Transformasi Genre Sastra Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah asumsi dasar untuk menelaah proses ransformasi dalam suatu jenis sastra antar lain tugas yang diemban oleh ilmu sastra itu sendiri. Tugas ilmu sastra yang utama adalah mengupas sistem sastra itu, yakni menentukan konvensi sastra, baik yang paling umum, maupun yang lebih spesifik untuk jenis sastra masing-masing, dalam sebuah sistem yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kenyataan sastra itu. Kenyataan ini memotivasi para peneliti untuk berusaha mengupas, menyingkapkan, mempertanggungjawabkan sistem itu. Transformasi adalah perubahan, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan yang berubah itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan. Yang dimaksud dengan teks sastra adalah teks-teks yang disusun dengan tujuan artistik dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, ada sastra lisan dan ada pula sastra tulis. Kajian ini berfokus pada kajian sastra tulis. Menurut Andre Hardjana (dalam Lubis, 2001:7) bahwa definisi sastra sendiri adalah sebagai pengungkapan apa yang telah disaksikan, dialami, dan yang paling menarik minat secara langsung kemudian direnungkan dan dirasakan seseorang mengenai aspek-aspek kehidupan pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan lewat bentuk bahasa. Lubis (2001:7-8) mengatakan, jika pengertian ini bisa diterima, dapat dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri dan menaruh minat pada sesama manusia, baik pada dunia realitas maupun sebagai dunia imajinasi.



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian transformasi ? 2. Bagaimana hakekat transformasi genre ? 3. Bagaimana faktor-faktor pengaruh transformasi ? 4. Bagaimana bentuk-benuk transformasi genre beserta contohnya ?



1



C. Tujuan Penulisan 1. Memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi dan kajian Prosa Fiksi Indonesia; 2. Agar pembaca dapat mengetahui pengertian transformasi; 3. Agar pembaca dapat mengetahui hakekat transformasi genre; 4. Agar pembaca dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi;



5. Agar pembaca dapat mengetahui bentuk-bentuk transformasi genre. D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan yaitu untuk mengetahui lebih jauh tentang proses transformasi antarprosa fiksi indonesia. Selain itu kita juga dapat mengetahui pengertian dari transformasi, hakekat transformasi, faktor apa saja yang mempengaruhi transformasi dan bentuk-bentuk transformsi genre. Juga banyak hal yang mendalam mengenai pembahasan ini.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Transformasi Menurut Nurgiyantoro (2010:18), transformasi adalah perubahan, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan yang berubah itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan. Istanti, (2010:243) menambahkan bahwasanya pergeseran nuansa atau budaya itu pada hakikatnya merupakan bentuk transformasi yang mengikuti zaman dan pemikiran penyalinnya. Di samping itu, penyalin juga mengintegrasikan antara “teks induk yang disalinnya dengan situasi dan nuansa zaman agar hail salinannya diterima oleh pembaca pada masa sekarang. Prinsip ini menyatakan bahwa penciptaan setiap teks tidak pada situasi kosong, melainkan berdasarkan teks-teks terdahulu (Teeuw, 1988: 145). Jadi, tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri. Penciptaan kembali teks dalam bentuk yang berbeda bahasa, jenis, dan fungsinya merupakan gejala terjadinya transformasi teks.



B. Hakikat Transformasi Sastra Menurut Teeuw, 1991 : 3 dalam Pertiwi bahwa asumsi dasar untuk menelaah proses ransformasi dalam suatu jenis sastra antar lain tugas yang diemban oleh ilmu sastra itu sendiri. Tugas ilmu sastra yang utama adalah mengupas sistem sastra itu, yakni menentukan konvensi sastra, baik yang paling umum, maupun yang lebih spesifik untuk jenis sastra masing-masing, dalam sebuah sistem yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kenyataan sastra itu. Kenyataan ini memotivasi para



peneliti



untuk



berusaha



mengupas,



menyingkapkan,



mempertanggungjawabkan sistem itu. Usaha-usaha seperti itu makin terasa penting dilakukan bila melihat kenyataan, bahwa pada dasarnya sastra Indonesia mutakhir bukanlah sastra yang berdiri sendiri tanpa hubungan dengan sastra lain. Ia juga bukan sastra yang tumbuh dari tiada. Sastra kita berada di tengah-tengah sastra-sastra lain: sastra daerah dan asing (Yus Rusyana,:83). Memang telah diakui sebelumnya, bahwa kita mengira bahwa gejala-gejala sastra tertentu adalah khas milik sastra nasional itu sendiri atau timbul begitu saja dalam sastra nasional itu. Padahal, timbulnya keusasteraan modern adalah berkat pertemuan dengan duia pemikiran Barart pada permulaan abad ini dengan mulai didirikannya sekolah-sekolah yang mempunyai



