Trauma Tumpul Abdomen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus Trauma Tumpul Abdomen



Disusun oleh: Catherine Junus (120100261) Dumora Fatma (120100040) Dyan Riza Indah Tami (120100329) Emilia Dwi Pratiwi (120100029) Khairatul Ummah (120100087) Pembimbing: dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMENILMU ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan kemudahan yang dikaruniakan-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “Trauma Tumpul Abdomen” ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai rangkaian tugas Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Terimakasih kami sampaikan kepada dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV, selaku pembimbing kami yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.



Medan, Mei 2017



Penulis



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama morbiditas dan



mortilitas pada semua kelompok umur. Identifikasi dari kelainan intra-abdominal yang serius seringkali merupakan suatu hal yang menantang. Banyak cederacedera yang tidak menimbulkan manifestasi selama periode awal penilaian dan pengobatan. Mekanisme dari cedera seringkali mengakibatkan hal lain yang berkaitan dengan cedera tersebut, sehingga dapat mengalihkan perhatian dokter dari potensi kelainan intra-abdominal yang dapat mengancam nyawa. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaann tubuh, tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya.1 Kebanyakan dokter menganggap bahwa ruptur organ abdomen yang berongga atau perdarahan dari organ yang padat menyebabkan peritonitis yang mudah dikenal, padahal penilaian terhadap penderita seringkali terganggu karena intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, cedera otak atau saraf tulang belakang, atau cedera pada struktur yang berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang, atau tulang panggul. Hal-hal tersebut merupakan penyebab utama luputnya diagnosa trauma abdomen.2 Kejadian trauma tumpul abdomen merupakan kasus kegawatdaruratan bedah yang harus ditangani dengan baik. Penanganan yang cepat dan tepat akan menurunkan angka mortalitas dan mortalitas. Pada kasus trauma tumpul abdomen didapatkan trauma pada duodenum sekitar 5% dan colon sekitar 9%. Diperlukan keterampilan dari seorang ahli bedah untuk penanganan yang tepat.3



1.2



Tujuan Penulisan



1.



Memahami ilmu kegawatdaruratan dari primary survey, secondary survey sampai tatalaksana awal di IGD terutama pada kasus trauma tumbul abdomen.



2.



Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.



3.



Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Anatomi Abdomen Dinding abdomen terdiri daripada kulit, fascia superfisialis, lemak, otototot, fascia transversalis dan parietal peritoneum. Selain itu, posisi abdomen ada diantara toraks dan pelvis. Pada abdomen, terdapat empat kuadran yang dibagi dari bagian midline dan bagian transumbilikal.4-6



Gambar 2.1. Kuadran empat bagian abdomen7



1)



Bagian kanan atas: Hepar dan kantong empedu



2)



Bagian kiri atas: Gastric dan limfa



3)



Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon dan usus kecil



4)



Bagian kiri bawah: Descending colon, sigmoid colon, dan usus kecil



Menurut Singh (2014), bagian-bagian abdomen terbagi dalam:8



Gambar 2.2. Bagian-bagian abdomen6 1)



Hipokondriaka Dextra



2)



Epigastrika



3)



Hipokondriaka Sinistra



4)



Lateralis Dextra



5)



Umbilikalis



6)



Lateralis Sinistra



7)



Inguinalis Dextra



8)



Pubika



9)



Inguinalis Sinistra



Menurut Singh (2014), tempat organ abdomen adalah pada:8 1.



Hipokondriaka dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.



2.



Epigastrika meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian hepar.



3.



Hipokondriaka sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.



4.



Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum dan jejenum.



5.



Umbilikalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan ileum.



6.



Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.



7.



Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.



8.



Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).



9.



Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri. Inervasi dinding abdomen oleh nervus (n) torakalis ke-8 sampai dengan 12.



Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n. torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup dinding abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang menutup pelvis sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Peritoneum diafragmatika pars sentralis disarafi nervi spinalis C5 mengakibatkan iritasi pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di bahu, yang disebut Kehr sign.6-8 2.2. Trauma Abdomen 2.2.1. Definisi Kata trauma ini berasal dari kata Yunani untuk luka sehingga definisi sederhana adalah bahwa trauma adalah cedera yang dihasilkan dari kekuatan fisik eksternal. Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah antara diafragma atas dan panggul bawah.9,10



Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC = diseminated intravascular coagulation).9-11 2.2.2. Epidemiologi Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan, trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%) (Cho et al, 2012). Sedangkan, pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000). Pada trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil (30%), diafragma (20%), dan usus besar (15%).9,10 2.2.3. Klasifikasi dan Etiologi Menurut Smith et. al (2011) trauma abdomen diklasifikasikan menjadi dua:11 1)



Trauma penetrasi atau trauma tajam: Trauma Tembak, Trauma Tusuk



2)



Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 4 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), shearing, bursting dan penetrasi. Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam



kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi.



2.3. Trauma tumpul 2.3.1. Etiologi Trauma tumpul paling banyak disebabkan oleh kecelakaan ataupun motor vehicle collisions (MCVs). Daripada itu, kecelakaan antara kenderaan dengan kenderaan dan kenderaan dengan pejalan kaki telah menyebabkan 50-70 % daripada trauma ini. Penyebab trauma tumpul yang lain adalah kecelakaan di tempat industri ataupun kecelakaan rekreasi. Antara penyebab trauma tumpul yang jarang berlaku adalah iatrogenik trauma apabila melakukan kardiopulmonari resusitasi dan melakukan Heimlich maneuver.12 2.3.2. Mekanisme Terdapat empat mekanisme untuk trauma tumpul:13 1.



Tenaga kompresi (hantaman) Kompresi external dari arah lateral atau antero-posterior akan menggangu organ yang terfiksasi pada bagian rongga perut. Organ- organ yang berada pada peritoneal seperti hepar, limpa dan duodenojejunal (DJ) flexure rentan terhadap trauma seperti ini karena ia berada pada bagian visera retroperitoneal. Ruptur langsung juga bisa terjadi jika berlaku pendarahan.



2.



Shearing Pasokan pada abdomen dengan tenaga deselerasi dan akselerasi akan menyebabkan organ bergerak dan dirobek dan ini akan menyebabkan pendarahan yang signifikan banyak.



3.



Bursting Kompresi external ke rongga perut akan menghasilkan peningkatan pada tekanan intra abdominal dan pada lumen organ yang berongga dan akan menyebabkan efek bursting. Bagian yang paling rentan kepada bursting adalah pada bagian oesophagogastric pada kasus ruptur diafragma.



4.



Penetrasi Cedera tumpul ke tulang panggul, tulang belakang lumbosakral, atau tulang rusuk dapat menghasilkan spikula tulang yang menembus kedua organ berongga dan padat.



Cedera khusus:11-15 A.



Diafragma Cedera ataupun robekan pada diafragma terjadi pada bagian-bagian tertentu ataupun pada kedua-dua diafragma. Bagian yang paling sering cedera adalah pada bagian kiri dan juga sering disebabkan oleh bursting. Biasanya pada luka tusuk, bagian diafragma mempunyai potensi untuk cedera. Cedera pada bagian ini disebabkan oleh trauma tumpul ataupun trauma tembus. Selain itu, cedera diafragma dapat terjadi dalam arah yang berlawanan dengan tempat terjadi tembusan dari bagian thorax kepada bagian abdomen. Lebih dari setengah dari kasus trauma pada bagian diafragma akan berkaitan dengan cedera pada hepar dan haemopneumothoraks.



B.



