Toksikologi Keracunan Asam Jengkolat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Keracunan Asam Jengkol (Jengkolisme) 2.1.1. Buah Jengkol



Gambar 1. Buah dan biji jengkol Buah jengkol (pithecolobium lobatum syn. Pithecolobium jiringa) sangat digemari oleh golongan tertentu pada penduduk Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Sumatera. Di Sumatera Barat penduduknya sangat menyukai masakan jengkol. Pada beberapa tempat, misalnya di suatu acara pesta tidak akan berarti apa – apa tanpa adanya masakan jengkol.1,2 Asal tanaman jengkol tidak diketahui pasti tetapi tanaman sudah sejak lama di tanam di Indonesia dan wilayah – wilayah lain sebelah barat Indonesia seperti Thailand, Malaysia dan juga Filipina. Dilema yang menarik dalam konsumsi jengkol adalah kemanfaatan sebagai sumber karbonhidrat dan kerugian bau yang ditimbulkan serta kemungkinan keracunan akibat asam jengkol. Biji jengkol biasanya diolah dan dikonsumsi dalam bentuk emping, semur, sambal goreng, rendang, urap atau lalapan mentah. Selain bijinya yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan, jengkol juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Kulit batang tanaman jengkol secara tradisional digunakan untuk mengobati sakit gigi, sedangkan daunnya digunakan untuk mengobati luka dan kudis. Selain itu, jengkol juga digunakan pada penyakit diabetes dan tekanan darah tinggi.3 Tidak satupun text book Urologi ataupun pediatrik non Indonesia yang membahas masalah keracunan jengkol. Hal ini disebabkan karena penyakit ini spesifik muncul di Indonesia terutama di Jawa Barat. 4-6



3



2.1.2. Kandungan Zat Dalam Biji Jengkol Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam biji jengkol terkandung nutrisi yang diperlukan oleh tubuh antara lain karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B, fosfor, kalsium, dan besi. Kadar protein dalam biji jengkol (23,3 gram per 100 gram bahan) melebihi kadar protein dalam tempe (18,3 gram per 100 gram bahan) sehingga jengkol dapat menjadi sumber protein nabati. Namun, selain kandungan nutrisi tersebut terdapat kandungan senyawa dalam jengkol yang berisiko dapat menimbulkan keracunan yaitu asam jengkolat.3 Tabel 1. Komposisi Bahan Dalam Buah Jengkol Kandungan Kalori Protein Lemak filtrat arang C2 F



Jumlah 20,0 gr 3,5, gr 0,1 gr 3,1 gr 21,0 gr



Kandungan Fe Vit. A Vit. B Vit. C Air 25,0 gr



Jumlah 0,7 gr 240 iu 0,1 mg 12,0 mg 93,0%



Sumber : Direktorat Gizi (1972) Asam jengkolat atau jengkolic acid (S,S’-methylenebicysteine) merupakan senyawa sejenis asam amino non-protein yang mengandung unsur sulfur. Senyawa ini tersusun dari dua



asam



amino sistein yang



diikat



oleh



satu



gugus metil pada



atom



belerangnya. Nama IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) -nya adalah asam (2R)-2-amino-3-(2R)-2-amino-3-hidroksi-3-oksopropil



sulfanil



metil



sulfanil



propanoat. Adanya unsur sulfur menyebabkan asam jengkolat dapat menghasilkan bau yang kurang sedap. 3,7



Gambar 2. Struktur asam jengkolat



Senyawa ini bersifat amfoter, dapat larut dalam suasana asam amupun basa. Kristal berwarna putih dan tidak berbau. Daya larut dalam air sangat kecil, yaitu sekitar 10-20 mg dalam 10 ml air, dan pada pH isoelektrik 5,5, terjadi pengendapan kristal asam jengkol.15 4



Isolasi asam ini pertama kali dikerjakan oleh Van Veen and Hyman 8 dari urin penduduk yang mengalami keracunan jering / jengkol. Mereka berhasil mengisolasi kristal asam ini dari biji jering menggunakan barium hidroksida (Ba(OH) 2) pada 30°C dan ditunggu beberapa waktu.9 Kandungan asam jengkolat dalam biji jengkol bervariasi, tergantung varietas dan usia bijinya. Biji jengkol muda mengandung asam jengkolat relatif lebih sedikit daripada biji yang sudah tua. Pada biji jengkol tua terkandung asam jengkolat 1-2% dari berat bijinya. Sebutir biji jengkol mentah dengan berat 15 gram dapat mengandung sekitar 0,15 – 0,30 gram asam jengkolat.3 Diketahui pula, biji legum lain juga mengandung lebih sedikit asam ini:Leucaena esculenta (2.2 g/kg) dan Pithecolobium ondulatum (2.8 g/kg).10 2.2. Toksikologi Keracunan Asam Jengkolat (Jengkolisme) Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejalagejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang meninggal. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan. Mulai dari cara masuk, umur, kondisi tubuh, kebiasaan, indosinkrasi dan alergi serta waktu pemberian.14 2.2.1. Farmakokinetik Asam Jengkolat Asam jengkolat relatif mudah dan cepat diabsorpsi oleh usus halus, kemudian 2-3jam berikutnya sudah ditemukan pada urin penderita dengan bentuk yang tidak berubah, dan dalam jumlah yang besar. Ini menunjukkan efisiensi penyerapan yang tinggi dari usus, dan ginjal terkesan sebagai alat ekskresi utama bagi asam jengkolat, dan bahan ini tidak mengalami metabolisme berarti dalam hati. Di dalam darah, asam jegnkolat ditransportasikan dalam bentuk ikatan longgar dengan albumin sehingga dengan mudah dilepaskan oleh albumin dan lolos dari saringan glomerulus.15 Asam jengkolat mampu merembes ke jaringan sekitar (imbibisi), sehingga pada beberapa kasus keracunan jengkol yang disertai sumbatan di uretra, asam ini keluar ke jaringan sekitar (ekstravasasi) bersama dengan air kemih dan tertimbun di jaringan tersebut sehingga terbentuk infiltrat air kemih yang mengandung kristal asam jengkolat pada penis, skrotum dan di daerah suprapubis. Hal ini lebih sering terlihat pada anak-anak (Moenanjat dkk, 1936). Pada anak laki-laki, hablur asam jengkolat banyak berkumpul di fossa naviculare penis. Pada 20% penderita keracunan yang ditemukan inflitrat di daerah penis dan suprapubis. Bila dilakukan torehan (excisie), infiltrat ini mengandung hablur asam jengkolat 5



