Umar Kayam ManganOraManganKumpul [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



DAFTAR ISI



Pengantar GM ............................................. 1 Ditya Nguntal Arto Negoro ........................... 12 Rapor Beni Prakoso ..................................... 24 Si Gendut Sakit Gondongan .......................... 35 Mbandung, Mercedez dan Nasionalis Kiri ........ 44 Mas Prasodjo Legowo .................................. 55 Sang Pemimpin .......................................... 67 Ngarsadalem Sudah Seda, Hidup Ngarsadalem! ................................................................ 77 Koran Itu Dulu Seperti Air Bengawan Solo ...... 87 Mr. Rigen Menjangkau Langit ........................ 97 Halo-Halo & Prof. Surapon.......................... 106 Pasca Lebaran .......................................... 118 Di Republik Yang Egaliter Ini....................... 127 Senyum, Kekasihku Senyum ....................... 135 Mikul Dhuwur, Mendhem Jero ..................... 142 Tentang Gaya Hidup Jakarta, nJukja dan Ngawi .............................................................. 152 Subur Kang Sarwo Tinandur ....................... 161 Air Dan Hidup Ngrekasa ............................. 170 Sukses Nggendhong Lali ............................ 176 Service .................................................... 184 Rapat Meja Bundar Menjelang Lebaran ........ 189 ii



Mr. Rigen Can Do No Wrong ....................... 197 Kami Bangsa Tempe .................................. 204 Senam Pagi Mrs. Nansiyem ........................ 211 Eman-Eman Wanita................................... 221 Pariwisata Dimana-Mana ............................ 231 Madam .................................................... 241 Tentang Main Sabun.................................. 251 Pada Suatu Senin Pagi Sesudah Lebaran ...... 258 Kami Bangsa Tempe .................................. 267 Jebule … ................................................. 274 Saudara Flu ............................................. 287 Haagen Dasz vs Es Tung-Tung .................... 298 Roti Dan Permainan .................................. 308 Nostalgia ................................................. 316 Gudeg, Kultur dan Kita .............................. 325 Menjelang Tahun Baru ............................... 338 Pariwisata Dimana-Mana ............................ 349 Mas Joyoboyo Dikejar Target ...................... 359 Kencana Wingka ....................................... 367 Never On Sunday...................................... 373 Melik Nggendhong Lali............................... 380 Sekaten Telah Lampau............................... 390 Musim Bal – Balan .................................... 399 Sore-Sore Tentang Gusti Allah..................... 408 Mudik Lebaran dan Rigenomics ................... 415 Sawang Sinawang Waktu Lebaran ............... 423 Sawang Sinawang Waktu Lebaran ............... 431 Air Dan Hidup Ngrekasa ............................. 439 iii



Raden Soemantio ..................................... 445 Pasca Lebaran .......................................... 455 Beni Prakosa Masuk Sekolah....................... 463 Semeleh .................................................. 473 Pak Ngalmus Alias Mister Almost ................. 479 Uber Alles ................................................ 489 Wahyu Cakraningrat .................................. 499 Taksi AC Jakarta ....................................... 508 Ketoprak dan Desa .................................... 514 Melaksanakan Nglobi Untuk Pak Ngalmus ..... 522 Mr. Rigen Menjangkau Langit ...................... 534 Mister Blue Moon ...................................... 543 Di Radio, Aku Dengar …............................. 551 Merdeka, Mr. Rigen ................................... 563 Membina Budaya Wong Cilik ....................... 574 Hidup Bagaikan ….. ................................... 583 Malam Suro Mr. Rigen................................ 591 Ngalap Berkah Di Malam Suro..................... 601 Pedagogisch Kontekstual ............................ 611 Suro Sakmadyaning Wono.......................... 622 Martabak, Bukan Martabat ......................... 635 Badai Pun Sudah Berlalu ............................ 645 Status ..................................................... 654 Dollar Rush .............................................. 663



iv



Pengantar GM Sebuah tulisan pendek, ditulis tiap minggu untuk sebuah koran lokal, dengan gaya yang akrab kepada pembaca dan dengan cara seperti seenaknya, untuk menyatakan soal-soal sehari-hari yang tampaknya remeh-temeh – apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh Umar Kayam, sastrawan terkemuka, guru besar yang biasa menganalisis perbagai soal, dalam kolom-kolomnya yang sangat digemari di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta ini? Satu hal jelas : Umar Kayam tidak berpura-pura “populer”. Ia tidak mengambil pose seorang pintar yang merendah-rendahkan secara palsu seperti juru penerang yang punya siasat agar bisa dijabgkau orang banyak. Setiap tulisan dalam Mangan Ora Mangan 1



Kumpul ini adalah cerminan suatu pendekatan ramah yang otentik, tanpa siasat ini dan itu. Umar Kayam tidak mengambil jarak (lebih tinggi atau lebih rendah) dari pembacanya. Ia menganggap mereka suatu bagian yang intim, “orang dalam” dalam lingkungan dialognya. Ia, sebab itu, tak pernah menjelas-jelaskan. Ia tak pernah mengasumsikan bahwa Anda akan mengerti apa yang dikatakannya. Baginya, begitu Anda ambil selembar Kedaulatan Rakyat dan Anda baca kolomnya, otomatis Anda sudah satu “gelombang radio” yang sama dengan dia. Maka tulisannya mencerminkan suatu keleluasaan, suatu kebebasan gaya yang jarang ditemukan di antara para penulis kolom di koran-koran harian. Sang penulis bahkan terasa menikmati proses penulisannya. Guraunya, loncatan2



loncatan pikirannya, kombinasi kocak metaphor dan pilihan katanya, juga nada komentarnya yang seperti bergumam, semua begitu meluncur seenaknya. Semuanya menunjukkan bagaimana eratnya hubungan yang diciptakannya antara dia dan pembaca yang dibayangkannya akan mengikuti tulisannya. Dengan cara lain bisa dikatakan : bila setiap pengarang kolom sedikit banyak membayangkan pembacanya sendiri waktu menulis, maka tampaknya Umar Kayam membayangkan para pembacanya di Kedaulatan Rakyat sebagai karibnya yang sering bertandang. Dalam hal ini, Mangan Ora Mangan Kumpul adalah contoh terbaik dari, untuk meminjam peristilahan yang hampir menjadi klise kini, penulisan “konstekstual”. Siapa yang berada di luar konteks ini memang agak sukar masuk ke dalam 3



dunia Pak Ageng, Mister Rigen, Nansiyem dan Beni, para tokoh utama sketsa-sketsa ini. Tapi siapa yang berada dalam konteks itu – seperti banyak pembaca Kedaulatan Rakyat yang dengan setia mengikuti kisah-kisah anekdotis Umar kayam ini – akan menemukan banyak hal. Humor, komentar sosial yang cocok atau, dalam omongan orang Yogya, mathuk. Kemahiran yang spontan untuk menempatkan satu kata atau kalimat dengan asosiasi kata atau kalimat yang mendadak lain (plesedan). Juga : pernyataan-pernyataan yang arif tentang suatu situasi. Tapi apa konteks tulisan Umar Kayam ini sebenarnya? Yang mengagumkan saya ialah bahwa tidak ada sedikit pun tedensi untuk berlagak dalam sikapnya menulis, sementara yang tersirat dari dalamnya adalah sesuatu yang sangat penting : seraya mengambil resiko untuk 4



“mengkhianati” sifat tanpa pretensi tulisan-tulisan ini, saya ingin mengatakan, bahwa Mangan Ora Mangan Kumpul akhirnya adalah rekaman, juga komentar, tentang masyarakat Jawa yang sedang dalam peralihan. Melihat “metode” Umar Kayam, saya terkadang teringat Obrolan Pak Besut di RRI Yogyakarta dulu, yang sewaktu saya kecil saya lihat diikuti oleh banyak orang kampung dari radio tetangga yang dipancarkan keras-keras : pada Pak Besut ada beberapa tokoh (man Jamino, mBakyu Santinet) yang bertukar pikiran untuk mengomentari suatu persoalan sosial atau politik. Pada tulisan Umar Kayam ini kita juga bersua dengan sejumlah tokoh tetap. Tapi yang membedakan Umar Kayam dengan Pak Besut ialah wawasannya, ketajaman persepsinya, kekayaan referensinya, yang memang hanya 5



mungkin terdapat pada diri seorang yang punya latar belakang hidup seperti Umar Kayam : sastrawan, kritikus seni, pembahas masalah budaya, yang tak asing dengan banyak unsur kehidupan kini, dari soal makanan sampai dengan soal sosiologi, dari Waljinah sampai dengan Woody Allen. Ia bisa dengan enak menyebut bullion di antara soal gudeg dan prosesnya, ia bisa meloncat dari kata yen (mata uang Jepang) ke dalam suatu lagu sentimental Jawa yang enak itu, yang nadanya melamun sedih tentang impian yang tak sampai, bukan tentang uang tapi tentang kekasih : yen ing tawang ana lintang …. Tapi persepsi yang tajam dan kaya Umar Kayam tampak benar dalam potret alter ego-nya, tokoh Ageng, priyayi yang terpelajar dan “modern” (lihat pergaulannya dengan anak-anaknya), tapi kikuk menghadapi sekitarnya yang sibuk 6



dalam proses “the making of economic society”. Inilah zaman ketika uang kian menjadi penting, juga bagi dirinya sendiri yang masih suka menikmati gaya hidup yang santai dan “hedonistis” kecil-kecilan, sementara memegang uang – sebagaimana layaknya priyayi – bukanlah kemahirannya. Anda akan melihat bagaimana ia memecahkan, sering secara ad hoc, dilema antara hidup pas-pasan dan hidup dengan nyaman. Anda akan melihat, sementara itu , khasanah informasinya, pergaulannya dan renungan-renungannya. Bila sketsa-sketsa ini akan dilihat sebagai suatu komentar sosial, Anda akan bisa juga melihatnya pada hubungan “dialektik” antara Pak Ageng dan Mister Rigen. Posisi Mister Rigen adalah orang nomor satu dalam kitchen cabinet Pak Ageng, yang ikut menyumbangkan pikiran untuk keputusan-keputusan penting, tapi 7



tentu saja tak selamanya dipakai – yang menyebabkan kata kitchen cabinet ini sekaligus sebuah parodi dan juga plesedan, karena Mister Rigen pada dasarnya adalah apa yang kini disebut sebagai “pembantu”, dan dulu disebut orang Jawa sebagai “batur” yang tentu saja tinggal dan bekerja dekat dapur. Bahwa Mister Rigen terkadang menasihati, memprotes, menegur Pak Ageng – sementara ia masih sekali dua kali menyebut boss-nya itu “ndara” – menunjukkan bagaimana sedang “kacau”nya hubungan antara sang priyayi dan baturnya ini, tetapi juga “kekacauan” yang cukup wajar, karena kita juga menyaksikannya dalam hubungan antara Arjuna dan para punakawannya (atau, kalau mau lebih jauh lagi : antara Lear dan tokoh the Fool dalam lakon Shakespeare itu). Saya tak tahu mengapa Umar Kayam 8



memilih nama “Mister Rigen” untuk tokoh ini (dan istrinya, “Nansiyem”), tapi mungkin ini bagian dari main-mainnya untuk mengjungkir balikkan dunia kita yang mengenal Reagan sebagai presiden Amerika dan Nancy, the first lady”. Mungkin juga main-mainnya untuk menimbulkan asosiasi antara hubungan kekuasaan di rumah tangga Pak Ageng dan hubungan kekuasaan dalam dunia politik – yang biasanya juga punya kitchen cabinet, dan biasanya juga berpusat pada seorang pemimpin yang sesungguhnya hanya manusia biasa, yang kikuk, sering bingung, sering bossy, dan akhirnya memang tak terlampau hebat. Tapi bagi saya, lebih penting dari sifatnya sebagai komentar sosial (ini sebenarnya cuma salah satu dari segi Mangan Ora Mangan Kumpul), tulisantulisan Kayam enak dinikmati karena ia, secara spontan dan konsisten, 9



memberikan kearifan memandang hidup. Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa kearifan ini adalah kearifan khas Jawa, karena tulisan-tulisan ini penuh dengan “warna daerah”, tapi saya kira tidak seluruhnya harus demikian. S. Takdir Alisjahbana pernah mengatakan bahwa satu kata kunci untuk memahami kebudayaan Jawa adalah kata alus. Seorang teman saya yang sudah meninggal, Sudjoko Prasodjo, pernah mengatakan bahwa Takdir salah : kuncinya terletak dalam kalimat “ngono yo ngono, nanging aja ngono” – yang bila diterjemahkan bebas kira-kira berarti, “bersikap begitu boleh-boleh saja, tetapi jangan begitu, dong” – suatu himbauan agar kita jangan berlebihan, tapi bagaimana batas “berlebihan” itu dibiarkan kabur. Saya kira baik Takdir maupun Sudjoko Prasodjo benar, dan tulisan Umar Kayam ini pada dasarnya 10



mencerminkan kedua-duanya. Namun intinya tak spesial Jawa, bahkan universal : intinya adalah moderation – suatu hal yang bisa kita dapatkan pada hadist Rasul ataupun filsuf Yunani, pada pemikiran Camus ataupun pada nasihat Wedhatama, agar kita tidak terlampau jauh melangkah, agar kita tidak kadohan panjangkah. Sebab hidup, seperti yang tersirat dalan tulisan-tulisan Umar Kayam ini, tidak bisa dilihat secara ekstrem : banyak problem, tapi kita masih bisa selalu betah karena hidup tak pernah jadi proses yang soliter. Banyak kesulitan, tetapi tak pernah terasa nada getir dan pahit dari mulut Pak Ageng karena masih banyak orang yang menyenangkan di sekitar kita. Mangan Ora Mangan Kumpul adalah judul yang sangat bagus untuk kumpulan ini. Goenawan Muhammad 11



Ditya Nguntal Arto Negoro SELAIN dari ujian berbahasa Indonesia yang baik dan benar, saya harus menjalani ujian atau lebih tepatnya interogasi lain dari Mr. Rigen and family. Waktu saya merebahkan badan di tikar untuk, sebagaimana biasa, di-behandel oleh tangan ajaib direktur kitchen cabinet, begitu saja dan dia mulai bertanya, “Kémpol-kémpol Bapak ini kok kerasnya bukan main. Berapa lama malam itu menari?” “Sebenarnya tidak berapa lama. Paling cuma sepuluh menit, Gen.” “Bapak didhapuk jadi apa?” “Jadi salah satu dari raksêså sèwu nêgoro. Memangnya kenapa?” 12



“Ha, inggih niku, Pak. Coba namanya itu siapa?” “Ditya Nguntal Arto Nêgoro. Memangnya kenapa?” “Ha, inggih niku, Pak.” Kalimat itu tidak diteruskan, tetapi terasa sentuhan tangannya yang nyêtnyêt itu makin diperkeras. Juga kemudian saya tahu si bêdhès cilik, Beni Prakosa, ikut-ikutan memukul-mukul pantat saya. “Atho … atho …! Kenapa sih, kalian? Sakit lho!” “Ha, inggih niku, Pak. Ha wong … “ “Ha inggih niku, ha inggih niku! Kamu itu ngomong apa?” “Ha, inggih niku, Pak. Wong milih rol kok dadi buto. Terus namanya kok ya Ditya Nguntal Arto Nêgoro. Pantês aja, 13



Pak.” “Pantês bagaimana?” “Buto itu kan èlèk to, Pak? Sudah èlèk tukang nguntali arto nêgoro.” “Lantas?” “Lha, karuan saja Bapak jadi kêsiku danyang buto. Mereka marah Bapak sembarangan main rol itu.” “Lho, sembarangan bagaimana to, Gen. Sebelum gladi resik kami semua slamêtan itu, Gen. Makan nasi tumpeng, gudangan dan ingkung pitik, lho!” “Ha, inggih. Tapi Bapak kan tidak khusus minta ijin kepada danyangé buto. Dan nama itu juga nama berat, Nguntal Arto Nêgoro. Belum pernah ada dalam dunia pewayangan ada nama begitu, Pak.” 14



“Wah, lha bagaimana saya tahu ada danyang buto segala. Tahu saya main wayang ya main begitu saja, Gen. Terus bagaimana?” “Lha, ya ini kémpol-kémpol Bapak jadi keras semua!” “Ooo … dhapurmu, Geenn, Gen. Danyang buto mana ada urusannya sama kémpol-kémpol?!” “Elhoo, Bapak ini bagaimana?! Danyang buto itu jelas marah terus ngirim tenaga dalamnya ke kémpolkémpol Bapak. Ayo, Lé, bantu Bapak. Kamu pukul bokong Pak Ageng keraskeras. Bapak biar terus pegang kémpolkémpol ini.” Dan penyiksaan itu dimulai lagi. Ciloko! Punya punakawan kelewat kreatif beginilah resikonya, kadang-kadang harus menderita secara fisik. 15



Waktu akhirnya mereka melepaskan cengkeraman dan membiarkan saya duduk kembali, badan ini terasa serba berbunyi rêngkiyêt-rêngkiyêt, bagai mesin yang sudah lama tidak kena oli. Mr. Rigen datang membawa kopi jahe panas. “Naah … sekarang sudah enteng to, Pak? Tenaga dalam danyangé sudah saya usir.” Beni Prakosa pringas-pringis mendekati tempat saya duduk. “Pak Ageng, persennya mana, Pak Ageng?” “Persen gundhulmu, Lé. Wong kamu ikut menyiksa kok masih berani minta persen. Persen thothok gundhulmu sini.” “Ampuunn, Pak Ageng. Sakit!” Dan ia pun lari ke belakang mencari ibunya. 16



Sambil mênyêruput kopi jahe panas, saya ingat pentas wayang malam itu. Pengalaman yang indah dan dahsyat. Bersama penari-penari jago kapuk yang rata-rata pernah menari empat puluh hingga lima puluh tahun yang lalu. Kami dibaurkan dengan para penari wayang wong Bharata yang profesional dan sangat berbakat. Dengan semangat dan dedikasi yang mengharukan mereka menari menjabarkan peranan yang dibebankan kepada mereka. Ada yang tamatan SMA, tetapi kebanyakan adalah drop-out berbagai tingkat sekolah. Dengan sabar dan penuh toleransi mereka mengikuti gerakan tari kami, jago kapuk yang hanya karena tidak pernah diberi kesempatan oleh sang waktu untuk mencapai taraf Rusman dari Sriwedari itu, yang pada malam itu pating gêdhobrak bergerakgerak bagaikan satu peleton panser. 17



Kies Slamet, salah seorang penari gagahan profesional terbaik sekarang ini, dengan serius berhadapan dengan kami gerombolan buto, raksasa, yang hanya mau lebih serius untuk bidang-bidang yang lain (yang lebih menguntungkan). Sebagai Rama Bargawa yang mengerikan itu, Kies Slamet membabat kami dengan seriusnya. Dengan tidak kalah seriusnya (setidaknya begitulah itikadnya) gerombolan itu mênggêlundung satu demi satu. Pada zaman voor de oorlog, zaman sebelum Perang Dunia II, honor untuk buto-buto yang sekali tampil langsung mati dibabat begitu adalah sêbénggol atau dua setengah sen. Jumlah yang bisa untuk beli dua mangkuk soto daging thethelan dan segelas teh panas. Pada malam itu “buto-buto sêbénggolan” itu tidak terima apa-apa. Buto-buto itu sudah cukup bangga bukan main karena sudah 18



diperbolehkan ikut main dan masih ditambah masuk liputan media massa. Tetapi, bagi mereka, penari profesional dari wayang orang Bharata itu, dengan atau tanpa bantuan dari penari tiban seperti kami ini, the show must go on. Meskipun honor mereka sudah berlipat entah berapa ribu kali sejak zaman sebenggolan dulu, nasib mereka mungkin masih saja tetap “sêbénggolan”. Honor yang mereka terima masih sejauh rentangan makan untuk hari ini. Belum bisa direntang lebih jauh lagi. Apalagi untuk disisihkan sebagai tabungan. Tentu ini tidak berlaku bagi para super star seperti Rusman, Darsi, Surono dari Sriwedari atau Kies Slamet dan Aries Mukadi dari Bharata. Mereka adalah maha bintang yang sudah terlanjur mukti. Toh, wayang orang Bharata boleh dibilang untung juga (kapan sih orang Jawa pernah tidak untung?). Pemerintah 19



DKI Jaya terus memberi subsidi yang boleh dibilang cukup dan memodali yayasan mereka untuk kesejahteraan mereka. Sekarang wayang orang Bharata boleh dibilang wayang orang paling profesional di negeri ini. Gedungnya di bilangan Senen itu selalu mendapat kunjungan yang lumayan. Mutu koreografinya bagus dan rapi. Begitu pula dengan kostumnya. Semua menunjukkan hadirnya tangan-tangan pembina yang memang mau melihat wayang orang maju. Tentu itu semua karean dulu ada seorang Djajakusuma, yang sayang sekali telah meninggal setahun yang lalu. Dan untuk memperingati tokoh pembina itulah, pada malam itu para jago kapuk itu rela jadi penari tiban dengan harapan siapa tahu Pak Djaja di atas sana berkenan untuk tertawa cêkikikan. Tetapi, sampai kapan wayang orang dapat bertahan? Berapa banyak wayang 20



orang yang masih tinggal? Mungkin tidak lebih dari empat atau lima kelompok wayang orang profesional yang masih berdiri. Untuk memakai istilah Mr. Rigen mungkin danyang-danyang wayang orang itu sudah banyak yang pindah mendanyangi pertunjukan lain yang lebih punya gebyar dan, tentu saja, lebih menguntungkan. Kalau betul kepercayaan Mr. Rigen itu, maka danyang-danyang buto yang mengirim tenaga dalam masuk ke dalam kémpol-kémpol saya itu adalah danyang yang satu ketika mesti dihadiahi satya lencana kebudayaan. Tiba-tiba Beni Prakosa masuk siriksirik, lari-lari kecil, sambil mulutnya mengucap „ning-nung, ning-nung”. Kepalanya memakai mahkota dari daundaun nangka, mulutnya ditambah dengan siung, di perutnya melilit selendang ibunya. Dia menggerak-gerakkan kakinya kemudian berhenti di depan saya. 21



“He, hee, heee … Pak Ageng buto! Beni minta arto! Saiki, yooo. Kalau tidak awas Pak Ageeeng …!” Ning-nung, ning-nung … buto pengemis itu keliling kemudian jatuh bersimpuh di depan saya. Tangannya menengadah, ngatong, “Oalahh, buto kéré. Jangan mau didhapuk jadi raksasa yang nggak punya duit. Kalo sudah didhapuk jadi buto ya harus berani kaya. Nguntal arto nêgoro. Hua, hua, ha,ha, haa … begitu. Ayo diulang sana!” Ning-nung, ning-nung, ning-nung. Beni Prakosa keliling lagi. Waktu berhenti, dia berdiri di depan saya. “He, hee, heee … Pak Ageng buto. Mana duitnya. Saya mau beli es tungtung, Pak Ageng. Ya, Pak Ageng, yaa … “ 22



Saya tersenyum memberi uang seratus perak kepada wayang cilik itu. Saya ngunandikå, „Memang ada buto yang berbakat nguntal arto nêgoro tapi ada juga buto yang berbakat kecil-kecilan alias drêmis, cukup mengemis uang kecil buat beli es tung-tung. Wong namanya juga wayang, kok … „



Yogyakarta, 16 Nopember 1988



23



Rapor Beni Prakoso Beni Prakosa datang pada satu siang memamerkan buku rapornya. Agak terkejut juga saya melihat rapor itu. Lha, wong rata-rata cuma „cukup”, bahkan untuk olahraga dan jasmani dia mendapat „kurang”. Saya ngunandikå, apakah tuntutan sekolah TK Indonesia Hebat itu begitu dahsyatnya, sehingga Beni Prakosa yang saya kira jenius itu cuma „cukup” saja mutunya? Wah, mungkin juga. Bukankah taman kanak-kanak yang hebat itu menurut pencetus idenya dulu akan mencetak calon-calon jenius Indonesia yang nantinya akan membereskan segala persoalan negeri kita forever and ever and ever and ever, ever, ewer, ewer and ewer …? “Coba, Lé, sini. Bapak ibumu juga suruh ke sini!” 24



“Bapaak, ibuuuk, adiik, dipanggil Pak Ageng semua!” teriak bêdhès cilik itu. Mr. Rigen, mak grobyak, meninggalkan pekerjaan di dapur, buru-buru menyeret istrinya yang kelihatannya sedang di tengah proses neteki anaknya. Mereka semua langsung duduk menghadap saya yang seperti biasa ngêdhékrang di singgasana goyang. Jejeran itu mungkin hanya dapat disamakan dengan jejeran pertapaan kecil-kecilan di wayang orang komersial. “Coba, Ben. Menurut kamu rapormu ini bagus atau tidak?” “Bagus!Gud, gud, Pak Ageng.”Tangan bêdhès cilik itu mengacungkan jempolnya. “Bagus.Lha, kalo menurut kamu, Gen, Yem?” Kedua orang itu saling berpandangan 25



sementara anak bayi mereka kroncalan, agaknya minta agar jatah teteknya jangan dihentikan dulu. “Gud, Pak.” “G-g-gud, Pak.” “Woo … bapak sama ibu kok pada jadi beo anaknya. Gud, gud, gud. Tênan, på?” Sekali lagi mereka saling berpandangan. Kali ini mereka tersenyum malu-malu. “Lha, maunya Bapak bagaimana? Kami ini kan hanya sakdrêmi ikut panjênêngan saja to, Pak.” “Lho, kok menurut saya. Saya itu kepingin tahu pendapat kalian tentang rapor anakmu itu. Apik opo ora? Kok menurut maunya Bapak bagaimana. Itu feodal namanya. Camkan itu, Mister, fe-odal!” 26



Tiba-tiba Mr. Rigen ketawa nyêkikik. “Hi … hi … hiikk. Peo-dal. Saya kok terus ingat zaman kecil saya dulu lho, Pak.” “Ada apa dengan zaman kecilmu, Mister?” “Dulu waktu masih sekolah SD ada kue merah jambon, namanya péa-péo.Péapéo, péa-péo. Begitu mereka dulu menjajakan kue itu.” “Ooo, rupamu! Yang diingat makanan saja. Feodal itu kalau semua bawahan tahunya cuma manut miturut kepada atasanya.” “Lha, ya baik to, Pak. Bawahan ya harus tunduk dan nurut sama atasan to, Pak. Lha, kalau tidak rak ya kacau, Pak!” “Manut miturut kalau atasan benar. Sering kali atasannya nggak benar itu!” 27



“Lha, mbok mbotên bênêr, wong namanya atasan itu terus jadi bênêr, Pak. Ya harus dituruti.Kalau tidak kan dapat dipecat bawahan itu, Pak.” “Wah, saya keberatan kalau kamu mbéo saya, Mister. Kalau saya salah, saya mau kamu ingatkan. Jangan dibiarkan dan kamu terus manut saja.Itu menjlomprong-kan, namanya. Sudah, sekarang saya mau tahu pendapatmu. Menurut kamu rapor anakmu itu bagus atau tidak?” “Bagus, Pak.” “Lha, kalau menurut kamu, Yem?” “Nggih bagus, Pak.” Sekarang saya yang bengong. Bagus? Rapor seperti itu bagus? “Coba terangkan, Gen. Bagusnya itu bagaimana?” 28



“Lho, cukup itu rak tidak jelek to, Pak. Kalau dijadikan angka, rapor tholé itu rata-rata enam to, Pak. Lha, enam itu kalau miturut guru saya di Pracimantoro dulu sudah bagus, Pak. Tidak ditulis dengan tinta merah.” “Lha, kalau menurut kamu, Yem?” “Ha, inggih bagus, Pak. Wong ing atasé tholé itu anaknya wong cilik. Sekolah di kota. Sekolahnya orang-orang gedongan. Kata „cukup” itu rak nggih bagus to, Pak.” Waduh! Ciloko tênan! Kok begitu, lho, cara mereka berpikir. Padahal taman kanak-kanak itu bukan sembarang taman kanak-kanak. Namanya saja sudah TK Indonesia Hebat. Itu akan menyiapkan anak-anak yang hebat dalam hidup yang penuh dengan persaingan. Hidup dalam dunia modern yang hebat. 29



Di SD, SMP, SMA dan Universtas, mereka akan terus disaring, disaring dan disaring. Hingga akhirnya tinggal yang paling hebat dan cemerlang yang bakal mengatur negara. Di situlah, kata para pemikir sistem pendidikan saringan itu, republik ini akan tangguh dan hebat dalam semua hal forever and ever, and ever, and ewer, ewer, ewer. Lha, sekarang jagoan kecil saya yang „jenius” itu masuk di taman kanak-kanak yang dahsyat itu cuma „cukup” saja nilainya? Dan orang tuanya itu lho bolehnya nrimo? „Cukup” itu sudah bagus, kata mereka. Oh … inlander-inlander sejati. Oh … orang tua kualitas tempe. Wong mono cukup sakmadyå. Orang cukup sedang-sedang saja prestasinya. Itu kata para leluhur. Ojo ngåyå mundhak gêlis tuå. Jangan memaksakan diri nanti lekas tua. Itu wasiat nenek moyang. Waduh … apakah kita ini keturunannya 30



orang-orang krépo? “Oh … jadi begitu ya, menurut pendapat kalian. Rapor Beni yang „cukup” itu sudah bagus.” “Ha, inggih, Pak.” “Wéé … lha, kalau nanti anakmu itu harus pontang-panting harus mengejar kawan-kawannya bagaimana, Mister?” “Ah, ya biar saja pontang-panting, Pak. Biar dia rasakan. Wong hidup bapak ibunya juga selalu pontang-panting mengejar macam-macam.” Saya membayangkan anak yang padat gendut itu lari pontang-panting mengejar kawan-kawannya yang lebih ramping dan beringas. Sebentar-sebentar saya lihat anak itu terjatuh pringisan. Kemudian bangun lagi, lari lagi, mengejar kawankawannya yang semangkin jauh jaraknya. 31



