Tugas Kelompok Pidana Internasional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC: INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST ( TOKYO TRIAL / PERADILAN TOKYO ) Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu unsur penilaian mata kuliah Hukum Pidana Internasional



Dosen Pembina: Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Hj. Tien Saefullah, S.H., M.H. Dr. Sigid Suseno, S.H., M.Hum Dr. Widati Wulandari, S.H.,M.Crim. Dr. Diajeng Wulan C.S.H., LL.M Nella Sumika Putri, S.H., M.H Budi Arta Atmaja, S.H., M.H



Anggota Kelompok 4: Renata Christha Auli



110110160174



Zelig Dimas Alfredo



110110160374



Grace Evelyn Pardede



110110170035



Afifah Husnun U. A



110110170167



Farrel Alanda F



110110170204



Irvan Adfiansyah



110110170334



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2019



Commented [1]: isi + urutkan sendiri ya gengsss



1. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam Pendekatan Sejarah Keprihatinan terhadap terjadinya kejahatan serius sudah dimulai sejalan dengan perkembangan konsep HAM. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang asing ketika ada upaya internasional untuk menangani kasus kejahatan serius dan pelanggaran HAM. Secara garis besar, perkembangan upaya yang terwujud melalui pembentukan mahkamah internasional bisa dibedakan menjadi empat masa, yakni masa Pra-Perang Dunia II, Masa Mahkamah Nuremberg dan Tokyo, Masa ICTY dan ICTR (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia & International Criminal Tribunal for Rwanda), dan masa ICC (International Criminal Court).1 Akan tetapi, dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas mengenai sejarah, latar belakang, definisi, yurisdiksi, prinsip, dan proses Peradilan Tokyo. Sebelum mendalami pembahasan mengenai Peradilan Tokyo, maka perlu diketahui terlebih dahulu upaya pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, ditinjau dari historical approach. Tindak pidana internasional, dimana salah satu wujudnya yang paling tua adalah kejahatan perang, telah dilakukan penuntutan pada masa Yunani Kuno, bahkan mungkin sebelumnya. Menurut William Schabas, peradilan internasional pertama atas perlakuan kejam adalah peradilan Peter von Hagenbach, yang diselenggarakan pada tahun 1474, untuk mengadili pelaku kekejaman yang dilakukan selama pendudukan Breisach. Peter Von Hagenbach dipersalahkan telah melakukan kejahatan perang lalu dihukum dengan cara dipancung.2 Berbeda dengan William Schabas, Bassiouni mencatat bahwa peradilan terhadap pelaku kejahatan internasional pertama kali diselenggarakan pada tahun 1268 di Naples, ketika Conradin von Höhenstaufen dijatuhi hukuman karena dianggap melancarkan perang yang tidak dibenarkan.3 Selain pendapat para ahli, sejarah modern juga mencatat bahwa upaya internasional untuk mengadili para penjahat perang pertama kali dilakukan di Peradilan Leipzig yang dibentuk pada akhir Perang Dunia I, berdasarkan Perjanjian Versailles 1919. Gagasan pembentukan Mahkamah Tindak Pidana Internasional juga pernah muncul melalui Perjanjian Sevres 1920 yang merupakan perjanjian perdamaian antara pasukan sekutu dengan kekaisaran Usmaniyah Turki. Setelah itu berbagai gagasan muncul setelah Perang Dunia II, melalui Piagam London.4 Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dari segi sejarah diawali dengan Peradilan Nürnberg (selanjutnya disebut Nuremberg) di Jerman yang berfungsi mengadili para penjahat perang pasca Perang Dunia II yang dilakukan di Eropa. Hampir bersamaan dengan itu, di Jepang juga dibuat sebuah lembaga yang serupa, yakni Peradilan Tokyo. Tiga puluh tahun kemudian, disusun peradilan internasional lagi yang dikenal dengan ICTY dan ICTR. Selain peradilan yang disebutkan pada paragraf ini, terdapat lembaga peradilan lainnya yang disebut dengan Hybrid Model atau peradilan campuran yang diselenggarakan di beberapa tempat, yakni di Kamboja, Sierra Leone, Kosovo, dan Timor Leste.5



