GIC disebabkan oleh permukaan material yang kasar serta bahan toksik yang dilepaskannya (Hatton dkk, 2006). Ion logam yang terkandung dalam GIC diduga sebagai penyebab sitotoksik. Secara in vitro aluminium dan fluorida merupakan ion yang berpengaruh pada sel tulang. Pengaruhnya berupa stimulator maupun inhibitor tergantung pada konsentrasi dan kondisi kultur. Selain itu pH rendah semen ketika mengalami pengerasan dapat menyebabkan sitotoksik dan neurotoksik (Brook dan Hatton, 1998). pH rendah jaringan oleh asam poliakrilat menjadi kemungkinan penyebab nekrosis lokal jaringan pada tahap awal GIC diaplikasikan. Pelepasan partikel glass bebas dari semen yang tidak mengeras dan berkontak dengan jaringan lunak dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. Efek air pada pengerasan glass ionomer juga berpengaruh, tetapi partikel glass yang dilepas diduga sebagai penyebab reaksi inflamatori jaringan lunak sekitarnya, oleh karena itu perlu dihindari kelembaban yang berlebihan (Hatton dkk, 2006). Pada tahun 2003, Hatton dkk melakukan pengujian sitotoksisitas GIC konvensional dan GIC modifikasi resin, menyatakan bahwa GIC modifikasi resin seperti Compoglass, ProTec CEM, Fuji II LC dan GC Lining Cement toksik terhadap sel pulpa juga GIC konvensional seperti Fuji IX, GIC FX dan Fuji II SC meskipun



sifat toksisitas GIC konvensional lebih rendah dibanding GIC



modifikasi resin (Hatton dkk, 2006).



Bioresorbability Bioresorbability merupakan kemampuan material diresorbsi atau dirusak melalui proses hidrolisis atau enzymatik secara perlahan untuk kemudian



39



digantikan jaringan baru. Tingkat degradasi dan disintegrasi material dikendalikan sejalan dengan tingkat pertumbuhan jaringan sekitar. Material kaca dapat memperlihatkan adanya bioresorbability yang signifikan



jika



pori-porinya



mencapai



ukuran



tertentu.



Bioresorbability



didefinisikan sebagai resorbsi material secara in vivo oleh aksi osteoklas yang disebabkan pori yang saling terhubung satu sama lain, sehingga luas permukaan meningkat dan densitas partikel menjadi rendah. Meskipun sangat sulit mengendalikan resorbability melalui pengubahan komposisi, pengendalian tekstur pori secara signifikan akan mempengaruhi degradability. Biodegradasi terutama diatur oleh struktur kristal, ukuran butir, mikroporositas, geometri bagian leher, dan kristalinitas dari material (Suprastiwi, 2009). Setting Reaction Setting reaction GIC terjadi melalui mekanisme reaksi asam basa antara asam poliakrilat sebagai donor proton dan glas aluminosilikat sebagai resipien proton. Asam merusak jaringan glass dan melepas kation Al3+, Ca2+, Na+ dll. Kation terperangkap oleh polimer karboksilat dan menghasilkan jaringan polimer cross-link dan membentuk matriks polysalt keras (McCabe, 2008). Pada umumnya glass silikat tahan terhadap asam karena mempunyai karakter kovalen ikatan Si-O-SiO-O, akan tetapi menjadi peka terhadap asam akibat peningkatan ion berbahan silikat (Koroushi, 2012). Ada empat tahap reaksi setting bahan yaitu:



40



1. Dekomposisi powder dimana permukaan partikel glass menjadi asam, kation metalik dilepas ke dalam larutan dan terbentuk lapisan jel silikat pada permukaan partikel. 2. Gelasi, pada tahap ini terjadi peningkatan konsentrasi kation dan pH fase cair menyebabkan peningkatan ionisasi asam karboksilat. Inti struktur jel terbentuk melalui ikatan cross-link ion lemah dan pembentukan ikatan hidrogen. Reaksi kation metalik dengan grup karboksilat yang terus berlangsung menyebabkan peningkatan viskositasnya. 3. Pengerasan terjadi dengan pembentukan ikatan cross-link pada rantai polimer akibat pelepasan kation metalik. Material akhir terdiri dari partikel glass yang tidak bereaksi dikelilingi oleh matriks polysalt berikatan cross-link. 4. Maturasi terjadi setelah pengerasan dan peningkatan kekuatan ikatan intermolekular. Kekuatan diperoleh dalam 24 jam dan terus bertambah sampai mencapai young’s modulus dalam beberapa hari kemudian (Koroushi, 2012). Adhesi Glass Ionomer Glass ionomer (GI) dapat berikatan secara kimia dengan material seperti enamel dan dentin. Material tersebut mempunyai energi permukaan yang besar tetapi tidak dapat bereaksi dengan logam maupun porselen (Koroushi, 2012). Terdapat dua jenis ikatan adhesi yaitu: 1. Grup –COOH bebas membentuk ikatan hidrogen dengan substrat 2. Selama reaksi terus berlangsung, ikatan hidrogen dikonversi menjadi jembatan ion yang lebih kuat. Grup ion karboksil polimer asam polialkenoat masuk ke dalam struktur hidroksiapatit menggantikan fosfat, sehingga ikatan menjadi permanen karena seluruh grup adesif berikatan kovalen satu sama lain (Koroushi, 2012; McCabe, 2008).



41



c. Klasifikasi Glass Ionomer Menurut Nagaraja dan Kishore (2005), berdasarkan pemakaiannya GI dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu: Type I



: semen luting untuk sementasi crown, bridge dan bracket ortodonti



Type II a : semen restorasi estetik b : semen restorasi reinforced Type III : pelapik dan basis Berdasarkan generasinya GI terdiri dari dua generasi yaitu: a. Generasi pertama yaitu ASPA I (detrey, dentsply) mempunyai bahan-bahan yang tidak terlalu aktif, setting tidak cepat, sangat lembab, sensitif dan derajad translusensi yang rendah. ASPA II mengandung asam tartarik dengan kandungan material yang lebih baik. Bahan ini merupakan GI yang pertama sekali digunakan dalam praktek kedokteran gigi (Nagaraja, 2005). b. Generasi kedua mengandung water-hardening GIC. Pada kelompok ini, polyacid telah menyatu dengan powder sehingga semen mengeras dengan mencampur powder dengan air atau larutan cairan asam tartarik. Keuntungan bahan generasi kedua adalah tidak mengalami gelasi selama pengadukan,



viskositas



berkurang



dan



peningkatan



strength



akibat



penambahan berat molekul polyacid (Nagaraja, 2005).



d. Pemakaian Klinis 1. Fissure Sealent Berbasis GIC Penelitian menunjukkan bahwa gigi permanen yang dilakukan fissure sealent berbasis GIC akan bebas karies jika dibandingkan dengan gigi yang di



42



fissure sealent berbasis resin. Hal tersebut menunjukkan adanya efek protektif terhadap bakteri dan substratnya akibat efek pelepasan fluorida oleh GIC meskipun secara klinis fissure sealent sudah terkikis atau bahkan sudah hilang seluruhnya (Yengoval, 2009; Mickenautsch dkk, 2011). 2. Restorasi Gigi Glass ionomer cement merupakan bahan pilihan untuk atraumatic restorative treatment (ART) karena mempunyai efek mineralisasi pada jaringan keras gigi (Mickenautsch dkk, 2011). Selain digunakan untuk ART, GIC juga banyak digunakan sebagai bahan tambal pada kasus abrasi servikal, restorasi klas III dan V juga sebagai pelindung pulpa dimana masih ditemukan lapisan dentin residual yang dapat membentuk dentine bridge (Noort, 2002).



3. Glass Ionomer Cement dalam Bidang Endodonti Penggunaan GIC sebagai pengisi saluran



akar



pertama



sekali



diperkenalkan oleh Pitt Ford (1979) pada penelitian laboratoris, menggunakan teknik single cone gutta-percha kombinasi GIC. Saat ini berbagai produk telah diteliti dan dikembangkan untuk pemakaian GIC dalam bidang endodonti (De Bruyne dan De Moore, 2004). e. Pemakaian GIC dalam Bidang Medis Jonk dkk (1989) melakukan penelitian preklinis pertama sekali mengevaluasi



GIC



untuk



digunakan



dalam



bidang



Ortopedi



dengan



mengimplantasikan GIC pada tibia Baboon (Papio ursinus). Hasil penelitian mengarah pada digunakannya GIC secara terbatas pada bidang Ortopedi (Jonk dkk, 1990). GIC juga telah digunakan menambah dukungan stabilitas primer



43



dynamic hip screw pada kaput femur yang mengalami osteoporosis. GIC mempunyai kandungan biologis yang lebih baik dibanding semen akrilik meskipun GIC mempunyai kekurangan dalam hal strength. Pengaruh besar juga terjadi dalam bedah otologi, dimana didapatkan hasil yang baik dari sementasi implan protesa. GIC digunakan untuk rekonstruksi telinga tengah yakni rekonstruksi kanalis auditorius, mengurangi ukuran rongga mastoid dan membentuk ulang ossicular chain (Geyer dan Helms, 1990), juga sementasi implan koklea (Miller, 1993). Dalam bidang bedah mulut GIC sebagai bone substitute diusulkan digunakan untuk mencegah kehilangan tulang setelah pencabutan gigi dan sebagai filler pengisi rongga pasca enukleasi kista (Brook, 1994). Selain itu, GIC dapat digunakan sebagai sementasi untuk exposure gigi dalam perawatan ortodonti (Nordenvall, 1992). Laporan keberhasilan pemakaian GIC mengarah pada pemakaian yang lebih luas dalam bidang neuro-otologi dan bedah basis kranii untuk memperbaiki defek kranial serta fistula cerebrospinal fluid (Loescher dkk, 1994), meskipun pernah



ditemukan



hasil



yang



tidak



diharapkan.



Penelitian



selanjutnya



menyimpulkan bahwa GIC tidak boleh kontak langsung dengan jaringan lunak maupun jaringan syaraf (Renard dkk, 1994). f. Pengaruh GIC terhadap Pembentukan Tulang Banyak penelitian dilakukan melihat pengaruh ion fluorida yang dirilis dari GIC meskipun sebatas penggunaan dalam bidang kedokteran gigi. Dalam uji



44



bioaktif GIC, komposisi kandungan GIC menentukan tingkat toksisitas dan osteokonduksinya. Secara in vitro, GIC tanpa fluor memiliki toksisitas rendah, tetapi mempunyai osteokonduktifitas lemah (Brook dkk, 1991). Penelitian in vitro menunjukkan bahwa efek ion fluorida bersifat dose dependent. GIC dengan konsentrasi fluorida yang relatif tinggi akan berfungsi sebagai enzym inhibitor tetapi secara in vivo GIC merangsang proliferasi dan aktifitas ALP sel-sel pembentuk tulang (Brook dkk, 1991). Fluorida juga menambah densitas tulang trabekula sehingga fluorida dapat digunakan dalam perawatan osteoporosis mencegah resorpsi tulang (Soogard, 1995). Fluorida yang dirilis oleh GIC selama pembentukan tulang menyebabkan terjadinya mineralisasi bersama fluorapatit. Fluorapatit lebih tahan terhadap resorpsi daripada apatit, hal itu sesuai penelitian sebelumnya bahwa semakin banyak fluorida yang dilepas akan menyebabkan peningkatan pembentukan tulang (Johal dkk, 1995). Beberapa peneliti menyatakan bahwa ion fluorida menjadi komponen penentu utama bioaktif diantara berbagai GIC (Sasanaluckit dkk, 1993). Farley dkk (1983) melakukan penelitian in vitro pertama membuktikan bahwa fluorida berperan secara langsung dalam stimulasi proliferasi sel tulang unggas dengan dosis mitogenik optimal 10 µM, sama dengan kadar fluorida dalam darah manusia dengan kadar terendah 5-10 µM dan kadar tertinggi 30 µM. Fluorida pada fase mitogenik dan dosis mikromolar terbukti menstimulasi aktivitas osteoblas matur memproduksi ALP,



kolagen serta osteocalcin pada



lapisan tunggal kultur sel. Dosis mitogenik fluorida secara in vitro juga menstimulasi sementara uptake kalsium dan transport fosfat sodium-dependent



