Tinjauan Akulturasi J.W. Berry [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEBUAH TINJAUAN KONSEPTUAL AKULTURASI MENURUT J.W. BERRY Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah : ANTROPOLOGI Dosen Pengampu Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A.



Oleh : Warsiyah NIM. 1500039028



PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2016



SEBUAH TINJAUAN KONSEPTUAL AKULTURASI MENURUT J.W. BERRY1



PENDAHULUAN Akulturasi merupakan proses ganda dari perubahan budaya dan psikologis yang terjadi sebagai akibat interaksi antara dua atau lebih kelompok budaya dan anggotanya masing-masing. Pada tingkat kelompok, melibatkan perubahan struktur dan lembaga-lembaga sosial dan praktik budaya. Pada tingkat individu, melibatkan perubahan dalam repertoar perilaku seseorang. Perubahan budaya dan psikologis muncul melalui proses jangka panjang, kadang-kadang bertahun-tahun, lintas generasi, bahkan berabad-abad. Akulturasi adalah proses perubahan budaya dan psikologis yang melibatkan berbagai bentuk akomodasi bersama, yang mengarah ke beberapa adaptasi psikologis dan sosial budaya jangka panjang antara kedua kelompok. Kontak dan perubahan terjadi karena sejumlah alasan, termasuk penjajahan, invasi militer, migrasi, dan sojourning (seperti pariwisata, studi International, dan posting di luar negeri). Akulturasi adalah proses yang berlangsung lama antara budaya kelompok yang berbeda, sehingga menyebabkan timbulnya berbagai bentuk adaptasi dan akomodasi. Bentuk akomodasi yang sederhana bisa terjadi, misalnya belajar bahasa masing-masing, berbagi makanan dan mengadopsi bentuk pakaian dan interaksi sosial yang merupakan ciri khas dari masing-masing kelompok. Terkadang adaptasi memilih bentuk yang paling sederhana, tetapi juga dapat menciptakan konflik budaya dan acculturative stress selama interaksi antarbudaya. Salah satu bentuk fenomena akulturasi adalah keanekaragaman cara mereka berakulturasi yang disebut strategi akulturasi. Selain kelompok budaya dan variasi individu, ada variasi dalam keluarga: di antara anggota keluarga sering menghasilkan bentuk akulturasi yang berbeda, dan dengan tujuan yang berbeda, kadang-kadang dapat menyebabkan konflik, stres dan sulit beradaptasi. Makalah ini menguraikan makna dan menggunakan konsep akulturasi di bidang psikologi lintas-budaya dan antarbudaya. KONSEP AKULTURASI Akulturasi telah berlangsung selama ribuan tahun, tetapi ketertarikan dalam penelitian tentang akulturasi tumbuh dari keprihatinan akibat dominasi adat masyarakat Eropa. Fokusnya pada bagaimana imigran yang masuk ke masyarakat baru dan menyesuaikan diri 1 Edited and Presented by Warsiyah (1500039028) dalam perkuliahan Antropologi Dosen Pegampu Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A. Program Doktor UIN Walisongo Semarang tahun 2016



