Tra TPB [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI AKSI BERALASAN (THE THEORY OF REASONED ACTION/TRA), TEORI PERILAKU TERENCANA (THE TEORY OF PLANNED BEHAVIOR/TPB) APLIKASI DALAM PENELITIAN FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECACATAN TINGKAT II PENDERITA KUSTA DI KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR



PENGANTAR



TEORI AKSI BERALASAN (THE THEORY OF REASONED ACTION/TRA) DAN TEORI PERILAKU TERENCANA (THE TEORY OF PLANNED BEHAVIOR/TPB)



Kami tertarik untuk mempelajari teori ini karena ternyata perilaku yang buruk dapat dirubah menjadi baik dengan adanya alasan yang tepat dan adanya rencana untuk memperoleh suatu hasil yang baik dari adanya perubahan perilaku tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya motivasi dan kontrol untuk mematuhi perilaku tersebut. Teori ini sangat tergantung pada factor motivasi individu sebagai penentu untuk melakukan perilaku tertentu. Teori ini juga mengasumsikan predictor terbaik dari perilaku adalah niat perilaku yang pada gilirannya ditentukan oleh sikap terhadap perilaku dan persepsi normative social yang berkaitan dengan itu. TPB merupakan pengembangan dari TRA dimana terdapat control atas kinerja perilaku. TRA menegaskan bahwa determinan paling penting dari perilaku adalah niat untuk berperilaku. Dimana niat untuk berperilaku sangat ditentukan oleh sikap untuk berperilaku dan norma subyektif yang berkaitan dengan perilaku. Sedangkan TPB menambahkan control atas perilaku. TRA dan TPB menganggap rantai sebab akibat yang menghubungkan keyakinan perilaku, keyakinan normative dan control keyakinan dengan niat perilaku melalui sikap, subyektif norma, dan control yang dirasakan. Faktor factor lain seperti demografi dan karakteristik lingkungan tidak secara independen memberikan kontribusi untuk menjelaskan kemungkinan berperilaku. TRA dan TPB dapat menggunakan skala 5 atau 7. Kepercayaan thd perilaku diukur dengan bipolar yaitu “tidak mungkin – mungkin” atau “tidak setuju-setuju”. Sedangkan Evaluasi hasil dari perilaku diukur bipolar dengan “baik-buruk”. Keyakinan yang kuat untuk menghindari sesuatu yang hasilnya negative akan memberikan kontribusi yang sama positifnya dengan melakukan sesuatu yang hasilnya positive. Demikian pula sebaliknya keyakinan yang kuat bahwa perilaku tidak akan memberikan hasil yang positif akan memberikan kontribusi yang negative pada sikap seseorang. Keyakinan normative seseorang merupakan sebuah rujukan apakah seseorang harus melakukan perilaku tertentu diukur dengan skala bipolar -3 hingga +3 yang akan menghasilkan motivasi untuk mematuhi perilaku tersebut diukur dalam skala unipolar antara 1 – 7. Aplikasi dari TPB menyatakan bahwa control keyakinan diukur bipolar “ mudahsusah” untuk melakukan perilaku , sementara kekuasaan diukur dengan persepsi efek control untuk melakukan perilaku lebih mudah atau lebih susah. Teori ini dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini :



BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECACATAN TINGKAT II PENDERITA KUSTA DITINJAU DARI TEORI PERILAKU TRA DAN TPB



BAB I PENDAHULUAN A. VARIABEL EKSTERNAL Dalam teori TRA dan TPB perilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu faktor demografi (umur, jenis kelamin, etnis), sikap terhadap target, sifat sifat yang ada pada masing masing individu, dan variabel variabel individual lain yang berbeda. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2007). Berbagai upaya telah dilaksanakan dalam pemberantasan penyakit kusta antara lain dengan penemuan penderita sedini mungkin, pengobatan yang adequat dan pencegahan kecacatan. Sebelum dilakukan pengobatan sebaiknya diberikan program preventif dan promotif kepada masyarakat tentang penanggulangan penyakit kusta. Penyakit kusta tidak mudah menular, karena 95% manusia kebal terhadap kusta hanya sebagian kecil yang dapat tertulari (Depkes RI,2007). Salah satu masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat penyakit kusta adalah kecacatan. Kecacatan menjadi akibat paling besar yang terjadi pada penderita kusta walaupun tidak semua penyakit kusta berakhir dengan kecacatan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kecacatan. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri penderita dan dari lingkungan luar.



