Uhc Mila [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Universal Health Coverage (UHC) BAB I PENDAHULUAN



1. Pengertian UHC WHO telah menyepakati tercapainya universal health coverage (UHC) tahun 2014. Universal health coverage merupakan sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan.



2. Latar belakang UHC Dalam rangka menuju penjaminan kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dimana jaminan kesehatan merupakan prioritas yang akan dikembangkan untuk mencapai Universal Health Coverage. Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi upaya kesehatan perorangan berdasarkan bunyi Pasal 20



(1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan



Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013, pemerintah juga bertanggung jawab atas pelaksanaan



Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS Kesehatan yang



merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi seluruh rakyat. Dalam rangka menuju penjaminan kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dimana jaminan kesehatan merupakan prioritas yang akan dikembangkan untuk mencapai Universal Health Coverage. Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi upaya kesehatan perorangan berdasarkan bunyi Pasal 20



(1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan



Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013, pemerintah juga bertanggung jawab atas pelaksanaan



Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS Kesehatan yang



merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi seluruh rakyat. 3.Tujuan dan Manfaat UHC UHC dalam padangan Prof. Amartya Sen, penerima Hadiah Nobel Bidang Ekonomi tahun 1998, adalah “mimpi yang terjangkau”. Selain itu, ‘The Commission on Health Employment and Economic Growth’ bulan September 2016, menjelaskan bahwa investasi pada sektor kesehatan tidak hanya berdampak meningkatkan populasi yang sehat, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, UHC tidak hanya menjamin dan menjaga kesehatan, tetapi juga kesejahteraan individu dan masyarakat. UHC meningkatkan lowongan pekerjaan dan peluang ekonomi, khususnya bagi perempuan dan pemuda, sebagai bagian dari program mengakhiri kemiskinan. WHO memperkirakan bahwa biaya untuk pelayanan kesehatan global, telah mendorong 100 juta orang ke dalam kemiskinan setiap tahun. Secara global, 20-40% sumber daya yang dihabiskan untuk sektor kesehatan, ternyata terbuang percuma. Penyebab yang umum adalah inefisiensi, duplikasi pelayanan, dan penggunaan obat dan teknologi kedokteran yang berlebihan. Dengan menerapkan UHC tentu saja akan membantu semua pihak, untuk menghilangkan kemiskinan ini. 4.Hasil yang diharapkan Pemerintah menargetkan Indonesia akan mencapai Universal Health Coverage (UHC)



atau cakupan kesehatan menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia pada



1 Januari 2019 mendatang. Setiap tahun BPJS Kesehatan menargetkan jumlah penduduk yang menjadi peserta terus bertambah dari 156,7 juta jiwa (2015) ke 188,7 juta (2016), 223 juta (2017), 235,1 juta (2018), dan mencapai 257,5 juta atau seluruh penduduk pada 2019. Contoh hasil yang telah dicapai yakni telah dibuktikan oleh banyak negara dalam beberapa tahun terakhir, yang telah menambah cakupan layanan kesehatan utama dan jaminan pembiayaan untuk warganya. Jepang, Moldova, Peru, Sri Lanka, Thailand dan Turki telah menunjukkan bahwa negara dapat membuat kemajuan dramatis terhadap UHC, melalui reformasi sistem kesehatan yang dapat memberikan manfaat dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan politik yang cukup besar. Selain itu, Perancis pada tahun 2008 telah menghemat hampir US$ 2 miliar dengan sistem jaminan kesehatan yang sedapat mungkin menggunakan obat generik.



Dengan cara yang serupa, peningkatan akses anak ke layanan kesehatan dengan obat generik yang terjangkau, diprediksi mampu mencegah atau memperbaiki penyakit, yang menyebabkan lebih dari 8,1 juta kematian anak balita setiap tahun secara global. Thailand telah menerapkan sistem pembayaran satu paket layanan kesehatan dari dana prabayar, yaitu campuran pajak dan kontribusi asuransi. Kyrgyzstan telah menyatukan pendapatan umum dengan pajak penghasilan dan asuransi. Ghana telah mendanai program kesehatan nasional dengan meningkatkan pajak pertambahan nilai sebesar 2,5%. Semua kebijakan politik di berbagai negara tersebut, bertujuan untuk meningkatkan anggaran jaminan kesehatan.



BAB II KAJIAN TEORI



A. JAMINAN



KESEHATAN



SEBAGAI



BAGIAN



SISTEM



KESEHATAN



NASIONAL Jaminan kesehatan merupakan salah satu komponen dari sub sistem pendanaan kesehatan. Sub sistem pendanaan kesehatan merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dengan demikian pengembangan jaminan kesehatan tidak bisa dilepaskan dari sistem kesehatan secara keseluruhan yang tujuan akhirnya adalah tercapainya derajat kesehatan penduduk Indonesia yang memungkinkan penduduk produktif dan kompetitif dengan penduduk negara-negara tetangga. Sistem Kesehatan Nasional pada prinsipnya terdiri dari dua bagian besar yaitu sistem pendanaan dan sistem layanan kesehatan. Subsistem pendanaan kesehatan menggambarkan dan mengatur sumber-sumber keuangan yang diperlukan untuk terpenuhinya kebutuhan kesehatan penduduk. Pendanaan kesehatan dapat bersumber dari: 1.



Pendanaan langsung dari masyarakat (disebut out of pocket) yang dibayarkan dari perorangan/rumah tangga kepada fasilitas kesehatan;



2.



Pendanaan dari Pemerintah dan atau Pemda;



3.



