Ringkasan BAB VIII & BAB IX Dari Buku: "HUKUM KOLONIAL KE HUKUM NASIONAL" Penulis: Soetandyo Wignjosoebroto [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KELOMPOK SEJARAH HUKUM TENTANG Ringkasan BAB VIII & BAB IX Dari Buku : “HUKUM KOLONIAL KE HUKUM NASIONAL” Penulis : Soetandyo Wignjosoebroto



Disusun Oleh : Kelompok 4 1. 2. 3. 4.



Indra Rizki Rukhiyana Joko Sulistianto Mesak Soleman D. Matital M. Ega Nugroho P.



5219220016 5219220017 5219220018 5219220019



PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA 2019



1



BAB 8 USAHA-USAHA KERAS UNTUK MEMPERTAHANKAN TERUS BELAKUNYA HUKUM ADAT (1910-1942)



Argumentasi Van Vollenhoven



menghambat niat para pejabat kolonial untuk



menundukkan golongan rakyat pribumi ke hukum yang dibangun menurut prinsip-prinsip keadilan hukum Belanda. Sekalipun rancangan undang-undang Idenburg pada akhirnya diterima oleh Parlemen, namun amandemen van Idsinga telah menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tak tertulis – yang pada waktu telah dipopulerkan dengan sebutan hukum adat – hanya boleh digantikan oleh Hukum Eropa manakala dalam kehidupannya sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu. Perlawanan Van Vollenhoven dengan dalih Savignian dimana kebutuhan hukum pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa, maka dengan demikian penerapan Hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi sunggulah beralasan. Selain ini Van Vollenhoven membantah keras bahwa orangorang pribumi hidup tanpa mengenal hukum dan itu tidaklah benar bahwa memberikan Hukum Eropa kepada orang-orang pribumi akan berarti diperkayanya pribumi. Kompromi seperti ini rupanya melambangkan kemenangan para eksponen yang berpaham perlunya Hukum Barat (manakala dikehendaki) bias diterapkan untuk orangorang pribumi, dengan langkah-langkah (manakala hasil yang memuaskan dikehendaki) untuk memodifikasi dan menyesuaikan terlebih dahulu dengan nomenklatur timur. Kompromi itu juga melambangkan kekalahan yang mengecewakan para eksponen yang berpaham perlunya dengan segera (lewat pendidikan atau lewat penerapan hukum) orangorang pribumi dimasukkan ke Dunia peradaban Eropa, demi kemajuan orang-orang pribumi itu sendiri. Pada tahun 1919, sekali lagi Van Vollenhoven terpaksa harus mereaksi lagi dengan kerasnya sebuah usaha pemerintah yang nekat akan mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan , akan tetapi yang secara sepihak



Cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan 2



mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dipandang lebih inferior). Kali ini rancangan undang-undang itu datang dari dengan prakarsa Th. B. Pleyte. Ide unifikasi hukum



secara persistem diusahakan pemerintah tidaklah hendak



berakhir dengan prakarsa Pleyte pada tahun 1919 itu. Melainkan ketika unifikasi hukum pidana telah berhasil terlaksana pada tahun 1918, datanglah F.J.H. Cowan (Direktur Kehakiman pada pemerintahan



kolonial



di



Batavia) untuk



pada tahun 1923



mengintroduksikan rancangan undang-undang baru guna mengunifikasikan Kitab UndangUndang Hukum Perdata untuk Hindia-Belanda. Cowan mengajukan dua dalih pembenar untuk memperkuat argumentasinya yang mana Pertama ia mengemukakan alasan bahwa hukum adat yang tidak tertulis itu menimbulkan ketidakpuasan hukum dan apabila orang bersandar pada hukum adat maka sulitlah baginya untuk memperkirakan apa yang boleh dijangkau akan diputuskan hakim. Kedua, penerapan berbagai ragam untuk berbagai ragam golongan-golongan penduduk akan melahirkan situasi membingungkan dan kisruh. Selain itu Cowan juga bersikukuh bahwa motifnya bukanlah sekali-kali motif politik atau ekonomi. Disisi lain Van Vollenhoven tetap berpendapat bahwa rancangan Cowan mengabaikan sepenuhnya kenyataan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan hukum yang hidup tidaklah mungkin direkayasa dengan cara menerbitkan sesuatu aturan di dalam Staatsblad. Perlawanan ini kemudian menggugurkan usulan rancangan undang-undang Cowan. Van Vollenhoven sendiri sebetulnya tidak pernah menentang unifikasi hukum, karena pada dasarnya ia berpendapat bahwa terwujudnya hukum yang terunifikasi demikian memang pantas dikehendaki bersama. Yang tidak ia setujui adalah kebijakan untuk menundukan kelompok mayoritas yang pribumi kepada kelompok minoritas yang Eropa. Sekalipun begitu posisi hukum adat dan respect yang ditunjukkan orang kepadanya dalam praktik hukum di Indonesia, ternyata bertambah kukuh selepas tahun 1925 yang mana kemudian hukum adat mulai berhimpun di tanah Hindia sendiri. Mereka adalah yuris-yuris bekas murid Van Vollenhoven di Universitas Leiden dan sebagian daripadanya adalah dari anak-anak pribumi. Salah satu murid Van Vollenhoven juga berperan dalam pengembangan hukum adat dengan arahan agar dapat berfungsi sebagai hukum modern, 3