3



dasar pendidikan modern (H.B Jassin, 1975:7). Adanya kontak ini, diakui pula oleh Yus Rusyana, dengan mengatakan bahwa antara sastra-sastra Nusantara sejak dahulu telah pula terjadi kontak yang menimbulkan pengaruh yang satu dengan yang lain. Kontak itu juga terjadi dengan sastra dari lingkungan luar, sehiingga dalam sastra Nusantara terdapat pengaruh sastra Sansekerta, Arab, Persia, dan sebagainya. Jadi, dari adanya persamaan-persamaan itulah tampak bahwa sastra se-Indonesia itu berhubungan erat, sehingga untuk memahami sastra tertentu akan lebih jelas jika dilakukan dalam tautan keseluruhan (1987: 214). Keadaan yang demikian tentu menumbuhkan bayak soal sekaitan dengan berbagai tuntutan yang ada dalam tubuh ilmu sastra. Teeuw mengatakan, bahwa di antara banyak soal yang akan dan harus dihadapi konvensi dan keorsinilan akan merupakan sebuah masalah pokok. Salah satu penyebabnya, karena sastra sebagai sebuah bentuk seni, selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan pembaharuan, anatara keterkaitan dan keterbatasan mencipta. Ketegangan itu bagi penelitian sastra Indonesia masih merupakan hutan rimba yang perlu di babad, dengan istilah Jawa, atau dibudayakan (1991:11). Mengkaji permasalahan antara dua tegangan yang dimaksud Teeuw tersebut, yang penting dipahami terlebih dahulu adalah hakekat perubahan bentuk atau transformasi yang terjadi di dalamnya, apakah melalui suatu konsesnsus atau melalui suatu konflik sehingga muncul perombakan sistem, pembebasan diri dari ikatan konvensi, baik sistem bahasanya maupun sistem sastranya. Di bidang sastra, Panuti Sudjiman mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan transformasi ialah perubahan bentuk penampilan, sifat atau watak. Berdasarkan batasan itu, di bidang sastra dikenal beberapa macam perwujudan transformasi. Misalnya ada novel yang kemudian diolah menjadi skenario film (1993: 60). Pada



kenyataanya



transformasi



berkontribusi



langsung



dalam upaya



memperkaya khazanah sastra. Transformasi telah berlangsung sepanjang masa dan seputar dunia. Dalam berbagai cara pertransformasian itu memang banyak kemungkinan terjadinya pergeseran dan perubahan yang disengaja maupun yang tidak, baik pergeseran tematis, struktural, maupun stilistik (Panuti Sudjiman, 1993: 69). Kecenderungan tersebut perlu ditelurusuri melalui dua hal, yaitu hal-hal apa saja yang berhubungan dengan transformasi genre itu berlangsung. Kedua hal itu akan dikupas secara singkat di bawah ini.



4



C. Fakto-faktor Pengaruh Transformasi Hal-hal yang akan dipedomani sehubungan denga sub judul di atas adalah pernyataan Alastair Fowler dalam bukunya yang berjudul Kinds of Literature- An Introduction to the Theory of Genre and Modes. Adapun hal-hal yang diungkapkan sehubungan dengan hal-hal yangberkaitan dengan transformasi adalah sebagai berikut: The idea of transformation I vital for literary history, since it offers the only means of tracing the continuties that underlie many chages. Here I shall only list a few transformation, to sugget their diashronic character and their role in literary history: 1) The transformation of romance by the heric mode, to produce the hereoic romance or “romantic epic”; 2) The development of picaresque as a counter genre to escapist chivalric romance; 3) Fielding’s assembly of the repertone of the panoramis novel (Tom Jones) from a comic transformation of prose romance, together with picaresque, hereoic, romatic epic, and other elements; 4) Scotts’s assembly of the repertoire of the historical novel by romantic and historical transformation of the regional novel; 5) The transformation of the period novel by modal extention from the existentialist novel of ideas. .... Kinds, then, may generate modes and so contribute indericly to now kinds (1982: 167-169).