Pembayaran iuran asuransi sosial yang wajib sebagaimana diatur dalam UU SJSN;



4.



endanaan oleh pihak ketiga, baik oleh pemberi kerja atau oleh peserta asuransi;



5.



Bantuan pendanaan dari berbagai sumber baik dalam maupun luar negeri. Berdasarkan UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan UU Nomor 36/2009 tentang



Kesehatan, pendanaan layanan kesehatan perorangan akan bertumpu dari iuran wajib yang akan dikelola oleh BPJS Kesehatan. Sementara pendanaan bersumber dari kantong perorangan/keluarga, pemberi kerja baik langsung atau melalui asuransi kesehatan swasta akan menjadi sumber dana tambahan (top up) layanan kesehatan perorangan. Sedangkan sumber dana dari Pemerintah/ Pemda tetap diperlukan untuk mendanai bantuan iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu serta pendanaan program kesehatan masyarakat yang tidak ditujukan untuk layanan orang per orang. Dari sisi layanan kesehatan, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU 44/2004 tentang Rumah Sakit mengatur layanan kesehatan perorangan yang dapat disediakan oleh fasilitas kesehatan publik (milik Pemerintah/Pemda) dan oleh fasilitas kesehatan swasta. Dalam konteks Jaminan Kesehatan Nasional untuk layanan kesehatan



perorangan, BPJS Kesehatan akan membeli layanan kesehatan dari fasilitas kesehatan publik dan swasta dengan harga yang dinegosiasikan pada tingkat wilayah. Ketentuan cara pembayaran dan besaran tarif negosiasi antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan menggambarkan sistem kesehatan yang dipilih Indonesia berbasis pendanaan publik dan layanan oleh swasta (Publicly funded, privately delivered). Model ini merupakan model yang paling banyak diterapkan di dunia yang menjamin terwujudnya keadilan sosial (ekuitas) dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Peran Pemda, sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 pasal 22 adalah penyediaan fasilitas kesehatan, baik tingkat primer (dokter praktik umum) maupun sekunder-tersier oleh dokter spesialis di rumah sakit. Pemda wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan karena tidak di semua daerah pihak swasta berminat menyediakan fasilitas kesehatan karena pasar dan kondisi lingkungan yang tidak memadai. Sebagaimana diatur oleh UUD 1945 pasal 34 ayat 3, Negara (telah didelegir kepada pemda berdasarkan UU 32/2004) bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, maka tidak tertutup kemungkinan pihak swasta diberikan ijin mengadakan fasilitas kesehatan. Dengan adanya BPJS Kesehatan, yang akan menjadi pembeli tunggal layanan kesehatan, maka di suatu saat pihak swasta akan bersedia mengadakan fasilitas kesehatan di daerahdaerah. Dengan demikian, pemerataan akses terhadap layanan kesehatan akan terwujud setelah BPJS Kesehatan berperan optimal. Untuk menunjang terwujudnya jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk (universal coverage) dan terwujudnya lingkungan dan prilaku yang sehat, maka Pemerintah dan pemda tetap wajib mendanai dan berperan dalam program-program kesehatan masyarakat yang dapat dinikmati (beneficiries) oleh masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa swasta juga berperan, namun karena sifat eksternalitas yang tinggi dalam program kesehatan masyarakat, pada umumnya peran swasta akan menjadi kompelemter dan atau suplementer. Untuk menunjang keberhasilan seluruh Sistem Kesehatan Nasional (SKN), maka diperlukan pengaturan (PP/ Perpres/ Permenkes/ Permendagri/ Perda), SDM dalam berbagai disiplin, sistem informasi, sistem administrasi, dan lain-lain yang menunjang keberhasilan sebuah SKN. B. DIMENSI



JAMINAN



KESEHATAN



UNTUK



SELURUH



PENDUDUK



(UNIVERSAL COVERAGE) WHO merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian universal coverage yaitu: I. Seberapa besar prosentase penduduk yang dijamin II. Seberapa lengkap pelayanan yang dijamin, serta



III. Seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk. Dimensi pertama adalah jumlah penduduk yang dijamin. Dimensi kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, misalnya apakah hanya layanan di rumah sakit atau termasuk juga layanan rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang dijamin. Dapat saja seluruh penduduk dijamin biaya perawatan di rumah sakit, tetapi setiap penduduk harus bayar sebagian biaya di rumah sakit. Perluasan jaminan ketiga dimensi sangat tergantung pada kemampuan keuangan suatu negara dan pilihan penduduknya. Makin kaya suatu negara, semakin mampu negara tersebut menjamin seluruh penduduk untuk seluruh layanan kesehatan. Misalnya, Inggris menjamin layanan kesehatan komprehensif, termasuk transplantasi organ, untuk seluruh penduduk. Pendanaan jaminan dapat dilakukan dengan mekanisme asuransi sosial atau mekanisme pajak. Tergantung dari kemauan politik pemerintah, makin banyak dana yang tersedia maka makin banyak penduduk yang terlayani, makin komprehensif paket pelayanannya serta makin kecil proporsi biaya yang harus ditanggung penduduk. Alokasi atau pengumpulan dana yang terbatas berpengaruh terhadap komprehensif tidaknya pelayanan yang dijamin serta proporsi biaya pengobatan/perawatan yang dijamin. Upaya pencapaian universal coverage dapat dilakukan dengan prioritas perluasan penduduk yang dijamin dengan layanan terbatas atau dengan porsi biaya layanan yang dijamin terbatas. Pentahapan cakupan universal sangat dipengaruhi oleh kemauan politik Pemerintah, konsensus penduduk, dan kemampuan keuangan suatu negara. Konsentrasi pertama adalah bagaimana agar dimensi pertama tercapai yaitu semua penduduk terjamin sehingga setiap penduduk yang sakit tidak menjadi miskin karena beban biaya berobat yang tinggi. Langkah berikutnya adalah memperluas layanan kesehatan yang dijamin agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan medis (yang berarti semakin komprehensif paket manfaatnya). Terakhir adalah peningkatan biaya medis yang dijamin sehingga makin kecil proporsi biaya langsung yang ditanggung penduduk. Sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengalaman penyediaan jaminan kesehatan untuk pegawai negeri, maka Indonesia menghendaki jaminan kesehatan untuk semua penduduk (dimensi I), menjamin semua penyakit (dimensi II) dan porsi biaya yang menjadi tanggungan penduduk (dimensi III) sekecil mungkin. Namun demikian, tingkat kenyamanan (kepuasan/pilihan) layanan dibatasi. Sebagai contoh, Askes PNS menjamin layanan perawatan di kelas II RS publik (untuk golongan pangkat I dan II) dan di kelas I RS publik (untuk golongan pangkat III dan IV). Tingkat pilihan/kepuasan