(Sadatun dan suharjono,1968). Rembesan cairan urin (mengandung kristal asam jengkolat) daerah suprapubis, dapat terjadi bila ureter atau vesika urinaria mengalami peregangan berlebihan, dan cairan keluar melalui celah antar sel epitel permukaan (Junqueira dkk, 1998).19 2.2.2. Farmakodinamik Asam Jengkolat dan Patogenesa Jengkolisme Mengkonsumsi biji jengkol mentah atau setengah matang diduga berperan memberikan potensi risiko terjadinya keracunan jengkol karena asam jengkolat yang terkandung dalam biji jengkol mentah masih dalam keadaan utuh dan aktif. Namun demikian tidak semua orang yang mengkonsumsi jengkol akan mengalami keracunan karena faktor utama penyebab kejadian keracunan akibat jengkol tergantung pada daya tahan tubuh seseorang, dalam hal ini kondisi lambungnya, jumlah jengkol yang dikonsumsi, atau cara memasaknya. Seseorang yang mengkonsumsi jengkol dalam kondisi lambung yang asam akan lebih berisiko mengalami keracunan.3 Jumlah buah yang dimakan juga bervariasi untuk menimbulkan keracunan yaitu antara 1-10 buah jengkol.19 Laporan kasus oleh Bunawan et al. (2014), sindrom jengkolisme muncul 2-12 jam paska mengkonsumsi jengkol.12 Mathew & George (2011) mengungkapkan bahwa jengkol merupakan penyebab utama dari Gagal ginjal akut akibat bahan makanan yang terjadi di Asia Tenggara. Karbon disulfida yang terkandung dalam asam jengkolat merupakan zat yang bersifat nefrotoksik sehingga berbahaya bagi ginjal. Karbon disulfida menyebabkan nekrosis pada tubulus dan glomerulus ginjal. 11 Patogenesis terjadinya Gagal ginjal akut akibat jengkol sampai saat ini masih belum diketahui secara menyeluruh. Patogenesis terjadinya jengkolisme diduga berkaitan dengan interaksi host dan agent. Beberapa studi memberikan pendapat bahwa kerusakan ginjal yang terjadi akibat adanya reaksi hipersentivitas, efek toksis langsung asam jengkolat terhadap parenkim ginjal, endapan metabolik jengkol, spasme ureter, atau adanya obstuksi saluran kemih oleh kristal jengkolat (urolitiasis jengkolat). Hipersensitivitas terhadap salah satu komponen dalam jengkol diduga berperan penting dalam etiologi jengkolisme sehingga senyawa tersebut bisa bersifat nefrotoksik bagi host. 12 Studi eksperimental pada tikus dan mencit yang pernah dilakukan, tidak memberikan kesimpulan yang berarti selain adanya nekrosis tubular akut (NTA). Nekrosis tubular akut dapat terjadi akibat obstruksi kristal jengkolat pada tubulus renal. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan karena tidak adanya bukti histologis renal pada penderita gagal ginjal akut akibat jengkolat. 12 6



Karyadi dan Muhilal (1994), telah melakukan percobaan untuk melihat kecukupan kebutuhan asam amino perhari pada hewan percobaan, menyimpulkan bahwa suplementasi asam amino berlebihan dapat menimbulkan keracunan. Bila masukan protein rendah, maka toleransi terhadap pemberian asam amino tertentu yang berlebihan, lebih rendah dibanding pada mereka yang mendapat masukan protein lebih tinggi. Berikut ini dapat dilihat perkiraan kebutuhan asam amino pehari pada seorang anak.19 Tabel 2. Perkiraan Kebutuhan Asam Amino sesuai umur (mg/KgBB/hari) Asam Amino Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Penilalanin tirosin Threonin Triptopan Valin



Bayi (3-4- bln)



Kelompok Balita (1-5 thn)



Umur Anak



Sekolah Dewasa



+



28 70 161 103 58



31 73 64 27



(6-12 thn) 28 44 44 22



+



125



69



22



87 37 28 17 12,5 3,3 93 38 25 Sumber : FAO/WHO/UNU, 1985 (Karyadi dan Muhilal, 1994)



8-12 10 12 12 13 14 7 3,5 10



Dalam 1 buah jengkol dengan bobot sekitar 17,7 g/buah, terkandung sekitar 210 mg asam amino jengkolat. Dengan demikian, seorang anak dengan bobot rata-rata 15 kg, dan makan 2 jengkol, mengkonsumsi 28 mg/ Kg BB asam jengkolat setiap kalinya. Data ini menunjukkan bahwa seorang anak penggemar jengkol telah mengkonsumsi “asam amino” jengkolat melebihi kebutuhan sistein perhari, dan mengacu pada laporan Suharjono (1968) yang mencatat bahwa konsumen jengkol kebanyakan berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah, yang perharinya memperoleh masukan protein yang rendah, maka mengacu pada uraian Karyadi dan Muhilal (1994), ada kemungkinan masalah kekurangan protein menjadi faktor pemicu munculnya keracunan jengkol.19 2.2.2.1. Pembentukan Kristal Asam Jengkolat Pada sistem saluran kemih, pembentukan kristal dapat ditemukan secara kasat mata di berbagai bagian dari ginjal, mulai dari lubang keluar ureter, kandung kemih, uretra, ujung 7



luar penis, dan pada kondisi yang hebat, dapat ditemukan pada jaringan intersisial penis dan skrotum. Kristal masih dapat ditemukan bila contoh urin segar kita ambil, tetapi beberapa lama kemudian kristal akan menghilang bila urin disimpan lama. Kristal asam jengkolat ternyata tidak ditemukan secara mikroskopik pada semua contoh urin walaupun keadaan keracunannya tergolong berat. Moenadjat dkk (1963) menduga bahwa pembentukan kristal kemungkinan akibat orang tersebut banyak berkeringat, sehingga seolah-olah ada kekurangan cairan badan dengan akibat kadar asam jengkolat dalam badan relatif bertambah, sehingga penghabluran menjadi lebih mudah. Selanjutnya dikatakan bahwa sungguhpun hablur tidak ditemukan secara mikroskopik dalam sedimen urin, tetapi pada beberapa sitoskopi hablur itu dapat terlihat secara kasat mata. Dengan ditemukannya fakta ini, dikatakan bahwa dugaan terdahulu adalah benar yaitu anuria terjadi akibat masalah mekanik. 19 Walaupun dalam urin secara mikroskopik tidak selalu dapat ditemukan kristal, penyelidikan Oen dkk (1972), dengan cara khromatografi kertas, mengemukakan bahwa pada semua pemakan jengkol, urin mengandung bahan asam jengkolat.15 Peny dkk (1984), menjelaskan bahwa pmbentukan kristal diawali oleh terbentuknya inti kristal, dan disusul dengan bertumbuhnya kristal menjadi besar. Pengkristalan dimungkinkan terjadi bila



bahan terlarut menjadi sangat jenuh (supersaturated).