adalah B. Ter Haar Bzn yang merupakan seorang guru besar dari Universitas Leiden yang kemudian bertugas di Rechtshogeschool di Jakarta. Ter Haar Bzn mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam system common law (dan tidak lewat cara kodifikasi menurut tradisi hukum kontinental yang sebenarnya lebih disarankan oleh Van Vollenhoven). Ditangan Ter Haar, hukum adat telah memenuhi fungsinya sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilanperadilan Negara modern. Pola kerja yang tersusun menurut tradisi common law Anglo Saxon (yang diam-diam digunakan oleh Ter Haar) tak banyak disadari dan diketahui orang. Terlebih untuk bekerja pada pola civil law Kontinental, upaya mengangkat hukum adat yang berakar pada budaya suku ke taraf nasional pasca suku sondong hendak dikerjakan orang lewat proses perundang-undangan. Dan usaha demikian lebih sejalan dengan alur yang ditunjukkan Van Vollenhoven yang nyatanya juga tidak lebih mudah. Hukum adat sebagaimana hukum rakyat memiliki kekuatannya dalam wujud realitasnya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasian dan perubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Yuris professional sekarang tidak bias memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya jika diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence. Kodifikasi dan unifikasi bisa saja dilakukan, akan tetapi perbedaan akan selalu terkuak lebar antara apa yang dikaidahkan dan apa yang akan terwujud sebagai perilaku aktual. Pengalaman yang terjadi ialah dengan upaya mengunifikasikan hukum tanah dan hukum perkawinan telah membuktikan hal itu. Perbedaan cara pendekatan dan penggarapan hukum adat antara Van Vollenhoven dan Ter Haar membawa pula perbedaan dalam hal mengkonsepkan hukum adat dan dalam hal pilihan metodologi penelitiannya. Van Vollenhoven melihat hukum adat sebagai de beslissingen van de adatrechtsfunctionarissen (bagian dari kebijakan penguasa). Selepas tahun 1927-an, perkembangan keyakinan-keyakinan bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia di waktu yang akan datang, dan bahwa Hukum Eropa adalah



4



hukum kolonial yang tak akan mempunyai tempat utama dan peran yang dominan pada waktu-waktu yang akan datang.



BAB 9 PENDIDIKAN HUKUM UNTUK ANAK ANAK PRIBUMI DALAM KERANGKA KEBIJAKAN KOLONIAL YANG BARU Usaha di bidang kehukuman pemerintah kolonial mulai menyelenggarakan pendidikan dengan gaya klasikal seperti yang dianut Eropa, merupakan salah satu dari program



program pendidikan untuk mendidik anak – anak pribumi dalam bidang



kehukuman dan kehakiman. Perkembangan pendidikan kehukuman atau kehakiman tersebut mulai dari bentunya yang nyata



– nyata diarahkan guna memperoleh



rechtsambtenaren yang cakap dan berkepribadian menurut tolok – tolok Eropa untuk mengawaki sistem hukum kolonial yang hendak melayani kebutuhanhukum orang – orang pribumi. Ada tiga suasana sosio – politik dalam perkembangan pendidikan yang dialami oleh para pelajar hukum anata lain :



a. Suasana pendidikan Rechtsshool diawal dasawarsa 1910-an, dimana ketika itu anak – anak pelajar pribumi tidak mempunyai cita –cita apapun selain untuk menjadi anak asuh yang baik dibawah perwalian pejabat – pejabat Belanda yang paternalistik



dan



kelak



bisa



bekerja



sebagai



rechtsambtenaren yang



professional;



b. Suasana yang dialami para mahasiswa Universitas Leiden di sekitar tahun 1920an, dimana semasa mereka (sebagaimana dan bersama–sama mahasiswa– mahasiswa pribumi yang menempuh bidang–bidang kajian lain) mulai terdadah ke ideologi-ideologi politik dan kenegaraan modern, dan karena itu mulai pula menyadari eksistensi mereka sebagai warga bangsa yang memiliki kebudayaan yang unggul dan sejarah politik yang amat bermakna;



c. Suasana yang dialami dalam lingkaran Rechtshoogeschool selepas tahun 1925an, dimana semasa lapisan kaum terpelajar elit pribumi telah mulai marak 5



dengan ide–ide nasionalisme dan melahirkan pikiran–pikiran serba kritis yang cenderung menolak kendali–kendali perwalian paternalistik yang pada waktu itu tak hanya terpandang kolonial akan tetapi juga kolot.



