Tugas Bahasa Indonesia (Mengomentari Artikel) - Perkembangan Bahasa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Deschie Tri Aksara



NIM



: 151910201094



Mata Kuliah/ Kelas : Bahasa Indonesia/ A



Artikel : Pacapa: Bahasa Tutur Orang Probolinggo (oleh: Wawan E. Kuswandoro)



Orang yang pernah datang, hidup dan berdiam di Probolinggo pasti tak asing dengan istilah "pacapa". Dalam bahasa lain mungkin sejalan dengan "ngerumpi". Namun ada satu kekuatan dalam "pacapa" ini. Warga masyarakat Probolinggo memiliki tradisi berkumpul, bersosialisasi secara alamiah, bercakap-cakap antar warga dalam berbagai kesempatan, baik dalam lingkungan kerja, di manapun tempat kerja mereka, mulai di perkantoran, pasar, sampai pada ibu-ibu rumah tangga.



Tulisan ini disusun berdasarkan hasil pengamatan penulis yang hidup bersama masyarakat Probolinggo yang menurut istilah Kusnadi adalah masyarakat bercorak pendhalungan, suatu jenis karakter khusus dari masyarakat yang mendiami wilayah yang disebut “Tapal Kuda” , di lingkar utara Jawa Timur sebelah timur Surabaya. Penulis yang setiap harinya bergaul dengan masyarakat Probolinggo, hidup bersama, merasakan langsung apa yang mereka rasakan, memikirkan sesuatu seperti yang mereka pikirkan, dan kadang penulis juga ikut-ikutan bertindak seperti yang mereka lakukan. Mungkin karena modal budayanya hampir sama. Saat itu penulis berpikir, masyarakat ini awalnya agak aneh, tampak dari pola tutur kata keseharian. Pandangan hidup tentang pemaknaan terhadap sesuatu sangat berbeda dengan masyarakat Lumajang, Jember, Bondowoso, Banyuwangi yang pernah penulis kenal. Ada semacam power yang dapat didayagunakan. “Pacapa” dalam terminologi bahasa Madura baku, masih belum dikenal. Pemakai bahasa Madura di luar Probolinggo tidak akan mengenal istilah ini karena istilah ini khas Probolinggo dan hanya ada di Probolinggo. Masyarakat Probolinggo yang



mayoritas beretnis campuran Jawa – Madura, menggunakan bahasa Jawa bercampur Madura baik dalam aksen, logat maupun frasa-frasanya. Mereka menyebut tradisi komunikasi bahasa sehari-hari yang mereka gunakan pada saat berkumpul antara warga dan senantiasa membicarakan sesuatu, dengan sebutan “capa-capa”, yang akhirnya disingkat “pacapa”. Uniknya, ini hanya terjadi di Probolinggo. “Pacapa” ini tidak sekedar orang-orang berkumpul dan bicara (mengobrol), namun memiliki kekhasan berupa kelenturan makna dan symbolsimbol.



Pemaknaan (signification) symbol dan lambang yang ternyatakan dalam bahasa (lisan) dalam kajian budaya, dianggap sebagai efek dari struktur dalam bahasa yang mewujud dalam bentuk fenomena cultural yang spesifik atau dalam manusia yang berbicara, yang bukan produk dari niat pelaku-pelaku. Pemaknaan atau produksi makna yang muncul dalam wujud bahasa ini, yang menurut Saussure, diproduksi lewat sebuah seleksi dan kombinasi tanda-tanda dalam dua aksis (poros), aksis sintakmatik, dan aksis paradigmatic, yang diorganisasi menjadi sebuah system pemaknaan. Sebuah tanda, yang terdiri dari penanda (mediumnya), dan petanda (maknanya), bisa dipahami bukan karena mengacu pada entitas-entitas di “dunia maya”; tanda mendapatkan maknanya dari acuannya terhadap tanda-tanda yang lain. Makna adalah kesepakatan social yang diorganisasi lewat relasi-relasi antartanda. Pandangan Saussure ini, yang dikenal sebagai pandangan strukturalis, dalam memahami sruktur bahasa dalam budaya masyarakat, lebih menaruh perhatian pada struktur bahasa yang lebih mementingkan tindakan linguistic. Sedangkan Derrida, filosof utama pascastrukturalis, memfokuskan pada bahasa dan dekonstruksi atas hubungan langsung (immediacy) atau identitas, antara kata dan makna. Bagi Derrida, manusia berpikir hanya dalam tanda-tanda. Tidak ada makna asli yang beredar di luar “representasi” .