Supersaturasi terjadi bila larutan encer dipekatkan melalui penarikan bahan pelarut (solvent). Royer dkk (1974), tentang proses litogenesis, menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, urine merupakan pelarut yang lebih baik dari air. Cairan kemih mengandung berbagai bahan dalam kondisi supersaturasi dan secara fisikokimiawi berada dalam keadaan tidak stabil. Proses pengendapan bahan untuk menjadi kalkuli di urin, bergantung pada kecepatan aliran, volume air, daya tarik ionik, pH, bahan terlarut lainnya, dan telah terbentuknya nukleus kristal. Kecepatan aliran merupakan faktor terpenting dan menjadi faktor predisposisi untuk pembentukan kalkuli, sedang pH merupakan faktor fundamental. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kejadian pembentukan kalkuli, mudah terjadi pada bayi dan anak, karena sering mengalami kekurangan air secara tidak wajar, misalnya diare dan demam, Tempat yang paling ideal untuk terbentukanya kristal, adalah di kaliks ginjal, karena di tempat ini kepekatannya tertinggi.19 Pada ginjal, filtrat glomerulus awalnya encer, dan filtrat menjadi sangat pekat di daerah tubulus proksimal karena penarikan air secara reabsorpif aktif sebanyak 95%. Penarikan air menjadi maksimal setelah tubulus distal menjalankan perannya dengan menarik air sekitar 4% lagi bila tubuh perlu lebih banyak air dikembalikan ke dalam tubuhn sehingga



8



dengan bantuan vasopresin, konsentrasi bahan dapat mencapai kepekatan 1.200 mosm/l saat meninggalkan tubulus kontortus.20 Meatabolisme dalam tubuh meninggalkan produk sampah metabolisme yang menghasilkan banyak asam. Penumpukan asam harus dibuang dan ginjal merupakan salah satu organ yang melaksanakan pengeluaran asam tubuh, sehingga cairan kemih cenderung mejadi lebih asam dan pH cairan kemih menurun. 20 Turunnya pH dapat sebegitu rendahnya dan dapat mencapai pH 5,5 atau lebih rendah lagi. Pada Ph 5,5 ini merupakan pH isoelektrik asam jengkolat.Sehingga membantu proses pengkristalan.15 Batuan urin pada awalnya berupa bahan dasar kristal yang kemudian menyatu menjadi senyawa kompleks yang padat dan keras dengan permukaan luar yang kasar dan runcing. Penyatuan terjadi setelah kristal satu dengan lainnya diikat oleh matrik organik yang terdapat dalam cairan kemih, dimana kadar matrik organik berkisar 2,5 – 10% dari berat batuan. Penyatuan dalam bentuk senyawa komplek yang besar, memerlukan waktu yang cukup lama karena penyatuannya berlangsung secara bertahap hari demi hari. Setelah berbentuk batuan keras mirip batu karang, barulah kalkuli ini bepotensi melukai dinding saluran kemih baik saat terkelupasnya batuan dari tempat perlekatannya, ataupun sepanjang perjalanannya pada saluran kemih. Dengan demikian pada hematuria, perlu sekali diperhatikan apakah kristal yang ditemukan telah menyatu dan telah merupakan bentukan senyawa komplek yang keras, sehingga mampu melukai dinding saluran kemih.19 Kristal asam jengkolat dalam urin, dapat berbentuk jarum gelendong (spindle), bila dalam keadaan terpisah atau berbentuk bunga mawar (rosete) bila dalam bentuk berkelompok. Gambar berikut memperlihatkan kristal asam jengkolat.



Gambar 3. Bentuk kristal asam jengkolat (Oen dkk, 1972)



9



Kristal asam jengkolat ternyata tidak ditemukan pada semua urin penderita kracunan jengkol, bahkan penderita keracunan berat dan gagal ginjal akut, lebih banyak ditemukan negatif, padahal hematuria selalu ada.1 Tabel 3. Kristal asam jengkolat dalam urin yang ditemukan pada berbagai pemeriksaan Pemeriksaan Sadatun dan Suharjono, 1968 Oen dkk, 1972 Alatas, 1994 Segasothy, 1995 Vachcanichsanong dan Lebel, 1997 Noviendri, 2000 (marmut)



Jumlah bahan 50 11 39 4 40 20



Jumlah kristal 30 2 ? 0 0 9



% 60 18 ? 0 0 45



2.2.2.2. Tubulus Nekrosis Akut Keracunan jengkol dapat menimbulkan masalah yang serius, dan sering penderita dibawa dalam keadaan yang berat dan sudah terjadi gagal ginjal akut. Kegagalan fungsi ginjal diakibatkan terjadinya nekrosis tubulus yang akut seperti ditemukan oleh Alatas (1994), yaitu pada biopsi ginjal ditemukan kerusakan epitel tubulus. Hal yang mirip juga didapat oleh Segasothy dkk (1995) yang melihat adanya fokus-fokus nekrosis tubuler yang tersebar luas, edema jaringan intersisial, sedangkan dari delapan glomerulus yang ditemukan, kesemuanya terkesan normal.19 Aliran darah ginjal yang menuju glomerulus hanya 20%, sedang 80% lainnya mengalir melalui kapiler peritubuler. Dengan demikian klirens glomerulus hanya membersihkan 20% darah yang mengalir ke ginjal. Hal ini memberi pengertian bahwa pembersihan lainnya sebanyak 80%, dilaksanakan langsung dari darah yang mengalir dari peritubuler dan kerja ini dilakukan oleh sel tubulus yang menerima kiriman bahan langsung dari kapiler peritubuler.20 Melalui penjelasan ini dapat diduga bahwa bahan perusak (asam jengkolat atau metabolitnya) akan masuk ke dalam sel tubulus melalui 2 jalur yaitu sebagai bahan yang masuk kembali melalui reabsorbsi, dan dari hasil perembesan langsung dari pembuluh darah peritubular.19 Bahan berasal dari jalur reabsorbsi, terjadi karena sifat reabsorbsi tubulus proksimal yang uncontrolled, akan menyerap kembali bahan penting, termasuk (mungkin) asam jengkolat sebagai asam amino non esensial. Sifat reabsorbsi tubulus, tidak berbeda dengan usus dan bentukan asam amino L-isomer akan dirabsorbsi secara aktif oleh sel tubulus. 20 Asam jengkolat sangat mungkin mengalami hal yang sama, sehingga bersama dengan hasil