sehingga mereka berubah mengikuti masyarakat. Masalah akulturasi adalah permasalahan yang penting, di mana sedang berlangsung interaksi dan transfer budaya antar negara (Sam & Berry, 2006). Khusunya di Asia, dimana setengah dari populasi dunia hidup dalam masyarakat dengan budaya yang beragam, orang mengalami pertemuan antarbudaya setiap hari dan harus memenuhi tuntutan perubahan budaya dan psikologis. Berry, mencatat dua pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi. Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena yang dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya berbeda manakala kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi dibedakan dari perubahan budaya dan juga juga dibedakan dari asimilasi. Akulturasi dilihat sebagai bagian dari konsep yang lebih luas mengenai masalah perubahan budaya. Kedua adalah konsep akulturasi yang diawali dengan hubungan antara dua atau lebih sistem budaya. Dalam konteks ini, perubahan akulturatif dipahami sebagai konsekuensi dari perubahan budaya. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak kultural, seperti halnya perubahan ekologis atau demografis. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi mencakup perubahan yang mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan masalah budaya, seperti halnya masalah ekologis. Meskipun konsep tentang akulturasi dapat memiliki berbagai macam arti sebagaimana yang diinginkan oleh seseorang, John W. Berry meyakini bahwa konsep tersebut merupakan dasar bagi pendekatan psikologis. Dengan konsep itu, seorang peneliti dapat memahami darimana ide tentang akulturasi tersebut berasal, dan bahkan lebih jauh lagi, seorang peneliti dapat melangkah maju dengan berpangkal dari konsep tersebut. Graves (1967) memperkenalkan konsep akulturasi psikologis, yang mengacu pada perubahan individu salah satu peserta dalam situasi kontak budaya, yang dipengaruhi baik secara langsung oleh budaya luar. Ada dua alasan untuk mengapa perlu menjelaskan perbedaan kebudayaan dan tingkat psikologi individu yang terlibat dalam proses akulturasi. Pertama, pandangan ahli psikologi antar budaya bahwa perilaku individu berinteraksi dengan konteks budaya yang terjadi. Sedangkan perilaku dan fenomena budaya merupakan dua hal yang berbeda, baik secara konsep maupun pengukurannya. Alasan kedua adalah bahwa tidak setiap individu terlibat dan berpartisipasi, atau mengalami perubahan dengan cara yang sama: ada perbedaan individu dalam proses akulturasi psikologis. Hubungan antara budaya dan psikologis disajikan pada Gambar 1.1. Kerangka kerja ini berfungsi sebagai peta fenomena yang perlu dikonseptualisasikan dan diukur selama



penelitian akulturasi. Pada tingkat budaya (di sebelah kiri) menunjuk pada perilaku individu atau kelompok individu yang berinteraksi dengan budaya tertentu, sementara akulturasi psikologis menunjuk pada dinamika intrapersonal dalam diri tiap individu yang menghasilkan berbagai reaksi berbeda antara yang satu dengan yang lain, meskipun mereka berada dalam wilayah akulturasi yang sama. Keduanya membutuhkan konseptualisasi dan pengukuran yang berbeda. Pengumpulan informasi ini membutuhkan pendekatan etnografi pada tingkat masyarakat luas. Pada level individu (bagian yang sebelah kanan), seseorang harus mempertimbangkan perubahan psikologis dalam diri seorang individu dan pengaruh adaptasinya pada situasi yang baru. Dalam mengidentifikasi perubahan tersebut dibutuhkan contoh dari suatu populasi dan juga perlu mempelajari individu-individu yang terlibat dalam proses akulturasi. Perubahanperubahan tersebut dapat menjadi suatu rangkaian perubahan yang dengan mudah dapat diselesaiakan (seperti: cara berbicara, cara berpakaian, ataupun cara makan), tetapi dapat juga menjadi suatu pola rangkaian yang problematic sifatnya yang menghasilkan stress-akulturatif sebagaimana tampak dalam bentuk ketidakpastian, kecemasan, dan depresi. Proses adaptasi yang terjadi dapat berbentuk adaptasi internal atau psikologis, tetapi dapat juga berbentuk adaptasi sosiokultural. KONTEKS AKULTURASI Menurut Berry, semua penelitian yang mencoba memahami masalah akulturasi dengan pendekatan Psikologi harus berpangkal pada konteks budaya yang diteliti. Karena pemahamannya berpangkal pada konteks budaya yang diteliti, maka Berry menekankan perlunya mendekati konsep akulturasi dari dua sudut pandang, yakni: sudut pandang akulturasi budaya dan sudut pandang akulturasi psikologis. Secara skematis, John W. Berry mengambarkan kedua wilayah akulturatif itu dalam sebuah bagan, seperti tampak dalam gambar 1.1. Pada level budaya (bagian yang sebelah kiri), para ahli perlu memahami gambaran pokok dari kedua budaya asli sebelumnya (sebelum terjadi kontak antara dua budaya itu), sifat hubungan antara dua budaya tersebut, dan perubahan-perubahan budaya yang terjadi selama akulturasi.



