Tugas Ringkasan Buku DARI HUKUM KOLONIAL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Ringkasan Buku DARI HUKUM KOLONIAL KE HUKUM NASIONAL Soetandyo Wignjosoebroto Bagian III



Oleh: Hamdan Alif Darmawan



(031911133196)



Anissa Mitasyasqia



(031911133198)



I Gusti Ngurah Anantha Wikrama Jayaningrat



(031911133206)



Stefania Arshanty Felicia



(031911133216)



Nurasyifah Khoirala



(031911133220)



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2019



BAB X PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA PADA MASA PERALIHAN PASCAKOLONIAL (1940 – 1950)



Periode lima puluh tahun yang terbentang antara tahun 1940 dan 1990 adalah periode pasca kolonial yang didahului oleh serangkaian krisis dan pergolakan-pergolakan yang menandai adanya situasi peralihan kekuasaan politik. Inilah



periode



yang



ditengarai



oleh



peristiwa



sejarah



runtuh



dan



terdisintegrasikannya kekuasaan kolonial, yang kemudian disusul oleh prosesproses dekolonisasi. Perkembangan tata dan sistem hukum Indonesia sepanjang periode ini dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan utama. Pertama-tama perkembangan sepanjang masa transisi yang penuh pergolakan (1940-1950), berikutnya perkembangan pasca revolusi fisik yang ditengarai oleh eksperimen pemerintahan Presiden Soekarno yang diawali dengan dekritnya untuk ”kembali ke UUD 1945” dengan upaya sesudah itu untuk menegakkan apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (1950-1966), dan akhirnya adalah masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menamakan masa kekuasaan pemerintahannya dengan sebutan Era Orde Baru (1966-1990). Sepanjang periode pascakolonial ini pembangunan hukum Indonesia (bukan lagi



Hindia-Belanda!)



mulai



dikerjakan berdasarkan



kebijakan



nasional



sebagaimana digariskan oleh pemuka-pemuka berkebangsaan Indonesia. Berbeda dengan kebijakan kolonial abad 19 dengan bewuste rechtspolitiek-nya, yang akan membuat para pengambil keputusan lebih ribet dengan masalah pengembangan



hukum privat berikut upaya-upaya ikutannya untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh realitas dualisme, para pemuka nasional tampak nyata lebih melibatkan diri ke dalam kebijakan-kebijakan yang searah dengan kebijakan kolonial abad 20, ialah kebijakan yang lebih berseluk beluk dengan permasalahan ketatanegaraan dan/atau ketatapemerintahan, khususnya soal sentralisasi dan desentralisasi. PERKEMBANGAN PADA MASA AKHIR KEKUASAAN HINDIA – BELANDA Pada saat terjadinya kapitulasi kekuasaan Hindia – Belanda dan bermulanya pemerintahan militer Jepang di Indonesia, tata hukum modern berdasarkan model dari Eropa Daratan telah menampakkan perkembangannya di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa perubahan tata hukum model Eropa Daratan terbilang lamban dan sering terhambat oleh kontroversi-kontroversi antara puak universalis dan puak partikularis, perkembangan itu sedikit atau banyak telah menampakkan wujud sosok yang berkontur jelas. Kodifikasi dan unifikasi yang dicita-citakan sejak lama (dikemukakannya bewuste rechtpolitiek pada pertengahan abad ke-19) baru terwujud dalam bidang hukum pidana materiil saja, itupun hanya dengan tata peradilan dan karena itu juga dengan hukum acara pidana yang masih berbeda dan terpisah menurut kebijakan dualisme. Hingga saat pecahnya Perang Pasifik, unifikasi hukum perdata untuk seluruh golongan penduduk tetap dipandang belum mungkin dilaksanakan. Seluruh keberatan awal yang bersebab dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi pemerintahan tentang mahalnya biaya untuk mendukung penyelenggaraan badan-



badan



pengadilan



yang



akan



mengoperasionalkan



hukum



yang



akan



diunifikasikan secara menyeluruh untuk semua golongan penduduk tanpa pengecualian, kemudian sebabnya yaitu ada keberatan yang berpangkal pada keyakinan adanya relativisme budaya yang didukung oleh paham liberalisme kaum partikularis dan yang dipengaruhi oleh tesis-tesis puak pendukung historisme. Walhasil, tiba detik-detik runtuhnya kekuasaan kolonial, unifikasi hukum privat dan unifikasi lembaga-lembaga peradilan di Indonesia belum terwujud. Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah terkodifikasi dan hukum adat yang



sekalipun



plural



namun



dicita-citakan



pada



suatu



waktu



akan



dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku. Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan menurut Pasal 109 Regeringsreglement tahun 1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagai Pasal 163 Indische Staatsregeling yang berlaku sejak tahun 1925 sebagai pengganti Regeringsreglement tahun 1854. Dapat kita pahami bahwasanya sampai akhir kekuasaan kolonial-pun mengisyaratkan bahwa tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia. Demikian kenyataannya. Penduduk Hindia – Belanda tetap dibedakan menjadi 3 golongan (Eropa, Pribumi, dan Timur Asing). Golongan Eropa secara ipso jure merupakan orang-orang berbangsa Eropa, bangsa Jepang dan orang-orang Min yang di negeri asalnya juga dikenai hukum keluarga yang serupa atau asas dengan hukum keluarga menurut hukum Belanda(1). Golongan pribumi merupakan seluruh penduduk asli di tanah Hindia