10



perembesan melalui kapiler peritubuler, akan menyebabkan asam jengkolat terkonsentrasi di daerah kortikal ginjal secara cukup.19 Togi berasumsi bahwa akibat konsentrasi yang tinggi dari asam jengkolat atau metabolitnya, mengakibatkan terjadinya nekrosis jaringan tubulus yang akut, dan gangguan timbul melalui :19 1. Asam jengkolat atau metabolitnya memgakibatkan kelumpuhan kerja berbagai enzim seperti Na-K-ATPase, yang mengakibatkan menumpuknya ion H, ion Na, dan air dalam cairan intrasel. Terjadinya pembengkakan sel dan organel, selanjutnya akan mengakibatkan kematian sel.20 2. Asam jengkolat merupakan asam amino, dan asam amino merupakan suatu bentukan protein yang lebih kecil. Remuzzi dkk (1997) menjelaskan bahwa lisosom akan segera mencerna dan mengolahnya, dan dengan segera bertindak melakukan endositosis. Struktur asam jengkolat merupakan L-asam amino, dan tubuh memang hanya mempunyai enzim pencerna untuk L-asam amino.Tetapi asam jengkolat tidak termasuk dalam 20 asam amino pembentuk protein, sehingga tubuh akan menolak untuk mengolahnya. Karyadi dan Muhilal (1994), menjelaskan potensi toksik dari asam amino yang diberikan secara berlebih. Sesuai dengan umur terbanyak penderita (4-7 tahun), kebutuhan metionin + sistin berkisar antara 22-27 mg/kgBB/hari. Dengan bobot badan rata-rata 15 Kg, maka kebutuhan metionin + sistin maksimal 405 mg perhari. Dengan makan 1 jengkol, seorang anak telah mengkonsumsi 150 mg asam jengkolat yang notabene juga merupakan sistin, sehingga dengan memakan 2 jengkol, kebutuhan maksimalnya cenderung telah dilampaui. Sifat sel tubulus untuk mereabsorbsi asam amino asam jengkolat ditambah masuknya asam jengkolay dari kapiler peritubuler, dan terlebih lagi dengan sel tubuli yang tidak mampu mengolah asam amino jengkolat, memungkinkan asam jengkolat sebagai asam amino bermasalah berada pada sel tubulus ginjal dalam jumlah berlebih. Kondisi ini memungkinkan asam jengkolat secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya stres protein. Organel akan bengkak dan akhirnya pecah. Enzim pencerna sel akan keluar ke sekitarnya. Keluarnya enzim pencerna seluler ini ke jaringan sekitar, tentu bersifat sangat merusak dan akan mengakibatkan hancurnya dinding sel tubulus dan endotel pembuluh darah peritubuler. 3. Kerusakan organel juga akan mengakibatkan rusaknya peroksikom, ayng kaya dengan ion H+.20 Keluarnya asam ini akan menyebabkan sinyal untuk ginjal mengeluarkan lebih banyak asam dan pH urin akan menurun secara bertahap.19 11



4. Gangguan pH dan stres protein dapat menyebabkan enzim asetilkolin esterase terhambat kerjanya, dan akan terbentuk oksigen reaktif. Poovala dkk,mengatakan bahwa oksigen reaktif ini akan mengakibatkan rusaknya tubulus ginjal melalui kerusakan lisosom, dan senyawa radikal bebas ini akan bekerja secara langsung, dan akan mengakibatkan kerusakan sel tubulus. Lameire dan Vanholder (2001) menjelaskan terjadinya sejumlah respon metabolik bila tubulus mengalami iskemia atau nefrotoksik yang mengakibatkan deplesi ATP sel, pembengkakan sel, meningkatnya kadar ion Ca bebas dalam intrasel, aktifnya enzim fosfolipase yang akan merusak lapisan lemak pada plasma membran dan organel subseluler, akrtfinya protease, dan meningkatkan pembentukan oksigen radikal. Oksigen radikal seperti NO (nitrogen monoksida), akan menyebabkan terkelupasnya epitel tubulus (detachment) dan degan cepat berkembang menjadi nekrosis tubulus akut. Nekrosis yang terjadi bisa sangat luas, dan bersifat sangat akut, sehingga mampu menimbulkan gagal ginjal akut. Perdarahan yang ditimbulkannya juga dapat bersifat masif, dan akibat dinding tubulus juga rusak, darah dapat masuk ke tubulus, keluar bersama urin, sehingga dapat dilihat secara kasat mata (gross hematuria). Kemungkinan hebatnya perdarahn ini dapat menjelaskan bahwa kadang-kadang dapat ditemukan gumpalan darah di kandung kemih.19 Di lain pihak, obstruksi oleh kristal dapat juga mengakibatkan meningkatnya tekanan intraluminar sehingga cairan dari lumen berbalik kearah sel tubulus dan jaringan intersisial (back leak). Sel ini akan mengakibatkan menumpuknya cairan dan sampah metabolisme dalam sel tubulus dan jaringan intersisial dan bila prosesnya berlanjut, akan mengakibatkan kematian jaringan yang luas. Nekrosis tubulus dapat terjadi. Bila kerusakannya berat, perdarahan dapat juga terjadi. Selain itu, pembentukan kristal juga daoat menyebabkan terjadinya perdarahan akibat perlukaan dinding yang dilengkapi oleh otot polos. Pada perdarahn akibat pergesekan ini, kristal harus dalam bentuk kristal komplek yang sudah keras. Tipe perdarahan seperti ini, dapat terjadi dari ureter sampai uretra, Dalam masalah keracunan jengkol yang disertai obstruksi oleh kristal, baik yang mengakibatkan nekrosis jaringan, ataupun yang menimbulkan perdarahan, prosesnya berlangsung lama. Mengingat cepatnya muncul gejala keracunanm sulit untuk menjelaskan bahwa kristal menjadi penyebab pokok pada masalah keracunan jengkol.19 2.2.2.3. Hematuria Pada Keracunan Jengkol Salah satu gejala pada keracunan jengkol adalah hematuria, dan selama ini diyakini ditimbulkan oleh tajamnya kristal yang menggores dinding sistem perkemihan. Bentuk kristal asam jengkolat memang runcing, dan adakalanya pembentukan kristal begitu hebatnya 12