Level Budaya (Kelompok)



Level Psikologis (Individu)



CULTURE A



CULTURAL CHANGES



Psychological Acculturation



Adaptation



Individuals in Cultures A&B



Individuals in Cultures A&B



Behavioral Shifts



Psychological



Acculturative Stress



Sociocultural



Gambar 1.1. Kerangka awal John W. Berry untuk memahami proses kulturasi pada level budaya (kelompok) dan level psikologis (individu). Perpaduan kondisi grafis politik, ekonomi, dan demografis yang dihadapi oleh individu dalam masyarakat asal mereka juga perlu dikaji sebagai dasar untuk memahami tingkat sukarela dalam motivasi individu untuk melakukan migrasi. Dalam masyarakat dari pemukiman, sejumlah faktor memiliki pengaruh. Pertama, ada orientasi umum bahwa masyarakat dan warganya memiliki arah imigrasi dan pluralisme. Beberapa masyarakat telah dibangun oleh imigrasi selama berabad-abad, dan ditentukan oleh kebijakan imigrasi yang disengaja. Isu penting untuk memahami proses akulturasi adalah ituasi historis dan sikap yang dihadapi imigran di masyarakat pemukiman. Beberapa masyarakat yang menerima



pluralisme budaya yang dihasilkan dari imigrasi, mengambil langkah-langkah untuk mendukung kelanjutan dari keanekaragaman budaya sebagai sumber daya bersama; Posisi ini merupakan ideologi multikultural positif (Berry & Kalin, 1995) dan sesuai dengan harapan bahwa strategi integrasi akan menjadi cara yang tepat untuk komunitas budaya untuk terlibat satu sama lain. Masyarakat lain berusaha untuk menghilangkan keragaman melalui kebijakan dan program asimilasi, dan berusaha untuk mencapai pemisahan atau marjinalisasi populasi mereka yang beragam. Murphy (1965) berpendapat bahwa masyarakat yang mendukung pluralisme budaya (yaitu, dengan ideologi multikultural positif) memberikan penyelesaian yang lebih positif karena dua alasan: Mereka cenderung menegakkan perubahan budaya (asimilasi) atau pengecualian (segregasi dan marginalisasi ) pada imigran, dan mereka lebih cenderung untuk memberikan dukungan sosial baik dari lembaga-lembaga masyarakat yang lebih luas. Namun, bahkan di mana pluralisme diterima, ada yang terkenal variasi penerimaan relatif dari budaya, "rasial," dan kelompok agama tertentu (Berry & Kalin, 1995: Lebedeva & Tatarko, 2004). Kelompok-kelompok yang kurang diterima sering mengalami permusuhan, penolakan, dan diskriminasi, salah satu faktor adalah adaptasi jangka panjang yang buruk. STRATEGI AKULTURASI Tidak semua kelompok dan individu menjalani akulturasi dengan cara yang sama: ada variasi cara orang terlibat dalam proses akulturasi. Variasi ini disebut strategi akulturasi (Berry, 1980). Strategi ini terdiri dari dua komponen: sikap (preferensi individu tentang bagaimana menyesuaikan diri), dan perilaku (kegiatan aktual seseorang) yang diperlihatkan sehari-hari. Kedua komponen tersebut saling berkaitan dan ketika digabungkan akan membentu pola yang menunjukan strategi akulturasi yang konsisten (Berry Kim, Power, Young, & Bujaki. 1989). Strategi yang digunakan tergantung pada berbagai faktor (baik budaya dan psikologis), dan ada konsekuensi adaptif (baik budaya dan psikologis) dari strategi-strategi yang berbeda. Empat strategi akulturasi telah diturunkan dari dua isu dasar yang dihadapi semua bangsa yang mengalami akulturasi. Kedua isu didasarkan pada perbedaan antara orientasi terhadap kelompok sendiri dan orang-orang terhadap kelompok lain (Berry, 1980). Isu-isu ini melibatkan perbedaan antara (1) preferensi relatif untuk mempertahankan budaya satu warisan dan identitas, dan (2) preferensi relatif untuk memiliki kontak dengan dan berpartisipasi dalam masyarakat yang lebih besar bersama dengan kelompok-kelompok etnokultural lainnya. Isu-isu ini disajikan pada Gambar 2.2.