dibatasi dengan kelas perawatan, tetapi semua penyakit atau semua biaya perawatan dijamin apabila peserta Askes dirawat sesuai kelas perawatan yang menjadi haknya. Jika peserta menginginkan perawatan di ruang kelas yang lebih memuaskan, kelas VIP, maka peserta Askes harus membayar selisih biayanya (dimensi III). Dengan demikian, sistem jaminan/asuransi pegawai negeri menjamin pemenuhan kebutuhan medis dengan biaya terkendali, meskipun sebagian tidak puas dengan kelas perawatan. Yang utama adalah pemenuhan kebutuhan medis seluruh penduduk (dimensi I) dan seluruh penyakit dijamin (dimensi II). C. PRINSIP PROGRAM JAMINAN KESEHATAN Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSN adalah jaminan kesehatan yang diselenggarkan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 UU SJSN. Penjelasan Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksud prinsip asuransi sosial adalah: 1. Kegotong-royongan 2. Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif 3. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan 4. Bersifat nirlaba. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya. Kesamaan memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauan finansial ke pelayanan kesehatan. Kegotong-royongan adalah upaya bersama agar semua penduduk berkontribusi (membayar iuran/ pajak) agar terkumpul (pool) dana untuk membiayai pengobatan siapa saja yang sakit. Disinilah fungsi kegotong-royongan formal diwujudkan (karena setiap orang diwajibkan mengiur/membayar pajak yang jumlahnya ditentukan). Dalam kegotong-royongan informal yang telah lama berakar, kolega atau kerabat membantu biaya pengobatan dengan menyumbang seikhlasnya (sukarela). Mekanisme sukarela ini tidak menjamin kecukupan dana untuk biaya pengobatan. Dengan mekanisme formal yang disebut risk-pooling, sumbangan berupa iuran wajib atau pajak diperhitungkan agar mencukupi biaya berobat, siapapun yang sakit. Tergantung dari sistem kegotongroyongan yang akan diterapkan, beberapa negara menerapkan kegotong-royongan di antara penduduk di suatu daerah, di sektor pekerja yag sama (PNS, pegawai swasta, petani, dan lain lain). Indonesia selama ini memiliki sistem yang terpecah



(terfragmentasi) seperti itu. Namun, UU SJSN dan UU BPJS telah menetapkan bahwa Indonesia akan menuju satu kegotong-royongan Nasional dimana iuran dari seluruh penduduk akan dikumpulkan (pool) dalam satu Dana Amanat yang akan dikelola oleh BPJS Kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan adalah kebutuhan akan layanan kesehatan yang memungkinkan seseorang yang sakit dapat sembuh kembali sehingga ia dapat berfungsi normal sesuai usianya. Anak-anak dapat kembali bermain dan belajar, orang dewasa dapat kembali bekerja, dan penduduk lanjut usia (lansia) dapat menikmati kehidupan sosialnya. Oleh karenanya, manfaat jaminan kesehatan mencakup layanan yang berbiaya mahal seperti operasi jantung, perawatan di ruang intensif, dan cuci darah (hemodialisa). Suatu jaminan kesehatan membutuhkan dana untuk membayar tenaga kesehatan, obat, bahan habis pakai dan lain-lain. Pengumpulan dana (revenue collection). Pengumpulan dana adalah proses dimana dana harus bisa dikumpulkan (iuran dari peserta atau pajak dapat dikumpulkan secara efektif dan efisien dari rumah tangga, pemberi kerja, pemerintah dan/atau organisasi lain). Dana yang terkumpul harus mencukupi untuk membayar layanan kesehatan dan berkelanjutan. Hanya ada dua cara pendanaan yang memungkinkan untuk cakupan universal yaitu asuransi sosial dan pajak. Luasnya cakupan penduduk menentukan kecukupan dana yang harus dikumpulkan. Keberadaan sistem ekonomikeuangan, keberadaan hubungan kerja formal (pekerja penerima upah), sistem perpajakan yang handal, manfaat yang memadai dan kesadaran penduduk menentukan kesinambungan pengumpulan dana. Dengan memperhatikan konsep cakupan universal sebagaimana diuraikan diatas maka pengelolaan jaminan kesehatan dalam SJSN adalah sebagai berikut: 1.



Pengelolaannya tidak lagi terpisah-pisah menurut tempat tinggal melainkan terintegrasi dalam BPJS Kesehatan secara nasional



2.