5



Gagasan transformasi merupakan suatu yang vital bagi sejarah kesusasteraan, sejak ia hanya menawarkan makna kontinuitas dari gambaran yang mendasari beberapa perubahan. Menurut Pertiwi (2010: 65) mengatakan bahwa dalam transformasi untuk menganjurkan karakter diakronik dan peran mereka dalam sejarah kesusateraan: 1) Tranformasi roman dengan heroik untuk menghasilkan roman heroik atau “epik romantis”; 2) Perkembangan tiap bagian yang dgambarkan secara jelas dalam suatu novel merupakan genre bandingan terhadao alam hayal roman kesaria; 3) Kelompok Fielding membuat jud cerita novel yang panoramik (Tom Jones) dari transformai komik tentang roman prosa bersama-sama dengan unsur ketajaman, heroik, romantis, epik, dan unsur lainnya; 4) Kelompok Scoot membicarakan tentang judul cerita novel historis oleh transformasi romantik dan historis dari novel regional; 5) Transformasi periodisasi novel oleh tingkatan yang berhubungan dengan novel gagasan kaum eksistensialis. Kemudian jenis-jenis sastra tersebut dapat menyebabkan dan juga menambahkan secara tidak langsung, cara-cara terhadap pembentukan jenis-jenis sastra sekarang. Berdasarkan kutipan di atas, memanglah benar apa yang telah diutarakan di muka, bahwa pada dasarnya gejala transformasi dalam sastra merupakan suatu gejala yang telah berlaku secara universa, dan keberadaanya bersifat vital, berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup genre sastra. Perubahanperubahan yang terjadi dalam genre sastra terjadi secara berkelanjutan dan didorong beberapa aspek, di antaranya cara-cara heroik dalam mentransfer bentuk roman epik, berimpikasi terhadap keberadaan roman kesatria, unsur-unsur novel lainnya secra bersama-sama bertransformasi dalam roman yang berbentuk prosa, novel regional memiliki pengaruh bagi keberadaan novel historis, serta gagasan kaum eksistensialis memiliki kecenderungan pada transformasi periodisasi novel. Hal-hal demikian merupakan sebagian kecil gambaran proses tranformasi yang meunjukkan perkembangan dan perubahan antara suatu jenis ke jenis yang lainnya, atau bahkan sama sekali melahirkan jenis sastra yang baru.



6



D. Bentuk – bentuk Transformasi Adapun bentuk transformasi dapat berwujud sebagai berikut: a.



Pembaharuan Topik



Genre akan berubah, bila topik – topik baru bertambah terhadap cerita mereka. Tampaknya topik pembaharu memberi karakteristik baru yang lebih besar dalam gerakan sastra. Barangkali hal ini disebabkan oleh faktor yang menyangkut pembentukan minat dari bentuk minat bahan cerita. Topik-topik pembaharu boleh jadi diubah dari genre lain atau media sastra lain. Dengan cara ini, pokok cerita tentang cinta dan perasaan individual meliputi epik. Pembaharuan dalam pokok cerita bisa juga terdapat dalam pendekatan baru terhadap topik-topik yang ada. Tetapi hal ini yang biasanya menjadi dasar transformasi. b.



Kombinasi



Gabungan cerita merupakan satu dari sebagian besar makna perubahan generik secara nyata. Gebungan cerita memainkan beberapa bagian dalam sebagian besar bentuk-bentuk baru dari beberapa bagian yang besar. Jelas hal itu sebagian besar atas tingkatan penyusunan. c.



Pengelompokan



Aggregation atau pengelompokan merupakan suatu proses menambah beberaa jenis karya sastra yang komplit dalam suatu kumpulan sebagaimana suatu lagu dalam hubungannya dengan rentetan lagu dalam opera balada. Gabungan karya boleh jadi dipersatukan oleh bagian-bagian yang tersusun dan berhubungan. Agregasi mengubah pengaruh cukup jelas dalam novel yang memiliki karakter yang berbeda atau urutan sketsa. Tetapi juga pengelompokan genre yang lain lebih penting dari komponen-komponen ceritanya. d.