“Mosok dia harus pontang-panting terus, Gen. Kalau dia nanti tercecer bagaimana lho, Gen?” “Wah, ya diusahakan jangan sampai tercecer to, Pak. Pontang-panting boleh tapi jangan sampai tercecer.” “Caranya?” “Ya, nênuwun, memohon terus kepada Yang Membikin Hidup agar dijauhkan terus dari rintangan dan halangan. Manungsåkan hanya menjalani saja to, Pak Ageng. Kalau garisnya tholé itu cuma akan „cukuupp” saja terus ya kami terima to, Pak Ageng. Mosok mau ngèyèl protes sama yang Kuasa?” “Oalahh, Geenn … Gen. mBok semangatmu itu jangan cukuuupp saja gitu to, Gen. Yang punya grêgêt gitu, lho. Disiplin anakmu itu diperkeras.Belajar yang lebih ajêg dan tekun. Dunia ini 32



harus bisa dia rêgêm, dia pegang kêncêng-kêncêng di tangannya.” “Yak, Bapak kii. nDonyå, dunia harus dirêgêm? Lha, bisa kualat kita nanti. Sudahlah, Pak. Kulå sakmadyå mawon. Lagi pula kalau semua orang mau hebat dan cemerlang itu apa ya bisa to, Pak. Wong nyatanya bagian terbesar manusia rak inggih yang sedang-sedang saja to, Pak Ageng. Mereka itu kan juga banyak gunanya to, Pak?” Saya jadi termangu-mangu. Di hadapan saya duduk seseorang yang kukuh ora mingkuh mempertahankan filsafat „sedang-sedang” saja. Padahal dunia kita sudah dilecut untuk saling mengejar kehebatan, excellence. Apakah dia tidak tahu itu? Apakah saya gagal menanamkan pengertian itu? Mereka kembali ke belakang meneruskan pekerjaan mereka dengan 33



penuh dedikasi dan etos profesi. Sebentar kemudian mereka dengan sebat mengatur meja untuk makan siang. Sayur bobor bayam dan pepaya muda, sambel tempe bakar dengan sedikit jêlantah, empal daging dan tempe bacêm. Dengan keramahan dan gaya yang elegan, suamiistri itu menyilakan saya makan siang. Di halaman, anak mereka, si bêdhès cilik Beni Prakosa lari-lari sambil berteriak, “Pé-a … pé-o … pé-a …p-éo … pé-a …!” “Huss, huss, Lè. Ojo bêngak-bêngok. Pak Ageng lagi dhahar …!” Yogyakarta, 23 Nopember 1988



34



Si Gendut Sakit Gondongan upacara untuk tumbuh menjadi besar ternyata tidak harus lewat berbagai macam slamêtan dengan nasi tumpeng dan ingkung iwak pitik. Itu upacara untuk para danyang dan lelembut yang momong kita. Dengan slametan teratur begitu, danyang “yang momong” kita akan selalu bersedia waspada menjaga keselamatan kita. Tetapi, ya itu! Asal kita selalu waspada juga ingat hari-hari dan menu slamêtan itu. Kalau tidak, wé … lha, ojo takon doså! Kita bisa ditinggalkan mereka. Nah, itu upacara di bidang spiritual. Ternyata tubuh kita juga punya skenario upacara untuk mengantar kedewasaan bagian-bagian dalam tubuh kita. Kita semua, tanpa kecuali, harus melewati dan mengalami periode-periode 35



sakit tertentu. Harus pernah mengalami cacar air, tampèk, batuk kuing-kuing, kêringêt buntêt, gatêl anjing merah dan gondongan. Tubuh kita ternyata lebih luwes dalam menuntut upacara tersebut dibandingkan dengan para lelembut yang menjaga kita. Ia menganjurkan agar sebaiknya kita mengalami itu ketika kita masih kecil, ketika kelenjar-kelenjar dalam tubuh kita belum tumbuh. Dengan begitu upacara itu tidak akan terasa terlalu sakit. Tetapi kalau tunggu sampai besar, waduhh … sakit banget. Saya bisa berkata begitu karena dulu waktu masih mahasiswa (jadi sudah dewasa plus kelenjar-kelenjar), saya kena penyakit gondong. Wah, sakitnya minta ampun! Panas, pusing, sênut-sênut di sekujur badan dan bengkak. Nah, soal bengkak ini buat kaum lelaki agak memalukan dan merepotkan. Tempatnya itu lho, kok ya di bagian tubuh yang di 36



bawah. Kalau bengkaknya besar jadi seperti nggémbol teko teh. Waktu saya kena musibah itu, ya seperti nggémbol teko teh itu. Dan kalau terpaksa harus turun dari tempat tidur, wah jalan saya benar-benar repot dan memalukan. Kalau sudah begitu, saya ingat waktu zaman saya masih duduk di SMA, pada saat ada pertandingan olah raga. Cheerleader alias kepala tukang sorak kelas saya menciptakan sorak kekompakan yang berbunyi, “thil konthal kanthil gandhul, thil konthal kanthil gandhul, thil konthal kanthil gandhul.” Untuk menghibur sakit dan repotnya jalan dari kamar tidur ke wc, saya pun menggumamkan, thil konthal kanthil gandhul, thil konthal kanthil gandhul … Nah, waktu saya pulang ke Cipinang Indah, saya temui si Gendut, anak saya yang wuragil, sedang terkapar di tempat tidur kamarnya dengan gondong. 37



Badannya yang subur kelihatannya agak susut kecuali di bagian leher dan rahang. Kepalanya jadi seperti ditiup mirip jambu bangkok raksasa. Dokter yang memeriksanya sama komentarnya dengan dokter yang dulu, “Tidurlah dan menderitalah, nanti kan sembuh sendiri.” Barangkali untuk menghadapi virus yang memang belum ada obatnya, ada semacam persengkongkolan kata-kata hiburan antar para dokter. Si Gendut tahun ini sudah (atau baru) dua puluh tahun. Tampangnya kelihatan menderita betul. Habis, upacara gondong baru terlaksana sesudah berumur dua puluh tahun. Saya, meskipun iba melihat anak bungsu itu menderita begitu, tidak bisa apa-apa selain membeo dokter, tidurlah dan menderitalah nanti kan sembuh sendiri. 38



“Pak, saya kok sial betul, sih. Dapat gondong kok baru sekarang.” “Ya, jangan dianggap sial. Anggap saja paringan Gusti Allah.” “Kok dianggap? Memang paringan Gusti Allah, kan?” “Naa, sudah tahu begitu kok masih mengeluh. Sudah terima saja, terima saja.” Dengan senyum kesakitan karena susah menggerakkan mulut, si Gendut memukul saya. “Terima saja, terima saja. Enaknya ya, orang sehat itu kalau ngécé orang sakit.” Untuk menghiburnya, saya ceritakan pengalaman saya sakit gondong dulu lengkap dengan jalan yang thil konthal kanthil gandhul itu. Dia tertawa kesakitan. 39



“Be, kenapa Gusti Allah memerintahkan tubuh kita punya upacara begini?” “Mungkin supaya tubuh kita tidak kaget tumbuhnya. Mungkin juga supaya kita kadang-kadang merasakan sakit yang agak lain.” “Biar apa?” “Ya, nggak tahu. Biar begitu saja barangkali. Mungkin juga supaya kita lebih menghargai rasanya sehat.” “Gusti Allah itu kok ada-ada saja caranya mencoba orang. Kreatif bener Dia.” Saya tersenyum. Si Gendut anak saya yang paling religius di rumah. Pada waktu harus menderita di luar rencana, toh masih berani ngêlèdèk Gusti Allah juga. Tapi, untunglah Gusti Allah Maha Mengerti. Jangankan humor kecut dari 40



Gendut, humor yang ora lucu dari para pejabat saja Gusti Allah juga mengerti, kok. “Be, kita ini harus mengalami sakit anak-anak cuma sekali saja, ya?” “Ha, iya. Sesudah mengalami semua itu, tubuh kita jadi perkasa selamanya.” “Itu kalau tubuh, Be. Kalau negeri kita ini dari dulu sakit anak-anak melulu. Nggak sembuh-sembuh, nggak pinterpinter, nggak perkasa-perkasa.” “Ah, kamu. Mulai sok pinter, nih.” “Ha, lihat saja, Be. Kereta dari dulu meleset dari rel. Bis terguling. Pilot jet masih nabrak jendela, di Bangkok lagi. Pramugrari-pramugrari Garuda masih saja belum bisa bahasa Inggris. Kadang bahasa Indonesia juga masih blepotan. Tivi juga ikut-ikutan. Nulis perfect strangers saja nggak becus, jadi perfect 41



stranggers. Lha, itu semua kan masuk rumah sakit anak-anak to, Be? Sudah lebih empat puluh tahun merdeka itu!” “Eh, tubuh negeri seperti tubuh orang juga, nDut. Ada yang cepat sembuh, ada yang pelan sembuh.” “Dan ada yang pelan sekali. Bahkan ada yang tidak sembuh sama sekali!” “Ah, ya tidak to. Namanya penyakit anak-anak. Pasti suatu saat sembuh.” “Dan itu sakit korupsi. Itu sakit anakanak yang kayaknya paling disenangi. Dari dulu pejabat itu korupsi melulu dan …..” “Huss … huss … huss … kok terus sewot kowé! Sabar …” “Tidak sipil, tidak ABRI, tidak …” “Huss … huss … huss … nDut, 42



tidurlah dan menderitalah, nanti kan sembuh sendiri!” Dan ajaib, Gendut mendengar „nanti kan sembuh sendiri” kok jadi tertidur sendiri. Pelan-pelan saya selimuti dia. Saya terus menggumam, tidurlah dan menderitalah, tidurlah dan menderitalah, thil konthal kanthil gandhul, thil konthal kanthil gandhul, thil …



Yogyakarta, 1 Nopember 1988



43



Mbandung, Mercedez dan Nasionalis Kiri PULANG dari Bandung untuk tugas rutin, yaitu “jual kecap” alias “jual abab”, saya disambut dengan hangat oleh seluruh staf kitchen cabinet saya. Saatsaat seperti itu selalu mengharukan hati saya. Mereka adalah orang-orang gajian yang selalu saya gaji dengan murah sekali. Begitu murahnya sehingga seharusnya mereka sudah dari dulu meledakkan satu revolusi di rumah saya. Satu revolusi yang digerakkan oleh kelas buruh yang mampu memaksa kami kaum elite birokrasi yang disebut priyayi untuk menyetujui tuntutan upah minimum mereka. Toh, revolusi itu tidak pernah pecah. Padahal mereka anggota satu bahkan dua gerakan kaum buruh, yaitu Persatuan Djongos-Djongos (PDD) 44



dan Persatuan Babu-Babu (PBB), yang konon sudah didirikan sejak sebelum Gunung Merapi meletus (tentu tidak pernah jelas letusan Merapi yang kapan). Dua gerakan buruh itu sesungguhnya juga sudah beberapa kali mengadakan rapat untuk menuntut kenaikan gaji mereka. Maksudnya kenaikan yang benarbenar terasa memuaskan. Dan bukan kenaikan yang cuma beberapa rupiah dalam setiap empat bulan Suro itu. Yang mereka tuntut adalah baju baru sekeluarga empat sampai lima kali setahun, ganti sepatu baru dua atau tiga kali setahun serta gelang, kalung, giwang emas yang gandhul-gandhul di tubuh para madam itu. Toh, revolusi mereka tidak pernah sempat pecah. Jangankan revolusi, untuk berpawai dan membacakan resolusi pun tidak pernah sampai terjadi. Yang saya dengar kemudian dari Mr. 45



Rigen, ada seorang oknum yang dibawa oleh salah seorang anggota gerakan itu yang menyakinkan mereka semua untuk tidak usah melancarkan demonstrasi kenaikan upah. Apalagi revolusi, jangan! Kata oknum itu, “Ini bukan jamannya tuntut-tuntutan. Semua bisa dirembuk baik-baik sesuai dengan kepribadian dan budaya kita. Apalagi kata „revolusi” dan „demonstrasi” itu sesungguhnya ciptaan kaum kiri. Salah-salah organisasi ini bisa dituduh organisasi komunis. “Apalagi pasti ada saja sanak saudara yang terlibat dalam gestok, eh, gestapu to? Hayoo, yang jujur saja. Ada to? Naa …!!” Begitu kata oknum itu selanjutnya. “Daripada dituduh PKI, tidak bersih lingkungan, luwih bêcik ora usah åpååpå. Ini zaman susah cari kerja, susah cari makan. mBok yang nrimo, nggih 46



sêdulur-sêdulur. Majikan-majikan sampéyan semua itu bukan sembarang majikan. Mereka bukan kapitalis, tapi KORPRI. Ingat Kor – pri! Pasti mereka sudah penuh peri kemanusiaan semua. Lha wong mereka itu ditatar P4 terus, lho! Sudahlah … serahkan semuanya kepada majikan kalian. Serahkan pada roso kemanusiaan mereka …” Demikian kisah Mr. Rigen tentang seorang „oknum” dalam organisasi mereka. “Lha, saya yo manggut-manggut setuju saja to, Pak. Wong yang diucapkan itu betul semua, kok.” “Betul apanya, Gen?” “Lho, lha inggih. Panjênêngan itu apa pernah to sio-sio, menyia-nyiakan saya?” “Ya êmbuh!” 47



“Nggak pernah. Kenaikan gaji sênajan sithik-sithik setiap inplasi, ya Bapak berikan. Baju lorodan-lorodan, ya terus mengalir. Senajan kaos yang diberikan itu bolong-bolong di sana-sini.” “Huss …! Kamu nyentil, ya! Ngritik, ya!” “mBotên. Cuma matur seadanya saja kok, Pak. Tapi betul kok, Pak. Saya sekeluarga itu merasa cukup kok di sini.” “Lha, rak begitu, Mister!” “Tapi, kiri itu artinya apa to, Pak?” “Kiri? Kiri itu …..” Dan saya, karena saking inginnya direktur kitchen cabinet saya itu memahami makna “kiri”, saya jelaskan panjang lebar. Saya mulai dari revolusi Perancis pada waktu kaum Jacobin menduduki kursi-kursi di deretan sebelah 48



kiri. Sampai kemudian jadi salah kaprah diartikan sebagai politik yang selalu membela rakyat kecil identik dengan “kiri”. “Lha, kalau begitu Pak Ageng itu kiri, begitu Pak? Wong Pak Ageng suka mbéla wong cilik seperti saya itu!” “Huss …! Ojo bantêr-bantêr, jangan keras-keras. Zaman sekarang dicap kiri itu bisa sangsoro lho, Gen.” “Sangsoro bagaimana? Wong dicap membela wong cilik kok panjênêngan takut to, Pak?!” “Ya, tidak takut begitu, Gen. Ning ya cuma sedikit takut.” Mr. Rigen ngglêgês. Mungkin sekarang dia tahu kalau nyali bosnya cuma sebesar têngu. Tapi, kemudian saya ingat dengan bekas bos saya di Deppen dulu, yang sekarang kembali jadi wiraswasta dan bos 49



surat kabar. Beliau yang sekarang punya hotel indah bin mewah, ke mana-mana naik Mercedes, dengan tegas tanpa raguragu, tanpa wigah-wigih, menamakan dirinya sebagai nasionalis kiri! Lho, opo ora hebat?! Beliau bilang, Mercedes itu cuma alat transportasi yang sangat penting untuk melancarkan tugas-tugas. Tentu yang beliau maksud dengan „untuk melancarkan tugas-tugas”, adalah mengurusi dan membela wong cilik. Wah, saya jadi ikut bangga kalau ingat kembali bekas bos saya itu. Tetapi, waktu saya ingat jip rongsokan di garasi yang bos saya di universitas tidak mau nggantingganti, wah, kalau mau ikut-ikutan jadi nasionalis kiri bagaimana itu? Bagaimana saya bisa lebih baik mengurus nasib wong cilik? Waktu saya duduk minum teh panas yang secara kilat disuguhkan Mr. Rigen, Beni Prakosa nyeletuk, 50



“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng … mBandung itu di mana to, Pak Ageng?” “Oh, di sana, Lé. Jauuuhhh sekali.” “Sama jalan Solo, jauh mana?” “Masih lebih jauuhh lagi, Lé.” “Kalau sama Gembira Loka?” “Masih lebih jauuuhhh lagi, Lé.” “Wah, di pinggir langit ya, Pak Ageng?” “Ya, hampir nyrèmpèt langit. Apa bapak dan ibumu tahu di mana mBandung itu?” Mrs. Nansiyem senyum-senyum saja, menandakan tidak tahu persis di mana Bandung itu. Mr. Rigen kelihatan beringas mau tegas menjawab, “Saya tahu. Saya tahu, Pak. mBandung itu di nêgoro Sundho nggih, Pak?” 51



“Nêgoro Sundho gundhulmu amoh! Propinsi Jawa Barat, Mister!” “Ha, inggih. Rumahnya tiang-tiang Sundho to, Pak?” “Lha, ya betul. Itu daerah Pasundan, mBandung itu ibukotanya. Itu kota yang sangat penting dalam sejarah kita lho, Gen.” “Penting pripun?” “Elho, … kamu itu bagaimana? Sudah tahu cerita kota Paris, revolusi Perancis, kaum Jacobin, kok nggak tahu Bandung?!” “Ha, inggih. Sing niki belum tahu. Bagaimana ceritanya, Pak?” Saya lantas ingat tempat saya jual kecap di Bandung. Tempat itu adalah gedung di mana dulunya Konferensi Asia Afrika diadakan. Saya lantas ingat waktu 52



konferensi dulu masih mahasiswa ingusan tetapi sudah sok tahu politik tinggi. Memang peristiwa yang menggetarkan! Pemimpin-pemimpin dunia ketiga berkumpul untuk menyatakan diri mereka sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan. Nadanya memang nasionalis kiri, tetapi tanpa Mercedes. Waktu kemarin saya ngomong di situ, yang saya hadapi adalah ratusan mahasiswa dan dosen muda. Mereka juga ingin menyatakan diri mereka sebagai kekuatan baru. Itu juga menggetarkan! Menggetarkan karena saya cemas ke mana mereka harus cari kerja sehabis tamat kuliah. Kesempatan apa yang saya dan angkatan saya bisa berikan kepada mereka? “Geen, tolong siapkan jip. Saya harus segera ke kantor, kerja.” Jip tua kantorku saya starter. Ègrèk, 53



ègrèk, ègrèk, ègrèk … Wèr, èwèr, wèr, èwèr, wèr ….. Yogyakarta, 25 Oktober 1988



54



Mas Prasodjo Legowo Mungkin karena anyêl kepada saya yang tidak kunjung dapat memenuhi undangan makan di rumahnya, Mas Prasodjo Legowo bersama mbakyu begitu saja datang ke rumah saya. Waktu itu Minggu siang, hari yang panas yang betul-betul cocok untuk bermalasmalasan. Saya klêkaran, tidur di atas tikar, di depan teve hanya dengan celana pendek dan kaos oblong. Kalau klêkaran mingguan begitu, kondisi saya hanya serba setengah. Setengah tidur, setengah mêlèk. Kemudian yang setengah melek itu, yang seperempat untuk membaca mejalah-majalah, lha yang seperempat lainnya untuk teriak-teriak membentak Beni Prakosa yang suka glibat-glibêt mengganggu ketenangan saya dan memanggil Mr. Rigen untuk suplay nyamikan. 55



Pada hari Minggu itu, di tengahtengahnya klêkaran mingguan, saya dengar suara Honda bebek masuk halaman rumah. Waktu saya intip dari balik gordijn, saya terkejut melihat yang datang adalah suami-istri Prasodjo Legowo. Saya jadi blingsatan bercampur byayakan bercampur malu. Habis bagaimana, Mas Prasodjo itu adalah salah satu doktor matematika terbaik yang dimiliki negeri ini. Beliau adalah orang yang saya tuakan, yang selalu saya anggap sebagai kakak saya sendiri. Dulu waktu masih sama-sama belajar di luar negeri, dialah yang selalu dengan sabar mengajari saya ilmu statistik, sebuah ilmu yang sampai sekarang saya tidak kunjung mudhêng itu. Karena bimbingannya itulah saya bisa selamat lulus ujian. Meskipun sepanjang bimbingannya itu, tidak henti-hentinya dia berdecak kagum akan kebodohan saya 56



dalam memahami ilmu yang untuk banyak orang dianggap menentukan hidup matinya peradaban dunia modern. Mungkin di dalam hati Mas Prasodjo heran juga kok akhirnya saya bisa lulus juga dan akhirnya bisa jadi pengajar di universitas terhormat yang selalu bangga memiliki mahasiswa terbanyak di Asia Tenggara. Dia tidak tahu saja kalau saya bisa lulus itu karena komite pembimbing saya sudah capek membimbing saya dan ingin cepat-cepat melihat saya pulang ke tanah air. Dan dia tidak tahu juga, saya kira, saya bisa diterima jadi guru itu ya hanya di fakultas sastra saja, satu fakultas yang bagi kebanyakan orang tidak ada sumbangsihnya bagi pembangunan peradaban modern. Ah … tentulah ini ngunandikå-nya seorang yang penuh dengan kompleks jiwa yang mindêr. Kolega dan bahkan mahasiswa saya yang 57



cemerlang di fakultas tidak meyakinkan saya bahwa kalau tidak ada fakultas sastra, apa jadinya isi peradaban modern itu. Hampa, kosong, nir budaya, nir refleksi dan nir-nir lainnya lagi. Kalau sudah begitu hati saya jadi mongkok lagi. Dan Mas Prasodjo justru yang ikut menambah ke-mongkok-an itu. Dari sekian puluh ahli matematika yang terkenal, dialah salah satu pengecualian yang mengagumkan. Dia membaca Cervantes, Stendhal, Shakespeare. Dan dulu waktu di luar negeri melihat pementasannya meski di kelas kambing, Tolstoy, Dostoyewski, dll. Hampir semua sastrawan modern Amerika dan sudah tentu Indonesia dari Pramoedya sampai Suwarno Pragolapati. Dan puisi? Oh … ho, dia hafal sajak-sajak Chairil Anwar, Goenawan Mohammad dan Soetardji Calzoum Bachri. Kalau „Pengakuan Pariyem” tidak begitu 58



panjang dan anu, pastilah prosa lirik Linus Ag. Suryadi itu akan diganyangnya habis. Dan kalau saja sajak Darmanto Jt. Tidak bercerita tentang suami yang mencangkul dan membajak istrinya, pastilah Mas Prasodjo akan juga dengan mulus bisa menghafal semua sajak Darmanto yang ajaib itu. Kata Mas Prasodjo, “Lha, priyé … meski itu metafora, saya kok terus terbayang suami yang macul gundhul istrinya. Hii ..” Dengan rendah hati dia berkata kepada saya bahwa kesusastraan justru telah membuat matematika jadi lebih berarti dan menyenangkan. Lha, apa saya tidak makin besar hati? Dengan grawalan saya sambut mereka masuk rumah saya. Saya lihat mbakyu membawa tas yang penuh bungkusan dan satu renteng krupuk ndéså. 59



“Wah … wah … wah … Mas dan mBakyu, ini tadi dari mana? Pantas gagaknya kaok-kaok terus.” “Gagakmu itu. Ya, dari rumah to, Dik. Kalau gunung nggak mau turun ke Muhammad, ya Muhammad yang menaiki gunung itu, ya to?” “Wah touche, kena aku! Yo wis, ngapurané saja yang gêdhé, ya Mas, mBakyu. Saya ini memang adik yang nggak tahu diri. Diundang Kangmas dan mBakyu nggak pernah bisa datang, sekarang malah kalian yang datang. Dari blånjå di pasar to, mBakyu?” “Ya, nggak. Kita datang memang sengaja mau ngluruk makan. Nggak ada persediaan to, kamu? Wis ora usah repot. Ini kita sudah bawa lauk-pauk. Tapi kalau nasi putih punya, to?” Saya jadi pringisan sendiri melihat 60



serangan yang begitu terencana. “Wah, tambah terharu saya. Kalau ini tadi saya pas di mBêtawi, lauk-pauk ini bisa jadi mubadzir, dong!” Mbakyu Prasodjo mengeluarkan bungkusan itu satu per satu dan memindahkannya ke piring yang disediakan Mr. Rigen di meja. Tempe bacêm, gudangan bayêm, kecambah, irisan lobak rebus, gorengan balur roti, sambal terasi yang baunya mengilik lobang hidung, serenteng krupuk ndeså dan dari rantang di-suntak-kan sayur asem daging thèthèlan, kacang panjang dan terong. Itulah menunya. Waktu saya ke belakang sebentar, Mr. Rigen dan istri sempat mengkritik, “Wong niat rawuh mau oleh-oleh dhahar kok begitu saja, lho.” “Huss, diam kowé!” 61



Saya pun lantas duduk makan siang bersama mereka. Nikmatnya bukan main. Semua yang mereka bawa licin tandas tak tersisa. Saya bersyukur panggang ayam Pak Joyoboyo yang saya beli tadi pagi tidak saya perintahkan keluar dari lemari makan. Khawatir akan me-rikuh-kan Mas dan mBakyu Prasodjo. Takut kalau ayam panggang itu keluar akan merusak selera menu mereka. Belum pernah saya makan begitu nikmat dengan menu seperti itu. Tentu Mr. Rigen sering juga masak seperti itu. Tetapi, rasanya kok tidak senikmat yang mereka bawa. Dan melihat suami-istri itu makan dengan rileks, nikmat, muluk tanpa sendok garpu, saya juga jadi ikut terangsang melicin tandaskan makanan itu. Di depan saya duduk Dr. Prasodjo Legowo, doktor matematika yang terkenal tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di 62



luar negeri. Makalah-makalah yang dibacakan di simposium-simposium internasional serta jurnal-jurnal luar negeri banyak mengagetkan para ahli karena orisinilitasnya. Beberapa kali pula memenangkan award untuk tulisan dan pikirannya yang cemerlang. Toh, dia belum juga diusulkan jadi guru besar. Aneh, katanya kum-nya belum cukup, belum memenuhi syarat. Dan dia diam saja, tidak protes, tidak apa-apa, kecuali mengajar dan mengotak-atik rumusrumus matematika. Hidupnya sederhana karena pendapatannya juga cuma dari gaji dan sedikit honorarium dari sana-sini. “Kok masih terus Honda bebek to, Mas. mBok nyicil Volvo. Hakmu kan?” “Êmoh. Nanti mBakyumu bisa mêcicil!” Dan dengan enaknya dia korèt-korèt sambêl yang masih nyerempet di pinggir piringnya. Dan ini adalah tokoh 63



internasional yang mestinya kalau sedang di luar negeri ganyangannya T-bone steak dengan baked Idaho potato serta buncis dan wortel yang di-ongklok dengan pas sekali sambil sekali-sekali nyewel rell dan diserempetkan mertega yang betul mertega itu. “Kalau di kandang bule, Dik, ya makan steak dan uba rampé-nya itu. Enak juga. Tapi, kalau di kandang mBakyumu, ya, kayak gini ini. Ngorèti sambêl terasi, thithil-thithil ikan asin. Maknyuss … enak tênan! Nggak usah aksi-aksian makan di hotel berbintang. Sudah muahal, nggak enak.” “Lha, kalau sedang kangen?” saya tanya setengah membela diri karena kadang suka makan dengan keluarga di hotel berbintang. “Enggak pernah kangen, tuh! Mereka yang bilang kangen steak itu, kan cuma 64



mau aksi-aksian, to!” Touche lagi! Saya membayangkan si mBak dan si Gendut, anak-anak saya itu, kalau mereka mendengar pernyataan Mas Prasodjo itu pasti cêngar-cêngir. Sesudah jam setengah tiga siang, mereka pamit pulang. Saya mengantar mereka sampai jalan. “Wis, lho yo! Sekarang ganti kamu, syukur sama istri dan anak-anakmu, datang ke rumah kami di ndéså. Kami itu kesepian, lho. Anak dua, satu di Bandung, sekolah tapi nggak pernah kirim surat. Yang satu mentang-mentang ikut suami bule di New York juga jarang kirim surat. Tênan, yo, datang!” Honda bebek itu di-starter. Jêglek, jêglèk, jêglèk, jêglèk, jêglèk, jêglèk, jêglèk. Tujuh kali di-starter baru mesin itu hidup. Mereka meringis. Jempol mBakyu 65



diacungkan. Saya balas mengacungkan jempol saya. Honda bebek itu berjalan, jlèk-jlèk, jlèk-jlèk, pelan-pelan sêmangkin menjauh ke pinggiran daerah Bangun Tapan, ke rumah mereka yang sederhana yang mereka bangun nyaris bata demi bata. Begitu selesai rumah itu, mereka tinggalkan rumah dinas mereka di Sekip. Biar dosen lain bisa ganti menempati rumah dinas itu, kata mereka. Itulah Mas Prasodjo Legowo. Selalu tetap prasojo dan berjiwa besar. Mr. Rigen sesudah saya ceritakan riwayat mereka bertanya, “Gèk apa ya banyak dosen atau priyayi seperti itu?” “Huss … diam kowé!”