Pendanaan berbasis asuransi sosial dimana semua penduduk wajib iur. Namun, penduduk yang miskin dan tidak mampu akan mendapat bantuan iuran dari Pemerintah.



3.



Layanan kesehatan perorangan yang dijamin adalah semua layanan atas indikasi medis mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat layanan orang per orang.



4.



Fasilitas kesehatan yang memproduksi layanan yang akan dibeli oleh BPJS adalah faskes milik pemerintah dan/atau swasta.



5.



Metode pembayaran yang efisien agar Dana Amanat digunakan secara optimal adalah cara pembayaran prospektif seperti pembayaran kapitasi untuk rawat jalan primer dan pembayaran DRG (Diagnosis Related Group) yang di Indonesia telah dikenal dengan INA-CBG untuk rawat jalan sekuder (rujukan) dan rawat inap.



6.



Dengan pengelolaan oleh satu BPJS, maka sistem administrasi pengumpulan dana, pembelanjaan, klaim, pelaporan dan lain-lain akan menjadi lebih efisien dan memudahkan difahami oleh seluruh peserta dan seluruh pengelola fasilitas kesehatan.



D. PESERTA JAMINAN KESEHATAN Peserta Jaminan kesehatan dibagi ke dalam 2 kelompok: 1. PBI jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui peraturan pemerintah 2. Non PBI Jaminan Kesehatan Peserta Non PBI terdiri dari: 1. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya 2. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya 3. Bukan pekerja dan anggota keluarganya E. LANDASAN HUKUM Landasan hukum yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional: a. Turunan peraturan UU SJSN Beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus disusun sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 khususnya terkait dengan jaminan kesehatan adalah: 1.



Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PP PBI), PP ini sebagai pelaksanaan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN.



2.



Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Peraturan Presiden ini mengatur mengenai program jaminan kesehatan yang materinya meliputi substansi Pasal 21-Pasal 28 UU SJSN jo Pasal 19 UU BPJS.



b. Turunan peraturan UU BPJS



Beberapa pengaturan pelaksanaan yang perlu disusun dapat disatukan dengan pengaturan pelaksanaan berdasarkan amanat UU SJSN. Beberapa pengaturan harus dilakukan secara terpisah karena substansinya yang khusus, yaitu: 1. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU No. 24 Th 2011 tentang BPJS 2. Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS, yakni penganggaran dalam UU AOBN tahun 2013 3. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yaitu Pasal 31, Pasal 36, dan Pasal 44 4. Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (Persero) menjadi Dewan pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011



Definisi BPJS kesehatan



Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.



Adapun Menurut Wikipedia BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.



1. Latar belakang BPJS



Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di indonesia menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes menjadi



BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transpormasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.



2. Tujuan dan Manfaat BPJS



Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Paket manfaat yang diterima dalam program JKN ini adalah komprehensive sesuai kebutuhan medis. Dengan demikian pelayanan yang diberikan bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh besarnya biaya premi bagi peserta. Promotif dan preventif yang diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan (personal care). Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan: a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat. b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak. c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.



Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.



4. Cara mendaftar kepesertaan BPJS Pendaftaran BPJS dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu daftar melalui situs online atau



datang langsung ke Kantor BPJS Kesehatan dengan membawa persyaratan



yang diperlukan. Syarat daftar bpjs yaitu : Fotocopy KK, Fotocopy KTP, Fotokopi Buku Tabungan, Pasfoto berwarna 3×4 3 Lembar, Jika sudah menikah lampirkan buku nikah 1. Mengisi Formulir Pendaftaran Setelah anda datang ke kantor BPJS dan membawa semua persyaratan untuk mendaftar BPJS maka anda selanjutnya mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan. Isi formulir dengan benar, seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat, sampai memilih Faskes 1. 2. Bayar Iuran Pertama Setelah anda mengajukan pendaftaran baik Online maupun Offline di kantor BPJS maka anda akan mendapatkan nomor virtual account atau kode bank untuk pembayaran iuran pertama, pembayaran iuran pertama dapat dilakukan setelah 14 hari sejak hari pendaftaran. Pembayaran iuran BPJS bisa dilakukan melalui ATM atau bank terdekat yang saat ini sudah bekerjasama yaitu bank BRI, BNI dan Mandiri. Iuran yang harus dibayar sesuai dengan kelas yang dipilih dikali dengan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan (jika anda mendaftarkan keluarga). Adapun biaya iuran peserta berdasarkan kelas yaitu untuk kelas 1 sebesar Rp80.000 per orang perbulan, untuk kelas 2 sebesar Rp51.000 perorang perbulan dan untuk kelas 3 sebesar Rp25.500 perorang perbulan.



Jika anda mendaftar sebagai peserta dari perusahaan (PPU) maka besar iurannya adalah sebesar 5 persen dari gaji pokoknya, 2 persen dibayarkan oleh yang bersangkutan dan 3 persen dibayarkan oleh perusahaan tempat pekerja bekerja. 3. Mendapat kartu BPJS Kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia Setelah anda membayar iuran pertama atau premi bpjs berdasarkan kelas yang dipilih, maka nantinya anda akan mendapat kartu BPJS Kesehatan yang menjadi bukti bahwa Anda merupakan peserta JKN yang dibawa saat akan berobat. Anda berhak mendapatkan jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan dengan menunjukan syarat berupa kartu BPJS yang anda miliki. Saat ini fasilitas kesehatan yang dimiliki pemerintah otomatis melayani JKN. Sementara fasilitas kesehatan milik swasta yang dapat melayani JKN jumlahnya terus bertambah. Pelayanan kesehatan yang layak sudah menjadi hak bagi seluruh warga negara Indonesia seperti tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia pasal Pasal 28 H ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat”. Ketentuan ini yang menjadi dasar dicanangkannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bidang kesehatan telah berupaya mewujudkan prioritas pembangunan bidang kesehatan di seluruh wilayah Indonesia antara lain: a. Memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan serta tenaga kesehatan khususnya bagi penduduk di Pedesaan dan daerah terpencil sesuai situasi dan kebutuhan daerah. b. Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional secara merata di seluruh Indonesia. c. Peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisisasi kartu “Indonesia Sehat” Hambatan geografis, lemahnya SDM kesehatan, dan kurangnya sarana dan prasarana kesehatan di sejumlah daerah menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan meskipun sudah dijamin sebagai PBI program JKN hal ini menyebabkan capaian program peningkatan pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal. Untuk itu kesiapan lapangan yang meliputi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan,