Pendidikan Hukum pada perkembangan awalnya dan para pelajarnya



Di



Indonesia,



pendidikan



keahlian



dalam



ihwal



hukum



modern



yang



diselenggarakan secara khusus oleh sebuah institusi pemerintah berdasarkan kebijakan untuk mengembankan pemerintahan yang lebih tertib atas suatu negeri, bermula pada tanggal 26 Juli 1909, dimana pada tanggal itu sekolah menengah Opleidingsschool voor de Inlandshe Rechtskundigen dibuka dengan suatu upacara resmi di Pegangsaan, wilayah Jakarta Pusat. Awal mula berdirinya Opleidingsschool dilatarbelakangi oleh polemik– polemik tentang kuantitas dan kualitas peran yang boleh diharapkan dari anak–anak pribumi untuk masa–masa mendatang.



Sekolah



ini



telah berhasil diwujudkan sebagai bagian dari upaya untuk merealisasikan ide guna membu at modern tata peradilan kolonial khususnya yang sejak masa bewuste rechtspolitek telah dibina secara terarah untuk memenuhi kebutuhan hukum orang–orang pribumi dengan perekrutan



personil–personil kehakiman yang bisa disiapkan dari kalangan anak–anak



kaum elit pribumi sendiri, melalui pendidikan khusus dan ujian–ujian dinas. Semula jabatan–jabatan tinggi dalam pemerintah dan kehakiman ditanah jajahan itu hanya dapat diraih oleh mereka yang memenuhi syarat berpendidikan tinggi dan lulus ujian khusus yang disebut grootambtenaar examen yang dilaksanakan menurut peraturan yang berlaku (dalam pasal 1 Koninklijk Besluit bertanggal 10 September 1864, Stb. 1864 no 93) dan selama ini hanya boleh diikuti dan ditempuh oleh orang–orang yang berkebangsaan Belanda saja.



6



Pendidikan di Rechtsshool (1909 –1928) Penyelengaraan Kegiatan dan Hasil –Hasilnya Pendidikan keahlian hukum untuk anak – anak pribumi diresmikan berdirinya tanggal 26Juli 1909 dengan nama Opleidingsschool voor de Inlandshe Rechtskundigen dan ditutup secara resmi pada tanggal 18 Mei 1928 setelah beberapa lama dikenal dengan namanya yang baru sebagai Rechtsshool dan setelah berfungsi selama 18 tahun.



Rechtsshool ditutup bukan dengan alasan kegagalan, tetapi dengan suatu pertimbangan



yang



rasional



yang



mana



pada



saat



itu perkembangan pendidikan di Hindia Belanda telah memungkinkan berdirinya suatu lembagapendidikan hukum dengan taraf yang lebih tinggi lagi untuk memenuhi kebutuhan badan-badan pemerintahan dan badan –badan pengadilan, yang mana suatu taraf tersebut jelas belum dapat dicapai pada saat Rechtsshool didirikan pada tahun 1909. Penutupan dilakukan dengan cara tidak menerima siswa baru lagi sejak tahun 1925 dan sejak 28 Oktober 1924 telah berdiri sebuah lembaga pendidikan hukum penggantinya dengan berstatus pendidikan tinggi yang dinamai Rechtsoogesschool. Sekalipun hanya berperan selama kurang dari 19 tahun, Rechtsshool tak hanya berhasil meluluskan 189 lulusan, akan tetapi juga sanggup menghasilkan lulusan– lulusan yang diakui cukup bermutu sehingga banyak lulusan yang kemudian menuruskan studinya ke negeri Belanda.189 lulusan tersebut diantaranya 43 meneruskan studi ke Leiden dan lulus sebagai Master dan 5orang diantaranya bahkan melanjutkan studi dengan menulis disertasi dan meraih gelar Doktor. Keberhasilan tersebut kemudian merebut status dan peran ditengah–tengah situasi kolonial yang tengah berubah pada dasawarsa–dasawarsa 1910 dan 1920-an. Tentulah hal tersebut teidak terlepas dari dua variabel penting antara lain :



a. Kebijakan voogdij dalam politik kolonial yang tengah menganut de ethische koers, yang refleksinya dalam penyelenggaraan Rechtsshool tampak nyata dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikannya;



b. Sebagai determinan mempengaruhi keberhasilan pendidikan Rechtsshool adalah sifatelitik atau eliter pendidikan tersebut, dimana materi siswa yang diberi 7



kesempatan untuk belajar disekolah ini ialah materi – materi pilihan yang telah terseleksi secara ketat yang meliputi latar belakang sosial ekonomi dan status (keningratan) keluarganya. Prestasi tak mengecewakan yang diperlihatkan para lulusan Rechtsshool baik dalam praktek maupun dalam studi – studi lanjutan tentu saja tak hanya sebatas pada kedua variabel diatas, akan tetapi juga masih disebabkan oleh ketatnya Rechtsshool menjaga standar mutu pendidikan.



8