Yogyakarta, 18 Oktober 1988 66



Sang Pemimpin Sore-sore pulang dari cari angin, saya dapati rumah saya sepi mamring. Biasanya pada waktu begitu Mr. Rigen anak-beranak suka reiungan nglésot di depan teve, menikmati acara baik yang karuan maupun yang tidak karuan mutunya. Bagi mereka, sering kali bagi saya juga ding, teve adalah kotak ajaib yang mampu mengeluarkan macammacam tontonan yang warna-warni, yang memang harus ditatap terus-menerus. Tidak terlalu penting apakah tontonan itu bagus atau tidak. Bagi mereka yang punya selera pilihpilih, yang discriminating, seperti seorang intelektual dahsyat macam Prof. Dr. Lemahamba, teve itu tentu saja hanya beliau tatap kala ada acara yang menarik beliau. Dunia Dalam Berita, wawancara 67



dengan pakar-pakar, dialog dengan menteri, Aneka Ria Safari, Berpacu Dalam Melodi dan film seri Dynasty, adalah acara-acara pilihan beliau yang sangat discriminating itu. Selebihnya teve itu tidak beliau tatap, tetapi ya dibiarkan terus menyala sampai acara usai. Teve memang harus hadir “di situ”, ditatap atau tidak. Keluarga Rigen ternyata sedang berkumpul di kamar mereka, di belakang. Saya pergoki Mr. Rigen duduk jigang sembari makan kolak pisang. Mrs. Nansiyem memangku anak oroknya, sedang Beni Prakosa duduk di lantai di bawah singgasana Mr. Rigen. Tampaknya mereka menunggu Mr. Rigen menyelesaikan makan kolak pisangnya. Waktu mereka sadar bahwa diam-diam saya mengamati mereka dari jendela, Mr. Rigen gêlagêpan turun dari singgasananya. 68



“Weh … sang prabu, apa sudah selesai menyantap kolak pisangnya?” “Yakk … Bapak kii. Orang cuma nglaras sama anak istri kok disindir jadi ratu, lho!” “Lha, saya amati kok bolehnya mulyo kamu duduk jigang di hadapan anak istrimu.” Mr. Rigen tertawa ngglêgês. Tertawa yang tidak bersuara. “Ning jadi raja itu kelihatannya kok ya mulyo betul nggih, Pak?” “Ha êmbuh. Wong saya belum pernah jadi raja.” “Lha, Ngarsådalêm yang baru sedå itu buktinya, Pak. Begitu dilmuliakan, begitu dihormati, begitu dicintai rakyat.” “Dimuliakan, Gen! Jadi, bukan beliau 69



mau mulyo, dalam arti mau enak-enakan sendiri. Beliau mulyo karena rakyat dengan iklhas memberi kemuliaan itu kepadanya.” “Wah, tapi kelihatannya yang mesti dapat kemuliaan dari rakyat itu raja ya, Pak?” “Lha, ya belum tentu, Gen. Meskipun raja kalau tidak punya wibawa, tidak kerja buat kawulo, tidak trêsnå sama kawulonya, mana bisa dimuliakan, Gen!?” “Lha, kalau pemimpin rakyat itu, Pak? Itu kan ya raja kecil-kecilan to, Pak. Bisa dapat kêmulyan juga dari rakyat nggih, Pak?” Saya tertawa ngglêgês mendengar persepsinya tentang pemimpin rakyat sebagai raja kecil-kecilan. “Kamu itu! Pemimpin rakyat, ya pemimpin rakyat. Tidak usah dibayangkan 70



sebagai raja baik yang besar atau yang kecil, Gen. Pemimpin yang punya wibawa, yang cinta sama rakyat, yang mau kerja buat rakyat, yang tidak nyolong duit dan tanah rakyat, ya pasti dimuliakan rakyat juga to, Gen. Pemimpin yang begitu itu yang mulyo tênan, Gen.” “Wah … apa ya banyak pemimpin seperti itu, Pak?” “Lha, ya kamu étung sendiri, Gen. Kira-kira banyak apa tidak?” Mr. Rigen tertawa nyêkikik, klêjingan. “Sajaké, kayaknya, kok sedikit sekali nggih, Pak.” Sekarang ganti saya yang tertawa mendengar kesimpulan dia. “Kok tahu, Gen. Apa kamu sudah bikin cacah jiwa?” 71



“Yakk, Bapak kii. Wong cêthå wålåwålå, jelas sekali kelihatan di sekitar kita pemimpin sing apik tênan itu semangkin langka, lho. Jadi, Ngarsådalêm itu benarbenar istimewa nggih, Pak.” “Ya, jelas to, Gen. Mana ada raja dan pemimpin yang ikhlas memberikan banyak dari miliknya kepada republik? Memberi lho, Gen! Dan itu semua diberikan dengan ikhlas. Dan amat sedikit pemimpin yang berani dan ikhlas pula tampil pada waktu keadaan amat, amat gawat. Ngarsådalêm berani dan ikhlas.” “Tapi, itu juga karena Ngarsådalêm kagungan Kiai Plèrèd nggih, Pak?” “Ya, bukan itu saja, Mister. Yang penting itu keberanian dan kebersihan. Wong punya kiai rudal, kiai pistol, kiai granat, kalau nyalinya sak têngu bayi, hatinya kotor dan jorok kayak comberan ya tidak berani dan tidak ikhlas mencintai 72



rakyat.” “Wèh … jadi untuk mencintai wong cilik itu ternyata perlu keberanian dan keikhlasan nggih, Pak?” “Wéé … lha priyé to kamu itu! Wong cilik itu mlarat dan sengsara. Karena itu, memusingkan kepala dan menakutkan pemimpin. Yang tidak mau pusing kepalanya dan takut, ya terus ngapusi, ngibuli rakyat.” Tahu-tahu hari sudah senja betul. Saya longok hari mulai gelap. Mr. Rigen tanggap ing sasmitå segera bersiap untuk menyediakan makan malam saya. Di ambang malam itu, tiba-tiba mak srêêêtt, di ambang pintu kamar depan, berdiri seorang tinggi besar dengan baju surjan lurik biru, ikat kepala biru dan berkain batik Yogya. Wah, upacara pemakaman di Imogiri sudah selesai 24 73



jam yang lalu, kok ini baru sampai di sini. Tidak mungkin dia berjalan kaki dari Imogiri. Di luar saya lihat sebuah Baby Benz diparkir dengan indah dan mulusnya. Tapi, siapa tamu misterius ini? “Pangling, to? Pangling, to?” “Terus terang, iya. Siapa ya? Astaga, Mas Mulyo to ini?” “Ha … ha … ha …! Akhirnya kamu mengenali saya juga.” “Ini tadi dari mana, Mas? Kok masih pakai baju layat Imogiri?” “Aku sudah beberapa hari yang lalu berangkat dari Jakarta. Dapat tugas memantau daerah. Maklum sebentar lagi kongres. Eh, sampai sini kok pas pemakaman Ngarsådalêm. Jadi ya sekalian saja layat. Sekalian nyuwun berkah yang pada sumaré, yang dimakamkan, di sana.” 74



“Wah .. wah .. memantau daerah, menyiapkan kongres, nglayat terus sambil ngalap bêrkah. Jann élok tênan.” “Lho, ini mematuhi dhawuh guru, Geng. Kau kira aku belum lepas baju layat kenapa? Ya, karena mematuhi dhawuh romo guru, to! Semua slamêt-slamêt saja, to? mBok kamu itu kalau sedang di Jakarta rame-rame sama anak istrimu datang ke rumahku, to! istriku sekarang pinter bikin sabu-sabu dan sukiyaki, lho. Wis, yo! Aku mau terus.” “Eh, mbok ya makan dulu seadanya, Mas. Menu bachelor, gå ji pé ro, sêgå siji témpé loro, ya? Mister Rigeenn …!” “Eit .. eit ..! Nggak … nggak ..! Aku harus berangkat lagi. Thanks anyway. Aku cuma menengok kamu saja, kok. Eh, kamu mau saya calonkan di kongres? Itu baru langkah pertama. Berikutnya bisa kita garap macam-macam nanti. 75



Gimana?” Saya menolak. Saya katakan kalau saya sudah cukup senang jadi guru dan setiap Selasa boleh ngoceh ngalor-ngidul di koran lokal. Dia memberiku kartu namanya. Waduh! Namanya sekarang, Mulyo Reksoartonegoro, S.H, S.E. Dulu kayaknya cuma Mulyo saja. Dia berjalan seperti dulu juga, dengan gagah keluar. Kemudian ditelan Baby Benz itu, hanya kedengaran „mak bêpp”. Kemudian mobil itu berjalan nyaris tak bersuara …..



Yogyakarta, 11 Oktober 1988



76



Ngarsadalem Sudah Seda, Hidup Ngarsadalem! SIANG-SIANG waktu memasuki kota terasa ada suasana yang tidak seperti biasa. Bendera-bendera masih pada berkibaran setengah tiang. Wah … kok aneh orang Yogya ini, lho. Pancasila sudah jelas sakti kemarin, kok benderanya masih nglumpruk setengah tiang. Atau masyarakat Yogya begitu nglemprahnya, malas menaikkan bendera mereka? Tetapi, kalau sepanjang jalan Solo, termasuk Ny. Suharti, Hotel Ambarukmo, mes perwira polisi juga masih mengibarkan bendera setengah tiang, apakah mereka ikut-ikutan nglemprahsemangatnya? Di rumah, Mr. Rigen anak beranak yang untuk kesekian kali saya tinggal pergi untuk waktu yang agak lama, tidak 77



seperti biasanya, tidak menyambut kedatangan saya dengan penuh enthusiasm. Bahkan si bedhes Beni Prakosa, yang dalam keadaan seperti itu selalu tidak pernah terlambat menodongkan tangannya menagih oleholeh, siang itu kelihatan diam setangah nyekutrut. Elho … ada apa ini? “Lho, ada apa ini?Kok kalian bermuram durja seperti durjana-durjana?” Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem, yang menggendong anak oroknya, saling berpandangan. Wah … gawat ini.Setiap kali saya melihat suami-istri itu saling memandang begitu, hati saya jadi ketirketir. Itu saling pandang yang biasanya suatu ancang-ancang untuk sebuah resolusi yang ekonomis sifatnya. Akhirnya, Mr. Rigen angkat bicara juga. “Lho, apa Bapak belum dengar?” 78



“Dengar apa?” “Elho … kados pundi to Pak Ageng ini?Nga … Ngar-sa da-da-lem seda!” “Kowe ojo edan lho, Mister. Wong dua tiga bulan yang lalu saya masih salaman dengan beliau di satu pesta di Jakarta. Dan beliau itu nampak seger-buger, tidak kurang suatu apa, lho.” “Saestu, Pak. Ngarsadalem seda. Makanya kita semua diperintahkan untuk mengibarkan bendera setengah tiang. Waahh … jiiaann, kita semua jadi kaget saestu, Pak. Ngarsadalem kok seda. Tidak bisa itu, Pak!” “Lho, Ngarsadalem kan manusia juga, Gen.” “Ha, inggih.Ning bukan sakbaene manungsa. Bukan sembarang manusia seperti kita. Tidak boleh begitu saja 79



seda.” “Kok kamu enak saja bilang „tidak boleh”? Yang boleh dan kuasa bilang begitu kan cuma Gusti Allah to, Gen.” “Ha, inggih. Tapi, rasanya kok belum waktunya beliau itu pergi sekarang. Lha, wong kita semua masih butuh pengayoman beliau lho, Pak. Rasanya kalau beliau itu masih ada, wong cilik itu kok rasanya ayem, tentrem, mak nyes begitu.” “Betul apa, Gen. Wong kamu bukan orang Yukja saja, kok bisa ngomong begitu. Kalau kamu wongYukja asli, boleh kamu ngomong begitu.” “Weh … Pak Ageng ini bagaimana, to.Ngarsadalem itu bukan punya orang Yukja saja. Punya orang Jawa semua. Punya orang Indonesia semua. Rak inggih, to, Pak Ageng?” 80



Saya manggut-manggut. Lagi-lagi saya merasa kagum oleh pandangan Mr. Rigen, yang kadang-kadang mencuat dengan briliannya. Baru sebulan yang lalu, dia banting setir merayakan malam satu Suro dengan tidak ikut-ikutan mengiring kebo bule Kiai Slamet, tetapi merayakannya dengan prihatin di rumah saja. Dunia Pracimantoro, dunia Solo sudah lama dia lebur bersatu dengan dunia Yogya. Ternyata dunia itu sudah dia lebur menjadi dunia Indonesia. Hamengku Buwono tidak dia dudukkan dalam satu kerajaan yang sempit. Tetapi dalam satu “kerajaan” yang jauh lebih luas lagi. Saya ngunandika, dari mana datangnya konsep seperti itu pada otak seorang jebolan SD desa di Pracimantoro itu? Pasti bukan dari pendidikan formalnya, toh? Pasti bukan dari pergaulannya sesama anggota Persatuan Djongos Djongos dan Persatuan Babu 81



Babu, toh? Eh, … tunggu dulu. Manungsa tan kena kenira. Manusia tidak dapat diduga. Mungkin bisa saja dialog di antara mereka justru dapat mengangkat mereka pada cakrawala-cakrawala yang luas tidak bertepi. “Saya dan ibunya Beni sudah sepakat untuk puasa tiga hari, sebagai tanda ikut berduka cita dan prihatin.” “Huss, istrimu baru habis melahirkan begitu, lho. Masih harus menyusui. Kok mau kamu ajak puasa, edan kowe! Kamu saja yang puasa. Istrimu boleh prihatin dengan cara lain.” Mr. Rigen tertunduk malu. Mereka bertiga pergi ke belakang. Masih jelas membawa roso berat menerima berita meninggalnya Ngarsadalem. Saya sendiri masih termangu duduk di kursi goyang, tahta saya yang reyot tetapi masih berfungsi menggoyang-goyang punggung 82



saya dengan enak. Saya jadi ingat waktu masih kecil dulu, waktu baru duduk di bangku SD. Saya ikut eyang putri saya berdiri di pinggir jalan di depan HIS Tungkak. Menunggu berjam-jam datangnya iring-iringan jenazah ayahanda Hamengku Buwono IX menuju ke Imogiri. Masih jelas terbayang bagaimana agung dan khidmatnya iringan itu. Kemudian sesudah itu gambargambar beliau sebagai Sultan yang baru. Duduk sinewaka dengan seriusnya. Alangkah muda Sultan yang baru itu, pikir saya waktu itu. Sebab saya selalu membayangkan seorang raja sebagai seorang yang harus berusia lanjut. Tidak terpikir sedikit pun oleh saya bahwa Sultan atau Raja ini, waktu saya bisa menjamah tangannya. Bisa saya jangkau pikiran-pikirannya. Dan kesempatan itu datang karena revolusi ikut merobohkan tembok protokol 83



yang memisahkan kemungkinan menjamah tangan sang Raja itu. Kesempatan itu datang lebih sering dan akrab lagi pada waktu diskusi-diskusi pada hari-hari pertama Orde Baru. Dengan penuh kesabaran dan keterbukaan beliau mengemukakan pikiran-pikiran dan nasihat-nasihat beliau. Dari jarak yang sangat dekat itu, saya merasa berhadapan dengan seorang pemimpin rakyat biasa. Dengan hem lengan pendek keluar, sepatu sandal, menyeruput kopi dengan caranya yang khas, mengganyang pisang goreng dengan nikmat. Belaiu tampil seperti pemimpin-pemimpin yang lainnya. Tetapi benarkah? Tidak sepenuhnya.Entah bagaimana, ada sesuatu pada beliau yang somehow, bagaimanapun, kadangkadang nyelonong sinar kerajaannya. Meskipun sinar itu hanya sekilas saja. Kemudian kira-kira lima, enam bulan 84



yang lalu waktu kami segerombol pengamat seni diundang ke istana kecil beliau di Bogor. Seorang Hamengku Buwono yang lain tampil pada sore hari itu. Di istananya yang indah dan modern tetapi masih berbau Yogya itu, beliau dengan Ibu Norma, menerima dan mengentertain kami sebagai tuan dan nyonya rumah yang sangat ramah dan luwes. Dengan sangat kikuk, kami dan istri-istri kami menerima keluwesan tuan dan nyonya rumah kami itu. Saya mencatat suatu suasana yang sangat rileks, ayem dan happy pada pasangan itu. Tanpa satu kompleks apapun beliau mengobrol dan meladeni kami makan. Lagi, seperti dulu, beliau memberikan pendapat dan saran beliau dengan sangat terbuka dan bijaksana. Barangkali kesahajaan sikap beliau itu yang menjadi kekuatan beliau. Kesahajaan yang bukan hanya charming, 85



memikat hati, tetapi juga memberi roso tenang dan tenteram. Barangkali ini juga yang sempat terasa pada orang-orang seperti Mr. Rigen dan family. Orang-orang yang kalau dihitung dari sudut jarak meter begitu jauh berada dari istana Sri Sultan. Tetapi, jika roso itu ternyata memang telah berhasil menjamah mereka dan sekian juta orang lagi, apakah fenomena itu selain dari cahaya raja namanya?Ngarsadalem sudah seda, hidup Ngarsadalem!Le roi es mort. Vive le roi!



Yogyakarta, 4 Oktober 1988



86



Koran Itu Dulu Seperti Air Bengawan Solo DI RUMAH kami, Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem bahkan juga Beni Prakosa tidak kekurangan bacaan media masa. Lha wong jadi staf kitchen cabinet dari rumah tangga seorang intelektual sejati, je! Pagi-pagi buta sembari membuka jendela dan pintu, Mr. Rigen sudah akan dapat menyambar Kedaulatan Rakyat yang disorongkan di bawah pintu. Siang hari sembari masak; Kompas, Gatotkaca, Kirana, Minggu Pagi dan Bola adalah ganyangan keluarga Rigen anak-beranak. Di sela-sela koran-koran tersebut di atas ada Tempo dan Editor, kadang-kadang juga Matra dan Femina. Bagi Mr. Rigen, berita-berita crime, olah raga dan sudah tentu tarikan lotre TSSB adalah beritaberita yang tidak kunjung berhenti mengasyikannya. 87



Bagi Mrs. Nansiyem, gambar-gambar bintang pilem dan adpertensi yang menampilkan nyonya-nyonya Londo yang blengeh-blengeh serta alat-alat kecantikan, yang seperti sudah bisa dicium baunya dari majalah dan koran itu adalah informasi maha penting yang sanggup menerobos dunianya di jagat Jatisrono. Dan bagi Beni Prakosa, sang jenius cilik yang sekarang sudah menjadi bintang kelas TK Indonesia Hebat, apa makna media masa modern baginya? Mobil-mobil yang bagus, keren dan mewah, gambar-gambar kue yang enakenak dan ah, … gambar-gambar Pak Ageng yang baginya mungkin seorang pemimpin dunia uber alles. Barangkali karena alasan yang terakhir ini saya selalu saja tidak kunjung berhasil menanam disiplin baja kepada anak ini untuk selalu rapi dan necis 88



memperlakukan koran dan majalah yang habis dibacanya. Begitu koran dan majalah itu kena jamah sang jenius cilik, media masa itu sudah pada terlipat-lipat, sedikit kumal dan kadang-kadang juga langsung berantakan. “Apa kamu tahu, Mister, kalau tidak selamanya koran dana majalah bisa dilihat gambarnya dengan bagusnya dan cetha wala-wala seperti sekarang?” “Ah, mosok to, Pak? Koran dan majalah kok tidak bisa muat gambar cetha itu terus gek pripun?” “Lho, nyatanya begitu kok, Gen. Pada jaman revolusi, kamu belum lahir, koran dan majalah itu semi, setengah buram kondisinya.” “Elho, pripun itu? Koran kok setangah burem? Apa pating dlemok, tintanya dleweran semua begitu, Pak?” 89



“Ha, iya. Wong kertasnya saja kertas merang. Warnanya semi coklat, semi kuning. Kalau dicetak ya tintanya agak terlalu keras teresap ke dalam kertas yang kadang-kadang masih katutan gabah. Kau bayangkan, Gen, bagaimana sulitnya membaca koran jaman revolusi itu. Sering kayak membaca teka-teki.” “Lha, terus gambar-gambarnya pripun?” “Ya lebih teka-teki lagi, Mister. Yang paling gampang ya nebak gambar Bung Karno dan Pak Dirman. Meskipun banyak pemimpin kita waktu itu pada pakai peci, tapi buat nebak bayang-bayang buram Pak Karno dan Pak Dirman itu tidak susah, Gen.” “Koran Kedaulatan Rakyat wakti itu apa ya sudah ada to, Pak? Dan apa ya burem juga?” 90



“Ya sudah ada, Gen. Dan tentu burem juga tanpa kecuali. Wong koran kiblik kok, Gen.” “Kiblik itu apa?” “Kiblik itu artinya, republik. Republik Indonesia.” Mr. Rigen manggut-manggut mendengarkan cerita saya tentang koran kiblik waktu itu. Mungkin baginya menarik juga mendengarkan dan membayangkan koran-koran dan majalah yang berwajah kumal di ibukota republik kita. Wong koran kok huruf dan gambarnya susah ditebak. “Lha, terus kabar yang dimuat itu apa saja, Pak?” “Woo, ya macam-macam, Gen. Beritaberita pertempuran di front. Berita politik, culik-culikan, perebutan kekuasaan.” 91



“Weh … weh … weh … elok dan serem. Mosok begitu menyeramkan to keadaan waktu itu, Pak?” “Lho, kamu sendiri kan didongengi bapakmu sendiri to bagaimana jaman clash desamu ditrajang Londo, tentara dan pengungsi.” “Ha, inggih. Malah kita jadi mlarat semua. Ning saya tidak membayangkan kalau keadaan Yogya sebelum diserbu Londo itu sudah serem dan gawat begitu lho, Pak.” Saya tersenyum. Ingat hidup di Yogya pada jaman pra serbuan tanggal 19 Desember 1949. Suasana romantika revolusi seperti itu tidak akan dapat terulang lagi di kota kita, di mana saja di republik ini. Meskipun di rumah, waktu itu, ada beberapa koran kiblik, tetapi salah satu kegemaran saya sepulang sekolah mampir dulu di depan kantor 92



Kedaulatan Rakyat, yang waktu itu ada di jalan Tugu Kidul, yang sekarang disebut Jalan P. Mangkubumi. Saya akan berdiri suk-sukan, berdesak-desakan dengan para pembaca lain, membaca beritaberita yang mesti ditebak-tebak huruf dan gambarnya itu. Meskipun saya sudah membaca banyak berita di rumah karena ayah saya bekerja di Kementerian Pertahanan, saya selalu senang mendengar gotek-nya, celotehnya, rakyat yang tidak mampu berlangganan koran dan hanya bisa membaca yang ditempel di papan depan kantor Kedaulatan Rakyat itu. Kita, saya dan para pembaca itu, akan geram, sedih dan kadang-kadang mengacungkan tinju, bila membaca berita pasukan kita semakin harus mundur. Atau kalau dalam perundingan selalu saja harus memberi konsesi-konsesi kepada delegasi Belanda. Hati kita kadang-kadang kecut sekali 93



membayangkan wilayah republik kita kok jadi semangkin ciut. Tetapi, di tengah keprihatinan dan kekecutan hati itu, toh koran-koran itu selalu sanggup juga memberi berita segar dan membesarkan hati. Gambar-gambar pemimpin kita, meskipun buram, selalu merupakan inspirasi segar. Sumber optimisme kita. Tetapi, waktu serbuan itu tiba dan koran Kedaulatan Rakyat ikut dibungkam, kami berhenti dolan ke depan kantor koran itu. Koran Suluh Indonesia dari pemerintah federal tidak pernah kita gubris. Kita terima untuk dipotong-potong sebagai lintingan rokok atau bungkus jualan. Beritanya kita anggap bohong semua. “Lha, selain kabar-kabar perang apa tidak ada kabar adpertensi nyonyahnyonyah ayu, rokok putih mewah, mobilmobil …?” 94



“Nyonya ayu siapa? Nyonya-nyonya kiblik, meskipun ya ayu-ayu, ning ayunya wong prihatin dan mlarat. Tidak ada adpertensi dodolan waktu itu, Gen. Lha, yang mau diadpertensi itu apa lho, Gen? Wong ya dodolan rombengan baju-baju kita sendiri. Mobil mewah? Walah … mobil itu nyaris tidak ada, Gen. Rokok itu Cuma rokok White House yang wanginya bisa dicium berkilo-kilo meter dari sini. Pokoke, Gen, koran waktu itu berjuang, … berjuang, … berjuang … “ Beni Prakosa, yang waktu kami berdiskusi tentang koran Kedaulatan Rakyat waktu itu duduk di tikar, mengaco, mengacak-acak majalah dan koran, tibatiba melihat gambar model adpertensi perempuan ayu di salah satu adpertensi, “Bapak kalo dikasih nyonyah ayu ini ya gelem.” “Mana, … mana, Le?” tanya saya. 95



Beni memperlihatkan gambar seorang model nyonya ayu nglendhot di pintu mobil Roll Royce. “Huss … huss … huss … jangan kuran ajar ya kamu, Le!” terdengar dari ambang pintu dapur Mrs. Nansiyem membentak anaknya. Saya tidak lagi mendengar percakapan mereka selanjutnya. Saya terbayang lagi koran Kedaulatan Rakyat tahun 1946, yang warnya kecoklatan seperti air bengawan Solo.



Yogyakarta, 27 September 1988



96



Mr. Rigen Menjangkau Langit PULANG dari tugas ke luar negeri, saya disambut oleh datangnya warga baru dalam jagad istana saya. Beni Prakosa, sesudah menunggu-nunggu hampir empat tahun, akhirnya mendapat adik. Laki-laki, blengah-blengah seperti bayi Kakrasana.Mr. & Mrs. Rigen, yang pada waktu kelahiran anak mereka yang pertama dulu berharap agar anaknya di kelak kemudian hari bisa menjadi jenderal ABRI, apesnya ya kolonel, menamakan anak itu Beni Prakosa, kali ini agak keteter imajinasinya.Anak yang baru lahir ini datang pada bulan September.Bulan yang tidak merangsang imaji harapan yang menggetarkan.Lain dengan Beni dulu.Dia lahir pada tanggal 5 Oktober, hari ABRI. Tetapi, September? “Wah, repot, Pak. September itu rak 97



bulannya Gestapu to, Pak?” “Ya, jangan kau ambil yang Gestapu, Gen. Cari hari yang lebih mengandung harapan cerah begitu.” “Lha, pripun.Wong nyatanya peristiwa yang dahsyat, medeni, banjir getih itu dimulai tanggal 30 September itu.Saya jadi judeg cari hari-hari lain yang lebih menggembirakan di bulan September itu, Pak.” “Yang penting, kamu itu kepingin anakmu yang ini jadi apa?” “Ha inggih ABRI lagi to, Pak. Mau apa lagi. Jadi ABRi sudah karuan.Pasti mantep jalannya jadi priyayi.” “Lho, tenan to, Gen?” “Ha, buktinya semua sanak saudara saya yang jadi ABRI itu sekarang mukti semua kok, Pak.” 98



“Lho, sanak saudaramu itu pada jadi jenderal begitu apa?” “Lha, inggih mboten.Mosok semua ABRI itu jenderal. Terus prajuritnya siapa?” “Karena itu, kamu kok terus ambil kesimpulan semua sanakmu yang ABRI mukti semua.” “Semua mukti saestu kok, Pak. Ada yang jadi camat, ada yang jadi lurah, ada yang priyagung kantoran.Pun to, pokoknya enak semua.” “Geen, Geen. Jadi yang kamu inginkan itu anakmu itu akan jadi lurah atau camat, to? Lha, kalau itu ngapain harus jadi ABRI dulu?” “Lho, Pak. Kalau tidak jadi ABRI dulu apa bisa jadi camat atau priyayi dhuwur di kantoran?” 99



“Oalahh, Le. Dak bilangin, ya. Yang kamu katakan itu kan keadaan darurat. ABRI membantu sipil.Nantinya ya tidak harus begitu, to.Ya kalau mau jadi ABRI, ABRI saja.Mau jadi lurah saja kok mesti jalan-jalan dulu jadi ABRI.” “Inggih, pun.Jadi ABRI saja.Thole Beni nanti jadi jenderal. Adiknya ya jadi jenderal.Kalau tidak nanti adiknya meri, cemburu.Dikira orang tuanya membedabedakan kesempatan.Rak inggih to, Pak?” “Yo wis. Setuju aku. Terus namanya itu lho, siapa?” Kami berdua lantas terdiam. Berpikir keras mencari nama. Betul juga kegamangan Mr. Rigen melihat bulan September sebagai bulan berdarah.Tetapi, lho kok dia lupa. Kan yang menang melawan Gestapu itu ABRI sama rakyat. Jadi September itu, meski bulan berdarah, menyedihkan, tapi ABRI 100



rak jaya. “Gen, September itu bulan ABRI jaya, lho.Jadi ya sudah cocok dengan gegayuhanmu mau melihat anakmu jadi ABRI nanti.” “Oh, inggih ding. Pun begini saja. Anak saya, saya namakan Septian Jaya.Pripun, Pak?” “Sep-ti-an Ja-ya. Yo wis, apik.” Begitulah nama itu diturunkan kepda si jabang bayi. Sekali saya takjub, terharu, bangga dan tentu saja juga was-was mendengar begitu menggebu-nggebunya Mr. Rigen nggonto, meraih harapan, buat anak-anaknya. Di hadapan saya duduk nglesot seorang jebolan SD desa, mantan anak petani yang cukup berada, tetapi yang jadi korban revolusi hilang kemungkinannya naik tangga sosial dengan cepat. Tetapi, status yang dulu 101



pernah sekejap melintas di rumah Mr. Rigen Senior nun di desa sana rupanya belum padam dan hilang dari ingatan Mr. Rigen. Kayaknya ada dendam kelas. Awas, satu ketika saya akan bisa juga mengejar kekalahan itu. Kalau bukan saya, ya anak saya.Awas. Apakah dia tahu bahwa persaingan itu akan lebih ketat dan keras lagi untuk masuk AKABRI? Dan sekolah prajurit, kopral, sersan, letnan, kapten, mayor, kolonel dan jenderal itu akan lebih berlapis-lapis lagi dan lebih susah lagi? Pelajaran dan ketrampilan yang dituntut akan lebih canggih dan modern lagi? Kok dia masih membayangkan jadi ABRI sebagai camat atau lurah? Dari jendela saya lihat Beni Prakosa pulang sekolah dijemput sepupu perempuannya yang kebetulan sedang berada di kota. Beni dengan pakaian seragam TK Indonesia Hebat dengan 102



enak dan nglaras roso duduk di gendongan belakang sepupunya, sembari makan bakmi kering krip-krip. “Lho, katanya mau jadi ABRI di sekolah Indonesia Hebat kok masih digendong?” “Habis, capek Pak Ageng. Panas.Digendong mBak Nimplek enak lho, Pak Ageng.” Tasnya dilempar ke amben dapur.Baju seragamnya dilepaskan oleh Mrs. Nansiyem dan sepupunya.Juga sepatunya dijulurkannya kepada mereka untuk dilepas. “Madhaang, Buk. Madhang pake endhog, oseng-oseng kacang pake bakso.” “Inggih, Den Bagus.” Saya melihat pemandangan itu dengan takjub.Saya melirik ke Mr. Rigen.Dia 103



tersenyum. “Wong dia begitu itu yang ditiru, ya anak-anak, adik-adik Pak Ageng.” “Ah, mosok?” “Atau putro-putro dosen di sekitar sini.” “Ah, mosok?” “Lha, terus niru siapa?” “Lha, kalau begitu terus apa bisa jadi jenderal dia nanti, Gen?” “Ah, ya nanti dilihat saja Pak Ageng. Dengan pangestu Pak dan Bu Ageng, dengan pertolongan dan sumbangan dari para priyagung mosok anak-anak saya tidak akanslamet sempulur jalannya. Ya, Le,ya? Sana makan yang enak dan habiskan ya!” Ya, dengan do”a restu, dengan pertolongan dan sumbangan dari sana104



sini mosok tidak bisa anak-anak maju jadi jenderal, jadi profesor, jadi menteri, jadi …..



