Trauma Toraks Primary Survey 02 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TRAUMA TORAKS Trauma toraks dibagi dalam dua katagori : Truma terbuka : disebabkan oleh benda yang menembus dinding dada, seperti pisau atau peluru, dan juga dapat disebabkan oleh patah tulang iga, dimana ujung tulang iga merobek dinding dan kulit dada. Trauma tertutup : dimana kulit dada tidak mengalami kerusakan, biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, seperti kena stir, atau kena benda tumpul. Tanda yang penting dari trauma toraks terbuka dan tertutup :  Sakit pada daerah yang luka  Perubahan pola dan frekuensi nafas (Dyspnea : Kesukaran bernafas dan nafas pendek, cepaat dan lambat )  Kegagalan satu sisi atau ke dua sisi dari dada untuk berkembang pada saat inspirasi.  Hemoptisis  Nadi cepat dan lemah dan Tekanan darah rendah Beberapa tahapan untuk penanganan pasien dengan trauma dada :  Pastikan jalan nafas bebas dan pelihara dengan melakukan manuver chin-lift atau jaw-thrust dengan melindungi servical spine  Berikan oksigen dan lakukan tindakan support pernafasan dengan alat mekanik bila perlu  Kontrol seluruh daerah yang mengalami perdarahan luar  Tutup luka tembus dengan  Observasi, catat dan monitoring Vital Sign  Hati-hati monitor vital sign dan efek dari tindakan dan siapkan untuk dikirim  Kirim pasien ke Rumah Sakit PRIMARY SURVEY : Trauma yang mengancam hidup, dimulai dari penilaian jalan nafas (Airway) dan ventilasi (Breathing) : 1. AIRWAY Trauma pada jalan nafas harus dikenali dan diketahui selama fase Primary Survey dengan :  Mendengarkan gerakan udara pada hidung, mulut dan daerah dada  meneliti daerah orofaring karena sumbatan oleh benda asing  mengawasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular Ada trauma pada jalan nafas, ditandai dengan :  Stridor (Sumbatan jalan nafas atas)  Perubahan kualitas suara (Bila pasien masih bisa bicara)  Terabanya defek pada regio sendi sternoklavikular ( Trauma luas pada dasar leher) Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



1



Penanganan jalan nafas :  Bersihkan jalan nafas bagian atas  Lakukan pemeliharaan jalan nafas dengan manuver jaw-trust atau chin-lift , dimana posisi cervical spine pada posisi alami pada satu garis.  Yang terbaik menstabilkan jalan nafas dengan Intubasi endotracheal. 2. BREATHING Penilaian kualitas pernafasan dengan cara :  Inspeksi : Ada luka, Perhatikan keseragaman gerak kedua sisi dada saat akhir inspirasi atau ekspirasi  Palpasi : Ada kripitasi, Nyeri tekan  Perkusi : Bunyi sonor, hipersonor, pekak, timpani  Auscultasi : bising nafas, bising abnormal Tanda gangguan pernafasan :  Pernafasan : < 12 atau > 20 kali/menit : berikan oksigen  Pernafasan : < 10 atau > 30 kali /menit : Bantu pernafasan bila perlu 3. CIRCULATION Denyut nadi harus dinilai :  Kualitas  Frekuensi  Regular/iregular Denyut nadi radialis dan arteri dorsalis pedis tidak teraba : Hipovolemia ?  Lakukan inspeksi dan palpasi :  Tekanan darah  Tekanan nadi  Sirkulasi perifer, warna dan temperatur  Pasang monitor jantung : Disritmia / PVC ? – Trauma Miocard  Pasang pulse oximeter : hipoksia / asidosis ? JENIS TRAUMA THORAK YANG HARUS DIKETAHUI PADA SAAT PRIMARY SURVEY : ( Consider Immediately Life-Threatening Conditions ) 1. TENSION PNEUMOTHORAX Merupakan suatu pneumothotax yang progresif dan cepat sehingga membayakan jiwa pasien dalam waktu yang singkat. Udara yang keluar dari paru atau melalui dinding dada masuk ke rongga pleura dan tidak dapat ke luar lagi (one-way-valve), maka tekanan di intrapleura akan meninggi , paru-paru menjadi kolap Penyebab :  Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik  Komplikasi dari penumotorak sederhana  Fraktur tulang berlakang toraks



Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



2



Tanda:  Nyeri dada  Sesak  Distres pernafasan  Takikardi  Hypotensi,  Defiasi trahea  Hilangnnya suara nafas pada suatu sisi  Distensi vena leher  Sianosis Tindakan :  Berikan oksigen 15 liter  Lakukan dekompresi dengan insersi jarum (Needle thoracocentesis)  Pemasangan chest tube untuk :  Perjalanan jauh ke RS.  Perjalanan menggunakan pesawat udara 2. PNEUMOTHORAX TERBUKA Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antar ruang pleura dan lingkungan sehingga tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir, akibat kondisi itu menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea Tanda :  Respirasi distres  Sianosis  Tampak adanya kerusakan pada dinding dada  Penurunan dari suara pernafasan dan gerakan  Adanya peningkatan suara Tindakan :  Pasang penutup luka dengan kasa steril (plastic wrap/petrolatum gauze) yang diplester pada 3 sisi. Hati-hati akan menjadi tension pneumothorax  Pasang selang dada yang berjauhan dengan luka 3. FLAIL CHEST Trauma hancur pada sternum atau truama multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua tau lebih garis fractur, sehingga menyebabkan gangguan pergerakan pada dinding dada, dimana segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada, mengakibatkan pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat terbatas mengakibatkan terjadi hipoksia yang serius. Tanda : Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



3



 Palpasi akan membantu menemukan diagnosa dengan ditemukannya kripitasi iga atau frictur tulang rawan.  Foto toraks akan lebih jelas adanya fractur yang multiple  Pemeriksaan analisa gas darah, dapt ditemukan adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan  Pada perkusi adanya suara yang tertinggal Tindakan : Pemberian ventilasi yang adekuat dengan oksigen 15 liter/menit yang dilembabkan Lakukan intubasi Bila diperlukan untuk mencegah terjadinya hipoksia dengan memperhatikan frekuensi pernafasan dan PaO2 Resusitasi cairan, hati-hati kelebihan cairan Pemberian analgetik 4. HEMOTORAKS MASIF Pengumpulan darah dalam ruang antara pleura viseral dan perietal yang cepat dan banyak. Tanda :  Respirasi distres  Penurunan pernafasan dan gerakan  Pada perkusi adanay suara teringgal  Adanay tanda syok hipovolemik Tindakan :  Berikan oksigen 15 liter/mt.  Pasang IV line dengan dua line dengan canule besar dan berikan caiarn untuk suport sirkulasi  Pasang chest drain untuk untuk menurunkan respirasi distres yang berkelalanjutan  Jangan gunakan PASG  Hipovolemik dapat memperburuk kondisi  Segera kirim ke RS. Untuk tindakan lebih lanjut TRAUMA THORAKS Definisi Trauma thorax merupakan semua keadaan rudapaksa pada thoraks dan dinding thorax, baik rudapaksa tajam maupun tumpul. Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan di seluruh kota besar di dunia, dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun disebabkan oleh trauma thorax di Amerika, sedangkan insiden penderita trauma thorax di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari, kematian oleh karena trauma thorax sebesar 20-25%, dan hanya 10-15% penderita trauma tumpul thorax yang memerlukan tindakan operasi. Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul thorax sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam. Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