Strategi sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2.2. memiliki nama yang berbedabeda tergantung pada kelompoknya: apakah kelompok etnokulturalnya dominan atau tidak dominan. Dari sudut pandang kelompok yang tidak dominan (kiri), strategi asimilasi terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan budaya lain. Kebalikannya adalah startegi separasi. Strategi separasi terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan menghindari berinteraksi dengan yang lain. Strategi integrasi terwujud ketika seseorang memeliki ketertarikan untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian dengan kelompok lain. Menurut John W. Berry, integritas kultural yang telah terwujud memiliki beberapa kualitas (kualitasnya tidak sama). Orang yang berada pada strategi ini mencoba untuk mencari (sebagai anggota dari suatu kelompok etnokultural tertentu) dan juga mencoba untuk berpartisipasi (sebagai bagian integral dari jaringan kelompok sosial yang lebih besar. Dan akhirnya adalah strategi marginalisasi. Strategi tersebut terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara budaya aslinya dan kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok lain sangat kecil. Menurut Berry, strategi marginalisasi bisa terjadi karena hal itu merupakan pilihan yang secara sadar dibuat oleh seseorang, dan hal itu juga bisa terjadi sebagai akibat dari kegagalannya mencoba strategi asimilasi. Semua strategi yang dijabarkan oleh Berry tersebut memiliki beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah kelompok yang tidak dominan dan anggota-anggotanya memiliki kebebasan untuk memilih cara berakulturasi. Integrasi terjadi jika ada pilihan bebas atau bisa juga terjadi jika kelompok yang dominan memiliki keterbukaan dan orientasi inklusif pada keragaman budaya sedemikian rupa sehingga kelompok yang tidak dominan dapat berperan. Asumsi yang kedua adalah kelompok yang tidak dominan melakukan adopsi nilai-nilai dasar yang ada pada kelompok sosial yang lebih besar, dan pada waktu yang bersamaan kelompok yang dominan melakukan adaptasi atas institusi internalnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua anggota kelompoknyayang sekarang hidup dalam situasi masyarakat yang plural. Dengan kata lain, semua strategi tersebut terjadi jika



suatu masyarakat bersifat



multikultur dan memiliki prakondisi psikologis yang dipersyaratkan, seperti halnya: tingkat penerimaan yang besar, taraf prasangka yang rendah, berpikiran positif terhadap kelompok etnokultural lain, dan memiliki kedekatan pada kelompok sosial yang lebih besar. Masih dalam kerangka strategi tersebut, John W. Berry menyatakan bahwa strategi integrasi (dan juga strategi separasi) dapat diwujudkan manakala anggota lain dari kelompok etnokultural yang dimiliki oleh seseorang berkeinginan untuk memelihara warisan budaya



kelompoknya.



Dalam konteks ini strategi integrasi dan separasi hanya terjadi jika ada



kolektivitas, sementara untuk strategi asimilasi lebih bersifat individual. ISSUE I: Pemeliharaan Warisan dan Identitas Budaya (+)



(-)



(+)



(+)



(-)



(+)



ISSUE II: Hubungan antar



INTEGRATION



ASSIMILATION



kelompok SEPARATION



SEPARATION



MULTICULTURALISM



MELTING POT



SEGRETION



EXCLUTION



MARGINALISATION



MARGINALIZATION



(-)



(-)



Strategies of Non-Dominant Groups



Strategies of Dominan Group



Gambar 2.1 Empat Strategi Akulturasi Berbasis Dua Isu, Dalam Kelompok Etnokultural Dan Masyarakat Luas. Sampai saat ini, dua masalah dasar ini telah didekati dari sudut pandang kelompok etnokultural dominan. Namun, definisi antropologi asli menetapkan bahwa kedua kelompok akan terlibat dalam proses akulturasi timbal balik. Oleh karena itu, dimensi ketiga ditambahkan: bahwa peran kuat dimainkan oleh kelompok dominan dalam mempengaruhi cara di mana akulturasi akan berlangsung. Penambahan dimensi ketiga ini (Berry, 1980) menghasilkan sisi kanan Gambar 2.1. Dari sudut pandang tersebut, ketika proses asimilasi dilihat dari kelompok non dominan yang berakulturasi, maka proses itu disebut melting-pot. Akan tetapi, jika proses akulturasi itu diminta oleh kelompok yang dominan exclusion. Ketika separasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu dinamakan segresi. Akhirnya, manakala keragaman diterima sebagai gambaran dari masyarakat yang lebih besar sebagai sebuah keseluruhan, proses integrasi itu dinamakan multikulturalisme.