Yogyakarta, 20 September 1988



105



Halo-Halo & Prof. Surapon Halo-halo adalah es teler versi Philipina. Tentu saja menurut pendapat saya yang sangat obyektif dan tidak memihak, es teler masih jauh lebih enak! Lebih seru dan lebih menjanjikan surprise-surprise sepanjang tegukan gelas dan kerongkongan. Lebih banyak ditemukan unsur-unsur seperti pringkilanpringkilan es, nangka yang nyaris kematangan, duren yang masih setengah matang, dalam satu gelas es teler. Pada halo-halo pengalaman dengan kejutankejutan begitu nyaris tidak ada. Tidak lucu! Wong minum kok ngglenyer saja! Mr. Surapon, sahabat saya, seorang profesor ilmu komunikasi dan seni tari dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, srupat-sruput meneguk halohalonya. Tampak sangat maat. Batin 106



saya, “Oalahh mesakake, Le. Wong minuman begitu saja kok bolehnya maat!” “Apakah di Yogya ada minuman yang begini enak?” tanya profesor kita dari Chula itu. Saya selalu siap menghadapi pertanyaan seperti itu. Kuda-kuda “Indonesia Uber Alles” selalu siap sedia saya pasang setiap kali saya ke luar negeri. Bukankah para pemimpin kita selalu selalu mengindoktrinasi kita untuk selalu tampil sebagai duta bangsa yang baik? Dan harus dengan kepala tegak, tidak nyerepeh, merunduk-runduk, merendah-rendah, kayak negeri kita yang hebat lagi dahsyat ini negeri cekeremes yang tidak punya apa-apa! Tak usah ya! “Di Yogya ada sedikitnya tujuh belas minuman seperti ini.” 107



“Astaga! Tujuh belas macam? No kidding?!” “No! Tenan! Eh, I mean true. Dan rasanya juga tujuh belas kali lebih enak dan lebih seru dari halo-halo.” “mBok coba you sebut tiga saja dari minuman itu!” “Yes, Sir! First, es teler, second dawet, lha sing ping telu cao. Bagaimana?” “Cao? Apakah es itu es dari Italia? Cao di Italia artinya goodbye. Kalau bahasa Indonesia ya selamat tinggal. Apa menurut kamu ada terjemahan yang lebih tepat dalam bahasamu?” “Lho, ya ada. Cao itu terjemahannya yang tepat, ya wis yo. Ah, tapi cao itu minuman asli Jawa, lho!” Kami pun terus ngobrol ngalor-ngidul tentang macam-macam hal. Prof. 108



Surapon adalah pecinta dan pengagum tari, gamelan dan kebudayaan Jawa. Bahkan menurut dia Budha Thailand harus belajar banyak dari Jawa. Sebab bangsa yang bisa membuat Borobudur pastilah bangsa Budha yang dahsyat. Edyaannn! Masalahnya, apa yang bikin Borobudur itu orang Jawa seperti orang Jawa sekarang? Menurut dia, kalau toh meleset, pasti tidak banyak melesetnya. Saya pun jadi bangga sampai megar lubang hidung saya, yang biasanya semi tertutup itu. Maka sebagi ganti untuk memberi komplimen kepada sahabat dari Thailand itu saya pun membuka dialog komplimen. Mutual compliments dalam rangka persatuan Asean, to? “Wah, saya dengar negerimu sekarang jadi negara Macan Asia yang kelima. Hebat dong!” “Ah, macan apa? Biasa saja yang dikerjakan negeraku. Jualan buah109



buahan, bunga anggrek, ikan asin dan beras, sedikit-sedikit.” “Lha, kok para pengamat sudah memberi cap kamu Macan Asia?” “Ah, orang suka sensasi.” “Tapi menurut berita-berita bisnis, ekspor bunga anggrek kalian sekarang sudah menyaingi ekspor bunga tulip dari Negeri Belanda.” “Betul. Kami memang sudah mengirim bunga anggrek ke seluruh dunia. Itu tidak berarti kami sudah jadi macan.” Setelah itu disruput-nya lagi halo-halo dengan enak. “Orang Philipina memang pintar bikin minuman,” sambungnya lagi. Saya jadi panas lagi. Halo-halo cekeremes masih saja dipuji. 110



“Bagaimana kalian bisa jadi eksportir anggrek begitu? Anggrek kami bagus dan indah. Kok kami baru bisa jual kecilkecilan.” Lagi Prof Surapon menyeruput halohalo yang tampaknya tidak kunjung habis itu. Kemudian wajahnya yang ganteng seperti Bengawan Solo itu menyungging senyum. “Anggrek Indonesia memang indahindah dan bagus-bagus, di hutan dan entah di mana lagi. Tapi tidak di laboratorium penelitian dan tidak di tempat pemasaran dunia.” Prof. Surapon menyeruput lagi halohalo yang menjengkelkan itu. Saya pun mulai mengerti sedikit. “Dengan kata lain, Thailand sudah lama sekali menyiapkan semua itu dengan penelitian, baik tentang anggrek 111



maupun tentang pasarnya?” “Ya. Waktu kami mau merebut pasar durian, pemerintah kami memerintahkan kedutaan-kedutaan kami untuk menjajakan durian itu di halaman kedutaan.” Wah, saya mulai memejamkan mata membayangkan kalau suatu ketika para duta besar kita juga harus jualan mangga dan salak di halaman kedutaan kita. Ah, yang benar saja! Mosok priyagung kok jualan buah, lho! Apa tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting, to? Pekerjaan seperti penataran P4, meningkatkan kewaspadaan nasional dan waskat itu! “Saya sudah kangen Yogya.” “Apanya yang bikin Anda kangen?” “Ya, semuanya. Suasana yang masih alon-alon. Suara gamelan di keraton. Taritarian di pendopo Rama Sas. Dan .. ah, 112



Kotagede di mana tukang perak masih benar-benar tukang yang seniman. Istri saya masih terus bicara tentang tusuk konde perak itu … “ Waktu Prof. Surapon terus nyerocos itu, saya memejamkan mata lagi. Saya lihat lalu-lintas yang semrawut, tanpa tata krama dan tanpa toleransi, saya melihat anak-anak muda yang begadang di tempat-tempat billiar. Dan di Crazy House, saya melihat tukang-tukang perak di Kotagede yang masih saja kecil upahnya dan tampak semangkin bongkok punggungnya. Bagaimana Denmas Surapon bisa menangkap Yogya yang begitu lain. Klise idyllic dari para romantikus Barat yang dekaden dan tidak peka melihat perubahan zaman dan penderitaan rakyat? “Kalau Bangkok, bagaimana sekarang, Prof?” 113



“Ahh … Bangkok semangkin jadi kota dagang. Semua dijadikan barang dagangan. Semua orang jadi pedagang. Lantas orang juga semangkin kaya.” “Naa … kalau begitu benar kan negaramu mau jadi Macan Asia?” “Macan … macan. Anda kok matamacanen terus. Orang Thai itu cuma kepingin kaya. Kalau jalan untuk jadi kaya itu harus lewat jualan buah, jualan anggrek, jualan ikan asin, ya itu dikerjakan.” Karena gelas halo-halonya sudah kosong, Prof. Surapon tinggal bisa koretkoret sisa biji-biji jenang mutiara yang masih nempel di dinding gelas. “Orang Thai, ya Mas, sekarang diindoktrinasi untuk jadi pedagang pertanian. Marketing jadi mata pelajaran penting di sekolah-sekolah. Citra Thailand 114



sebagai petani thok akan hilang.” “Apa Anda senang dengan perubahan itu?” Prof. Surapon tidak menjawab pertanyaan saya. Mulutnya klametan komat-kamit, mungkin masih mau halohalo lagi. “Ah … kapan ya saya bisa ke kotamu lagi? Mungkin tahun depan tabungan kami cukup untuk ke Yogya, ke Kotagede, ke Solo. Kamu ada di Yogya waktu itu?” “Tentu. Tentu, Prof. Saya akan menemani kalian berdua.” Tiba-tiba tuan rumah kami dari University of The Philippines berdatangan mengajak kami makan di kompleks mereka. Cofee Shop tempat kami minum halo-halo, mereka anggap tidak memenuhi syarat. Di restoran kampus yang khusus untuk dosen itu, saya tidak 115



bisa menikmati makanan mereka. Kali ini mungkin tidak ada hubungannya dengan segala uber alles itu. Tiba-tiba saya kangen restoran “masih sepuluh”. Tiba-tiba saya bingung mengapa saya sekaligus kangen, bangga dan anyel dengan semua yang masih terus saja kumal, lethek, sedep, indah tetapi dari dulu masih di situu saja! Es teler, dawet dan cao. Mengapa Prof. Surapon from Thailand itu begitu rendah hati menikmati halo-halo dengan sejujurnya. Orang kaya bukankah lebih bisa bersikap jujur dan rendah hati? Atau tidak? Orang melarat bukankah lebih membutuhkan gaya yang lebih seru dan melihat sikap penthenthengan sebagai katarsis yang sangat penting? Atau tidak? Tetapi mengapa Prof. Surapon tidak mau menjawab pertanyaan saya, apakah dia senang atau tidak negerinya jadi kaya. Dia cuma dengan mata merem116



melek menjawab mau ke Yogya tahun depan dengan uang tabungannya. Dari uang tabungannya! Trembelane tenan! Dengan uang itu Prof. Surapon bisa menikmati, melihat kemelaratan kita yang indah. Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni Prakosa! Ayo sepulang saya nanti kita mulai dodolan! Apukat kita yang di belakang dan nangka kita yang di depan, ayo kita jajakan di halaman. Nongko … nongko … apokat … apokat. Es teler … es teler …



Yogyakarta, 13 September 1988



117



Pasca Lebaran PADA HARI kedua lebaran, pagi-pagi, kami serumah dikejutkan oleh suara “penggeng eyem … penggeng eyem .. “ dari Pak Joyoboyo. Terkejut, karena tidak masuk dalam perhitungan dan harapan kami bahwa pada hari kedua lebaran, yang mestinya masih hari reriungan dengan keluarga, Pak Joyoboyo sudah harus berjalan ngukur jalan berkilo-kilo untuk menyunggi tenong di kepalanya. Tentu saja suara cempreng itu kami terima dengan sangat senang. Bagi si mBak, yang datang dengan suami dan anaknya, si Gendut dan ibu anak-anak, kedatangan Pak Joyoboyo itu adalah kesempatan bertatap muka dengan tokoh legendaris tersebut. Bagi Mr. Rigen, yang kali ini tanpa Mrs. Nansiyem dan Beni Prakosa tetapi ditemani oleh Madam yang spesial diimpor dari Gunung Kidul, 118



kedatangan Pak Joyoboyo juga suatu blessing karena mereka tidak perlu terlalu panik lagi kekurangan lauk. Pak Joyoboyo untuk sekejap kelihatan grogi mendapat sambutan yang demikian hebat. Bayangkan. Lain dari biasanya yang hanya disambut oleh ketiga orang termasuk si bedhes Beni Prakosa. Kali ini tidak kurang delapan orang mengepung dan ngerubung dia. Tetapi, bukan Pak Joyoboyo kalau tidak dapat lepas dari tekanan tatapan dari delapan orang saja. Dengan roso percaya diri yang meyakinkan, tenong itu dengan sebat diturunkan. Lantas dibuka dan sebat pula potongan-potongan ayan itu digelar, disusun menurut gelaran perang Bratayuda, yaitu gelaran Supit Urang ala divisi Hastina versus gelaran Garuda Nglayang ala divisi Pandawa. Bagi saya dan Mr. Rigen, pertunjukan gelaran seperti itu sudah merupakan show of 119



force biasa. Tetapi bagi brayat saya dari Jakarta, pertunjukan itu adalah pertunjukan yang mengagumkan. Si Gendut yang ahli komentator spontan memberikan kesannya yang pertama. “Wah, keren, lho. Kayak parade senja tujuh belasan di Istana Negara, Jakarta.” Saya yang selalu peka buat komentarkomentar yang menganggu stabilitas nasional segera membentak dia. “Hush! Yang benar. Masak ABRI kau samakan dengan penggeng eyem. Ayo, cabut komentarmu. Nanti dak cabut izin makanmu, lho!” “Eh, sorry … sorry. Kayak parade satpam di Cipinang Indah. Ning pating plethot itu, Pak, kalau parade satpam Cipin.” “Yo ben. Pokoke jangan ABRI. Pokoke ABRI itu, … sudahlah … “ 120



“Niki, Den, Pak. Sedaya sudah siap diganyang.” Maka dengan sebat sekian banyak tangan pada sraweyan nuding-nuding gelaran Perang Bratayuda tersebut. Dalam sekejap susunan barisan, baik yang Kurawa maupun Pandawa, jadi bubrah, berantakan berpindah tangan. Si mBak dan suaminya, Mr. Kebumen, dan anak mereka si Kenyung serta si Gendut segera pindah ke meja makan, langsung sarapan dengan panggang ayam. Meskipun rambut mereka masih dhawuldhawul dan pojok-pojok mata mereka masih gemerlapan oleh setep-setep mereka. Saya dan istri karena manulamanula, ya harus kalem-kalem duduk nyawang mukti-nya anak-anak yang pada reriungan di seputar meja makan dan nyawang Mr. Rigen, Madam berdialog dengan Pak Joyoboyo. “Ha, inggih, Mas Joyo. Wong hari 121



kedua lebaran kok ya sudah keluar jualan niku, pripun?” “Ha, sampeyan sendiri bagaimana, Bu Madam? Lebaran-lebaran kok malah di kutha. Dan Mas Rigen juga kok ya nggak nyusul anak istri pulang ke ndeso?” “Wee, lha. Kalau saya tidak sepiksial turun dari Tepus ke sini sida berantakan kerjaan Rigen di sini. Tuwek-tuwek begini saya sepiksial diimport Pak Ageng, lho.” “Lha, kula ya begitu, Mas Joyo. Kalau saya nyusul mbokne thole dan thole Beni, lha kasihan tamu-tamu dari Jakarta mesti isah-isah piring dan cuci pakaian.” “Lha, kan sama saja to dengan saya. Pokoke kalau buat wong cilik seperti kitakita ini mesti lain etungan-nya!” “Pripun etungane, Mas Joyo?” “Ha, inggih to, Bu Madam. Nek kula 122



reriungan penuh di rumah, kerjaan keteter, uang tidak masuk dan para bosbos pada kekurangan lawuh. Mangka anak-anak di rumah habis liburan ini butuh banyak pengeluaran sekolah. Lha, sampeyan berdua kan sama saja, to? Etungan-nya kalau reriungan di sini kan ya lumayan persen-persen dari keluarga bos sampeyan niku?” Kedua orang itu tertawa nyekikik merasa kena oleh analisa Pak Joyoboyo yang selalu waskito itu. “Sudah, to. Reriungan keluarga itu buat kita-kita ini sak cukupnya saja. Wong butuh kita lebih banyak dari bosbos niku. Kalau beliau-beliau itu memang harus reriungan. Wong hidupnya mencarmencar dengan keluarganya. Lha, yang tidak mencar-mencar dengan keluarganya, ya tidak harus reriungan. Jeneh bagaimana kalau tidak. Terus yang jualan ketupat, bubuk dhele, ayam, 123



krecek, pete, tholo dan sak uba-rampene makanan lebaran itu terus siapa? Itu kewajiban para priyayi untuk menyediakan makanan lebaran yang mbruwah begitu. Mangkin mbruwah semangkin baik buat mereka dan yang penting juga buat kita-kita ini wong cilik. Gitu lho, Mas Rigen, Bu Madam, ekonomine lebaran. Makanya sudah betul kita hadir di sini waktu lebaran itu. mPun ah, kula badhe neruskan lampah.” Dan Pak Joyoboyo pun, sesudah mengantongi uangnya dengan sebat dan gembira, meneruskan perjalanannya dengan disertai suara cempreng nan legendaris, “penggeng eyem … penggeng eyem …”. Saya dan istri masih duduk berpandang-pandangan. Masih thengerthenger, kamitenggengen mendengar penjelasan Pak Joyoboyo tentang sosiologi dan ekonomi lebaran. Kadangkadang saya curiga jangan-jangan Pak 124



Joyoboyo itu seorang pakar ilmu sosial tamatan luar negeri yang sedang menyaru sebagai rakyat jelata dan ingin ngece kaum kelas menengah yang feodalnya nggak ketulungan, seperti saya. Atau jangan-jangan malah teoritikus Marxis! Habis, penjelasannya itu sering kali begitu penuh dengan analisis kelas. “Wah, Pak Joyoboyo itu hebat tenan lho, Pak. Dia itu bisa kita katakan sebagai filsuf sosial alam, Pak.” “Eh, betul, Bune. Ahli ilmu sosial dan sekarang filsuf sosial.” Kami berdua kemudian terdiam. Mungkin kami sama-sama ingat hal yang sama. Kasbon kami di kantor kami masing-masing yang semangkin menumpuk buat lebaran tahun ini. Yah, kalau menurut Pak Joyoboyo, demi menjaga fungsi reriungan lebaran kaum kelas menengah, to? 125



Yogyakarta, 24 Mei 1988



126



Di Republik Yang Egaliter Ini Salah satu kenikmatan Minggu pagi, bagi saya, adalah membiarkan tubuh tetap menggeletak lama-lama di tempat tidur. Mata boleh disilakan membuka pada pukul enam atau tujuh, tetapi tubuh biarlah tergolek menurut maunya sendiri. Dalam keadaan begitu saya justru paling merasa nikmat bila tubuh itu membujur telentang. Muka menghadap langit-langit dan telinga mulai menangkap suara-suara di luar. Burung-burung, langkah-langkah kaki orang ber-jogging, teriak anak-anak dan suara para penjaja makanan yang mulai bergerak menjelajahi kompleks. Jelas kenikmatan begitu bukan kenikmatan para petani yang tidak mengenal hari Minggu pagi dan tetap menjalankan rutin dan ritme kerjanya sejak setiap pagi subuh. Mungkin juga 127



bukan kenikmatan buruh kecil kota, yang meskipun tidak berangkat kerja pada hari Minggu, tetapi naluri petaninya akan mencegahnya untuk bermalas-malas menggeletak di tempat tidur. Kenikmatan Minggu pagi saya itu mungkin kenikmatan kelas pekerja birokrasi yang masih memiliki sisa-sisa naluri priyayi. Naluri untuk mau mat-matan dan nglaras kapan saja dan di mana saja … “Penggeng eyem …! Penggeng eyem …!” Wah, kok suara pertama yang merobek Minggu pagiku mesti suara Mas Joyoboyo, lho! Saya tetap menggeletak, telentang di tempat tidur. Saya ingin tahu suara-suara apa yang kemudian akan terdengar sesudah Mas Joyoboyo melempar provokasi dengan suaranya yang cempreng. Biasanya, si bedhes cilik Beni Prakosa yang akan sigap menanggapinya. 128



“Penggeng eyem, Pak Ageng! Penggeng eyem, Pak ….!” Nah, rak tenan, to! Mr. Rigen yang sedang menyapu ruang tengah segera terdengar menertibkan anaknya. “Hus, huss. Jangan bengak-bengok. Pak Ageng biar dulu di kamar!” Suara tenong yang berisi panggang ayam terdengar mak sreett di geser di lantai ruang depan. “Wah, Bapake masih sare ya, Mas Rigen?” “Haa, enggih. Wong hari Minggu ya buat ngaso to, Mas Joyo.” “Ngaso buat priyayi macam beliau. Buat priyayi macam kita? Apa ya bisa dan diparengke, diijinkan oleh Sing Kuaos to, Mas Rigen.” 129



“Yak, sampeyan kok ya lucu, lho, Mas Joyo. Mosok kita priyayi? Kita ini buruh, Mas. Buruh cilik.” “Iya, sudah tahu saya, Mas, kalau bukan priyayi. Cuma kadang-kadang boleh to, Mas, kita menganggap diri kita priyayi?” “Ya, kalau cuma begitu tentu bolehboleh saja. Bahkan membayangkan suatu ketika tidak cuma jadi priyayi, tapi priyagung, priyayi sing gedhii banget itu ya boleh-boleh juga.” Kedua orang itu tertawa dengan renyah-nya. Dan Beni Prakosa pun ikutikutan tertawa tanpa mengerti betul apa yang ditertawakan bapaknya. Solidaritas anak kepada bapaknya agaknya memang sudah sejak dini sekali dipupuk oleh alam. Karena gelagatnya percakapan itu masih akan seru dan menarik, saya 130



memutuskan untuk tidak bangun dulu dari tempat tidur, melainkan cukup dengan menggeser lempeng saya miring ke kiri. Telinga saya pasang baik-baik. “Eeh, siapa tahu, ya Mas Joyo. Siapa tahu bayangan kita itu satu waktu bisa kita capai. Jadi priyayi.” “Wah, kalau perkara itu saya tempoh hari sudah matur Bapak sampeyan itu. Saya sudah semeleh. Pasrah dhapukane Gusti Allah. Kalau Sing Kuaos itu satu hari mau ndhapuk kita mandeg jadi priyayi, ya manut, ndherek saja.” “Ya, harapan saya itu pada thole Prakosa ini. Lahirnya saja tanggal 5 Oktober, hari ABRI. Dak gadang-gadang bisa jadi jendral. Lha, jendral itu „kan juga priyagung to, Mas Joyo?” “Wee, lha enggih! Lha, nek anak saya itu katanya kepingin jadi nginsinyur. Itu 131



„kan juga priyagung to, Mas Rigen?” “Wee, lha enggih! Mung bedane itu sipil!” “Lha, kalau anak-anak kita itu jadi priyagung, mosok mereka tidak akan mikul dhuwur mendhem jero, nggih?” “Oh, ya harus, Mas. Paling tidak mereka harus membolehkan kita ikut mulyo. Apes-apesnya ya nunut naik Mercedes mereka to, nggih?” “Wee, naik Mercedes. Lha, terus tenong panggang ayam saya dak taruh di mana, lho?” “Sampeyan itu bagaimana. Sudah jadi priyagung, sudah naik mercedes kok masih mikir jualan panggang ayam di tenong!” “Lho, mboten jualan, Mas Rigen. Waktu itu saya akan mborong panggang 132



ayam sak tenong buat oleh-oleh anak cucu. Priyagung mosok tidak kuat mborong ayam panggang sak tenong, lho!” Mereka pun tertawa renyah lagi. Beni Prakosa ikut-ikutan lagi. “Tapi kayaknya, eh, mestinya priyayi dosen seperti Bapak sampeyan itu sudah enaknya begitu, lho. Mentang-mentang hari Minggu bisa tidur mbangkong. Jam setengah sanga kok masih enak tidur. Weh, lha kalau sudah tingkat priyagung apa ya tidak tiap hari mbangkong, lho?” Saya tertawa nggleges di tempat tidur. Rasanya seperti Prabu Angling Darma yang tgertawa sendirian mendengar obrolan dua ekor cicak di langit-langit kamarnya. Tujuh belas Agustus 1987 belum lama lewat. Empat puluh dua tahun sudah kita 133



bikin republik yang egaliter. Weh, lha, kok begitu lho, cara Mas Joyoboyo dan Mr. Rigen menyawang, mamandang kita .. Di Jakarta, waktu saya pulang, istri saya rupanya masih tercekam dengan berita hot tentang Mangkunegaran. “Tempoh hari, beberapa minggu sebelum Bapak seda, kan beliau dapat kekancingan menjadi raden mas tumenggung … “ Ya Allah, berilah tempat yang lapang bagi arwah ayah hamba. Dan bagi kami yang ditinggalkan di republik ini ….



Yogyakarta, 25 Agustus 1987



134



Senyum, Kekasihku Senyum Beni Prakosa menerima tugas itu dengan muka yang amat cerah. Betapa tidak, tugas itu adalah mencegat Pak Joyoboyo untuk mampir ke rumah. Sudah agak lama penjaja ayam panggang Klaten itu tidak singgah karena akhir-akhir ini saya lebih banyak berada di Jakarta. Terutama pada hari-hari persinggahannya, yang biasanya jatuh pada hari Minggu dan kadang-kadang juga pada hari Kamis. “Beni, ayo sana duduk di lincak depan. Kalau Pak Joyoboyo lewat, panggil ya!” “No, Pak Ageng. Eh … yes, yes, Pak Ageng.” “No, yes, no, yes. No apa yes?” “Yes, yes. Yes itu inggih, kan?” 135



Beni pun njranthal, lari secepat Purnomo*) ke teras depan, langsung duduk bersila di lincak. Matanya memandang ke depan, mulutnya ndremimil menirukan cara Pak Joyoboyo menjajakan ayamnya. Penggeng eyem, … penggeng eyem … Akhirnya suara asli Joyoboyo itu kedengaran juga di kejauhan. Beni pun langsung mlorot ke bawah lari mendapatkan orang yang sudah didambakannya itu. “Wah, Pak. Kok saya dijotak lagi, tidak pernah ditimbali lagi.” “Lho, ya tidak to, Mas Joyo. Soalnya kalau sampeyan lewat daerah sini, kebetulan saya ada di Jakarta.” Beni Prakosa tanpa ditawari atau disilakan sudah membawa piring kecilnya dan mencomot satu tusuk sate usus dibawa lari ke dalam. 136



“Pripun, Mas Joyo. Sampeyan punya cerita-cerita baru apa yang menarik?” Mas Joyo cuma tersenyum lebar sambil tangannya cak-cek dengan ketrampilan seperti biasanya membungkus pesanan saya. “Lho, dimintai dongeng kok sampeyan malah cuma klencam-klencem, senyumsenyum saja, Mas.” “Begini lho, Pak. Kalau cerita seru dan serem itu, ya saya tidak punya. Tapi kalau cerita ngrasani sing cilik-cilikan, ya selalu ada.” “Naa, … ya itu yang saya maksud, Mas. Cerita cilik-cilikan yang seperti itu yang biasanya lebih penting dan lebih gayeng.” “Saya tadi itu klencam-klencem karena ingat adik ipar saya yang jadi polisi, Pak. Dia itu sekarang dapat perintah untuk 137



sebanyak mungkin tersenyum.” “Lho, perintah kok untuk tersenyum.” “Lha, inggih niku, Pak. Ning itu perintah.” “Terus?” “Lha, maksudnya supaya polisi itu ketok tampil ramah, gitu lho, Pak. Lucunya atau ciloko-nya adik ipar saya itu sekarang sedang tengkar terus sama adik ibunya thole. Ditambah lagi giginya itu juga sedang kumat. Wah, jadi ya repot banget melaksanakan perintah mesammesem itu.” Saya jadi dapat membayangkan kerepotan adik ipar Pak Joyoboyo itu. Sedang tengkar sama istri, gigi krowok kumat, cekot-cekot, dapat perintah untuk selalu tersenyum sama rakyat. Mana tanggal tua lagi. Wehh. 138



“Lha, niku, Pak. Kocapo adik ipar saya itu meskipun polisi, rasa solider sama masyarakat niku besar. Dia selalu ikut siskamling. Waktu beberapa malam yang lalu dia diampiri untuk siskamling, dia mangkir karena soal istri dan gigi itu. Eh, kok teman-teman kampung itu malah nggrundel. Katanya adik ipar saya itu solidernya mung lamis saja.” “Terus, terus?” “Ya, terus adik ipar saya itu marah. Kelompok siskamling itu dimarahi dan dipisuhi semua. Lha, esok harinya kedengaran sama kumendan-nya. Ganti dia dimarahi karena lupa perintah “operasi senyum-senyum” itu. Wah, … adik ipar saya itu merasa sial tenan sekarang. Istrinya masih merengut karena belum dibelikan giwang, giginya yang krowok belum sembuh, senyum belum bisa, hati masih kudu anyel terus, sekarang tambah dimarahi kumendan139



nya. Saya itu kasihan sama dia, ning ya kudu tertawa saja. Weh … pemerintah, pemerintah, wong perintah kok kudu senyum, lho.” “Mas Joyo, sampeyan jangan begitu, lho. Perintah itu kan baik-baik saja, to? Supaya polisi itu tidak ketok medeni, menakutkan, gitu lho.” “Yakk, … Bapak. Polisi itu yang bikin medeni kalau dia mulai aeng-aeng, anehaneh sama wong cilik. Kalau tidak aengaeng, lha, mbok tidak usah tersenyum ya tidak menakutkan, Pak.” “Lha, yang sampeyan maksud dengan aeng-aeng itu apa to, Mas Joyo?” “Yakk, … Bapak. Gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula ….” Sambil berkata begitu, dengan tersenyum lagi, Mas Joyoboyo pun 140



mengangkat tenong-nya pergi. Weh … rupanya hafalannya di SD dulu tentang peribahasa masih lengket di kepalanya. Lumayan. Saya tercenung di kursi malas ruang depan itu. Saya lihat di halaman depan, di rerumputan, Mr. Rigen mengaso sehabis menyapu halaman. Mrs. Nansiyem nglesot di sampingnya sehabis mencuci pakaian seisi rumah. Dan sang pangeran, Beni Prakosa masih mengetet-etet sate usus yang tidak kunjung putus. Wajah mereka ceria di pagi hari yang cerah itu. Serba tersenyum. Setahu saya, baik saya atau Mr. Rigen belum pernah melancarkan “operasi senyum” di rumah kami.