1



Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hlm. 1. William Schabas, An Introduction to The International Criminal Court, New York: Cambridge University Press, 2008, hlm. 5. Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Buku Seru, 2014, hlm. 152. 4 Ibid. 5 Ibid, hlm. 152- 153. 2 3



Peradilan- peradilan internasional yang disebutkan diatas merupakan peradilan yang bersifat ad hoc, atau sementara. Sedangkan yang bersifat permanen dibentuk melalui Statuta Roma 1998 dengan nama International Criminal Court.6 Pada umumnya, setiap lembaga peradilan dalam peradilan pidana internasional memiliki prinsip yang terkadang berbeda dari prinsip hukum pidana maupun prinsip hukum internasional pada umumnya. Prinsip tersebut terkadang melandasi sebuah prinsip lainnya dan menjadikannya sebagai sebuah yurisprudensi internasional.7 2. Latar Belakang Peradilan Tokyo Peradilan Nuremberg dan Tokyo menciptakan ketentuan hukum yang sangat fundamental dalam hukum internasional, yakni menempatkan individu sebagai subjek hukum internasional. Ketentuan hukum internasional sebelumnya tidak memasukkan individu sebagai subjek hukum internasional. Berbeda dengan putusan pengadilan tahun 1946 dan 1949. Menurut pandangan pengadilan internasional saat itu, kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan manusia, bukan oleh kesatuan abstrak, dan hanya menghukum individu- individu yang melakukan kejahatan demikian. Maka, ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat dijalankan. Dengan demikian Individu tidak dapat lagi berlindung dibalik negaranya terhadap kejahatan perang yang dilakukannya.8 Mahkamah Tokyo yang dikenal dengan nama Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh merupakan pengadilan ad hoc yang mulai diselenggarakan pada tanggal 3 Mei 1946 dengan tujuan untuk mengadili para pemimpin kekaisaran Jepang atas tiga kategori kejahatan yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang telah dilakukan selama Perang Dunia II. Pada jenis kejahatan pertama yaitu kejahatan terhadap perdamaian dianggap sebagai konspirasi bersama oleh kekaisaran Jepang untuk memulai dan menjalankan perang, dan pada kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan merujuk kepada kekejaman dan sejarah yang paling terkenal adalah Pembantaian Nanking yang dilakukan oleh tentara Jepang.9 Pembentukan Pengadilan Tokyo didasarkan pada mandat negara-negara Sekutu kepada Jenderal Mac Arthur sebagai panglima tertinggi pasukan Sekutu di wilayah Timur Jauh, untuk membentuk sebuah pengadilan guna mengadili penjahat perang Jepang. Pada tanggal 19 Agustus 1945 diumumkan pembentukan Pengadilan Tokyo, didasarkan pada dokumen penyerahan yang ditandatangani oleh sekutu di satu pihak dan pemerintah Jepang di pihak lain. Dijelaskan bahwa Pengadilan Tokyo memakai model Pengadilan Nuremberg sehingga substansi London charter sebagai dasar operasional Pengadilan Tokyo berlaku juga untuk Pengadilan Tokyo. Tujuan dibentuknya Pengadilan Tokyo yaitu untuk memberi pelajaran kepada Jepang atas tindakan biadab selama melakukan perang atau barbaric nature of its conduct of war dan untuk membungkam Jepang agar tidak lagi menjadi ancaman bagi Amerika Serikat atau cease to be a threat. Untuk memberi ciri bahwa Pengadilan Tokyo betul-betul bersifat internasional, kemudian Mac Arthur mengangkat 11



6



Ibid. Ibid, hlm. 154. 8 Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, London: George Allan & Unwin Publishers, 1985, hlm. 220. 9 Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, hlm. 87. 7



hakim dari sebelas negara yaitu Uni Soviet, Inggris, Amerika, China, Perancis, Belanda, Kanada, Australia, Selandia Baru, India dan Filipina.10 Dalam pembentukan Mahkamah Tokyo oleh beberapa Negara berdasarkan proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Mahkamah Tokyo mempunyai yurisdiksi yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Tokyo dibentuk melalui proses panjang dikarenakan banyak pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang terjadi, sehingga dibentuklah Mahkamah Tokyo yang bertujuan untuk mengadili kejahatan perang.