4



Patofisiologi Trauma thorax sering mengakibatkan keadaan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis. Hipoksia disebabkan oleh karena tidak adekuatnya transfer oksigen menuju jaringan karena hipovolemi, pulmonary ventilation dan perubahan dalam tekanan intrathorax. Sedangkan keadaan hiperkarbia sering disebabkan oleh karena perubahan tekanan intra thorax sehingga terjadi gangguan ventilasi serta adanya gangguan kesadaran yang seringkali menyertai penderita dengan trauma tumpul thorax Sedangkan keadaan metabolik asidosis pada penderita dengan trauma tumpul thorax terjadi akibat adanya hipoperfusi jaringan. Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya adalah akibat: – Kegagalan ventilasi dan distribusi udara – Kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolus atau kegagalan difusi. – Kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik berakibat gangguan perfusi jaringan organ. Initial Assessment dan pengelolaan Survei primer, resusitasi fungsi vital, survei sekunder, perawatan definitif. Hipoksia adalah keadaan yang sangat serius pada setiap trauma thorax, jadi semua tindakan awal ditujukan untuk mencegah dan mengkoreksi hipoksia. Keadaan yang mengancam jiwa pada trauma thorax harus cepat dilakukan tindakan pertolongan dengan cara yang sesederhana mungkin. Mayoritas tindakan pertolongan yang dikerjakan pada trauma thorax adalah dengan cara kontrol jalan nafas, pemasangan thorax drain dan pemasangan jarum torakostomi. Survei sekunder lebih ditekankan pada anamnesa trauma dan pemeriksaan yang lebih detil untuk mengetahui adanya cedera yang spesifik. Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera thoraks sering disertai dengan cedera perut, kepala dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk. Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan nafas, hematothoraks besar, tamponade jantung, pneumothoraks desak, flail chest, pneumothoraks terbuka dan kebocoran udara trakeabronkus. Pendarahan jaringan interstitium, perdarahan intra alveolar, diikuti kolaps kapiler-kapiler kecil dan atelektasis, sehingga tahanan perifer pembuluh darah naik, aliran darah turun. Hal ini menyebabkan pertukaran gas berkurang. Sekret terkumpul karena batuk kurang. Terjadi kompresi dan dekompresi karena “coup en contre coup”. Gejala klinisnya: 1. Sesak nafas, pernafasan asimetri 2. Nyeri, nafas berkurang ekskursi turun 3. Ada jejas atau trauma (luka) 4. Emfisema kutis Pembagian trauma thorax: 1. Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



5



a) Tension pneumothoraks b) Open pneumothoraks c) Massive hematothoraks d) Flail chest e) Cardiac tamponade 2. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa a) Kontusio pulmonum dengan atau tanpa flail chest b) Rupture aorta thorakalis c) Cedera trakea dan Bronkus d) Perforasi esofagus e) Robekan diafragma f) Contusio miokard 3. Trauma thoraks yang berat a) Subcutaneus emphysema b) Pneumothoraks c) Hemothoraks d) Fraktur costa Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey a) Tension Pneumothorax • Patofisiologi Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, terjadi displacement mediastinum dan trachea. Pada sisi yang berlawanan vena cava superior atau vena cava inferior terjadi gangguan venus return ke jantung, terjadi kompresi paru kontralateral, terjadi hypoxia, hypotensi. • Etiologi Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). • Gejala klinis Tension pneumothorax di tandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



6



• Diagnosis Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. • Pemeriksaan penunjang - Radiologis : foto polos thoraks • Penatalaksanaan Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar (ukuran 14 atau 16 gauge) pada sela iga dua garis mid-clavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan thorax drain dan WSD. b) Open pneumothoraks (sucking chest wound) • Patofisiologi Adanya defek atau luka yang besar yang tetap terbuka pada dinding thorax dan paru menimbulkan “Sucking chest wound around” sehingga terjadi keseimbangan antara tekanan intra thorax dengan tekanan udara atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalul defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. • Diagnosa Diagnosa ditegakkan bila terdapat sucking chest wound, hypoxia, dan hipoventilasi. • Penanganan Penanganannya, langkah awal dengan menutup luka. Gunakan kasa steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek Flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara, dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara didalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara, yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka. c) Hematothorax Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu - Minimal / ringan 350 ml - Sedang 350 ml - 1500 ml - masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc. Tingkat perdarahan setelah evakuasi hemothorax secara klinis lebih penting. Jika kondisi ini terjadi, maka disebut sebagai hemopneutoraks.



Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



7



Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan terjadi penurunan suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen dada. Di tangan dokter yang berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa pneumotoraks dan hemotoraks, namun teknik ini jarang dilakukan sekarang ini. Tuba torakstomi harus dipasang secara hati-hati untuk semua jenis hemathorax dan pnemuothorak. Dalam 85%, tube toraktomi adalah satu-satunya metode yang dapat dilakukan. Jika pendarahan terus terjadi maka lebih baik dari sistemik daripada arteri pulmonary. Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya pembuluh darah hilus atau sistemik. i. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka. ii. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah. iii. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi tegang karena efek mekanis dari darah di dalam thorax. iv. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat mengakibatkan shock. • Diagnosa i. Shock hemorrhagic. ii. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral. iii. Pekak unilateral pada perkusi. iv.Vena leher menjadi datar. v. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral. • Pengobatan i. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan bernafas. ii. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi sebelum terjadi dekompresi. iii. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest tube. iv. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau 40F) pada celah intercostal keempat. Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan hemothorax dengan lebih adekwat. • Indikasi thoracotomy : a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung akibat perdarahan dada. b. Perdarahan yang ≥ 1500 mL sejak permulaan. c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama ≥ 4jam. d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun telah menggunakan 2 chest tube yang berfungsi dan diposisikan secara benar. vi. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk hemothorax yang tidak tuntas di drainase atau hemothorax yang menggumpal. d). Flail Chest • Patofisiologi Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