45



pada sel tulang, sehingga proliferasi dan aktivitas osteoblas meningkatkan pembentukan tulang (Lu dan Baylink, 1998). Penelitian in vitro oleh Lu dan Baylink (1998), terdapat ciri aksi mitogenik yang ditimbulkan oleh fluorida: 1. Dosis mitogenik fluorida sangat rendah yaitu dalam satuan mikromolar 2. Penelitian in vivo bahwa efek anabolik fluorida spesifik terhadap tulang skeletal, sesuai dengan penelitian in vitro yang menunjukkan aksi mitogenik fluorida juga spesifik terhadap sel tulang 3. Aksi mitogenik fluorida secara in vitro terjadi bersama growth factor seperti insulin-like growth factor I (IGF I), TGF-β 4. Aktivitas mitogenik fluorida sensitif terhadap perubahan konsentrasi fosfat dalam media 5. Aksi ion fluorida pada dasarnya terdapat pada sel osteoprogenitor dan osteoblas yang belum berdiferensiasi mensintesis sejumlah growth factor daripada menstimulasi proliferasi pada osteoblas yang telah berdiferensiasi 6. Aktivitas mitogenik fluorida melibatkan peningkatan seluruh tyrosine phosphorylation beberapa sel termasuk mitogenic activated protein kinase (MAPK) di dalam sel. Seperti halnya fluorida, aluminium juga berfungsi sebagai dose-dependent. Ion aluminium menstimulasi osteoblas pada konsentrasi rendah dalam pembentukan tulang baru (Quarles dkk, 1990). Hal tersebut didukung oleh pengamatan bahwa sel osteoblas yang dikultur menunjukkan aluminium tidak mengganggu pembentukan tulang baru maupun struktur sel (Blumenthal dan Posner, 1984). Secara in vivo ion aluminium yang dilepas berperan penting dalam biokompatibilitas meningkatkan jumlah osteoid yang terbentuk tetapi mengurangi mineralisasi dengan cara membuat gangguan pada tahap awal proses



46



mineralisasi (Blumenthal dan Posner, 1984; Quarles dkk, 1990). Aluminium juga berperan dalam menambah mobilisasi kalsium pada tulang dengan mekanisme cell-dependent serta memberi efek tidak langsung pada pembentukan tulang melalui hambatan sintesis kolagen (Goodman, 1986; Goodman dan O Connor, 1991). Menurut Lu dkk (1991), pada penelitian in vitro aktivitas mitogenik aluminium berbeda dari fluorida karena: 1. Tidak seperti fluorida, aktivitas mitogenik aluminium tidak terpengaruh oleh perubahan media kultur 2. Aktivitas mitogenik tidak spesifik terhadap sel tulang 3. Aksi osteogenik aluminium kemungkinan tergantung PTH. Kaneki dkk (2004), mengusulkan model mekanisme induksi bone nodule (BN) formation oleh Al3+ dan hubungannya dengan jalur sinyal PGE2 (Gambar 4).



Gambar 4 Jalur sinyal transduksi Al3+ menginduksi respon selular pada rat calvarial osteoblas. Ikatan PGE2 atau deoxy PGE1 ke EP2/EP4 mengarah pada aktivasi adenylyl cyclase (AC) memproduksi cAMP, yang menghambat pembentukan tulang melalui aktivasi cAMP tergantung protein kinase A (PKA). Ikatan PGE2 atau 17-phenil-w-trinor-PGE2 ke EP1 mengarah pada aktivasi PI-PLC memproduksi IP3 yang terikat pada reseptor permukaan retikulum endoplasmik sehingga melepas Ca2+. Ca2+



47



menyebabkan aktivasi bone formation melalui aktivasi CaM juga aktivasi phosphodiasterase (PDE) yang menekan sinyal EP2/EP4 dengan degradasi cAMP.



GIC melepas ion dengan komposisi SiO2-AlO3-CaF2-AlPO4-Na3AlF6 (Smith, 1990). Secara in vivo dan in vitro, silika memiliki efek menguntungkan pada tulang dan metabolisme kolagen. Silika juga meningkatkan proliferasi osteoblas, diferensiasi matriks ekstraselular, meningkatkan aktivitas enzim seperti ALP serta ekspresi gen (Wiens dkk, 2010). Menurut Feng dkk (2007), silika menghambat jaringan ikat invasi ke dalam defek tulang sehingga meningkatkan regenerasi tulang. Ion silikon yang dilepas dari silika dapat menstimuli sel osteoblas memproduksi tulang. Kim dkk (2012), melakukan penelitian efek silikon pada aktivitas osteoblas pada mineralisasi sel MC3T3-E1 menyatakan bahwa Si efektif meningkatkan aktivitas mineralisasi osteoblas dan ekspresi gen yang terlibat dalam sintesis matriks tulang, meskipun ditemukan hal-hal yang belum jelas mengenai dosis silikon yang mempunyai pengaruh terhadap osteoblas, cara pemberiannya melalui makanan/minuman



dibanding cara pengobatan medis. Selain itu, aksi Si



mencegah kehilangan tulang dan pembentukan tulang secara preklinis dan klinis belum jelas. Mekanisme molekuler aksi mitogenik fluorida pada sel tulang Pengaturan proliferasi sel adalah kompleks dan melibatkan jalur transduksi multipel sinyal tetapi telah terbukti bahwa peningkatan level tyrosine phosphorylation merupakan kunci sinyal protein.



48



Gambar 5 Regulasi seluler level tyrosyl protein phosphorylation diatur oleh dua reaksi enzym yang saling berlawanan yaitu protein tyrosine kinases (PTKs) dan phosphotyrosine phosphatases (PTPs) (Lu dan Baylink, 1998).



Gambar 5 menunjukkan bahwa level tyrosyl phophorylation seluler protein ditentukan oleh dua reaksi enzym yang saling berlawanan.



Tyrosyl



phosphorylation dikatalisis oleh PTK sedangkan tyrosyl dephosphorylation oleh PTP. Peningkatan level tyrosyl phosphorylation terjadi akibat stimulasi aktivitas PTK atau inhibisi aktivitas PTP atau keduanya. Mekanisme molekular aksi osteogenik fluorida dapat dilihat pada gambar 6.



49



Gambar 6 Dua mekanisme molekular aksi fluor dalam sel tulang (Lu dan Baylink, 1998)



Kedua model melibatkan aktivasi jalur sinyal transduksi ras-raf-MAPK melalui peningkatan level kunci sinyal protein tyrosine phophorylation melalui inhibisi aktivitas osteoblastik PTP tergantung fluor. Pada jalur ras-raf-MAPK ikatan growth factor seperti IGF-I pada reseptor permukaan sel mengaktivasi aktivitas



50



reseptor intrinsik PTK melalui autophosphorylation yang mencetuskan rangkaian reaksi fosforilasi sehingga terjadi tyrosyne phosphorylation sejumlah sel signaling protein. Dengan demikian, aktivasi reseptor growth factor merekrut tyrosine phosphorylated docking protein seperti Grb yang mengarahkan Sos pada membran sel menjadi perantara pertukaran Guanosine 5’ diphosphate (GDP) ke Guanosine 5’ triphosphate (GTP) pada Ras. Ikatan GTP mengaktivasi Ras mengakibatkan aktivasi Raf tyrosine phosphorylation. Inaktivasi Ras diperantarai oleh rasGAP menghidrolisis ikatan Ras GTP menjadi GDP. Tyrosine phosphorylation rasGAP mengakibatkan disosiasi Ras dari rasGAP, sehingga mencegah hidrolisis GTP dan mempertahankan Ras tetap teraktivasi dan menyebabkan aktivasi Raf. Raf memfosfosrilasi serta mengaktivasi MAPK/ERK (extracellular signal regulated kinase) protein kinase (MEK) yang memfosforilasi MAPK pada kedua residu threonine dan tyrosine dan teraktivasi. Aktivasi MAPK migrasi ke nukleus, fosforilasi dan aktivasi sejumlah faktor transkripsi dan aksi proto-onkogen, secara bersamaan meningkatkan ekspresi gen, sintesis DNA, proliferasi serta diferensiasi sel. Jalur mitogenik Ras-Raf-MAPK diatur oleh empat regulator yaitu reseptor growth factor, rasGAP, Raf dan MAPK. Aktivitas masing-masing regulator diatur oleh tyrosine phosphorylation. Peningkatan tyrosine



phosphorylation



mengakibatkan



aktivasi



jalur,



proliferasi



serta



diferensiasi sel. Fluorida yang masuk ke dalam sel menginhibisi aktivitas satu atau lebih PTP sensitif fluorida mengakibatkan penurunan defosforilasi satu atau beberapa PTP signaling protein. Akibatnya level tyrosine phosphorylation



51



meningkat, yang berdampak pada potensiasi proliferasi dan aktivitas sel yang diawali oleh faktor pertumbuhan sel tulang. 9. Real Time Polymerase Chain Reaction Sel merupakan unit struktural dan fungsional terkecil yang mampu melakukan proses-proses kehidupan. Ukuran sel manusia tipikal sangat kecil dengan diameter 10-20µm. Trilyunan sel di dalam tubuh manusia dikelompokkan menjadi 200 jenis sel berbeda berdasarkan spesifikasinya dalam struktur dan fungsinya. Sel tipikal sebenarnya tidak ada, karena setiap sel mempunyai beragam spesialisasi struktur dan fungsi, namun berbagai sel memiliki banyak kesamaan. Secara umum sel memiliki tiga subdivisi utama yaitu membran sel, nukleus yang mengandung bahan genetik sel serta sitoplasma (Sherwood, 2012). Membran sel merupakan struktur membranosa yang sangat tipis yang membungkus setiap sel. Sawar berminyak ini memisahkan isi sel dari lingkungan sekitar. Membran plasma menjaga intrasel tetap berada di dalam sel dan tidak bercampur dengan cairan ekstra sel. Selaput ini juga berperan dalam mengontrol pergerakan molekul antara cairan intrasel dengan ekstrasel (Sherwood, 2012). Sitoplasma merupakan bagian interior sel yang ditempati oleh nukleus. Sitoplasma mempunyai struktur jelas, teratur, terbungkus membran yang disebut organel yang tersebar dalam sitosol yaitu cairan kompleks mirip gel. Hampir semua sel mengandung enam jenis utama organel yaitu retikulum endoplasma, kompleks golgi, lisosom, peroksisom, mitokondria dan vault. Masing-masing organel mengandung satu set bahan kimia untuk melaksanakan fungsi tertentu sel.