3. Pengertian Peradilan Tokyo Peradilan Tokyo (Tokyo Trial) adalah peradilan yang dibuat atas gagasan negara sekutu untuk mengadili penjahat perang dari kekaisaran jepang. Gagasan pembentukan pengadilan Tokyo ini dimulai Pada bulan Desember 1945, empat negara sekutu yang berkepentingan atas Jepang pasca Perang Dunia II mengadakan pertemuan di Moskow (Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan China). Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Jepang selama perang berlangsung. Pengadilan Tokyo mengadili para terdakwa kejahatan perang atas tiga kategori kejahatan: Kelas A (kejahatan terhadap perdamaian), Kelas B (kejahatan perang), dan Kelas C (kejahatan terhadap kemanusiaan).11



4. Yurisdiksi Tokyo Trial Peradilan Tokyo menyidangkan serangkaian persidangan terhadap pemimpin senior politik dan militer Jepang dengan tujuan untuk menghukum Far Eastern War Criminals.12 Peradilan Tokyo yang memiliki kewenangan untuk melakukan persidangan tentu tidak dapat terlepas dari yurisdiksi peradilan. Berikut adalah yurisdiksi Peradilan Tokyo, antara lain:13 a. Yurisdiksi Teritorial Menurut pasal 1 Charter of The International Military Tribunal for The Far East, peradilan ini dibentuk untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan perang berat di Timur Jauh. Peradilan ini diselenggarakan di Tokyo. Jepang memulai Perang Dunia II (PD II) dengan beberapa alasan, antara lain kekuasaan pemerintahan dengan kejayaan militer yang ultranasionalis untuk menyelesaikan masalah perekonomian Jepang dengan cara agresi. Maka dari itu, Jepang butuh wilayah yang besar untuk menghidupi orang Jepang sendiri dan tujuan Jepang untuk membangun kekuasaan



10



I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional. Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 6061. 11 Dean J. Alton, More About IMFTE: Georgia Law, The University of Georgia School of Law, https://libguides.law.uga.edu/c.php?g=177176&p=1164522 , diakses 2 November 2019, 12.32 WIB. 12 Erdian, International Military Tribunal (Nuremberg Tribunal): Milestone Pertama Pengadilan Militer Internasional di Dunia, https://jabar.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/artikel/pertama-pengadilan-militer-internasional-di-dunia, diakses 1 November 2019, 20.11 WIB. 13 Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 174- 177.



ekonomi tercapai. Jepang menganggap bahwa Cina adalah musuh utama Jepang, sehingga Cina dianggap bangsa rendah yang harus dimusnahkan. Untuk memenuhi keinginan Jepang, pada tahun 1937 Jepang menjajah Cina Utara, kemudian Shanghai, dan Nanking. Jepang melakukan banyak pemerkosaan dan pembunuhan penduduk sipil, serta menggunakan gas beracun untuk membunuh rakyat Cina. Jepang juga menjadikan warga sipil Cina sebagai bahan percobaan dokter Jepang dalam pengembangan senjata biologis. Namun, penjajahan Jepang tidak berakhir di Cina. Jepang kemudian melakukan agresi di Birma, Vietnam, Kamboja, Filipina, Indonesia, dan negara- negara kecil di wilayah pasifik. Dengan demikian, Peradilan Tokyo mengadili para pelaku yang melakukan kejahatan perang berat di negara- negara sebagaimana disebutkan diatas. b. Yurisdiksi Temporal Peradilan Tokyo mengadili pelaku kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 Charter of The International Military Tribunal for The Far East, yang berbunyi:14 Jurisdiction Over Persons and Offenses. The Tribunal shall have the power to try and punish Far Eastern war criminals who as individuals or as members of organizations are charged with offenses which include Crimes against Peace. The following acts, or any of them, are crimes coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual responsibility: -