Yogyakarta, 26 Januari 1988 *) Purnomo : sprinter Indonesia yang pernah ikut Olimpiade Los Angeles, 1984 141



Mikul Dhuwur, Mendhem Jero Ayah kenalan lama saya belum lama ini meninggal dunia. Saya memutuskan untuk datang melayat. Kawan saya itu dulu teman sekuliah kemudian entah bagaimana dia sukses menaiki jenjang karier, berhasil menjadi seorang direktur di satu departemen yang renes bin basah. Sumpah, bukan karena dia direktur dan priyagung yang begitu penting maka saya memutuskan untuk melayat. Saya melayat karena dia adalah seorang kawan yang kesusahan. Juga karena, dulu semasa kuliah, hubungan kami lumayan akrabnya. Bahkan sekali dua kali saya pernah diajak menginap di rumah orang tuanya di satu desa di lereng Gunung Merapi yang subur. Sering kali saya mengenang hari-hari yang menyenangkan menginap di rumah orang tuanya yang ramah dan sederhana itu. 142



Rumahnya tidak berapa besar, dari kayu, berpotongan limasan sederhana. Pekarangan rumahnya juga tidak seberapa besar, ditumbuhi pohon buahbuahan. Jambu kaget, mangga arum manis dan duwet hitamnya tidak pernah saya lupakan hingga sekarang. Juga suasana yang adem dan teduh dari rumah itu serta sayur lodeh dan sambal terasi yang dihidangkan di meja makan mereka masih sering dengan jelasnya menyusup dalam kenangan saya. Orang tua itu, sungguh pensiunan guru yang menghabiskan masa tuanya dengan bahagianya. Pilihan pekerjaan yang berbeda serta tempat bertugas yang berjauhan, dia di ibukota saya di pedalaman, telah memisahkan saya dan kenalan itu hingga bertahun-tahun lamanya. Dan dengan itu juga hubungan saya dengan orang tuanya di desa yang indah itu. Tentu 143



sekali-sekali saya membaca berita-berita tentang dia di surat kabar dan melihat wajahnya di layar TV. Juga satu dua kali pernah bertemu di resepsi ini dan itu di Jakarta atau pesta perkawinan di Yogya. Setiap bertemu yang sebentar-sebentar begitu tentu kami bertukar salam akarab, saling berjanji untuk saling mengunjungi dengan keluarga kami, bahkan juga untuk naik gunung ke rumah orang tuanya. Tetapi, kerja dan karier memang bisa kejam sekali. Mesin tempat kami bekerja tidak pernah mengizinkan kemewahankemewahan kecil, seperti berkunjung ke rumah kawan berjalan sangat mulus. Sayur lodeh,sambal terasi, jambu kaget, duwet hitam adalah ornamen-ornamen kecil yang agaknya tidak relevan dengan efisiensi mesin. Maka, begitu saya mendengar bahwa orang tua itu meninggal, saya putuskan untuk melayat ke desa bagaimanapun susah dan rumpilnya jalan ke sana. 144



Jip tua, reyot dan knalpotnya yang gemuruh suaranya itu, dengan terengahengah mendaki tanjakan terakhir menuju desa tersebut. Mr. Rigen yang sebentarsebentar mendesah dan melenguh karena kondisi mesin dan knalpot jip yang rawan itu, harus saya akui, adalah seorang sopir amatir (karena menurut dia belum “propesi”) yang cekaran dan tangkas. Tikungan-tikungan jalan yang mendaki dia lalap bagai sopir taksi di Beirut. Tibatiba pada jarak satu kilometer dari desa tujuan kami, jalan itu berubah menjadi jalan yang beraspal mulus sekali. Ini bukan kondisi jalan yang dulu beberapa kali saya lewati. Kemudian kira-kira lima ratus meter dari batas desa, kami melihat mobil-mobil berplat AB, B, H, AD, L dan entah apa lagi, berderet di pinggir jalan. Mercedes, Volvo dan segala merk mobil Jepang terwakili pada deretan itu. Juga selain mobil jenazah yang super de lux, saya melihat tiga bus Hino berderet 145



dengan megahnya. Waktu saya turun memasuki halaman rumah mulut saya nyaris otomatis ternganga lebar. Betapa tidak. Halaman rumah yang dulu penuh dengan pohon jambu kaget, mangga arum manis dan duwet hitam itu sudah berubah. Di halaman itu, sekarang tumbuh pohonpohon sawo kecik yang megah, yang mengingatkan saya pada rumah-rumah bangsawan di jeron beteng di kota. Dan, rumah itu! Astaga! Lenyap sudah rumah kecil sederhana berpotongan limasan itu. Sekarang, di hadapan saya berdiri satu rumah besar, megah, beratap sirap dengan pendopo joglo. Tiang-tiangnya berukit Jepara di pinggir diplipit prada yang kemilau. Kemudian saya baru menyadari keadaan di pendopo itu. Jenazah itu tergeletak di tengah, di kepung oleh karangan-karangan bunga. Kemudian saya lihat teman saya itu 146



berbaju surjan sutera hitam lengkap dengan kain dan blangkon gaya Mataraman. Begitu juga saya lihat kaim kerabatnya. Baik yang lelaki maupun yang perempuan semua berpakaian daerah lengkap berwarna hitam. Lalu saya mendengar suara kaset gamelan mengalunkan lagu “Tlutur” yang menyayat hati. Kawan saya dan istrinya dengan tergopoh menyambut kedatangan saya. Kami berangkulan. Sejenak, untuk beberapa detik, saya tercekam keharuan. Berapa tahun sudah sang waktu dan sang mesin birokrasi telah mengasingkan kami. Tetapi, aneh sekali waktu saya lihat matanya yang basah karena air mata itu, kok saya tidak menangkap sinar kesedihan melainkan justru sinar kebanggaan. Dan seakan dia bisa membaca rasa ngungun saya, dia pun berkata, “Yahh, … cuma beginilah, Mas, yang 147



bisa saya lakukan memuliakan orang tua saya.” Saya manggut-manggut sembari berjalan digandeng masuk di deretan kursi kehormatan dekat pringgitan. “Orang Jawa bilang anak laki-laki itu harus bisa mikul dhuwur, mendhem jero, memikul tinggi-tinggi, menanam dalamdalam. Sebisa-bisa saya, itu sudah saya laksanakan. Kau lihat rumah ini sudah saya sulap menjadi rumah begini.” “Wahh, … ini rumah bupati zaman dahulu, Dik.” “Yakk, ya belum, Mas. Baru mencoba mendekati. Upacara pemakaman ini sengaja saya bikin megah. Supaya Bapak marem. Semua rekan-rekan di kantor kanwil di tiga propinsi saya datangkan untuk membuat suasana khidmat tapi regeng. Ya, lumayan to, Mas, kalau dilihat 148



dari banyaknya tamu dan banyaknya mobil yang datang. Yah, biar Bapak lega dan marem di hari akhirnya. Kau masih ingat „kan bagaimana sederhananya Bapak saya itu. Terus nenuwun, puasa Senin-Kemis, ngrowot dan entah apa lagi. Semuanya agar anak-anaknya bisa hidup mulyo. Yah, berkat tirakat itu kau lihat sendiri to, Mas. Saya dan adik-adik selamat meniti karier.” Huwihh, lumayan? Kalau ini lumayan terus yang telah saya capai selama ini, apa dong? Saya ngunandika dalam hati. Waktu jenazah diberangkatkan, lagu “Tlutur” yang sedih itu justru berhenti, diganti dengan kagu “Gleyong”. Saya terpana, lagu Gleyong? Bukankah lagu itu lagu yang biasa dimainkan ki dalang untuk mengiringi Prabu Suyudono kalau jengkar kedaton? Iring-iringan mobil yang mengiringi mobil jenazah ke arah selatan kota itu telah menggegerkan desa-desa 149



yang kami lalui. Sungguh satu peristiwa dahsyat dan mengagumkan bagi penduduk. Suara sirene mobil meraungraung di jalanan pedesaan yang sepi itu. Mobil berpuluh beriringan. Bus-bus. Dan bunga-bunga yang disebarkan dengan uang recehan lima puluh sen yang entah berapa jumlahnya. Jip kami tertatih-tatih ingin mencoba mengikuti laju iringan mobil-mobil itu. Suara mesinnya kemrosak, suara knalpotnya gemuruh, tetapi larinya kok terpincang-pincang. Waktu masuk kota di jalan Magelang, tiba-tiba terdengar “grobyak!” Knalpot itu patah dan jatuh terguling. Mr. Rigen menghentikan mobil dan memarkirnya di pinggir jalan. Knalpot yang terkapar di jalan dipungutnya dan ditunjukkan kepada saya. Saya tersenyum karena knalpot itu mengingatkan saya pada patung seni rupa baru. “Mr. Rigen, enaknya kita istirahat di 150



warung soto depan situ. Nututi iringan mobil itu juga percuma, Setuju?” “Siippp, Bos.” “Dapurmu!” Sambil menyruput kaldu soto yang cuwernya seperti air Kali Code itu, saya jadi minder ingat kemegahan upacara pemakaman hari itu. Memang kawan saya itu priyagung yang hebat. Punya roso darma yang canggih. Dibanding dengan itu, pemakaman ayah saya tempo hari, wah, kok sederhana dan polos-polos saja. Masih terngiang di telingaku dan terbayang mukanya yang penuh khidmat waktu bilang : mikul dhuwur, mendhem jero …..



Yogyakarta, 28 Juli 1987



151



Tentang Gaya Hidup Jakarta, nJukja dan Ngawi Di Jakarta kemarin, saya ketemu kawan lama, seorang ekonom tamatan Harvard. Seperti biasanya bila dua orang kawan lama tidak ketemu, percakapan pun merembet ke mana-mana dan merembet ke pribadi-pribadi lain yang juga sudah lama tidak ketemu. “Lha, si Usman itu bagaimana sekarang? Apa juga masih setia mengajar seperti kamu?” Adapun yang saya sebut sebagai si Usman adalah juga seorang kawan lama, seorang tamatan Harvard Business School. Cemerlang, mengajar dengan penuh dedikasi di salah satu universitas negeri, karena itu pas-pasan saja ekonominya. Kayak kata “business” dan 152



“Harvard” itu tidak ada dampaknya yang berarti dalam hidupnya. “Naahh, itu. Usman, jangan kaget, sudah meninggalkan dunia pendidikan. Keluar dari fakultas kami dan pindah kerja di satu perusahaan raksasa.” “Pindah kerja? Ke perusahaan raksasa? Rasanya kok susah membayangkan si Usman kerja di perusahaan.” “Susah kalau hanya membayangkan pekerjaannya. Tapi, kalau lu bayangin gajinya barangkali jadi tidak terlalu susah lagi. Mau tahu gajinya sekarang di perusahaan itu?” Saya menggelengkan kepala masih membayangkan Usman yang sederhana dan penuh idealisme itu mengabdikan dirinya di luar dunia keilmuan dan pendidikan. “Lima belas juta rupiah!” 153



“Setahun?” “Huss! Kok setahun?! Sebulan, dong!” Astaghfirullah. Gek seberapa banyak uang segitu? “Uwahh! Terus untuk apa uang sak pethuthuk, sak hohah dan sak abregabreg itu? Mbayangin banyaknya saja sudah susah. Tunggu, tunggu. Dua belas kali lima belas juta. Jadi berapa ya terimanya si Usman setahun?” “Ya, seratus delapan puluh juta rupiah, dong.” “Huwahh! Lha, itu berarti dia bisa beli dua rumah setahun, gitu!” Kawan saya tertawa terkekeh-kekeh. Pundak saya dia gaploki beberapa kali. “Geeng, Geng! Elu itu kok masih udik nYukja bener, sih. Bahkan mungkin 154



nYukja saja kagak. Ngawi barangkali!” “Elho! nYukja atau Ngawi atau Cambridge Massachusett, ngelmu aritmatikanya kan sama saja, toh? Di kompleks tempat saya tinggal, Cipinang, kau bisa beli maisonette lima pulub lima juta sebiji. Kalau si Usman beli dua maisonette setahun itu baru seratus sepuluh juta rupiah. Seratus delapan puluh juta diambil seratus sepuluh masih …. “ “Ha … ha … ha … Ya, itu aritmatika nYukja atau Ngawi. Hitung-hitungan itu kan terkait sama gaya hidup, Bung. Kalau gaya hidup nYukja yang cuma sekitar gudeg dan Ngawi yang cuma tempe, iya lah! Si Usman bahkan bisa beli tiga rumah setahun dengan gaya hidup dua kampung itu. Tapi kalau kau ukur dengan gaya hidup Jakarta, belum tentu gaji sebesar itu cukup buat si Usman.” 155



Saya jadi merasa tersinggung dikatakan tidak tahu gya hidup Jakarta. Jelek-jelek begini kan saya punya rumah di Jakarta. Dan gaya hidup? Eh, sekalisekali saya kan singgah juga di Pizza Hut melahap pizza yang sebesar nampan dapur. Makan di Teppanyaki di Tokyo Garden dan Shima. Makan sea food di Yun Nyan atau Kingdom. Mendengarkan jazz di Borobudur, Sahid Jaya atau Mandarin, dan hahhh (!), juga es krim Haagen Dasz yang dahsyat itu! Kurang tahu apa aku dengan gaya hidup Jakarta. Dan orbit perpusaran socialite, kaum elit, di Jakarta, toh aku tidak terlalu asing. Sekali-sekali undangan cocktail, dinner dan lunch dengan para tokoh mancanegara aku juga kecipratan. Kurang apa, kurang apa?! Eh, trembelane tenan! Kawan saya itu malah semangkin terpingkal tertawanya mendengar deretan pembuktianku tentang tidak asingnya aku 156



dengan gaya hidup Jakarta. “Ho … ho … ho … Orang dengan gaji seperti Usman di Jakarta itu sudah punya konsep lain tentang gaya hidup Jakarta. Berlibur weekend atau main golf di Bali itu, seperti kau mau jajan tempe bacem dan jadah ke Kaliurang. Weekend, mereka ke Pulau Phuket di Thailand atau ke salah satu pulau kecil di lepas pantai Malaysia. Dan liburan mereka yang beneran ya ke mana saja. Ke Maldives, Gstaad, Sapporo, ke desa kecil di Swedia atau ke Kepulauan Karibia. Pokoknya ke tempat-tempat yang tidak umum. Setidaknya buat kita.” “Dan, dia antara mereka itu ada semacam, entah itu, persaingan atau persengkongkolan untuk saling mendahului, menduduki tempat-tempat itu. Singapur, Hong Kong, Tokyo, New York? Kecil itu, buat mereka. Terlalu ordinaire, terlalu biasa. Belum lagi yang 157



mereka belanjakan. Belum lagi cara mereka meng-entertain, menghibur atau menjamu relasi-relasi mereka. Nah, apa cukup uang lima belas juta sebulan itu? Apa lagi mereka keluarkan uang itu dengan uang plastik atau credit card itu. Charge … charge … charge … tahu-tahu dapat peringatan dari bank kalau cadangan mendekati garis merah.” Waktu kami berpisah, saya masih terbayang-bayang tampang Usman. Apa iya Usman akan atau sudah menjalani gaya hidup Jakarta yang kayak begitu? Saya masih ingat rumahnya di Tebet dulu waktu masih mengontrak. Sekali-sekali kami singgah di rumah kontrakan yang sederhana itu. Kami disuguhi ketoprak, asinan atau gado-gado. Tidak pernah lebih mewah dari itu. Saya ingat pernah ketemu Usman sekeluarga nonton Srimulat di TIM sambil masing-masing mengunyah tahu Sumedang dan 158



menyedot teh Sosro. Itu pun gantian nyedotnya. Sekarang? Waahhh, apa iya sampai di Gstaad dia main ski. Berenangrenang dengan snorkel di Laut Karibia yang biru itu. Berajojing di Crazy Horse Paris? Waahh, berantakan semua gambaran saya tentang Usman di benak saya. Seperti kepingan-kepingan kaleidoskop yang berwarna-warni. Ya, semoga happy sajalah kau Usman. Tibatiba mulutku mencong tersenyum sendiri. Dapurmu! Lima belas juta, jee! Minggu pagi itu, di rumahku di mBulaksumur, seperti biasa Mr. Rigen bertanya menu makan siang. “Pak, bagaimana kalau siang ini saya masak brongkos? Sudah lama tidak masak brongkos. Dengan kikil, kacang tholo besar, lombok ijo, tempe dan tahu. Nanti saya pilihkan kluwak-nya yang tuatua. Nggih, begitu saja, nggih? Pasti brongkos itu nanti dahsyat dan mlekoh … 159



“ Saya mengangguk-angguk saja di kursi malas. Dalam pikiran saya bagaimana kalau si Usman pada waktu pagi itu ikut duduk mendegarkan Mr. Rigen …



Yogyakarta, 1 Maret 1988



160



Subur Kang Sarwo Tinandur Untuk pendidikannya yang cuma SD from Pracimantoro, kegemaran Mr. Rigen membaca berbagai surat kabar dan majalah, mengagumkan juga. Kompas, Suara Pembaharuan dan Kedaulatan Rakyat dilalap habis. Tempo dan Editor diganyangnya pada gambar-gambar advertensi dan foto-fotonya. Persoalan politik dan militer di dalam dan luar negeri dikuasainya. Berita-berita skandal seks dan kriminal, apalagi! Daharan-nya sehari-hari. Kepatuhan dan kepercayaannya kepada dunia media sangat mengharukan sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, semua yang dibacanya diterimanya sebagai kebenaran yang tidak tergoyahkan lagi. Reagan dan Gorbachev sama betulnya. Keterangan pemerintah 161



semuanya benar dan baik. Mobil merk BMW adalah mobil yang paling bagus. Rokok Djarum adalah rokok yang paling hebat dan Essaven adalah obat ambeien yang paling dahsyat. Sampai pada suatu hari saya ajak diskusi tentang berita kriminal di desa. “Ini bagaimana, Gen. Kok kehidupan di desa sangsoyo rusuh.” “Rusuh pripun? Wong ndeso niku adem ayem, tidak ada apa-apa kok rusuh to, Pak.” “Lho, kamu mengikuti berita di korankoran, tidak?” “Ya, mengikuti to, Pak. Ning kabar ndeso rusuh itu kok saya tidak lihat.” “Lha, itu kabar simbah yang ngracun cucunya dengan racun tikus. Mantu membunuh mertuanya dengan endrin. Pemuda-pemuda sorak-sorak menggiring 162



orang kumpul kebo dengan menyuruh mereka berjalan bugil. Apa semua itu bukan gejala desa sangsoyo rusuh?” “Oohh, itu to? Kalau menurut saya koran-koran kota itu kalau memberitakan keadaan desa kok suka ditambahtambahi. Biar ramai.” “Jadi, menurut kamu kabar-kabar seperti itu sesungguhnya tidak terjadi di desa?” “Ya, kalau pembunuhan, sekali-sekali ya terjadi to, Pak. Tani pacul-paculan gara-gara rebutan air. Gerombolan rampok lewat, ngrampok rumah orang sugih di desa. Ning nek sing aneh-aneh seperti simbah ngracun putune pakai racun tikus, pemuda ngarak orang disuruh bugil, itu apa ya memper, Pak?” “Lho, zamannya baru zaman edan kok, Gen. Mosok tidak mungkin?” 163



“Ya, sak edan-edannya wong ndeso, tidak mungkin ada simbah membunuh cucunya sendiri. Bapak kan sering dolan ke desa. Kan, Bapak pirsa sendiri bagaimana simbah di desa itu sayangnya sama putu habis-habisan. Kok ini diracun. Pakai racun tikus lagi. Dan pemudapemuda desa itu, Bapak pirsa juga kan? Rukunnya mboten jamak, kok ini diberitakan ugal-ugalan, menelanjangi, terus mengaraknya keliling desa. Tak mungkin, tak mungkin … “ Mr. Rigen yang selalu patuh dan percaya kepada semua berita di koran dan majalah, tiba-tiba jadi seperti kena sengat waktu ada berita yang miring tentang desa. Berita-berita itu jadi tampil sebagai berita yang dibikin-bikin. Sebagai sensasi untuk mencari kegemparan. Suaranya jelas menampakkan kegetiran. Kengototannya mengucapkan “tidak mungkn, tidak mungkin” bagaikan 164



almarhum Jhoni Gudel, menunjukkan itu semua. Saya pun jadi miris. Itu suara rakyat yang tidak trimo. Saya pun jadi manggut-manggut saja. Tetapi di dalam hati saya terus bertanya bagaimana hal-hal yang memang benar terjadi itu disangkal dengan sengit oleh Mr. Rigen. Memang selalu ada kemungkinan pemberitaan itu dibumbui untuk menambah selera sajian berita, tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa hal-hal tersebut telah diproses lewat otopsi di rumah sakit untuk korban yang dibunuh, dan semua peristiwa itu telah pula diajukan ke sidang pengadilan. Dan Mr. Rigen juga membaca semua itu di koran. Toh dia menolak itu sebagai suatu kenyataan. Apakah justru karena saking pedih hatinya melihat semua itu terjadi di desa, sehingga Mr. Rigen menyangkal dengan keras semuanya. Seakan-akan dengan begitu hatinya jadi 165



tenteram. Saya tidak tahu. Hari Minggu berikutnya, Pak Joyoboyo singgah ke rumah. Saya sedang malas mengobrol. Maka saya hanya tiduran di kamar sembari membaca. Kepada Mr. Rigen sudah saya instruksikan agar membeli beberapa potong ayam panggang untuk sarapan siang saya. Dari kamar saya dengar jelas obrolan mereka. “Wah, pripun Mas Rigen. Wong cilik di desa saya semangkin susah hidupnya. Di desa sampeyan bagaimana?” “Lha, ya sama saja. Apalagi daerah saya itu tandus. Tidak menghasilkan apaapa. Maka kebanyakan dari kita ya ngumbara cari makan di kota. Seperti saya ini.” “Lha, harga-harga edan-edanan mahalnya kayak sekarang ini bagaimana? Kita wong cilik ini terus disuruh makan 166



sama apa, nggih?” “Ya, makan sisanya wong-wong yang luwih sugih dari kita, Mas. Habis harus bagaimana? Wong orang kayak kita ini ditakdirkan kalah terus, kok.” “Wah, sampeyan kok pagi ini mendung banget to, Mas. Apa Pak Ageng marah sama sampeyan?” “Tidak marah. Cuma pertanyaannya tentang macam-macam kejahatan di desa itu membuat saya marah dan bingung. Lha, wong ndeso kok sekarang ini jadi macam-macam begitu, lho. Yang mbunuh putu, yang ngracun endrin, yang ngarak orang bugil. Mestinya itu semua saking bingung susahnya cari makan ya, Mas?” “Nggih mbok menawi mawon, Mas Rigen. Wong hidup di ndeso jan susah betul, kok.” “Lha, buktinya jaman saya kecil dulu, 167



jaman nurmal atau neromal gitu, katanya, saya kok tidak pernah dengar kabar yang aneh-aneh kayak begitu. Sampeyan waktu kecil pernah dengar kabar simbah mbunuh putune dhewe, Mas Joyo?” “Yak, ya tidak pernah, Mas Rigen. Sudah ah, saya pamit dulu. Pagi-pagi kok kita sudah ngobrol yang bikin perut mules, kepala pusing. Pun kita wong cilik pasrah kersaning Allah, Mas Rigen.” Saya dengar Pak Joyboyo berjalan menjauh dan di jalan mulai meneriakkan lagunya yang terkenal, penggeng eyem … penggeng eyem …. Beni Prakosa yang rupanya kelupaan dibelikan setusuk sate usus, berontak kepada bapak dan ibunya. Suara rengekannya menyebalkan betul di pagi itu. “Pak, sate usus, Pak. Buk, sate usus, Buk. Pak, sate usus, Pak. Bu, sate ….!” 168



“Diam apa tidak! Diam apa tidak! Dibilangin nggak ada sate usus kok ribut!” “Pak, sate usus, Pak. Buk, sate usus, Buk!” “Eh, kok malah rewel! Malah nangis. Nanti dak racun tikus baru tahu rasa kamu. Diam!” Astaga ……



Yogyakarta, 9 Februari 1988



169



Air Dan Hidup Ngrekasa Di Koran Senin pagi itu, saya membaca tentang kekeringan air di Pracimantoro. Segera saya panggil Mr. Rigen yang sedang menyapu halaman depan. Ini kabar gawat, pikir saya. Pastilah Mr. Rigen akan prihatin sekali membayangkan kesulitan orang tuanya. Maka untuk menambah bobot urgensi pada situasi, nada suara saya waktu memanggil Mr. Rigen juga seperti suara seorang jenderal memanggil ajudannya. Berat, berwibawa tur mantep. “Mr. Rigen, rene!” Mr. Rigen yang sejak lama sudah saya coba didik menjadi seorang teknokrat terampil tetapi tetap manusia, toh masih saja menyimpan sisa-sisa naluri robot di tubuhnya. Begitu mendengar suara panggilan jenderal itu, mak grobyak sapu



170



dilempar di tanah, rerontokan dedaunan dibiarkan tetap berserakan dan sreett begitu saja sudah berdiri di depan saya. “Wonten dawuh, Pak?” Sikapnya berdiri tegak, tangan ngapurancang. Di belakangnya, Beni Prakosa, beo murni dari bapaknya, berdiri dengan sikap yang sama. “Teh atau topi? Teh atau topi, Pak Ageng?” Robot beo kecil pun ikut-ikutan nyerocos pertanyaan rutinnya pada pagi hari. “Teh, teh. Sana suruh ibumu bikin. Ini lho, Gen. Ada kabar gawat di desamu!” “Oohh, itu to, Pak. Kabar kekeringan air to, Pak? Tiwas saya itu deg-degan waktu ditimbali tadi. Dak kira mau didukani atau mau diparingi apa, gitu.” Cilaka! Mengapa naluri pembantu 171



selalu begitu kalau dipanggil majikannya. Siap untuk dimarahi atau siap untuk diberi hadiah. Atau jangan-jangan itu naluri kita semua setiap kali kita dipanggil oleh atasan kita? Begitu terbatas dan nyaris tanpa nuansa kah pilihan-pilihan di republik yang egaliter ini? “Lho, kamu kok kelihatannya tidak kaget begitu, Gen? Ini kan kabar krisis berat? Air, je!” “Lha iya, air. Terus mau diapakan to, Pak. Wong itu sudah begitu terus saben tahun. Kalau ada urusan gawat betul nanti, kan orang tua saya suruhan orang ke sini.” “Lha, orang tuamu itu apa ya tidak ngrekasa kurang air begitu?” Mr. Rigen tertawa. “Orang desa itu kapan tidak ngrekasa to, Pak? Selamanya kan ya ngrekasa. Karena biasa ngrekasa ya jadi tidak terasa ngrekasa, Pak.” 172



Wah, elok tenan. Pagi-pagi sudah dapat kuliah filsafat ngrekasa. Benar juga kata guru saya dulu bahwa filsuf-filsuf terbaik di dunia lahir di negeri-negeri yang gersang. Mungkinkah Pracimantoro akan menjadi gudang filsuf-filsuf ulung? Setidaknya filsuf ngrekasa. Dan Mr. Rigen pun berkisah tentang desanya yang gersang. Tentang gununggunungnya yang pada gundul. Tentang telaga-telaga yang sedikit airnya, yang pada musim kering begini akan kering sama sekali. Maka orang akan berebut mencari sumber-sumber air yang lebih jauh letaknya dan lebih sedikit airnya. Dan perebutan itu nantinya tidak akan antara manusia-manusia, akan tetapi juga dengan macan-macan yang mulai pada turun dari gua-gua di gunung. “Macan?” “Iya, Pak. Macan itu tidak hanya mau 173



air. Tetapi juga mau jenazah-jenazah manusia. Kami di sana sudah nrimo kalau jenazah kami akhirnya dibongkar kiyaine itu untuk kemudian digondol, dibawa ke gua meraka.” Fantastik. Saya mendengar itu seperti melihat layar teve imajiner di depan mataku menyiarkan lakon science fiction. Tetapi bukan! Teve itu adalah teve Mr. Rigen from Pracimantoro. Dengan tenang dan dengan gaya dramatik teater tradisional dia menghabisi ceritanya. “Tapi orang tua saya masih untung kok, Pak.” “Untung bagaimana? Orang Jawa kok untung terus, lho!” “Lha, mereka itu tidak seperti lainnya. Mereka hanya harus menempuh tiga kilometer untuk mencari air …” Astaga. Hanya tiga kilometer …. 174



Sore-sore hawa yang seharian panas jadi teduh sedikit. Warna langit yang lembayung kemerahan itu ikut menambah sejuknya suasana. Dari jendela saya melihat Mr. Rigen & family sembur-semburan air dari selang yang habis dipakai untuk membasahi rumput halaman. Tawa meraka berderai-derai. Baju Beni Prakosa basah kuyup, tetapi dengarlah suara tertawanya yang renyah bahagia. Saya teringat orang tua Mr. Rigen di desanya. Sudahkah mereka mendapat air dari belik pada jam begini. Dan macan-macan itu? Saat itu pun saya tidak mungkin lupa pesan Prof. Blommenstein, ahli air yang bernenek Jawa tempo hari, “Ojo ngguwak-ngguwak banyu, ora ilok …!”