aksesibilitas, organisasi BPJS daerah, serta tingkat pengetahuan/kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, perlu dipenuhi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan serta mendukung tercapainya Universal Health Coverage (UHC). Mengacu pada sasaran pokok RPJMN 2020-2024 implementasi pemenuhan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada era JKN-KIS berdampak pada meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, sehingga kebutuhan sarana prasarana fasilitas kesehatan primer dan rujukan tingkat lanjut, tenaga kesehatan serta obat juga meningkat. Pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan bidang kesehatan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Namun wilayah NKRI yang begitu luas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi permasalahan dalam upaya pembangunan kesehatan antara lain disparitas status kesehatan,beban ganda penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat, rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata serta maldistribusi, rendahnya status kesehatan penduduk miskin disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier).



BAB III PEMBAHASAN



A. Maksud dan Tujuan Maksud: diperolehnya alternative kebijakan terkait pembayaran tarif pelayanan kesehatan di FKTP, guna memaksimalkan pemberian pelayanan dan meningkatkan status kesehatan masyarakat Tujuan dilakukannya kajian ini adalah: a. Diperolehnya sistem pembayaran kapitasi alternative di sejumlah wilayah b. Diperolehnya informasi efektifitas pemanfatan dana kapitasi di Puskesmas c. Diperolehnya mutu pelayanan kesehatan antara FKTP terakreditasi dan yang belum terakreditasi C. Lokasi Kegiatan Daerah sampel untuk kajian ini antara lain di beberapa jumlah daerah umum di Indonesia. D. Ruang Lingkup Unit analisis dari kajian ini yaitu Puskesmas yang ditentukan berdasarkan kriteria lokasi (Daerah Umum Wahana Nusantara Sehat, dan daerah khusus) dengan metode purposive sampling. Kajian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan rancangan cross sectional, di mana data yang akan diambil berupa hasil Koordinasi, Sinkronisasi dan Pengendalian yang dilakukan oleh Kementerian Lembaga X dan data sekunder berupa informasi dari berbagai Kementerian/Lembaga. Data sekunder yang akan digunakan untuk analisis meliputi data sampel BPJS Kesehatan, data Susenas dan dokumen-dokumen regulasi yang relevan dengan topik kajian ini. Sedangkan data primer diambil melalui wawancara mendalam dengan responden Dinas Kesehatan, kepala puskesmas, Dokter Praktik Mandiri (DPM), kepala klinik swasta dan pasien dengan menggunakan metode purposive sampling. E. Keluaran yang Diinginkan Merujuk pada Buku Pedoman Penyusunan Laporan Kinerja Lembaga X Tahun 2019, kajian ini diharapkan dapat memunculkan rekomendasi kebijakan yang tepat sasaran sesuai dengan keadaan riil lapangan yang berupa laporan kajian sistem pembayaran FKTP di Era Jaminan Kesehatan Nasional, dengan tahapan issue policy, analysis policy, alternatives policy dan policy statement.



Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.



Dalam mewujudkan upaya tersebut, arah kebijakan program pembangunan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengacu pada Visi Presiden yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian yang terintegrasi dengan RPJMN (2020-2024)”. Bidang kesehatan telah berupaya mewujudkan prioritas pembangunan bidang kesehatan di seluruh wilayah Indonesia antara lain: d. Memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan serta tenaga kesehatan khususnya bagi penduduk di Pedesaan dan daerah terpencil sesuai situasi dan kebutuhan daerah. e. Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional secara merata di seluruh Indonesia. f. Peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisisasi kartu “Indonesia Sehat”



Hambatan geografis, lemahnya SDM kesehatan, dan kurangnya sarana dan prasarana kesehatan di sejumlah daerah menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan meskipun sudah dijamin sebagai PBI program JKN hal ini menyebabkan capaian program peningkatan pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal. Untuk itu kesiapan lapangan yang meliputi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, aksesibilitas, organisasi BPJS daerah, serta tingkat pengetahuan/kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, perlu dipenuhi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan serta mendukung tercapainya Universal Health Coverage (UHC).



Mengacu pada sasaran pokok RPJMN 2020-2024 implementasi pemenuhan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada era JKN-KIS berdampak pada meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, sehingga kebutuhan sarana prasarana fasilitas kesehatan primer dan rujukan tingkat lanjut, tenaga kesehatan serta obat juga meningkat.



Pemerintah



terus



berupaya



melakukan



pembangunan



bidang kesehatan



untuk



meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Namun wilayah NKRI yang begitu luas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi permasalahan dalam upaya pembangunan kesehatan antara lain disparitas status kesehatan,beban ganda penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat, rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata serta maldistribusi, rendahnya status kesehatan penduduk miskin disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier).