Crimes against peace Conventional war crimes Crimes against humanity



Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa peradilan mengadili pelaku kejahatan yang dilakukan selama PD II di wilayah sebagaimana disebutkan pada bagian yurisdiksi teritorial. c. Yurisdiksi Personal Dalam Peradilan Tokyo, yurisdiksi personal tercermin dalam pasal 5 dan 6 piagam. Dalam pasal 5, tercantum bahwa peradilan memiliki kemampuan untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan di Timur Jauh baik sebagai individu maupun sebagai anggota organisasi yang didakwa melakukan perbuatan yang termasuk dalam kejahatan terhadap perdamaian. Pasal 6 piagam tersebut berbunyi:15 Neither the official position, at any time, of an accused, nor the fact that an accused acted pursuant to order of his government or of a superior shall, of itself, be sufficient to free such accused from responsibility for any crime with which he is charged, but such circumstances may be considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires. Artinya, pasal 6 lebih mengatur tentang prinsip non-impunity. Dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa tidak satupun dari pejabat resmi, pada waktu kapanpun, karena suatu 14 15



Charter of The International Military Tribunal for The Far East Ibid.



dakwaan atau berdasarkan suatu fakta, bahwa perbuatan yang didakwakan merupakan bentuk dari menjalankan tugas dari pemerintah atau dari perintah jabatan yang lebih tinggi darinya, cukup untuk membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dari kejahatan yang didakwakan terhadapnya. Namun, keadaan tertentu dimungkinkan untuk dipertimbangkan dalam memperingan hukuman jika Pengadilan menentukan demi keadilan. d. Yurisdiksi Material Yurisdiksi material Tokyo Trial tercantum dalam Pasal 5 piagam, yakni Crimes against peace, Conventional war crimes, dan Crimes against humanity. Berikut adalah penjelasan dari ketiga jenis kejahatan tersebut: ● kejahatan terhadap perdamaian/ crimes against peace → perencanaan, persiapan, pencetusan dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi, baik dideklarasikan maupun tidak, atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian internasional, atau ikut serta dalam suatu rencana bersama, konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan terhadap perdamaian. ● kejahatan perang konvensional/conventional war crimes → pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. ● kejahatan terhadap kemanusiaan/ crimes against humanity → pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau penindasan berdasarkan politik atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi peradilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak. 5. Prinsip- Prinsip Dasar dalam Peradilan Tokyo a. Retroaktif Prinsip Retroaktif yang diterapkan dalam Peradilan Tokyo mengacu pada prinsip yang ada dalam Peradilan Nuremberg. Bahwa prinsip retroaktif ini dapat dikatakan hanya terhadap lembaga peradilannya saja, bukan terhadap substansinya.16 b. Individual Responsibility Didalam Peradilan Tokyo, prinsip ini tercantum dalam pasal 5 Charter of The International Military Tribunal for The Far East, “The Tribunal shall have the power to try and punish Far Eastern war criminals who as individuals or as members of organizations are charged with offenses which include Crimes against Peace”. Adanya pertanggungjawaban pribadi ini menjadi alasan menjalankan perintah atasan (defense of superior orders) tidak dapat diterima kecuali sebagai unsur pertimbangan keringanan hukuman (mitigation). Pertanggungjawaban pidana secara individual ini pun berlanjut dipakai dalam hukum pidana internasional dan hukum internasional lainnya.17 c. Non- impunity



16 17



Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 178. Ibid.