Menurut penelitian Nugroho Susanto (2006), tentang faktor yang mempengaruhi kecacatan kusta di Sukoharjo menunjukkan ada hubungan antara umur dan tipe kusta dengan terjadinya kecacatan. Sedangkan Ramona D.Lubis (2008) mengatakan bahwa anemia banyak dialami oleh penderita kusta. Selain faktor tersebut masih banyak faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kecacatan. Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa kecacatan kusta banyak dipengaruhi oleh faktor external terutama faktor faktor yang berasal dari dalam diri penderita dan dari lingkungan luar. Hal ini sesuai dengan teori TRA,TPB yang telah diuraikan diatas. B. DISTRIBUSI VARIABEL EKSTERNAL DALAM PENYAKIT KUSTA 1. Distribusi Menurut Manusia a. Etnik atau suku Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dari pada etnik Melayu atau India. Demikian juga kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu. b. Sosial ekonomi Faktor social ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Penderita kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi. c. Umur Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering trkait dengan umur pada saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Pada



penyakit kronik seperti kusta informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan risiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada kelompok umur muda dan produktif. d. Jenis kelamin Penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan, sebaian besar negara di dunia kecuali beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibanding perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti penyakit menular lainya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidupnya. 2. Distribusi Menurut Tempat Penyakit kusta tersebar di dunia dengan endemisitas yang berbeda. Diperkirakan jumlah penderit abaru kusta di regional Asia Tenggara sebesar 174.118, regional Amerika 47.612, regional Afrika 27.902. Perkiraan jumlah penderita kusta di dunia pada tahun 2006 – 2007 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :



Tabel 1. Situasi Penderita Kusta Menurut Regional WHO Awal Tahun 2007 (diluar regional Eropa)



Regional WHO Afrika Amerika Asia Tenggara Mediterania Timur Pasifik Barat Total



Prevalensi Awal (Tahun 2007) 29.548 (0,55) 64.715 (0,76) 116.663 (0,70) 3.986 (0,09) 9.805 (0,06) 224.717



Sumber : Depkes RI, 2007.



Penderit Baru (Tahun 2006) 27.902 (5,15) 47.612 (5,58) 174.118 (10,51) 3.261 (0,71) 6.124 (0,35) 259.017



Sedangkan situasi penderita kusta di Indonesia pada tahun 2004 – 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :



Tabel 2. Situasi Penderita Kusta di Indonesia Tahun 2004 – 2009



Tahun



PB



MB



2004 2005 2006 2007 2008 2009



3.615 4.056 3.550 3.643 3.113 2.958



12.957 15.639 14.750 14.087 14.328 13.500



CDR (per 100.000 penduduk) 7,8 8,9 8,3 7,8 7,41 7,1



Cacat Tingkat II (%) 8,6 8,7 8,6 8,6 9,6 10,27



Sumber : Kemenkes RI, 2010 3. Distribusi Menurut Waktu Pada tahun 2006 sebanyak 15 negara melaporkan penemuan penderita baru ≥ 1000 kasus yang merupakan 94% kasus kusta baru di dunia. Akan tetapi kelima belas negara yang melaporkan ini semuanya mengalami penurunan kasus dibandingkan tahun 2005. Indonesia merupakan negara dengan urutan ketiga dalam jumlah kasus baru setelah India dan Brazil. C. VARIABEL SIKAP, NORMA DAN KONTROL YANG MEMPENGARUHI KECACATAN KUSTA Dalam teori TRA disebutkan bahwa selain dipengaruhi oleh variabel eksternal, perilaku juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap perilaku dan evaluasi terhadap hasil dari perilaku yang pada akhirnya akan menimbulkan sikap. Selain itu juga dipengaruhi oleh kepercayaan normative dan motivasi untuk mematuhi yang akan membentuk norma. Dan hal lain yang juga berpengaruh menurut teori TPB adalah adanya control.



