Tugas ESI, ATS & CATS Kel. 2 Kelas A [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Makalah



ESI, ATS & CATS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat 1 yang di ampuh oleh Ns. Ibrahim Suleman, M.Kep. Disusun Oleh: Kelas A Kelompok 2 Ibrahim Yasin



841418022



Rosida Fadri Rasyid



841418005



Sumiyati Moo



841418010



Hairunnisa Gobel



841418014



Susfiyanti R. Asala



841418019



Rayhan Binti Hasan



841418025



Fitriyanti Pohiyalu



841418029



Hartin S. Apia



841418033



Anggi Abdullah



841418048



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas sega la rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini terwujud berkat partisispasi berbagai pihak. Oleh Karena itu, kami m enyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kami menyadari Makalah ini masih jauh dari harapan, yang mana di dalamnya masih terdapat berbagai kesalahan baik dari segi penyusunan bahasanya, sistem penulisan maupun isinya. Oleh karena itu Kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga dalam makalah berikutnya dapat diperbaiki serta ditingkatkan kualitasnya. Adapun harapan kami semoga makalah ini dapat diterima dengan semestinya dan bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT meridhai kami. Aamiin.



Gorontalo,



Mei 2021



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR



..................................................................................ii



DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I.......................................................................................................................1 PEMBAHASAN......................................................................................................1 1.1.



Latar Belakang..........................................................................................1



1.2.



Rumusan Masalah.....................................................................................1



1.3.



Tujuan........................................................................................................2



BAB II......................................................................................................................3 PEMBAHASAN......................................................................................................3 2.1.



Emergency Severity Index (ESI)...............................................................3



2.2.



Australian Triage Scale (ATS)................................................................10



2.2.1



Definisi.............................................................................................11



2.2.2



Faktor yang mempengaruhi penerapan Australasian Triage Scale



(ATS) 12 2.2.3



Kelebihan Australian triage scale (ATS)......................................14



2.2.4



Kekurangan Australian triage scale (ATS)...................................14



2.2.5



Kategori ATS ( Australian Triage Scale).........................................15



2.3.



Canadian Emergency Department Triage and Acuity Scale (CATS).....15



2.3.1



Definisi.............................................................................................15



2.3.2



Sejarah..............................................................................................16



2.3.3



Tujuan CTAS...................................................................................16



2.3.4



Klasifikasi CTAS.............................................................................17



2.3.5



Indikator Keberhasilan Triase CTAS Berdasarkan waktu respon...18



2.3.6



Kategori triase berdasarkan beberapa system..................................19 iii



2.3.7



Pembaruan CTAS 2016...................................................................19



2.3.8



Kelebihan CTAS..............................................................................20



2.3.9



Kelemahan CTAS............................................................................20



BAB III..................................................................................................................21 PENUTUP..............................................................................................................21 3.1



Kesimpulan..............................................................................................21



3.2



Saran........................................................................................................21



DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22



iv



BAB I PEMBAHASAN 1.1.



Latar Belakang



Instalasi gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu pintu masuk utama pasien yang membutuhkan perawatan diRumah Sakit (RS). IGD adalah salah satuunit RS yang menyediakan pelayanan kesehatan darurat. Kegawatdaruratan merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa, membahayakan diri yang ditandai dengan adanya gangguan pada pernafasan, sirkulasi, penurunan kesadaran, gangguan hemodinamik sehingga memerlukan penanganan dengan tindakan cepat, tepat, akurat guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan (Permenkes RI Nomor 47, 2018). Terdapat beberapa alasan mengapa seseorang diantar atau datang ke IGD. Selain disebabkan oleh penyakit, seseorang bisa diantar atau datang ke IGD bisa karena mengalami trauma atau mungkin kekerasan. Kepadatan yang terjadi di IGD ini dapat menimbulkan masalah. Menurut Senat Amerika Serikat, Departemen Emergensi Rumah Sakit (2009) bahwa masalah yang ditimbulkan akibat IGD yang padat adalah meningkatnya waktu tunggu pasien untuk diperiksa oleh dokter Mengingat banyaknya dampak dari masalah yang diakibatkan oleh kepadatan tersebut, maka diperlukan solusi untuk mengatasinya. Menurut penelitian salah satu cara untuk mengatasi kepadatan adalah dengan menerapkan triase. Menurut sistem triase yang banyak diteliti adalah Australia Triage System (ATS) yang berasal dari Australia, Canadian Triage Acquity System (CTAS) yang berasal dari Kanada, ESI yang berasal dari Amerika Serikat dan Manchester Triage Scale (MTS) yang berasal dari Inggris dan banyak digunakan oleh sebagian besar negara di Eropa. 1.2.



Rumusan Masalah 1. Bagaimana Mengidentifikasi Emergency Severity Scale (ESI)? 2. Bagaimana Mengidentifikai Australian Triage Scale (ATS)? 3. Bagaimana Mengidentifikasi Canadian Emergency Department Triage and Acuity Scale (CATS)?



1



1.3.



Tujuan 1. Untuk Mengidentifikasi Emergency Severity Scale (ESI). 2. Untuk Mengidentifikai Australian Triage Scale (ATS). 3. Untuk Mengidentifikasi Canadian Emergency Department Triage and Acuity Scale (CATS).



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1.



