Trend Dan Isu Keperawatan Jiwa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ISSUE KECENDERUNGAN PADA EMPAT AREA/SETTING PRAKTIK KEPERAWATAN KOMUNITAS (JIWA)



A. Trend curent issue dan kecenderungan dalam keperawatan jiwa Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global. Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.



2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif. Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.



3. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. 4. Kecenderungan situasi di era globalisasi Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.



5. Perubahan Orientasi Sehat Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat “jiwa” ) harus mempunyai standar global dalam memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat : a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat oleh orang lain. b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif. c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan, narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas.



Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat.



6. Kecenderungan Penyakit Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“ (Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.



7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian. Mereka menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. 8. Meningkatnya Masalah Psikososial Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa (psychitri), secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi : a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas, hidup yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai kehidupan manusia, Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai aikbat terjadinya perubahan sosial b. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).



c. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik, gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan, perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya ingat, dll). d. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja, penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain). 9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam Sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria, Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang. Urutan pertama diduduki Jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya 10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja. 10. Masalah Napza dan HIV/AIDS Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat hukum yang lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang akan datang khususnya dalam era globalisasi. 11. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini pola asuh keluarga menjadi sorotan. Pola aush yang baik adalah pola asuh dimana orang tua menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan kontrol yang tinggi. Kehangatan adalah bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain, teman yang menyenangkan bagi anak terutama saat rekreasi, belajar, dan berkomunikasi. Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan mengenal disiplin di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting dalam kesehatan jiwa. Anak mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan memiliki self confidence yang cukup. 12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan



Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat Indonesia semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan buruk, kurang gizi, mudah terigitasi, kekebalan menurun dan infrastruktur yang masih rendahmenyebabkan banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Masalah ekonomi merupaka masalah yang paling dominant menjadi pencetus gangguan jiwa di Indonesia.



B. Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi pada awal abad ke-19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental psikiatri mulai berkembang pesat, tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah Sakit (Antai Otong, 1994). Hal ini terjadi sejalan dengan program deinstitusionalisasi. Deinstitusionalisasi adalah suatu program pembebasan klien gangguan jiwa kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan mereka ke lingkungan rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka kejadian gangguan jiwa dapat diminimalkan dengan menggunakan cara-cara preventif seperti menemukan kasus-kasus secara dini, diagnosa dini da intervensi krisis (Gerald Kaplan dikutip oleh Antai Otong, 1994). C. Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Globalisasi Leininger (1973) mengemukakan 3 kunci utama dalam proses tersebut : pengalaman dan pendidikan perawat, peran, dan fungsi perawat serta hubungan perawat dengan profesi lain di komunitas. Reformasi dalam pekayanan kesehatan ini te;ah menuntut perawat untuk merendefenisi perannya. Intervensi keperawatan yang menekankan pada aspek pencegahan dan promosi kesehatan sudah saatnya mengembangkan “community based care” (Lefley, 1996). 1. Stuart Sundeen (1998) mengemukakan bahwa hasil riset Keperawatan Jiwa masih sangat kurang. 2. Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan yang rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang bisa diakui secara Internasional. 3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali tidak jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan system reward di dakam pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja (Stuart Sudeen, 1998). 4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian di Ireland menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah tentang peran perawat psikiatri (Wells, 2000).



D. Upaya Profesi Keperawatan Mental Psikiatri di Indonesia Dalam menghadapi trend dan issue yang berkembang, profesi keperawatan mental psikiatri di Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti membuat standar praktek keperawatan jiwa di rumah sakit, membuat model prakek keperawatan professional (MPKP) di rumah sakit jiwa, dan mengadakan berbagai pelatihan seperti pelatihan asuhan keperawatan jiwa dan pelatihan “clinical instructur” bagi perawat mental psikiatri. Akan tetapi, mungkin masih banyak yang masih perlu dibenahi dan ditingkatkan agar mampu menghadapi segala tantangan di masa depan. Berikut ini adalah beberapa hal yang harus menjadi perhatian profesi keperawatan mental psikiatri dalam menghadapi trend dan issue pelayanan keperawatan mental psikiatri di era globalisasi : 1. Fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas (community based care) yang memberi penekanan pada preventif dan promotif. 2. Meningkatkan penelitian tentang keperawatan mental psikiatri, terutama keperawatan jiwa klinik. 3. Seharusnya ada “licence” bagi perawat yang bekerja di pelayanan. 4. Estin (1999), menekankan bahwa untuk membina trust dan hubungan terapeutik dengan klien dan untuk mencegah penundaan dalam mendiagnosa kebutuhan klien, perawat perlu memahami budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap klien terhadap penyakitnya.