Pada tahun 2018 pelaksanaan pembayaran FKTP dan belum maksimal berdampak terhadap utilisasi dan jumlah dokter, serta belum terdapat dorongan pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan wilayahnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa aspek yang perlu dikaji lebih lanjut. Aspek tersebut yaitu alternatif sistem pembayaran FKTP di Era Jaminan Kesehatan Nasional serta analisis regulasi mengenai sistem pembayaran fasilitas kesehatan



BPJS Kesehatan menerapkan sistem pembayaran kapitasi kepada FKTP, dengan tarif kapitasi yang mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dengan besaran: a. Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 3.000,-sampai dengan Rp 6.000,-. b. Rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 8.000,- sampai dengan Rp 10.000,-. c. Praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp 2.000,-.



Bagi daerah yang sudah dinyatakan daerah terpencil dan kepulauan maka fasilitas kesehatannya dibayar tarif kapitasi khusus, dengan besaran dan ketentuan: a. Dokter Rp 10.000,b. Bidan/Perawat Rp 8.000,c. Dalam hal jumlah peserta terdaftar pada FKTP kurang dari 1.000 jiwa, FKTP dibayar sejumlah kapitasi untuk 1.000 jiwa.



Ketentuan tambahan dalam Permenkes tersebut juga mencantumkan persyaratan bahwa penetapan FKTP untuk daerah terpencil, sangat terpencil dan tidak diminati tersebut harus berdasarkan Surat Keputusan kepala daerah. Saat ini pembiayaan dengan kapitasi khusus dilaksanakan di 35 kabupaten/kota dengan 173 Puskesmas terpilih sesuai kriteria Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.



Sampai dengan tahun 2018, BPJS Kesehatan telah membayar sebesar 127,434 miliar rupiah kepada Puskesmas di Daerah dengan kriteria tertentu dengan pembayaran kapitasi khusus yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah peserta terdaftar dan Puskesmas pada Bulan Januari 2018 sebanyak 887.686 peserta terdaftar.



Diperolehnya alternative kebijakan terkait pembayaran tarif pelayanan kesehatan di FKTP, guna memaksimalkan pemberian pelayanan dan meningkatkan status kesehatan masyarakat



Tujuan dilakukannya kajian ini adalah: d. Diperolehnya sistem pembayaran kapitasi alternative di sejumlah wilayah e. Diperolehnya informasi efektifitas pemanfatan dana kapitasi di Puskesmas f. Diperolehnya mutu pelayanan kesehatan antara FKTP terakreditasi dan yang belum terakreditasi



E. Ruang Lingkup Unit analisis dari kajian ini yaitu Puskesmas yang ditentukan berdasarkan kriteria lokasi (Daerah Umum Wahana Nusantara Sehat, dan daerah khusus) dengan metode purposive sampling. Kajian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan rancangan cross sectional, di mana data yang akan diambil berupa hasil Koordinasi, Sinkronisasi dan Pengendalian yang dilakukan oleh Kementerian Lembaga X dan data sekunder berupa informasi dari berbagai Kementerian/Lembaga. Data sekunder yang akan digunakan untuk analisis meliputi data sampel BPJS Kesehatan, data Susenas dan dokumen-dokumen regulasi yang relevan dengan topik kajian ini. Sedangkan data primer



diambil melalui wawancara mendalam dengan responden Dinas Kesehatan, kepala puskesmas, Dokter Praktik Mandiri (DPM), kepala klinik swasta dan pasien dengan menggunakan metode purposive sampling.



F. Sumber Pendanaan dan Rincian Anggaran Biaya Anggaran bersumber dari Dana APBN dengan Kode Akun: XXXXXXXXXX, dengan rincian anggaran biaya sebagai berikut:



No



URAIAN KEGIATAN



PENDIDIKAN PENGALAMAN



JUMLAH TENAGA



JAM



HARI



8



90



MAN-MONTH (OB)/HOUR(OJ)



BIAYA SATUAN



TOTAL BIAYA



TENAGA PERSONIL A 1



A.1 MASA PERENCANAAN TENAGA AHLI KESEHATAN



TENAGA NON PERSONIL No URAIAN KEGIATAN A PERALATAN KANTOR 1 Sewa Komputer 2 Sewa Printer Collor /Warna Laser B OPERASIONAL KANTOR Alat Tulis Kantor Computer Supply Sewa Kendaraan Telekomunikasi C DOKUMEN 1 Dokumen Perencana 2 Dokumen Pengembangan Rencana 3 Dokumen Pelelangan Dokumen Laporan Akhir/Desiminasi Flashdisk



S2/S3/10



1 Jumlah



VOLUME



3



INTENSITAS WAKTU/BULAN



OB



20,000,000.00



SATUAN



SATUAN BIAYA



2 2



1 1



2 2



Unit Unit



2,500,000 1,500,000



1 1 3 1



1 1 1 1



3 3 1 3



Bulan Bulan Hari Bulan



1,000,000 1,000,000 3,000,000 1,500,000



4 4 4 4 JUMLAH A+B+C JUMLAH TENAGA PERSONIL + TENAGA NON PERSONIL Terbilang : Seratus Juta Rupiah



150,000 130,000 Set Buah



650,000 195,000



60,000,000.00 60,000,000.00 TOTAL BIAYA 10,000,000 6,000,000 3,000,000 3,000,000 9,000,000 4,500,000 600,000 520,000 2,600,000 780,000 40,000,000 100,000,000