Emergency Severity Index (ESI) 2.1.1



Definisi ESI (Emergency Severity Index)



Triage Amerika Serikat disebut juga dengan ESI (Emergency Severity Index) dibuat sejak tahun 2003. Ditandai dengan dibentuknya Join Triage Five Level Task Force oleh The Emergency Nursing Association (ENA) dan American College of Physician (ACEP) memperkenalkan lima kategori sebelumnya. Metode ESI (Emergency Severity Index) berbasis penelitian ini menentukan prioritas penanganan awal berdasarkan level kegawatan dan perkiraan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan. Perubahan ini berdasarkan pertimbangan kebutuhan akan presisi dalam menentukan prioritas pasien di UGD, sehingga pasien terhindar dari keterlambatan pengobatan akibat kategorisasi terlalu rendah, atau sebaliknya pemanfaatan UGD yang berlebihan untuk pasien yang non urgen akibat kategorisasi terlalu tinggi. (Mardalena 1, 2018). Metode ESI menentukan prioritas penanganan awal berdasarkan sindrom yang menggambarkan keparahan pasien dan perkiraan kebutuhan sumber daya unit gawat darurat yang dibutuhkan (pemeriksaan laboratorium, radiologi, konsultasi spesialis terkait, dan tindakan medik di unit gawat darurat). (Mardalena 1, 2018). Apabila ada pasien baru datang ke unit gawat darurat, maka petugas triase akan melakukan dua tahap penilaian, tahap pertama adalah menentukan keadaan awal pasien apakah berbahaya atau tidak, bila berbahaya maka kondisi pasien termasuk level 1 atau 2. Pasien dikelompokkan kedalam level 1 apabila terjadi ganggguan di tanda vital yang mengancam nyawa seperti henti jantung paru dan sumbatan jalan nafas. Pasien dengan tanda vital tidak stabil dan sindrom yang potensial mengancam akan dikelompokkan ke level 2 seperti nyeri dada tipikal, perubahan kesadaran mendadak, nyeri berat, curiga keracunan, dan



3



gangguan psikiatri dengan risiko membahayakan diri pasien atau orang lain. (Mardalena 1, 2018). Pasien yang tidak memenuhi kriteria level 1 dan 2 akan memasuki tahap penilaian kedua yaitu perkiraan kebutuhan pemakaian sumber daya UGD (pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, tindakan atau terapi intravena) dan pemeriksaan tanda vital lengkap. Apabila saat triase diperkirakan pasien yang datang tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang dan terapi intravena, maka pasien termasuk kategori 5, apabila pasien diperkirakan perlu menggunakan satu sumber daya UGD (laboratorium atau x ray atau EKG, atau terapi intravena) maka termasuk kategori 4, apabila pasien diperkirakan membutuhkan lebih dari satu sumber daya UGD untuk mengatasi masalah medisnya, maka akan masuk kategori 3 (apabila hemodinamik stabil) atau kategori 2 (apabila hemodinamik tidak stabil). Analisis sistematik yang dilakukan Christ menunjukkan bahwa ESI dan CTAS adalah sistim triase yang memiliki reliabilitas paling baik (Christ M et al., 2017) Emergency Severity Index (ESI) merupakan sistem triage yang paling umum digunakan di semua bagian darurat, diakui sebagai sistem yang valid dan akurat, yang memprioritaskan pasien serta



mengikuti



proses pengobatan mereka untuk akses yang lebih baik ke perawatan medis dan pelayanan (Maleki et al., 2015). Salah satu manfaat dari triage ESI



adalah



identifikasi



cepat pasien



yang



membutuhkan



perhatian segera. Emergency Severity Index (ESI) akan lebih mudah diterapkan di Indonesia karena tidak ada batas waktu spesifik yang ditentukan secara ketat untuk masing-masing level. Selain itu, EmergencySeverity Index (ESI)



tidak secara



spesifik mempertimbangkan



penentuan tingkat triage. Emergency Severity



diagnosis



untuk



Index (ESI)



lebih



cocok diterapkan, karena lebih mudah melihat kondisi dan keparahan (Datusanantyo, 2020). Sistem triage ini dapat memberikan perencanaan yang lebih baik bagi pasien yang memerlukan pelayanan gawat darurat melalui pemeriksaan cepat terhadap kondisi dan kebutuhan akan sumber



4



daya. Bukti ini meyakinkan kita bahwa sistem triage Emergency Severity Index (ESI) berpotensi diaplikasi di IGD rumah Indonesia



untuk meningkatkan



keselamatan



pasien



sakit



di



dan efisiensi



pelayanan IGD (Datusanantyo, 2020). ESI merupakan skala triase yang terdiri dari lima tingkatan yang dikembangkan oleh dokter departemen emergensi yakni Richard Wuerz dan David Eitel yang berasal dari Amerika Serikat. Ke dua dokter ini meyakini pentingnya instrumen triase di IGD untuk memfasilitasi prioritas pasien berdasarkan urgensi. ESI ini mulai diimplementasikan pada tahun 1999 (versi 1), kemudian tahun 2000 (versi 2) dan tahun 2001 (versi 3). Kemudian pada tahun 2004 dilakukan revisi kembali sehingga muncul lah ESI versi 4 (Nicki G et al., 2020) ESI merupakan salah satu sistem triase yang memiliki 5 skala tingkatan dengan validitas, reliabilitas dan sensitifitas yang tinggi. Dalam pelaksanaannya sistem triase ini dapat dilakukan oleh dokter triase maupun perawat triase. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan penentuan kategori triase (overtriage dan atau undertriage) maka pemeriksa harus mempertimbangkan usia pasien, riwayat gangguan tanda vital, dan keluhan utama spesifik pasien serta dapat ditambah dengan pemeriksaan lain seperti Peak Expiratory Flowmeter (PEF) untuk kasus tertentu yakni PPOK. (Nicki G et al., 2020) 2.1.2



Klasifikasi Triase ESI Kategori ESI ESI 1 ESI 2



Keterangan pasien memerlukan



Apabila



intervensi



penyelamatan jiwa Apabila pasien tidak bisa menunggu karena resiko tinggi, perubahan kesadaran akut , atau nyeri