8



(segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru dibawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. • Penyebab Trauma tumpul thoraks yang hebat • Gejala klinis Berupa gangguan respirasi dari ringan sampai berat. – Pada inspeksi : deformitas dinding thoraks disertai gerakan paradoksal dinding thoraks yang patah. – Pada palpasi : nyeri tekan dan nyeri tekan sumbu disertai krepitasi. – Pada foto polos thoraks : patah tulang iga mltiple dan segmental atau lebih dari 2 garis fraktur. • Diagnosis Terjadi hypoxia, hipoventilasi, pekak. Thoraks ipsilateral waktu perkusi, hilangnya atau menurunnya suara nafas, hypotensi, meningkatnya vena leher. Pada X foto thoraks tampak effusi yang besar. • Pemeriksaan penunjang Laboratorium : Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, darah lengkap, saturasi O2. Radiologi : foto toraks AP/Lateral akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. • Penatalaksanaan 1. Segera lakukan intubasi apabila ada shock atau gejala dari depresi pernafasan seperti : a. Nafas yang sulit yang membutuhkan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. b. Respiratory rate > 35x/ menit atau < 8x/ menit. c. Saturasi O2 < 90%, PaO2 < 60mmHg. d. PaCO2 > 55 mmHg. 2. Pertimbangkan intubasi untuk pasien dengan riwayat hemodinamik yang tidak stabil, kebutuhan pembedahan untuk memperbaiki masalah lain, COPD, penyakit jantung, atau pada usia-usia tertentu. 3. Pindahkan pasien ke Surgical Intensive Care Unit (SICU). Kondisi pasien dengan flail chest biasanya memburuk dengan hypoxemia dan insufisiensi respiratory. 4. Pengendalian Nyeri a. Regional anastesi berupa blok epidural merupakan yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri pada pasien dengan trauma dinding dada. b. Opioid sistemik yang diberikan dengan infus continu atau PCA (Patient Controlled Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



9



Anesthesia). c. Blok nervus intercostal. 5. Monitor pulse oximetry dan jika tersedia monitor secara continu tidal CO2. 6. Sediakan pulmonary hygiene, termasuk insentif spirometri dan batuk-napas dalam. Analgesik yang adekwat dan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) memudahkan intubasi. e). Cardiac Temponade Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. • Diagnosa i. Jika sadar, pasien sangat gelisah melawan dan tidak mau berbaring. ii. Kecurigaan tamponade pada mereka dengan hipotensi yang menetap, asidosis dan kadar basa yang rendah, walaupun resusitasi darah dan resusitasi cairan telah adekwat, khususnya apabila tidak sedang terjadi perdarahan keluar. iii. Tanda-tanda klasik. JVD (terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh) tampak pada 33% pasien yang mengalami tamponade. JVD dapat tidak tampak pada hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah penurunan tekanan sistolik lebih dari 10mmHg selama inspirasi dan mengarah ke tamponade. Kussmaul sign merupakan tanda yang nyata dari tamponade; inspirasi pada pernafasan spontan pasien mengakibatkan peningkatan JVD. Tanda-tanda klasik dari tamponade jantung tidak khas. Shock atau hipotensi yang terus berlangsung tanpa kehilangan darah adalah pemicu yang biasanya mengarahkan ke cedera ini. iv. Jika tersedia kateter arteri pulmonary. Tekanan jantung kanan atau kiri dapat tampak untuk diseimbangkan. Tekanan vena sentral hampir mendekati tekanan arteri pulmonary dan keduanya akan meningkat. v. Jika tersedia, test ultrasound FAST dapat dilaksanakan untuk mengidentifikasi cairan pericardial. a. Gambaran positif pericardial yang tampak pada FAST adalah pasien Unstable, yang merupakan indikasi untuk melakukan tindakan sternotomy median atau thoracotomy anterolateral sinistra. b. Gambaran yang meragukan dari pericardial yang tampak pada FAST atau test positif pada pasien yang stabil menuntut dilakukannya operasi pericardial window. c. Gambaran FAST negative pada luka tusuk dapat menunjukkan false negative secondary hingga dekompresi dari cairan pericardial kedalam rongga pleura. • serta pemeriksaan penunjang: – X-foto thorax : tampak bayangan mediastinum melebar – Ekokardiogram : tampak terlihat bekuan darah dan cairan di sekeliling jantung – Punksi pericard (pericardiosentesis) : keluar darah. Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



10



• Penatalaksanaan Pada umumnya multiple intervensi berikut ini dilakukan secara bersamaan. Pengobatan ini dapat di lakukan baik di Emergency Department (ED) atau di Operating Room (OR), tergantung kondisi klinis pasien. i. Tentukan kebutuhan intubasi, oxigenasi, dan volume awal resusitasi. ii. Pericardiosentesis dapat digunakan sebagai maneuver sementara untuk mengurangi tamponade hingga pengobatan definitive dapat dilakukan. Hal ini sering sulit dilaksanakan karena prosedurnya yang sulit dan jumlah darah yang sedikit di dalam kantung. iii. Jika pasien dalam keadaan Extreme, thoracotomy anterolateral sinistra dapat dilakukan guna mengurangi tamponade. iv. Jika pasien Unstable, sternotomy segera dilakukan di OR. v. Jika pasien Stable, pemeriksaan pericardial window dapat dilakukan di dalam OR untuk meyakinkan diagnosis. Jika masih meninggalkan darah di dalam kantung/sac perluas insisi menjadi sternotomy. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa a) Kontusio Pulmonum dengan atau tanpa flail chest Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat. Etiologinya dapat dikarenakan trauma thorax, kecelakaan lalu lintas, terjadi terutama setelah trauma tumpul thorax dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim. Manifestasi Klinis, dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma, dispnea, ↓ PO₂ arteri, infiltrat terlokalisir pada foto thorax, pada kondisi berat dapat disertai : sekret trakeobronkial yang banyak, hemoptisis, dan edema paru. Berikan analgetik (intermitten atau kontinyu dengan morphine parenteral dapat juga dengan thoracic epidural) dan tindakan toilet pulmonalis sangatlah penting. Penderita harus dimonitor di ICU untuk 24 – 48 jam. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu. Faktor predisposisi dilakukan intubasi atau ventilasi mekanis 1. Kontusi berat dengan hypoxia (Pa02 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, Sa02< 90 %) 2. Pre-existing chronic pulmonary disease 3. Gangguan tingkat kesadaran 4. Trauma abdomen mengakibatkan ileus atau explorasi laparotomi. 5. Trauma tulang yang memerlukan imobilisasi 6. Renal failure 7. Poor cough effort, atelektasis, lobar collapse. b) Rupture Aorta Thoracalis Pada mumnya penyebab tersering kematian tiba-tiba setelah kecelakaan atau jatuh (trauma deselerasi hebat) 90% dari keadaan di atas adalah fatal, ini adalah prioritas didalam emergency room. Separuh dari penderita meninggal karena tidak terdiagnosa Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