Dengan menggunakan kerangka kerja ini, perbandingan dapat dibuat antara individu dan kelompok mereka, dan antara masyarakat dominan dan masyarakat yang lebih luas. Ideologi dan kebijakan dari kelompok dominan merupakan elemen penting dari penelitian hubungan etnis (lihat Berry, Kalin & Taylor, 1977, Bourhis, Moise, Perreault, & Senecal, 1997), dan preferensi masyarakat dominan adalah aspek inti dalam penelitian akulturasi (Berry et. al., 1989). Inkonsistensi dan konflik antara berbagai preferensi akulturasi merupakan sumber kesulitan dalam proses akulturasi individu. Umumnya, ketika pengalaman akulturasi menimbulkan masalah bagi proses akulturasi individu, disebut sebagai fenomena stres akulturatif. Salah satu isu yang menarik saat ini adalah konseptualisasi sesuai strategi akulturasi. Pendekatan konseptual yang disajikan di sini didasarkan pada adanya tiga dimensi yang mendasari: pemeliharaan budaya, kontak dan partisipasi, dan kekuatan untuk memutuskan bagaimana akulturasi akan berlangsung. Isu terbaru kedua adalah apakah dua dimensi dan empat strategi akulturasi memiliki dasar empiris (lihat Rudmin & Ahmadzadeh 2001, dan Berry & Sam, 2003). Berry Phinney, Sam, dan Vedder (2006) mempelajari lebih dari 5.000 pemuda imigran yang menetap di 13 negara, dan dinilai dengan sejumlah konsep (termasuk sikap terhadap empat cara akulturasi, identitas etnis dan nasional, pengetahuan dan penggunaan bahasa etnis dan nasional, dan etnis dan teman-teman nasional). Empat profil akulturasi yang berbeda muncul dari analisis cluster semua data sikap dan perilaku tersebut. Jumlah terbesar dari kaum muda jatuh ke cluster integrasi, identitas etnis dan nasional yang positif, penggunaan kedua bahasa, dan jaringan pertemanan yang termasuk pemuda dari kedua budaya. Temuan empat cara yang berbeda di mana pemuda memberikan bukti substansial bagi keberadaan empat strategi akulturasi umum. Karena ini termasuk kesatuan sikap dan perilaku, mereka dianggap kolektif sesuai dengan gagasan strategi akulturasi. Bertentangan dengan kritik yang telah dicatat, selain itu, integratif tampaknya menjadi cara yang paling disukai untuk melakukannya. STRES AKULTURATIF Berry menyimpulkan bahwa pada masa yang telah lewat sebetulnya sudah ada kepedulian tentang dua hasil (yang dimaknai sebagai dampak) akulturasi psikologis, yakni tentang perubahan perilaku dan stress akulturasi yang disertai dengan dua istilah spesifik, yakni adaptasi psikologis dan adaptasi sosiokultural. Manakala pengalaman akulturasi dihakimi sebagai sesuatu yang tidak menimbulkan masalah bagi individu, perubahan tampaknya menjadi lebih mudah, dan perubahan perilaku mejadi lebih lancar. Proses yang



seperti itu mencakup tiga sub proses, yakni culture-shedding, culture-learning, dan cultureconflict. Dua proses pertama secara selektif, aksidental, dan deliberatif melibatkan proses kehilangan perilaku dan penemuan kembali perilaku baru yang dinilai lebih cocok dengan masyarakat yang sudah mapan. Semua proses itu disebut dengan istilah adjustment. Kebanyakan proses adjustment dilakukan dengan tanpa kesulitan yang berarti. Hasilnya adalah pengalaman akulturasi tidak dipahami sebagai suatu masalah. Tetapi tidak semuanya begitu, Karena ada beberapa pengalaman akulturasi yang menimbulkan permasalahan. Manakala level konflik yang lebih besar berkembang dan pengalaman tentang hal yang terkait dengan masalah akulturasi tersebut dipahamai sebagai suatu masalah (tetapi masih dapat dikontrol), maka paradigma stress akulturasi adalah sesuatu yang pantas diberikan. Pada tataran ini, individu menghadapi masalah yang muncul sebagai hasil dari kontak akulturasi, di mana dalam kontak tersebut seseorang tidak dengan mudah atau tidak dengan cepat menyesuaikan. Melalui hubungan antara dua konsep tersebut dengan strategi akulturasi maka dihasilkan beberapa penemuan empiris yang memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan generalisasi. Terkait dengan perubahan perilaku, perubahan yang paling sedikit dihasilkan dari strategi separasi, sementara perubahan yang paling besar dihasilkan dari strategi asimilasi. Strategi integrasi mencakup proses adopsi perilaku baru dari kelompok sosial yang lebih besar dan juga ingatan tentang gambaran nilai dari warisan budaya seseorang. Proses marginalisasi sering diasosiasikan dengan hilangnya warisan budaya utama dan munculnya banyak perilaku disfungsi ataupun juga perilaku menyimpang. Terkait dengan masalah stress akulturasi, kiranya juga jelas bahwa proses pencarian strategi integrasi merupakan model yang paling sedikit mendatangkan stress, sementara marginalisasi merupakan model yang paling banyak mendatangkan stress. Antara kedua ekstrim tersebut di atas adalah strategi akulturasi yang asimilatif dan separatif yang agak sedikit mendatangkan stress (Berry, 1997; Berry & Kim, 1988). ADAPTASI Sebagai hasil dari upaya untuk mengatasi perubahan akulturasi ini, beberapa adaptasi jangka panjang dapat dicapai: seperti yang disebutkan sebelumnya, adaptasi mengacu pada perubahan yang relatif stabil yang berlangsung dalam suatu individu atau kelompok dalam menanggapi tuntutan eksternal. Selain itu, adaptasi berkaitan dengan kecocokan antara