ESI 3



hebat Apabila pasien memerlukan lebih satu sumber



ESI 4



daya Apabila pasien memerlukan sumberdaya lebih



ESI 5



hanya satu Apabila pasien bisa menunggu karena resiko tidak



5



tinggi, tidak terjadi perubahan kesadaran akut atau nyeri hebat Berikut ini adalah penjelasan dari masing masing klasifikasi ESI :



a) PRIORITAS 1 / ESI 1 (LABEL BIRU) Prioritas 1 merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa (impending life/limb threatening problem) sehingga membutuhkan tindakan penyelematan jiwa yang segera. Parameter prioritas 1 adalah semua gangguan signifikan pada ABCD. Contoh prioritas 1 antara lain, cardiac arrest, status epileptikus, koma hipoglikemik dan lain-lain. b) PRIORITAS 2 / ESI 2 (LABEL MERAH) Prioritas 2 merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa atau organ sehingga membutuhkan pertolongan yang sifatnya segera dan tidak dapat ditunda. Parameter prioritas 2 adalah pasien-pasien dengan haemodinamik atau ABCD stabil disertai penurunan kesadaran tapi tidak sampai koma (GCS 8-12). Contoh prioritas 2 antara lain, serangan asma, abdomen akut, luka sengatan listrik dan lain-lain. c) PRIORITAS 3 / ESI 3 (LABEL KUNING) Prioritas 3 merupakan pasien-pasien yang membutuhkan evaluasi yang mendalam dan pemeriksaan klinis yang menyeluruh. Contoh prioritas 3 antara lain sepsis yang memerlukan pemeriksaan laboratorium, radiologis dan EKG, demam tifoid dengan komplikasi dan lain-lain. d) PRIORITAS 4 / ESI 4 (LABEL KUNING) Prioritas 4 merupakan pasien-pasien yang memerlukan satu macam sumber daya perawatan IGD. Contoh prioritas 4 antara lain pasien Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) yang memerlukan kateter urine, Vulnus Laceratum yang membutuhkan hecting sederhana dan lain-lain. e) PRIORITAS 5 / ESI 5 (LABEL PUTIH) Prioritas 5 merupakan pasien-pasien yang tidak memerlukan sumber daya. Pasien ini hanya memerlukan pemeriksaan fisik dan anamnesis tanpa pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada pasien dengan prioritas 5



6



umumnya per oral atau rawat luka sederhana. Contoh prioritas eksoriasi dan lain-lain. 5 antara lain common cold, acne. (Ward DE, 2020)



Keterangan: A. Memerlukan Intervensi Penyelamatan Jiwa Segera: Jalan nafas, obatobatan emergensi, atau intevensi hemodinamik lainnya (Terapi intravena, O2 tambahan, monitor, Elektro Kardio Gram, atau pemeriksaan laboratorium Tidak Dihitung); dan atau beberapa kondisi klinis berikut: diintubasi, apnea, tidak ada nadi, distres pernafasan berat, SPO2 B. Situasi Resiko Tinggi: dapat ditentukan berdasarkan pengalaman dan dengan melihat usia dan riwayat kesehatan pasien sebelumnya. Nyeri Hebat: ditentukan oleh observasi klinis dan atau skala nyeri lebih dari atau sama dengan 7 (skala nyeri 0-10) C. Sumber Daya: perhitungan jumlah jenis sumber daya yang berbeda (contoh: Hitung Darah Lengkap, elektrolit, dan koagulasi darah dihitung 1 sumber daya; jika Hitung Darah Lengkap ditambah rontgen dada dihitung 2 sumber daya)



7



D.



Tanda Vital Berbahaya: Pertimbangkan kenaikan ke ESI 2 jika kriteria tanda vital apa pun di luar rentang normal. Pertimbangan demam pada anak:



E. Usia 1-28 hari: termasuk ESI 2 jika suhu >38,0 C (100,4F) Usia 1-3 tahun: termasuk ESI 2 jika suhu >38,0 C (100,4F) Usia 3 bulan – 3 tahun: termasuk ESI 3 jika suhu?39,0C (102,2F), atau imunisasi tidka lengkap, atau tidak ada sumber demam yang jelas. 2.1.3



Kelebihan ESI (Emergency Severity Index)



Keuntungan sistem triage ESI (Emergency Severity Index) yaitu perawat triage dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dari dokter, Pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan perawat triage memperkirakan utilisasi tempat tidur, Sistem Triage ESI (Emergency Severity Index) menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda-tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia, selain itu juga sistem triage ESI (Emergency Severity Index) menjelaskan apa saja yang perlu diperiksa pada anak-anak yang mana tidak dijumpai pada sistem triage lainnya, (Datusananatyo. R A, 2016). 2.1.4



Kekurangan ESI (Emergency Severity Index)



Selain kelebihan juga terdapat kekurangan pada triage ESI (Emergency Severity Index) yang mana pasien di kelompokkan berdasarkan tingkat kondisi keparahan atau kegawatdaruratannya sehingga terdapat sejumlah pasien mengeluh atas lamanya penanganan yang di berikan petugas karena pasien di kategorikan pada level ESI (Emergency Severity Index) dengan waktu pelayanan yang masih dapat di toleransi. Akan tetapi hasil riset dari Kurniasari, R (2016) Mengatakan tidak terdapat hubungan antara penetapan level ESI (Emergency Severity Index) dengan kepuasan pasien, sehingga dalam proses penetapan ESI (Emergency Severity Index) baik pasien termasuk dalam triage 1 atau 2 maupun



8



lainnya tidak ada keterkaitan nya dengan pasien puas atau tidak puas dengan pelayanan tersebut. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Erik verawati (2018) dengan menggunakan metode triage ESI (Emergency Severity Index) menunjukkan bahwa bahwa Response Time tenaga kesehatan di Instalasi gawat darurat Rumah Sakit Paru Jember selama 30 hari diperoleh rata-rata 64.56 waktu 1 menit 4 detik, yang mana Response Time diperoleh rata-rata 88.59 waktu 1 menit 28 detik yang mana lama Triage response time tenaga kesehatan di Instalasi gawat darurat Rumah Sakit Paru Jember sudah sesuai Standart. 1. Hasil penelitian tentang penerapannya pada pasien Penerapan triase ESI di IGD pernah diteliti oleh (Roudi MH, Dkk 2019) dan hasilnya menunjukkan adanya pengaruh ketepatan penerapan triase



ESI



terhadap



response



time



pasien.