– Belanda, kecuali mereka yang telah menundukkan diri secara penuh dan sukarela ke dalam hukum golongan lain atau telah tergabung ke dalam golongan itu dan tidak hendak masuk kembali ke dalam golongan asalnya(2). Sedangkan pada golongan Timur Asing merupakan seluruh golongan yang tidak termasuk pada kedua golongan yang di sebutkan sebelumnya(3). Kolonial tidak hanya mengatur tentang pembedaan tentang ras dan golongan, namun juga mencoba mengatur asas-asas umum yang harus diikuti oleh badan perundang-undangan kolonial ketika harus membentuk atau membuat undangundang yang tertera pada Pasal 131 Indische Staatsregeling tahun 1925, yang berasal dari modifikasi dari Pasal 75 Regelingsreglement tahun 1854. Aturan tersebut terus dilaksanakan hingga pada akhir kekuasaan kolonial di tanah jajahan. Dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling tahun 1925, ordonansi Belanda mengatur tentang kedudukan posisi hukum perdata (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Kopphandel) dan hukum dagang yang harus bersifat Konkordansi bagi orang-orang Eropa, dan apabila ada penyimpangan dari asas Konkordansi hanya dapat dilakukan oleh pembuat undang-undang manakala keadaan khusus di Hindia – Belanda mengharuskan hal itu, atau apabila orang-orang Eropa di Hindia Belanda ini ditundukkan ke hukum yang juga diberlakukan secara bersama-sama untuk golongan penduduk yang lain atau untuk sebagian daripadanya. Demikian ini dinyatakan dalam Pasal 131 ayat 2 (a) Indische Staatsregeling tahun 1925. Hukum yang tertulis dalam Pasal 131 ayat 2 (a) Indische Staatsregeling tahun 1925 juga dapat berlaku pada golongan Pribumi dan Timur Asing bila diundangkan sebagai hukum yang berlaku ke seluruh golongan penduduk tanpa



kecuali. Kecuali karena alasan yang disebutkan di muka. Dalam perihal lain, ordonansi menyebutkan akan tetap menghormati hukum adat dan hukum agama golongan penduduk yang bukan orang Eropa, sekalipun kemungkinan masih tetap terbuka untuk mengabaikan hukum agama dan hukum adat itu manakala dikehendaki demi kepentingan umum atau demi pemenuhan kebutuhan baru yang dirasakan dalam masyarakat. Pasal 131 ayat 3 Indische Staatsregeling tahun 1925, mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Untuk golongan Eropa tetap mengikuti aturan ordonansi dan bersifat Konkordansi. Namun di dalam praktiknya di Hindia – Belanda para penguasa menambahkan beberapa ayat penunjang dan disepakati bersama sebagaimana keadaan lapangan yang ada di tanah jajahan untuk orang Eropa ataupun seluruh golongan penduduk yang ada di Hindia – Belanda. Pasal 131 ayat 2 (b) Indische Staatsregeling tahun 1925, pemerintahan Hindia – Belanda sebenarnya telah memantapkan aturan mengenai kebijakan dualisme hukum di tanah jajahannya, namun di sisi lain dalam pihak dalam juga memungkinkan progresivisme dalam perkembangan dan pengembangan hukum untuk orang-orang pribumi. Ketentuan tersebut sebenarnya berasal dari ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 75 Indische Staatsregeling yang telah dirumuskan kembali berdasarkan ajuan amandemen Van Idsinga pada tahun 1920. Dengan pengadaan amandemen tersebut, pemerintah Hindia – Belanda sesungguhnya telah meninggalkan niat-niat dan kebijakan-kebijakan lamanya untuk memberlakukan hukum privat Barat lewat perundang-undangan kepada



golongan



Pribumi.



Namun



pada



tahun



1927



tercipta



undang-undang



ketenagakerjaan yang membuat Pasal 131 ayat 2 (b) Indische Staatsregeling tahun 1925 tidak menjadi acuan untuk menjalankan kegiatan dalam hukum yang berlaku di Hindia – Belanda. Dengan begitu, pasal tersebut tidak terunifikasi lagi. Dan berarti pula, dari tahun 1927 sampai pendudukan Jepang pada tahun 1942 kebijakan kolonial Belanda ditandai dengan kembalinya kebijakannya ke dualisme hukum, tetapi dualisme yang lurus/tercerahkan/yang sebenar-benarnya dualisme. Seiring dengan menuju terjadinya Perang Dunia ke-II, upaya kolonial untuk menciptakan corak Unifikasi hukum di negeri jajahan tidaklah dapat terwujud dengan sempurna. Dalam prosesnya, mereka beberapa kali mengalami kegagalan. Akan di ganti dengan beberapa upaya apapun dan dengan cara apapun, masyarakat dengan pluralismenya secara yurisdiksi akan tetap berpegang teguh pada hukum adatnya sendiri.



PERKEMBANGAN TATA HUKUM DI INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942 – 1945) Begitu Jepang berhasil singgah dan menduduki Nusantara dengan mengusir Belanda dari tahta yang telah Belanda duduki selama tiga abad lamanya, pemerintah langsung membagi Nusantara menjadi tiga wilayah komando, yang pertama adalah pulau Jawa dan Madura, yang kedua adalah Sumatera yang dikontrol dan Singapura sebagai pusatnya, dan yang ketiga adalah Indonesia bagian timur.



