Tugas 3 Hukum Pidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Goeroeh Andhi Djaja NIM: 043249664 Tugas.3 Setelah mempelajari materi pada Sesi 6 dan Sesi 7, mahasiswa/i diminta menjelaskan/menjawab pertanyaan dalam tugas 3 ini. 1. Dalam sebuah penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Perancis menuju Jakarta, Esmeralda seorang warga negara Kolombia terlibat cekcok dengan Gatot yang merupakan seorang warga negara Indonesia. Karena emosi, Esmeralda kemudian memukul kepala Gatot dengan menggunakan botol kemasan air mineral kosong. Setelah terkena pukulan dari Esmeralda kemudian Gatot kejang-kejang, seketika itupula Gatot meninggal dunia, Gatot meninggal ketika pesawat berada di wilayah udara Arab Saudi. Setibanya di Jakarta, jenazah Gatot langsung di autopsi, kemudian diketahui penyebab kematian Gatot adalah akibat dari serangan jantung. Jika dilihat dari kasus diatas, apakah Esmeralda dapat dipertanggungjawabkan atas meninggalnya Gatot? Uraikanlah berdasarkan macam-macam ajaran kausalitas yang saudara pahami! *nama tokoh pada contoh kasus diatas adalah fiktif 2. Apakah hukuman mati dalam dalam sistem hukum Indonesia masih sesuai dengan falsafah negara Pancasila dan juga UUD Tahun 1945! 3. Di dalam Ilmu Hukum Pidana dikenal istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Berikanlah kesimpulan saudara dari kedua istilah tersebut, kemudian berikan masingmasing contohnya! 4. Apakah secara hukum dibolehkan menjatuhkan pidana berupa pencabutan seluruh hak yang dimiliki oleh seseorang, jelaskan dan berikan dasar hukumnya dan contoh putusan hakim! Selamat mengerjakan, tetap semangat dan jaga kesehatan.



Jawaban: 1. Dari kasus diatas maka sudah jelas akan diberlakukannya hukum negara Indonesia, karena kejadian adalah di atas pesawat yang berbendera/berkebangsaan Indnonesia. Selanjutnya sesuai ajaran kausalitas, Teori Conditio Sine Qua Non dari von Buri. Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dilepaskan dari tindakan pertama tersebut. Sehingga harus dipastikan dahulu apakah serangan jantung (“akibat”) yang dialami Gatot berhubungan dengan (‘Tindakan”) pemukukan oleh Esmeralda. Dengan asumsi bahwa dapat dibuktikan sebab dan akibat diatas saling berhubungan maka memenuhi Teori Conditio Sine Qua Non, pun dapat dianggap sebagai pemicu kematian Gatot tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 359 KUHP” diatur mengenai perbuatan yang mengakibatkan orang mati karena salahnya: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”



Goeroeh Andhi Djaja NIM: 043249664 Menurut saya perbuatan Esmeralda dapat masuk sebagai kealpaan sesuai dengan Pasal 359 KUHP. 2. Pidana mati masih tercantum di dalam KUHP maupun diluar KUHP dan ditegaskan kembali oleh mahkamah konstitusi melaui keputusannya Nomor21/PUU-VI/2008 bahwa menyatakan penjatuhan pidana mati tak bertentangan terhadap konstitusi. Batasan mengenai pengaturan pidana mati dalam KUHP dan diluar KUHP adalah HAM diliat dari UUD Republik Indonesia 1945 Pasal 28A jo. Pasal 28J bisa ditarik kesimpulan bahwa terpidana mati masih tetap mempunyai hak untuk hidup dan asas tak berlaku surut. 3. Dalam hukum pidana terdapat keadaan-keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seorang pelaku pidana, hingga hakim pun tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tersebut atau yang disebut juga sebagai dasar-dasar yang meniadakan hukuman. Dalam “dasar-dasar yang meniadakan hukuman” terdapat dua jenis alasan yang masuk ke dalam kategori tersebut, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar dan alasan pemaaf merupakan alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang menyebabkan seseorang tidak dapat dipidana/dijatuhi hukuman. Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan. Jenis-jenis alasan pembenar adalah: a) b) c) d)



daya paksa (Pasal 48 KUHP); pembelaan terpaksa (Pasal 49 Ayat (1) KUHP); sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan sebab menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat (1) KUHP) Contoh: seseorang korban tengah dalam pergulatan menahan hunusan pisau dari orang yang hendak menusuknya, namun akhirnya korban berhasil merebut pisau tersebut dari pelaku penyerangan yang kemudian korban menusuk penyerangnya tersebut hingga berkali-kali. Dalam hal ini korban bisa saja hanya melumpuhkan dengan hanya melukai penyerangnya sehingga menghilangkan ancaman yang ada pada dirinya, namun karena keguncangan jiwa yang hebat tersebut korban menusuk pelaku tersebut hingga berkalikali hingga tewas



Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan unsur kesalahan dalam diri pelaku. Pada umumnya, pakar hukum mengkategorikan suatu hal sebagai alasan pemaaf, yaitu: a) b) c) d)



ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP); daya paksa (Pasal 48 KUHP); pembelaaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 Ayat (2) KUHP); dan menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 Ayat (2) KUHP) Contoh: pelaku tindak pidana yang memiliki kegilaan atau idiot yang didapatkannya dari semenjak lahir ataupun dikarenakan penyakit kejiwaan



Sebagai kesimpulan, alasan pemaaf berarti alasan yang menghapuskan kesalahan dari pelaku tindak pidana. Sementara itu, alasan pembenar berarti alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana. Selain itu, alasan pemaaf bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Sedangkan alasan pembenar bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pelaku.



Goeroeh Andhi Djaja NIM: 043249664 4. Pencabutan semua hak akan membawa konsekuensi terpidana kehilangan kesempatan hidup. Saat ini pidana kematian perdata sudah tidak dikenal lagi. UUDS 1950 tegas melarang pidana kematian perdata. Dalam konstruksi UUD 1945 paska amandemen, ada juga hak asasi manusia yang dilarang untuk dicabut. Hal ini dan juga bertentangan dengan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang menyatakan bahwa: “Tidak ada satu hukuman pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan semua hak-hak sipil.” Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah: (i) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (ii) Hak memasuki angkatan bersenjata; (iii) Hak memilih dan dipilih berdasarkan peraturan umum; (iv) Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (v) (v) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampu atas anak sendiri; dan (vi) (vi) Hak menjalankan pekerjaan tertentu. Contohnya: Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan vonis lebih berat kepada mantan Kakorlantas Mabes Polri Djoko Susilo. Selain menjatuhkan vonis 18 tahun penjara, denda 1 miliar, majelis hakim juga mencabut hak politik Djoko, yaitu hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.