52



Bagian sitoplasma yang tidak ditempati organel terdiri dari sitosol (Sherwood, 2012). Nukleus merupakan salah satu bagian interior sel selain sitoplasma. Nukleus merupakan komponen tunggal sel yang paling besar, berupa struktur bulat atau oval yang berada di tengah sel. Struktur ini dilapisi oleh membran lapis ganda yaitu selubung inti yang memisahkan nukleus dari bagian sel lainnya. Selubung inti memiliki banyak pori inti yang memungkinkan lalulintas antara nukleus dan sitoplasma (Sherwood, 2012) Nukleus berisi bahan genetik sel, asam deoksiribonukleat (DNA), yang memiliki fungsi penting dalam mengarahkan sintesis protein juga berperan sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel. DNA menyediakan kode/sandi atau instruksi untuk mengarahkan sintesis protein struktural dan enzimatik tertentu di dalam sel. Dengan menentukan jenis dan jumlah berbagai enzim dan protein lain yang diproduksi, nukleus secara tak langsung mengatur sebagian besar aktivitas sel dan berfungsi sebagai pusat kontrol sel (Sherwood, 2011). Tiga jenis asam ribonukleat (RNA) berperan dalam pembentukan protein yaitu kode genetik DNA untuk protein tertentu diterjemahkan ke dalam molekul RNA perantara (messenger RNA, mRNA) yang keluar dari nukleus melalui pori inti. mRNA menyalurkan pesan tersandi ke ribosom di dalam sitoplasma yang membaca kode mRNA dan menerjemahkannya menjadi rangkaian asam amino untuk membentuk protein yang telah ditentukan. RNA ribosom (rRNA) adalah komponen esensial ribosom. RNA transfer (tRNA) memindahkan asam-asam



53



amino yang sesuai di dalam sitoplasma ke tempat yang telah ditentukan pada protein yang sedang dibentuk tersebut (Sherwood, 2011). Selain memberikan sandi untuk sintesis protein, DNA juga berfungsi sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel untuk memastikan bahwa sel menghasilkan sel lain yang sama dengan dirinya sehingga tercipta turunan sel yang identik di dalam tubuh (Sherwood, 2011). Sel-sel pada setiap organisme mengatur ekspresi gen dengan turnover transkripsi gen yang disebut messenger RNA (mRNA). Banyaknya gen yang diekspresikan dapat dihitung berdasarkan banyaknya kopi transkripsi mRNA yang terdapat pada sampel. Amplifikasi transkripsi gen diperlukan untuk menghitung dan mendeteksi jumlah pasti ekspresi gen dari sejumlah kecil RNA. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode yang umum digunakan untuk amplifikasi DNA serta RNA. Proses PCR didahului reverse transcriptase molekul mRNA sehingga diperoleh molekul complementary DNA (cDNA) untuk amplifikasi RNA. Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Proses PCR untuk mengamplifikasi RNA dikenal dengan Reverse TranscriptasePolymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014). PCR adalah teknik biologi molekuler untuk mengamplifikasi sekuen DNA spesifik menjadi ribuan sampai jutaan kopi sekuen DNA. Teknik ini menggunakan metode enzimatis yang diperantarai primer. Prinsip dasar PCR adalah sekuen DNA spesifik diamplifikasi menjadi dua kopi selanjutnya menjadi empat kopi dan seterusnya. Pelipat gandaan ini membutuhkan enzim spesifik yang dikenal dengan



54



polimerase. Polimerase adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal, membentuk untaian molekul DNA yang panjang. Enzim ini membutuhkan primer serta DNA cetakan seperti nukleotida yang terdiri dari empat basa yaitu Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C) dan Guanine (G) (Gibbs 1990). Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan yang berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian suhu diturunkan sehingga primer akan menempel (annealing) pada DNA cetakan yang berantai tunggal. Setelah proses annealing, suhu dinaikkan kembali sehingga enzim polimerase melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi polimerase berikutnya (Yuwono 2006). Proses dalam PCR dibagi menjadi tiga langkah, yaitu denaturasi DNA pada suhu tinggi, penempelan (annealing) primer pada DNA target, serta sintesis DNA (extension/elongation). Satu kali putaran denaturasi, annealing, dan elongation disebut dengan siklus (cycle). Reaksi amplifikasi fragmen DNA dengan PCR terjadi secara berulang dalam 30-45 siklus. Denaturasi DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal dilakukan pada suhu 95˚C. Suhu kemudian diturunkan 10 saat proses annealing menjadi sekitar 40-60oC. Optimasi suhu pada tahap annealing sangat penting karena jika suhu terlalu rendah, primer akan menempel pada daerah yang tidak spesifik (non target), tetapi jika suhu yang dipakai terlalu tinggi, primer tidak dapat menempel pada DNA target (Walker dan Rapley, 2009).



55



Kedua prosedur real time dan deteksi end point dimulai dengan isolasi RNA atau DNA dilanjutkan dengan karakterisasi terhadap kemurniannya. Tahap ini diawali transkripsi balik (reverse transcriptase) sampel RNA murni, tetapi tahap ini tidak dilakukan apabila sampel berupa DNA murni. Jumlah amplifikasi fragmen DNA pada PCR konvensional divisualisasi menggunakan agar elektroforesis. Penandaan fragmen DNA dengan fluorescent dye dan intensitas pita DNA dapat diukur dengan menggunakan mesin digital densitometri, berbeda dengan real time PCR, jumlah DNA diukur di setiap siklus proses amplifikasi PCR terutama pada fase eksponensial. Deteksi akumulasi amplifikasi DNA pada PCR real time menggunakan probe DNA fluoresen. Analisis hasil data kedua prosedur PCR konvensional maupun real time memerlukan normalisasi data terhadap acuan yang diketahui untuk menentukan kualitas awal ekspresi target gen (Fraga dkk, 2008). Quantitative real-time polymerase chain reaction (qPCR) merupakan teknik yang sensitif dan sempurna untuk mengkuantifikasi amplifikasi mRNA. PCR merupakan reaksi termal berulang tergantung enzim polymerase sehingga mampu menghasilkan kopi dari cetakan diantara dua rangkaian oligodeoxynucleotide (primer)(Raso dan Biassoni, 2014). Tahapan-tahapan umum yang dilakukan selama pengujian PCR real time dimulai dari isolasi RNA atau DNA sampai analisis data. Prinsip kerja PCR real time adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter fluoresen. Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya amplifikasi DNA PCR dalam reaksi. Reaksi selama fase eksponensial dapat dipantau dengan mencatat jumlah



56



emisi fluoresen pada setiap siklus. Peningkatan hasil amplifikasi PCR pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi target gen. Semakin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi (Pardal, 2010). Kuantitas rangkaian DNA target dicapai dengan menentukan jumlah siklus amplifikasi. Jumlah siklus amplifikasi diperlukan untuk menghasilkan produk PCR berdasarkan fluoresensi di awal fase eksponensial PCR dan melewati garis ambang fluoresensi/siklus threshold (Ct). Jumlah siklus yang diperlukan untuk mencapai ambang batas disebut Ct. Nilai Ct PCR real time sangat berkorelasi dengan kuantitas urutan DNA target (Giglio dkk, 2003). Apabila kuantitas urutan DNA target tinggi di awal reaksi, nilai Ct akan lebih cepat diketahui. Nilai Ct lebih sering ditemukan pada fase eksponensial setiap siklus amplifikasi PCR dan menjadi alasan utama nilai Ct lebih mampu mengukur jumlah amplifikasi DNA target daripada awal reaksi (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014). Terdapat empat fase reaksi PCR yaitu Baseline, Exponential, Linear dan Plateau (Gambar 7).



57



Gambar 7



Kurva fase amplifikasi PCR. Kurva amplifikasi PCR menggambarkan akumulasi emisi fluoresen pada setiap siklus. Kurva dibagi empat bagian yaitu fase linear ground, fase early exponential, fase log-linear dan fase plateau. Data pada kurva penting untuk kalkulasi sinyal, Ct dan efisiensi amplifikasi (Wong dan Medrano, 2005)



Baseline merupakan fase yang sangat singkat dimana amplifikasi belum dapat terdeteksi. Selama fase kedua, amplifikasi reaksi kinetik menentukan dalam penggandaan amplikon. Fase linear ditandai oleh pelambatan amplifikasi dan produk yang tidak bertahan lama mengganda pada masing-masing siklus. Pada fase plateau reaksi berakhir, akumulasi amplikon tidak ditemukan meskipun jumlah siklus meningkat dan produk PCR yang tidak berguna mengalami degradasi. PCR tradisional mendeteksi produk reaksi pada tahap akhir, sehingga disebut sebagai end-point PCR. Masing-masing reaksi seharusnya dapat mencapai fase plateau pada titik yang berbeda yang ditandai dengan kinetik yang berbeda sehingga tampilannya juga berbeda, oleh karena itu end-point PCR tidak dapat digunakan untuk tujuan kuantifikasi. Berbeda dengan end-point PCR, qPCR memungkinkan deteksi dini produk yang diamplifikasi pada siklus tertentu menggunakan hubungan kuantitatif rangkaian target pada awal reaksi. Deteksi real-time sebaiknya pada fase eksponensial dimana sinyal fluoresens proporsional dengan konsentrasi DNA (Wang dkk, 2010). Selama beberapa tahun terakhir, pengujian PCR real time yang berdasarkan fluoresensi menjadi suatu metode pengujian yang sering digunakan untuk deteksi RNA, DNA dan cDNA. Teknik ini sangat sensitif yang memungkinkan amplifikasi terjadi bersamaan dengan kuantitas sekuens asam



58



nukleat. Disamping memiliki sensitivitas lebih tinggi, kelebihan pengujian PCR real time jika dibandingkan dengan PCR konvensional adalah lebih dinamis, resiko kontaminasi silang lebih sedikit, kemampuan aplikasi penggunaannya untuk pengujian lebih banyak (Black dkk, 2002). Polymerase Chain Reaction (PCR) real time tepat untuk berbagai aplikasi seperti analisis ekspresi gen, penentuan jumlah virus, deteksi organisme yang mengalami mutasi genetik, diskriminasi alel dan genotipe single nucleotide polymorphisms (SNP). Penggunaan probe yang spesifik membantu peningkatan spesifisitas pada pengujian PCR real time jika dibandingkan dengan pengujian PCR konvensional (Chantratita dkk, 2008). Namun demikian, PCR real time juga mempunyai kelemahan yaitu memerlukan peralatan dan reagen yang mahal serta pemahaman teknik yang benar untuk hasil yang akurat. Menurut Orlando dkk (1998), qPCR memiliki beberapa keuntungan yaitu qPCR menggunakan molekul reporter fluoresens dalam memonitor amplifikasi produk setiap siklus PCR dimana kombinasi amplifikasi serta deteksi DNA dapat terjadi dalam satu tahap sehingga tidak memerlukan processing post PCR, range dynamic-nya lebih lebar sehingga analisis berbeda pada masing-masing target, terdapat sedikit variasi inter-assay yang menimbulkan hasil yang reliable dan reproducible. qPCR berbasis fluoresens mempunyai kemampuan kuantitatif oleh karena itu qPCR lebih condong ke arah penelitian kuantitatif daripada kualitatif.



B. Landasan Teori Glass ionomer cement banyak digunakan dalam kedokteran gigi sebagai bahan tambal, semen luting maupun bahan pengisi saluran akar. GIC mempunyai



59



sifat biokompatibilitas dan bioaktif terhadap jaringan gigi sehingga digunakan memperbaiki kehilangan struktur tulang sebagai bone substitute dalam bidang Ortopedi dan bedah rekonstruksi serta sementasi implan dalam bidang Otolaryngology. Kandungan GIC terdiri dari kalsium, sodium, aluminium, fluorida, fosfat, silikon dan oksigen. Silika, aluminium dan fluorida secara sendiri atau bersama membentuk kompleks fluoroaluminat berpengaruh terhadap proliferasi osteoblas dalam pembentukan tulang baru, meskipun pengaruh fluorida paling banyak diteliti di antara substansi GIC lainnya. Mekanisme molekuler aksi osteogenik fluorida melibatkan jalur transduksi sinyal MAPK melalui inhibisi osteoblastic fluoride sensitive PTP serta aktivasi PTK. Level Tyrosyl phosphorylation merupakan kunci jalur sinyal transduksi mitogenik ditentukan oleh reaksi dua enzim yang saling berlawanan. PTK mengkatalis tyrosyl phosphorylation sedangkan PTP mengantarai tyrosil dephosphorylation. Peningkatan level tyrosil phosphorylation protein selular terjadi akibat stimulasi aktivitas PTK atau inhibisi aktivitas PTP maupun keduanya. Tyrosyl phosphorylation mengatur keempat regulator reseptor growth factor, rasGAP, Raf dan MAPK pada jalur mitogenik Ras-Raf-MAPK. Peningkatan tyrosil phosphorylation menyebabkan peningkatan potensiasi proliferasi dan aktivasi osteoblas. Setiap sel terdiri dari nukleus yang berisi bahan genetik, DNA yang berperan dalam sintesis protein serta cetak biru genetik selama replikasi sel. Gen BGLAP berperan mengkoding osteocalcin di dalam osteoblas. Secara genetik osteocalcin berlokasi pada lengan pendek kromosom 12 (12p). Gen berada pada 3,9 kilobasa kromosom DNA dengan empat exon yang terpisah oleh tiga bagian



60



besar rangkaian. Setelah transkripsi yang distimulasi oleh vitamin D, peptida preproosteocalcin



mengalami



proteolisis sehingga meningkatkan prepeptida



(23aa) dan peptida proosteocalcin (75aa). Peptida proosteocalcin dikarboksilasi pada Gla residu 17, 21 dan 24 sehingga terbentuk Gla residu tergantung VitaminK. Peptida Gla dan Glu pro-osteocalcin menuju proses proteolisis akhir memproduksi osteocalcin carboxylated dan undercarboxylated. Gla residu carboxylated terikat kalsium dan hidroksiapatit sehingga osteocalcin terdeposit pada matriks tulang bermineral. Berbagai metode dilakukan untuk mengamati proses penyembuhan tulang salah satunya menggunakan metode PCR. Proses PCR dibagi menjadi tiga langkah yaitu denaturasi DNA untai ganda menjadi untai tunggal pada suhu 95 0C, suhu diturunkan menjadi 40-600C sehingga terjadi penempelan (annealing) primer pada DNA target serta sintesis DNA (extension/elongation). Optimasi suhu pada tahap annealing penting karena jika suhu terlalu rendah, primer akan menempel pada daerah yang tidak spesifik (non target) tetapi jika suhu terlalu tinggi primer tidak menempel pada DNA target. Prinsip kerja real time PCR adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter fluoresen yang meningkat seiring dengan pertambahan amplifikasi DNA dalam reaksi PCR. Reaksi pada fase eksponensial dilihat dengan menghitung jumlah emisi fluoresen pada setiap siklus.