Dalam menjalankan kekuasaan yang ada di Nusantara, Jepang didalam undang-undang bala tentara Jepang (Osamu sirei) tahun 1942 No, 1, yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintaha semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan peraturan-peraturan militer Jepang. Peraturan perundang-undangan serupa juga dimaklumatkan untuk dua wilayah lain di bekas daerah jajahan Hindia – Belanda. Perubahan dalam pemberlakuan hukum yang berlaku di masa kedudukan Jepang di Nusantara tidaklah banyak dan sedikit berubah, namun banyak menyisakan luka yang tidak dapat terlupa oleh penduduk Nusantara. Perubahan yang dimaksudkan yaitu juga dikenakannya hukum perdata yang semula berlaku hanya untuk golongan Belanda, kini dilaksanakan juga oleh golongan orang-orang Cina. Dalam praktiknya, hukum adat tetap berlaku untuk orang-orang golongan Pribumi. Dalam peraturan perundangan sedikit diberi imbuhan beberapa peraturan militer oleh pemerintah jepang yang mengatur mengenai bentuk Pidana, dan diberlakukan untuk seluruh golongan lapisan yang ada pada tanah Nusantara. Tidak semua yang dibawa Jepang tidak bermanfaat, Kontribusi yang paling penting yang diberikan kepada sistem hukum Indonesia adalah dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan. Kini hanya ada satu sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk (kecuali orang-orang Jepang). Badan pengadilan tertinggi adalah Hoggerechtshof yang pada saat kedudukan Jepang disebut sebagai Saiko Hoin, dan peradilan yang lainnya yaitu



Raad van Justitie (Koto Hoin), Landraad (Tiho Hoin), Landgerecht (Keizai Hoin), Regentschapsgerecht



(Ken



Hoin),



dan



Districtgerecht



(Gun



Hoin).



Residentiegerecht yang pada masa kekuasaan Hindia – Belanda mempunyai yurisdiksi khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kini dihapus. Dalam upaya Unifikasi, Fungsi officieren van justitie (yang bekerja dibawah arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Eropa) dan fungsi jaksa yang bekerja di bawah arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Indonesia yang perkaranya harus diperiksa di Landraad kini disatukan dalam Kensatzu Kyoku yang diorganisasi menurut tiga peringkat peradilan. Selama berada di Nusantara, Jepang tidak ingin membuang-buang waktunya untuk melakukan perubahan fisik terlebih dahulu pada Nusantara. Jepang fokus pada tujuan utamanya untuk mencari sokongan bantuan untuk mempersiapkan pasukan untuk menyokong perang Asia Timur Raya yang sedang Jepang hadapi saat itu. Tatanan-tatanan yang ada saat masih kependudukan Belanda oleh pemerintah Jepang hanya diteruskan kembali dan akan dihapuskan apabila bersimpangan dengan aturan yang pemerintah Jepang bawa. Hal tersebut untuk mempersingkat waktu dalam melakukan perubahan struktural yang dapat dikatakan hanya sekadar ”membuang warna kekuasaan Belanda” untuk digantikan dengan ”warna kekuasaan Jepang”. Reorganisasi badan-badan pengadilan juga diadakan karena sebenarnya Jepang ingin meniadakan kesan perlunya orang-orang Eropa diperlakukan khusus di hadapan orang-orang Asia. Jepang juga melakukan obral jabatan dengan



mengisi bagian-bagian kekuasaan penting yang rumpang dengan Pribumi yang memang ahli di bidang tersebut yang sebelumnya di masa kedudukan Belanda telah diajarkan mengenai bidang-bidang tersebut. Yang mengisi bagian rumpang tersebut merupakan rechtsambtenaren dan bestuurambtenaren pribumi didikan Belanda untuk menjamin berlanjutnya roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum. Hal tersebut menggelorakan nasionalisme pribumi dan menggerakkan aktivitas politiknya, sedangkan di lain sisi pihak Jepang memerlukan isyarat baik dari para pemuka dan rakyat Indonesia untuk mendukung usaha-usaha memenangkan perangnya. Reorganisasi yang harus terlaksana pada badan-badan pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian (dihapuskannya pembedaan antara polisi kota dan polisi lapangan/pedesaan) tentu saja harus disusul dengan pengangkatan awak-awak pelaksananya. Badan-badan pengadilan dengan segera diawaki oleh-oleh hakimhakim berkebangsaan Pribumi. Namun dalam pengangkatannya terdapat masalah insidentil yaitu berupa minimnya ketenagakerjaan yang tersedia pada golongan yang berkebangsaan Pribumi karena pendidikan yang diberikan oleh Belanda sangatlah dimampatkan untuk golongan Pribumi. Oleh karena itu, pemerintahan Jepang membuatkan sekolah profesi pendidikan singkat dalam bidang hukum untuk mengatasi kekurangan-kekurangan itu. Pendidikan yang lebih bersifat pelatihan daripada pendidikan dalam arti sebenarnya ini hanya berlangsung selama 1 tahun, dengan lulusan yang berjumlah sebanyak 150 orang lulusan yang telah dihasilkan, dan banyak diantara mereka tetap bekerja sebagai hakim atau jaksa sepanjang karirnya.



Lewat kesempatan-kesempatan seperti itu pemuka-pemuka di Indonesia dapat belajar dan menyiapkan diri dalam banyak pengelolaan pemerintahan dan kehakiman sebuah negara modern yang pada masa lampau banyak didominasi oleh orang-orang Belanda. Dan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan beberapa saat kemudian pada suatu hari di tahun 1945, pengalaman yang diperoleh semasa pendudukan Jepang sangatlah berarti. Meskipun sudah tergambar dengan jelas bahwa hukum di Indonesia harus memiliki pedoman yang mutlak dan dapat dijadikan acuan tersendiri bagi masyarakat Indonesia kedepannya yang meliputi aspek-aspek substansi, struktur dan kultur – seperti yang dihadapi dengan penuh dilema oleh kolonial Belanda ketika harus mengelola suatu negeri yang penuh heterogenitas dan pluralitas – kini terambil-alih sebagai bagian dari masalah nasional yang pada dasarnya tidaklah jauh banyak berbeda.