Hati Walaupun dilindungi oleh iga kanan, hati merupakan organ yang paling sering mengalami kecederaan dalam kasus trauma abdomen. Pada kasus trauma tumpul, kompresi dan shearing merupakan faktor paling dominan dalam mekanisme kecelakaan. Hati diselaputi oleh kapsul fibrosa dan diikat pada dinding abdomen oleh ligamentum falciform. Apabila mengalami tekanan ataupun kompresi, paling sering di iga bawah, hati tidak dapat dilindungi sehingga menyebabkan terjadinya laserasi pada parenkim.



C.



Limfa Kebanyakan kecederaan pada limfa sama seperti kecederaan di hati. Walaupun berada pada posisi yang dilindungi oleh iga, limfa sering mengalami kecederaan disebabkan oleh trauma tumpul. Kecederaan pada limfa paling sering disebabkan oleh motor vehicle crashes(MVCs), dan kecelakaan olahraga dan ruptur secara langsung juga menjadi penyebab.



D.



Ginjal Ginjal selalunya dilindungi di bagian retroperitoneum dan hanya terjadi kecederaan jika mengalami trauma yang berat (cedera pada bagian ginjal hanya berlaku sebanyak kira-kira 10% dari kasus trauma abdomen). Cedera daripada kompresi haruslah dengan kekuatan yang tinggi karena perlindungan yang terdapat pada bagian tersebut adalah dari dinding abdomen yang posterior tetapi rentan kepada cedera deselerasi. Kasus yang menyebabkan kecederaan pada ureter atas juga jarang terjadi.



E.



Pankreas Kebanyakan cedera pada pancreas umumnya disebabkan oleh trauma tumpul, dan mekanismenya adalah melalui kompresi. Trauma ini disebabkan oleh kompresi apabila pemandu kenderaan mengalami hentaman pada bagian torso pada kemudi mobil, dan menghancurkan pancreas.



F.



Perut Cedera pada bagian ini umumnya sering terjadi karena trauma tembus daripada trauma tajam. Pada kasus trauma tumpul, kenaikan tekanan intra abdominal akan menyebabkan bursting dan pada gastro-esophageal junction terjadi shearing. Gastric rupture juga terjadi tetapi jarang.



2.3.3. Gejala Klinis Gejala klinis untuk trauma tumpul adalah nyeri abdomen, iritasi peritoneal, dan sehingga terjadi shock hipovolemik. Selain itu, bisa kelihatan Cullen’s sign, dan Grey Turner’s sign pada abdomen dan pada bahu terdapat Kehr’s sign. 13,14 2.3.4. Diagnosa18,19 A.



Anamnesis Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh, asal ketinggian, jenis alat yang melukai, kecepatan dan sebagainya.



B.



Pemereriksaan Fisis: 1.



Kadang-kadang dijumpai jejas di dinding abdomen



2.



Tanda rangsangan peritoneum: nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, dan defans muskular



3.



Darah atau cairan yang cukup banyak dapat dikenali dengan shifting dullness sedangkan udara bebas dapat diketahui dengan beranjaknya pekak hati



4.



Bising usus dapat melemah atau menghilang



5.



Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan curiga trauma usus.



C.



Pemeriksaan Penunjang 1.



Darah perifer lengkap: tanda infeksi dan pendarahan



2.



Urinalisis dapat dilakukan untuk menunjang kemungkinan diagnosis cedera saluran kemih



3.



Rontgen abdomen 3 posisi digunakan untuk mengetahui adanya udara bebas



4.



Sistogram dan IVP apabila dicurigai trauma saluran kemih



5.



Rontgen



toraks:



pneumoperitonium,



isi



abdomen(ruptur



hemidiafragma) atau fraktur iga bawah yang menandakan kemungkinan cedera limpa dan hepar.



6.



USG: melihat adanya cairan intraperitoenal bebas seperti pada region spesifik kantong Morison, kuadran kiri atas dan pelvis.



7.



CT scan digunakan untuk melihat cedera pada organ seperti ginjal, derajat cedera hati dan limpa terutama pada pasien yang memiliki hemodinamik stabil.



8.



Bilasan rongga perut (peritoneal lavage) diagnostic dapat dilakukan apabila tidak terdapat indikasi laparotomi yang jelas, kondisi pasien hipotensi atau syok. Bilasan dilakukan dengan memasukan cairan garam fisiologis hingga 1000 mL melalui kanul setelah sebelumnnya pada pengisipan tidak ditemukan cairan. Kriteria standar hasil positif pada trauma tumpul adalah aspirasi minimal 10 mL darah, cairan kemerahan, ditemukan eritrosit >100.000/mm3, leukosit >500/mm3, amylase >175 IU/dL atau terdapat bakteri, cairan empedu, serat makanan.



9.



Ultrasound FAST akan memberikan cara yang cepat, noninvasive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitoneum. Ini juga dapat dilakukan sebagai bedside diagnostic di kamar resusitasi. Sesudah scan pertama dilakukan, scan kedua dilakukan lagi idealnya atau scan control 30 menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan hemoperitoneum pada pasien dengan pendarahan yang berangsurangsur.



Berikut adalah algoritme untuk mendiagnostik trauma tumpul abdomen :



Gambar 2.3. Algoritme diagnosa trauma tumpul abdomen19 2.3.5. Penatalaksanaan Menurut Adams, et al. (2005), pasien tidak stabil yang hipotensif atau takikardi, haruslah memasang jalur infus intravena dan pasien juga harus mendapat resusitasi cairan yaitu kristaloid. Nasogastric tube (NGT) atau orogastric tube (OGT) juga harus dipasang pada pasien kasus ini. Setelah memastikan tidak ada trauma pada ureter, Foley catheter haruslah dipasangkan. Jika resusitasi kristaloid tidak dapat memperbaikan keadaan hemodinamik, pemberian darah haruslah dilakukan secepat mungkin. Pasien dengan hemodinamiknya tidak stabil, seperti trauma pada dinding usus dan ekimosis pada dinding abdomen, operasi harus dilakukan secepat mungkin. Untuk pasien yang tidak stabil terutama pada pasien trauma multisistem, DPL ataupun pemeriksaan FAST harus dilakukan.20 Untuk pasien stabil dengan trauma tumpul, terdapat beberapa faktor untuk menangani kasus tersebut. Pasien dengan trauma abdomen yang tumpul dan sadar dapat dilakukan beberapa pemeriksaan pada departmen emergensi atau di hospital. Pasien dengan trauma tumpul abdomen dan positif terjumpa trauma yang lain atau cedera pada bagian retroperitoneal haruslah dilakukan CT



abdomen. Pasien juga haruslah diikuti dengan USG, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan hematokrit. CT dapat menentukan jika terdapat cedera yang harus ditataksana secara nonoperatif . CT pada pasien dengan tes negatif pada FAST dapat mengidentifikasi luka pada bagian lain seperti trauma usus. Selain itu, CT dapat mengidentifikasi cedera pada bagian retroperitoneum, pelvis, vertebra dan bagian bawah dada.20,21 2.4. Peritonitis 2.4.1. Definisi Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk dari luar.27,28 Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus.28 Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria, dan mungkin shock.28,29



2.4.2. Anatomi dan Fisiologi Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan, facies superfisial (facies camper) dan facies profunda (fascies scarpae), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.27,28 Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.28



Gambar 2.4.2.1. Tampak anterior otot dinding abdomen dan penampang melintang otot28



Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum visceral, yang menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu.27 Peritoneum parietale mempunyai komponen somatik dan visceral yang memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas. Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya disebut Spatium Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang berfungsi sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan gesekan yang berarti. Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada kelainan tertentu disebut sebagai asites (hydroperitoneum). Luas peritoneum kirakira 1,8 m2, sama dengan luas permukaan kulit orang dewasa.27,28 Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus.29,30 Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 1.



Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).



2.



Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.



3.



Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis. Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui suatu duplikatur yang disebut mesenterium.27-29 Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada



perempuan mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina. Spatium Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya , di



depan (spatium praepitoneale), di belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang terletak di dalam cavitas peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut retroperitoneale seperti pada ginjal dan pankreas.27,29,30 Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum (omentum majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon trnsversum dan sigmoideum disebut mesocolon transversum dan sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.28,29



Gambar 2.4.2.2 Struktur peritoneum28 Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot yang ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun insicipada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri.1,2 Peritoneum viscerale sensitif terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun temperature.29,30 Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika



superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.27-29 Sangat penting untuk memahami posisi dari alat-alat viscera abdomen agar dapat segera mengetahui atau memperkirakan alat apa yang terkena tusukan pada perut:28,29 



Hepar merupakan suatu organ yang besar yang mengisi bagian atas rongga abdomen







Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah per melekat pada permukaan visceral lobus kanan hepar. Ujung buntunya (fundus) menonjol di bawah pinggir bawah hepar.







Esophagus di daerah abdomen pendek, 1,25 cm terletak di belakang lobus kiri hepar.







Gaster (ventriculus) terletak pada regio hypochondriaca kiri, epigastrica dan umbilicalis







Duodenum terletak di regio epigastrica dan umbilicalis







Pancreas



terbentang



dari



regio



umbilicalis



sampai



ke



regio



hypochondriaca kiri pada lien. 



Lien terletak pada bagian atas kiri dari rongga abdomen antara lambung dan diaphragma di regio sepanjang sumbu iga X kiri.







Ren terletak pada dinding belakang abdomen posterior dari peritoneum parietale di sisi kanan dan kiri columna transversalis.







Glandula suprarenalis terletak pada dinding belakang abdomen di sisi kana dan kiri columna vertebralis.







Jejunum mengisi bagian atas kiri rongga abdomen dan ileum mengisi bagian kanan bawah rongga abdomen dan rongga pelvis.







Colon terbentang mengelilingi jejunum dan ileum, terbagi atas caecum, colon ascendens, colon tranversum, colom desendens dan colon sigmoid



2.4.3. Etiologi Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder: 1.



Peritonitis primer Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsungdari



rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita:29,30  Sirosis hepatis dengan asites  Nefrosis  SLE  Bronkopnemonia dan TB Paru  Pyelonefritis 2.



Peritonitis sekunder Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi



gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:29-31 



Iritasi Kimiawi: Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien, kehamilan extra tuba yang pecah







Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur buli dan ginjal.







Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.



3.



Peritonitis Tersier Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan



akibat tindakan operasi sebelumnya.28,29 2.4.4. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.28 Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.28,31 Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.28 Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul



peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.27,28,30 Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.31 Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.30,32 Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau



enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.28,29 Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan



tekanan



intralumen



dan



menghambat



aliran



limfe



yang



mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.28,32 Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.28,30,33



Jenis Peritonitis: 



Peritonitis Aseptik Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan biasanya



sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis steril dapat berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa jam mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme (contohnya dari usus). Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab:32,33 1.



Cairan pankreas Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa disebabkan karen proses diagnostik laparotomi pada pasien yang tidak mengalami peningkatan serum amilase.



2.



Darah Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.



3.



Urin Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.



4.



Mekonium Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan bilier dimana dibentuk saat fetus mulai menelan cairan amnion. Peritonitis mekonium berkembang lambat di kehidupan intra uteri atau di periode perinatal saat mekonium memasuki rongga peritoneum melalui perforasi inestinal.







Peritonitis Bilier



Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari:32,33 1.



Iatrogenik (Ligasi duktus sistikus saat kolesistektomi)



2.



Kolesistitis akut



3.



Trauma



4.



Idiopatik







Peritonitis TB



Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan imunokompromise. Menyebar ke peritoneum melalui:32,33 1.



Secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau pyosalping TB



2.



Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada umumnya), dan



kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam, penurunan berat badan, keringat malam, massa abdomen). Makroskopik, ada 4 bentuk dari penyakit ini: ascitic, encysted, plastic, atau purulent. Terapinya berdasarkan terapi anti-TB, digabungkan dengan laparotomi (apabila di indikasikan) untuk komplikasi intra-abdominal.32,33 



Peritonitis Klamidia Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan digambarkan oleh nyeri hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.33







Obat-obatan dan Benda Asing Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi intraperitoneal dapat menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan starch dapat menstimulus perkembangan benda asing granulomata apabila benda-benda itu bertemu pada rongga peritoneum (contohnya sarung tangan bedah).32,33



2.4.5. Manifestasi Klinis Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tandatanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.30 Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.4 Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran



peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain.30.31 2.4.6. Diagnosis Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.27 Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat



akan



muncul



gejala



hipotermia.



Takikardia



disebabkan



karena



dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.33 Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.27,28 Pada palpasi, peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada



inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.29,31 Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.27,31 Pada perkusi, yeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.33,34 Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.27,28,34 Pada auskultasi, dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.29,34



Gambaran Radiologis Pemeriksaan



radiologis



merupakan



pemeriksaan



penunjang



untuk



pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:31,33 1.



Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP).



2.



Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.



3.



Tiduran miring ke kiri (Left Lateral Decubitus=LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP. Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada



cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.28,33



Gambar 2.4.6. Foto BNO pada peritonitis33



Pemeriksaan Laboratorium28,35 1.



Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang meningkat.



2.



Analisa gas darah, menunjukan asidosis metabolik, dimana terdapat kadar karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.



3.



Pada peritonitis tuberkulosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.



2.4.7. Penatalaksanaan Konservatif Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan:36 



Memuasakan pasien







Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal







Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena







Pemberian antibiotik yang sesuai







Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya



1.



Pemberian oksigen Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor



oleh pulse oximetri atau BGA.30 2.



Resusitasi cairan Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan



dehidrasi. Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien



dengan sepsis atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.30,36 3.



Analgetik Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.30



4.



Antibiotik Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan



intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.30,31 Definitif Pembedahan: 1.



Laparatomi Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi



yang dikira. Tujuannya untuk:35,36 



Menghilangkan kausa peritonitis







Mengkontrol



origin sepsis dengan membuang



organ



yang



mengalami inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi) 



Peritoneal lavage Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Relaparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau



timbul



sepsis. Re-operasi



dapat dilakukan



sesuai



kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi.



Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.35,36 2.



Laparoskopi Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam



absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.36 3.



Drain Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada



dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.35,36



Gambar 2.4.7. Drain35



2.5. Penanganan Pasien Trauma Pada pasien yang dicurigai dengan trauma perlu dilakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup pasien. Pemeriksaan cepat ini disebut dengan Initial Assesment, yang terdiri atas37 : 1.



Triage



2.



Primary Survey



3.



Adjuncts to primary survey and resuscitation



4.



Resusitasi primary survey



5.



Secodary survey



6.



Adjuncts to the secondary survey



7.



Continued postresuscitation monitoring and reevaluation



8.



Definitive Care



1.



Triage Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan



sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC, yaitu Airway (dengan kontrol vertebra servikal), Breathing, dan Circulation (dengan kontrol perdarahan). Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk, yang merupakan tanggung jawab bagi tenaga prarumah sakit. Dua jenis keadaan triage yang dapat terjadi: a.



Multiple Casualties Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak



melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu. b.



Mass Casualties Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui



kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan



terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.



2.



Primary Survey Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas



terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Primary survey harus dapat dilakukan selama 10 detik, hal ini karena pada saat tahap ini seorang dokter harus dapat menemukan secara cepat trauma yang dapat mengancam jiwa. Pemeriksaan dan penatalaksanaan yang meliputi ABCDE, yaitu37: a.