Keterangan harga di atas sudah termasuk pajak



BAB IV KESIMPULAN



Indonesia mempunyai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disingkat UUD 45. Dalam UUD 45 pada alinea ke 4 tersebut tercantum lima sila dari Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradap, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaran dan perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam UUD 45 pasal 28H disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 34 disebutkan bahwa Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan. Berbagai upaya untuk melaksanakan UUD 1945 dan Deklarasi PBB 1948, yaitu mulai dari dilaksanakannya program jaminan kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pensiunan serta veteran menggunakan asuransi kesehatan (Askes) yang diselenggarakan oleh PT Askes, untuk pegawai swasta menggunakan asuransi jaminan sosial tenaga kerja (Jomsostek) dengan penyelenggaranya PT Jamsostek. Pemerintah memberikan jaminan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Berbagai jaminan kesehatan tersebut berjalan sendiri-sendiri sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit untuk dikendalikan. Akhirnya, pada tahun 2004 ditetapkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Tahun berikutnya, World Health Assembly (WHA) dalam sidangnya yang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, sepakat perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat untuk memperoleh pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage. Caranya adalah melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. Selain itu WHA juga merkomendasikan kepada WHO agar dalam mencapai Universal Health Coverage,



negara-negara anggota WHO melakukan evaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan. Dalam UU 40/2004 dinyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. Hak yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan. Hal tersebut tertera di dalam UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 menetapkan, Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Selanjutnya, khusus untuk fakir miskin atau orang yang tidak mampu membeyar iuran, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Untuk melaksanakan JKN Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang sudah tiga kali dirubah, dengan PP No. 19 tahun 2016, dan terakhir dengan PP No. 28 tahun 2016, terutama mengatur hak dan kewajiban peserta dan Pemerintah sebagai pemberi bantuan iuran untuk fakir miskin (PBI). Pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan dan keadilan sosial ini mulai diwujudkan sejak 1 Januari 2014, yaitu mulai diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam bidang kesehatan atau sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Diharapkan pada tahun 2019 seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi peserta JKN (Universal Helth Coverage). Dampak Universal Health Coverage Di Indonesia Pelayanan kesehatan untuk peserta JKN ditentukan secara berjenjang. Diharapkan untuk pasien-pasien yang kasusnya ringan cukup mendapatkan pelayanan kesehatan di FKTP, yaitu Puskesmas, Klinik Pratama, dan Rumah Sakit type D. Jika pasien memerlukan dokter spesialis dan peralatan yang tidak dimiliki oleh FKTP, maka pasien tersebut dirujuk ke FKTL (Rumah Sakit Tipe B, C, dan A), secara berjenjang, tergantung kondisi kesehatan pasien. Pelaksanaan Program untuk mencapai UHC ini berdampak pada perubahan pembayaran pelayanan kesehatan, pada pasien, rumah sakit, dan BPJS, sebagai berikut: 1. Pada pasien 2. Dampak Positif



3. Ketika pasien sakit dan memerlukan pengobatan yang biayanya sangat mahal, yang dalam keadaan normal pasien/keluarganya tidak mampu membayar, maka dengan dana yang terkumpul di BPJS sebagai akumulasi dari iuran pembayaran peserta BPJS seluruh Indonesia, dana yang sangat mahal tersebut dibayar melalui BPJS. 4. Pasien terhindar dari pemeriksaan-pemeriksaan dan obat-obatan yang tidak betulbetul diperlukan untuk mengobati penyakitnya, sehingga biaya peleyanan kesehatan lebih efektif dan efisien. 5. Dampak Negatif 6. Pasien harus antri lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karen jumlah pasien meningkat dengan sangat signifikan sedangkan fasilitas kesehatan dan peralatan yang dimiliki rumah sakit masih sangat terbatas, tidak seimbang dengan kenaikan jumlah pasien. 7. Pasien tidak bisa memilih dokter maupun rumah sakit yang dikehendaki untuk berobat. Sebelum diterapkannya sistem JKN, pasien dengan Askes dan Jamsostek, bisa memilih dokter spesialis yang praktek di rumah sakit dimana saja, bahkan dapat menggunakan jasa pelayanan swastanya rumah sakit pemerintah (contonnya Rumah Sakit Fatmawati mempunyai Griya Husada, Rumah Sakit Tjipto Mangun Kusuma, mempunyai Kencana) dengan potongan biaya sesuai dengan hak kelas dari Askes atau Jamsostek. Pelayanan kesehatan dengan JKN menggunakan sistem rujukan berjenjang, sehingga semua pasien harus melalui pentahapan pelayanan mulai dari FKTP, kemudian secara berjenjang di rujuk ke FKTL 1, FKTL 2, dan FKTL3. 8. Pada Rumah Sakit 9. Dampak Positif 10. Jumlah pasien rumah sakit meningkat tajam. Hal ini karena pasien sudah membayar iuran BPJS setiap bulan, sehingga merasa berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari penyakit yang ringan sampai ke penyakit yang sangat berat seperti penyakit kangker, jantung, gagal ginjal dan sebagainya. Sebelum menjadi peserta BPJS, ketika sakit terlebih dahulu berusaha mengobati sendiri dengan obat-obat bebas, banyak juga yang enggan ke rumah sakit karena biaya yang harus ditanggung mahal bahkan untuk kasus-kasus yang berat mereka tidak sanggup membayarnya. Dengan jumlah pasien yang meningkat diharapkan pendapatan rumah sakit juga akan meningkat 11. Pelayanan kesehatan di rumah sakit lebih efektif dan efisien. Pembayaran jasa pelayanan kesehatan menggunakan Paket INA-CBGs yang tergantung pada diagnose