Hasil



penelitian



mengungkapkan bahwa sistem triase dengan klasifikasi 5 kategori menggunakan ESI memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat memperkirakan outcome pasien secara efektif. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa triase ESI dapat meningkatkan akurasi triase di IGD karena pasien dengan resiko tinggi masuk ke dalam kategori ESI 1 dan 2 meningkat setelah implementasi triase ESI. Triase ESI ini ternyata dapat lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan pemeriksaan lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian



yang menunujukkan hasil bahwa triase ESI



ditambah dengan pemeriksaan Peak Expiratory Flowmeter (PEF) tampak lebih akurat untuk melakukan triase pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dibandingkan hanya menggunakan triase ESI saja. Namun beberapa penelitian di atas berbeda pendapatnya dengan hasil. Penelitian berikut karena Esi dianggap memiliki kelemahan. Setelah dicek validitasnya, triase ESI ini memiliki keterbatasan karena dianggap tidak mempertimbangkan usia lanjut, gangguan tanda vital, dan keluhan utama spesifik pada pasien sehingga dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan dalam menentukan kategori triase pasien, dan triase



9



ESI juga tidak ada hubungannya dengan tingkat kepuasan pasien. Perbandingannya dengan beberapa sistem triase yang lain Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem triase CTAS, ESI dan MTS memiliki validitas yang sama-sama baik meskipun dalam pelaksanaannya memiliki variabilitas. Hal ini sejalan dengan hasil triase dengan 5 tingkatan skala memiliki validitas dan sesitifitas yang tinggi sehingga lebih akurat dalam menilai tingkat keparahan kondisi pasien.Namun berdasarkan jika dibandingkan dengan ATS, metode triase ESI memberikan keputusan triase yang lebih diharapkan, meminimalisir kekeliruan dalam menentukan klasifikasi triase dan durasi penilaian 16 detik lebih cepat. (Minggawati ZA, Dkk, 2020)



Hasil penelitian (Zachariasse JM, 2019) menunjukkan bahwa sistem triase CTAS, ESI dan MTS memiliki validitas yang sama-sama baik meskipun dalam pelaksanaannya memiliki variabilitas.



Hal ini



sejalan dengan hasil penelitian (Kuriyama A, 2017) bahwa triase dengan 5 tingkatan skala memiliki validitas dan sesitifitas yang tinggi sehingga lebih akurat dalam menilai tingkat keparahan kondisi pasien. Namun jika dibandingkan dengan ATS, metode triase ESI memberikan keputusan triase yang lebih diharapkan, meminimalisir kekeliruan dalam menentukan klasifikasi triase dan durasi penilaian 16 detik lebih cepat. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa reliabilitas triase ESI lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan sistem triase ATS. penelitian (Atmojo JT, 2019) 2.2.



Australian Triage Scale (ATS)



Instalasi gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu pintu masuk utama pasien yang membutuhkan perawatan diRumah Sakit (RS). IGD adalah salah satuunit RS yang menyediakan pelayanan kesehatan darurat. Kegawatdaruratan merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa, membahayakan diri yang ditandai dengan adanya gangguan pada pernafasan, sirkulasi, penurunan kesadaran, gangguan hemodinamik sehingga memerlukan



10



penanganan dengan tindakan cepat, tepat, akurat guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan (Permenkes RI Nomor 47, 2018). Terdapat beberapa alasan mengapa seseorang diantar atau datang ke IGD. Selain disebabkan oleh penyakit, seseorang bisa diantar atau datang ke IGD bisa karena mengalami trauma atau mungkin kekerasan. Kepadatan yang terjadi di IGD ini dapat menimbulkan masalah. Menurut Senat Amerika Serikat, Departemen Emergensi Rumah Sakit (2009) bahwa masalah yang ditimbulkan akibat IGD yang padat adalah meningkatnya waktu tunggu pasien untuk diperiksa oleh dokter Mengingat banyaknya dampak dari masalah yang diakibatkan oleh kepadatan tersebut, maka diperlukan solusi untuk mengatasinya. Menurut penelitian salah satu cara untuk mengatasi kepadatan adalah dengan menerapkan triase. Menurut sistem triase yang banyak diteliti adalah Australia Triage System (ATS) yang berasal dari Australia, Canadian Triage Acquity System (CTAS) yang berasal dari Kanada, ESI yang berasal dari Amerika Serikat dan Manchester Triage Scale (MTS) yang berasal dari Inggris dan banyak digunakan oleh sebagian besar negara di Eropa. 2.2.1



Definisi



Triage diambil dari bahasa Perancis yaitu Trier yang artinya mengelompokkan atau memilih. Sistem ini pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di medan pertempuran dan digunakan bila terjadi bencana. Di medan pertempuran, triage digunakan untuk menentukan prioritas penanganan pada perang dunia pertama. Klasifikasi ini digunakan oleh para tentara perang untuk mengidentifikasi tentara korban perang yang mengalami luka ringan dengan tujuan agar setelah dilakukan tindakan penanganan dapat kembali kemedan perang.(Andrayoni et al., 2019)



Firdaus



(2017)



dalam



penelitiannya



membuktikan



bahwa



penerapan metode Australian Triage Scale atau (ATS) berpengaruh terhadap waiting time yang diberikan. Penerapan ATS memudahkan



11



perawat



IGD



dalam



memberikan



intervensi



secara



tepat



dan



meminimalkan waiting time pasien.(Andrayoni et al., 2019). Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. W. Z. Johannes telah menerapkan sistem triase dengan menggunakan sistem ATS (Australasian Triage Scale) sejak tahun 2017. Sistem triase ini dimodifikasi menjadi 3 bagian besar, yaitu : a.