Perubahan Skala



Para penulis sering merencanakan skala penempatan pada tingkat permulaan. Secara relatif, sedikitnya dapat memiliki perubahan skala yang sangat mengejutkan. Sebagai contoh, panjangnya novel menggeser sejarah atau roman sejarah. e.



Perubahan Fungsi



Antara sastra, fungsi dan sifatnya adalah sesuatu yang koheren. Membicarakan apa itu sastra berarti juga menyinggung bagaimanakah sastra itu dan untuk apa. Fungsi suatu benda sesuai dengan sifat-sifat benda itu. Fungsi puisi sesuai dengan sifat-sifat puisi itu.



7



Di bawah ini beberapa macam Wellek & Warren dalam hal fungsi sastra. Fungsi Dulce dan Utile Horace (Horatius) pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sastra (puisi) harus memenuhi fungsi dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna. Konsep indah dan berguna itu, harus berlaku sekaligus, karena bila indah saja berarti puisi itu menghibur saja dan cenderung bermain-main sehingga mengesampingkan ketekunan, keahlian, dan perencanaan sungguh-sungguh dari penyairnya. Sebaliknya, bila berguna saja, berarti melupakan kesenangan yang ditimbulkan oleh puisi. Fungsi Khusus Sastra Pada jaman neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap puisi menyampaikan hal-hal yang umum (grandeur of generality), sedang para teoritikus abad ke-20 telah menekankan sifat khusus puisi. Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra) juga menekankan sifat tipikal sastra. Sastra dapat dianggap lebih umum dari sejarah dan biografi, tetapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Namun tingkat keumuman dan kekususannya berbeda-beda tiap sastra dan tiap periode. Sastra dan Psikologi Salah satu nilai (fungsi) kognitif drama dan novel adalah segi psikologisnya. Menurut Wellek & Warren (1993) pernyataan yang sering terdengar adalah bahwa novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karen Horney menunjuk pada Dostoyevsky, Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi psikologi. E.M. Forster menyatakan bahwa novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Sastra dan Kebenaran Dalam hubungannya dengan kebenaran, Max Eastman menyangkal bahwa pada abad ilmu pengetahuan, “pikiran sastra” dapat mengungkapkan kebenaran. Bagi Eastman, “pikiran sastra” adalah pikiran amatir tanpa keahlian tertentu (khusus) dan warisan jaman pra-ilmu pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan “kebenaran”. Menurut pendapatnya, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yakni pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan.



8



Sastra dan Propaganda Dalam hubungannya dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda, perlu dijelaskan batasan propaganda itu. Dalam bahasa populer, propaganda dikaitkan dengan doktrin yang berbahaya, yang disebarkan oleh orang yang tidak dapat dipercaya. Dalam propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula. Dengan demikian sejumlah seni dapat digolongkan sebagai propaganda. Sedang seni yang baik, seni yang hebat bukanlah propaganda. Sastra dan Fungsi Katarsis Chatarsis merupakan istilah bahasa Yunani yang dipakai oleh Aristoteles dalam bukunya The Poetics dengan makna yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun yang jelas masalah yang timbul dari penggunaan istilah itu ialah adanya fungsi sastra yang menurut sejumlah teoritikus, untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Fungsi sastra sering berubah-ubah menurut pandangan masyarakat terhadap sastra itu sendiri. Pada akhir abad ke-19, dengan munculnya doktrin “seni untuk seni”, tentu saja fungsi sastra juga mengalami perubahan, yakni dalam rangka mengabdi pada seni. Demikian juga pada abad ke-20 dengan adanya doktrin “poesie pure” atau puisi murni. Pada masa renaisance di Amerika, Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat didaktis, yang dalam istilah Poe disebut didactic heresy yakni sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu Dalam sastra klasik, perubahan sekecil apapun cukup dapat mengubah genre. Dalam periode modern, perubahan fungsi cenderung melangkah secara drastis. Fungsi selain dapat mengubah bagian yang fundamental dari epik, juga dapat mengubah secara berangsur-angsur dan tidak sengaja. Sebagai contoh tanggapan terhadap perubahan dalam model kesusastraan, seperti pengurungan nilai-nilai informasi dari bentuk stanza. Perubahan fungsi secara berangsur-angsur mungkin akan dapat terjadi terus meneru



9



f.