dan prosedur untuk setiap penyakit. Dokter harus tepat dalam menetapkan diagnose dan prosedur yang harus dilakukan untuk sebuah penyakit, jika dokter melakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnose dan melakukan prosedur terhadap penyakit tersebut diluar jalur klinisnya (clinical pathway-nya), maka baiayanya tidak dapat diklaim ke BPJS, artinya rumah sakit yang harus menanggung biaya tersebut. Dalam hitungan sederhana, ketika jumlah pasien meningkat, biaya pelayanan memenuhi standar minimal, maka pendapatan dikurangi biaya menjadi meningkat pula. Dalam setiap paket INA CBGs sudah ditetapkan kira-kira berapa prosentase keuntungan rumah sakit. 1. Rumah sakit harus membentuk Tim Casemix yang solid sehingga dapat menjadi penggerak perubahan pola pikir dan budaya fee for service menjadi INA CBGs untuk mencapai UHC. 2. Dampak Negatif 3. Pegawai rumah sakit harus bekerja lebih keras karena melayani pasien yang lebih banyak, sedangkan fasilitas dan peralatan terbatas. 4. Pasien terpaksa dirujuk ke FKTP yang mempunyai spesialis dan peralatan yang dubutuhkan pasien, apabila rumah sakit tidak tersedia dokter spesialis dan peralatan yang dibutuhkan untuk pengobatan penyakitnya. Peralatan yang dibeli yang tidak sesuai dengan kebutuhan kebanyakan pasien yang sudah ditetapkan dalam paket INA CBGs, maka tingkat pengembalian investasinya menjadi relatif lebih lama. 1. Ada ketidak-nyamanan keluar dari kebiasaan fee for service ke Paket INA CBGs, jika kepemimpinan rumah sakit kurang tanggap terhadap situasi perubahan ini dapat terjadi konflik antara dokter spesialis dan manajemen rumah sakit. 2. Dokter spesialis tidak dapat bekerja secara maksimal karena serba dibatasi, sehingga mengurangi utilisasinya. Hal ini dapat menurunkan motivasi dokter spesialis dalam menangani pasien BPJS. 3. Sistem remunerasi adil, transparan, dan proporsional menjadi tantangan tersendiri, terutama kebanyakan rumah sakit mempunyai bargening power yang lebih rendah terhadap keberadaan dokter spesialis yang sangat dibutuhkan rumah sakit.



Keterbatasan jumlah dokter spesialis menjadikan bargening power dokter spesialis terhadap rumah sakit. Banyak dokter spesialis yang bukan pegawai tetap rumah sakit. 4. BPJS 5. Dampak Positif 6. BPJS sebagai penyelenggara JKN dapat mengumpulkan dana dari iuran peserta BPJS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari dana tersebut disalurkan untuk membayar kalim rumah sakit untuk biaya pelayanan kesehatan yang telah dilaksanakan oleh rumah sakit. BPJS juga menyalurkan dana kapitasi untuk FKTP. Jika dana yang terkumpul berlebih dapat diinvestasikan untuk usaha yang produktif agar dana tidak menganggur. 7. Ada lapangan kerja baru sebagai pegawai BPJS dari peran leadersip dan manajerial sampai ke pegawai pelaksana. Pegawai BPJS mendapatkan kompensasi dari iuran peserta BPJS juga. 8. Dampak Negatif 9. Belum semua peserta sadar untuk membayar iuran tepat waktu, sehingga dana iuran BPJS yang terakumulasi berkurang, padahal klaim pelayanan kesehatan peserta BPJS terus berjalan. 10. Penyelenggaraan JKN sangat kompleks, semua pihak perlu belajar menghadapi perubahan sistem JKN ini, termasuk BPJS, sehingga dapat meminimalisir konflik antara pihak-pihak yang terkait (stakeholders). 11. Sebagian masyarakat ada yang tidak setuju dengan adanya JKN ditinjau dari hukum halal dan haram menurut syariat Islam. Dengan demikian meraka tidak menjadi anggota BPJS, sesuai dengan target Pemerintah tahun 2019 tercapai UHC di Indonesia. 12. BPJS menjadi pihak ketiga dalam SJKN, untuk asuransi swasta tidak ada pihak ketiga. Hubungan antara peserta dan penyedia jasa asuransi langsung, yang memungkinkan penghematan biaya. Jika ada pilihan maka masyarakat yang mampu akan lebih memilih asuransi swasta. 13. Peran BPJS sebagai satu-satunya badan yang menyelenggaran penjaminan kesehatan menjadi sorotan berbagai pihak sebagai single payer yang mempunyai kekuasaan penuh dalam memberikan persetujuan atau penolakan klaim dari rumah sakit.



Dampak UHC di Indonesia yang sudah diuraiakan di atas perlu penelitian lebih lanjut. Setiap rumah sakit mempunyai kemampuan atau capabilitas sendiri-sendiri dalam menghadapi perubahan sistem pelayanan kesehatan ini, semakin tinggi capabilitas rumah sakit semakin besar dampak positifnya dan semakin dapat mengurangi dampak negatifnya, sehingga dampak tersebut sifatnya relatif bagi setiap rumah sakit. Bagi masyarakat yang tidak suka dengan dampak negatif dari UHC, bagi yang mampu secara ekonomi kemungkinan memilih asuransi swasta atau tidak ikut asuransi. Pelaksanaan SJKN sudah ditetapkan berdasarkan peraturan-perundang-undangan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang ruang lingkupnya meliputi penyelenggaraan, peserta dan kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan, badan penyelenggara dan hubungan antar lembaga, monitoring dan evaluasi, pengawasan, dan penanganan keluhan. Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan untuk setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Peserta program JKN mendapatkan perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan.