Tugas Tutorial 2 PIAN 20192 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Tutorial 2  1. Kelemahan dan Problema dalam Birokrasi 1). Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal:a. penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsionalb. terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas, impersonalitas dan hirarkic. kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasid. berlakunya pita merah dalam kehidupan organisasi 2). Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwabirokrasiadalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi seperti dikemukakan oleh K. Mertonlebihmerupakan “bureaucratic dysfunction” dengan ciri utamanya “trained incapacity”. 3). Usaha-untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori birokrasisistemperwakilan. Asumsi yang dipergunakan adalah bahwa birokrat di pengaruhi olehpandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitasadministrasi diorientasikan pada kepentingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrolinternal tidak dapat dijalankan. Sehingga dengan birokrasi sistem perwakilan diharapkandapat diterapkan mekanisme kantrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual amat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan. 1. Orang yang tepat di posisi dan pekerjaan yang tepat (the right man in the right place & job) Seharusnya, orang yang tepat berada di posisi yang tepat dan memiliki pekerjaan yang tepat pula. Mari kita perhatikan seksama dari pejabat setingkat menteri! Ada seorang menteri yang tiga kali menjabat di Kementerian yang berbeda dalam 1 periode, pertama beliau menjabat Menteri Perhubungan, kemudian menjadi Menteri Sekretaris Negara, dan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Begitu juga menteri lainnya. Apalagi tidak sedikit pejabat publik yang rangkap jabatan, bukan begitu? 2.Pekerjaan Rutinitas Sebagian pegawai negeri sipil dari pejabat struktural, fungsional dan staf hanya melakukan pekerjaan yang bersifat rutin. Buktinya, suatu masalah belum tuntas, masalah lain yang sama sudah ada lagi. Lihatlah pembangunan arena pertandingan dari mulai Sea Games 2011 di Palembang hingga arena pertandingan di PON Riau 2012. Pekerjaan rutin ini ada dua jenis: pekerjaan rutin sehari-hari sebagai tugas pokok dan pekerjaan rutin yang menuai kesalahan. Faktanya, kasus korupsi dan pungutan liar terus terjadi di pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa serta pungutan liar di pelayanan publik. Pegawai juga kurang siap terhadap perubahan-perubahan baik dalam kebijakan maupun informasi teknologi. 3.Lemahnya Sistem Manajemen Pengawasan Sistem manajemen yang sangat dasar ialah POAC yakni Planning, Organizing, Actuating, Controlling. Sistem POA sudah sangat baik dan sudah ada di setiap instansi. Namun, bagian terakhir yang cukup lemah yakni sistem manajemen pengawasan atau controlling. Pengawasan ini memang ada baik dari dalam (internal audit) maupun dari luar (external audit) dari BPK, BPKP dan KPK. Akan tetapi, jumlah pegawai yang ada tidak sebanding dengan jumlah pengawas yang ada. Pengawas (auditor) cenderung lebih sedikit daripada yang diawasi (PNS) ditambah luasnya pemerintahan daerah. 4.Kurangnya Transparansi Rekrutmen Pegawai Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di setiap instansi KLDI (Kementerian, Lembaga, Daerah dan Instansi) cenderung kurang transparan. Artinya, ada beberapa calon PNS yang masih berani untuk bayar formasi tertentu. Selain itu, ada pula beberapa ‘titipan’ dari anak pejabat-pejabat tertentu. Nepotisme dalam hal ini wajar, tetapi caranya yang kurang wajar. Nah, ini yang membuat pegawai itu tidak profesional dan jujur dalam bekerja, sehingga mereka bekerja dengan orientasi uang yang besar dengan cara apapun. 5.Kebijakan dan Keputusan tanpa Kajian atau Penelitian



Hampir setiap kebijakan dan keputusan dilakukan tanpa kajian atau penelitian. Pun ada kajiannya, namun kebijakan dan keputusan itu tidak mengacu pada kajian alias hanya sedikit saja. Terkesan pemerintah membuat keputusan dan kebijakan dengan perasaan (emosi) sesaat. Faktanya, kebijakan terhadap mobil dinas pemerintah (plat merah) dan BUMN wajib menggunakan bahan bakar jenis nonsubsidi alias premium dengan cara memasang stiker pada mobil tersebut. Alhasil, saat ini, belum semua mobil dinas plat hitam dengan stiker. Stiker di mobil mudah rusak terkena panas dan basah. Tidak ada kajian bagaimana caranya agar menghemat energi terutama BBM yang lebih efektif, aplikatif dan ilmiah. 6.PP No.53/ 2010 Perlu Ditegakkan dengan Tegas & Berani Peraturan Pemerintah ini perihal Pegawai Negeri Sipil, baik dari Kewajiban, Hak serta Sanksi Pelanggaran pegawai. Biasanya, sanksi yang tegas sesuai dengan PP No.53 Tahun 2010 terhadap PNS yang melanggar peraturan, kurang ditegakkan. Ini menyangkut kebijaksanaan pimpinan. 7.Sistem Kebijakan Kesejahteraan yang Memihak Remunerasi atau pembayaran tunjangan kinerja yang dibayarkan kepada PNS sesuai dengan kinerja mereka perlu dikaji ulang. Pasalnya, dalam sistem ini, pegawai yang bekerja lebih dari jam kerja yang ditentukan (dan benar-benar bekerja), aturannya belum ditetapkan. Ini salah satu contoh kebijakan kesejahteraan berupa tunjangan. Bahkan, yang bekerjanya kurang pun, mendapat tunjangan kinerja. Malahan, ada senior (yang sudah lama bekerja), minta 'grade' tunjangan lebih tinggi, karena baik yang sudah bekerja puluhan tahun maupun yang baru masuk (2-4 tahun), dibayar dengan tunjangan yang sama. 8.Penggunaan Bahasa Indonesia yang Keliru Pemerintah masih banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa. Seperti, lebih sering menuliskan ‘Himbauan’ ketimbang ‘Imbauan’ untuk surat edaran. Kesalahan penulisan gelar akademik pada nama diri pegawai. Lebih senang menggunakan bahasa asing: Busway, Sail Morotai, venue, coach, tour d’ Singkarak dan banyak lagi.