individu dan lingkungan mereka. Adaptasi akulturasi sangat bervariasi, mulai dari baik bahkan yang buruk, bervariasi antar individu dengan situasi. Adaptasi juga beragam. Perbedaan awal antara adaptasi psikologis dan sosial budaya diusulkan dan disahkan oleh Ward (1996). Adaptasi psikologis sebagian besar melibatkan psikologis seseorang dan kesejahteraan fisik sedangkan adaptasi sosial budaya mengacu pada seberapa baik individu yang berakulturasi mampu mengelola kehidupan sehari-hari dalam konteks budaya baru. Keduanya secara empiris terkait dengan batas tertentu. Berbeda dalam arti bahwa mereka biasanya memiliki program waktu yang berbeda dan prediktor pengalaman yang berbeda. Masalah psikologis segera terjadi setelah ada kontak, diikuti oleh adaptasi sosial budaya. Analisis faktor yang mempengaruhi adaptasi mengungkapkan pola umumnya konsisten. Adaptasi psikologis diperkirakan dipengaruhi oleh variabel kepribadian, peristiwa perubahan hidup, dan dukungan sosial, sedangkan adaptasi sosial budaya yang baik diperkirakan dipengaruhi oleh pengetahuan budaya, tingkat interaksi, dan sikap antarkelompok. Penelitian yang berkaitan adaptasi strategi akulturasi memungkinkan untuk beberapa generalisasi lanjut (Berry, 1997: Ward, 1996). Untuk kedua bentuk adaptasi, orang-orang yang ingin mencapai integrasi tampaknya lebih mudah disesuaikan. Dalam sebuah studi imigran Irlandia, Curran (2003) telah menunjukkan dengan jelas bahwa mereka yang memilih strategi integrasi memiliki kesehatan yang unggul daripada mereka yang memilih cara akulturasi lain, terutama marginalisasi. Bukti yang paling substansial dalam mendukung pola ini berasal dari studi tentang pemuda imigran (Berry et al., 2006). Penelitian ini menemukan bukti keberadaan perbedaan antara adaptasi psikologis beberapa masalah psikologis, harga diri yang tinggi dan kehidupan (terdiri dari kepuasan) dan adaptasi sosial budaya (penyesuaian sekolah yang baik beberapa masalah perilaku). Ketika dua langkah adaptasi tersebut berkaitan dengan empat profil akulturasi, pola yang jelas dan konsisten muncul. Mereka di cluster integrasi yang tertinggi pada kedua bentuk adaptasi, sedangkan orangorang di cluster difus pada posisi kedua. Mereka di cluster etnis memiliki adaptasi psikologis cukup baik, tapi adaptasi sosial budaya yang lebih rendah, sedangkan yang di cluster nasional memiliki skor yang lebih buruk pada kedua bentuk adaptasi. Temuan terbaru menunjukkan bahwa orang-orang yang menggunakan strategi integratif (dalam hal sikap identitas dan perilaku) akan mencapai adaptasi yang lebih baik daripada mereka yang menyesuaikan diri dengan cara lain, terutama mereka yang menyebar atau marjinal dalam cara mereka berakulturasi.