Pasal 6 Charter of The International Military Tribunal for The Far East menyatakan sebagai berikut “Neither the official position, at any time, of an accused, nor the fact that an accused acted pursuant to order of his government or of a superior shall, of itself, be sufficient to free such accused from responsibility for any crime with which he is charged, but such circumstances may be considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires”. Artinya, tidak satupun dari pejabat resmi, pada waktu kapanpun, karena suatu dakwaan atau berdasarkan suatu fakta, bahwa perbuatan yang didakwakan merupakan bentuk dari menjalankan tugas dari pemerintah atau dari perintah jabatan yang lebih tinggi dari dirinya, cukup untuk membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dari kejahatan yang didakwakan terhadapnya, akan tetapi keadaan-keadaan tertentu dimungkinkan untuk dipertimbangkan dalam memperingan hukuman jika pengadilan menentukan demi keadilan.18 d. Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) Menyatakan bahwa komandan bertanggung jawab mutlak terhadap seluruh perbuatannya, baik yang berupa perbuatan aktif (comission) maupun perbuatan pasif (omission). Perbuatan pasif oleh Guenael Mettraux disebabkan sebagai “a suigeneris from of liability for culpable omission” yakni suatu bentuk pertanggungjawaban yang istimewa yang didasarkan pada kelalaian. Inti dari kelalaian itu adalah kegagalan bertindak dari komandan untuk mencegah bawahan berbuat kejahatan atau failure of superior to act.19 e. Bawahan Bertanggung Jawab (Superior Order Defence) Menyatakan bahwa dalam menjalankan perintah atasan tidak dapat dijadikan alasan membela diri untuk bebas dari tanggung jawab. Dalam hal perintah atasan itu nyata-nyata kejam, brutal atau biadab yang dalam hukum perang dilarang membunuh dengan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan atau di luar batas perikemanusiaan, seharusnya bawahan mempunyai moral choice untuk tidak melaksanakan perintah yang melawan hukum dan melawan moral itu, misalnya dengan melakukan disersi.20 Dalam penerapan asas ini, kemudian timbul penafsiran yang berbeda-beda sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. Hiromi Sato menyatakan ada tiga pandangan yang berbeda aksentuasinya dalam memakai prinsip ini yaitu:21 - asas ini bukan bermaksud memberikan imunitas kepada bawahan tetapi dalam situasi dan kondisi tertentu dapat membebaskan bawahan dari tanggung jawab pidana yang berakibat pembebasan dari hukuman pidana (mitigation of punishment); - asas ini berarti memberikan imunitas bersyarat (conditional immunity) kepada bawahan, yang berarti sepanjang mereka dapat membuktikan bahwa mereka dalam kondisi tidak mungkin melakukan pilihan moral maka dapat dibebaskan; - asas ini sesungguhnya menolak kekebalan otomatis (denial of automatic immunity) yang menyebabkan bawahan mempunyai kekebalan mutlak. Pandangan ini muncul



18



Ibid, hlm. 178- 179. I Made Pasek Diantha, Op.Cit., hlm. 66. 20 Ibid. 21 Ibid. 19



dalam pembahasan rancangan Statuta Roma dan akhirnya Statuta Roma dalam posisi menerima asas bawahan bertanggung jawab itu sebagai asas kekebalan yang tidak otomatis (non-automatic immunity principle). 6. Proses Peradilan Tokyo Mekanisme pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh Mahkamah Militer Internasional Tokyo, terdiri dari sekurang-kurangnya 6 orang dan sebanyak-banyaknya 11 orang yang ditunjuk oleh Komando Tertinggi Sekutu, berdasarkan pada nama yang disampaikan oleh negara yang sudah melakukan tandatangan Instrumen Penyerahan dari pihak Jepang kepada Sekutu. Para pejabat yang ada dalam Peradilan Tokyo terdiri dari pejabat dan sekretariat yang menegaskan bahwa presiden atau Ketua Mahkamah akan ditunjuk dari para hakim anggota, oleh Komando Tertinggi Sekutu. Sekretariat Mahkamah terdiri dari Sekretaris Umum yang ditunjuk oleh Komando Tertinggi.22 Prosedur pemeriksaan perkara yang dilakukan menggunakan hukum acara yang oleh Mahkamah sendiri dapat membuat dan mengubah hukum acaranya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari hukum pidana materiil (terdapat dalam pasal 7 piagam). Berkenaan dengan sistem pembuktian yang diberlakukan dalam persidangan Peradilan Toyo, diatur dalam pasal 13 yang menyatakan bahwa Mahkamah tidak terikat oleh hukum tentang teknis pembuktian. Mahkamah dapat melakukan pengadopsian serta menerapkan cara-cara pembuktian yang paling memungkinkan untuk membuktikan dakwaannya tersebut, sehingga dalam hal ini Mahkamah juga memiliki keleluasaan untuk menggunakan atau menerapkan hukum acara tentang pembuktian, sebagaimana halnya dengan Peradilan Nuremberg.23 Putusan dari Peradilan Tokyo bersifat terbuka, yang memiliki arti bahwa Mahkamah akan mengumumkan pidananya dalam putusan tersebut, jika sudah terbukti oleh majelis hakim bahwa terdakwa dinyatakan bersalah. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh Peradilan Tokyo adalah pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana dalam waktu tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang telah berdasarkan rasa keadilan. Putusan akan dibacakan secara terbuka oleh Mahkamah dalam persidangannya dengan memberikan argumentasi atau alasan- alasan dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Kemudian, salinan dari putusan tersebut akan segera diserahkan kepada Komando Tertinggi Sekutu untuk ditindaklanjuti. Sedangkan, dalam pelaksanaan hukumannya akan dilakukan sesuai dengan perintah Komando Tertinggi yang sewaktu- waktu dapat mengurangi ataupun mengubah hukumannya, akan tetapi tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih berat dari hukuman yang semula.24 Berikut adalah beberapa tabel mengenai persidangan yang terjadi di Peradilan Tokyo dari tanggal 03 Mei 1946 hingga 12 November 1948:25



