Tugas 2 Analisa Kasus - Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS 2 Analisa Kasus dengan Pasal dalam Kode Etik Psikologi Kelompok 2 Diah Permata Suryaningtyas - 1801617080 Khoula Mufida - 1801617145 Nabila Putri Ekatanti - 1801617106 A. Penjelasan Kasus Praktik Psikolog yang Tidak Tercatat dalam HIMPSI Seorang Psikolog S membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Ia melakukan beberapa praktik seperti mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi salah paham terhadap beberapa klien tersebut. Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. Ia juga sering menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya tanpa menyamarkan nama saat memberikan konseling kepada klien yang baru. Di lain waktu, ada sebuah perusahaan yang membuka lowongan karyawan baru untuk di tempatkan dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan kemudian memakai jasa Psikolog S untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut, ia bertemu dengan R saudaranya dan meminta agar Psikolog S memberikan hasil psikotes yang baik supaya R dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak dengan saudaranya, akhirnya Psikolog S memberikan hasil psikotes yang memenuhi standar seleksi penerimaan, hingga R kemudian diterima dalam perusahaan tersebut dengan menduduki jabatan yang tinggi. Lama-kelamaan, perusahaan tersebut ternyata sering kecewa terhadap cara kerja R karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. Sehingga akhirnya Pimpinan perusahaan menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog S, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut ketika mengetahui bahwa pendirian praktik Psikolog S ternyata belum tercatat dalam HIMPSI dan Psikolog S tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.



B. Analisa Kasus dengan Kode Etik Himpsi Bab IV: Hubungan Antar Manusia Kode Etik HIMPSI BAB IV: Hubungan Antar Manusia 1. Pasal 13: Sikap Profesional Psikolog dan Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk: a) Mengutamakan dasar-dasar profesional. b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya. c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya. d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut. e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan Ilmuwan Psikologi maka pemakai tersebut harus diberitahu. Analisis: Bisa dilihat dari kasus di atas, Psikolog S telah melakukan pelanggaran dengan menyalahi kewenangan dan keahliannya. Psikolog S memberikan prognosis yang berkaitan dengan kondisi fisik klien, yang seharusnya tidak termasuk ke dalam bidang keahliannya. Sikap tersebut tidak mencerminkan profesionalitas. Terlebih, Psikolog S juga melanggar poin d), yang menyatakan bahwa seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi harus adil dan tidak memihak kepentingan salah satu pihak, sebagaimana Psikolog S melakukan manipulasi hasil demi kepentingan R ketimbang kepentingan perusahaan.



2. Pasal 15: Penghindaran Dampak Buruk Psikolog dan Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan tersebut. Analisis: Psikolog S telah melanggar pasal ini karena lalai dalam mengantisipasi dampak buruk yang dapat diakibatkan dengan memanipulasi hasil tes saudaranya R. Akhirnya, perusahaan mengalami kerugian karena hasil seleksi yang dilakukan tidak memenuhi kompetensi yang mereka cari.



(1)



(2)



(3)



(4)



3. Pasal 16: Hubungan Majemuk Hubungan majemuk terjadi apabila: a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya dengan seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan orang yang sama, atau b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki hubungan dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang memiliki hubungan profesional dengan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan majemuk apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat merusak objektivitas, kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut. Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang maksimal terhadap Kode etik. Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi, atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih dari satu peran, sejak awal mereka harus memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.



Analisis: Dalam kasus ini, Psikolog S juga melanggar pasal 16 tentang hubungan majemuk. Dalam pelaksanaan psikotes kepada calon karyawan di suatu perusahaan, Psikolog S memiliki hubungan saudara dengan R yang merupakan salah satu calon karyawan perusahaan tersebut. Karena hubungan saudara tersebut, Psikolog S melakukan subjektivitas dalam penilaian psikotes sehingga merugikan banyak pihak terutama perusahaan.



4. Pasal 17: Konflik Kepentingan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi tersebut. Analisis: Psikolog S melakukan pelanggaran kode etik psikologi demi kepentingan dirinya. Demi menjaga hubungan baik antar keluarganya, Psikolog S menggunakan kewenangan dan keahlian



yang dimiliki untuk melakukan praktik memanipulasi hasil psikotes saudaranya R agar diterima menjadi karyawan dan menduduki jabatan yang tinggi di perusahaan tersebut.