APLIKASI Sekarang terbukti bahwa kebanyakan orang yang telah mengalami akulturasi mampu bertahan hidup. Mereka tidak hancur atau secara substansial berkurang:, mereka menemukan peluang dan mencapai tujuan mereka kadang-kadang di luar cita-cita mereka. Para peneliti sering berpretensi mengenai akulturasi individu, dan memaksakan ideologi mereka sendiri atau pandangan pribadi mereka, daripada menginformasikan diri mereka tentang preferensi individu yang berakar pada budaya dan perbedaan. Salah satu konsep kunci untuk memahami variabilitas ini telah ditekankan dalam strategi akulturasi. Ada dua bidang aplikasi yang mendapat perhatian yang cukup besar dalam penelitian dan pengembangan kebijakan. Pertama,



kehidupan keluarga (termasuk hubungan antar



individu dalam keluarga, dan antara anggota keluarga dan dunia luar). Kedua, adalah di bidang imigrasi dan kebijakan pemukiman (termasuk masalah perubahan dalam lembagalembaga masyarakat, dan promosi keanekaragaman budaya). Sehubungan dengan akulturasi keluarga (Berry, 2006), menunjukkan bukti bahwa orang tua dan anak-anak memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan orangtuaremaja selama akulturasi. Misalnya, orang tua memiliki skor yang lebih tinggi pada ukuran kewajiban keluarga (misalnya, tanggung jawab untuk berbagai tugas) daripada anak-anak remaja mereka; kontras, pemuda imigran memiliki skor yang lebih tinggi pada skala hak remaja (misalnya, kemerdekaan pada kencan) dari orang tua mereka. Namun, perbedaan antara orang tua dan remaja dalam pandangan mereka tentang kewajiban keluarga bervariasi menurut profil pemuda yang berakulturasi : Mereka di profil nasional (yaitu, lebih memilih asimilasi, memiliki identitas nasional yang lebih kuat, dan memiliki teman-teman lainnya nasional) lebih besar perbedaan dari pandangan orang tua mereka. perbedaan ini dalam kewajiban skor keluarga (tapi skor hak tidak) dikaitkan dengan adaptasi psikologis dan sosial budaya miskin dari remaja. Proyek kedua berkaitan dengan keluarga telah dilakukan di 30 negara (lihat Georgas, Berry, van de Vijver, Kagitcibasi, & Poortinga 2006, untuk menangani persamaan dan perbedaan dalam struktur dan fungsi keluarga, dengan persamaan dan perbedaan dalam struktur dan fungsi keluarga, dan dengan beberapa berkorelasi psikologis mereka. penelitian ini telah menunjukkan variasi dalam fungsi keluarga yang terkait dengan konteks mereka ekologi (misalnya, ketergantungan pada pertanian, kemakmuran umum) dan variasi karena konteks sosial politik mereka (pendidikan, agama).



Sehubungan dengan kebijakan publik, generalisasi yang telah dibuat dalam bab ini atas dasar berbagai temuan empiris memungkinkan kita untuk mengusulkan bahwa kebijakan dan program publik yang berusaha untuk mengurangi stres akulturatif dan untuk meningkatkan adaptasi psikologis dan sosial budaya harus menekankan pendekatan integrasi untuk akulturasi (lihat Berry, 2000, untuk diskusi tentang biaya sosial dan psikologis dan manfaat dari multikulturalisme). Pentingnya menangani masalah ini baik di kebijakan nasional dan tingkat psikologis individu. Penelitian lebih lanjut sangat penting, karena dalam ketiadaan kejelasan konseptual dan empiris, kebijakan dapat menciptakan lebih banyak masalah sosial dan psikologis daripada pemecahan masalah. Di beberapa negara, perspektif integrasi telah menjadi peraturan sebagai kebijakan multikulturalisme, yang mendorong dan mendukung pemeliharaan budaya, dan pada saat yang sama dukungan partisipasi penuh dari semua kelompok etnokultural di lembaga berkembang dari masyarakat yang lebih besar (lihat Berry 1984, dan Berry & Kalin, 2000, untuk analisis kebijakan Kanada). Apa yang tampaknya pasti adalah bahwa keragaman budaya dan akulturasi yang dihasilkan di sini untuk diaplikasikan di semua negara. Menemukan cara untuk mengakomodasi satu sama lain merupakan tantangan dan kesempatan untuk psikolog sosial dan lintas-budaya di mana-mana.