22



Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm. 143. Ibid 24 Ibid, hlm. 144. 25 Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Op.Cit., hlm. 176- 186. 23



Tabel 1 - Daftar Hakim dan Penuntut Umum di Peradilan Tokyo No.



NAMA



NEGARA



POSISI



1.



Sir William Webb



Australia



Hakim Pengadilan Australia



2.



Edward Stuart McDougall



Kanada



Mantan Hakim Tinggi Kanada



3.



Mayor Jenderal Mei Juao



Cina



Pengacara dan Anggota Legislatif Republik Cina



4.



Henri Bernard



Perancis



Kepala Jaksa Perancis, peradilan militer pertama di Paris



5.



Radhabinod Pal



India



Jaksa di Calcutta



6.



Profesor Bert Roling



Belanda



Guru Besar Hukum di Universitas Utrecht



7.



Harvey Northcroft



Selandia Baru



Hakim Selandia Baru



8.



Kolonel Delfin Jaranilla



Filipina



Hakim



9.



Hon Lord Patrick



Inggris Raya



Hakim



10.



John P. Higgins



Amerika Serikat



Ketua Pengadilan Tinggi Massachusetts Amerika Serikat



11.



Mayor Jenderal Zarayanov



12.



Joseph Keenan



Amerika Serikat



Jaksa Penuntut Umum



13.



Mr. Justice Alan Manfield



Australia



Jaksa Penuntut Umum



14.



Brigadir Henry Nolan



Kanada



Jaksa Penuntut Umum



15.



Xiang Zhejun



Cina



Jaksa Penuntut Umum



16.



P. Govinda Menon



India



Jaksa Penuntut Umum



17.



WG. Frederick Borgerhoff- Belanda Mulder



18.



Brigadir Quilliam



19.



Pedro Lopez



Filipina



Jaksa Penuntut Umum



20.



Arthur Strettell



Inggris Raya



Jaksa Penuntut Umum



21.



Sergei



Ronald



I.M. Uni Soviet



Henry Selandia Baru



Alexandrovich Uni Soviet



Pengadilan



Anggota Mahkamah Militer Uni Soviet



Jaksa Penuntut Umum



Jaksa Penuntut Umum



Tinggi



Tinggi



Agung



Golunsky



Tabel 2 - Pejabat Pemerintah yang Diadili di Peradilan Tokyo NO.



NAMA



JABATAN



DAKWAAN



1.



Matsuoka Yosuke



Menteri Luar Negeri Tidak didakwa karena (1940-1941) meninggal dunia akibat penyebab yang wajar



2.



Koki Hirota



Menteri Luar Negeri 1. 1. Kejahatan terhadap Pidana mati perdamaian 2. 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan



3.



Jenderal Itagaki



4.



Jenderal Sadao Araki Menteri Perang



5.



Shunroku Hata



Menteri Peang



6.



Kiichiro Hiranuma



Perdana Menteri



7.



Naoki Hoshino



Kepala Kabinet



8.