Untuk pasien kategori ATS 1dan 2 digabung menjadi pasien prioritas 1 berlabel merah,



b.



Pasien yang masuk kategori ATS 3 dan 4 digabung menjadi pasien prioritas 2 berlabel kuning,



c.



Sedangkan pasien kategori ATS 5 menjadi pasien prioritas 3 berlabel hijau. Semua pasien yang datang ke IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes ditriase oleh perawat yang sudah ditentukan dalam jadwal dinas per shift. Pasien di triase didepan pintu masuk IGD dan setelah perawat menentukan jenis triase pasien lalu diarahkan kedalam ruang tindakan sesuai kegawatannya.(Banoet et al., 2019)



2.2.2



Faktor yang mempengaruhi penerapan Australasian Triage



Scale (ATS)



Faktor yang mempengaruhi penerapan Australasian Triage Scale (ATS) adalah : a. Faktor kinerja Kinerja



perawatan



dapat



diukur



dengan



Six



Dimension



Performance Nursing Scale yang terdiri dari enam indikator yang diukur yaitu kepemimpinan, perawatan kritis, hubungan interpersonal atau komunikasi, pengajaran atau kolaborasi, perencanaan dan evaluasi serta pengembangan



professional.



Penelitian



ini



menggunakan



faktor



kepemimpinan sebagai variabel independen. Kepemimpinan merupakan tehnik



memfokuskan



diri



untuk



mencapai



efektivitas



dengan



mempergunakan capability, capacity, personality dan conceptual skill 12



dalam mengimplementasikan tindakan kepemimpinan yang nyata untuk mengembangkan ide dan kerangka pemikiran sehingga dapat membuat keputusan organisasi dilakukan dengan baik. b. Faktor klien Terdapat tujuh standar keselamatan klien yaitu hak klien, mendidik klien dan keluarga, keselamatan klien dan kesinambungan pelayanan, penggunaan metode-metode dalam peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan klien, peran kepemimpinan dalam



meningkatkan



keselamatan



klien,



mendidik



staf



tentang



keselamatan klien dan komunikasi. Aplikasi keselamatan klien di IGD bisa dilakukan dalam bentuk fasilitas yang tersedia seperti peralatan medis yang steril, alat injeksi yang sekali pakai, perawat triage melakukan komunikasi sehingga tidak ada kesalahan dalam tindakan terhadap klien, harus cepat dan tepat dalam menangani klien, wajib melaksanakan SOP dalam pencegahan infeksi nosokomial. c. Faktor perlengkapan



Faktor perlengkapan atau peralatan triage (triaging tools), pengumpulan data (dokumentasi) subyektif dan obyektif, dukungan antar staf baik perawat dengan perawat dan perawat dengan dokter terkait dengan lingkungan kerja fisik dan non fisk yang mempengaruhi kinerja baik secara langsung maupun tidak langsung. College Of Registered Nurse Of British Colombia (CRNBC) menyatakan lingkungan kerja yang berkualitas adalah manajemen beban kerja, kepemimpinan keperawatan, perkembangan professional, control praktik dan dukungan organisasi. Indikator lingkungan kerja dapat diukur dengan Practice Environment Scale Of The Nursing Work Index (PES-NWI) yaitu partisipasi perawat yang berkualitas, kemampuan manajerial keperawatan, dukungan perawat, staffing, sumberdaya kecukupan serta hubungan perawat dokter. d. Faktor persyaratan staff (staff requirements) Faktor ketenagaan meliputi 1) Dokter umum atau peserta residen Ilmu Kesehatan Anak yang sedang jaga Di IGD, dokter spesialis minimal dokter spesialis



13



obstetric ginekologi, spesialis anak, spesialis anestesidan bedah, spesialis emergency tersedia 24 jam. 2) Kepala IGD seorang dokter/spesialis bedah yang mempunyai keahlian dalam menangani klien kasus emergensi, harus berada ditempat bila diperlukan. 3) Spesialis Gawat Darurat yang bertugas dalam shift dan dalam keadaan emergensi. 4) Perawat yang terdiri dari kepala perawat IGD berpengalaman minimal 2 tahun dan berpendidikan Sarjana Keperawatan dan mempunyai sertifikat pelatihan pertolongan dasar emergensi. Staf perawat dalam jumlah yang cukup, terlatih dalam CPR dan NRP dan harus ada dalam setiap shift. 5) Staf teknik medik IGD yaitu staf ambulans terlatih menangani klien sampai ke RS 6) Staf IGD yang lain seperti porter, perawat keamanan dan perawat kebersihan. 2.2.3



Kelebihan Australian triage scale (ATS) Dirancang untuk digunakan di rumah sakit berbasis layanan



darurat di seluruh Australia dan selandiabaru. Ini adalah skala untuk penilaian kegawatan klinis. Meskipun terutama alat klinis untuk memastikan bahwa pasien terlihat secara tepat waktu, sepadan dengan urgensi klinis mereka, ATS juga digunakan untuk menilai kasus. Skala ini disebut triase kode dengan berbagai ukuran hasil (lama perawatan, masuk ICU, angka kematian) dan konsumsi sumber daya (waktu staf, biaya). Ini memberikan kesempatan bagi analisis dari sejumlah parameter kinerja di Unit Gawat Darurat (kasus, efisiensi operasional, review pemanfaatan, efektivitas hasil dan biaya) 2.2.4



Kekurangan Australian triage scale (ATS) Penerapan metode Australian Triage Scale di Indonesia perlu



pelatihan mutu petugas kesehatan karena Pelayanan Instalasi Gawat Darurat



Pelayanan



pasien gawat



14



darurat



adalah



pelayanan



yang



memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah



kematian



dan



kecacatan.