PERKEMBANGAN TATA HUKUM DI INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950) Pada dasarnya dan pada awalnya, para pemuka Indonesia mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba lepas dari ide hukum kolonial. Namun, hal ini ternyata tidaklah mudah karena segala upaya yang telah dilakukan itu berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasi ide hukum itu ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin. Kesulitan lainnya yang timbul ialah, tidak hanya keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum modern yang terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial.



Bagaimanapun juga, seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asasasas yang telah digariskan sebelum kekuasaan kolonial tumbang. Dasar-dasar konstitusionalnya dapat ditemukan dalam Regerings-reglement 1854 yang dipergunakan sampai masa akhir kekuasaan kolonial dan dinyatakan terus secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Asasasas itu ialah asas supremasi hukum yang selayaknya dan sedapatnya diunifikasikan,



dengan



penyelenggaraan



peradilan



berdasarkan



asas



ketidakberpihakan, yang karena itu harus mengenal pembagian kekuasaan, dan selayaknya diupayakan secara profesional oleh suatu korps kehakiman yang terpisah dan terbebaskan dari kekuasaan eksekutif. Sementara itu, para yuris yang telah berguru kepada guru-guru Belanda memiliki kesulitan untuk menemukan pemikiran yang lateral dan menerobos, serta telah terprakondisi oleh doktrin-doktrin yang telah ada. Namun, bukan berarti para pemuka hukum di indonesia tidak memiliki ide-ide baru untuk melepaskan diri dari hukum kolonial. Usul-usul inovatif untuk membuat terobosan, seperti usul Muhammad Yamin untuk memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung guna melakukan peninjauan-peninjauan dan penilaian terhadap seluruh produk perundang-undangan yang ada terbentur pada keberatan Soepomo yang lebih menyukai model-model kelembagaan ketatanegaraan yang selama ini sudah dikenal dengan baik oleh pakar-pakar hukum Indonesia. Alasan lain mengapa pola lama yang telah dikenal sejak zaman kolonial dipertahankan adalah lebih dipilihnya hukum ini untuk mencegah terjadinya



kevakuman atau kekosongan hukum. Hukum kolonial yang bersifat sekuler dan netral dapat menengahi dan mencegah pendesakan hukum Islam, dan mampu mengkooptasi hukum adat sebagai bagian dari hukum kolonial.



Tugas



yang



harus dikerjakan pertama-tama oleh para pendiri Republik ialah merancang dan menegaskan hukum dasar yang akan menjadi landasan dan kerangka konstitusional seluruh tata hukum dan tata pemerintahan di Indonesia. Setelah merancangkan Undang-Undang Dasar dan Pancasila, pemerintah tidak lagi berdaya untuk menata ulang seluruh sistem hukum Indonesia secara total dan dalam waktu yang singkat. Hukum Kolonial yang ditinggalkan oleh pemerintah Belanda ini diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sesuai pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas bahwa " Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini". Unifikasi badan-badan pengadilan yang telah diperkenalkan pada masa pemerintahan militer Jepang, diteruskan oleh pemerintah Indonesia dan melanjutkan proses penyederhanaannya. Gun Hoin (districtsgerecht), ken Hoin (regentschapsgerecht), dan Keizai Hoin (landsgerecht) ditiadakan dan dialihkan fungsi ke Tiho Hoin (Landraad) yang kini dinamakan Pengadilan Negeri. Koto Hoin (Raad van Justitie) dijadikan pengadilan tingkat banding atau Pengadilan tinggi, sedangkan Saiko Hoin (Hooggerechtshof) dijadikan pengadilan pemeriksa perkara-perkara kasasi atau Mahkamah Agung. Reorganisasi badan-badan pengadilan semasa periode revolusi ini bolehlah ditenggarai sebagai suatu strategi politik untuk menyatukan Indonesia di bawah



satu kekuasaan nasional, dan tentu saja di bawah satu kekuasaan organisasi peradilan nasional. Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan antara tahun 1945-1950 mengalami sedikit komplikasi ketika kekuasaan Jepang runtuh yang kemudian berimbas kepada klaim Hindia Belanda (secara de jure) sebagai satusatunya penguasa politik yang sah. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakui, kecuali kemudian diakui secara terbatas sebagai kekuasaan de facto. Terbilang ke dalam barisan Sekutu yang menyatakan diri sebagai pemenang perang, Belanda berhasil memulihkan kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1946 dan kembali mencoba merebut wilayah Indonesia. Tak ayal di daerah kekuasaan Hindia belanda pasca-perang --yang sejak tahun 1948 juga menamakan dirinya Indonesia-- hukum lama diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan aturan peralihan apapun, dan produk perundang-undangan pemerintah militer Jepang tidak lagi berlaku. Produk-produk perundang-undangan baru yang dihasilkan dan diundangkan, sebagian berupa peraturan-peraturan lokal yang dibuat oleh negara-negara semi-independen (seperti Negara Indonesia dan Negara Madura) yang dibuat dibawah kekuasaan sentral Hindia Belanda. Hukum buatan Republik Indonesia pun masih dinyatakan berlaku kecuali hukum Republik itu dianggap bertentangan dengan ketentraman dan ketertiban umum. Landgerechten diteruskan untuk mengadili perkara-perkara semua golongan penduduk dan badan pengadilan adat dan swapraja tetap diteruskan tetap diteruskan, kecuali di daerah Sumatera Timur yang sudah terlanjur tiada sebagai akibat revolusi sosial terhadap sultan-sultan Melayu yang berkuasa. Selain itu,