Pernyataan Bandingan



Henry James menyetujui bahwa cerita adalah sesuatu (‘cerita dan novel... bagakan jarum dan benang”). Sementara itu E.M Forster menyatakan bahwa novel dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari pada cerita dan dikataannya, semestinnya James itu menganjurkan seseorang menggunakan benang tanpa jarum. Beckett kemudian membagi pernyataan itu dalam dua cara yang prinsipil. Pertama, menghapuskan semua ciri cerita. Kedua, memasukkan bentuk-bentuk yang berimplikasi humanis dan religius... Yang penting dalam hal ini, nampaknya pernyataan bandingan pernyataan yang agak sedikit kasar dan ekstim terhadap tradisi kesusastraan. Sekarang kita mengarangkan, bahwa transformasi genre merupakan suatu penggabungan dan percampuran. g.



Pencantuman



Inklusi atau pencantuman merupakan sumber yang yang subur bagi tranformasi. Dalam inklusi tidak diperlukan pengaruh suatu perubahan biasa. Perubahan hanya mungkin terjadi jika suatu bentuk secara struktural menunjukkan hal yang baru; atau jika itu merupakan suatu proposi terhadap karya metrik yang lebih luas; atau jika hal ittu dengan secara tetap berhubungan dengan genre yang bermetrik. h.



Percampuran Generik



Percampuran generik dapat ditemukan pada pengarang klasik yang terbaik. Fiksi dinyatakan Frye sebagai suatu campuran dengan empat hal utama; yaitu: konfesi, anatomi, dan roman. Dengan sederhana percampuran materi bergabung, tanpa memperhatikan struktur eksternal.



10



BAB III PENUTUP A. Simpulan Menurut Nurgiyantoro (2010:18), transformasi adalah perubahan, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan yang berubah itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan. Istanti, (2010:243) menambahkan bahwasanya pergeseran nuansa atau budaya itu pada hakikatnya merupakan bentuk transformasi yang mengikuti zaman dan pemikiran penyalinnya. Transformasi berkontribusi langsung dalam upaya memperkaya khazanah sastra. Transformasi telah berlangsung sepanjang masa dan seputar dunia. Dalam berbagai cara pertransformasian itu memang banyak kemungkinan terjadinya pergeseran dan perubahan yang disengaja maupun yang tidak, baik pergeseran tematis, struktural, maupun stilistik (Panuti Sudjiman, 1993: 69). Adapun bentuk transformasi dapat berwujud sebagai berikut: a.



Pembaharuan Topik;



b.



Kombinasi;



c.



Pengelompokan;



d.



Perubahan Skala;



e.



Perubahan Fungsi;



f.



Pernyataan Bandingan;



g.



Pencantuman;



h.



Percampuran Generik.



B. Saran Setelah penulis menguraikan masalah tersebut banyak sekali kekurangannya. Terutama dalam pencarian buku sumber atau buku rujukannya mengeai materi yang kami kaji. Juga dalam pencarian contoh mengani bentuk-bentuk transformasi suit ditemukan. Untuk itu kami harapkan kepada bapak dosen khususnya dan kepada pembaca pada umumnya untuk meneliti dan mengkaji kembali hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini, supaya para pembaca mendapat wawasan yang lebih luas, dan kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya untuk perbaikan kami dalam penyusunan makalah selanjutnya.



11



DAFTAR PUSTAKA



Afendy



Widayat,



“Teori



Sastra



Jawa”,



Universitas



Negeri



Yogyakarta.



http://eprints.ums.ac.id/33946/8/04.%20BAB%20I.pdf http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/1 96306081988031-MEMEN_DURACHMAN/Hand_Out_Kajian_Prosa_Fiksi.pdf Pertiwi, Panca. (2010). “ Teori Apreiasi Prosa Fiksi”. Bandung: PT. Prisma Press Prodaktama.



12