1. Diagnosa Dini Seorang penderita kusta yang mempunyai sikap dan motivasi untuk memeriksakan diri sedini mungkin begitu merasakan gejala sakit kusta tentunya akan terdiagnosa secara dini penyakit kusta nya dan dapat terhindar dari kecacatan. Keadaan sakit pada diri seseorang tentunya akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang bereaksi dengan penyakit, diantaranya adalah sebagai berikut : Dapat dilihat, dapat dikenali atau dirasa lebih dari gejala dan tanda-tanda yang



-



menyimpang. - Banyaknya gejala-gejala yang dianggap serius. - Informasi, pengetahuan dan adat budaya. Diagnosa sedini mungkin akan dapat memperkecil risiko kecacatan terutama cacat tingkat II. 2. Perawatan diri Perawatan diri merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh penderita kusta untuk pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat dengan prinsip 3M (Memeriksa, Melindungi, Merawat).



Penderita kusta memiliki organisasi PERMATA



yaitu sebagai wadah bagi penderita kusta untuk berkumpul. Pada saat berkumpul tersebut dapat diberikan contoh cara perawatan sekaligus praktek sehingga penderita kusta termotivasi untuk mencegah terjadinya kecacatan pada dirinya. 3. Anemia Anemia merupakan salah satu indikator status gizi. Anemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi haemoglobin lebih rendah dari nilai normal, yang sesuai dengan jenis kelamin dan umur. Penderita kusta harus diberikan motivasi agar memelihara status gizinya agar tidak terjadi anemia yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan pada penderita kusta.



Menurut WHO, dikatakan anemia apabila konsentrasi hemoglobin di bawah 12 gr/dl pada wanita dan dibawah 13,5 gr/dl pada pria. Ada 3 penyebab terjadinya anemia yaitu : - Kehilangan darah yan berlebihan - Gangguan pembentukan eritrosit - Peningkatan destruksi eritrosit.



4. Kepatuhan berobat Pengobatan penyakit kusta membutuhkan waktu yang relative lama. Hal ini kadang membuat penderita menjadi jenuh dalam menjalani pengobatan dan akhirnya menghentikan pengobatan di tengah jalan. Ketidakteraturan pengobatan dapat memicu timbulnya kesakitan yang lebih parah. Pada penderita kusta dapat mengakibatkan bakteri menjadi resisten dan timbulnya kecacatan. Penderita yang tidak teratur berobat disebabkan karena adanya efek samping obat, terjadinya reaksi kusta dan bosan minum obat. Hal ini karena penderita kurang mengerti akan pentingnya pengobatan. Selain itu rasa malu dari penderita akibat penyakit kusta dan sikap lingkungan masyarakat yang menjauhi penderita kusta (Kusumaari, 2003). Agar mau berobat dengan teratur, penderita kusta harus mendapatkan kontrol baik dari petugas kesehatan maupun dari orang terdekat dengan penderita untuk pengawasan minum obat. Oleh karena itu dalam sistem pengobatan penyakit kusta ada pengaturan minum obat : obat yang harus diminum dihadapan petugas dan obat yang harus diminum dirumah. Dan obat tidak diberikan sekaligus, tetapi secara berkala, bisa mingguan/bulanan. Hal ini dimaksudkan sebagai kontrol dalam kepatuhan berobat.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Definisi Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat (Amiruddin, 2003). B. Etiologi Mycobacterium leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 µ, lebar 0,2–0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik (Aminuddin, 2003). Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schawn cell) dan system retikula endotelia (Prawoto, 2008). C. Masa Inkubasi Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun dengan rata-rata 3-5 tahun (Prawoto, 2008). Masa inkubasi berkaitan dengan masa belah diri sel yang sagat lama yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat hidup sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27 – 30 ºC (Depkes RI, 2007).



BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS



A. Kerangka Konseptual Terjadinya cacat pada penmderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, yang meliputi fungsi sensorik, motorik dan otonom. Tingkat kecacatan menurut WHO dibagi menjadi tiga yaitu tingkat cacat 0, tingkat cacat I dan tingkat cacat II. Disebut tingkat cacat 0 apabila tidak ada anestesi maupun kelainan pada mata. Disebut tingkat cacat I bila ada anestesi dan kelainan pada mata namun tidak kelihatan. Disebut tingkat cacat II apabila ada lagopthalmus dan cacat lain yang kelihatan. Bedasarkan tinjauan teori sebelumnya kerangka konsep pada penelitian ini dibatasi hanya faktor ; tipe kusta, diagnosa dini, perawatan diri, anemia dan kepatuhan berobat. Tipe Kusta Cacat Tingkat II Keteraturan Berobat



Diagnosa Dini



Perawatan Luka



Tidak Cacat Tingkat II



Anemia



Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian



B. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan kejadian kecacatan tingkat II dengan tipe kusta pada penderita kusta. 2. Ada hubungan kejadian kecacatan tingkat II dengan keteraturan berobat pada penderita kusta. 3. Ada



hubungan kejadian kecacatan tingkat II dengan diagnosa dini pada



penderita kusta. 4. Ada hubungan kejadian kecacatan tingkat II dengan perawatan luka pada penderita kusta. 5. Ada hubungan kejadian kecacatan tingkat II dengan status anemia pada penderita kusta.