Salah



satu



indikator mutu



pelayanan adalah waktu tanggap (respons time). Prosedur pelayanan di suatu rumah sakit, pasien yang akan berobat akan diterima oleh petugas kesehatan setempat baik yang berobat di rawat inap, rawat jalan (poliklinik) maupun di



IGD untuk



yang penyakit darurat/emergency



dalam suatu prosedur pelayanan rumah sakit. Prosedur ini merupakan kunci awal pelayanan petugas kesehatan rumah sakit dalam melayani pasien secara baik atau tidaknya, dilihat dari sikap yang ramah, sopan, tertib, dan penuh tanggung jawab. Pentingnya diatur standar IGD karena pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu perlu adanya



standar



dalam



dengan



memberikan pelayanan



gawat



darurat



sesuai



kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. 2.2.5



Kategori ATS ( Australian Triage Scale) Batasan kriteria dan respon time perawat berdasarkan kategori



ATS adalah sebagai berikut : ATS 1 kondisi yang mengancam nyawa dengan batasan respon time 0 menit, ATS 2 resiko mengancam nyawa, dimana kondisi pasien dapat memburuk dengan cepat, dengan batasan respon time dibawah 10 menit, ATS 3 kondisi potensial berbahaya, dapat mengancam nyawa atau dapat menambah keparahan bila penilaian dan tatalaksana tidak dilakukan dengan batasan respon time 30 menit, ATS 4 kondisi berpotensial jatuh menjadi lebih berat apabila penilaian dan tatalaksana tidak segera dilakukan intervensi dengan batasan respon time 60 menit dan ATS 5 kondisi tidak segera, gejala tidak beresiko memberat dan tidak segea dilakukan intervensi dengan batasan respon time 120 menit (ACEM, 2014).



15



2.3.



Canadian Emergency Department Triage and Acuity Scale (CATS) 2.3.1



Definisi



Triase dalam pelayanan gawat darurat (Atmojo, dkk., 2019) adalah proses pengambilan keputusan yang diterapkan untuk mengidentifikasi pasien dan mengoptimalkan sumber daya. Sejak 1990 hingga tahun 2000 telah dirancang triase 5 skala, salah satunya adalah CTAS (Canada Triage Acuity Scale). CTAS merupakan adalah salah satu system triase yang digunakan untuk menentukan tingkat acuity pada pasien dan secara akurat menentukan apa yang pasien butuhkan (Puspitasari & Nur, 2015). CTAS adalah triase dengan 5 level yang dikembangkan untuk membantu tenaga medis pada unit gawat darurat memprioritaskan pasien berdasarkan ketajaman dan risiko berbasis kolaborasi nasional dan internasional (Widiyanto, dkk., 2019). 2.3.2



Sejarah



CTAS dikembangkan pada akhir 1990-an oleh Canadian Association of Emergency Physicians and National Emergency Nurses’ Affiliation (Wibowo, 2020). Sejak itu, telah diterapkan di Kanada dan negara-negara lain di dunia (Atmojo, dkk., 2019). Canadian Triage and Acuity Scale dikembangkan untuk meningkatkan proses triase di bagian gawat darurat Kanada. Triase dan ketajaman skala ini berawal pada Skala Triase Nasional yang dikembangkan oleh Fitzgerald dan Jelinek di Australia. Melalui upaya Dr.Bob Beveridge, Canadian Triage and Acuity Scale di kembangkan dan pertama kali di implementasikan di New Brunswick. Kelompok Kerja Nasional Canadian Triage and Acuity diwakili oleh Dokter Darurat dan perawat dari Asosiasi Darurat Kanada, Perwat Darurat Nasional Afilisasi dan Bagian Canadian Pediatric Society pada pengobatan darurat. Kelompok ini bertanggung jawab untuk pedoman pelaksanaan Canadian Triage and Acuity Scale dan pelaksanaan



16



Canadian Triage and Acuity Scale Nasional (Ernasi, dkk., 2016). Pedoman CTAS Merekomendasikan waktu untuk penilaian yang dilakukan oleh perawat dan dokter berdasarkan indikator pada setiap level triase (Wibowo, 2020). 2.3.3



Tujuan CTAS



Canadian Triage and Acuity Scale digunakan untuk menetapkan tingkat



ketajaman



untuk



pasien



dan



agar



lebih



akurat



dalam



mendefinisikan perawatan untuk kebutuhan pasien.Hal ini di dasarkan untuk membangun hubungan antar pasien untuk mengkaji keluhan atau keluhan utama dan penyebab potensial seperti yang di definisikan oleh pasien. Faktor-faktor lain ikut bermain dalam menentukan tingkat ketajaman skala .Ini termasuk bagaimana penampilan pasien, tanda-tanda vital mereka, persepsi rasa sakit, dan terkait gejala. Pasien adalah fokus dari sistem triase ini karena upaya untuk menentukan waktu yang ideal di mana pasien harus dilihat (Ernasi, dkk., 2016). 2.3.4