sehingga dapat ditemukan pada orifisium ureter eksterna, kandung kemih, orifisium uretra eksterna terutama di fosa navikularis penis, dan lebih hebat lagi, dapat ditemukan pada jaringan intersisial penis, skrotum, suprapubis, dan daerah inguinal.19 Anggapan para klinisi tentang hematuria ini juga bervariasi, tetapi umumnya berpendapat bahwa kemunculan hematuria pada penderita keracunan yang datang untuk ditolong, mengindikasikan kondisi penderita dalam keadaan keracunan berat. Keadaan di lapangan (wawancara dengan penggemar jengkol) kelihatannya berbeda dalam memandang suatu hematuria, karena bagi mereka ini adalah biasa bila kencing berdarah setelah makan jengkol. Pendapat penggemar ini kelihatannya sesuai dengan yang ditemukan oleh Vachvanichsanong dan Lebel (1997), yang melakukan survei pada 609 anak di daerah yang banyak tumbuh jengkol sejumlah 80% mengaku penggemar jengkol, dan di antara mereka ini, 31% mengaku dalam 24 jam terakhir telah makan jengkol dimana pemeriksaan urin menunjukkan bahwa 7,8% hematuria, 8,4% kristaluria, dan 7,0% lekosituria (pyuria), juga ditambahkan bahwa resiko hematuria tidak mengurangi minat makan jengkol.19 Hematuria diperiksa dengan memakai mikroskop biasa, dan eritrosit secara utuh dapat dilihat dengan baik. Segasothy dkk 1995, memeriksa struktur mikroskopik eritrosit dalam di urin memakai fase kontras, tidak melihat ada bentuk yang gepeng, semuanya isomorfik dan menyimpulkan sebagai perdarahan non-glomerular.19 Hematuria ini sering dapat dilihat secara kasat mata (gross hematuria), bahkan pada penderita yang ditangani oleh Siswan (1992) bekuan darah keluar saat kandung kemih dibilas.19 Untuk masalah keracunan jengkol ini, hematuria oleh kristal asam jengkolat, bila timbul akibat robekan dinding oleh ketajaman kristal maka sebagai konsekuensi perdarahan terbuka, akan ditemukan penyebab terletak pada segmen bawah sistem kemih (ureter sampai uretra), butiran eritrosit tidak ditemukan di daerah nefron fungsional khusunya pada segmen atas. Eritrosit baru kemudian dapat ditemukan bila sumbatan oleh kristal telah mengakibatkan pembendungan lanjut yang telah mencapai glomerulus.19 Bila masalahnya diakibatkan bahan nefrotoksik, dan dengan mengingat kemungkinan awal terjadi lebih dahulu di daerah tublus proksimal, maka butiran eritrosit mungkin dapat ditemukan mulai dari tubulus daerah kortikal ginjal sampai ke kandung kemih. Butir eritrosit tidak ditemukan di lumen kapsula bowman sepanjang anyaman glomerular tidak mengalami kerusakan.19 Pemeriksaan struktur mikroskopik eritrosit memakai kontras, tidak menunjukan adanya anisomorfisme butir darah, dan ini mengindikasikan bahwa darah berasal dari keluarnya darah langsung dari pembuluh darah yang terbuka. Hasil pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan bahwa ureter dan vesika urinaria hanya menunjukkan 13



dilatasi ringan tanp ada kerusakan pada epitel dinding, dapat memastikan bahwa sumber perdarahn terletak pada bagian yang lebih tinggi. Pengamatan histopatologi pada tubulus moduler yang juga cenderung tergolong gangguan ringan, juga mengindikasikan bahwa sumber perdarahan bukan dari bagian medula ginjal, tetapi berasal dari bagian yang lebih tinggi.19 2.2.2.4. Keluhan Nyeri Pinggang Salah satu keluhan yang menonjol adalah nyeri pinggang, baik yang disebut kolik maupun sakit pinggang. Keluhan nyeri pinggang dan kolik ini menunjukkan suatu nyeri berkepanjangan, yang melibatkan serabut saraf tipe C sebagai penghantarnya. Untuk rasa nyeri tipe ini, bradikinin memegang peranan pokok dalam memicu munculnya rasa nyeri ini, dan derajat nyeri bertambah dengan adanya pengaruh prostaglandin yang juga dikeluarkan pada kerusakan sel. Bradikinin menjadi aktif bila enzim lisozim keluar dari jaringan yang rusak. Bradikinin juga punya kontribusi dalam reaksi peradangan.20 Untuk rasa nyeri ini, kolik akan lebih dominan bila ada sumbatan pada ureter, dan rasa pegal akan lebih dominan bila reseptor nyeri pada kapsul ginjal terangsang. Perlu dicatat disini bahwa frekuensi kolik dan pegal terjadi sama banyak pada penderita yang dirawat.19 Bila asam jengkolat mebimbulkan masalah awal melalui pemebntukan kristal yang menymbat ureter, kolik akan mengawali segala keluhan. Bila bahan nefrotoksik menimbulkan masalah awal melalui kerusakan jaringan, maka rasa pegal akan mengawali keluhan.19 Kerusakan sel di daerah tubulus kortikal, dapat mengakibatkan dikeluarkannya kininkinin seperti bradikinin, dan bersamaan dengan dikeluarkannya prostaglandin ke daerah kerusakan, akan timbul rasa nyeri hebat. Hal ini dapat menjawab mengapa muncul nyeri kolik dan nyeri pinggang dalam waktu singkat, sejalan dengan munculnya hematuria.19 2.2.2.5. Perubahan pH urin Buah jengkol mampu menimbulkan urin yang sangat asam, walaupun asam jengkolat bersifat amfoter dan merupakan asam lemah. Oen dkk (1972) mendapat hasil pH 5-5,5 pada urin penderita keracunan dan orang percobaan yang ditelitinya. Adanya kristal dalam urin, dan dengan pH isoelektrik 5,5 dari asam jengkolat, mengajak berpikir ada saat dimana pH di bagian ginjal tertentu telah mencapai pH 5,5, bahkan bisa lebih rendah lagi.19 Urin manusia memiliki pH berkisar 4,5-8,0 dan berfluktuasi sesuai dengan kondisinya. Darah arteri memiliki pH 7,40, dengan kisaran plus minus 0,05.20 Diatas 7,45 sudah terjadi alkalosis, sedang di bawah 7,40 sudah terjadi asidosis. Untuk mempertahankan pH darah dengan kisaran sempit ini, tubuh dilengkapi oleh berbagai 14



sistem sistem dapar (buffer). Ginjal juga mengemban tugas ini sebagai lini ketiga, dengan mangatur ekskresi ion H+, ion HCO3- dan NH3 (amonia).19 Oen dkk (1972) mencatat pH urin berkisar pada 5,0-5,5, suatu pH yang sangat asam, sehingga patut diduga telah terjadi suatu masalah pada tubuh, sehingga ginjal terpacu kuat untuk mengeluarkan banyak asam ke dalam lumen saluran kemih.