Yogyakarta, 8 September 1987



175



Sukses Nggendhong Lali Hari Jum‟at kemarin sepulang saya dari kantor, saya memergoki Mr. Rigen anakberanak pada duduk nglesot di sekitar meja bundar ruang duduk. Mr. Rigen duduk bersila sembari memegang koran, Mrs. Nansiyem nglendhot bahu suaminya ikut memperhatikan apa yang dibaca suaminya. Beni Prakosa juga ikut-ikutan nglendhot di bahu bapaknya. Madu di bahu kanannya, racun di bahu kirinya. Pemandangan rukun reriungan begitu selalu mengharukan hati saya. Cuma ada sesuatu yang aneh pada pemandangan itu. Mrs. Nansiyem yang pemalu binti clingus itu kok sari-sarinya ikut-ikutan duduk pada siang hari begitu di ruang dalam. Biasanya hanya pada waktu tivi menyiarkan ketoprak saja dia berani ikut muncul di dalam. Tapi pada 176



siang itu, eh, kok elok tenan, dengan enaknya dia duduk menglendhot sang suami di ruang tengah. “Wah, kok bolehnya rukun siang panas begini pada dhesek-dhesekan duduknya. Tidak sumuk, apa?” Mak njenggirat, mereka kaget, sama sekali tidak mendengar kedatangan saya. “Lho, Bapak rawuh kok kami tidak dengar, ya ..” “Pak Ageng bisa menghilang. Pak Ageng bisa … “ “Hesysy … menghilang apa. Wong pintu depan dibuka lebar-lebar begitu. Tentu saya bisa masuk begini saja. Coba kalau penodong di siang hari yang datang. Mau apa kalian? Paling kaliang ndredeg ewel-ewelan, to?” Mereka bertiga tersenyum tersipu. Mrs. 177



Nansiyem bersiap berdiri mau pergi ke belakang. “Eh, mau ke mana kamu? Kamu duduk saja di sini. Saya mau tahu kalian itu kok bolehnya kelihatan asyik. Apa sih yang seru di koran?” Mr. Rigen membeber koran-koran yang saya langgani pada hari itu. “Lha, ini lo, Pak. Gepeng itu, lho. Jiaann, bocah kok mesake tenan.” “Lha, kan kamu sudah tahu kalau Gepeng meninggal sejak tadi pagi?” “Ha, inggih. Tapi berita yang lengkap tenan rak baru siang ini. Saya bacakan cerita meninggalnya itu, kami jann trenyuh betul. Lha, ibune thole itu malah mbrebes mili, air matanya dleweran membasahi bumi.” “Dhapurmu, Gen! Iyo to, Nan? Nangis 178



tenan kowe?” Mrs. Nansiyem tersenyum kemalumaluan. “Walah, Pak. Wong karangan bapaknya thole saja, lho. Kok panjenengan percaya.” “Lha, wong mesakake betul to, Bune?” “Yang bikin kalian itu sedih apanya, coba? Kan biasa, cepat atau lambat orang mesti meninggal? Apa Gepeng itu masih sanak kalian?” “Ya bukan. Ning dia itu sudah kayak sedulur lo, Pak!” “Ayakk, kamu itu.” “Lha, iya to, Pak. Kalau Gepeng tampil di tipi itu kan bikin kita seneng. Suasana jadi seger. Semua pegel linu di badan jadi hilang semua. Lha, jadi Gepeng itu kan 179



dekat sekali sama kita, Pak Ageng.” “Kalian kehilangan betul, kalau begitu?” “Lha, inggih to, Pak. Rasanya sekarang tipi jadi sepi tanpa Gepeng.” “Yakk … jangan berlebih-lebihan. Kan masih ada pelawak lain di tipi. Itu ya lucu-lucu, semua, Gen!” “Ya, betul, Pak. Ini soal sreg sama cocok kok, Pak.” “Sreg-nya itu di mana? Kalau pelawak itu lucu, ya lucu, Gen!” “Eee … mboten! Gepeng itu buat kami istimewa lucunya. Dia itu bikin kami yang bodo-bodo ini jadi senang. Jadi tidak minder gitu lho, Pak.” “Minder itu apa?” 180



“Lho, kan Bapak sendiri yang suka ngendika begitu. Jadi orang itu jangan suka minder, Gen! Lha, minder itu rasa kurang harga diri.” Saya jadi terbayang wajah Gepeng kalau melawak di teve. Wajahnya memang blo‟on, suka ngeyel dan soknya bukan main. Tetapi gabungan unsur celaka begitu jadi ramuan yang membuatnya pelawak yang disayang. Barangkali tiga unsur itu abstraksi dari kebanyakan sifat kita. Kita jadi diingatkan bagaimana kadang-kadang juga bisa konyol. Tetapi bagi Mr. Rigen, dan mungkin bagi teman-temannya yang lain, dagelan Gepeng itu justru memberi harapan-harapan. Mungkin bukan karena blo‟on, ngeyel atau soknya. Tetapi suksesnya sebagai pelawak. Tiba-tiba Mr. Rigen nyeletuk. “Cuma sayang, nggih, Pak. Hidupnya kok awut-awutan begitu.” 181



“Awut-awutan bagaimana?” “Lha, inggih. Suka minum minuman keras, begadang, lupa anak istri, lupa Srimulat. Lha, jadi jebol semua.” “Tapi kan akhir-akhir ini dia sudah rukun lagi sama semuanya. Itu harus kita hargai, Gen. Itu membutuhkan keberanian lho, Gen. Mau mengakui kekeliruan kepada orang-orang yang pernah disakiti.” Mr. Rigen masih thenger-thenger. Mrs. Nansiyem solider thenger-thenger. Beni Prakosa melihat itu semua juga ikutikutan, thenger-thenger-nya anak kecil yang mulai lapar dan ngantuk. Tiba-tiba saja dia berteriak, “Buuukkk … makan! Sudah siang begini kok Beni belum dikasih makan?!” “Huss … huss … huss … Ayo, Le, ke belakang.”



182



Mrs. Nansiyem menggring anaknya ke belakang. Mr. Rigen masih belum beranjak dari tempat duduknya. Masih thenger-thenger. “Wah, Peng, kamu itu melik nggendhong lali. Terlalu ngongso cenderung lupa.” Saya ikut-ikutan nambah, “Bukan, Gen. Gepeng itu sukses nggendhong lali …… “



Yogyakarta, 21 Juni 1988



183



Service Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni Prakosa paham betul makna service atau pelayanan tersebut. Dari pukul 06.00 pagi hingga selesai teve pada pukul 23.00 konsentrasi mereka nyaris pada service saja. Melayani majikan atau boss dengan penuh dedikasi, bahkan kasih sayang. Bayangkan! Pada waktu fajar sudah merekah Beni sudah berteriak di kursi goyang saya. “Slamat pagii, Pak Ageeng!!” “Slamat pagii, Le. Pak-tung-plak-paktung-plak.” “Pak-tung-plak-pak tung-plak! Teh apa topi, teh apa topi, Pak Ageng?” “Kopi! Kopi! Sudah hampir empat tahun kok masih saja bilang topi. Kopi!” 184



“Yes, Pak Ageng. To-pi!” Bedhes kepala batu itu pun mak brabat ke belakang lapor kepada bapak ibunya. Pukul 06.15 entrée Mr. Rigen denga secangkir kopi panas dan dua potong pisang goreng. “Sarapannya mau nasi gudeg, nasi goreng atau toos dengan tigan orak-arik? Terus mau dhahar sebelum siram atau sesudahnya?” Dan kalau saya bilang „sekarang’, maka dengan sebat pula kitchen cabinet saya bekerja dengan gesit dan efisien. Siapa bilang orang kita tidak paham service? Service, pelayanan, mereka kurang bagus, ojo takon dosa, out, out! Tetapi bener nih, service sudah dipahami semua lapisan masyarakat? Dalam pesawat Garuda saya pernah menyaksikan seorang pramugri gemas, 185



matanya melotot, mukanya menggambarkan rasa jijik kepada seorang ibu muda yang kebingungan melihat anaknya muntah-muntah. Penumpang (yang membayar) itu tidak ditolong, malah ditinggal lari. Ahh, apalagi yang menjijikkan begitu. Permintaan sederhana buat secangkir kopi lagi saja dilayani dengan muka anyel bin cemberut! Dan hari Minggu kemarin, di dalam cabin kelas eksekutif lho, seorang penumpang (yang membayar) mengeluh karena kopi yang diminumnya kok terasa dingin. Sang pramugari cuma tersenyum manis banget, tetapi tidak berbuat apa-apa. Kayaknya beliau itu mau mengatakan, “Woo .. Pak, sudah berapa-berapa, sudah untung Bapak bisa naik Garuda hari ini. Kok masih nggerundel, lho. Mbok jadi orang itu jangan rewel to, Paakk, Paakk.” Saya sering tercenung melihat gejala 186



seperti itu. Mr. Rigen tahu artinya service atau pelayanan dan melaksanakannya dengan baik dan ikhlas. Miss pramugari? Edaann! Ya tahu dong arti service. Tetapi ngelapi bayi muntah, nggodog kopi secangkir buat penumpang? Tunggu dulu, dong. Memangnya aku ini batur atau babu penumpang apa? mBakyu saya dan pakdhe saya di rumah saja tidak berani mrintah-mrintah begitu. Kok ini …. Rupanya melayani, meladeni, dan service ada nuansa-nuansa maknanya. Bahkan mungkin ada hubungannya dengan kelas! Mr. Rigen ikhlas, lega-lila melayani karena melaksanakan tugas batur yang allround! mBak pramugari yang ayu menik-menik melayani pilihpilih, muntah atau tidak. Wong di rumah tidak pernah melayani, tetapi dilayani, je! Lha, kalo kemenakan dan sepupu saya yang kerja di Bea Cukai dan Kantor Pajak itu? Makna service-nya bagaimana? Wee, 187



lha …….



Yogyakarta, 12 April 1988



188



Rapat Meja Bundar Menjelang Lebaran Hari baru berangkat malam, tegukan kolak terakhir masih terasa manisnya, tatanan untuk santap malam baru selesai disusun di meja, Mr. Rigen & family sudah mengajak konperensi meja bundar di seputar meja pei saya. Mereka, Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem dan Beni Prakosa pada duduk bersila ngedhepes bagai abdi dalem kraton duduk caos di dalam istana. “Pak Ageng, kami mohon petunjuk, sokur-sokur lengkap dengan TOR dan juklaknya tentang bagaimana menghadapi lebaran yang akan datang.” “Welehh … TOR? Juklak? Elok tenan, kowe! Gek dari mana kamu dapat istilah itu, Mister?” Mr. Rigen meringis, menunjukkan 189



bahwa, meskipun dia hanya jebolan SD van Pracimantoro, dia tetap terus up to date mengikuti perkembangan istilah negara kita yang semangkin modern dan canggih ini. “Lha, ya dari teman-teman bapak, yang propesor ngadministrasi yang pinter-pinter itu to, Pak.” “Coba, bagaimana kamu tahu arti TOR dan juklak itu?” “Lha, begini. Satu hari saya mau ngampiri mereka sama-sama belanja ke Pasar Kranggan. Rupanya bapak-ibu propesor itu mau masak besar. Lha, si Dimin itu kelihatannya kok bingung mengingat-ingat yang mesti dibelanja. Pak Propesor itu kehilangan kesabarannya. Dengan gemes begitu beliau berkata, “ Lha, tadi kan sudah jelas TOR dan juklaknya dari ndoro putrimu, heh?! TOR-nya hari ini hari istimewa 190



karena Ietje hari ini yahrer …..” “ “Tunggu dulu, Mister. Saya potong dulu. Yahrer itu apa?” “Ya Allah, Pak Ageng, mesti pura-pura nggak tahu, lho. Itu lho cara Londo-nya ulang tahun.” “Oh … ya, ya, maafkan kalau aku lupa. Dak kira maksudmu itu jarig gitu, lho.” “Na inggih, yahrer! Lha, sekarang saya teruskan, nggih? Pak Propesor ngendika begini, „ … juklaknya, kau pergi ke toko daging Andini Sakti beli buntut, baru belanja ke pasar, habis itu ke toko Trubus beli macam-macam jajanan. Huh … gitu aja bingung. Kalo TOR dan juklak itu sudah jelas semua ya beres, bento!’ Habis itu, Pak, si Dimin itu sama koncokonco-nya sedikit-sedikit ngomong juklak dan TOR. Mau bal-balan, TOR dan juklak. Mau ronda, TOR dan juklak. Mau nebak 191



buntut, TOR dan juklak. Sampai-sampai sekarang kita ketularan TOR-juklak, TORjuklak, -juklak ….” “Dapurmu, Gen, Gen. Sudah sekarang cepat, kalian memanggil sidang pleno meja bundar ini apa? Mana aku baru buka sama kolak dan teh panas. Ayo cepetan, aku selak lapar!”



Pokoknya Mr. Rigen & family, Ramadhan menjelang lebaran ini menghadapi dilema gawat. Biasanya pada tahun-tahun yang lalu mereka selalu nirdilema. Jelas keputusan mereka. Mereka mau tetap di Yogya, karena semua kerabat saya dari mana-mana pada berkumpul di sini waktu lebaran itu. Dan itu berarti; persen, persen dan persen. Tetapi sekarang, tiba-tiba Mrs. Nansiyem sangat kangen, rindu kepada 192



desanya di Jatisrono sana. Itulah dilema itu. Kalo dibiarkan istrinya pergi, itu berarti seluruh Rigen family akan harus ikut, itu berarti juga nir-persen, nirpersen dan nir-persen. Saya manggutmanggut mencoba menjajagi Mrs. Nansiyem. “Lha, kamu kok tiba-tiba kangen sama ndesamu itu kenapa to, Nyah? Wong tahun lalu Simbok-mu ya ke sini, lho.” “Lho, saya itu tidak cuma kangen Simbok, adik-adik dan sanak yang lain, Pak.” “Lha, apalagi?” “Saya itu kangen juga sama sawah, padi yang ijo, kali yang mengalir, kerbau, sapi dan kambing, suara anak-anak desa teriak-teriak ….” Mr. Rigen yang tidak sabar langsung saja memotong. “Woo, … Bune, Bune. Wong sawah 193



bukan punya Simbok-mu, kerbau, sapi dan kambing juga punya orang lain. Gunung-gunung pada gundul kok dikangeniiii …!” Saya yang baru terlena membayangkan puisi Mrs. Nansiyem jadi penasaran juga mendengar suara Mr. Rigen yang sangat prosais berorientasi kepada kelas. “Huss … mbok biar, istrimu cerita tentang kekangenannya. Teruskan, Nyah!” “Lha, inggih niku, Pak. Pake Beni itu bangsa yang gitu-gitu mana mau tahu. Tahunya cuma ekonomi saja.” “Weeh, elok. Tadi suaminya TORjuklak, sekarang istrinya puisi. Nanti Beni mau ngomong apa lagi, nih?” “Begini lho, Pak. Kalau saya terlalu lama tidak lihat semua tadi, hati saya jadi



194



nglangut, sedih. Lha, kerjaan bisa jadi kacau. Begitu lho, Pak.” Tiba-tiba suasana rapat meja bundar jadi sepi seperti ada setan lewat. Baru kaget semua waktu Beni Prakosa menggebrak meja. Derr! “Kok diam semua, to?! Terus makannya itu kapan? Saya lapar, Pak Ageng.” “Yo, yo, Le. Pak Ageng juga. Begini saja komprominya. Dengarkan! Mr. Rigen antar istrimu ke Jatisrono, tapi Mr. Rigen harus segera kembali ke sini. Mrs. Nansiyem dan Beni boleh tinggal di desa sepuasnya. Sementara mereka pergi, datangkan Madam dari Tepus. Setuju semua?” “Setujuuuuu, Pak Ageng!” Saya meringis. Tentu saja mereka semua setuju. Apa ada pilihan buat 195



mereka? Tetapi, toh rapat meja bundar itu menarik juga. Mrs. Nansiyem yang pendiam, jebolan SD juga, tahu-tahu punya roso puisi yang terpendam. Dan waktu itu tidak tertahan muncul, persenpersen tahunan yang gede disuruhnya minggir. Apa ora elok? Lha, waktu saya di Jakarta kemarin, juga ada rapat meja bundar di Cipinang Indah. Wong saya yahrer (menurut istilah Mr. Rigen). Tetapi, topiknya bukan soal yahrer saya. Itu sih rutin tahunan yang biasa, kata anak-anakku. Yang penting, nanti waktu lebaran sehabis nyekar embah kakung di Bonoloyo terus mau ke mana? Wong restauran sak Solo tutup. Cilaka! Mengapa anak-anakku tidak ada yang berbakat puitis seperti Mrs. Nansiyem. Anak-anak metropolitan yang hedonis ….. Yogyakarta, 3 Mei 1988 196



Mr. Rigen Can Do No Wrong Sesudah peristiwa Suro Sakmadyaning Wono tempo hari, kehidupan di rumah saya tidak seperti biasanya lagi. Oh … lancar sih tetap lancar. Roda pemerintahan yang dikoordinir oleh direktur kitchen cabinet sang Mr. Rigen dan staf tetap berjalan dengan mulus. Mr. Rigen tetap memelihara halaman rumput di depan rumah bagai memelihara golf course Bob Hasan di Bedugul, Bali. Masakan di dapur tetap merupakan hasil perpaduan antara juru musik improvisasionis pendiri jazz gaya New Orleans di mana temu pokok itu larut dalam melodi yang ora karu-karuan. Tetapi improvisasi jazz yang pating jlekutit dan grombyangan itu enak di dengar, improvisasi di bidang permasakan yang antara pating klenyit dan pating klonyot dari Mr. dan Mrs. Rigen itu … eh, 197



enak juga! Buku resep masakan Femina kiriman Bu Ageng mereka apkirkan dan diberikan kepada sang jenius Beni Prakosa untuk persiapan text book dari TK Indonesia Hebat. Jadi dari sudut itu rumah tangga saya oke-oke saja. Yang jadi lain itu cara saya mendudukkan posisi Mr. Rigen sepeninggal tokoh misterius Suro Sakmadyaning Wono itu. Terus terang saya jadi agak minder menatap muka Mr. Rigen yang kadang-kadang, kadang kala, bisa tampil super blo’on. Bagaimana tidak, keluarga besar Mr. Rigen from Pracimantoro itu ternyata bukan sakbaene keluarga besar. Mereka keluarga besar berumah joglo, malah zaman revolusi sanggup jadi koordinator logistik bagi para pejuang dan pengungsi. Tetapi sekarang, di mana kejayaan itu? Nasib Suro Sakmadyaning Wono yang meringkik ueh .. eh .. he .. he … bagai 198



jaran kore, kita sudah tahu. Dia sekarang adalah Ulysses yang menjalani Odissey melacak Mas Lesmana Mandrakumara dalam baju Jawa yang compang-camping. Tetapi, generasi pasca revolusi dari Mr. Rigen senior seperti kakak dan adiknya, kenapa juga tidak ikut terangkat di masyarakat? Anak-anak desa yang datang dari keluarga sederhana telah berhasil berebut naik tangga-tangga karier di kota dan sekarang mungkin juga pada sibuk memapankan diri sebagai para neopriyayi di ibukota. Tetapi, mengapa Mr. Rigen trimo ikut saya meskipun saya beri pangkat direktur dalam kitchen cabinet saya? Dan sikapnya pun begitu nrimo dan lembah manah, tidak pernah nggresah dan ngresulo dan tampaknya menerima nasibnya sebagai sudah digariskan begitu oleh Yang Maha Kuasa. Hiburannya dengan pasang lotre buntut dan Porkas mungkin dia perlukan sebagai pelarian sekejap dari garis nasib. Dan kalau sekali199



sekali dia berhasil menebak jitu, dia terima itu dengan penuh rasa syukur. Mungkin dia melihat itu sebagai bonus kecil-kecilan dari Tuhan sebagai atensi Gusti Allah kepada wong cilik yang kadang-kadang perlu digembirakan hatinya. Makanya sejak itu saya memperlakukan dia lebih lembah manah dan toleran. Krompyanggg! Gelas dan cangkir kiriman dari Jakarta pada pecah gara-gara teknik isah-isah dari Mr. dan Mrs. Rigen masih saja primitif. Ah, wis ben! Dibanding dengan pengorbanannya pada masa revolusi (meski waktu itu dia belum lahir) apalah arti kehilangan satu lusin cangkir sebulan. Sreett … sreettt … sreett! Beni Prakosa kampiran roh Eyang Effendi mencoret-coret pintu dan tembok (yang baru saya cat lagi menjelang Idhul Fitri) dengan spidol merah dan hitam. Ah, ya ben! Anggap saja itu investment bakat 200



jenius dari Beni. Apalah arti satu, dua pintu dan beberapa bidang tembok yang coreng-moreng dibanding dengan pengorbanan mereka saat revolusi? Tetapi, lho? Lama-lama kok mereka semangkin ndadra motorik dan kreativitasnya. Rumah saya sekarang tinggal punya cangkir dua pasang, piring tiga biji dan sendok porok tidak sampai setengah lusin. Bila teman-teman datang makan dan minum di rumah terpaksa diatur kalau makan satu piring dipakai untuk dua orang. Kadum, kata orang Jawa. Dan karena sendok garpu juga tinggal sedikit, ya gantian juga dalam satu piring. Hakhakan, kata orang Jawa. Dan, tembok dan pintu rumah saya penuh semua dengan coreng-moreng warna-warni. Mungkin tembok rumah Salvador Dali yang melebihi corengmorengnya, meskipun itu semua adalah 201



lucu, ah … lama-lama risih juga. Meskipun rumah intelektual sejati seperti saya pantas kalau nyeniman dan bohemian, tapi yakk, kalau begini ya sudah keterlaluan kacaunya. Saya memutuskan untuk menegur tegas Mr. Rigen sekeluarga! Memang keluarga besar Mr. Rigen berjasa besar bagi perang kemerdekaan. Tetapi, bukankah para pahlawan kemerdekaan yang paling berjasa pun kadang-kadang perlu ditegur? Masak kita tidak berani menegur? Begitulah keputusan saya, tegur dengan tegas! Dengan berjingkat saya masuk ke dapur. Ternyata mereka sedang reriungan di bawah pohon pisang. Dari jendela dapur mereka kelihatan seperti lukisan Paul Ganguin di Tahiti. Begitu icryllic dan romantis kelihatannya, mereka sedang mengajari Beni Prakosa menghafal buku bergambar peralatan perang dan prajurit-prajurit. 202



“Siap!” teriak Mr. Rigen. Seketika Beni Prakosa berdiri tegak dan salam hormat. “Sudah makan?” “Siap, jenderal!” “Dengan apa?” “Dengan sega wadhang dan sisa cap cay Pak Ageng, Jenderal!” saya urung mau memarahi mereka. Nun di sana di pojok kecil seberkas noktah secuil keluarga wong cilik sedang mencoba merajut masa depan mereka. Saya masuk ke kamar tidur untuk merebahkan badan. Angin fan yang semilir menyapu-nyapu tubuh saya. Mata mulai saya pejamkan, tiba-tiba dari belakang ….. krompyangg!!! Yogyakarta, 30 Agustus 1988



203



Kami Bangsa Tempe Mister Rigen adalah seorang kepala kitchen cabinet yang baik. Sebagai direktur, dia membawahi dua staf yang sangat kompeten di bidang masingmasing. Mrs. Nansiyem adalah seorang asisten semua bidang yang, meskipun memeliki tempo sendiri dalam bekerja, sangat efektif. Dia adalah seorang drop out SD sebuah desa, tetapi sama dengan banyak penyandang drop out di dunia, dia adalah seorang yang dengan sukses menguasai beberapa bidang. Memasak masakan tanpa nama tetapi sangat kreatif, mencuci segala macam cucian beberapa jam sehari dan mengelola dinamika anaknya Junior Beni Prakosa. Beni Prakosa sendiri, yang sekarang semangkin mendekati usianya yang ke-3, pastilah juga seorang anggota staf 204



kitchen cabinet dengan status capeg (calon pegawai) karena belum cukup umur dan belum menguasai bahasa Jawa dan Indonesia dengan sempurna karena teknik melipat lidahnya masih sangat awam tingkatannya. Hobinya berdiri di pinggir rak piring dan berteriak, “Solo – Plambanan … Solo – Plambanan” sambil mengacungkan tangannya menirukan kenek kol yang dalam pandangan junior begitu tampak gesit berwibawa. Orang tuanya selalu tersenyum kagum melihat anaknya yang kecil-kecil begitu sudah pinter menjadi kenek kol. Namun dalam hati mungkin rada cemas juga, janganjangan cita-citanya Cuma segitu saja. Meskipun Mr. Rigen belum pernah mendengar Bung Karno meneriakkan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Setidak-tidaknya dia tidak berharap citacita anaknya setinggi kol Yogya – Solo saja. Lahirnya saja pas hari ABRI, je! Mosok akan cuma jadi kenek. 205



Bulan Syawal yang panjang belum habis dan Mr. Rigen & staf dengan patuh dan penuh profesionalisme melaksanakan garis kebijaksanaan ekonomi-finansialbudgetair yang telah saya gariskan. Karena keringnya dana tentulah deregulasi juga saya terapkan. Artinya, saya tidak terlalu menuntut yang macammacam. Namun demikian, justru karena anggaran kering itulah, saya telah menuntut kitchen cabinet saya untuk bisa lebih kreatif lagi. Ekspor non migas juga saya galakkan dan saya tuntut pula kreatifitas mereka. Koran-koran lama. Majalah dan beberapa brosur diekspor Rigen ke tukang loak untuk merentang panjang anggaran. Kadang-kadang kreatifitas mereka keterlaluan juga. Mosok, pada satu hari saya dapatkan file dokumentasi kertas-kertas seminar lama semakin menipis. Mr. Rigen mengaku telah mengikut sertakan makalahmakalah lama itu berpartisipasi dalam 206



ekspor non migas. “Itu kan makalah yang tidak penting lagi, Pak!” penjelasannya pasti. “Lho, bagaimana kamu tahu itu tidak penting, hah?” hardik saya. “Lha, makalah seminar ditumpuki terus sampai kuning semua begitu mosok taksih penting to, Pak? Bapak juga tidak pernah baca lagi, kan?” pembelaannya sangat pasti. Saya menghentikan diskusi itu. Toh, deregulasi sudah saya dekritkan dan kratifitas ekspor non migas telah saya canangkan pula. Konsekuen, dong! Akan tetapi, bidang non migas itu di rumah saya ternyata terbatas. Cuma yang itu-itu saja. Koran, majalah, makalah seminar, koran, majalah …. akhirnya menipis juga. Bagimana tidak terbatas kalau dunia itu hanya dunia tempe, tahu, 207



terong dan kangkung saja dan seminggu sekali iwak pitik. Dan sejak dekrit saya itu baru sekali ada ikan sapi, dan naganaganya akan semakin menipis saja. Ms. Atau Mrs. (tergantung kapan memakainya) Nansiyem yang memang selalu kreatif, saya tahu, telah memutar saya kreasinya. Tempe goreng, tempe bacem, tempe bakar, sate tempe, gule tempe bahkan sop tempe pun sudah dihidangkan di meja dahar. Juga osengoseng kangkung, salad kangkung, dengan mayonaise santen, sayur asem kangkung, sayur bening kangkung dan entah menu kangkung apa lagi. Dan cilaka, kuantitasnya pun kok semakin menipis saja. Tempenya semakin langsing dan kangkungnya pun semakin kurus. Jangan ditanya iwak-iwak itu! Semangkin sporadis dikepyur-kepyur di sela-sela tempe dan kangkung! Wah, kalau begini terus-terusan aluwung menggabung anak istri di Betawi yang, meski sama-sama 208



kencangkan ikat pinggang, siapa tahu tempe itu masih canggih … Suatu sore, dari balik jendela belakang saya melihat Mr. Rigen dan family pada reriungan makan. Di bawah sinar listrik dan sinar matahari senja, saya melihat anak-beranak itu seperti lukisan Renoir. “Lho, Pak, tempenya kok dicuwil-cuwil lagi?!” protes Beni. “Ssttt, biar roto, Le. Ini dak tambahi jlantah iwak. Enak tho, gurih!” “Iwak-nya mana, Bu?” “SSttt, cuma sepotong buat Pak Ageng!” “Kok sudah lama Lik Joyo tidak bawa ayam panggang, Pak?” “Ssttt, Lik Joyo baru sakit. Mungkin bulan depan, Le. Ayo, ini dimakan sop 209



kangkung ibumu. Seger!” Oh, kitchen cabinet-ku yang kompak. Aku tahu sekarang mengapa para ahli ekonomi kita begitu pasti dan gagah mengatakan bahwa “daya tahan ekonomi rakyat desa masih kuat”. Di dapur saya lihat Junior sudah mulai lagi nggenjot-genjot rak piring dengan penuh energi. “Solo-Plambanan …. Soloplambanan …. Solo-plambanan …. “



Yogyakarta, 16 Juni 1987



210



Senam Pagi Mrs. Nansiyem SUDAH beberapa pagi sejak saya pulang dari Jakarta, saya melihat Mr. Rigen terlibat perdebatan yang sengit dengan istrinya, Mrs. Nansiyem. Mulamula saya anggap itu sebagai perdebatan domestik yang saya tidak berhak untuk mencampurinya. Habis, perdebatan antara suami dan istri. Apa yang lebih preman dari itu, „kan? Setiap pukul enam pagi, waktu saya mulai membuka mata, sudah terdengar suara ribut di dapur antara suami-istri itu. Karena letak dapur terpisah oleh sekatsekat tembok ruang makan, saya tidak pernah mendengar dengan jelas apa yang mereka perdebatkan. Hanya saya tahu perdebatan itu mendadak sontak berhenti pada waktu sang pangeran Beni Prakosa meneriakkan teriakan 211



pertamanya di pagi hari mengabsen bapak dan ibunya kencang-kencang. Biasanya sesudah teriakan dahsyat begitu selalu disusul teriakan lain lagi. “Minta mimmiikk” atau “pipiiiisss”. Bila sang bedhes cilik sudah meneriakkan komandonya begitu, perdebatan itu jadi mak klakep berhenti. Dan mereka pun mulai terlibat dalam rutinitas pagi hari mereka. Tetapi, waktu perdebatan pagi hari itu mulai memola menjadi ritual uthuk-uthuk in the morning, saya pun mulai ngunandika, “Yakk, ini sudah tidak lucu lagi.” Saya pun mulai memanggil Mr. Rigen ke kamar tidur saya. Untuk keluar dari kamar tidur sepagi itu, saya masih males. Maka ia pun saya suruh duduk di ujung tempat tidur saya. 212