C. Hipotesis



61



Berdasarkan landasan teori di atas maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa ekspresi Osteocalcin lebih banyak pada soket ekstraksi gigi yang diaplikasi GIC.



62



BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian klinis intervensional prospektif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poli Bedah Mulut RSGM Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada untuk pemilihan subyek penelitian, pencabutan gigi, aplikasi GIC dan pengambilan sampel serta Laboratorium Biologi Molekular Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk pemeriksaan ekspresi mRNA Osteocalcin dengan teknik qPCR. C. Subyek Penelitian Jumlah pasien yang menjadi subyek penelitian ini adalah 4 orang tanpa membedakan jenis kelamin. Menurut Dahlan (2009), besar sampel penelitian dapat dihitung dengan rumus: N = 2 [ (Zα+Zβ) S ]2 x1-x2 = 2 [(1,64+0,84) 6 ]2 10,3 = 4 Keterangan : Zα : kesalahan tipe 1 sebesar 5% =1,645 Zβ : kesalahan tipe 2 sebesar 20% = 0,842 (x1-x2) : selisih minimal yang dianggap bermakna =10,3 S : standar deviasi = 6 (Grieve dkk., 1994)



Subyek penelitian adalah pasien yang datang ke Poli Bedah Mulut RSGM Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada untuk dicabut giginya sesuai kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.



63



1. 2. 3. 4. 5.



Kriteria inklusi: Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent Pasien laki-laki atau perempuan usia 20-40 tahun Kondisi kesehatan baik dan tidak ada penyakit sistemik Memiliki 2 gigi yang akan dicabut rahang atas atau rahang bawah Indikasi pencabutan seperti fraktur akar atau mahkota yang dapat dicabut dengan pencabutan biasa, karies yang tidak dapat direstorasi dengan diagnosa



6. 7.



pulpitis atau nekrosis pulpa Tidak sedang menggunakan obat anti inflamasi selama penelitian Tidak ada tanda-tanda infeksi akut atau kronis secara klinis dan radiografis Kriteria Eksklusi:



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Pasien mengundurkan diri selama penelitian berlangsung Pasien tidak kembali kontrol Keterbelakangan mental, masalah bahasa, menderita gangguan psikologis Hamil dan menyusui Perokok berat (>10 batang/hari) Sebagian besar tulang bukal/palatal rusak ketika cabut gigi Bleeding pasca ekstraksi yang tidak/sulit dihentikan



D. Variabel Penelitian 1. Variabel Pengaruh : Glass ionomer cement 2. Variabel Terpengaruh : Ekspresi mRNA Osteocalcin dari soket ekstraksi gigi 3. Variabel Terkendali : Oral Hygiene baik, satu sendok powder GIC yang dicampur dengan liquid sesuai aturan pemakaian, pengadukan material dilakukan orang yang sama, menggunakan instrumen yang sejenis untuk pengambilan sampel, posisi gigi pada mandibula atau maksila. 4. Variabel Tak Terkendali: Jenis kelamin, respon imun subyek, volume soket gigi, lokasi gigi



E. Definisi Operasional



64



1. Glass ionomer cement adalah semen glass poly alkenoat yang dipakai secara luas sebagai bahan tumpatan dalam konservasi gigi. Nama dagang yang digunakan dalam penelitian adalah Ketac Molar produksi 3M. 2. Spesimen yaitu jaringan lunak dan isi soket adalah darah, jaringan epitel, transudat/eksudat, jaringan pembentuk tulang yang terdapat di dalam soket 3.



pasca ekstraksi gigi yang diambil menggunakan medical brush citology. Ekspresi Osteocalcin adalah rasio mRNA Osteocalcin perlakuan dibanding kontrol yang dihitung menggunakan rumus r =2-∆∆Ct menurut Livac dan Smittgen (2001). F. Pengambilan Sampel



1. Kelompok A Pengambilan jaringan lunak sekitar soket dan isi soket gigi pasien pasca ekstraksi gigi hari ke-0, 3 dan 14. 2. Kelompok B Pengambilan jaringan lunak sekitar soket dan isi soket gigi pasien pasca aplikasi GIC hari ke-0, 3 dan 14.



G. Etik Penelitian Penelitian dilakukan pada pasien yang datang ke RSGM Prof. Soedomo FKG UGM untuk dicabut giginya dan mendapatkan surat lolos etik dari komisi etik penelitian (Ethical Clearance) Fakultas Kedokteran Gigi FKG UGM.



1. 2.



H. Alat dan Bahan: Bahan Penelitian Glass ionomer cement (Ketac Molar-3M) Jaringan lunak sekitar soket dan isi soket



3.



RNA later solution 0.1 N NaOH



65



4.



0.5% sodium hypochlorite



5.



0.1% Tween 20



6.



Templat kontrol (10 nM)



7.



KAPA SYBR FAST Master Mix Universal 2X qPCR Master Mix (2 x 5 ml =10 ml)



8.



Acuan yang diencerkan kira-kira 10 nM



9.



QIAGEN EB 250 ml elution buffer



10. qPCR primer



Alat Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.



Mesin Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR) Rotor strator homogenizer Qiagen RNeasy kit Kuret instrumen Tang pencabutan



6.



Benchtop centrifuge dengan swing out rotor



7.



Benchtop microcentrifuge



8.



Vortexer



9.



Pipet (P2, P10, P200, P1000)



10. Medical brush citology



I. Jalannya Penelitian



66



Semua pasien diinformasikan tentang proses penelitian klinis dan diminta menandatangani informed consent sebelum dilakukan penelitian. Semua pasien menjalani foto Orthopantomograf (OPG) dan mendapatkan perawatan periodontal satu minggu sebelum penelitian. Pencabutan dua elemen gigi dilakukan bersamaan setelah sebelumnya diinjeksikan anestesi lokal (lidocain 2% dengan adrenaline 1:100.000), gigi dicabut dengan teknik atraumatik tanpa pembukaan flap. Jaringan lunak sisa dibuang setelah gigi dicabut dan kuretase soket, diirigasi dengan larutan NaCl 0,9%. Soket B dikeringkan dengan kasa dan diaplikasi GIC berupa pasta campuran powder dan liquid sesuai petunjuk pabrikan sedangkan soket A dibiarkan tanpa aplikasi GIC. Kedua soket dibiarkan terbuka tanpa dilakukan penjahitan. Jaringan dari masing-masing soket diambil menggunakan medical brush citology dan dimasukkan ke dalam RNAlater RNA stabilization. Kontrol perdarahan dilakukan menggunakan tampon. Semua pasien diberikan antibiotik Amoxicillin 500 mg dan analgetik Parasetamol 500 mg tablet untuk 5 hari pemakaian. Hari ke-3 dan 14 semua soket dibersihkan menggunakan larutan saline, kemudian dilakukan injeksi anestesi lokal (lidocain 2% dengan adrenaline 1:100.000). Soket diisolasi menggunakan tampon dan dilakukan pengambilan spesimen menggunakan medical brush citology kemudian dimasukkan dalam RNAlater RNA stabilization solution. Analisis Laboratoris Parameter molekular dievaluasi hari ke-0, 3 dan 14 pasca ekstraksi gigi. Semua sampel ditempatkan dalam tabung ependorf yang berisi RNAlater RNA stabilization solution untuk mencegah degradasi RNA. Jaringan dari dalam soket B yang mengandung GIC maupun soket A tanpa GIC dihomogenisasi mekanis



67



menggunakan rotor stator homogenizer. Spesimen yang telah homogen dimasukkan ke dalam Qiagen RNeasy kit untuk diekstraksi kemudian dilakukan pemurnian untuk sintesis cDNA dengan primer Osteocalcin yang mempunyai sequence (5'3') adalah: forward : GTGCAGCCTTTGTGTCCAAG reverse : GTCAGCCAACTCGTCACAGT sebelum dilakukan amplifikasi dengan teknik qPCR. Rasio ekspresi mRNA Osteocalcin dihitung menurut rumus ∆∆Ct oleh Livak dan Smithttgen. Cara kerja: A. Prosedur pemurnian total RNA jaringan a. Jaringan tidak lebih dari 30 mg diambil. RNAlater stabilized tissue dilepas menggunakan penjepit. Jika jaringan sebelumnya telah disimpan dalam reagen RNAlater suhu -200C, kristal yang terbentuk dan menempel pada jaringan harus dibuang b. Jika menggunakan seluruh jaringan, jaringan ditampung pada wadah untuk disrupsi dan homogenisasi. Jika menggunakan sebagian jaringan, jaringan ditimbang kemudian ditampung pada wadah untuk didisrupsi dan dihomogenisasi. RNA yang diambil dari jaringan tidak perlu dilindungi sampai jaringan disimpan dalam reagen RNAlater RNA stabilisasi. Jika ada jaringan fresh sisa dapat disimpan dalam reagen RNAlater RNA stabilisasi. c. Disrupsi dan homogenisasi jaringan dalam Buffer RLT (Guanidine thiocyanate).



Sebelum



digunakan,



pastikan



bahwa



β-ME



(2-



mercaptoethanol) sudah ditambahkan ke dalam larutan buffer. Setelah jaringan disimpan dalam reagen RNA later RNA stabilisasi, jaringan akan sedikit mengeras, tetapi dengan cara biasa homogenisasi dapat dilakukan.