11



atau tidak mendapatkan terapi. Robekan biasanya terjadi di belakang dari muara a. subclavia pada tempat insersi dari ligamentum arteriousum. • Diagnosa i. Tanda-tanda klinis a. Tekanan darah ekstremitas atas yang asimetri dan hypertensi ekstremitas atas. b. Tekanan nadi yang meningkat. c. Robekan pada dinding dada. d. Nyeri scapula posterior. Murmur intrascapula. e. Separuh dari pasien dengan cedera pembuluh darah besar dari trauma tumpul tidak menunjukkan gejala. ii. Tanda-tanda pada foto thorax a). Mediastinum yang melebar (> 8cm) ini merupakan tanda yang paling sering ditemukan. b). Fraktur dari tiga costa pertama, scapula atau sternum. c). Obliterasi dari aorta knob. d). Deviasi dari trachea ke kanan. e). Tampak pleura cap, biasanya pada sisi kiri tapi kadang-kadang bilateral. f). Peninggian dan pergeseran ke kanan dari bronchus utama kanan. g). Depresi dari bronchus utama kiri lebih dari 40% dari horizontal. h). Obliterasi dari jendela aorta pulmonary. i). Deviasi dari nasogastric tube (oesophagus) ke kanan jarang terjadi, tetapi merupakan tanda yang mendukung. j). Efusi pleura kiri. k).Tidak ada satu-satunya tanda yang dapat meyakinkan atau menyingkirkan dugaan cedera aorta. Tetapi bagaimanapun, pelebaran mediastinum adalah tanda yang paling sering ditemukan pada foto thorax dan harus dievaluasi lebih lanjut. - 15% pasien dengan traumatik ruptur aorta memiliki foto thorax yang normal. iii. Berdasarkan sejarah, aorthography adalah gold standar untuk diagnosa. Hingga 10% dari semua angiogram menunjukkan positif saat ada indikasi umum dan hanya 2-3% yang menunjukkan false negatif. iv. Chest Computed Tomography (CCT) telah menjadi alat diagnosa yang penting bagi cedera aorta. Standar CT scanner dapat menunjukkan hematoma mediastinal yang mengarah ke cedera aorta. Helical dan kecepatan tinggi, resolusi tinggi dari scanner dapat menunjukkan diagnosa definitif dari cedera aorta, melebihi angiography dan segala kelebihannya. Waktu untuk melakukan scan dan injeksi bolus sangat berperan untuk pembelajaran yang tepat. a). Non specifik mediastinum hematoma ditemukan pada CT Thorax untuk diagnosa yang tepat. b). Definitif diagnosa dari cedera aorta yang ditemukan dengan helical scanners. Juga membutuhkan aortography, bergantung dari kemampuan ahli bedah yang melakukan terapi perbaikan. c). Negatif scan menentukan cedera aorta dengan sensitivitas 92%. v. Transesophageal Echocardiogram (TEE) tidak dapat lebih diandalkan daripada angiogram untuk mendiagnosa cedera aorta. TEE yang positif meyakinkan lokasi cedera dan mempercepat managemen. Jika TEE negatif, dibutuhkan aortogram untuk Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



12



meyakinkan tidak adanya cedera. TEE adalah pilihan sempurna untuk pasien yang : a). Harus dipindahkan langsung ke OR untuk perdarahan lainnya. b). Memiliki mediastinum yang sangat lebar dan sangat dicurigai memiliki cedera aorta thoracalis. c). Memiliki resiko tinggi untuk dibawa ke radiologi. Saat telah stabil TEE negatif diikuti oleh CT thorax atau aortography. • Penatalaksanaan i. Bebaskan jalan nafas, sesuai yang dibutuhkan. ii. Kendalikan dan cegah hipertensi. Upaya mengurangi tekanan dinding aorta sebelum operasi dapat meningkatkan resiko ruptur. Beta blocker dapat dipakai untuk terapi pengganti hanya bila ada kemungkinan perdarahan yang signifikan dan cedera yang lain telah disingkirkan. Sasaran dan tekanan darah sistolik harus mendekati 100mmHg. iii. Jika pasien memiliki hematoma mediastinum yang stabil disertai cedera abdomen, pertama-tama lakukan laparatomy. Hati-hati jangan sampai menutup abdomen terlalu kencang atau menjepit aorta, yang dapat meningkatkan tekanan aorta proximal. Intraoperatif TEE dapat digunakan untuk mengevaluasi aorta thoracalis. iv. Beberapa tehnik yang ada untuk melakukan perbaikan definitive. a) Perbaikan full cardiac bypass sering membutuhkan heparin dalam dosis yang besar dan tidak dapat dilakukan pada kasus dengan banyak cedera organ, fraktur pelvis, atau cedera otak traumatic. b) Perbaikan selama pasif bypass dengan heparin bonded shunt atau tidak melakukan bypass sama sekali, dapat dilakukan, walaupun jarang. Angka kejadian paraphlegia dilaporkan lebih rendah dengan full ataupun passive bypass. c) Endovascular aorta stent graft kini ada di beberapa pusat kesehatan dan menawarkan kelebihan menghindari thoracotomy pada pasien yang memiliki hubungan pulmonary compromise yang signifikan. Penggunaan jangka panjang dan ketahanan stent ini belum diketahui. c) Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. • trauma trakea: Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul /trauma tusuk. manifestasi klinisnya : Fraktur larynx adanya trias suara serak, subcutaneus emphysema dan teraba fraktur dan krepitasi larynx Diagnosa: fiberoptic laryngoscopy Diperlukan terapi operasi definitif • Trauma bronchus: biasanya trauma benda tumpul Terjadi ± 1 inci dr carina tampak terjadi hemoptysis, subcutaneus emphyema/tension pneumothorax, khas adanya pneumothorax dgn kebocoran udara Bronchoscopy Penanganan thoracotomy



Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



13



d). Perforasi Esofagus a. Kebanyakan merupakan trauma tembus terdapat pada luka tumpul esophagus (insiden < 0,1%). Variasi presentasi tergantung lokasi luka: i. Esofagus servicalis: Emfisema subcutan, hematemesis. ii. Esofagus thoracalis: Emfisema mediastinum, emfisema subcutan, emfisema pleura, udara pada retroesofagus. Demam tanpa sebab 24 jam dari luka. iii. Esofagus intraabdominal: Tanpa gejala, kemungkinan pneumoperitoneum, hemoperitoneum. b. Diagnosa i. Menembus selaput mediastinum atau leher dapat menunjukkan luka esophagus. ii. Adanya trauma tembus yang banyak pada trakheoktomi atau laparatomi. iii. Esofagoskopi dan esofagogram biasanya sensitive (60%), kombinasi keduanya bisa mempelajari tentang luka esophagus. iv. CT scan dilakukan pada pasien yang stabil. c. Penatalaksanaan i. Operasi terbuka a. Cervical Insisi leher pada salah satu sisi sepanjang batas anterior dari otot sternocleidomastoideus. b. Thorax bagian atas Thoracotomi posterolateral kanan pada interkostal ke 5. c.Thorax bagian bawah Thoracotomi posterolateral kiri pada intercostal ke 6. ii. Perbaikan Definitif a. Luka kurang dari 6 jam Pertama-tama tutup dengan dua lapisan kedap sutura dan tutup pleura atau otot flap intercostalis. Perbaikan esophagus bagian bawah dapat di tutup lagi dengan Nisser wrap, drain. b. Luka komplex atau > 12 jam Perbaiki luka seperti diatas, lakukan eesfagostomi cervical dan pertimbangkan menjahit esophagus bagian bawah dengan tanda-tanda mediastinitis. Drainase pada rongga dada dan gastrektomi keduanya merupakan indikasi. c. Luka 6-12 jam Masih controversial, bagaimanapun jika terdapat shock dengan trauma multiple dapat dipertimbangkan hal di atas. e). Robekan Diafragma a. Trauma Tumpul Trauma tumpul diafragma secara klasik besar, radial dan lokasinya posterolateral. Terjadi 65-80% pada kasus hemidiaphragma kiri. Ruptur diafragma adalah tanda dari trauma intraabdominal. Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