“Gen, kamu itu kalau pagi uthuk-uthuk begini kok sudah ribut sama istrimu itu, gek yang kamu ributkan itu apa, sih?” Mr. Rigen keliatan kelincutan tersenyum kecut. “Ah, tidak apa-apa kok, Pak. Biasa sarapan tukaran dengan istri.” “Hushh, bertengkar ya bertengkar sama istri. Tapi kalau kau jadikan upacara pagi, saya keberatan banget, Mister.” “Nggih sampun. Besok tidak lagi. Kula janji setop.” Dan Mr. Rigen pun buru-buru keluar kamar tidur saya. Saya pun tidak menanyakan lebih lanjut tema perdebatan antara kedua suami-stri itu. Tetapi, waktu beberapa hari berikutnya perdebatan itu berlangsung lagi, saya pun mulai tidak sabaran. 213



“Geenn, sini!” Mr. Rigen masuk kamar tidur saya dengan tubuh mengkeret. “Kok, kamu ribut lagi?” “Begini lho, Pak. Si Nansiyem itu „kan sekarang sedang punya klangenan aneh.” “Lha, klangenan? Bojomu punya pacar, apa?” “Lho, mboten Pak. Klangenan yang berarti kesenangan.” “Lha, apa itu? Wong kesenangan saja kok ributnya berhari-hari. Tur kok mesti tiap pagi!” “Begini lho, Pak. Nansiyem itu sekarang tiap jam lima pagi sudah kabur ke lapangan. Jingkrak-jingkrak olah raga diiringi mungsik.” “Wee, elok tenan. Tapi ya nggak apa214



apa to, Gen. Malah apik tur aksi.” “Lha, nggih niku. Aksine niku yang saya keberatan. Mosok, wong anak ndeso saja lho, Pak. Sekarang, dia itu kalau pagi itu pakai selana panjang seporet. Baju kaos panjang seporet. Sepatu putih seporet.” “Lha, terus maumu itu apa to, Gen. Wong pakai celana dan baju panjang seporet saja kok nggak boleh, lho. Mbok biar!” “Wah, Bapak. Itu nanti pasti merembet-rembet jadi pakai baju macemmacem. Gek saya harus bagaimana. Wong kalau mau olahraga, tiap hari nyuci, masak, momong anak „kan ya sudah olahraga to, Pak.” Saya berusaha Mr. Rigen bahwa gejala Mrs. Nansiyem begitu gejala yang wajarwajar saja. Tidak usah dirisaukan. Tetapi, 215



sesungguhnya saya kepingin melihat sendiri fenomena baru itu. Saya dan Mr. Rigen sepakat untuk keesokan harinya, uthuk-uthuk in the morning, untuk pergi mengintip Mrs. Nansiyem di lapangan. Dan esok harinya, tanpa sepengetahuan Mrs. Nansiyem, saya dan Mr. Rigen dengan mengendap-endap pergi ke lapangan. Untung pagi itu berkabut. Sosok orang-orang yang berjalan di jalan tidak begitu jelas. Dus, kami tidak usah khawatir ketahuan Mrs. Nansiyem. Waktu kami sampai di lapangan, saya lihat ada kira-kira lima belas perempuan berderet siap untuk bersenam. Pemimpinnya sudah setengah tua, estewe, tetapi tubuhnya masih dempal. Kayaknya saya pernah melihatnya. “Pemimpinnya itu siapa, Gen?” Saya bertanya dengan berbisik. 216



“Lho, itu Yu Giman, koki Tuan Sepis dari mBelgi, gitu kok, Pak.” “Wehh, iya lho. Kokinya Mr. Spies.” Senam dimulai. Dan sang koki mBelgi pun memberi aba-aba. “Kanca-kanca. Sumangga wiwit unjal ambegan.” Dan mereka pun tarik nafas dalamdalam. “Sakmenika lunjak-lunjak nglemesaken suku.” Dan diiringi musik flashdance yang sangat hot, mereka pun lunjak-lunjak dengan penuh gusto. Dengan panuh kekaguman dan ketakjuban, saya melihat para anggota P(ersatuan) B(abu) B(abu) itu lunjak-lunjak dengan indahnya. Pada perasaan dan bayangan saya, lenyap sudah sosok-sosok dari Pracimantoro, 217



Jatisrono, Nglora, Tepus, Playen pada pagi yang setengah berkabut itu. Di depan saya adalah Meriam Bellina, Soraya Perucha, Lidya Kandau. Cuma ya ukuran vitalnya agak besaran sedikit dengan sana-sini tonjolan-tonjolan yang dempal. Saya lirik Mr. Rigen di sebelah saya, eh … kok ya ikut manggut-manggut mengikuti irama flashdance itu. “Dapurmu … Gen, Gen.” kata saya dalam hati. Saya sendiri malah terharu melihat wanita-wanita itu terus mengolah tubuh mereka dengan grakan-gerakan yang indah dahsyat. Gek mereka bisa punya pikiran mengorganisasi begitu dari mana? Dan musik flashdance dan sound systemnya itu, lho! Apa ya kiriman dari Jennifer Beals sendiri? Ah … past orang mBelgi itu. Kami sampai di rumah lebih dahulu dari Mrs. Nansiyem. Beni Prakosa yang ditinggal sendiri di rumah nangis 218



jemplang-jempling hingga memekakkan telinga orang satu blok. Mrs. Nansiyem datang dengan keringat dleweran. Kaget melihat kami duduk di lincak teras depan. Saya jadi tegang melihat Mrs. Nansiyem dengan wajah bertanya-tanya melihat suaminya yang sekarang juga berdiri mendapatkan dia. Wah, kalau mereka mulai dengan pertengkaran pagi mereka, cilaka saya! Sebagai seorang bapak rakyat aku harus siap dengan kalimatkalimat pembinaan yang penuh dengan mutiara-mutiara kebijaksanaan. Tetapi, lho? Saya melihat Mr. Rigen mendekati isrinya seperti Deddy Miswar menjelang kedatangan Lydia Kandau dalam film “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”. Dipegang tangan istrinya. “Wah, jebule apik tenan senammu …. “ Mrs. Nansiyem tersipu-sipu, suaminya digaploki tangan dan bahunya. 219



“Ngenyek ya kamu. Ngenyek ya kamu.” Mereka pun masuk diikuti Beni Prakosa. Damai pun turun di bumi pagi itu. Saya tidak tahu sampai kapan proyek senam pag itu akan berlangsung. Yogyakarta, 19 Januari 1988



220



Eman-Eman Wanita MENUNGGU waktu makan siang pada hari Minggu kadang-kadang terasa amat panjang. Apalagi kalau tidak banyak yang kita lakukan pada waktu itu. Teve dengan acara rutin yang itu-itu saja, pekerjaan lemburan sedang kosong, utang penulisan makalah sudah lunas, tidak ada kawan yang datang untuk mengobrol. Maka sempurnalah kebosanan menguasai Minggu siang itu. Di dapur Mrs. Nansiyem menggoreng tempe, Mr. Rigen sedang memarut kelapa, Beni Prakosa memetik daun bayem. Saya dapat menduga pastilah menu makan siang itu sayur bobor bayem, tempe goreng, sambel tempe bakar dan mungkin ayam goreng atau bandeng goreng. Hampir tidak mungkin mereka akan mencantumkan empal 221



daging sapi pada siang itu. Wong tanggalnya sudah tua bongkok, mana harga-harga di pasar sudah melangit. Melihat trio kitchen cabinet saya bekerja dengan rileks, terampil dan gembira begitu, hati saya ikut senang juga. Apalagi suasana antara mereka itu bolehnya rukun begitu, lho. Mongkok hati saya. Itu pertanda bahwa dari tubuh saya cukup kuat sinar wibawa, aura yang mengayomi mereka memancar dengan kuatnya. Bukankah itu syarat utama bagi setiap orang yang ingin madeg menjadi raja yang baik? “Kalian pasti sedang masak jangan bobor bayem, tempe dan sambel tempe bakar. Jangan lupa sambelnya diciprati minyak jlantah biar sedep dan gurih.” “Kok Bapak tepat sekali dugaannya, lho. Padahal tadi pagi Bapak tidak dhawuh macam menu apa-apa, lho.” 222



“Ya,apa susahnya nebak kalian masak apa pada tanggal tua begini. Kalian pasti tidak nggoreng empal, to?” “Wah, ketebak lagi, Pakne. Siang ini cuma nggoreng bandeng, kok Pak.” “Nahh … rak tenan! Ya udah nggak apa-apa. Asal jangan bobor-nya tidak kemanisan, sambel tempe mlekoh jlantah-nya dan bandeng gorengnya kering.” “Siipp, Pak Ageng. Siipp.” Dan si bedhes cilik, Beni Prakosa mengacungacungkan jempolnya. “Siipp ki apa, Le?” “Siipp itu enak, Pak Ageng. Jangan bobol siipp. Bandeng siipp. Blongkos mboten siipp.” Melihat Mrs. Nansiyem cak-cek dengan terampilnya menggoreng tempe, menyaut 223



sayuran lantas dicemplungkan ke dalam panci, menyaut lagi santan yang diperas suaminya dan keringat yang dleweran dari dahinya, sekali-sekali menetes ke dalan lautan jangan bobor, tidak bisa lain bagi saya selain semangkin mengaguminya. Dapur memang wilayah kekuasaannya. Di situ dia menunjukkan wibawanya. Mr. Rigen dan Beni Prakosa tidak bisa lain selain menerima otoritas Mrs. Nansiyem itu. “Coba, Pak. Lari sebentar angkut jemuran itu. Kayaknya mau hujan itu.” Dan Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet yang berwibawa itu, lari dengan tergopoh-gopoh diikuti anaknya. Baru saja selesai melaksanakan tugas sang istri itu, datang lagi perintah yang lain. “Cepet pergi ke Bu Arjo, Pak. Beli lombok merah dan bawang merah buat nyambel. Beni nggak usah ikut, di sini 224



saja.” Dan Beni yang sudah siap nggonceng bapaknya mulai membik-membik mau nangis. “Heshh, nggak usah nangis. Katanya sudah lebih tiga tahun!” Dan suara Mrs. Nansiyem begitu berwibawa hingga tangis itu tidak jadi runtuh membasahi pipi anak kecil itu. Dan begitu Mr. Rigen datang, menyusul perintah berikutnya. “Cepet ulek sambel-nya, Pak. Tahutahu kok sudah siang, lho. Sido kapiran tenan, Bapak nanti.” Saya yang duduk di kursi rotan di gang dekat dapur merekam semua itu dengan asyik. Dalam bulan ini sudah dua hingga tiga kali saya terlibat dalam pembicaraan tentang hak asasi wanita, jam kerja wanita, upah wanita, tidak adilnya 225



masyarakat memperlakukan wanita. Melihat tandanya, gerak-gerik dan nada serta irama Mrs. Nansiyem menguasai dunia perdapuran, suami dan anaknya, makalah yang bagaimana lagi bisa ditulis tentang wanita? “Mrs. Nansiyem!” “Dalem, Pak.” “Kowe tahu arti emansipasi wanita?” “Apa, Pak?” “E-man-si-pa-si wa-ni-ta.” “Oo … eman-eman wanito, to, Pak. Lha, ya sudah sepantesnya dieman-eman to, Pak, tiyang wedok niku …” “Hessh … Bune, Bune. Mbok jangan keminter, sok pinter gitu, to. Matur bares, terus terang sama Pak Ageng. mBoten ngertos, Pak.” 226



“Nah, rungokno, dengar baik-baik …” Maka sebagai pembela hak asasi wanita, sebagai pengagum wanita, saya pun lantas menjelaskan apa makna emansipasi wanita itu. Pokoknya saya jelaskan kalau emansipasi itu artinya bebas dari belenggu penindasan. Penindasan siapa? Tentu saja penindasan suami, penindasan aturan permainan masyarakat, bahkan penindasan keluarga sendiri. Perempuan selalu disia-siakan, wong wedok disia-sia, diperlakukan tidak adil. Dan lain sebagainya. Selesai menjelaskan begitu, saya diam. Mengamati wajah trio anggota kitchen cabinet itu. Mereka menatap saya dengan wajah melongo. Mungkin sedang mencoba mencerna kuliah saya yang sangat bermutu dan canggih itu. Ahh, mereka tidak menyadari betapa beruntungnya mereka punya majikan priyayi Korpri, elite birokrasi seperti saya. 227



Tidak semua pembantu dapat previlese, keistimewaan, mendengarkan kuliah yang begitu canggih, bukan? Kuliah yang akan membuat mereka batur-batur yang progresif dan berwawasan luas! Tiba-tiba, seperti orang yang baru lepas dari hipnotis, mata mereka membelalak melihat ke wajan di kompor. Asap mengepul. Bau gosong. “Matik aku, Pakne. Bandenge gosong, bandenge gosong. Cepet, cepet, … angkat Pakne. Minyaknya dibuang, wajane digrujug air!” Dengan sebat trio saya itu cak-cek membereskan krisis sebentar itu. Bau asap gosong memang masih terasa, tetapi suasana sudah mulai tenang kembali. Celaka, sedikitnya ada empat bandeng yang jadi areng, gosong. Malam nanti makan apa? 228



“Pripun kalau begini, Pak?” “Lho, kok pripun?” “Gara-gara Bapak ndongeng ngemanngeman wanito, bandengnya gosong sedaya. Bukan salah saya, bukan salah saya, Pak.” Saya tertegun melihat rasa bersalah menguasai wajah Mrs. Nansiyem. “Terus nanti malam Bapak dhahar apa, coba? Tanggal tua begini anggarannya sudah tipis! Makanya kalau orang lagi kerja itu, Bapak jangan ngganggu, to. Lenggah saja sing eco. Sudah nanti malam manggil sate saja, nggih?!” Wah, di depanku bukan lagi Mrs. Nansiyem, anak buah Mr. Rigen dalam kitchen cabinet. Di depanku adalah Madam Rigen yang ambil inisiatif merigen-kan semuanya. Dan kami yang ada di depannya manggut-manggut manut 229



beliau belaka. Eman-eman wanita, eman-eman wanita. Eman-eman bandenge gosong sedaya …..



Yogyakarta, 22 Desember 1987



230



Pariwisata Dimana-Mana MAKAN malam di rumah yang sepi tanpa di-reriung seorang anggota keluarga jelas merupakan makan malam yang hambar. Maka menu penderita bludreg, yang mengurangi garam, yang sudah secara rutin hadir di meja makan saya makin terasa hambar lagi. Sayursayuran tidak kelihatan hijau, sambal kehilangan seri dan tempe-tahu pun kelihatan pucat. Makan begitu baru terasa sedikit lebih nikmat bila ada teman-teman mampir dan mau mengawani makan. Itu pun untung-untungan. Sebab tidak semua orang akan doyan dengan makanan yang bertitik berat sayuran. Misalnya, kawan saya penyair dari lereng Gunung Merapi itu. Meskipun anak desa, dia itu anti sayuran. Katanya, sayuran hanya diperuntukkan bagi kambing dan kerbau saja. Manusia, katanya lagi, hanya 231



pantas makan telur, daging dan, ahh … tongseng kambing. Waktu dia mula-mula mengutarakan bahwa sayuran untuk kambing dan kerbau, saya sudah siap menyimpulkan bagaimana peka lingkungan sahabat saya itu. Lha wong, anak petani merangkap penyair, lho! Tentu saja gevoeling terhadap tetumbuhan dan hewan. Tetumbuhan disediakan buat ternak agar ternak dapat terus berguna buat manusia. Tetapi, pada waktu dia bilang, ahh … tongseng, saya tidak berani mengambil kesimpulan apaapa lagi. Mosok saya harus mengambil kesimpulan bahwa kambing disediakan bagi manusia agar manusia jadi berguna seperti kambing-kambing …. Berita nasional pukul tujuh malam di teve baru saja selesai. Itu berarti Mr. Rigen akan segera mengatur meja makan untuk menyiapkan makan malam saya. Wah, satu malam yang hambar 232



terhampar di depan saya. Mengharap kedatangan sahabat saya penyair itu juga akan sia-sia. Akhir-akhir ini hobinya berkembang menjadi pemburu batu akik di kuburan-kuburan yang angker. Yah, sudahlah apa boleh buat. Dari balik koran Kedaulatan Rakyat dan Kompas, yang hingga sore hari itu sudah saya bolakbalik tujuh belas kali, saya mendengar suara Beni Prakosa menyilakan makan. “Pak Ageng, dahaal … “ “Iyo, Le.” Dan saya tetap membolak-balik koran. “Dahalipun sampun, Pak Ageng.” Saya pun dengan ogah-ogahan melipat koran-koran saya dan mulai berjalan ke kursi makan. Waktu saya mulai duduk menghadapi makanan itu, saya mulai melihat perubahan drastis pada blocking tata piring lelawuhan itu. Jumlah sih, 233



tetap tiga piring saja. Tiga sehat tetapi belum sempurna. Cuma warna sayursayuran itu kok jadi hijau kemerahmerahan. Juga tempe dan empal itu jadi tampak coklat kemerahan. Saya baru sadar kemudian bahwa lilin, yang biasa dinyalakan di meja untuk menggusah laler, kali ini berwarna merah. Jadi, ada semacam light effect yang dramatis. Tempe kok jadi dramatis, lho. Dan piringpiring lelaukan itu juga tidak lagi berderet linier satu baris. Tetapi ditata dalam bentuk segitiga. Jadi triangle tempe, sayur bayem dan empal. Tetapi shock berat itu datang pada waktu saya menatap Mr. Rigen dan anaknya yang tumben pada malam itu berdiri rapi berjajar dengan tangan ngapurancang. Astaga, pakai baju apa mereka itu? Mr. Rigen memakai daster Bali merah yang kemilau, hem putih lengan panjang, sarung plekat yang dilipat dan celana panjang putih. Beni Prakosa memakai 234



blangkon yang dibeli di Sekaten tangannya memegang ukulele mainan yang siap untuk dikencrung kapan saja. “Apa-apaan nih, Mr. Rigen?” “Dener, Pak. Pliis.” “Huss, dapurmu. Kowe iki baru kumat apa?” “Pliis, empal en tempe en bayem, Pak. Pliis.” “Dak tabok lho, kowe. Ini badutan apa to, Gen?” Mr. Rigen meringis tertawa. Anaknya, Beni, mengencrung ukulele-nya. Menyanyi keras-keras, “jenang gula, kowe aja lali, malang aku iki iyo to, maass …. “ “Begini, lho Pak. Saya lihat Bapak kok makannya makin sedikit kurang selera. Terus saya, bune Beni dan Beni akal235



akalan pariwisata begini. Siapa tahu Bapak jadi lebih lahap dhahar. Meski begroteng tetap kurang. Hihiikk … “ “Pariwisata? Begini ini pariwisata, to Gen?” “Ha, enggih. Saya cuma tiru-tiru dalem-nya Pak Propesor Lemahamba saja kok, Pak.” “Memangnya di sana ada pariwisata apa?” “Elho, Bapak belum tahu, to? Rumah beliau yang di jalan Kaliurang itu disulap jadi losmen apik sanget, lho Pak.” “Losmen? Omah Profesor itu jadi losmen? Tur Pak Lemahamba itu sudah sugiih banget, lho. Rumahnya yang di daerah Pogung sudah dikkontrakkan bulebule dalam dolar itu.” “Lha, ya biar semangkin sugih, to Pak.” 236



Malam itu makanan yang di meja masih terasa hambar. Meskipun ada lilin merah. Meskipun lelawuhan itu disusun dalam triangle tempe-empal-bayem. “Coba kamu ceritakan pariwisata di rumah Profesor itu bagaimana?” “Ya, konco-konco saya yang kerja di sana pakaiannya ya seperti yang saya pake sekarang ini. Cuma mereka lebih canggih.” “Canggihnya bagaimana?” “Ya, bahannya lebih mewah. Sarungnya ya tidak kumel seperti sarung saya ini. Tur mereka dikursus bahasa Inggris oleh Pak Propesor sendiri. Wah, konco-konco saya itu sekarang cara Inggrisnya cas-cis-cus, lho Pak.” “Coba cas-cis-cusnya kayak apa, Gen?” “Wah, lha kalau ke sini itu salamnya 237



„halo’. Kalau pamit „bai-bai’. Kalau terima kasih „sengs’. Kalau menyilakan „pliss’. Pokoknya macem-macem. Etungetung; wan, tu, sri, saya juga sudah mereka ajari.” Pada suatu sore di took buku saya ketemu Prof. Lemahamba. Saya cuma kuat beli satu buku. Harga buku kok semangkin mahal saja, lho. Tetapi Prof. Lemahamba saya lihat membawa setumpuk buku. Dengan setumpuk buku itu wajahnya kelihatan lebih berwibawa dan ilmiah lagi. “Wah, mborong buku nih, Prof?” “Yaahh, rutin. You know, untuk catch up informasi bidang saya yang pesat sekali kemajuannya. How are you? Everything all right?” “Yah, oke-oke saja, Prof. Sakwangsulipun? Rak ya oke-oke saja, 238



to?” “Oh, I’m not complaining. Everything under control.” “Wah, sukur to. Lha, saya dengar Prof. sekarang buka losmen pariwisata?” “Aahh, jangan losmen, dong. Hotel kecil tapi modern. Nantinya mau saya jadikan pariwisata yang bener. Hotel-hotel di Yogya masih kurang canggih servicenya. Saya harap hotel saya nanti jadi model service yang betul-betul service.” “Wah, Anda makin sibuk saja, dong. Masih harus blebar-bleber ke luar negeri. Masih kasih kuliah. Masih nguji. Sekarang masih harus ngurus losmen, eh … hotel.” “Ya, saya selalu bilang sama Anda. Jangan stick sama satu profesi. Mesti allround. Semua potensi kita mesti kita manfaatkan. Anda mesti jadi economy 239



animal … “ “Wah, economy animal? Animal apa lagi itu?” “Pokoknya sekarang semua mau jadi pariwisata, ya kita ikut bantu pariwisata. Ini termasuk yang dinamai Tri Dharma perguruan tinggi, lho! Pengabdian masyarakat …” Wah, ya deh. Ayo, Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem dan Beni, my Pracimantoro animals. Ayo cancut tali wanda. Itu kamar di depan masih bisa nampung dua orang bule ….



Yogyakarta, 6 Oktober 1987



240



Madam Mister Rigen bukannya selalu menjadi direktur kitchen cabinet dalam pemerintahan saya. Dulu, kira-kira hingga empat tahun yang lalu, dia berada di bawah kekuasaan tokoh lain. Tokoh ini adalah Madam. Ya, Madam saja, tanpa embel-embel nama lain dibelakangnya, meskipun tentu dia punya nama yang lebih lengkap lagi daripada itu. Asalnya dari Tepus, Wonosari, Gunungkidul. Umurnya sudah mendekati enam puluh tahun dan sudah sejak umur tujuh belas tahun mengembara, mengembangkan karier sebagai pembantu rumah tangga di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rumah tangga yang dimasukinya sebagai pembantu bukan hanya terbatas pada keluarga Jawa saja, melainkan juga 241



keluarga-keluarga asing. Tidak mengherankan, bila pada waktu dia menginjak umur empat puluh tahun, dia sudah mumpuni dalam segala bidang pelayanan. Mencuci bersih, menyetrika halus, menata rumah modern eropis. Masak memasak? Apalagi! Mulai dari spaghetti bolognaise, steak hingga ke brongkos dan pepes ikan dikuasainya bagai seorang chef, koki sejati. Tidak mengherankan apabila wibawanya di dunia P(ersatuan) B(abu) B(abu) dan P(ersatuan) D(jongos) D(jongos) sangatlah dasyatnya. Para babu dan jongos yang baru mulai menapakkan kakinya di rumah tangga priyayi pada gemetar dan kekes mendengar reputasinya. Pada pergunjingan dan seminar-seminar PBB dan PDD namanya semangkin muncul sebagai tokoh legendaris, berwibawa dan menakutkan. Kolega-koleganya banyak 242



yang tidak tahan dan kuat mengalami pembinaannya. Dia adalah contoh perfeksionis dan cerewetis sejati. Bagi para babu dan jongos yang baru belajar itu, rasanya ada saja yang belum beres bagi sang pembina. Yang debu masih melekat di pojok kaki kursi, sprei yang masih terlipat-lipat di tempat tidur, ukuran gula yang masih kurang tepat, bumbu masakan yang msih cemplang dan entah apa lagi. Dengan reputasi begitulah dia memasuki kehidupan saya. Waktu itu saya memang membutuhkan seorang yang allround, yang sendirian, mandiri dan dapat melayani saya. Pada pikiran saya, dengan orang seperti itu saya akan dapat lebih tenteram, tidak perlu lagi mengajari seni manajemen serta seni masak-memasak makanan saya. Lagi pula, saya sudah benar-benar bosan dengan makanan rantangan. Akan tetapi, 243



saya lupa bahwa pada waktu dia dating itu umurnya sudah sekitar lima puluh tahun dan sudah mencapai puncak prestasi serta prestisenya. Pada waktu dia memasuki kawasan rumah saya yang tampil bukan lagi seorang pembantu rumah tangga, bahkan juga bukan seorang sesepuh koki, tetapi seorang pro dengan sosok seorang ndoro putri sejati. Bayangkan! Dia datang hari itu dengan kain rujak sente, kabaya chiffon dengan warna pastel kebiruan, slendang, selop, payung yang bisa dilipatlipat. Tangannya hanya menjinjing tas kecil. Kopernya baru datang sore harinya diantar becak. Jadi, yang berdiri di hadapan saya waktu itu benar-benar seorang lady dengan segala elegance dan flair-nya. Begitu kami mulai bicara tentang tugas, dia menuntut dua orang asisten. Satu untuk bersih-bersih rumah, satu 244



untuk mencuci dan menyetrika, sedang untuk masak-memasak beliau berkenan untuk melaksanakannya sendiri. Saya tidak tahu apa yang menguasai benak saya waktu itu. Permintaan itu saya penuhi belaka. Mungkin gaya bahasanya yang tes-tes-tes menyakinkan itu. Mungkin karena saya merasa berhadapan dengan calon seorang dame van de huishouding alias pengelola rumah tangga. Dua orang asisten itu adalah seorang perempuan, bekas babu cuci di Sekip, dan seorang lagi adalah Mr. Rigen yang pada waktu itu masih lajang dan masih agak segar baru turun dari pertapaan di Pracimantoro. Hanya dalam waktu seminggu sang asisten wanita itu tahan dibina. Segera dia minta berhenti. Dan sesudah itu beberapa asisten wanita dicoba, akan tetapi segera pula berjatuhan. Dan sejak itu pula jabatan asisten wanita 245



ditiadakan. Akan halnya Mr. Rigen, sang Pembina itu menyukainya karena Mr. Rigen orangnya penurut dan memang ingin mengembangkan karier sebagai seorang teknokrat yang terampil dan berguna. Segera terasa dalam rumah kami bahwa kekuasaan dan dinamika rumah tangga berada di tangannya. Tidak pelak lagi dialah Madam dalam rumah. Saya dan Mr. Rigen hanyalah anak wayang beliau saja. Untunglah Madam sembodo orangnya. Rumah saya terkelola dengan baik, makanan selalu enak dan Mr. Rigen berkembang sebagai teknokrat yang baik. Memang agak otoriter caranya mengendalikan kami. Tetapi, bukankah untuk sesuatu ada sesuatu? Untuk keotoriterannya itu saya mendapat imbalan hidup yang enak. Bahkan anak istri yang kadang-kadang datang dari Jakarta pun tidak luput dari wibawa otoritas Madam. Tanpa satu kompleks rendah diri Madam akan mengatur semua 246



jaringan keluarga saya yang datang di Yogya. Dan anehnya (meski dengan menggerutu di sana-sini) mereka menerima juga kepimpinan Madam. Sampai pada suatu hari Madam jatuh sakit agak keras dan beliau mulai menyimpulkan bahwa waktunya untuk beristirahat sebagai purnawirawati datang. Umurnya saya taksir memang telah mendekati enam puluh tahun. “Pak, saya mau pulang ke Tepus.” Begitu saja terlontar kelimatnya. Alangkah aneh kalimat itu sesudah sekian tahun kami serumah menikmati bius kepimpinannya. Sungguh satu antiklimaks! Kadang-kadang kalau saya harus membayangkan saat perpisahan itu akan lebih melodramatik lagi. Dengan plot yang lebih berbelit begitu. Ini tidak. Begitu saja Madam mau kondur mudik ke tanah asalnya. 247



“Terus kamu mau ngapa di Tepus?” “Ya, istirahat saja, Pak. Bantu-bantu saudara-saudara saya bertani. Menikmati masa tua di desa.” Edan. Saya terkesima. Benar-benarlah Madam seorang Madam. Sesudah sekian tahun mengembara kemudian berkembang menjadi seorang Madam yang mumpuni mengelola satu rumah tangga dengan life style yang agak gila, dia membayangkan hari tuanya sebagai seorang pensiunan priyayi yang sore-sore akan duduk di beranda depan rumahya menikmati senja yang turun. Begitulah tongkat estafet pengelolaan rumah saya berpindah ke tangan Mr. Rigen, yang kemudian telah sempat pula membangun keluarg kecilnya yang dahsyat itu. Setahun dua kali Madam akan muncul ke rumah kami. Pada waktu sesudah lebaran dan waktu Sekaten. 248



Tentulah dengan begitu anggaran pension lebaran dan Sekaten saya sediakan. Tidak perlu Madam mengisi D(aftar) I(sian) P(royek) karena kedatangan beliau pun sudah selalu dengan semangatnya : saya datang, saya melihat dan saya menang. Waktu lebaran kemarin Madam tidak datang. Menurut kabar dari Tepus Madam sakit. Juga kabarnya Madam mulai agak kesulitan bergaul dengan saudarasaudaranya. Kebudayaan Madam, yang selama ini sanggup memberinya status, sosok dan wibawa yang meyakinkan, rupanya menjadi tidak berlaku kembali di desanya. Memang agak susah juga membayangkan Madam dengan segala flair dan kecanggihannya itu mengatur pengelolaan saudara-saudaranya. Dan masakan apa pula yang dia kembangkan di Tepus itu? Apakah Madam akan dimintai memberikan demontrasi memasak spaghetti ala bolognaise pada pertemuan PKK kelurahan? 249