68



Disrupsi dan homogenisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan menggunakan 600 μl Buffer RLT. Jaringan didisrupsi dan homogenisasi menggunakan rotor strator homogenizer sampai terlihat homogen seluruhnya. d. Sentrifugasi lysate selama 3 menit dengan kecepatan tinggi. Supernatan dibuang dengan hati-hati menggunakan pipet, kemudian dipindahkan ke dalam tube microcentrifuge. Selanjutnya digunakan hanya supernatan (lysate). e. Penambahan 1 volume 70% etanol untuk menjernihkan lysate dan diaduk segera dengan pipet dan bukan sentrifugasi. Volume lysate dapat berkurang 350-600 μl selama homogenisasi dan sentrifugasi. f. Pengambilan sampel sebanyak 700 μl, termasuk presipitat yang mungkin terbentuk ke dalam RNeasy spin column, ditempatkan dalam 2ml collection tube. Penutup ditutup dengan perlahan, dan sentrifugasi selama 15 detik pada 8000 x g (10.000 rpm) g. Ditambahkan 700 μl buffer RW1 (guanidine salt) ke dalam RNeasy spin column kemudian tutup dengan perlahan dan sentrifugasi selama 15 detik pada 8000 x g (10.000 rpm) untuk membersihkan membran spin column h. Ditambahkan 500 μl buffer RPE ke dalam RNeasy spin column, tutup dengan perlahan dan sentrifugasi selama 15 detik pada 8000 x g (10.000 rpm) untuk membersihkan membran spin column. Etanol ditambahkan pada buffer RPE sebelum digunakan i. Ditambahkan 500 μl buffer RPE ke dalam RNeasy spin column dan tutup dengan perlahan lalu sentrifugasi selama 2 menit pada 8000 x g (10.000 rpm) untuk membersihkan membran spin column. Sentrifugasi yang lama mengeringkan membran spin column, sehingga tidak terdapat etanol dalam RNA



69



j. RNeasy spin column ditempatkan dalam 1.5 ml collection tube lalu ditambahkan 30-50 μl RNase-bebas air secara langsung ke dalam membran spin column, ditutup dengan perlahan dan sentrifugasi selama 1 menit pada 8000 x g (10.000 rpm) untuk memisahkan RNA. k. Jika RNA yang diharapkan >30μg, langkah “j” dapat diulang kembali menggunakan 30-50 μl RNase-bebas air yang lain. B. Mengencerkan kontrol templat qPCR 1. Ditambahkan 198 μl 0.1% Tween 20 ke dalam 2 μl templat kontrol qPCR untuk pengenceran menjadi 100 kali 2. Larutan yang diencerkan divortex sehingga bercampur dengan sampel seluruhnya 3. Ditambahkan 100 μl 0.1% Tween 20 ke dalam 100 μl templat yang diencerkan menjadi kurva titrasi enam dengan dua kali pengenceran sehingga tercapai 7 templat kontrol yang diencerkan dengan rentang 1001,6 pM. Perlu diperhatikan, pengenceran fresh templat kontrol qPCR sesegera mungkin dilakukan sebelum di-qPCR karena DNA tidak tahan dalam konsentrasi rendah 4. Larutan yang diencerkan divortex seluruhnya dengan sampel 5. Langkah 1- 4 diulang sehingga didapatkan 3 kali pengenceran templat kontrol yang independen. Kontrol pengenceran selanjutnya diencerkan 10x sehingga konsentrasi akhir dalam qPCR adalah 10-0,16 pM.



70



C. Pengenceran acuan 1. Ditambahkan 998 μl 0.1% Tween 20 ke dalam 2 μl templat acuan yang tidak dikenali kemudiandiencerkan lagi menjadi 500 kali sehingga konsentrasi kira-kira menjadi 20pM 2. Larutan yang diencerkan divortex seluruhnya dengan sampel 3. Langkah 1 dan 2 diulangi sehingga mencapai 3 templat acuan independen larutan yang diencerkan. Triplicate hasil qPCR penting untuk analisis berikutnya 4. Pengenceran larutan yang belum diketahui diencerkan 10 kali di dalam sehingga konsentrasi akhir qPCR kira-kira 2pM D. Persiapan pencampuran reaksi, campuran reaksi dalam es disimpan dan dilindungi dari cahaya sampai digunakan E. Spesimen yang telah homogen diekstraksi menggunakan RNeasy kit (Qiagen, Hilden, Jerman) untuk mendapatkan total RNA, setelah itu dilakukan pengukuran konsentrasi dengan spektrofotometer sehingga dihasilkan gambaran berupa dua band. Proses selanjutnya adalah sintesis cDNA dengan primer DNA yang memiliki ujung poli T yang akan berpasangan dengan poli A yang terdapat pada mRNA. Proses amplifikasi dengan primer Osteocalcin yang digunakan mempunyai sequence (5'3') yaitu: forward : GTGCAGCCTTTGTGTCCAAG reverse : GTCAGCCAACTCGTCACAGT (1st Base, Singapura). Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi kembali dengan spektrofotometer yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperlukan pada kuantifikasi dengan real-time PCR. Running dilakukan untuk menghasilkan equimolar sehingga semua starting



71



RNA memiliki konsentrasi yang sama dan siap untuk dilakukan pemeriksaan F.



real-time PCR. Kuantifikasi qPCR. Pemeriksaan qPCR dengan melihat perbandingan Ct fluoresens gen yang diamati dengan housekeeping gene



perlakuan dan



kontrol (Protokol RNeasy kit, Qiagen, Hilden, Jerman).



J. Kriteria Penghitungan Ekspresi Osteocalcin Kriteria penghitungan ekspresi Osteocalcin menggunakan teknik relative quantification ∆∆Ct Livak dan Smittgen. Ct OCN dan Ct GAPDH (gen referensi) diperoleh dari mesin qPCR (Roche). Tabel 1. Threshold cycle Ct Osteocalcin dan Ct GAPDH aplikasi GIC dan tanpa GIC Ct OCN Hari Pasien 0



3



14



non GIC



GIC



Ct GAPDH non GIC



∆ Ct non GIC GIC



∆ Ct GIC



∆∆ Ct = ∆ Ct GIC - ∆ Ct non GIC



R = 2-∆∆ Ct



1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4



K. Analisis Data Data yang diperoleh dari sofware komputer adalah Ct OCN dan Ct GAPDH masing-masing kelompok yang diaplikasi GIC dan tanpa GIC, hari ke-0, 3 dan 14. Data diolah menggunakan analisis repeated measure anova.



72



L. Alur Penelitian



Ethical clearance Informed consent



4 pasien masing-masing dicabut 2 gigi sesuai indikasi



Soket A Tanpa GIC



Soket B Aplikasi GIC



Pengambilan jaringan dari soket pada hari ke-0, 3 dan 14



Pengambilan jaringan dari soket pada hari ke-0, 3 dan 14



Ekstraksi RNA, sintesis cDNA



Penentuan konsentrasi dan kemurnian DNA



Amplifikasi DNA osteocalcin dengan qPCR



Pengolahan data Analisis data Laporan penelitian Gambar 8 Alur penelitian



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian



73



Penelitian dilakukan di Poliklinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada dan Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada mulai bulan Maret sampai Mei 2016. Penelitian ini dinyatakan laik secara etik oleh Komisi Etik Penelitian FKG UGM dengan surat Ethical Clearance No. 00533/KKEP/FKG-UGM/EC/2016. Subyek penelitian datang ke Poliklinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada untuk pencabutan 2 gigi sekaligus menurut kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Karakteristik subyek penelitian ditunjukkan pada tabel 3.



Tabel 2. Karakteristik subyek penelitian



No



Jenis Kelamin



Umur



Gigi yang dicabut Non GIC



GIC



Diagnosis



1



L



22 thn



36



45



Gangren



2



P



38 thn



37



47



Gangren



3



L



28 thn



46



36



Gangren



4



P



39 thn



46



36



Gangren



5



L



29 thn



47



37



Gangren



6



P



38 thn



46



36



Gangren



Keterangan : non GIC = soket tanpa aplikasi GIC, GIC = soket dengan aplikasi GIC



Subyek penelitian enam orang yakni tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan dengan rentang usia antara 22-39 tahun, rata-rata usia laki-laki 26 tahun sedangkan perempuan 38,3 tahun. Elemen gigi yang dicabut adalah gigi posterior dengan diagnosis gangren pulpa (tabel 3).



74



Pencabutan gigi dilakukan dengan teknik atraumatik tanpa pembukaan flap. Soket ekstraksi gigi perlakuan dan kontrol dibiarkan terbuka tanpa penjahitan. Proses penyembuhan soket ekstraksi gigi pasca aplikasi GIC pada keenam pasien secara klinis tampak normal. Pemeriksaan qPCR dilakukan menggunakan mesin qPCR (Light Cycler, Jerman). Masing-masing sampel diproses secara single tanpa pengulangan. Data yang diperoleh berupa Ct OCN, Ct gen referensi/HKG/GAPDH tanpa aplikasi GIC dan aplikasi GIC seperti tampak pada tabel 3.



75



Tabel 3. Threshold Cycle mRNA OCN dan GAPDH jaringan soket ekstraksi gigi



Hari



Pasien



0



1 2 3 4 5 6



Rerata SD 3



Rerata SD 14



Rerata SD



1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6



Ct OCN non GIC GIC 22,98 24,63 23,33 25,15 22,04 24,17 23,72 1,15 23 22,3 22,5 25,23 25,47 26,07 24,10 1,68 27,32 25,48 25,72 23,13 26,69 24,81 25,53 1,47



22,15 25,09 20,61 30,27 22,77 24,89 24,30 3,38 26,9 23,3 24,05 22,62 22,6 25,95 24,24 1,80 26,06 25,94 25,93 27 26,54 25,23 26,12 0,60



Ct GAPDH non GIC GIC 30,62 28,53 22,63 34,13 26,1 21,8 27,30 4,75 26,05 20,52 22,23 20,66 24,06 25,15 23,11 2,33 25,7 19,45 20,34 22,04 22,97 20,67 21,86 2,26



27,66 25,19 24,63 33,13 24,99 19,71 25,89 4,40 20,49 20,76 21,91 21,52 22,89 19,44 21,17 1,20 22,12 20,65 20,62 21,07 23,24 19,74 21,24 1,25



∆ Ct non GIC



∆ Ct GIC



∆∆ Ct = ∆ Ct GIC - ∆ Ct non GIC



-7,64 -3,9 0,7 -8,98 -4,06 2,37



-5,51 -0,1 -4,02 -2,86 -2,22 5,18



2,13 3,8 -4,72 6,12 1,84 2,81



-3,05 1,78 0,27 4,57 1,41 0,92



6,41 2,54 2,14 1,1 -0,29 6,51



9,46 0,76 1,87 -3,47 -1,7 5,59



1,62 6,03 5,38 1,09 3,72 4,14



3,94 5,29 5,31 5,93 3,3 5,49



2,32 -0,74 -0,07 4,84 -0,42 1,35



R = 2-∆∆ Ct 0,23 0,07 26,35 0,01 0,28 0,14 4,52 10,70 0,00 0,59 0,27 11,08 3,25 0,02 2,54 4,36 0,20 1,67 1,05 0,03 1,34 0,39 0,78 0,67



Keterangan: OCN = Osteocalcin, GAPDH = glyceraldehyde 3-phosphate-dehydrogenase (housekeeping gene/gen referensi), Non GIC = tanpa aplikasi GIC, GIC = aplikasi GIC, Ct = Threshold cycle, Ct OCN = Threshold cycle OCN, Ct GAPDH = Threshold Cycle GAPDH, ΔCt Non GIC = Ct Non GIC OCN - Ct Non GIC GAPDH, ΔCt GIC = Ct GIC OCN – Ct GIC GAPDH, ΔΔCt = ΔCt GIC – ΔCt Non GIC, R= 2 –ΔΔCt (rasio/perbandingan ekspresi gen OCN kelompok perlakuan dengan kontrol menurut Livak dan Schmittgen (2011)



Threshold Cycle (Ct) menunjukkan reaksi ketika jumlah amplikon yang dihasilkan cukup untuk memberikan sinyal fluoresensi di atas nilai threshold, semakin tinggi konsentrasi suatu gen semakin rendah Ct yang didapatkan (McPherson dan Moller, 2006). Nilai rata-rata Ct OCN kelompok kontrol dan perlakuan seluruh subyek penelitian hari ke- 0, 3, dan 14 ditunjukkan pada tabel 4. Tabel 4. Rerata Ct (Threshold Cycle) non GIC dan GIC



Hari 0 3 14



Non GIC 23,72 ± 1,15 24,10 ± 1,68 25,53 ± 1,47



GIC 24,30 ± 24,24 ± 3,38 26,12 ± 1,80 0,60 Tabel 4 menunjukkan variasi Ct pada kelompok kontrol non GIC dan perlakuan GIC hari ke-0, 3 dan 14. Konsentrasi OCN pada kelompok kontrol menurun dari hari ke-0, 3 dan 14 sedangkan pada kelompok perlakuan tidak tampak perbedaan signifikan antara hari ke-0 dengan hari ke-3 tetapi menurun pada hari ke-14 (Ct kelompok kontrol meningkat dari hari ke-0, 3 dan 14 sedangkan Ct pada kelompok perlakuan sama antara hari ke-0 dengan hari ke-3 dan meningkat pada hari ke-14). Nilai Ct OCN kelompok perlakuan GIC dan kontrol non GIC ditunjukkan pada gambar 9.