penyelenggaraan peradilan oleh pengadilan agama dan peradilan desa tetap berjalan. Pada tanggal 27 Desember 1949, ditemukan solusi atas masalah persengketaan mengenai perebutan kedaulatan di Indonesia. Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lahirlah sebuah republik federal (Republik Indonesia Serikat) dimana Indonesia menjadi negara semi-independen di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1950, satuan satuan kenegaraan seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan beberapa satuan negara bergabung menjadi sebuah negara republik kesatuan. Sepanjang sejarah pada masa RIS, sumber pembuatan hukum perundangundangan yang utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan oleh Republik yang satu ini telah diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai hukum Indonesia (berdasarkan pasal 192 konstitusi RIS 1949). Hukum ini pun diteruskan berlakunya pada tahun-tahun berikutnya (berdasarkan pasal 142 Undang Undang Dasar Sementara) dan memberikan garis-garis besar yang nyata mengenai haluan strategik perkembangan hukum di Indonesia, baik yang berkenaan dengan substansi hukumnya maupun yang berkenaan dengan susunan badan-badan peradilannya.



BAB XI PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA PASCA REVOLUSI FISIK PADA ZAMAN PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEKARNO (1950-1966)



Dengan berakhirnya riwayat Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17



Agustus



1950,



sebuah



negara



berbentuk



republik



kesatuan



lahir



menggantikannya. Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang hanya berfungsi selama tidak lebih dari 8 bulan digantikan oleh undang undang dasar baru, yakni Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (diumumkan sebagai Undang Undang no. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam Lembaran Negara Tahun 1950 no. 56). Seperti dua Undang Undang Dasar yang ada sebelumnya, UUDS ini menganut asas tetap memberlakukan semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada sebelumnya. Pasal 142 UUDS menyebutkan bahwa "Peraturan-peraturan perundang-undangan dan ketentuanketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar (yang baru) ini". Dalam praktek penunjukan atau penyebutan secara khusus mana sajakah peraturan perundang-undangan dan ketentuan tata usaha yang masih berlaku,



dicabut, diubah atau ditambah tidaklah mudah dilakukan. Selain itu, kepastian hukum pun sebenarnya tak juga mudah di jamin sebab kepastian hukum bukan merupakan hal yang paling utama dituju oleh pasal peralihan seperti pasal 142 Undang



Undang



Dasar



Republik



Indonesia



Serikat



itu.



Sekalipun sudah bertekad mendirikan negara kesatuan, pluralisme golongan rakyat dan pluralisme hukumnya dikaidahi dalam pasal 24 ayat 2 UUD RIS yang berbunyi "perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan". Namun pasal ini dianggap merujuk kepada pluralisme yang terlanjur ada, bukan sebagai kebijakan untuk membuat dan meneruskan pluralisme hukum. Tugas-tugas yang dibebankan oleh ketentuan-ketentuan konstitusional guna membangun hukum nasional bukanlah tugas yang ringan. Dilema antara realisme pluralisme (yang telah dominan sejak zaman kolonial) dan cita-cita unifikasi (yang merefleksikan persatuan dan kesatuan Indonesia) tidaklah mudah diatasi begitu saja. Pilihan yang dibuat pun tidak hanya bersifat sosial-yuridis saja, melainkan sifat politik-ideologik pula. Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi 2 subperiode, yaitu subperiode 1950-1959 yang berlangsung di bawah arahan UUDS dan subperiode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD 1945 (yang diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959). Subperiode sebelum dekrit presiden boleh dibilang merupakan subperiode yang penuh pertimbangan, keraguan, dan perdebatan dalam suasana demokrasi parlementer, sedangkan subperiode sesudah dekrit presiden itu ialah subperiode



yang boleh dibilang merupakan subperiode yang telah disemangati oleh tekad dan kebijakan dalam suasana demokrasi terpimpin. PEMBANGUNAN HUKUM PADA SUBPERIODE 1950-1959 Masalah yang dihadapi parlemen pada periode 1950-1959 ini memang berat. Di sini orang belum juga selesai menegaskan apakah di Indonesia diputuskan pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat atau hukum Belanda. Manakala yang akan dipentingkan adalah revolusi bangsa adalah pemuasan kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan sosial yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat. Akan tetapi, manakala dipentingkan adalah citra dan kebanggaan nasional maka tak pelak hukum adat dilihat memantulkan kepribadian bangsa sebagai modal untuk mengembangkan hukum nasional yang benar-benar asli Indonesia. Kelompok politik Islam ikut serta mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional. Namun, hal tersebut hanya menjadi dambaan saja dan belum terangkat sebagai kebijakan yang terarah. Pada periode ini persoalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan oleh badan-badan pengadilan belum kunjung bisa diselesaikan. Namun, pada periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan, dimana kebijakan yang dianut untuk seluruh wilayah Republik, yakni peradilan yang diselenggarakan oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, masing-masing dengan kekuasaan untuk mengadili pada tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dengan UU nomor 90



tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah tindakan-tindakan untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia. PEMBANGUNAN HUKUM PADA SUBPERIODE 1959-1966 Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh apa yang disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku kembali UUD 1945. Dalam suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap segala hal yang berbau asing terasa demikian intensnya. Melalui Keputusan Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1960, digantikannya simbol hukum Indonesia dari figur Dewi Yustisia (dalam peradaban Eropa melambangkan keadilan) ke Pohon Beringin (dalam lingkungan budaya Jawa melambangkan pengayoman). Hampir bersamaan dengan dikeluarkannya aturan tersebut, MPRS bersidang dan menetapkan suatu ketetapan yg pada nomor II menegaskan bahwa setiap usaha untuk memperoleh kesatuan hukum harus memperhatikan benarbenar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk membentuk hukum nasional harus selalu bersesuaian garis-garis besar haluan negara dan harus pula didasarkan pada hukum adat. Pergantian simbol hukum tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di antara sistem hukum Indonesia. Produk hukum perundang-undangan pada periode ini adalah UU Pokok Agraria sehingga dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II BW dan hak-hak tanah menurut hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu. Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada



kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah hukum adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia. Undang-undang ini bermaksud membuat peraturan hukum yang berlaku untuk semua golongan penduduk tanpa kecualinya. Pada tahun 1961 pemerintah mengaktifkan kembali Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang telah diresmikan pada tahun 1958 yang kini berada di bawah kontrol langsung Menteri Kehakiman. Lembaga ini memiliki fungsi dan tugas untuk menjabarkan lebih lanjut asas-asas pembaharuan hukum Indonesia sesuai yang digariskan MPRS no. II tahun 1960 dan merancang hukum perundangan sesuai kepentingan bangsa. Lembaga ini berhasil menetapkan “Pokok-Pokok dan Asas-Asas Tertib Hukum Indonesia” yang menjelaskan hukum hukum nasional akan berunsurkan nilai kegotongroyongan dan berfungsi sebagai pengayom masyarakat. Lembaga ini mencita-citakan terwujudnya kodifikasi, unifikasi, pembakuan menuju keseragaman Menteri



Kehakiman



Sahardjo



mengingatkan



adanya



Maklumat



Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang menyatakan bahwa semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan peraturan perundangan baru yang mencabutnya. Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil, melainkan yang materiil saja. Hal ini diamini oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, Wirjono Prodjodikoro mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku



oleh hukum nasional tentang pertanahan. Selanjutnya Buku I BW mengenai Person dan Buku III BW mengenai kontrak seharusnya ditinjau ulang dan diganti. Perkembangan berikutnya, melalui Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung bertanggal 5 September 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia yang menegaskan niat dan kebijakan untuk menghentikan berlakunya kitab undangundang hukum perdata sebagai hukum positif. Hal ini membuat hakim gelisah karena diwajibkan menemukan hukum dari sumber lain dan menciptakan temuan baru yang anti kolonial. Kegelisahan juga dirasakan oleh pengacara yang sulit dalam memperkirakan temuan hakim yang akan digunakan untuk mengadili suatu perkara dan dikhawatirkan hakim akan menjadi subjektif dan semena-mena. Di mata akademisi, Surat Edaran ini dianggap sebagai langkah ngawur yang tak mengindahkan tata krama karena tidak menghormati asas kepastian hukum dan merusak ajaran Stuffenban yang dikemukakan Kelsen tentang tertib hirarki perundang-undangan.



BAB XII PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA SEPANJANG MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU (1966-1990)



Pada tahun 1966, perubahan besar terjadi dalam kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah digantinya kebijakan dasar pemerintah menjadi kebijakan melaksanakan Undang-undang Dasar secara murni dan konsekuen dan melaksanakan pembangunan. Pancasila dijadikan landasan idiil, sementara UUD menjadi landasan konstitusional dalam setiap kegiatan. Soal kemiskinan dan ekonomi menjadi permasalahan yang paling mendesak untuk dipecahkan. Sehingga, indikator keberhasilan perjuangan bangsa menjadi pembangunan ekonomi, dengan bersikap low profile dalam politik internasional. Pemerintah memprioritaskan kebijakan menahan laju inflasi, infrastruktur, investasi, ekspor, swasembada pangan, dan kebutuhan sandang-pangan-papan. Perusahaan asing yang diambil, kemudian dikembalikan di tangan pemiliknya. UU Penanaman Modal Asing dibuat dan diundangkan untuk menarik investasi dari luar. Kabinet Pembangunan 1968 menjadi titik awal perubahan. Peran partai politik dan masyarakat sipil berkurang, sementara peran militer (dwifungsi ABRI) menjadi dominan. Hal ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas nasional agar para teknokrat dapat leluasa membangun ekonomi. Pemerintah berhak menunjuk dan mengangkat anggota DPR dan MPR tanpa militer, dipengaruhi kekuasaan eksekutif yang dikontrol militer.



Peran hukum berubah menjadi bagian dari sarana pembangunan. Pernyataan “Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum” digaungkan, sehingga muncul dua sisi: sebagai tool of social engineering dan sarana melindungi HAM. MENGEMBALIKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM Perkembangan hukum nasional Orde Baru diupayakan untuk memulihkan kewibawaan hukum dan menentang setiap bentuk usaha untuk memperhamba hukum kepada kepentingan dan tujuan politik. Tap MPRS No. XX (5 Juli 1966) mengatur Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia yang dimaksudkan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ditetapkan pula bahwa Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi, dan Surat Perintah 11 Maret 1966 adalah sumber dari segala sumber hukum. Hal ini berarti setiap peraturan perundangan Indonesia harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku yang lebih tinggi tingkatnya. Rencana Pembangunan Lima Tahun I 1969 mengakui pentingnya peran hukum dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Ini karena tanpa pembangunan di bidang hukum, maka pembangunan di bidang ekonomi menjadi sia-sia. Naskah ini merujuk pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan rule of law yang terjamin, yang mencakup (1) HAM dilindungi; (2) peradilan harus bebas dan tidak memihak; dan (3) asas legalitas dipegang teguh dalam menjalankan hukum formil dan hukum materiil. Untuk itu, dibuatlah Undang-undang Pokok nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.