Bahasa tutur ungkapan budaya masyarakat, yang melekat pada budaya manusia, merangkai makna simbolik dalam kerangka sisytem yang dalam istilah Fritjof Capra, dilukiskan bahwa kelompok-kelompok manusia, masyarakat dan



kebudayaan mempunyai jiwa kolektif, dan oleh karena itu juga memiliki kesadaran kolektif.



Makna symbolic dalam bahasa tutur bahasa local, mengungkapkan makna bagi masyarakat tersebut, yang menurut istilah Clifford Geertz sebagai konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya. “Pacapa” dalam budaya orang / masyarakat Probolinggo merupakan ungkapan rangkaian makna dan symbol yang meluncur dalam ungkapan lisan “capa-capa” yang telah terjalin cukup lama. Masyarakat telah terinternalisasi dengan pola dan gaya bentukan budaya ini. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa orang Probolinggo adalah orang dengan identitas “pacapa”. Pola dan gaya dalam kehidupan keseharian mereka juga terpola dengan gaya “pacapa” ini.



Institusionalisasi "Pacapa"



Fakta makna symbol dan lambang tersebut yang telah dianut oleh masyarakat mengandung muatan-muatan budaya yang dapat ditansformasikan menurut alur budaya masyarakat. “Pacapa” yang merupakan bahan dasar pola pergaulan masyarakat Probolinggo dapat “dimanfaatkan”. “Pacapa”, yang terjadi secara alamiah, dan merupakan tradisi dalam budaya masyarakat, inheren, melekat pada orang Probolinggo, sehingga tidak perlu susah-susah membentuk, tinggal mengarahkan saja untuk tujuan apa. Sehingga penulis, berpikiran untuk mengadopsi nilai budaya masyarakat Probolinggo tersebut pada ranah pembangunan social.



Simbolik - Interpretif



"Kebudayaan" sebagai sesuatu yang diperoleh manusia melalui proses belajar seringkali diartikan "nilai-nilai budaya" yang digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman dan mengarahkan tindakan. Pengertian kebudayaan demikian diilhami oleh pendekatan simbolik atau interpretif yang dikembangkan



oleh para antropolog Amerika pada dekade 1970-an. Pelopor pendekatan interpretif, Clifford Geertz, misalnya, melihat kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya. Pengertian kebudayaan demikian telah banyak digunakan dalam kajian-kajian antropologi "terapan," seperti studi antropologi pembangunan yang meneliti kesesuaian antara program pembangunan dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Namun sejak pertengahan dekade 1980-an, kelemahan pendekatan interpretatif telah banyak dikritik oleh para antropolog Amerika sendiri, seperti James Clifford, Vincent Crapanzano, Roger Keesing, George Marcus, Sherry Ortner, dll.



Konsep kebudayaan demikian menggambarkan hubungan antara simbol-simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu "hubungan satu arah" di mana simbolsimbol budaya menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dengan melihat simbol-simbol budaya dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.



Konstruksi



Salah satu teori yang menarik perhatian para antropologi sejak pertengahan dekade 1980-an karena dinilai dapat mengisi kelemahan seperti itu adalah teori "praktek" (practice) yang dikemukakan oleh antropolog Perancis, Pierre Bourdieu. Teori praktek ini secara singkatnya menekankan "keterlibatan si subjek" dalam proses konstruksi budaya. Seperti diungkapkan oleh Asad, kelemahan pendekatan interpretatif adalah tidak dijelaskannya bagaimana manusia sebagai "subjek" dapat ikut membentuk nilai-nilai budaya. Bourdieu mencoba menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa di antara manusia dan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi terus-menerus, di mana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksi simbol-simbol budaya demi "kepentingan"-nya dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksi simbol atau nilai budaya disebut "praktek" oleh Bourdieu. Implikasi utama dari konsep kebudayaan demikian, ialah bahwa simbol-simbol maupun nilai-nilai yang terkandung dalam



suatu kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praktek para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang sudah barang tentu mempunyai kepentingan tertentu.



Implikasi lain dari pendekatan praktek seperti ini ialah, bahwa suatu kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan "subyek," yaitu melalui prakteknya; dan salah satu praktek yang sangat unik, karena secara langsung mengkonstruksi kebudayaan, adalah "wacana" (discourse). Wacana adalah bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan kepentingan si penutur, berbeda dari "teks" yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi si penutur.