Hari 0



H ar i 3



Hari 1 4



Hari 0



Hari 3



27.32



GIC



26.06



26.9



Non GIC 23



22.98



22.15



Ct O CN p a sien 1 25.94



GIC



25.48



23.3



Non GIC 22.3



25.09



24.63



Ct O CN p a si en 2



h ar i 1 4



77



h ar i 0



H ar i 0



h ar i 3



Hari 1 4



27



23.13



24.05



h ar i 3



h ar i 0



h ar i 1 4



h ar i 3



25.23



GIC



24.81



non GIC 26.07



24.17



26.69



GIC



GIC



Ct O CN p a si en 6 26.54



25.47



Non GIC 22.6



22.77



22.04



Ct O CN p a si en 5



25.23



25.15



25.93



hari 1 4



non GIC



25.95



hari 3



25.72



24.05



GIC



24.89



h ar i 0



22.5



23.33



20.16



non GIC



30.27



Ct O CN p a si en 4



Ct O CN p a si e n 3



hari 1 4



Gambar 9. Diagram nilai Ct OCN kelompok perlakuan dan kontrol



78



Nilai ΔCt merupakan selisih nilai Ct gen target OCN dengan nilai Ct GAPDH pada kelompok perlakuan dan kontrol, ΔCt GIC untuk kelompok perlakuan dan ΔCt non GIC untuk kelompok kontrol. Nilai ΔCt GIC dan ΔCt Non GIC digunakan untuk menghitung nilai ΔΔCt dimana ΔΔCt = ΔCt GIC - ΔCt Non GIC. Rasio (R) merupakan perbandingan ekspresi OCN antara kelompok perlakuan dan kontrol yang dihitung berdasarkan rumus R= 2 -ΔΔCt (Livak dan Schmittgen, 2001). Nilai rerata rasio ekspresi OCN kelompok kontrol dan kelompok perlakuan hari ke-0, 3, dan 14 terlihat pada tabel 5.



Tabel 5. Rerata dan standar deviasi rasio ekspresi mRNA OCN



Waktu pengamatan



n



Rerata dan SD



Hari ke-0



6



4,51 ± 10,70



Hari ke-3



6



2,54 ± 4,36



Hari ke-14



6



0,78 ± 0,67



Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa rata-rata rasio ekspresi OCN pada hari ke-0 sebesar 4,51±10,70, menurun pada hari ke-3 menjadi 2,54±4,36 dan menurun lagi pada hari ke-14 menjadi 0,78± 0,67. Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar 10 berikut:



79



5.00 4.50



4.51



Ekspresi osteocalcin



4.00 3.50 3.00 2.54



2.50 2.00 1.50 1.00



0.78



0.50 0.00 Hari ke-0



Hari ke-3



Hari ke-14



Waktu pengamatan



Gambar 10. Grafik rasio OCN hari ke-0, 3 dan 14.



Uji sebaran data menggunakan uji Shapiro Wilk diperoleh ekspresi Osteocalcin pada hari ke-0 dan hari ke-3 tidak berdistribusi normal sehingga dilakukan transformasi data dengan hasil uji normalitas dan uji homogenitas pada tabel 6 berikut : Tabel 6. Hasil uji normalitas data dan uji homogenitas varian



Waktu pengamatan



Uji Normalitas



Uji Homogenitas



p value



p value



Hari ke-0



0,311



Hari ke-3



0,926



Hari ke-14



0,293



0,338



Hasil uji Shapiro Wilk menunjukkan bahwa semua kelompok data memiliki sebaran yang normal (p>0,05). Hasil uji homogenitas varian ekspresi osteocalcin dari waktu ke waktu menggunakan uji Sphericity menunjukkan hasil



80



yang homogen dengan nilai signifikansi 0,338 (p>0.05) sehingga pengolahan data dapat dilanjutkan dengan analisis parametrik Repeated Measure Anova. Tabel 7. Hasil uji Repeated Measure Anova ekspresi osteocalcin aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi



Sumber Variasi



p value



Waktu pengamatan



0,710



Pada tabel 7 terlihat bahwa berdasar sumber variasi waktu pengamatan menunjukkan nilai p sebesar 0,710 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi mRNA OCN aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi pada hari ke-0, ke-3, dan ke-14.



B. Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan mengkaji pengaruh aplikasi GIC terhadap ekspresi mRNA OCN jaringan dari soket ekstaksi gigi menggunakan teknik qPCR. Real time quantitative PCR merupakan metode analisis kuantitatif untuk menghitung jumlah mRNA dalam sampel biologis (Hugget dkk., 2005). Keunggulan pemeriksaan qPCR dalam kuantifikasi ekspresi gen dibanding teknik lain adalah data yang diperoleh akurat dan tidak memerlukan manipulasi post amplifikasi. Real time PCR 10000-100000 kali lebih sensitif daripada RNase protection assay dan 1000 kali lebih sensitif daripada dot blot hybridization. Kerugian menggunakan teknik ini adalah reagennya mahal (Wong dan Medrano, 2005). Keberhasilan pemeriksaan qpCR tergantung beberapa faktor antara lain manipulasi sampel, teknik pipetting dan validasi housekeeping gene. Sampel



81



jaringan segera dimasukkan dalam RNAlater RNA stabilization untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Sampel yang disimpan dalam jangka waktu lama sebaiknya disimpan pada suhu -700 C untuk mencegah degradasi OCN. Sampel penelitian untuk melihat ekspresi OCN sebaiknya segera diproses karena OCN tidak stabil dan cepat mengalami degradasi (Lee dkk, 2000). Penelitian in vitro Garnero dkk (1994) menyatakan bahwa OCN intak mengalami degradasi 17% setelah 2 jam inkubasi pada suhu ruang, oleh sebab itu sampel harus segera diproses untuk mencegah degradasinya. Osteocalcin sensitif terhadap freeze-thaw cycles dan hemolisis. Pengulangan freeze-thaw cycles mengurangi immunoreaktif OCN sampai 40% (Lee dkk, 2000) sehingga berpengaruh pada jumlah ekspresi gen yang diamati. Penelitian menggunakan qPCR umumnya duplicate atau triplicate sehingga dapat melihat jika ada kontaminasi selama proses qPCR dan nilai rata-rata Ct yang diperoleh lebih valid, tetapi pada penelitian ini masingmasing sample diproses single. Quantitative real time RT-PCR merupakan teknik yang sangat berguna dalam menghitung ekspresi gen pada level mRNA. Ekspresi gen yang diamati harus dibandingkan dengan gen kontrol mRNA tertentu. Jumlah mRNA yang diamati fluktuatif antara lain karena perbedaan massa jaringan dan jumlah sel. Idealnya, kondisi eksperimental seharusnya tidak mempengaruhi ekspresi gen internal kontrol (Ullamnova dan Haskovec, 2003). Menurut Hugget dkk (2005), housekeeping gene digunakan sebagai kontrol internal terhadap kualitas RNA untuk menjamin kemurnian total RNA. GAPDH merupakan salah satu gen referensi yang paling banyak digunakan (de Jonge dkk, 2007), karena ekspresinya



82



yang sangat stabil pada berbagai perlakuan (Hugget et al., 2005) dan banyak penelitian menunjukkan keberhasilan menggunakan GAPDH sebagai HKG. Menurut Bustin (2002), β actin dan GAPDH tidak cocok digunakan sebagai internal reference pada beberapa penelitian akibat variabilitasnya, oleh sebab itu perlu dilakukan validasi internal reference untuk menghindari misinterpretasi. Proses penyembuhan tulang terjadi secara alami melalui tahapan yang saling tumpang tindih terdiri dari fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Fase tersebut melibatkan proses selular yang terjadi secara terus menerus. Penelitian Canuto dkk (2011) untuk melihat pengaruh Hydroxyapatite paste Ostim® terhadap ekspresi gen pada penyembuhan alveolar soket ekstraksi gigi dilakukan pada hari ke-1, 7 dan 14, sedangkan pada penelitian ini pengaruh GIC terhadap ekspresi mRNA OCN dilakukan pada hari ke-0, 3 dan 14. Hasil penelitian (tabel 5) menunjukkan nilai rata-rata rasio ekspresi OCN pada sampel perlakuan hari ke-0 nilainya 4,51 kali dibanding kontrol, hari ke-3 menurun menjadi 2,54 kali dibanding kontrol, dan hari ke-14 menurun lagi menjadi 0,78 kali dibanding kontrol. Data tersebut menunjukkan penurunan rasio ekspresi mRNA OCN dari hari ke -0, 3 dan hari ke-14. Rasio ekspresi mRNA OCN yang semakin menurun pada periode pengamatan sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Canuto, dkk (2011). Pengaruh Hydroxyapatite paste Ostim® terhadap ekspresi mRNA OCN pada soket ekstraksi gigi berakar tunggal menurun dari hari ke-1, 7 dan 14. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada jumlah sampel, usia rata-rata pasien, bahan yang diaplikasikan, banyaknya ekspresi gen yang diamati serta waktu pengamatan.



83



Penelitian Itagaki dkk (2008) mengamati beberapa ekspresi gen pada proses penyembuhan defek tulang kalvaria tikus menunjukkan bahwa ekspresi kolagen dan OCN secara signifikan lebih tinggi pada minggu ke-2 jika dibandingkan dengan sebelum dan sesudah minggu ke-2. Hasil penelitian Canuto dkk (2011) dan penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian tersebut, ekspresi mRNA OCN menurun pada hari ke-14 (minggu ke-2) tetapi meningkat pada awal inflamasi proses penyembuhan soket ekstraksi gigi. Ekspresi mRNA OCN tinggi pada awal inflamasi menurut Gortz dkk (2004) sebagai akibat inflamasi meningkatkan diferensiasi osteoblast secara langsung maupun tidak langsung. Osteocalcin merupakan produk spesifik osteoblast (Price dan Parthemore, 1980). Li dan DenBesten (1993) mengamati ekspresi mRNA protein tulang kultur osteoblas tikus pada konsentrasi fluor fisiologis menyimpulkan bahwa fluor tidak meningkatkan ekspresi protein seperti OCN selama fase proliferasi hari ke-5 sampai hari ke-11. Kadar OCN serum terdiri atas 10-40% dari total OCN dalam tubuh sedangkan selebihnya terikat pada matriks tulang. Half life OCN serum singkat sehingga dihidrolisis pada ginjal dan liver (Lee dkk., 2000). Osteocalcin yang dirilis di sirkulasi merupakan molekul intak yang baru disintesis oleh osteoblast (Diaz dkk, 1998). Menurut Ingram dkk (1994), Osteocalcin mempunyai distribusi berbeda tergantung usia dan jenis kelamin. Fares dkk (2003) menyatakan bahwa dewasa muda laki-laki mempunyai konsentrasi Osteocalcin pada sirkulasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan dewasa muda perempuan pada usia yang sama karena laki-laki mempunyai tulang yang lebih panjang dan lebih lebar, selain laki-



84



laki lebih lama mencapai puncak bone mineral density daripada perempuan (Szulc dkk, 2007). Konsentrasi



OCN



serum



laki-laki



usia



25-49



tahun



menurun



(Hannemann dkk, 2013) jika dibandingkan dengan laki-laki usia paruh baya atau tua (50-60 tahun) yang stabil atau sedikit meningkat (Gundberg dkk, 2002), sedangkan pada perempuan konsentrasi OCN serum stabil pada saat pre menopause 35-45 tahun (Ardawi dkk, 2010). Rata-rata usia subyek penelitian laki-laki adalah 26 tahun mempunyai konsentrasi OCN serum rendah, sedangkan rata-rata usia perempuan 38,3 tahun mempunyai konsentrasi OCN serum stabil dan telah mencapai skeletal maturity dan fase stabil bone turnover (Glover dkk, 2008). Osteocalcin merupakan vitamin K dependent, selain dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti pemakaian obatobatan antikonvulsan dan antikoagulan, glucocorticoid, penyakit tertentu seperti osteomalacia, hyperthyroidism dan hypothyroidism serta paget’s disease (Lee dkk, 2000). Hormon estrogen pada perempuan, testosteron pada laki-laki, parathyroid hormone (PTH) juga berpengaruh terhadap konsentrasi OCN . Aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi menggunakan takaran volume yang sama, tetapi volume GIC di dalam soket tidak dapat dikendalikan oleh peneliti mungkin berpengaruh terhadap hasil penelitian. Kelebihan penelitian ini adalah penelitian eksperimental klinis aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi dengan subyek manusia. Ekspresi mRNA OCN soket ekstraksi gigi dihitung dengan teknik relative quantification qPCR.