Airway Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini



meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal, dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan nafas bersih. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi terhadap leher. Jika dicurigai ada kelainan pada ketujuh vertebra servikalis maupun vertebra torakalis pertama berupa fraktur, maka harus dipasang alat imobilisasi atau dilakukan imobilisasi manual terhadap kepala. Untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur dapat dilakukan foto lateral. Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.



b.



Breathing Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik



meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi berat yang harus dikenali saat dilakukan primary survey adalah tension pneumothorax, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumothorax. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan dan harus dikenali saat dilakukan secondary survey adalah hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga, dan kontusio paru. Gunakan metode ‘lihat, dengar, rasakan’ untuk menilai gawat napas: berkeringat, sianosis sentral, penggunaan otot bantu napas, dan pernapasan abdominal, serta letak trakea. Kemudian, hitung frekuensi napas (normal: 1220x/menit). Nilai juga kedalaman dan kualitas napas, dan apakah ada ketinggalan bernapas pada salah satu lapangan paru. Selain itu, lihat apakah ada deformitas pada dinding dada (memperberat usaha bernapas), tekanan vena jugularis yang meningkat (mengindikasikan asma akut berat atau pneumothoraks ventil), dan distensi abdomen (membatasi gerakan diafragma). Setelah itu, perkusi dan auskultasi setiap segmen dinding dada. Jika ada kesulitan usaha bernapas, bantu dengan kantong ventilasi. c.



Circulation



1.



Volume darah dan cardiac output Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan



terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan



demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi : a. Tingkat kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kesadaran. b. Warna kulit Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia. c. Nadi Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera. 2.



Perdarahan Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka.Tourniquet



sebaiknya tidak dipakai untuk penghentian perdarahan karena dapat merusak jaringan sekitar dan menyebabkan iskemia distal, sehingga penggunaan tourniquet hanya diperbolehkan bila ada amputasi traumatik. Sedangkan perdarahan internal dapat dihentikan dengan penggunaan hemostat. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat dari luka tembus dada/perut. Secara cepat lihat dan tandai lokasi pendarahan, kemudian lihat akralnya apakah panas atau dingin, berwarna merah atau pucat. Ukur juga CRT (Capillary Refill Time) untuk menilai perfusi ke jaringan. Kemudian ukur tekanan darah dan



denyut nadi (nadi sentral maupun perifer). Denyut nadi yang diukur berupa tekanan, regularitas, volume. Kemudian auskultasi jantung untuk melihat apakah ada kelainan pada jantung. Jika terdapat kegawatan pada sirkulasi, segera diresusitasi dengan menggunakan cairan kristaloid hangat secara bolus (500 mL, habis dalam 15 menit). Nilai kembali tiap 5 menit untuk melihat apakah ada perbaikan pada sirkulasi. Kemudian, jika ada EKG dan monitor, pasang dan nilai kualitas EKG-nya. d.



Disability Nilai kesadaran pasien. Kesadaran pasien dapat dipengaruhi oleh kondisi



ABC, jadi jika pasien mengalami disabilitas, nilai kembali ABC apakah sudah ditangani secara adekuat. Penilaian kesadaran pasien secara cepat dapat menggunakan metode AVPU: Alert, Verbal (Pasien tidak sadar penuh namun dapat berespon terhadap perintah verbal), Pain (Pasien hanya dapat berespon jika dirangsang dengan nyeri) dan Unresponsive (pasien tidak dapat berespon dengan rangsang apapun). Alternatifnya, GCS (Glasgow Coma Scale) dapat digunakan (dari Eye, Verbal, dan Movement). Kemudian, nilai diameter pupil mata serta refleks cahaya direk maupun indirek pada masing-masing mata. Setelah itu, dapat diukur kadar gula darah sewaktu untuk menilai kondisi glikemik pasien. Jika pasien tidak sadar, pastikan Airway stabil untuk mencegah aspirasi. NICE merekomendasikan imobilisasi servikal pada pasien yang mengalami trauma kepala dan memiliki faktor risiko berikut: GCS