Klasifikasi CTAS



CTAS mengklasifikasikan pasien dalam urutan(Wibowo, 2020): 1. Level 1: resusitasi/Resuscitation Kondisi yang merupakan ancaman terhadap nyawa atau anggota tubuh (atau risiko kemunduran yang segera terjadi) membutuhkan segera intervensi agresif. Saatnya ke dokter SEGERA. Pasien khas: tidak responsif, tanda vital tidak ada / tidak stabil, dehidrasi parah dan gangguan pernapasan parah. 2. Level 2: darurat/Emergent Kondisi yang berpotensi mengancam anggota tubuh atau fungsi, membutuhkan intervensi medis yang cepat atau tindakan yang didelegasikan. Waktu untuk penilaian dokter / wawancara ≤ 15 menit. 3. Level 3: mendesak/Urgent



17



Kondisi yang berpotensi berkembang menjadi masalah serius yang membutuhkan



intervensi



darurat



.



Dapat



dikaitkan



dengan



ketidaknyamanan yang signifikan atau mempengaruhi kemampuan untuk bekerja dan kegiatan hidup sehari-hari. Waktu ke dokter ≤ 30 menit. 4. Level 4: kurang mendesak/ Less Urgent (Semi urgen) Kondisi yang berkaitan dengan usia pasien, kesulitan, potensi kerusakan atau komplikasi akan mendapat manfaat dari intervensi atau jaminan dalam 1-2 jam). Waktunya ke dokter ≤ 1 jam. 5. Level 5: tidak mendesak/ No Urgent Kondisi yang mungkin akut tetapi tidak mendesak serta kondisi yang mungkin menjadi bagian dari masalah kronis dengan atau tanpa bukti kerusakan. Investigasi atau intervensi untuk beberapa penyakit atau cedera ini dapat ditunda atau bahkan dirujuk ke rumah sakit atau sistem perawatan kesehatan lain. Waktunya ke dokter ≤ 2 jam. 2.3.5



Indikator Keberhasilan Triase CTAS Berdasarkan waktu



respon



18



2.3.6



Kategori triase berdasarkan beberapa system



2.3.7



Pembaruan CTAS 2016



Banyak alasan dan pertimbangan untuk perubahan dalam CTAS Bullard et al., 2017 menjelaskan adapun beberapa bidang-bidang yang menjadi fokus dalam pembaruan guideline antara lain: 1. Review dan kejelasan tentang ketajaman target waktu triase 2. Mengatasi



praktik



menggunakan



CTAS



sebagai



alat



untuk



mengalihkan pasien menjauh dari UGD 3.



Menghadirkan tambahan pengaduan dan modifikasi CEDIS



4. Pengantar ‘penyakit yang berkaitan dengan panas/demam’ bersama dengan pengubah khusus 5. Pengubah kehamilan yang direvisi disertai dengan pengantar ‘masalah postpartum’ dan pengubah khusus 6. Pengenalan pengubah definisi kelemahan baru (Lansia, disabilitas, dan lain sebagainya) 7. Pengembangan pendidikan geriatri baru disertai komponen mengenali tantangan terkait dengan perubahan demografis yang cepat 8. Pembaruan triase anak yang berfokus pada standar demam dan mengenali hipertensi pada anak-anak 9. Memperkenalkan perubahan terencana dalam pendidikan proses, bahan ajar dan sertifikasi CTAS.



19



2.3.8



Kelebihan CTAS



Ada beberapa alasan (Ernasi, dkk., 2016) mengapa CTAS ( Canadian Triage and AcuityScale ) lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase CTAS (Canadian Triage and Acuity Scale) menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.



Selain itu CTAS juga dilengkapi dengan rangkuman keluhan dan tanda klinis khusus untuk membantu petugas melakukan identifikasi sindrom yang dialami pasien dan menentukan level triase. Metode CTAS juga mengharuskan pengulangan triase (retriage) dalam jangka waktu tertentu atau jika ada perubahan kondisi pasien ketika dalam observasi (Habib, dkk., 2016). 2.3.9



Kelemahan CTAS



Triase



CTAS



memiliki



kelemahan



yang



akan



membuat



perawat/dokter triase harus berfikir lebih kritis dan memakan waktu, apalagi jika triase CTAS akan diterapkan di Indonesia dengan jumlah kunjungan pasien ke tempat pelayanan gawat darurat yang tinggi. Kelemahan tersebut seperti; triase CTAS tidak memiliki algoritma yang seharusnya



dapat



membantu



dengan



cepat



dan



tepat



dalam



mempertimbangkan prioritas triase berdasarkan hasil pengkajian. CTAS hanya memiliki indikator-indikator pada setiap level/prioritas triase berupa keluhan atau keadaan pasien. Kondisi tersebut yang memungkinkan terjadinya kesalahan/ketidak tepatan dalam penentuan prioritas triase pasien (Wibowo, 2020).



20



21



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan



Menurut sistem triase yang banyak diteliti adalah Australia Triage System (ATS) yang berasal dari Australia, Canadian Triage Acquity System (CTAS) yang berasal dari Kanada, ESI yang berasal dari Amerika Serikat dan Manchester Triage Scale (MTS) yang berasal dari Inggris dan banyak digunakan oleh sebagian besar negara di Eropa. Firdaus (2017) dalam penelitiannya membuktikan bahwa penerapan metode Australian Triage Scale atau (ATS) berpengaruh terhadap waiting time yang diberikan. Penerapan ATS memudahkan perawat IGD dalam memberikan intervensi secara tepat dan meminimalkan waiting time pasien.(Andrayoni et al., 2019). CTAS adalah triase dengan 5 level yang dikembangkan untuk membantu tenaga medis pada unit gawat darurat memprioritaskan pasien berdasarkan ketajaman dan risiko berbasis kolaborasi nasional dan internasional. 3.2 Saran



Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah wawasan dan menjadi bahan bacaan kita terkait Konsep penanganan kegawatdaruratan di beberapa negara. Penanganan kasus kegawatdaruratan memang sangat penting untuk selalu ditingkatkan. Oleh karena itu, semoga pelayanan kegawatdaruratan di Indonesia terkhusus di Gorontalo bisa semakin baik lagi agar banyak nyawa yang dapat terselamatkan dan pengguna jasa dalam hal ini pasien akan merasa puas.