Ketentuan-ketentuan mengikat yang diberlakukan di era Orde Baru diperlukan untuk mengesankan keharusan membatasi kekuasaan eksekutif. Ini karena di masa Orde Lama, kekuasaan Presiden amatlah eksesif, baik secara jabatan maupun intervensi hukum yang berlebihan. Untuk menjadikan hukum pada era Orde Baru menjadi Hukum Pembangunan, ide-ide untuk tidak meneruskan hukum kolonial Barat mulai ditinggalkan, seperti yang dulunya kerap dikemukakan. Para hakim di pengadilan mulai merujuk keputusan hukumnya kembali pada pasal-pasal di Burgerlijk Wetboek. Di lapangan, sering terjadi legal gaps dan permasalahan yang sulit dijabarkan dan diimplementasikan lewat cita-cita rule of law. Bahkan, hukum sering dijadikan hanya sebagai sarana dan harus berkhidmat pada tujuan pembangunan itu sendiri, hingga merasionalisasikan kebijakan pemerintah khususnya eksekutif.



HUKUM DIFUNGSIKAN SEBAGAI SARANA UNTUK MEREKAYASA MASYARAKAT Para yuris mencoba mencari pendekatan baru terhadap studi hukum untuk merelevansikan permasalahan dan fungsi hukum dengan permasalahan makro, yang tak hanya terbatas pada persoalan normatif dan litigatif. Mochtar Kusumaatmadja



mengajak



para



ahli



hukum



untuk



mempertimbangkan



digunakannya pendekatan pendekatan sosiologik untuk sosial-ekonomi, yang dinamakan sociological jurisprudence atau legal realism. Menekankan konsep Roscoe Pound, dimana law as a tool of social engineering, Mochtar



berargumentasi bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah diperlukan oleh negara-negara berkembang. Para ahli hukum juga harus ikut memikirkan dan membantu tindakan mengefektifkan hukum untuk terjadinya perubahan yang terkontrol, tertib, dan teratur. Mochtar tidak begitu percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli pribumi harus dilestarikan seperti pada hukum kolonial. Karena, seperti kata Raymond Kennedy, kebijakan anti-acculturation itu tidak menguntungkan. Hukum nasional harusnya tidak tergesa-gesa dibangun dan diputuskan; baik itu meneruskan hukum kolonial saja atau memgembangkan hukum adat sebagai hukum nasional. Perlu dilakukan penelitian dimana bagian hukum yang bisa dikembangkan, yakni kontrak, badan usaha, dan tata niaga; dan bagian yang dibiarkan saja, seperti masalah spiritual dan budaya. Pemikiran Mochtar memang bukan satu-satunya, namun sangat penting dan berpengaruh di era Orde Baru. Idenya mengenai kodifikasi dan unifikasi terbatas secara selektif pada hukum yang tak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun. Hukum saat itu difungsikan hanya untuk merekayasa kehidupan ekonomi saja, tidak sampai pada seluruh aspek masyarakat, sesuai keinginan pemerintah Orde Baru. Dengan cepat infrastruktur pembangunan nasional disiapkan ketika ide hukum seperti ini diberlakukan. Kelembagaan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi memberi jaminan kepastian yang penting. Hal ini menjadi hukum nasional modern yang



menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu. Ide hukum yang mementingkan regulasi ekonomi tersirat dalam pidato Presiden Soeharto dalam Lawasia 1973, dimana setiap pembangunan mengharuskan terjadinya serangkaian perubahan, bahkan yang fundamental. Hukum berfungsi menjadi pemuka jalan dan kesempatan menuju pembaharuan yang dikehendaki. Ide kodifikasi dan unifikasi terbatas selektif ditulis secara eksplisit dan resmi dalam naskah Rencana Pembangunan Lima Tahun II 1974, Bab 27 paragraf IV butir 1. Dijelaskan bahwa prioritas diberikan untuk meninjau kembali dan merancang peraturan perundang-undangan agar segala peraturan itu searah dan bersesuaian dengan pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di bidang pertanian, industri, pertambangan, komunikasi, dan perdagangan. Ini nantinya bertujuan ke arah pembinaan infrastruktur yang digunakan untuk mengintensifkan usaha memupuk kesatuan dan persatuan bangsa. Perintisan pembangunan



upaya



ekonomi



memfungsionalkan yang mengakomodasi



hukum



untuk



kepentingan



kepentingan industrialisasi



masyarakat modern memperoleh dukungan dan penolakan. Bagi pendukung paham hukum sebagai sarana perekayasa sosial, pernyataan ini didukung, khususnya bagi pengajar senior di Universitas Padjajaran. Sementara bagi yang menolak, hal ini dikatakan sebagai upaya yang terlalu menebal dari tradisi. Ada dua pihak yang tidak menyetujui; ada yang percaya akan kontinuitas hukum, dan ada yang percaya bahwa hukum harus berakar dari hukum rakyat atau adat.