5. Pasal 19: Hubungan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain. (1) Hubungan antar profesi a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan umpan balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya. c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi. d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psi-kologi yang di luar batas kompetensi dan kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak berhasil dilakukan maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi (2) Hubungan dengan Profesi lain a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan. Analisis: Psikolog S melanggar pasal ini pada bagian 2, poin b, yang berbunyi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan. Pada kasus ini Psikolog S sendiri yang seharusnya mencegah dilakukannya layanan psikologi. Karena diketahui bahwa ia belum memiliki kewenangan atas izin praktek yang diberikan HIMPSI, dan kompetensi yang belum diketahui secara resmi. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak profesionalitas dalam pekerjaannya yang berhubungan dengan pihak selain dirinya.



6. Pasal 20: Informed Consent Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian/pendidikan/pelatihan/asesmen/intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan informed consent. Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi.



Persetujuan dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah: a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan. b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan. c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan. d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut. e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut. f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut. Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas pendidikannya, kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan dapat direkam atau adanya saksi yang mengetahui bahwa yang bersangkutan bersedia. Informed consent yang berkaitan dengan proses pendidikan dan/atau pelatihan terdapat pada pasal 40; yang berkait dengan penelitian psikologi pada pasal 49; yang berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta yang berkait dengan konseling dan psikoterapi pada pasal 73 dalam buku Kode Etik ini. Analisis: Pada kasus ini, Psikolog S melanggar pasal 20 yaitu dimana dalam deskripsi kasus tidak dijelaskan bahwa ia melakukan informed consent sebelum melakukan intervensi psikologis. Jikalau ia sudah memberikan informed consent kepada klien, maka ia melanggar pada poin e yang dimana ketika melakukan intervensi psikologi ia tidak dapat merahasiakan masalah dan nama klien sebelumnya



7. Pasal 21: layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan layanan psikologi kepada organisasi/ perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang: • Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan • Penerima layanan psikologi • Individu yang menjalani layanan psikologi • Hubungan antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan organisasi dan orang yang menjalani layanan psikologi • Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga • Orang yang memiliki akses informasi Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi peminta layanan untuk memberikan hasil informasi kepada orang yang menjalani layanan psikologi, maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses pemberian layanan psikologi berlangsung.



Analisis: Pada pasal ini, Psikolog S melanggar karena ia memberikan informasi yang tidak benar adanya pada poin penerima layanan psikologi kepada organisasi. Seharusnya ia tidak dapat melakukan layanan psikologi psikotes karena belum memiliki izin secara resmi dari HIMPSI, maka kompetensinya pun masih diragukan. Kemudian ia juga meyalahgunakan poin tentang batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga. Dimana ia merahasiakan kecurangan yang dilakukan untuk salah satu klien atau R yang merupakan saudaranya, kepada perusahaan yang telah menggunakan jasa Psikolog S untuk melakukan psikotes. C. Solusi Sangat penting bagi para calon klien untuk lebih teliti dalam memilih biro atau praktisi psikolog yang akan mereka gunakan jasanya. Perlu ada pengumuman layanan publik yang memperingatkan masyarakat untuk selalu mengecek kredibilitas praktisi atau psikolog melalui data organisasi terkait seperti HIMPSI. Selain itu, perlu adanya pelatihan dan pendidikan etika secara berkala bagi biro ataupun praktisi psikologi untuk meningkatkan kesadaran moral dan memecahkan dilema etika yang dihadapi. Dan untuk individu yang ingin menjadi psikolog, lebih baik tercatat secara resmi terlebih dahulu di HIMPSI untuk meminimalisir pelanggaran kode etik psikologi. D. Kesimpulan Dari hasil analisis kasus pelanggaran kode etik yang sudah dibahas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kode etik psikologi rentan terjadi di lingkungan masyarakat psikologi. Pelanggaran kode etik ini tidak jarang juga dilakukan oleh biro ataupun praktisi psikologi yang sudah bertahun-tahun menjalani profesinya. Perlu adanya pertimbangan dan penyeleksian tenaga kerja psikologi sebelum mereka melakukan praktik layanan psikologi. Dengan begitu akan melahirkan tenaga kerja psikologi yang profesional demi memberikan layanan terbaik kepada pengguna jasa psikologi.