2. Bentuk Negara kesatuan merupakan pilihan yang sudah final. Siapapun tanpa kecuali harus setuju dengan formula susunan negara ini tanpa kecuali. Berbagai upaya penguatan untuk meneguhkan bentuk kegara kesatuan telah dilakukan sejak bangsa kita merdeka. Begitu strategis dan mendasarnya persoalan susunan negara ini, maka dalam konstitusi dilakukan melalui pembagian wilayah NKRI ini ke dalam daerah-daerah (provinsi dan kabupaten dan kota) yang memiliki pemerintahan sendiri untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya melalui asas desentralisasi disamping juga asas dekosentrasi sebagai salah satu karakter dari bentuk Negara kesatuan. Penerapan asas desentralisasi ini merupakan tindaklanjut dari pembagian atas wilayah Indonesia tersebut. pembagian daerah-daerah dan dibentuknya pemerintahan daerah akan melahirkan pemerintahan yang berposisi sebagai pemerintah pusat dan pemerintahan yang berposisi sebagai pemerintahan daerah. Konstelasi penyelenggaraan pemerintahan yang demikian akan melahirkan wewenang, hak dan kewajiban dan hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam posisi/kedudukan yang demikian akan sangat rentan terjadinya tarik menarik kepentingan dan sangat mungkin terjadinya ketegangan (spanning) jika pola hubungan dan kedudukan yang dibangun kurang tepat dan kurang harmonis. Pemahaman yang baik dan benar atas kedudukan, hak, wewenang serta kewajiban dalam hubungan pusat dan daerah akan memperkuat peneguhan dalam berbangsa dan bernegara melalui sikap saling menghargai dan menghormati keberagaman antar daerah dengan segala potensi dan kekurangan yang dimiliki. Kini rumah besar berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keluarga besar berupa bangsa itu harus dikelola secara benar sesuai dengan kaidah agama, konstitusi, hukum dan berbagai kearifan local yang telah diakui dan dijamin keberadaannya oleh Konstitusi. Kata Kunci : hubungan, pemerintahan, pusat, daerah. (1) Pola-general competence (otonomi luas)



Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-¬urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. (2) Pola ultra vires (otonomi terbatas). Prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku “Integrated Field Administration” yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya. Gubernur mempunyai “Tutelage Power” yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan. Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti luas dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Muthallib & Khan, 1980). Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal dsb. Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out dsb. Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan. 3. Menurut Robert Presthus dalam Public Administration adalah adalah pendekatan institusional, struktural, perilaku, dan pasca perilaku. 1.The Institutional Approach (pendekatan institusional) Merupakan pendekatan yang menekankan pada kelembagaan dan organisasi ke-pemerintahan. Jantung utama pendekatan ini terletak pada studi mengenai struktur, fungsi, hukum dan regulasi dari lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.



2.The Structural Approach (pendekatan struktural) Pendekatan struktural pada ilmu administrasi publik merupakan istilah yang diadaptasi dari ilmu sosiologi dan anthropologi yang menginterpretasikan sosial kemasyarakatan sebagai sebuah struktur dengan bagian yang saling berhubungan. Pendekatan ini menjelaskan mengenai mekanisme untuk memahami proses-proses sosial dan struktur di dalamnya. Berdasarkan konsep pendekatan struktur, lembaga pemerintah merupakan contoh nyata dari struktur sosial dengan aturan; sebuah struktur dapat menjalan berbagai fungsi dan vice versa (sebuah fungsi dapat dijalankan oleh berbagai struktur) 3.The Behavioral Approach (pendekatan perilaku) Pendekatan ini menekankan bahwasannya aktivitas administrasi tidak dapat terlepas dari studi mengenai behaviourism yang meneliti perilaku individu dan kesadaran perilaku kolektif manusia serta dampaknya dalam ruang lingkup administrasi publik (Herbort Sumon). Menurut Presthus, pendekatan perilaku seringkali bergantung pada keadaan politik dan bersifat temporal belaka. Seringkali terjadi ketimpangan antara idealisme dan kenyataan yang ada. Pendekatan Perilaku bagi Presthus kadang sangat membingungkan, runyam dan usaha yang sia-sia (embarassing effort). Akan tetapi, Presthus meyakini bahwasannya pendekatan perilaku (behaviourism approach) pada ilmu administrasi akan meningkatkan nilai dan mutu keilmuan jika dilaksanakan secara gamblang sesuai sudut pandang kaum behaviouralist dengan konsep matang yang diaplikasikan pada metodologi ilmu administrasi publik. 4.The Post Behavioral Approach (pendekatan pasca perilaku) Merupakan produk lanjutan daripada Pendekatan Perilaku aka pendekatan yang muncul untuk menentang Pendekatan Perilaku yang 'cacat' dalam penerapannya. Walau lebih condong ke political science, pendekatan ini berkaitan erat dengan ilmu administrasi publik/negara utamanya dalam penerapan nilai-nilai administrasi yang dianut. Pendekatan post-behavioural menekankan pada tindakan untuk menyelesaikan masalah dalam konteks masa depan dan saat ini. Pendekatan ini lebih praktikal daripada Pendekatan Perilaku.