KONTINUITAS



PERKEMBANGAN



HUKUM:



DARI



HUKUM



KOLONIAL KE HUKUM KOLONIAL YANG DINASIONALISASIKAN Pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia berdasar atas hukum yang telah diakui dan berkembang di kalangan bisnis internasional. Kalangan ahli hukum praktek, yang selama ini mempelajari hukum menurut tradisi hukum Eropa, mengembangkan hukum nasional Indonesia dari modal dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan Grundnorm Pancasila. Hukum kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang secara formal masih berlaku dan sebagian besar kaidah-kaidahnya merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kolonial sampai masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak kearah dan/atau menurut pola-pola hukum Eropa, dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional yang pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda. Hal ini juga berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai. Adopsi unsur-unsur hukum dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris mungkin terjadi, tetapi konfigurasi atau pola sistematiknya yang Eropa tidak mungkin diubah sama sekali. Sementara di Perguruan Tinggi, ada penganut yang menyebut hukum yang mengatur tentang tata niaga dengan nama hukum dagang. Penyebutan ini berbeda dengan penganut paham ‘hukum sebagai sarana



perekayasa sosial yang menyebut hukum sejenis itu’ dengan sebutan hukum ekonomi. Hal ini terkesan bahwa hukum dagang yang mengikuti tradisi Belanda masih dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan hukum ekonomi sudah banyak berunsurkan ihwal tindakan-tindakan publik-administratif pemerintah. Maka hukum dagang lebih tepat sebagai bagian dari pengatur mekanisme ekonomi pasar bebas, sedangkan hukum ekonomi lebih tepat sebagai bagian dari pengatur mekanisme ekonomi berencana. HUKUM NASIONAL SEBAGAI HASIL PENGEMBANGAN HUKUM ADAT Ide untuk mengangkat hukum adat menjadi hukum nasional sebenarnya sudah dikemukakan oleh nasionalis generasi pendahulu. Namun, ketika era Orde Baru bermula dan pencaharian model hukum nasional yang paling memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional, hukum adat sudah kehilangan pencetus-pencetus ide baru yang mampu bersaing. Tokoh-tokoh seperti Djojodigoeno dari Universitas Gajah Mada saat itu sudah pensiun dan tak mungkin terlampau aktif karena alasan politik dan kesehatan. Serta Koesnoe dari Universitas Airlangga yang saat itu sibuk dengan tugasnya sebagai guru besar (tamu) di Belanda. Sebenarnya, dasar pemikiran diangkatnya hukum adat menjadi hukum nasional bertolak dari paham Savignian, bahwa hukum itu tak mungkin dibuat dan dibebankan dari atas (sebagai atau tidak sebagai sarana perekayasa sosial) melainkan akan terus berkembang seiring berkembangnya masyarakat. Hal tersebut membuat para penganjur hukum adat kesulitan saat harus mengunifikasikan hukum adat yang berbeda-beda. Hingga



saat pembangunan di segala bidang harus segera dikerjakan, para pendukung hukum adat baru mampu mengingatkan bahwa hukum nasional itu harus berdasarkan hukum adat dan muncul dengan pernyataan “Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum.” Menurut Soerojo, salah satu ahli hukum adat, ada empat asas hukum adat yang dikatakan mempunyai nilai universal, yaitu asas gotong royong, asas fungsi sosial manusia dan miliknya, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, dan asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Ada lima pranata hukum adat yang juga dijumpai dalam hukum internasional, yaitu pranata maro ( dalam hukum internasional disebut production sharing contract), pranata panjer (dalam hukum internasional disebut commitment fee atau down payment), pranata kebiasaan (dalam hukum internasional disebut innocent passage), pranata dol oyodan atas tanah (dalam hukum internasional disebut voyage charter atau time charter), pranata jonggolan (dalam hukum internasional disebut lien atau mortgage). Dan dua contoh konsep dalam hukum adat yang bertujuan dengan fungsi yang sama dalam hukum internasional, yaitu konsep tanah wewengkon atau tanah ulayat yang dalam hukum internasional dikenal dengan konsep teritorialitas atau daerah yurisdiksi dan konsep hak meminta perlindungan ke bawah kekuasaan seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat yang dalam hukum internasional disebut hak asilum atau hak meminta suaka. Berdasarkan konsep tersebut, para pendukung hukum adat tak dapat bertindak selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan



kedayagunaan hukum dalam masyarakat. Namun, hal tersebut tidak dapat diwujudkan karena pada masa Orde Baru hakim tidak bisa mandiri dan bebas sebab adanya doktrin yang dianut dalam badan-badan pengadilan saat itu yang mengonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum. Hal ini juga didukung dengan adanya peran pendukung paham nasional sebagai hukum perekayasa dan adanya partisipasi politik militer yang kuat sehingga peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional semakin terdesak. Sementara itu, dalam kerangka kerja operasionalisasi hukum sebagai sarana perekayasa sosial, komitmen fungsi legislatif yang diharapkan sebagai pengefektif bekerjanya hukum nasional cenderung menampilkan dominasi pihak eksekutif. Hal ini karena pertama, ada dan selalu didayagunakannya wewenang konstitusional badan-badan eksekutif untuk terlibat ke dalam perancangan dan pembuatan undang-undang, yang dalam praktek membuat eksekutif lebih banyak berprakarsa. Kontrol eksekutif di dunia perundang-undangan bisa dilihat dari adanya Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, dll. Meskipun peraturan tersebut hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, dalam prakteknya menimbulkan efek perubahan pola kehidupan juga. Kedua, adanya kenyataan dalam perkembangan politik yang terjadi pada zaman Orde Baru yaitu kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif juga mampu mendominasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dapat dibuktikan yaitu pada tahun 1973 misalnya 100 dari 360 anggota dewan adalah anggota yang diangkat tanpa melalui pemilu tapi dengan ditunjuk oleh eksekutif



yang berasal dari fraksi ABRI. Dalam perkembangannya hingga akhir abad ke-20, hukum di Indonesia bisa benar-benar menjadi government social control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Sehingga selama masa pemerintahan Orde Baru, hukum perundang-undangan menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya seperti yang ada dalam kesadaran hukum masyarakat awam.