85



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan ekspresi Osteocalcin antara kelompok perlakuan yang diaplikasi GIC dengan kelompok kontrol tanpa aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi (p = 0,710)



86



2. Saran Penelitian klinis selanjutnya untuk melihat ekspresi mRNA Osteocalcin disarankan untuk: a. Memperbanyak jumlah subyek penelitian b. Memperpanjang waktu pengamatan c. Melakukan pemilihan housekeeping gene yang paling cocok sebelum penelitian dilakukan d. Sampel penelitian Real-Time qPCR diproses duplicate atau triplicate .



Daftar Pustaka



Anusavice, K.J., 2004, Philip’s science of dental material, 12th ed, Elsevier, India. Ardawi, M.S., Maimani, A.A., Bahksh, T.A., Rouzi, A.A., Qari, M.H., Raddadi, R.M., 2010, Reference intervals of biochemical bone turnover markers for Saudi Arabian women: a cross-sectional study, Bone, 47:804–814. Beck Jr., G.R., Shin-Woo Ha, Camalier, C.E., Yamaguchi, M., Li, Y., Jin-Kyu Lee, and Weitzmann, M.N., 2012, Bioactive silica based nanoparticles stimulate bone forming osteoblasts, suppress bone esorbing osteoclasts, and enhance bone mineral density in vivo, Nanomedicine, 8(6): 793–803. Blumenthal, N.C., and Posner, A.S., 1984, In vitro model of aluminium-induced osteomalacia: inhibition of hydroxyapatite formation and growth, Calcif Tissue Int,36:438-41. Boix, D.,·Weis, P., Gauthier, O., Guicheux, J., Bouler, J-M., Pilet, P., Daculsi, G., and Grimandi, G., 2006, Injectable bone substitute to preserve alveolar ridge resorption after tooth extraction: A study in dog, J Mater Sci: Mater Med 17:1145–1152. Brook, I.M., Craig, G.T., and Lamb, D.J., 1991, In vitro interaction between primary bone organ cultures, glass-ionomer cements and hydroxyapatite/tricalcium phosphate ceramics, Biomaterials, 12:179-86. Brentegani, L.G., Bombonato, K.F., and Carvalho, T.L.L, 1996, Immediate Implantation of Glass-Ionomer Cement Granules Increases Osteogenesis during Rat Alveolar Wound Healing, J. Nihon Univ. Sch. Dent., 38:141-145. Brook, I.M., Craig, G.T., and Lamb, D.J., 1991, Initial in vivo evaluation of glassionomer cements for use as alveolar bone substitutes, Clin Mater, 7:295300. Brook, I.M., and Hatton, P.V., 1998, Glass-ionomers: bioactive implant materials, Biomaterials, 19:565-571. Brook, I.M., and Lamb, D.J., 1994, Clinical evaluation of ionogran for use in the restoration and treatment of alveolar bone atrophy, European Conf on Biomaterials, 11:466-68. Bukka, P., McKee, M.D., and Karaplis, A.C., 2014, Molecular regulation of osteoblas differentiation in Bronner F et.al. Bone formation, Spinger-Verlac London, p.3.



88



Buric, N., Jovanovic, G., Krasic, D., and Kesic, L., 2003, Investigation of the bone tissue response to glass-ionomer microimplants in the canine maxillary alveolar ridge, Journal of Oral Science, 45:207-212. Burr, D.B., and Allen, W.A., 2014, Basic and applied bone biology, Elsevier, New York, p 3-5. Bustin, S.,A., 2002, Quantification of mRNA using real time reverse transcription PCR (RT-PCR): Trends and problems, J. Mol. Endocrinol, 1:23-29. Camargo, P.M., Lekovic, V., and Weinlaender, M., 2000, Influence of bioactive glass on changes in alveolar process dimensions after exodontia, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod, 90:581-6. Caverzasio, J., Palmer, G., Suzuki, A., and Jean-Philippe Bonjour, 1997, Mechanism Of The Mitogenic Effect Of Fluoride On Osteoblast-Like Cells: Evidences For A G Protein–Dependent Tyrosine Phosphorylation Process, Journal of bone and mineral research, 12: 1975-83. Canuto, R. A., Pol, R., Martinasso, G., Muzio, G., Gallesio, G., and Mozzati, M., 2013, Hydroxyapatite paste Ostim®, without elevation of full-thickness flaps, improves alveolar healing stimulating BMP- and VEGF-mediated signal pathways: an experimental study in humans, Clin. Oral Impl. Res., 24: 42–48. Chenu, C., 1994, Osteocalcin induces chemotaxis, secretion of matrix proteins and calcium-mediated intercelluler signaling in human osteoclast - like cells, The journal of cell biology, 127:1149-58. Cioban, C., 2013, Early healing after ridge preservation with a new collagen matrix in dog extraction sockets: preliminary observations, Rom J Morphol Embryol, 54(1):125–130. Dahlan, S.M., 2011, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Salemba Medika, Jakarta, pp De-Bruyne, M.A.A., and De-Moore, R.J.G., 2004, The use of glass ionomer cement in both conventional and surgical endodontics, International endodontic journal, 37:91-104. De Jonge, H.J.M., Fehrmann, R.S.N., DeBont, E.S.J.M., Hofstra, R.M.W, Gerbens, F., Kamps, W.A., de Vries, E.G.E., van der Zee, A.G.J., tee Mernan, G.J., ter Elst., 2007, Evidence based selsction of housekeeping genes, PloS one, 2(9):e898.



89



Doblare, M., Garc, J.M., and Gomez, M.J., 2004, Modelling bone tissue fracture and healing: a review, Engineering Fracture Mechanics, 71:1809-40.



Diaz, D.E., Nacher, M., Rapado, A., Serrano, S., Bosch, J., Aubia, J., 2002, Immunoreactive osteocalcin forms in conditioned media from human osteoblast culture and in sera from healthy adult control subjects and patients with bone pathologies. Eur J Clin Invest, 28:48-58. Fares, J.E., Choucair, M., Nabulsi, M., Salamoun, M., Shahihe, C., H., Fuleihan, G.,E., 2003, Effect of gender, puberty, and vitamin D status on biochemical markers of bone remodeling, Bone, 33:242-47 Farley, J.R., Wergedal, J.R., and Baylink, D.J., 1983, Fluoride directly stimulates proliferation and alkaline phosphatase activity of bone forming cells, Science, 222:330-2. Fawcett, D.W., 1994, Buku ajar histologi. EGC, Jakarta, pp Feng, J., Yan, W., Gou, Z., Weng, W., and Yang, D., 2007, Stimulating effect of silica-containing nanospheres on proliferation of osteoblast-like cells, J Mater Sci: Mater Med, 18:2167–2172. Fraga, D., Meulia, T., and Fenster, S., 2008, Real-time PCR. In: Current protocols essential laboratory techniques. John Wiley & Sons, Inc. New York. pp. 10.3.1-10.3.33. Garagiola, U., 2006, Biointegration of bone grafting materials and osseointegrated implants in oral and maxillofacial surgery, A thesis, Semmelweis University, Budapest, p. Garnero, P., Grimaux, M.,Sequin, P., Delmas, P.,D., 1994, Characterization of immunoreactive forms of human osteoblast generated in vivo and in vitro, J. Bone Miner Bone, 9(2):255-64. Gerhardt, Lutz-Christian., and Boccaccini, A.R., 2010, Bioactive Glass and GlassCeramic Scaffolds for Bone Tissue Engineering, Materials, 3: 3867-3910. Geyer, G., and Helms, J., 1990, Reconstructive measures in the middle ear and mastoid using a biocompatible cement-Preliminary clinical experience. Clinical implant materials In: Heimke E, Soltese U, Lee AJC, Advances in biomaterials, 10:529-35. Elsevier, Amsterdam. Glover, S.J., Garnero, P., Naylor, K., Rogers, A., Eastell, R., 2008, Establishing a reference range for bone turnover markers in young, healthy women, Bone,



90



42:623–630. Goenka, S., Balu, R., and Kumar, T.S.S., 2011, Effects of nanocrystalline calcium deficient hydroxyapatite (nCDHA) incorporation in glass ionomer cements (GIC), thesis, Goodman, W.G., and OÕ-Connor J., 1991, Aluminium alters calcium influx and efflux from bone in vitro, Kidney Int, 39:602-7. Goodman, W.G., 1986, Bone disease and aluminium: pathologenic considerations, Am J Kidney Res, 6:330-35. Gortz, B., Hayer, S., Redlich, K., Zwerina, J., Tohidast-Akrad M., Tuerk, B., Hartmann, C., Kollias, G., Steiner, G., Smolen, J.,S., Schett, G., 2004, Arthritis induces lymphocytic bone marrow inflammation and endosteal bone formation, J Bone Miner Res, 19:990–998. Grieve, W.G, Johnson, G.K, Moore, R.N, Reinhart, R.A, Dubois, L.M., 1994, Prostaglandin E (PGE) dan Interleukin 1-β Levels in Gingival Crevicular Fluid During Human Orthodontic Tooth Movement, Am J Orthod Dentofacial Orthop, p. 369-74. Gundberg, C.M, Looker, A.C., Nieman, S.D., Calvo, M.S., 2002, Patterns of osteocalcin and bone specific alkaline phosphatase by age, gender, and race or ethnicity, Bone, 31:703–708. Hannemann, A., Friedrich, N., Spielhagen, C., Rettig, R., Ittermann, T., Nauck, M., Wallaschofski, H., 2013, Reference interval for serum osteocalcin concentration in adult men and women from the study of health in Pomerania, BMC Endocrine disorders, 13(11):1-9. Hatton, P.V., Hurrel-Gillingham, K., and Brook, I.M., 2006, Biocompatibility of Glass Inomer Bone Cements. J Dent Res, 34:598-601. Hugget, J., Dheda, K., Bustin, S., dan Zumla, A., 2005, Real-time PCR normalisation: Strategies and consideration, Genes and Immunity, 6:279284. Iasella, J.M., Geenwell, H., Miller, R.L., Hill, M., Drisko, C., Bohra, A.A., and Scheetz, J.P., 2003, Ridge preservation with freeze-dried bone allograft and a collagen membrane compared to extraction alone for implant site development: a clinical and histologic study in humans, J. Periodontol, 74:990-999.