14



b. Trauma tembus Luka kecil, tapi lebih sering pada kepala. Ketika terdiagnosa trauma tersebut membutuhkan perbaikan operasi, oleh karena trauma tersebut tidak sembuh spontan dan dapat menyebabkan hernia atau strangulasi dari usus dalam waktu yang lama. c. Diagnosa i. Diagnosa dapat sangat sulit, tetapi berdasarkan mekanismenya terdapat index kecurigaan: a. Deselerasi cepat atau kerusakan langsung pada abdomen bagian atas. b. Trauma dada sebagian, fraktur rusuk bagian bawah. c. Luka tembus pada dada dan abdomen. ii. foto thorax hanya mendiagnosa 25-50% kasus trauma tumpul. Beberapa kemungkinannya adalah: a. Elevasi hemidiafragma atau atelektasis lobus bagian bawah. b. Hemithorax pada nasogastric kiri. c. Lambung, colon, atau usus pada bagian bawah dada. d. Trauma tembus dan kerusakan usus, diafragma terlihat normal. e. Tekanan positif menyebabkan tamponade hernia alat dalam dan memperlihatkan foto thorax normal setelah extubasi, herniasi akan tampak pada foto thorax. iii. Pada hemidiafragma kanan jarang di diagnosa dengan foto thorax oleh karena adanya hepar. iv. CT scan dapat salah, pada luka diafragma terlihat gambaran kosong hernia alat-alat dalam. v. Diagnosa Peritoneal Lavage (DPL) menghasilkan negatif palsu pada 25-34% luka diafragma. Jika tampak pada rongga dada ipsilateral, cairan DPL dapat diteliti diluar rongga dada. vi. Visualisasi secara langsung luka dengan laparatomi, laparoskopi, atau thoracoskopi merupakan diagnosa utama. d. Penatalaksanaan i. Perbaikan diafragma. ii. Perbaikan awal dilakukan dengan laparatomi, pada kebanyakan kasus dengan tidak ada penyerapan, masalah potongan horizontal sutura. iii. Thorakotomi dibutuhkan untuk mengembalikan kerusakan yang besar pada hernia. iv. Peralatan prostetik atau flaps terkadang dibutuhkan untuk menutup kerusakan. v. Tingkat kematian sekitar 25-40% oleh karena berkaitan dengan trauma keras. f). Kontusio Miocard Istilah trauma tumpul pada jantung biasanya menggambarkan berbagai tingkatan trauma pada jantung. Ini dapat dari memar pada otot jantung yang asimptomatis, sampai dengan disaritmia dengan gejala klinis yang signifikan, gagal jantung akut, trauma katub atau rupture kardia. Walaupun jarang, trauma jantung dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Komplikasi yang sering dari trauma tumpul pada otot jantung adalah disaritmia seperti takikardi, kontraksi premature atrium, atrial fibrilasi, dan kontraksi premature ventricular. Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



15



Perubahan EKG lainnya yang mungkin dapat terlihat adalah Right Bundle Branch Block atau trauma akut dengan ST elevasi dan gelombang T yang datar. a. Diagnosis Dari beberapa literature masih terdapat perdebatan tentang kriteria diagnosa secara signifikan i. 12 lead EKG dapat dilakukan sebagai screaning test pada pasien yang dicurigai ii. ECG dinyatakan positif jika menunjukkan gambaran disaritmia, atrial atau ventrikuler ektopi, perubahan ST, Bundle Branch Block, atau block hemifasciculer. iii. Ecochardiography (Echo) dapat digunakan untuk memperkirakan gerak dinding dada dan kompetensi katub. Trans Thoracic Echocardiogram (TTE) lebih nyaman bagi pasien dan non infasif walaupun kadang secara teknis terbatas. TEE lebih infasif dan digunakan ketika TE tidak adekwat. iv. Bukti baru level cardiac troponin 1 (cTn1) berhubungan dengan resiko aritmia dan komplikasi BCI. Penelitian oleh Rajan dan Zellweger level yang menurun sampai 0,05 µg/L, 6 jam setelah trauma pada pasien tanpa gejala klinis menunjukkan resiko komplikasi, hasil tersebut specific untuk BCI. v. Presentasi fraktur sternum tidak berhubungan dengan presentasi. b. Tatalaksana a. Pasien dengan iskemia pada EKG atau elevasi cardia level enzim sama dengan infark miocard. b. Jika ekokardiografi menunjukkan memar (hipokinesis atau pergerakan abnormal dinding dada) kirim pasien ke ICU. c. Jika tanda-tanda penderita berkembang dan gejala dari gagal jantung akut. Mulai monitoring secara invasive dengan pemasangan arteri kateter. ii. Lanjutan EKG dilakukan pada gambaran awal abnormal atau tanda-tanda baru. iii.Trauma tumpul kardia bukan kontra indikasi absolute untuk operasi.



Trauma thorax yang berat 1. Subcutaneus emphisema Terjadi akibat trauma yang mengenai jalan nafas, paru, dan jarang karena trauma ledakan. Apabila ditemukan tanda trauma tersebut, maka perlu dipasang thorax tube. 2. Pneumothorax Diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumothorax. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pneumothorax akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga thorax dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumothorax terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor. Foto thorax pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumothorax adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



16



observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumothorax traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumothorax intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumothorax sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Thorax penderita harus dikompresi sebelum penderita dirujuk. 3. Hemothorax Penyebab utama dari hemothorax adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Tampak efusi pada thorax foto dan hilangnya suara nafas. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemothorax. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya diterapi dengan selang dada (Thorax tube) kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau fibrothorax), dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang kelur dari selang dada merupakan faktor utama. Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu Minimal / ringan 350 ml, Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan. 4. Fraktur costae Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru–paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga bagian tengah (iga ke – 4 sampai ke – 9). Costae bagian atas (costae ke-1 sampai ke-3 ) dilindungi oleh struktur tulang dari lengan bagian atas, tulang skapula, humerus dan klavikula dengan seluruh otot-otot yang merupakan pelindung terhadap trauma costae tersebut. Bila ditemukan fraktur tulang skapula, costae pertama dan kedua atau sternum harus curiga akan adanya trauma yang luas yang meliputi kepala, leher, medula spinalis, paru-paru dan pembuluh darah besar. Karena adanya trauma-trauma penyerta tersebut, mortalitas akan meningkat menjadi Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