Dengan pengertian demikian, kita dapat melihat bahwa setiap wacana tentang kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam suatu masyarakat umumnya terdapat sejumlah wacana tentang kebudayaan bersangkutan, yang bisa saja saling bertentangan, tetapi biasanya salah satu di antaranya akan menjadi wacana dominan manakala ia memperoleh dukungan kekuasaan.



Implikasi



Perbedaan antara konsep-konsep kebudayaan mempunyai implikasi penting bagi pemahaman gejala sosial yang nyata seperti "pembangunan." Studi-studi antropologi yang menggunakan konsep kebudayaan interpretif, misalnya, melihat kebudayaan dan pembangunan sebagai dua konsep yang berbeda secara analitis. Pembangunan dalam studi-studi demikian dilihat sebagai usaha-usaha terencana untuk merubah cara hidup masyarakat tertentu dengan maksud meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat bersangkutan. Tetapi apabila kita melihat kebudayaan sebagai suatu proses dinamis yang berkaitan erat dengan kepentingan dan kekuasaan para pelakunya, maka jelaslah bahwa pembangunan itu sendiri merupakan suatu proses kebudayaan. Dengan kata lain, proyek-proyek pembangunan itu sendiri bukan semata-mata merupakan penerapan sejumlah langkah-langkah pragmatis - teknokratis yang "bebas nilai," melainkan suatu proses yang berakar pada nilai-nilai kebudayaan tertentu.



Transformasi: Diffusi, Akulturasi



Penyebaran ide/ gagasan dari kultur (pemikir, penyebar) kepada kultur mayoritas (masyarakat, pemerintah) dengan pendekatan difusi akulturasi melalui social gathering masyarakat. Tradisi masyarakat, dalam hal ini “pacapa”-nya masyarakat Probolinggo, dimasuki unsur-unsur “asing” yakni pemikiran untuk mengubah (men-transformasi “pacapa”) menjadi produk budaya “baru” yang lebih actual dan lebih berdaya guna. “Pacapa” yang merupakan tradisi dan “trade-mark” orang Probolinggo, penulis transformasikan dalam bentuk-bentuk riil yang diadopsikan dalam program pembangunan social, dalam hal ini pembangunan pendidikan, sesuai dengan tugas social penulis yang berkarya di bidang kebijakan pendidikan. Transformasi material “pacapa” dan perubahan budaya masyarakat dilakukan melalui difusi cultural tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya asli. “Pacapa” yang merupakan tradisi budaya orang Probolinggo tidak luntur, hanya “berubah” fungsi menjadi jenis “pacapa” yang lebih terarah dan lebih “berisi”, sebagai hasil olahan etnografis yang konkret.



Sumber : http://wkuswandoro.blogspot.co.id/2009/02/pacapa-bahasa-tutur-orangprobolinggo.html



Komentar : Pengamatan penulis dalam menilai pandangan hidup masyarakat Probolinggo sebagai obyek bahasan pada artikel ini cukup menunjukkan kekhasan dari masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tulisannya yang menyertakan perbandingan pandangan hidup masyarakat Probolinggo dengan masyarakat kota lain, yaitu Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi yang merupakan satu kawasan wilayah dengan Probolinggo, "Tapal Kuda".



Teori-teori para ahli beberapa kali penulis cantumkan yang dapat mendukung pembahasan artikel mengenai budaya masyarakat Probolinggo yang memiliki identitas "pacapa". Salah satunya dalam penjabaran "pacapa" sebagai simbolik interpretif, dicantumkan penjabaran mengenai konsep kebudayaan oleh pelopor pendekatan interpretif, Clifford Geertz. Penjabaran mengenai institusionalisasi "pacapa" mengajak pembaca untuk mengadopsi nilai budaya masyarakat Probolinggo ke ranah pembangunan sosial. Namun, pembahasan tulisan yang dikombinasikan dengan konsep teori membuat tulisan tidak begitu saja mudah dipahami sehingga tidak semua kalangan pembaca mungkin cocok dari tulisan yang terkesan berbobot ini.



Di akhir tulisan, penulis menyertakan inti dari perkembangan "pacapa" masyarakat Probolinggo yang berransformasi secara tidak langsung terjadi karena proses difusi dan akulturasi.