19



Secara fisiologis tubuh



akan memakai ginjal untuk membantu membuang kelebihan asam dalam tubuh, bila lini pertama (dapar kimiawi) dan lini kedua (dapar respirasi) mengalami kesulitan dalam mempertahankan pH tubuh agar tetap diatas pH 7,35 (pH terendah tubuh). Ini mengindikasikan bahwa ginjal telah memperoleh sinyal adanya kelebihan asam, baik ekstrasel maupun intrasel, sehingga segera bekerja membuang kelebihan beban asam dalam tubuh, apapun penyebabnya. 20 Dalam penelitian Togi (2002) terhadap marmut, ia mendapatkan kristal asam jengkolat pada beberapa urin marmut, ini menunjukkan bahwa pada sistem nefron ginjal, kemungkinan telah terjadi penurunan pH isoelektrik 4,5 telah tercapai, walaupun pH urin yang terendah hanya tercatat sebesar 7,30. Kristal yang ditemukan pada keadaan pH yang basa ini, dapat dimungkinkan selama tingkat kejenuhan kelarutannya maksimal.19 Terbukti secara statistik bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pH urine antara paparan jengkol dengan kelompok tanpa paparan jengkol dan perbedaan tersebut berhubungan dengan perbedaan dosis paparan jengkol. Akan tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna kadar ion bikarbonat (HCO3) dalam darah dengan pemberian jengkol.17 2.2.2.6. Munculnya Anuria Schureks dan Johns (1997), mengatakan bahwa tubulus proksimal harus dilindungi terhadap kemungkinan tejadinya defisiensi oksigen karena tubulus proksimal punya kapasitas yang kecil terhadap oksidasi glikolitik. Untuk itu, kelemahan ini dilindungi melalui tubulo glomerular feedback (TGF). Bagian terminal akhir dari segmen tebal yang menaik (tubulus distal), yaitu makula densa, bertindak sebagai alat picu untuk pelaksanaan TGF, dan mengatur agar laju filtrasi tidak terlalu besar dan membebani tubulus karena tubulus akan perlu lebih banyak oksigen saat melakukan reabsorbsi aktif. Alat picu bekerja bila terjadi kenaikan kadar ion natrium. Perubahan pada glikolisis, secara dramatis akan mengakibatkan perubahan efisiensi daya transpor dari bagian segmen tebal yang menaik.19 Kerusakan daerah tubulus kortikal, menyebabkan kemampuan tubulus proksimal menurun dalam melaksanakan reabsorbsinya. TGF yang terpicu untuk bekerja, dengan segera akan menurunkan daya transpornya, dan bersamaan dengan diperintahkannya glomerulus 15



mengurangi laju filtrasinya, akan menyebabkan terhentinya aliran kemih, dan terjadilah anuria.19 Kristal-kristal asam jengkolat yang telah terbentuk, pada gilirannya akan mengendap sejalan dengan berhentinya aliran kemih. Endapan yang banyak akan mampu mengakibatkan sumbatan, dan ini akan mengakibatkan bertambah beratnya keadaan.19 2.2.3. Kriteria Diagnostik Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala yang sesuai dengan racun penyebab. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya racun pada sisa barang bukti. Yang terpenting pada penegakan diagnosis keracunan adalah dapat ditemukan racun/sisa racun dalam tubuh/cairan tubuh korban, jika racun menjalar secara sistemik serta terdapatnya kelainan pada tubuh korban, baik mikroskopik yang sesuai dengan racun penyebab. Disamping itu perlu pula dipastikan bahwa korban tersebut benar-benar kontak dengan racun.14 Yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan korban keracunan ialah : keterangan tentang racun apa kira-kira yang merupakan penyebabnya, dengan demikian pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih terarah dan dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya.14 Pada Jengkolisme Penetapan diagnosis keracunan jengkol bagi seorang dokter yang pemah melihat kasus keracunan jengkol dan pernah mencium bau khas jengkol memang tidak terlalu sulit. Anamnesa yang cukup teliti akan mengungkapkan bahwa gejala-gejala keracunan timbul beberapa waktu setelah memakan buah jengkol.15 Selain anamnesa juga diperlukan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. 2.2.4. Gejala dan Tanda Jengkolisme Sindrom jengkolisme secara dominan lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 7:1. Insidensi jengkolisme meningkat pada bulan September sampai dengan Januari saat pohon jengkol berbuah. Sindrom yang terjadi tidak serta merta muncul sesaat setelah mengkonsumsi jengkol. Laporan kasus oleh Bunawan et al. (2014), sindrom jengkolisme muncul 2-12 jam paska mengkonsumsi jengkol. Gejala yang muncul lebih banyak terjadi pada sistem nefrourologi. 12 Bunawan et al. (2014) telah membuat laporan kasus pasien penderita jengkolisme. Gejala jengkolisme muncul 2-12 jam paska konsumsi biji jengkol berupa nyeri kostovertebrae (flank pain), spasme vesika urinari (VU), disuria, kolik, flatulen, muntah, dan gangguan gastrointestinal berupa diare atau konstipasi. 12,13 Dimana bila dipersenkan, gejala-