91



Ingram, R.T., Park, Yong-Koo., Clarke, B.L., Fitzpatrick, L.A., 1994, Age- and Gender related in the distribution of osteocalcin in the extracellular matrix of normal male and female bone, J. Clin. Invest, 93:989-97. Irinakis, T., 2006, Rationale for Socket Preservation after Extraction of a SingleRooted Tooth when Planning for Future Implant Placement, J Can Dent Assoc, 72(10):917–22. Itagaki, T., Honma, T., Takahashi, I., Echigo, S., Sasano, Y., 2008, Quantitative analysis and localization of mRNA transcripts of type I collagen, osteocalcin, MMP2, MMP8, and MMP13 during bone healing in a rat calvarial experimental defect model, The anatomical record, 291:1038-46. Jahangiri, L., Devlin H, Ting K, and Nishimura I, 1998, Current perspectives in residual ridge remodeling and its clinical implication: a review. J. Prosthet Dent, 80(2): 224-37. Johal, K., Craig, G.T., Hill, R., Devlin, A.J., and Brook, I.M., 1995, In vivo response of ionomeric cements: effect of glass composition, increasing soda or calcium fluoridaide content, J Mater Sci Med, 7:690-94. Jonck, L.M., Grobbelaar, C.J., and Strating, H., 1989, Biological evaluation of a glass-ionomer cement Ketac-O as an interface material in joint replacement. A screening test, Clin Mater, 4:201-24.. Jonck, L.M., and Grobbelaar, C.J., 1990, Ionos bone cement (glass-ionomer): an experimental and clinical evaluation in joint replacement, Clin Mater, 6:32359. Kalfas, I.H., 2001, Principles of bone healing, Neurosurg. Focus, 10:1-4. Kaneki, H., Ishibashi, K., Kurokawa, M., Fujieda, M., Kiriu, M., Mizuochi, S., and Ide, H., 2004, Mechanism underlying the aluminum induced stimulation of bone nodule formation by rat calvarial osteoblasts, Journal of health science, 50(1):47-57. Kawahara, H., Imanishi, Y., and Oshima, H.,1979, Biological Evaluation on Glass Ionomer Cement, J Dent Res, 58: 1080-6. Kim, E.J., Bu, S.Y., Sung, M.K., and Choi, M.K., 2012, Effects of Silicon on Osteoblast Activity and Bone Mineralization of MC3T3-E1 Cells, Biol Trace Elem Res., Khoroushi, M., and Keshani, F., 2010, Review on glass-ionomers: From conventional glass-ionomer to bioactive glass-ionomer, Dental research journal, 10:411-20.



92



Khoroushi, M., and Keshani, F., 2013, A review of glass-ionomers: From conventional glass-ionomer to bioactive glass-ionomer, Dental research journal, 10:411-20. Khoroushi, M., Mansoori-Karvandi, T., and Hadi, S., 2012, The effect of prewarming and delayed irradiation on marginal integrity of a resin-modified glass-ionomer, Gen Dent, 60:383-8. Kubilius, M., Kubilius, R., and Gleiznys, A., 2012, The preservation of alveolar bone ridge during tooth extraction, Stomatologija, Baltic dental and maxillofacial journal, 14:3-11. Lau, K.H.W., and Baylink, D.J., Molecular Mechanism of Action of Fluoride on Bone Cells, J Bone Miner Res, 13:1660–7. Lee, A.J., Hodges, S., Eastell, R., 2000, Measurement of osteocalcin, Ann Clin Biochem, 37:432-46. Lekovic, V., Kenney, E. B., Weinlaender, M., Han, T., Klokkevold, P., Nedic, M., and Orsini, M., 1997, A Bone Regenerative Approach to Alveolar Ridge Maintenance Following Tooth Extraction. Report of 10 Cases, J Periodontol, 68 (6): 563-570. Li, R., and DenBesten, P.,K., 1993, Expression of bone protein mRNA at physiological fluoride concentrations in rat osteoblast culture, Bone and mineral, 22:187-96. Lian, J.B., Stein, G.S., Gerstenfeld, L., and Glowacki, J., 1989, Gene expression and functional studies of the vitamin-K dependent protein of bone, osteocalcin in Lindh, E. Clinical impact of bone and connective tissue markers. Academic press, London, pp. Loescher, A.R., Robinson, P.P., and Brook, I.M., 1994, The effects of implanted ionomeric and acrylic bone cements on peripheral nerve function, J mater sci med, 5:108-12. Mao, T., and Kamakshi V., 2014, Bone grafts and bone substitutes, Int j pharm pharm sci, 6: 88-91. Marending, M., Stark, W.J., Brunner, T.J., Fischer, J., and Zehnder, M., 2009, Comparative assessment of time-related bioactive glass and calcium hydroxide effects on mechanical properties of human root dentin, Dent Traumatol, 25:126-9.



93



Mardas, N., Chadha, V., and Donos, N., 2010, Alveolar ridge preservation with guided bone regeneration and a synthetic bone substitute or a bovinederived xenograft: a randomized, controlled clinical trial, Clin. Oral Impl. Res., 21: 688–698. Matsuura, T., Tokutomi, K., Sasaki, M., Katafuchi, M., Mizumachi, E., and Sato, H., Distinct Characteristics of Mandibular Bone Collagen Relative to Long Bone Collagen: Relevance to Clinical Dentistry. Review Article, BioMed Research International., McCabe, J.F., and Walls, A.W., 2008, Applied Dental Materials, 9th ed, Blackwell publishing Ltd., Oxford, p. 245-64. Meyer, U., Szulczewski, D. H., Barckhaus, R.H., Atkinsont, M., and Jones, D.B., 1993, Biological evaluation of an ionomeric bone cement by osteoblast cell culture methods, Biomaterials, Vol. 14 No. 12. Michael, W., Pfaff, Tichopad, A., Prgomet, C., and Neuvians, T.P., 2005, Determination of stable housekeeping genes, differentially regulated target genes and sample integrity: BestKeeper – Excel-based tool using pair-wise correlations Biotechnology Letters 26:509-515. Mickenautsch, S., Mount, G., and Yengopal, V., 2011, Therapeutic effect of glassionomers: An overview of evidence, Aust Dent J, 56:10-5. Muller, J., Geyer, G., and Helms, J., 1993, Ionomer cement in cochlear implant surgery, Laryngorhinootologie, 72(1):36-38. Nagaraja, Upadhya, P., and Kishore, G., 2015, Glass ionomer cement:The different generations, Trends Biomater Artif Organs, 18:158-65. Neve, A., Corrado, A., and Cantatore, F.P., 2010, Osteoblast physiology in normal and pathological conditions. Cell Tissue Res.,....... Nicholson, J.W., Braybook, J.H., and Wasson, E.A., 1991, The biocompatibility of glass-poly(alkenoat)(glass ionomer) cements: A review, J. Biomater sci polym edn, 2(4): 277-85. Nicholson, J.W., 1998, Glass-ionomers in medicine and dentistry, Journal of Engineering in Medicine;212: 121. Noort, R., 2002, Introduction to dental materials. 2nd ed. p. 137. Nordenvall, K.J., 1992, Glass-ionomer cement used as surgical dressing after radical surgical exposure of impacted teeth, Swed Dent J, 6(3):87-92.



94



Oliva, A., Ragione, F.D., Salerno,., Riccio, A.V.,Tartarot, G., Cozzolino, A., Amatol, S.D., Pontoni, G., and Zamia, V., 1996, Biocompatibility studies on glass ionomer cements by primarf cultures of human osteoblasts, Biomaterials, 17:1351-1356. Orlando, C., Pinzani, P., and Pazzagli, M., 1998, Developments in quantitative PCR, Clin. Chem. Lab. Med, 36:255-69. Patti, A., Gennari, L., Merlotti, D., Dotta, F., and Nuti, R., 2013, Endocrine Actions of Osteocalcin, Journal of Endocrinology: 1-11. Peterson, L.J., 1998, Contemporary oral and maxillofacial surgery. 3rd ed, Mosby, pp 132-3. Pivonka, P., Dunstan, C.R., 2012, Role of mathematical modeling in bone fracture healing, Bone key reports, 221:1-10. Price, P.A., Parthemore, J.G., Deftos, L.J., 1980, New biochemical marker for bone metabilosm. Measurement by radioimmunoassay of bone GLA protein in the plasma of normal subjects and patients with bone disease, J Clin Invest, 66:878-83. Pryor, L.S., Gage, E., Langevin, C. J., 2009, Review of bone substitute Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 2:151–160. Purton, D.G., and Rodda, J.C., 1988, Artificial caries around restorations in roots, J Dent Res, 67:817-21. Szulc, P., Kaufman, J.M., Delmas, P.D., 2007, Biochemical assessment of bone turnover and bone fragility in men, Osteoporos Int , 18:1451–1461. Quaker, A.S., 2011, Consequences of tooth loss on oral function and Need for replacement of missing teeth among patients attending muhimbili dental clinic. A Thesis. Quarles, L.D., Murphy, G., Vogler, J.B., and Derzner, M.K., 1990, Aluminium induced neo osteogenesis. A generalised process a¤ecting trabecular networking in the axial skeleton, J Bone Miner Res, 5:625-35. Raso, A., and Biassoni, R., 2014, Quantitative Real-Time PCR: Methods and Protocols, Methods in Molecular Biology. Springer Science+Business Media, New York, pp...... Renard, J.L., Felten, D., and Bequet, D., 1994, Post-otoneurosurgery aluminium encepohalopathy, Lancet, 344:63-64. Saladin, K.S., 2010, Anatomy and physiology. The unity of form and function, 5th ed, Mc. Graw Hill, Boston, pp......



95



Salata, L.A., Sverzut, C.E., and Xavier, S.P., 1999, Recent advances in the use of glass ionomers: bone substitutes, Rev Odontol Univ São Paulo, 13:203-207. Sanz, M., and Vignoletti, F., Key aspects on the use of bone substitutes for bone regeneration of edentulous ridges, Dental materials, 31: 640–647. Sasanaluckit, P., Albustany, K.R., Dockerty, P.J., and Williams, D.F., 1993, Biocompatibility of glass-ionomer cements, Biomaterials, 14(12):906-16. Sherwood, L., 2011, Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Alih bahasa, Brahm U. Pendit. 6th ed, EGC, Jakarta, pp 23-25 Smith, D.C., 1990, Composition and characteristics of glass ionomer cements, Jada: 120. Sogaard, C.H., Mosekilde, L., Schwartz, W., Leidig, G., Minne, H.W., and Ziegler, R., 1995, Effects of fluoride on rat vertebral body biomechanical competence and bone mass, Bone, 16:163-69. Suprastiwi, E., 2009, Potensi Semen ionomer Kaca Sebagai Material bioaktif, Jurnal PDGI, 58:2. Wang, J., Ramakrishnan, R., and Tang, Z., 2010, Quantifying EGFR alterations in the lung cancer genome with nanofluidic digital PCR arrays, Clin Chem, 56:623–632. Watson, J.D, Baker, T. A., Bell, S.P., Gann, A., Levine, M., and Losick, R., 2004, Molecular Biology of the Gene, 5th ed., Benjamin Cummings, San Fransisco, pp..... Weijden, F., Dell’Acqua F., and Slot, D.E., 2009, Alveolar bone dimensional changes of post-extraction sockets in humans: a systematic review, J Clin Periodontol, 36: 1048–1058. Wiens, M., Wang, X., Schoeder, H.C., Kolb, U., SchloBmacher, U., Ushijima, H., and Muller, W.E.G., 2010, The role of biosilica in the osteoprotegerin/RANKL ratio in human osteoblast-like cells, J. Biomaterials, 07:002. Wilson, A.D., and McLean, J.W., 1985, Glass-ionomer cement. Quintessence, Chicago, pp..... Wong, M.L. and Medrano, J.F., 2005, Real-time PCR for mRNA quantification. BioTechniques, 39(1):75-83



96



Yengopal, V., Mickenautsch, S., Bezerra, A.C., and Leal, S.C., 2009, Caries preventive effect of glass ionomer and resin-based fissure sealants on permanent teeth: A meta analysis, J Oral Sci, 51:373-82. Yuwono, T., 2006, Teori dan aplikasi polymerase chain reaction, Penerbit Andi, Yogyakarta, pp Zanatta, L.C.B., Boguszewski, C.L., Borba, V.Z.C., and Kulak, C.A.M., 2014, Osteocalcin, energy and glucose metabolism, Arq Bras Endocrinol Metab, 58(5).