17



35%. Konsultasi bedah harus dilakukan. Kompresi anteroposterior dari rongga toraks akan menyebabkan lengkung costae akan lebih melengkung lagi ke arah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah (bagian lateral) costae. Trauma langsung pada costae akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan trauma intratorakal seperti pneumothorax. Seperti kita ketahui pada penderita dengan usia muda dinding dada lebih fleksibel sehingga jarang terjadi fraktur costae, oleh karena itu adanya fraktur costae multipel pada penderita usia muda memberikan informasi pada kita bahwa trauma yang terjadi sangat besar dibandingkan bila terjadi trauma yang sama terjadi pada orang tua. Patah tulang costae (ke-10 sampai ke-12) harus curiga kuat adanya trauma terhadap hepatosplenik. Akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi pada penderita dengan trauma costae. Jika teraba atau terlihat adanya deformitas, harus curiga fraktur costae. Foto thorax harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan trauma intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur costae. Teknik khusus untuk visualisasi costae selain harganya mahal, tidak dapat mendeteksi seluruh costae, posisi yang dibutuhkan untuk pembuatan x-ray tersebut menimbulkan rasa nyeri dan tidak mengubah tindakan, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan. Plester costae, pengikat costae dan bidai eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi rasa nyeri.



-



Pemeriksaan dan Tindakan Awal Pada Trauma



Merupakan suatu hal yang menyedihkan jika kita melihat pasien trauma meninggal akibat tindakan penanganan yang kurang memadai atau terlambat. Untuk korban trauma berat,waktu sangat menentukan. Hubungan antara waktu sampai tindakan pembedahan dengan penyelamatan pasien sebaiknya dalam waktu 1 jam (Golden hour) maka angka penyelamatan mencapai 80%. Kita mempertaruhkan setiap menit dalam Golden hour untuk setiap tindakan sebelum mencapai kamar operasi. Untuk itu hendaknya setiap tindakan yang kita lakukan bersifat "life saving". Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:  Pasien trauma tidak diterapi definitif di lapangan,tapi di Unit Gawat Darurat atau kamar operasi,walaupun intervensi klinis sudah dimulai di lapangan.  Keadaan fatal yang dapat dicegah (preventable death) disebabkan kelambatan mecapai kamar operasi. Pelayanan trauma harus dapat membuat pasien dirujuk segera ke rumah sakit terdekat untuk segera mendapatkan perawatan definitif. Peranan Emergency Medicine menempati posisi kritis,karena nasib pasien ditentukan oleh kecepatan.keterampilan dan keputusan petugas lapangan. Golden hour dimulai dari saat kejadian. Keterlambatan umumnya disebabkan oleh organisasi yang tidak baik. Tindakan cepat bukan berarti terburu-buru,tetapi memaksimumkan harapan hidup pasien dengan melakukan 6 tahap panggilan ambulan secara tepat,yaitu: 1.Predispatch Merupakan tahap pertama yang sering diremehkan.Kemampuan menemukan tempat Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



18



kejadian,mencari jalan terdekat,dan kesiapan kendaraan harus diperhatikan.Petugas harus siap memilih jalan tercepat aman untuk mencapai tempat tujuan. 2.Dispatch Petugas harus mempunyai informasi yang cukup untuk menjawab panggilan secara cepat . (Jumlah korban,alamat,nomor telepon yang dapat dihubungi). 3.Berangkat ke Tempat Kejadian Cepat,hati-hati.Pemilihan rute yang tepat merupakan standar mutu dalam menuju tempat kejadian. 4.Tindakan di Tempat Kejadian Keamanan diutamakan.Evaluasi,resusitasi,dan perlakuan pasien menurut prioritas Basic Trauma Life Support. 5.Menuju Rumah Sakit Pilihan jalan dan rumah sakit sesuai protokol setempat. Penolong yang paling berpengalaman berada di sisi pasien,melakukan tindakan dan monitoring. Beritahu pusat pengatur medik jika terjadi perubahan atau memburuknya keadaan pasien selama perjalanan,fasilitas yang akan diperlukan,perkiraan waktu tiba dan kebutuhan lain. Persiapan rumah sakit termasuk dokter bedah,kamar operasi dan petugas lain. Kehilangan waktu di rumah sakit sama bahayanya dengan prahospital. 6.Tindakan di Rumah Sakit Laporan diserahkan ke perawat atau dokter yang menerima.Catatan meliputi tempat kejadian,mekanisme cedera,observasi,tindakan yang telah dkerjakan dan perubahan kondisi pasien. Pemeriksaan Trauma Tindakan awal di tempat kejadian: Scene Survey 1. Periksa keadaan sekitarnya apakah ada keadaan yang membahayakan. 2. Perhatikan jumlah pasien. Jika jumlah pasien lebih dari 1 segera panggil bantuan ambulans lain. Apakah semua pasien sudah diberi penjelasan ? Jika ada pasien yang tidak sadar dan tidak ada saksi di tempat kejadian.cari identitas dan informasi lain yang ada. 3. Catat mekanisme cedera 4. Apakah pasien membutuhkan extrikasi? Apakah diperlukan alat khusus untuk extrikasi? Peralatan Dasar  Long back board dan imobilisasi kepala  Imobilisasi leher  Oksigen dan alat jalan napas (termasuk suction) Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



19



 



Trauma box (alat bantu,tensimeter,stetoskop,dll) Alat proteksi diri bagi penolong