BAB IV METODE PENELITIAN



A. Bahan Penelitian 1. Batasan Populasi Populasi dalam penelitian ini ada 2 kelompok yaitu: a. Populasi kasus, semua penderita kusta yg mengalami cacat tingkat II yang tercatat menjalani pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) di puskesmas Kabupaten Lamongan. b. Populasi kontrol, semua penderita kusta yg mengalami cacat tingkat I yang tercatat menjalani pengobatan MDT di puskesmas Kabupaten Lamongan.



2. Sampel dan Besar Sampel a. Sampel Sampel penelitian ada 2 kelompok yaitu:



1) Sampel kasus, penderita kusta cacat tingkat II pada saat dilakukan penelitian dan diagnosa awal belum mengalami cacat tingkat II. 2) Sampel kontrol, penderita kusta cacat tingkat I pada saat dilakukan penelitian. Sampel kontrol diambil dengan memakai cara 1:1. Bila terdapat satu sampel kasus maka diambil satu sampel kontrol di lokasi yang sama.



b. Besar sampel 1) Sampel kasus, besar sampel kasus yang diambil adalah total populasi penderita kusta cacat tingkat 2 tahun 2010 - 2011sebanyak 40 orang. 2) Sampel kontrol adalah penderita kusta yang tidak cacat tingkat 2, besar sampel kontrol sama dengan sampel kasus yaitu sebanyak 40 orang.



B. Alat Penelitian 1. Teknik dan Instrument Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan melalui wawancara mendalam (indept interview) dengan instrumen berupa kuesioner terhadap penderita kusta dengan cacat tingkat II dan penderita kusta dengan tidak cacat tingkat II serta studi dokumentasi menggunakan lembar observasi dalam bentuk cheklist pada kartu pengobatan MDT penderita. Sedangkan untuk pemeriksaan kadar Hb menggunakan alat Rapid Diagnostik Test (RDT) 2. Cara Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Baik pengolahan maupun analisis dan publikasi dilakukan sendiri. Data primer, dapat diperoleh langsung pada responden melalui wawancara langsung atau lisan cara tatap muka, sementara alat bantu yang digunakan berupa kuesioner dan chek list.



b. Data Sekunder Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian orang lain./studi kepustakaan. Profile Dinas Kesehatan Lamongan, laporan rutin puskesmas pada program kusta kabupaten dan data lainnya yang berasal dari studi kepustakaan.



C. Jalan Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat observasi analitik dimana peneliti hanya melakukan pengukuran tanpa memberikan perlakuan khusus pada sampel. Penelitian ini bersifat analitik yang dimaksud untuk menerangkan faktor penyebab dan penyakit yang ditimbulkannya dan tentang hubungannnya. Selanjutnya dilakukan analisis antara faktor risiko dengan faktor akibat .



Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol. Menurut Murti (1997) penelitian kasus control adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya



2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Lamongan dengan alasan sebagai berikut : a. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu daerah endemik penyakit kusta di Jawa Timur dengan proporsi angka cacat tingkat II sebesar 10% pada tahun 2010. b. Penelitian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cacat tingkat II di Kabupaten Lamongan belum pernah dilakukan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2011 3. Variabel dan Definisi Operasional a. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terbagi dalam dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Varibel terikat (dependent variabel) adalah cacat tingkat II, sedangkan variabel bebas (independent variabel) meliputi ; diagnosa dini, perawatan diri, tipe kusta, keteraturan berobat, dan anemia



a. Definisi Operasional Definisi operasional adalah Suatu petunjuk pelaksanaan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Tabel 6. Definisi Operasional No 1



2



Variabel



Definisi Operasional



Cara dan Hasil Pengukuran



Kecacatan kusta



Cacat kusta tingkat II menurut standart WHO baik yang belum melakukan terapi maupun yang sudah melakukan terapi