Koichi Kido



9.



Jenderal Koiso



10.



Admiral Oka



11.



Jenderal Oshima



Seishiro Menteri Perang



PUTUSAN



1. 1. Kejahatan terhadap Pidana mati perdamaian 2. 2. Kejahatan perang 3. 3. Kejahatan terhadap kemanusiaan 4. Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



1. 1. Kejahatan terhadap perdamaian 2. 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



Sekretaris Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



Menteri Dalam Negeri Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



Kuniaki Gubernur terakhir sebagai Menteri Takasumi Menteri Laut



Korea, 1. Kejahatan terhadap Penjara menjabat perdamaian hidup Perdana 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan



seumur



Angkatan Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



Hiroshi Duta besar di Jerman



Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



12.



Jenderal Sato



Kenryo Kepala Biro Hubungan Kejahatan terhadap Penjara Militer perdamaian hidup



13.



Admiral Shimada



14.



Toshiro Shiratori



15.



Jenderal Suzuki



16.



Jenderal Umezu



17.



Shigenori Togo



Menteri Luar Negeri



Kejahatan terhadap Penjara 20 tahun perdamaian



18.



Mamoru Shigemitsu



Menteri Luar Negeri



1. Kejahatan terhadap Penjara 7 tahun perdamaian 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan



19.



Shumei Okawa



Ilmuwan Radikal



Mengalami gangguan mental sehingga tidak dituntut



Shigetaro Menteri Laut



Angkatan Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



Duta Besar di Italia



seumur seumur



Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



Teiichi Kepala Biro Hubungan Kejahatan terhadap Penjara dengan Cina perdamaian hidup



seumur



Yoshijiro Menteri Perang



Kejahatan terhadap Penjara perdamaian hidup



seumur



Tabel 3 - Pejabat Militer yang Diadili di Peradilan Tokyo NO.



NAMA



JABATAN



DAKWAAN



PUTUSAN



1.



Nagano Osami



Komandan Laut



2.



Jenderal Kenji Doihara



Komandan Pasukan 1. Kejahatan Pidana mati Kwantung dan Singapura terhadap perdamaian 2. Kejahatan terhadap perang



3.



Jenderal Kimura



Angkatan Tidak didakwa karena meninggal dunia akibat penyebab yang wajar



Heitaro Komandan Pasukan di 1. Kejahatan Pidana mati Korea terhadap perdamaian 2. Kejahatan terhadap perang 3. Kejahatan terhadap



kemanusiaan 4.



Jenderal Iwane Matsui



Komandan Pasukan di 1. Kejahatan Pidana mati Cina terhadap perang 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan



5



Jenderal Akira Muto



Komandan Pasukan di 1. Kejahatan Pidana mati Sumatra terhadap perdamaian 2. Kejahatan perang 3. Kejahatan terhadap kemanusiaan



6



Jenderal Hideki Tojo



Kepala Polisi Manchuria



7



Kolonel Hashimoto



8



General Jiro Minami



Rahasia 1. Kejahatan Pidana mati terhadap perdamaian 2. Kejahatan perang 3. Kejahatan terhadap kemanusiaan



Kingoro Komandan beberapa Kejahatan pasukan, termasuk terhadap artileri saat serangan perdamaian Nanking Komandan Kwangtung



Pasukan Kejahatan terhadap perdamaian



Penjara hidup



seumur



Penjara hidup



seumur



Daftar Pustaka Sumber Buku Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, George Allan & Unwin Publishers, London, 1985. Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional,: Kencana, Jakarta, 2014. Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006. Schabas, William, An Introduction to The International Criminal Court, Cambridge University Press, New York, 2008. Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Buku Seru, Yogyakarta, 2014. Sumber Internet Alton, Dean J., More About IMFTE: Georgia Law, The University of Georgia School of Law, https://libguides.law.uga.edu/c.php?g=177176&p=1164522. Erdian, International Military Tribunal (Nuremberg Tribunal): Milestone Pertama Pengadilan Militer Internasional di Dunia, https://jabar.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/artikel/pertamapengadilan-militer-internasional-di-dunia. Dokumen Hukum Charter of The International Military Tribunal for The Far East.