16



gejala dominan yang muncul adalah nyeri kolik abdomen 70%, disuria 66%, oligouria 59%, hematuria 55% dan hipertensi 36%. 12 Urin penderita pada awalnya akan berwarna putih seperti susu yang kemudian menjadi merah akibat hematuri. Hasil urinalisis didapatkan albumin, sel epitel, cast, eritrosit, dan terkadang ditemui kristal jengkolat yang berbentuk seperti jarum. Pembentukan kristal jengkolat dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH) dimana asam jengkolat akan mengkristal pada suasana asam. 12 Jengkolisme memiliki 2 gambaran klinis berupa: 1) gejala ringan berupa nyeri dan hematuria akibat obstruksi ureter oleh kristal jengkolat (ureterolitiasis) dan 2) gejala yang berat berupa hipertensi, oligouria, dan azotemia walaupun jarang. Jengkolisme dan anuria mampu menyebabkan kematian walaupun kasusnya jarang. Pemeriksaan laboratorium pada anuria digunakan untuk mendukung gagal ginjal akut. Diagnosis klinis berupa flank pain, mual, muntal, dan hematuria yang nyata terjadi karena adanya obstruksi di ureter maupun uretra.13 Kristal melukai jaringan ginjal sehingga menyebabkan perdarahan. Endapan metabolik juga mampu menyebabkan obstruksi uretra sehingga menyulitkan pemasangan kateter. 12 Kejadian jengkolisme pada anak jarang terjadi. Studi kasus oleh Vachvanichsanong & Lebel (1997) pada pasien anak yang menderita jengkolisme, sindrom ini terjadi setelah anak tersebut mengkonsumsi jengkol 4 kali. 12 Penderita jengkolisme dapat mengalami gangguan elektrolit dan asidosis. Urin dan nafas penderita yang berbau sulfur juga bisa menjadi diagnosis presumtif terjadinya intoksikasi asam jengkolat.16 2.2.5. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Pada jengkolisme dapat dilakukan laboratorium rutin dan pemeriksaan penunjang berupa Faal ginjal (kadar ureum, kreatinin), urinalisa (untuk menentukan kadar eritrosit dalam urine), pemeriksaan urin dan sedimen (Untuk menentukan PH urin dan ada atau tidaknya kristal asam jengkol), histopatologi ginjal, radiologi (foto polos abdomen, BNO) dan USG Abdomen.17,18 Parameter untuk menyatakan bahwa seseorang keracunan jengkol dapat dinilai dari pemeriksaan urin. 1). Terjadinya hematuria mikroskopik atau makroskopik dan 2). Terdapat kristal asam jengkolat dalam urin. yang diperiksa melalui pemeriksaan mikroskopik pembesaran 10 x 45. Kristal masih dapat ditemukan bila contoh urin segar kita ambil, tetapi beberapa lama kemudian kristal akan menghilang bila urin disimpan lama. Khusus untuk butir eritrosit, bila ditemukan eritrosit dalam urin, dilakukan pemeriksaan mikroskopik lanjutan memakai fase kontras. Biasanya ditemukan bentuk eritrosit yang isomorfik. Selain



17



itu dari urin juga dapat dinilai Warna dan kekeruhan urin yang dilihat secara kasat mata, bau dengan menciumnya dan menentukan pH dengan kertas lakmus Merck pH 0 - 14.19 Pada pemeriksaan faal ginjal dapat ditemukan kadar kreatinin yang normal atau dapat juga meningkat12,19 Untuk mengetahui adanya obstruksi akibat spasme atau kelainan pada sistem saluran kemih dapat dibuktikan dengan penunjang radiologis seperti foto polos abdomen atau BNO.12 Pada pemeriksaan USG abdomen dapat ditemukan adanya hidronefrosis ginjal. 12 Pemeriksaan histiopatologis (biopsi) ginjal dan saluran kemih dapat ditemukan adanya hiperemi pada ginjal dan hemoragi pada uretra. 17 Sagasothy dkk (1995) tidak menemukan adanya kerusakan pada glomerulus namun terjadi nekrosis yang luas pada tubulus. Pemeriksaan biopsi ginjal oleh Alatas (1994), menemukan adanya kerusakan epitel pada tubulus daerah proksimal. Namun, biopsi masih diperdebatkan penggunaanya karena pasien jengkolisme biasanya datang dengan kondisi akut.12 2.2.6. Penatalaksanaan Jengkolisme Reimann & Sukaton (1956) melaporkan bahwa pasien dengan jengkolisme sebagian besar memerlukan tindakan suportif selama 3 hari. Jengkolisme ringan tidak memerlukan terapi spesifik selain kontrol nyeri dan hidrasi (banyak minum). Jengkolisme berat dengan gejala anuria dan diduga mengalami GGA memerlukan analgesik, hidrasi cepat, dan alkalinisasi urin menggunakan sodium bikarbonat sebagai antidotum untuk meningkatkan kelarutan kristal asam jengkolat. Dosis yang dapat diberikan 0,5 – 2 gram 4x/hari secara oral pada anak-anak dan 4x2 gram hari pada orang dewasa. 3,20 Namun, apabila tidak didapatkan sodium bikarbonat, terapi dapat diganti menggunakan minuman berkarbonasi. 12 Dalam kondisi keracunan penting untuk pemantauan ketat status cairan dan elektrolit pasien karena kondisi pasien dapat memburuk secara tiba-tiba dan berat. Bila telah terjadi gagal ginjal akut atau komplikasi dari gagal ginjal akut maka berikan terapi sesuai gagal ginjal akut atau komplikasi yang muncul, tidak ada antidotum yang spesifik. Seperti tabel dibawah ini: 3,20 Tabel 4. Pengobatan Suportif pada Gagal Ginjal Akut



18



Terapi konservatif yang dilakukan pada jengkolisme berat dengan anuria terkadang tidak berespon secara maksimal sehingga memerlukan tindakan operasi.



12



Laporan kasus



yang dilakukan oleh Wong et al. bahwa obstruksi pada saluran kemih akibat endapan metabolik dan kalkuli dari kristal jengkolat perlu dilakukan irigasi uretra, kateterisasi, atau pemasangan stent dan bypass untuk mengurangi obstruksi. 18 Pencegahan kejadian jengkolisme sulit dilakukan karena kejadian dan pola kerentanan individu terhadap asam jengkolat yang berbeda. Insidensinya sangat langka. Sindrom jengkolisme sangat beragam, bahkan tidak tergantung dari prosedur pengolahannya. Tidak semua individu dapat terkena jengkolisme dengan memakan olahan jengkol dengan prosedur pengolahan yang sama. Kerentanan individu terhadap GGA juga tidak tergantung dari frekuensi konsumsinya.12 Namun demikian, untuk meminimalisir terjadinya keracunan akibat mengkonsumsi jengkol, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :3 -



Hindari mengkonsumsi jengkol pada saat perut kosong (sebelum makan) dan/atau jangan disertai makanan/ minuman lain yang besifat asam.



-



Hindari mengkonsumsi jengkol dalam keadaan mentah. Sebaiknya jengkol dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar kandungan asam jengkolatnya dapat berkurang. Jengkol mentah mengandung asam jengkolat lebih banyak daripada jengkol yang sudah dimasak.



19



-



Biji jengkol dapat dipendam dahulu di dalam tanah sebelum dimasak agar kandungan asam jengkolatnya dapat berkurang.



-



Jangan mengkonsumsi jengkol secara berlebihan, terutama bagi individu yang mengalami gangguan ginjal.



BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan 1. Jengkol mengandung asam jengkolat yang berperan utama dalam etiopatogenesis jengkolisme melalui reaksi hipersentivitas, efek toksis langsung asam jengkolat terhadap parenkim ginjal, endapan metabolik jengkol, spasme ureter, atau adanya obstuksi saluran kemih oleh kristal jengkolat (urolitiasis jengkolat). 2. Gambaran klinis jengkolisme: a) gejala ringan berupa nyeri dan hematuria akibat obstruksi ureter oleh kristal jengkolat (ureterolitiasis) dan b) gejala yang berat berupa hipertensi, oligouria, dan azotemia. 3. Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala yang sesuai dengan racun penyebab. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya racun pada sisa barang bukti. Yang terpenting pada penegakan diagnosis keracunan adalah dapat ditemukan racun/sisa racun dalam tubuh/cairan tubuh korban, jika racun menjalar secara sistemik serta terdapatnya kelainan pada tubuh korban, baik mikroskopik yang sesuai dengan racun penyebab. Disamping itu perlu pula dipastikan bahwa korban tersebut benar-benar kontak dengan racun. 4. Pada jengkolisme dapat dilakukan laboratorium rutin dan pemeriksaan penunjang berupa Faal ginjal (kadar ureum, kreatinin), urinalisa (untuk menentukan kadar eritrosit dalam 20



urine), pemeriksaan urin dan sedimen (Untuk menentukan PH urin dan ada atau tidaknya kristal asam jengkol), histopatologi ginjal, radiologi (foto polos abdomen, BNO) dan USG Abdomen. 5. Parameter untuk menyatakan bahwa seseorang keracunan jengkol dapat dinilai dari pemeriksaan urin. 1). Terjadinya hematuria mikroskopik atau makroskopik dan 2). Terdapat kristal asam jengkolat dalam urin. yang diperiksa melalui pemeriksaan mikroskopik pembesaran 10 x 45. Selain itu dari urin juga dapat dinilai Warna dan kekeruhan urin yang dilihat secara kasat mata, bau dengan menciumnya dan menentukan pH dengan kertas lakmus Merck pH 0 - 14. 6. Jengkolisme ringan tidak memerlukan terapi spesifik selain kontrol nyeri dan hidrasi (banyak minum). Jengkolisme berat dengan gejala anuria dan diduga mengalami GGA memerlukan analgesik, hidrasi cepat, dan alkalinisasi urin menggunakan sodium bikarbonat sebagai antidotum untuk meningkatkan kelarutan kristal asam jengkolat. Dosis yang dapat diberikan 0,5 – 2 gram 4x/hari secara oral pada anak-anak dan 4x2 gram hari pada orang dewasa. Namun, apabila tidak didapatkan sodium bikarbonat, terapi dapat diganti menggunakan minuman berkarbonasi. 7. Pencegahan kejadian jengkolisme sulit dilakukan karena kejadian dan pola kerentanan individu terhadap asam jengkolat yang berbeda.



21



DAFTAR PUSTAKA 1.



Tambunan T. Nefrologi Anak : Keracunan Jengkol Pada Anak. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993.



2.



Ismail R, Sugeng B, Thalut K. 1987. Jengkolic Acid Intoxication : An Acute Paediatric Problem in West Sumatera, Southeast Asian. J.Surgery, Vol 10 (2).1987: 112–115.



3.



_____. Bahaya Keracunan Asam Jengkolat. http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/BAHAYAKERACUNAN-ASAMJENGKOLAT4.pdf. Diakses Oktober 2015.



4.



Pitojo S. Jengkol: Budidaya dan Pemanfaatannya. Jogjakarta : Penerbit Kanisius, 1992.



5.



Suharjono, Sadatun. Djengkol Intoxication in Children. Paediatrica Indonesia 8, 1968.



6.



Winarno. Senyawa Beracun Dalam Bahan Pangan dalam: Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia, 1984.



7.



Oey, KN. Zat-zat toksik yang secara alamiah ada pada bahan makanan nabati. Cermin Dunia Kedokteran, 1989 ; 58:24-28.



8.



Van Veen AG, Hyman AJ. On the toxic component of the djenkol bean. Geneesk. Tijdschr. Nederl. Indie, 1933; 73: 991.



9.



Du Vigneaud V, Patterson WI. The synthesis of djenkolic acid. J. Biol. Chem, 1936; 114: 533–538.



22



10. D'Mello, J. P. Felix.1991. Toxic Amino Acids. In J. P. F. D'Mello, C. M. Duffus, J. H. Duffus (Eds.) Toxic Substances in Crop Plants. Woodhead Publishing. pp. 21–48. ISBN 0-85186-863-0. Diakses Oktober 2015. 11. Combest, W., Marian N., Austin C., & June HK. Effects of Herbal Supplements on the Kidney. Complementary and Preventive Medicine, 2005; 25(5): 381-403 12. Bunawan, NC., Ashgar R., Kathleen PW., & Nancy EW. 2014. Djenkolism: Case Report and Literature Review. International Medical Case Reports Journal, 2014; 7: 79-87 13. Majid, AM. & Nahdzatul SM. Pithecellobium jiringa: A Traditional Medicinal Herb. WebmedCentral, 2010; 1-4 14. Budiyanto, A et al. Ilmu Kedokteran Forensik, Ed.2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FK UI, 1997. 15. Oen LH. Peranan Asam Jengkol Pada Keracunan Buah Jengkol. Dalam Simposium Nasional Masalah Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1982; 28:59−60. 16. Adler SG. & Jan JW. A Case of Acute Renal Failure. Clinical Journal of Americal Society of Nephrology, 2006; 1: 158-65 17. ____. Pengaruh Pemberian Jengkol Pada Saluran Kemih. Majalah Kedokteran Andalas No. 2. Vol.28, 2004. 18. Wong, JS., Ong TA., Chua HH., & Tan C. Acute Anuric Renal Failure Following Jering Bean Ingestion. Asian Journal of Surgery, 2007; 30(1): 80-1 19. Sinaga TH. Dampak Pemberian Berbagai Dosis Keracunan Asam Jengkolat pada Sistem Perkemihan Marmut (Cavia porcellus). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/769. Diakses Oktober,2015. 20. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5, Jakarta : InternaPublishing, 2010. 21. Mathew, AJ. & Jacob G. Acute Kidney Injury in the Tropics. Annals of Saudi Medicine, 2011; 31(5): 451-6. 22. Ibrahim, IA., Suhailah WQ., Mahmood AA., Amal RM., Siddiq IA., & Fouad HA. Effects of Pithecellobium jiringa Ethanol Extract Against Ethanol-Induced Gastic Mucosal Injuries in Sprague-Dawley Rats. Molecules, 2012;17: 2796-811. 23. World Health Organization (WHO). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota), 2009.



23