Pemeriksaan Pasien dan Prioritas Tindakan Pemeriksaan dimulai dari pasien yang berat terlebih dahulu,kecuali bila pasien dalam jumlah banyak,maka digunakan prosedur MCI (Multiple Casualty Incident). Pemeriksaan dilakukan dengan cepat dan hati-hati karena perlakuan kasar akan menambah cedera. Agar penggunaan waktu efisien,maka pemeriksaan prahospital dan tindakan dbagi dalam 4 tahap berdasarkan prioritas. Primary Survey Adalah pemeriksaan cepat untuk menentukan kondisimyang mengancam nyawa. Hal ini dipakai untuk membuat keputusan kondisi kritis,tindakan dan kecepatan transpor. Pemeriksaan ini harus diselesaikan dalam waktu 2 menit atau kurang dan tidak boleh ada yang menghentikan primary survey kecuali sumbatan jalan napas dan henti jantung. Gangguan jalan napas selain sumbatan bukan indikasi untuk menunda primary survey. Perdarahan besar perlu untuk segera dikontrol. Urutan pemeriksaan yang harus diingat dalam melakukan primary survey: 1. Lihat situasi keseluruhan pasien pada waktu mendekati pasien 2. Periksa airway,kontrol C spine,dan tingkat kesadaran awal. 3. Periksa pernapasan 4. Periksa sirkulasi 5. Periksa abdomen,pelvis dan ekstremitas. Tindakan Kritis dan Keputusan Transporital Dengan selesainya primary survey maka sudah cukup informasi untuk menentukan kondisi pasien. Pasien dalam kondisi kritis segera ditranspor . Umumnya tindakan dilakukan selama transpor. Tindakan yang dikerjakan di tempat adalah menghilangkan sumbatan jalan napas,menghentikan perdarahan besar,menutup luka terbuka dinding thorax,hiperventilasi dan dekompresi "tension pneumothorax".Umumnya tindakan lain dapat ditunda sampai pasien di dalam ambulan segera ditranspor. Waktu "Golden hour" harus dapat dimanfaatkan secara bijaksana pada pasien kritis. Secondary Trauma Survey Tindakan ini dilakukan secara cepat untuk memeriksa cedera seutuhnya,yang terlihat maupun yang tersembunyi. Pemeriksaan ini berguna untuk menetukan tindakan-tindakan yang perlu dikerjakan. Semua penemuan dicatat. Pada penderita kritis,secondary survey dikerjakan selama transportasi. Jika pada primary survey tidak ditemukan kondisi kritis,secondary survey langsung dikerjakan di tempat kejadian. Walaupun pasien dalam keadaan stabil,secondary survey di tempat kejadian sebisanya jangan lebih dari 3 menit. Prioritas pemeriksaan pada secondary survey:  Tanda vital  Riwayat dan kejadian trauma  Pemeriksaan dari kepala sampai kaki  Balut Bidai  Monitor terus-menerus Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



20



Penanganan Kritis dan Penilaian Ulang (Reassesment) Terdiri dari tindakan yang dikerjakan di tempat kejadian atau selama transportasi,reassesment survey disertai komunikasi dengan pusat pengendali medik. Reassesment survey adalah pemeriksaan untuk mengetahui perubahan kondisi pasien. Pemeriksaan pada reassesment survey: 1. Tindakan kesadaran 2. Jalan napas 3. Breathing 4. Nadi,tekanan darah,warna kulit,suhu 5. Pemeriksaan abdomen 6. Pemeriksaan yang berhubungan dengan cideranya. 7. Periksa hasil tindakan Pemeriksaan Pasien Dengan Perencanaan Prioritas Primary Survey Setelah ditentukan pasien dapat dideteksi dengan aman,pemeriksaan dikerjakan secara cepat (kurang dari 2 menit) secara hati-hati. Perlu diingat bahwa tidak ada yang dapat menghambat primary survey kecuali sumbatan jalan napas dan cardiac arrest.Karena kesulitan extrikasi total waktu di tempat kejadian tidak boleh lebih dari 10 menit. Pada penderita kritis sebaiknya kurang dari 5 menit. Lihat keseluruhan keadaan pasien pada saat mendatangi. Harus dilakukan evaluasi situasi sebelum sampai di sisi pasien. Apakah pasien sadar atau gelisah? Apakah terlihat cedera berat ? Penampilan awal bisa memberikan kesan mengenai keadaan korban. Apakah keadaannya tidak boleh mengubah sikap untuk melakukan primary survey. Kalau urutan diubah maka akan ada cedera yang terlewatkan. Evaluasi Jalan Napas,Kontrol Servikal dan Tingkat Kesadaran Awal Pemeriksaan segera dimulai walaupun bersamaan dengan extrikasi. Pemimpin tim mendekati pasien dari depan,pasien tidak perlu memutar kepala. Penolong kedua segera melakukan stabilisasi leher dalam posisi netral,hal ini dikerjakan secara hati-hati.Jika tidak ada penolong kedua,hal ini dikerjakan sendiri,tidak boleh dilepaskan sampai dipasang alat fiksasi leher. Pemimpin tim harus berbicara kepada pasien bahwa: "Kami datang untuk menolong anda.Apa yang terjadi ?" Jawaban pasien akan memberikan kesimpulan bahwa jalan napas bebas dan kesadaran baik.Jika korban tidak bicara atau terjadi penurunan kesadaran,periksa segera jalan napas dengan melihat,mendengarkan,merasakan udara pernapasan.Buka dan bebaskan jalan napas jika terdapat obstruksi jalan napas. Lakukan tindakan yang sesuai untuk membebaskan jalan napas sebelum melanjutkan primary survey. Karena bahaya cedera leher tidak boleh dilakukan ekstensi leher. Pasien dengan kesulitan jalan napas dan penurunan kesadaran termasuk dalam kategori "load and go. Semua pasien dengan penurunan kesadaran harus dilakukan hiperventilasi (24x pernapasan / menit) jika keadaan pasien memungkinkan. Kepala dipertahankan dengan ke-2 lutut menolong dan ke-2 tangan memberikan oksigen serta bag-valve-mask untuk membantu ventilasi. Perlu diperhatikan bahwa tidak hanya ventilasi rate yang Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



21



penting tapi anda juga harus memperhatikan volumenya. Semua pasien dengan cedera multisistem harus diberi tambahan oksigen dalam kadar tinggi. Periksa Pernapasan dan Sirkulasi Pemeriksaan pernapasan dan sirkulasi dilakukan bersamaan. Letakkan 1 tangan pada leher untuk palpasi denyut karotis dan tangan lain diletakkan di dada untuk menilai respirasi. Bila tidak ada pulsasi karotis dan tidak ada pernapasan,segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.. Setelah leher di imobilisasi,segera lakukan "Jaw thrust",lakukan evaluasi pernapasan dan sirkulasi sebagai berikut: 1. Letakkan telinga diatas mulut pasien sehingga dapat dinilai jumlah dan kualitas pernapasan. Pernapasan tidak boleh lebih dari 24 x / menit atau di bawah 8 x / menit. Apakah volume udara pernapasan mencukupi ? Lakukan "look,listen,and feel" . 2. Setelah memeriksa jumlah dan kualitas pernapasan,nilai jumlah dan pulsasi karotis dan bandingkan pulsasi radialis atau brachialis pada anak. Pemeriksaan selanjutnya adalah warna kulit dan suhu. Informasi ini dihubungkan dengan tingkat kesadaran untuk menilai keadaan syok tidaknya pasien.. Perkiraan tekanan darah bila ke-2 pulsasi teraba (carotis dan radialis) tekanan darah > 80 mmHg,jika hanya teraba pulsasi leher 60-80 mm Hg. Tanda yok yang lain adalah denyut jantung yang lebih cepat (>100x/menit),dingin,berkeringat,pucat,bingung,,lemah,haus. Korban dengan syok spinal bisa tidak mengalami tanda-tanda ini.,yang tersering adalah paralisis dan penurunan tekanan darah. 3. Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan secara cepat di leher dengan cara melihat,meraba ada tidaknya cedera berupa: perubahan warna,pembengkakan,enfisema subkutis. Lihat vena leher apakah flat atau distensi dan perhatikan posisi trakea apakah terjadi deviasi.. Selanjutnya segera pasang rigid extrication collar. 4. Selanjutnya segera evaluasi dinding dada. Jika terdapat kesulitan bernapas,baju harus dibuka untuk pemeriksaan. Lihat apakah terjadi deformitas,memar,lecet,luka tembus,gerakan paradoxal,luka bakar,laserasi dan pembengkakan,nyeri raba,instabilitas,krepitasi. Catat gerakan iga atau pernapasan diafragma. Dengarkan suara napas kanan & kiri,dengarkan di tepi dinding setinggi iga ke-4 kiri pada garis mid axilla. Atau pada dinding depan pada sela iga ke-2 kiri dan kanan. Yang terpenting adalah membedakan suara napas ada/tidak & sama/tidak di sebelah kiri dan kanan. Jika suara napas tidak sama,lakukan perkusi untuk membedakan tension pneumothorax dengan hemothorax. Jika ditemukan kelainan seperti luka terbuka pada dinding dada,flail chect,kesulitan bernapas,lakukan tindakan yang sesuai seperti menutup luka,stabilisasi flail,oksigen,bantuan ventilasi, atau dekompresi tension pneumothorax. Pemeriksaan Abdomen,Pelvis,Ekstremitas. 1. Buka dan segera lihat abdomen (distensi,kontusi,penetrasi) dan palpasi secara lembut ke-4 kuadran abdomen ada tidaknya nyeri tekan.



Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



22



2. Periksa pelvis,lihat ada tidaknya deformitas,ekskoriasi,kontusi,abrasi,penetrasi,luka bakar,laserasi,pembengkakan. Raba nyeri tekan,instabilitas,krepitasi dengan menekan simfifis pubis ke bawah dan merapatkan crista iliaca. 3. Periksa ke-2 tungkai dan ke-2 lengan dan periksa sesuai dengan kriteria diatas.Serta anda juga harus menilai keadaan sensorik dan motoriknya. 4. Hentikan perdarahan aktif.Jika terdapat 3 penolong,penolong ke-3 yang melakukan hal ini. Kebanyakan perdarahan dapat dihentikan dengan balut tekan. Air splint atau PASG dapat dipakai untuk menekan perdarahan. Touniquet jarang digunakan. Jika balutan penuh darah, ganti dan lakukan kembali balut tekan di daerah perdarahan. Selanjutnya kita akan menentukan apakah kondisi pasien kritis atau tidak dan perlu dilakukan prosedur "Load & Go". Keputusan Transpor Cepat dan Intervensi Keadaan Kritis Untuk menetapkan apakah pasien termasuk dalam kriteria Load & Go: 1. Trauma kepala dengan gangguan kesadaran 2. Sumbatan jalan napas yang tidak dapat diatasi secara mekanik (suction,forceps) 3. Keadaan yang membuat pernapasan tidak adekuat (luka terbuka dinding dada,flail chest,tension pneumothorax,trauma tumpul dada yang luas) Jika pasien memenuhi kriteria ini,segera pindahkan pasien ke backboard sekaligus anda melakukan pemeriksaan punggung saat melakukan "log roll". Berikan oksigen dan masukan ke ambulans untuk segera dibawa ke rumah sakit. Prosedur life saving mungkin dibutuhkan tetapi jangan sampai menghambat transpor. Beberapa prosedur yang dikerjakan di tempat: penatalaksaan jalan napas,kontrol perdarahan besar,menutup luka terbuka dinding dada,stabilisasi flail chest,hiperventilasi,dekompresi tension pneumothorax,dan melakuka Resusitasi jantung Paru. Sebagian besar tindakan dilakukan selama transportasi,dengan pertimbangan waktu. Tindakan yang tidak bersifat life saving seperti balut bidai tidak boleh menggangu transportasi. Secondary Survey Bagi penderita kritis,tindakan ini dilakukan selama transpor ke rumah sakit,sedangkan untuk penderita stabil tindakan ini dilakukan di tempat (tidak lebih dari 10 menit). 1.Periksa tanda vital,nadi,pernapasan,tekanan darah 2.Riwayat cedera atas dasar:  Observasi personal  Saksi/orang lain di tempat kejadian  Paien,lakukan S (Sympton) A (Alergy) M (Medication) P (Penyakit yang diderita) L (Last Meal) E (Event) 3.Lakukan pemeriksaan lengkap dari kepala sampai kaki (inspeksi,auskultasi,palpasi,perkusi)  Pemeriksaan kepala : Racoon eyes,Battle sign,darah dan cairan dari hidung dan mulut,periksa ulang jalan napas. Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



23



   







Periksa leher: distensi vena leher,deviasi trakea,imobilisasi servikal. Periksa ulang dada bahwa suara napas terdengar sama kanan dan kiri. Periksa luka terbuka dada telah tertutup atau tidak,flail chest telah distabilisasi. Periksa abdomen: likat tanda luka tumpul atau tusuk,nyeri tekan. Jangan membuang waktu untuk mendengarkan bising usus. Jika ada nyeri tekan hati-hati terhadap kemungkinan internal bleeding. Jika nyeri disertai distensi kemungkinan terjadi syok hemorhagi. Periksa pelbis dan ekstremitas. Angulasi ekstremitas atas dipasang bidai sesuai dengan keadaan yang ditemukan. Ekstremitas bawah boleh di traksi dan di bidai. Pada penderita kritis semua bidai dipasang selama transpor.



4.Pemeriksaan neurologi -Tingkat kesadaran (AVPU) Alert (sadar penuh) Verbal (menjawab rangsangan) Pain (bereaksi atas rangsangan nyeri) Unresponsive (tidak memberi reaksi) -Motorik: Tidak dapat menggerakan jari tangan dan kaki. -Sensorik : dapat merasa sentuhan/cubitan -Pupil (Ada tidaknya refleks pupil terhadap cahaya) 5.Jika mungkin,selesaikan balut bidai 6.Monitor terus-menerus dan evaluasi ulang. Penderita Kritis Dan Pemeriksaan Ulang Tindakan kritis merupakan semua intervensi dan prosedur yang dikerjakan berdasarkan pemeriksaan. hal ini dikerjakan mulai di tempat kejadian hingga selama transportasi. 1. Penatalaksaan jalan napas.Semua penderita kritis harus mendapat oksigen.Dengan memperhatikan tindakan selanjutnya (intubasi,tambahan oksigen,dekompresi,suction,stabilisasi flail chest) 2. Pasang monitor (dikerjakan selama transpor) 3. Pasang infus (IV) harus dikerjakan selama transpor. 4. Balut bidai harus dikerjakan selama transpor untuk menghemat waktu Golden hour,kecuali ada bperdarahan yang harus ditangani segera maka dilakukan balut tekan. Penderita kritis dibidai di atas long spine board. Pemeriksaan ulang dikerjakan setiap 5 menit pada pasien kritis dan setiap 15 menit pada pasien stabil. Pemeriksaan ini dilakukan setiap saat jika terdapat/memburuknya keadaan.



Primary Survey Trauma Thorac. Doc RE. Jan 2002



24