22



DAFTAR PUSTAKA ACEM. 2014. Emergency Department Design Guidelines, G15. Third Section, Australian College For Emergency Medicine https://acem.org.au/getmedia/faf6 3c3b-c896-4a7eaa1f226b49d62f94/G15_v03_ED_De sign_Guidelines_Dec-14.aspx Andrayoni, N. L. D., Martini, M., Putra, N. W., & Aryawan, K. Y. (2019). Hubungan Peran dan Sikap Perawat IGD dengan Pelaksanaan Triage Berdasarkan Prioritas. Journal of Telenursing (JOTING), 1(2), 294–303. https://doi.org/10.31539/joting.v1i2.923 Atmojo JT, Widiyanto A, Yuniarti T. (2019). Reliabilitas Sistem Triase Dalam Pelayanan Gawat Darurat : A Review. Atmojo, J. T., dkk. 2019. Reliabilitas Sistem Triase Dalam Pelayanan Gawat Darurat : A Review. Jurnal Ilmiah Keperawatan, Vol. 7 No. 2. Banoet, S. N., Harmayetty, H., & Hidayati, L. (2019). Efektifitas Penggunaan ATS (Australasian Triage Scale) Modifikasi Terhadap Response Time Perawat Di Instalasi Gawat Darurat. Critical Medical and Surgical Nursing Journal, 8(1), 62. https://doi.org/10.20473/cmsnj.v8i1.12618 Bullard, M. J. et al. (2017) ‘Revisions to the Canadian Emergency Department Triage and Acuity Scale (CTAS) Guidelines 2016’, Canadian Journal of Emergency Medicine, 19(S2), pp. S18–S27. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency department Dtsch Arztebl Int 2017;107(50):892–8. Datusananatyo, R. A. (2016). Memilih Triage ESI (Emergency Severity Indeks) di Indonesia. Datusanantyo AR. Emergency Severity Index ( ESI ). (2020). : Salah Satu Sistem Triase Berbasis Bukti Decision Point A : Does the. Published online. Ernasi, D., dkk. 2016. CTAS(Canadian Triage And Acuity Scale). Akademi Perawat Kesehatan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Habib, H., dkk. 2016. Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia. Instalasi Gawat Darurat RSCM. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. (2020). : Jurnal Ilmu Ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi Volume 20 Nomor 2 Agustus.



23



Kuriyama A, Urushidani S, Nakayama T. (2017). Five-level emergency triage systems: Variation in assessment of validity. Emerg Med J. Kurniasari, Regina. (2016). Hubungan Antara Level Emergency Severity Index (ESI) Dengan Kepuasan Pasien Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Sido Waras. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 4 No.2 Maleki, M., Fallah, R., Riahi, L., Delavari, S., & Rezaei, S. (2015). Effectiveness of Five- Level Emergency Severity Index Triage System Compared With Three- Level Spot Check: An Iranian Experience. Archives of Trauma Research, 4 (4). https://doi.org/10.5812/atr.29214 Mardalena, I. (2018). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Minggawati ZA, Faried A, Priambodo AP. (2020 ). Comparison of Four-Level Modification Triage with Five Level Emergency Severity Index (ESI) Triage Based on Level of Accuracy and Time Triase. J Keperawatan Padjadjaran. Nicki Gilboy, Paula Tanabe, Debbie A. Travers, Alexander M. Rosenau DRE. (2020). Index , Version 4 : Implementation. Published online. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Puspitasari, I., & Nur A. M. 2015. Evaluasi Medical Response Preparedness Pada Unit Gawat Darurat (Studi Kasus Di IGD Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta). Forum Teknik, Volume 36, Nomor 1. Roudi MH, Malekzadeh J, Ebrahimi M, Mirhaghi A, Shakeri MT. (2019). Comparison between Emergency Severity Index plus peak flow meter and Emergency Severity Index in the dyspneic patients with chronic obstructive pulmonary disease: A randomized clinical trial. Turkish J Emerg Med. Verawati, Erik., (2019). Gambaran Response Time dan Lama Triage di IGD Rumah Sakit Paru Jember. Ward DE. Classification of groups. J Spec Gr Work. 2020;31(2):93-97. doi:10.1080/01933920500493548 12. Wibowo, Doni. 2020. Efektifitas Penulisan Dokumentasi Triase Emergency Severity Index (ESI) dengan Canada Triage Acuity Scale (CTAS) terhadap Ketepatan Prioritas Triase Pasien oleh Mahasiswa Ners STIKES



24



Cahaya Bangsa di IGD RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal Kesehatan Indonesia (The Indonesian Journal of Health), Volume X, Nomor 2. Widiyanto, A., dkk. 2019. The Canadian Emergency Department Triage & Acuity Scale (CTAS) dan Perubahannya: A REVIEW. Avicenna Journal of Health Research, Volume 2, Nomor 2. Zachariasse JM, Van Der Hagen V, Seiger N, Mackway-Jones K, Van Veen M, Moll HA. (2019). Performance of triage systems in emergency care: A systematic review and metaanalysis. BMJ Open.



25