Diagnosa



Pada saat memeriksakan diri



Dengan melihat kartu riwayat berobat pasien. Kategori: 1. Cacat, yang termasuk dalam cacat tingkat II 2. Tidak cacat, yang termasuk cacat tingkat I Melihat kartu pengobatan



Skala Data Nominal



Nominal



dini



pertama kali ke pelayanan kesehatan telah didiagnosa dalam keadaan cacat tingkat 0 atau I



3



Tipe kusta



Penggolongan berdasar WHO



4



Kepatuhan berobat



Kepatuhan penderita dalam melakukan pengobatan, pengambilan obat sesuai dengan anjuran dan jadwal yang telah ditentukan dari pelayanan kesehatan



5



Perawatan diri



Cara penderita merawat luka dan cacat kusta



6



Anemia



Nilai hemoglobin yang terkandung dalam darah penderita dengan standar WHO



tipe



kusta



MDT Kategori: 1. Terlambat (jika diagnosa awal mengalami cacat tingkat I) 2. Tidak terlambat (jika diagnosa awal mengalami cacat tingkat 0) Melihat kartu pengobatan MDT Kategori: 1. MB 2. PB Wawancara dan Melihat kartu pengobatan MDT Kategori: 1. Patuh (jika datang berobat sesuai dengan jadwal) 2. Tidak patuh (jika datang tidak sesuai jadwal) Wawancara dengan kuesioner dan observasi langsung. Kategori: 1. Baik (jika luka/cacat tidak bertambah parah) 2. Jelek (jika luka/cacat bertambah parah) Pengukuran kadar Hb secara rapid test. Kategori: 1. Anemia (jika kadar Hb < 12 g/dl pada wanita, 13,5 g/dl pada pria) 2. Tidak anemia (jika kadar Hb < 12 g/dl pada wanita, 13,5 g/dl pada pria)



Nominal



Nominal



Nominal



Nominal



4. Pengolahan Data dan Analisa Data a. Pengolahan Data 1) Penyuntingan Data (Editing Data) Dilakukan editing data untuk memastikan bahwa daya yang diperoleh adalah ”bersih” yaitu data tersebut semua telah terisi, konsisten, relevan dan dapat dibaca dengan



baik. Hal ini dikerjakan dengan meneliti setiap lembar test dan skala sikap pada waktu penerimaan dari pengumpulan data. Apabila kejanggalan, formulir test dan skala sikap dikembalikan kepada pelisan, agar



kembali ke responden untuk melengkapi dan



memperbaiki pengisian.



2) Pengkodean Data (Coding Data) Mengkode data dilakukan dengan cara memberikan angka pada setiap jawaban dengan maksud untuk memudahkan pengolahan data. Coding dilakukan oleh peneliti sendiri dengan setelitimungkin, guna menghindari kesalahan. 3) Tabulasi Data (Tabulating Data) Setelah dilakukan editing dan coding data maka dilakukan pengelompokkan data tersebut ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan. 4) Pemasuka Data (Entering Data) Tahapan ini dilakukan dengan cara memasukkan kode angka



data ke dalam



komputer untuk diolah dengan menggunakan Software Program.



b. Analisis Data 1) Analisis Univariat Analisa yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat yang dilakukan terhadap tiap varibel dari hasil penelitian. Dimana pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dari presentase dari tiap variabel.



2) Analisis Bivariat Dengan menggunakan analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan yang berkolerasi. Dalam analisis uji hasil ini dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil statistic Chi-Square dibandingkan denga χ2 (tabel distribusi Chi Squre) Pada tingkat kemaknaan tertentu sesuai dengan derajat kebebasan (Degree of Freedom). Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik melalui perhitungan uji ChiSquare selanjutnya ditarik kesimpulan, bila nilai χ2 lebih besar dari df dan P lebih kecil dari



nilai alpha (0,05) maka ada hubungan yang bermakna atau signifikan antara variabel terikat dengan variabel bebas, dan bila χ2 lebih kecil dari df dan nilai P lebih besar dari nilai alpha (0,05) maka tidak ada hubungan yang bermakna signifikan antara variabel terikat dengan variabel bebas.



3) Analisa Multivariat Analisis multivariate dilakukan untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel terhadapvariabel terikat secara bersamaan. Pada tahap ini dilakukan pengujian variabel yang mempnyai kemaknaan pada tahap analisis bivariat. Selanjutnya untuk melihat antara variabel independen terhadap dependen dalam analisa uji hasil ini adalah dengan menggunakan Regresi Logistik.



.