Waktu saya baru-baru ini pulang dari Jakarta, Mr. Rigen melapor bahwa Madam datang menginap untuk beberapa hari. Mau nonton Sekaten. “Bagaimana keadaannya sekarang?” “Kelihatannya sehat-sehat saja. Hanya rambutnya semakin memutih dan wajahnya itu, lhp Pak?” “Kenapa?” “Tampak agak murung ….. “ Saya membayangkan sore itu Madam duduk-duduk di depan rumahnya memandangi tegalan di depan rumahnya. Saya menyesal tidak ketemu Madam kali ini. Mungkin Sekaten tahun depan, Madam. Yogyakarta, 3 Nopember 1987



250



Tentang Main Sabun Mr. Rigen yang pencandu sepakbola itu gemas sekali melihat hasil skor pertandingan Persebaya lawan Persipura. “Kok bisa-bisanya ya, Pak?” “Bisa-bisanya bagaimana?” “Lha, ya itu. Skor kok 12 – nul. Itu kan main sabun to, Pak?” “Bagaimana kamu pasti itu hasil main sabun?” Saya pancing dia. “Ha, inggih jelas gitu kok, Pak. Mana mungkin Persebaya kalah sampai dua belas dari Persipura. Persebaya sekalisekali ya boleh kalah dari Persipura. Ning nek sampai kalih welas itu mboten umum. Jadi, ini pasti main sabun.” Saya mengangguk-angguk, 251



menyatakan setuju dengan jalan pikirannya. Cara dia membangun logika, memilih premis dan menarik kesimpulan boleh juga. “Terus kalau menurut kamu permainan sabun begitu harus diapakan?” “Ya dihukum gitu, Pak. Dihukum. Sebab kalau tidak, mremen-mremen, menjalar ke mana-mana. Bisa rusak sepakbola kita.” Saya mengangguk-angguk lagi. Kagum akan ketegasan dan kekukuhan pendiriannya. Dan pada waktu orangorang Persebaya sendiri mengaku bahwa itu main sabun dengan Persipura agar bisa mendepak keluar PSIS, dengan bersemangat Mr. Rigen datang lagi kepada saya. “To, Pak. To, Pak. Pripun, pripun, kalau begni ini.” 252



“Ada apa kali ini, Mister? Kok bolehmu gugup!” “Lha, ini Persebaya ngaku kalau main sabun.” “Terus?” “Enak saja bilangnya itu siasat. Kalau semua main sabun pakai alasan siasat, rak inggih kaco aturan negoro nggih, Pak?” Sekali lagi saya mengangguk-angguk. Sekali lagi saya kagum akan keteguhan pendiriannya. Oh, rakyatku yang sederhana, pikiranmu yang polos itulah sokoguru kelangsungan republik ini. Kepolosanmu akan disalahgunakan, kepolosanmu akan diinjak-injak, kepolosanmu akan diperjualbelikan, tetapi kepolosanmu itu akan tetap menjadi sokoguru republik ini. Nah! Di belakang rumah, saya mendengar 253



Mrs. Nansiyem ribut-ribut dengan Beni Prakosa. Mr. Rigen segera mak brabat lari ke belakang mungkin mencium gejala krisis di daerah kekuasaannya. Saya pun jadi ikutan tergerak mak brabat lari ke belakang. “Iki lho, Pak-e. Iki lho, Pak-e!” “Ada apa, Bune? Ada apa kok ribut ora karuan?” “Lha, ini kamu lihat sendiri anakmu si bedhes ndoromas Beni Prakosa. Mandi cuma main sabun terus. Nggak mau mandi-mandi. Ayo mandi, nggak? Nanti dak jewer betul, lho, kupingmu!” Saya melihat sang bedhes Beni yang memang angudubilah nakalnya itu, tertawa terkekeh-kekeh menggosoknggosokkan sabun di tubuhnya, lantas dicelup-celupkan lagi ke ember mandi hingga air di ember jadi putih semua. 254



Sabun yang berenang-renang di ember itu selalu mrucut menghindar tangkapan anak itu. Mrs. Nansiyem tidak sabar lagi. Tangannya dengan sebat menjewer kedua telinga anaknya. Cengeerrrr … sang Beni pun menangis menjemplingjempling. Situasi pun menjadi tidak terkendali lagi. “Ini anak bandel tidak ketulungan lagi. Dibilangin jangan main sabun, kok terus saja main sabun!” Dan Mrs. Nansiyem dengan lebih getol dan penuh gusto mengewer-ngewer telinga anaknya lagi. “Kapok ora?! Kapok ora?!” Dan Beni Prakosa pun semangkin menjadi-jadi jerit tangisnya. Lama-lama saya lihat Mr. Rigen tidak tahan lagi melihat situasi yang bising dan kacau nggak karuan itu. 255



“Wis, Bune. Wis, Bune. Kamu jangan ngawur mala anak. Salah-salah malah putus kewer-kewer kuping anakmu. Nanti kamu yang nyesel.” “Anak salah ya kudu diajar ngono.” “Iyo. Ning kamu sudah kebangeten.” Beni lantas digendong bapaknya. Dihanduki lantas digeletakkan di tempat tidur. Waktu Mr. Rigen ketemu saya lagi di ruang depan, dia merasa perlu menjelaskan sikapnya menyelematkan anaknya dari jeweran istrinya. “Lha, inggih to, Pak.” “Apanya yang lha inggih?” “Anak itu ya kita tega patine ning ora tega larane. Bune thole itu sok kebangeten mala anak.” “Ayak, Gen, Gen … Yang tadi bilang 256



orang main sabun kudu dihukum itu siapa?” “Ha, inggih kulo. Ning ya lihat-lihat sikonnya to, Pak.” “Weh, kok kowe tahu sikon apa?” “Ha, inggih to, Pak. Yang main sabun ini kan anak. Anak, Pak. Anak! Meski salah ya akhirnya kudu tetep dilindungi. Wong anak kok, Pak. Anak!” Saya mengangguk-ngangguk. Oh, rakyatku yang baik hati. Kebaikan hatimu inilah yang akan menjaga kelangsungan hidup republik kita yang tercinta ini ….



Yogyakarta, 15 Maret 1988



257



Pada Suatu Senin Pagi Sesudah Lebaran SENIN kedua sesudah hari-hari lebaran merupakan Senin yang memulaskan perut. Secara harfiah itu karena proses penggilingan sisa-sisa opor ayam, sambel goreng ati dan pete, ketupat dengan bubuk dele dan tentu saja segala macam kuwe spikuk dan semprit, masih terus berjalan. Tahap pertama proses penggilingan itu tentulah pada waktu kita terserap oleh siklus jaringan keluarga sendiri. Sedang tahap kedua dari proses itu pada waktu kita memeringiskan senyum pepsodent kita di kantor dan kampung. Kita bisa membayangkan proses kimiawi yang bagaimana yang sedang terjadi di usus dan perut kita dengan volume input sebesar itu. Secara imaji dan metafor mulas itu 258



tentu saja tidak di perut letaknya, akan tetapi di kepala. Justru karena diproses di kepala itu waktu konsep tersebut turun ke perut roso mules itu justru melebihi yang sejak semula diproses di perut. Manusia memang binatang yang aneh. Memiliki kelebihan yang hebat ketimbang rekan-rekannya binatang menyusui yang lain, seperti menciptakan imaji dan metafor itu. Tetapi begitu ia membiarkan imajinya berjalan, dia jadi bingung sendiri. Jadi mules, salah-salah kalau keterusan jadi sakit mah alias maag. Begitulah pada hari Senin kedua itu. Rasanya pukul tujuh pagi masih terasa kepagian untuk ngulet apalagi bangun dengan sigap. Dan waktu akhirnya pelanpelan sekali tangan itu terentang ke atas, mak kreteg begitu, tubuh juga tidak otomatis mau bangun sendiri. Mules di perut mulai terasa. Wah, masih mules yang kemarin-kemarin juga, nih. Dah 259



pastilah aroma di belakang nanti masih akan sama dengan kemarin-kemarin tanpa nuansa. Habis, lebaran memang mendekritkan satu perintah tak tertulis untuk hanya menyajikan menu yang ituitu saja. Bayangkan bila kita harus mengunjungi 17 rumah, 1 syawalan di kampung, 1 syawalan di kantor. Nuansa yang bagaimana yang bisa diharapkan dari guided menu seperti ini. Pada waktu ritual proses penggilingan itu selesai dan rasa mules sementara teratasi, di kamar, waktu ganti baju muka bertatap dengan kelender. Wah, cialat lho, kok baru tanggal 8 Juni! di depanku segera saja tampil satu jalan yang gersang dan panjaaang sekali. Sepi, lengang. Yah, masalahnya sederhana saja, mengapa panorama yang mengerikan bagai adegan salah satu film Ingmar Bergman itu muncul. Gaji untuk bulan Juni sudah saya ambil menjelang 260



hari Lebaran kemarin. Waktu reriungan dengan jaringan keluarga siapa yang ingat bahwa bulan Juni belum mulai. Bahwa pengeluaran-pengeluaran untuk sebulan yang akan datang masih harus dibayar. Bahwa masih harus menanggung makan Mr. Rigen anak-beranak untuk tiga puluh hari. Bahwa masih harus mondarmandir Yogya-Jakarta sedikitnya dua kali dengan Garuda. (Padahal sejak tahun anggaran ini tak ada lagi seminar, lokakarya dan sebagainya itu. Kecuali kalau seminar itu bisa konkret, langsung menelorkan usul-usul yang segera dapat dilaksanakan menaikkan ekspor non migas atau mungkin bagaimana bisa mencari jalan pintas untuk mengembalikan rupiah yang diparkir di luar negeri. Sminar kebudayaan? Kesenian? Wah, gersang …!) Maka bahwa-bahwa yang beruntun itulah yang membuat roso mules fase 261



kedua datang “laksana malaikat menyerbu dari langit …”. Seketika tubuh itu jadi loyo, lemas. Bahwa-bahwa sialan! Bisa betul you ruin my Monday morning! Saya pun terduduk di kursi lupa kalau hari itu hari ngantor. Ruangan itu semakin terasa lengang sejak anak-anak dan ibu mereka harus balik ke Betawi. Juga para keponakan dan orang tua mereka, yang sempat membuat horeg rumah, sudah pada “cabut”, sowang-sowang pulang ke kandang masing-masing. Kalau sendiri begitu kok jadi semakin dramatis membayangkan amplop gaji berwarna cokelat dari fakultas itu. Amplop itu dari sononya memang tidak pernah tebal. Sesudah digerogoti hari-hari Lebaran amplop itu semakin menipis. Pada hari Senin pagi itu, amplop keramat bulanan itu sudah menjadi konsep yang abstrak. Bahkan sudah menjadi satu metafor. Lambang bagi kerja sebulan sebagai anggota Korpri. Tetapi menyusur jalan 262



panjang dan gersang dalam waktu sebulan yang akan datang, alangkah konkretnya itu! Rigen datang menanyakan mau masak apa hari itu. “Sayur-sayuran wae! Untuk sebulan ini terus ganti-ganti sayur asem, sayur bening, sayur asem, sayur bening, tempe, tempe, tempe. Pokoknya yang enteng-enteng saja.” “Terus begitu, Pak, sebulan? mBoten bosen?” Tentu saja saya terangkan bahwa itu semua dalam rangka menguras perut kita sesudah kena polusi opor ayam Lebaran. Untuk jaga gengsi tak mungkin, dong. Diceritakan aspek ekonomis-finansialbudgetair kepada Mr. Rigen, meskipun dia (seperti pernah saya laporkan dalam kolom ini) adalah ekonom. “Apakah ini dalam rangka hidup 263



sederhana, Pak? Di koran itu ….” “He-eh, he-eh bener kowe! Ini menyesuaikan dengan cara hidup sederhana para bapak di Pusat.” “Lha, saya dengar bapak-ibu di Betawi itu sekarang jarang sekali dahar daging.” “He-eh, he-eh bener kowe …” “Malah kabarnya bakul daging pada ngeluh mboten payu ….” “Ayakk, kalau ini ngarang kamu.” “Lho, estu Pak. Kalau pada mboten kersa dahar daging kan sedikit orang beli.” Tiba-tiba dari depan pagar rumah …. “Penggeng eyem, penggeng ….” Dan Mas Joyoboyo …. cleret … sudah begitu saja nglesot di depan saya dan Mr. Rigen. 264



“Wah baru nyirik iwak, je, Mas.” “Waduhh, iwak kok disirik, lho. Dan elok-nya sak kompleks sini kok pada mau begitu to, Den. Wonten gerakan apa, to, Den?” Tiba-tiba Beni Prakosa nyelonong merengek minta sate usus kegemarannya. Rigen yang tidak pernah tahan rengekan anaknya cepat merogoh koceknya mau membayar. (Tetapi kayaknya bolehnya merogoh kocek itu kok pelan sekali). Saya pun tanggap ing sasmita, “Wis, wis, ini saja. Ambil sate usus lima!” “Cuma ini, Den?” Saya cuma menganggukkan kepala. Berdiri. Siap-siap mau pergi ke fakultas karena hari ini memang sudah siang betul. 265



“Begini, lho, Mas Joyo. Bapak itu sekarang sedang mau sederhana seperti bapak-bapak di Pusat. Maunya cuma dahar sayur sama tempe saja.” “Wooo, lha saya kalau tidak makan iwak sak cuwil apa kuat dodolan begini.” Di jalan saya tidak mendengar diskusi itu lagi. Wong cilik, mana tahu lu strategi pangan dan krisis moneterku. Di depan saya ajaib sekali jalan ke fakultas kok sekarang gundul dan panjaaang sekali.



Yogyakarta, 9 Juni 1987



266



Kami Bangsa Tempe Mister Rigen adalah seorang kepala kitchen cabinet yang baik. Sebagai direktur, dia membawahi dua staf yang sangat kompeten di bidang masingmasing. Mrs. Nansiyem adalah seorang asisten semua bidang yang, meskipun memeliki tempo sendiri dalam bekerja, sangat efektif. Dia adalah seorang drop out SD sebuah desa, tetapi sama dengan banyak penyandang drop out di dunia, dia adalah seorang yang dengan sukses menguasai beberapa bidang. Memasak masakan tanpa nama tetapi sangat kreatif, mencuci segala macam cucian beberapa jam sehari dan mengelola dinamika anaknya Junior Beni Prakosa. Beni Prakosa sendiri, yang sekarang semangkin mendekati usianya yang ke-3, pastilah juga seorang anggota staf 267



kitchen cabinet dengan status capeg (calon pegawai) karena belum cukup umur dan belum menguasai bahasa Jawa dan Indonesia dengan sempurna karena teknik melipat lidahnya masih sangat awam tingkatannya. Hobinya berdiri di pinggir rak piring dan berteriak, “Solo – Plambanan … Solo – Plambanan” sambil mengacungkan tangannya menirukan kenek kol yang dalam pandangan junior begitu tampak gesit berwibawa. Orang tuanya selalu tersenyum kagum melihat anaknya yang kecil-kecil begitu sudah pinter menjadi kenek kol. Namun dalam hati mungkin rada cemas juga, janganjangan cita-citanya Cuma segitu saja. Meskipun Mr. Rigen belum pernah mendengar Bung Karno meneriakkan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Setidak-tidaknya dia tidak berharap citacita anaknya setinggi kol Yogya – Solo saja. Lahirnya saja pas hari ABRI, je! Mosok akan cuma jadi kenek. 268



Bulan Syawal yang panjang belum habis dan Mr. Rigen & staf dengan patuh dan penuh profesionalisme melaksanakan garis kebijaksanaan ekonomi-finansialbudgetair yang telah saya gariskan. Karena keringnya dana tentulah deregulasi juga saya terapkan. Artinya, saya tidak terlalu menuntut yang macammacam. Namun demikian, justru karena anggaran kering itulah, saya telah menuntut kitchen cabinet saya untuk bisa lebih kreatif lagi. Ekspor non migas juga saya galakkan dan saya tuntut pula kreatifitas mereka. Koran-koran lama. Majalah dan beberapa brosur diekspor Rigen ke tukang loak untuk merentang panjang anggaran. Kadang-kadang kreatifitas mereka keterlaluan juga. Mosok, pada satu hari saya dapatkan file dokumentasi kertas-kertas seminar lama semakin menipis. Mr. Rigen mengaku telah mengikut sertakan makalahmakalah lama itu berpartisipasi dalam 269



ekspor non migas. “Itu kan makalah yang tidak penting lagi, Pak!” penjelasannya pasti. “Lho, bagaimana kamu tahu itu tidak penting, hah?” hardik saya. “Lha, makalah seminar ditumpuki terus sampai kuning semua begitu mosok taksih penting to, Pak? Bapak juga tidak pernah baca lagi, kan?” pembelaannya sangat pasti. Saya menghentikan diskusi itu. Toh, deregulasi sudah saya dekritkan dan kratifitas ekspor non migas telah saya canangkan pula. Konsekuen, dong! Akan tetapi, bidang non migas itu di rumah saya ternyata terbatas. Cuma yang itu-itu saja. Koran, majalah, makalah seminar, koran, majalah …. akhirnya menipis juga. Bagimana tidak terbatas kalau dunia itu hanya dunia tempe, tahu, 270



terong dan kangkung saja dan seminggu sekali iwak pitik. Dan sejak dekrit saya itu baru sekali ada ikan sapi, dan naganaganya akan semakin menipis saja. Ms. Atau Mrs. (tergantung kapan memakainya) Nansiyem yang memang selalu kreatif, saya tahu, telah memutar saya kreasinya. Tempe goreng, tempe bacem, tempe bakar, sate tempe, gule tempe bahkan sop tempe pun sudah dihidangkan di meja dahar. Juga osengoseng kangkung, salad kangkung, dengan mayonaise santen, sayur asem kangkung, sayur bening kangkung dan entah menu kangkung apa lagi. Dan cilaka, kuantitasnya pun kok semakin menipis saja. Tempenya semakin langsing dan kangkungnya pun semakin kurus. Jangan ditanya iwak-iwak itu! Semangkin sporadis dikepyur-kepyur di sela-sela tempe dan kangkung! Wah, kalau begini terus-terusan aluwung menggabung anak istri di Betawi yang, meski sama-sama 271



kencangkan ikat pinggang, siapa tahu tempe itu masih canggih … Suatu sore, dari balik jendela belakang saya melihat Mr. Rigen dan family pada reriungan makan. Di bawah sinar listrik dan sinar matahari senja, saya melihat anak-beranak itu seperti lukisan Renoir. “Lho, Pak, tempenya kok dicuwil-cuwil lagi?!” protes Beni. “Ssttt, biar roto, Le. Ini dak tambahi jlantah iwak. Enak tho, gurih!” “Iwak-nya mana, Bu?” “SSttt, cuma sepotong buat Pak Ageng!” “Kok sudah lama Lik Joyo tidak bawa ayam panggang, Pak?” “Ssttt, Lik Joyo baru sakit. Mungkin bulan depan, Le. Ayo, ini dimakan sop 272



kangkung ibumu. Seger!” Oh, kitchen cabinet-ku yang kompak. Aku tahu sekarang mengapa para ahli ekonomi kita begitu pasti dan gagah mengatakan bahwa “daya tahan ekonomi rakyat desa masih kuat”. Di dapur saya lihat Junior sudah mulai lagi nggenjot-genjot rak piring dengan penuh energi. “Solo-Plambanan …. Soloplambanan …. Solo-plambanan …. “



Yogyakarta, 16 Juni 1987



273



Jebule … Pulang dari kantor pada bulan puasa adalah puncak penderitaan. Hari sedang menikmati sinar kepanasannya menusuk kulit manusia yang lalu-lalang di muka bumi pada jam-jam begitu. Tetapi, setidaknya pada hari-hari bukan puasa, kita akan segera terhibur membayangkan apa yang bakal kita makan pada siang itu. Masuk rumah yang terasa teduh, baju kerja diganti sarung, kita akan segera duduk di kursi meja makan. Tetapi, pada hari-hari bulan puasa, urutan skenario yang begitu akan banyak dilompati. Ada beberapa jumping scenes menurut istilah skenario film. Sesudah adegan ganti sarung, ya sudah melompat ke adegan tidur siang hingga adegan maghrib waktu kita membuka puasa. Begitulah siang itu waktu saya pulang 274



dari kantor. Sarung sudah membungkus separuh tubuh, kaos oblong pun sudah melekat di badan. Sambil menunggu keringat mengering, saya duduk berkipaskipas di kursi goyang kerajaan. Dari tempat itu saya melihat gelombang panas bergetar di jalan depan rumah. Tiba-tiba, dari belakang datang si bedhes cilik Beni Prakosa mengelamuti es tung-tung yang tinggal separuh. Mulutnya belepotan dengan es yang berwarnawarni pelangi. “Eh, Pak Ageng, Pak Ageng. Jebule es tung-tung itu enak lho, Pak Ageng.” Kembali bedhes cilik itu mengelamuti es-nya. Kelihatan nikmat dan seger betul. Sialan! Trembelane tenan! Kerongkonganku terasa lebih kering lagi melihat itu. “Jebule enak tenan, Pak Ageng.” 275



Dan ia pun terus saja mengitari kursi goyangku, nggubel di dekatku. Tampangnya yang lucu menjengkelkan itu membuat saya gregetan dan kerongkongan semakin kering lagi. Akhirnya es tung-tung itu pun habis juga. Mukanya sudah coreng-moreng seperti badut sirkus, bajunya sudah berantakan oleh lumuran es. “Ayo, lekas ke belakang. Minta cuci ibumu sana. Minta ganti baju yang sudah basah semua itu. Masuk angin baru tahu rasa kowe.” “Beni Prakosa dengan pringisan lari ke belakang sambil berteriak, “Yeeessss, Pak Ageng!” Damai turun kembali di bumi. Saya masih belum siap untuk menuju ke tempat tidur. Rasanya lemas betul untuk dapat bangkit dari kursi goyang. Indahnya es tung-tung itu masih 276



terbayang di mukaku. Kenapa pada masa puasa begini es tung-tung dengan kualitas cekeremes itu jadi seindah lukisan Andy Warhol? Begitu nyata lumeran es-nya. Mata mulai mengantuk. Ada semilir angin terasa menerobos masuk. Tiba-tiba datang lagi si bedhes cilik. Bajunya sudah ganti dengan yang bersih. Mukanya juga sudah bebas dari belepotan es tung-tung. Sekarang di tangannya ada sepotong tempe bacem yang tampak hitam kecoklatan. Pasti Mrs. Nansiyem agak kebanyakan menaruh gulanya. Kedelainya pun tampak besarbesar menonjol. Puasa, puasa! Kenapa bisa betul kau membuat mataku jadi bertambah peka begini! Es tung-tung jadi seindah lukisan, warna tempe bacem jadi tampak lebih matang dan kedelainya pun muncul lebih menor. “Eh, Pak Ageng, Pak Ageng. Jebule 277



tempe bacem itu enak lho, Pak Ageng.” Sambil berkata begitu mulutnya bergerak menggerogoti tempe itu dengan dahsyatnya. “Jebule enak tenan, Pak Ageng.” “Jebulmu, jebulmu kuwi! Ayo sana out! Aououtt …!” Dan kembali Beni Prakosa sembari pringisan lari ke belakang. “Yeeesss, Pak Ageeng!” Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya, syaiton pasti yang mengirim Beni Prakosa untuk meruntuhkan iman puasaku. Astaghfirullah hal adziim!. Es tung-tung, tempe bacem. He .. syaiton, ayo kirimi aku es krim Haagen Dasz satu galon dan t-bone steak barang sepuluh kilo. Ini perutku, mana perutmu! Dan saya pun berjalan gontai masuk kamar tidur. 278



Maghrib masih tiga jam lagi … Seminggu sesudah syaiton mencobaku dengan es tung-tung dan tempe bacem, di Jakarta saya mendapat undangan untuk berbuka puasa di salah satu hotel berbintang empat. Ahh … ini pasti bukan syaiton yang mengirim undangan. Pastilah malaikat. Wong yang mengundang itu mantan pejabat tinggi yang sudah dua kali naik haji. Acaranya pun lengkap. Buka puasa, sembahyang maghrib, santap malam, sembahyang isya ’ disambung dengan sembahyang tarawih. Kemudian ditutup dengan ceramah tarawih dan ular-ular, wejangan, buat putra dan putri sang pengundang yang baru pulang dari California menamatkan kuliah mereka. Yah, enaknya jadi mantan pejabat pemerintah pusat seperti saya ini. Masih dihitung dalam undangan yang hebathebat seperti itu. Dan kalau dihitung, 279



sudah beberapa kali saya jadi mantan pejabat. Jabatan ini, jabatan itu. Eehh … lumayan juga mantan-mantan priyagung itu masih ingat kepada saya. Dan di room-room yang sudah disiapkan di hotel mewah itu, memang banyak saya lihat tidak hanya para mantan dirjen, sekjen dan menteri, tetapi juga para mantan, eh ..bukan, purnawirawan pati. Semua sokur ngalkhamdulillah, kelihatan segar-segar dan makmur belaka. Hem batik mereka kelihatan gemerlap. Begitu juga dengan para ibu beliau-beliau itu. Dalam baju jilbab pun ibu-ibu itu masih tampak kemilau. Dan bukan main. Dalam percakapan di tengah santap malam yang terdiri dari makanan Indonesia dan Eropa itu, saya juga ikut bersyukur, ikut senang mendengar tukar-menukar informasi tentang keadaan keluarga masingmasing. Percakapan seperti, “Kalau buat si Joni dan Desi yang 280



mBakyu kirim sekolah di Boston itu berapa mBakyu sediakan tiap bulannya?” “Eh, ternyata not so much, lho.” Saya tidak dapat mendengar jumlah uang itu. Karena, mungkin saya ada di dekat-dekat ibu-ibu itu, beliau menempelkan mulutnya pada telinga ibu yang seorang. Kedua ibu itu tertawa cekikikan. Mereka melihat kepada saya. Saya mengangguk sopan sekali, tersenyum tanpa teges. “Ahh, masa cuma segitu, mBakyu?” “Bener, heus echt, tenan kok mBakyu. Buat apa lho saya bohong. Lagian kami sekarang kan sudah mantan toh? Mesti berhemat-hemat.” “Kalau begitu saya mau pindahkan anak-anak saya ke Boston juga, ah. Habis di California saya dengar brengsek sih, situasinya.” 281



Saya berjalan bergeser mencoba mencari makanan lain sambil mau bergabung dengan kelompok lain. Wah, kalau ongkos hidup satu orang dihitung mepet saja sudah US $ 500,0, maka dua orang anak sudah US $ 1.000,0. Masak nggak pakai uang jajan? Belum lagi uang kuliah mereka. Tetapi bukankah buat pendidikan anak-anak kita , kita sanggup berkorban apa saja? Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala dan entah bagian tubuh kita yang mana lagi yang akan kita jumpalikkan asal anak bisa sekolah setinggi mungkin? Ahh, ibu-ibu dan bapak-bapak yang sangat bertanggung jawab! Saya hanyut bergeser ke kelompok anak-anak muda. Pastilah anak-anak para kolega mantan-mantan itu. “Malam, Oom!” “Malam. Bagaimana nih score-nya?” 282



Mereka tertawa serempak. Mungkin senang mendengar saya bicara dengan lingo, bahasa, mereka. “Score ya ini Oom. Kita harap tarawihnya jangan lebih dari sebelas rakaat, gitu.” “Lho, memangnya kenapa kalau lebih dari sebelas rakaat?” “Pegel, dong, Oom. Lagian kita mau itu tuuhh …” “Itu tuuhh apa?” “Yah, Oom manula, sih. Kita mau nyambung ke disko …” Saya terus bergeser menemui kawankawan lama. Makanan yang mbanyu mili itu serba nyuss dan milyuss belaka. Baik roast beef-nya maupun rendang ala rumah makan Pagi-Sore Padang serba dahsyat. Malam pun berlalu dengan 283



mulus. Sembahyang tarawih berlalu tidak lebih dari sebelas rakaat dan ceramah, ular-ular, dari ulama itu pun singkat mengena. Akhir ular-ular itu … “ … begitulah, saya harapkan dari anak-anak berdua. Sepulangnya nanti, anak-anak dengan mulus dapat kembali kepada ayah dan ibumu. Yaitu menjadi bagian keluarga muslim yang taat, dari keluarga pejuang yang selalu berbakti kepada negara dan bangsa …” Di rumah, istri saya yang berhalangan ikut datang karena uzur, langsung menginterogasi saya. “Bagaimana suasananya?” “Jebule buka puasa dan tarawih di hotel itu menyenangkan betul.” “Menyenangkannya?” “Ruangan full AC yang sangat adem. 284



Permadani tebel bin empuk. Bau harum. Makanan lezat dan mewah. Percakapan seronok. Sembahyang khusyuk. Tidak terganggu suara berisik lalu-lintas. Jemaahnya tidak ada yang bau keringat penguk. Wis to, pokoke menyenangkan.” Istri saya manggut-manggut. “Jebule begitu to buka puasa dan tarawih para priyagung di hotel itu?” Saya juga manggut-mangut. Mungkin pada saat itu anak-anak muda putra-putri para mantan dan purnawirawan itu sedang asyik berajojing. Saya jadi terbayang irisan roast beef yang merah dan nyuss itu. Santapan kiriman para malaikat. Tetapi kemudian juga bayangan si bedhes cilik Beni Prakosa tampil dengan sekeping tempe bacem. “Jebule tempe bacem itu enak, Pak Ageng!” 285



Ahh, santapan kiriman syaiton untuk meruntuhkan iman puasaku ….



Yogyakarta, 26 April 1988



286



Saudara Flu Pada suatu siang bolong minggu lalu, tiba-tiba angin musim bediding yang dingin masuk lewat jendela kamar kerja saya dan langsung menggerayangi seluruh tubuh saya. Syiirr. Langsung seluruh tubuh menggigil kedinginan. Waktu rasa dingin itu masih ngendon untuk lima hingga sepuluh menit di tubuh saya, saya perintahkan Pak Bei Bahurekso, pesuruh-pembuat minum, tukang putar mesin stensil, juru taman, satpam sekaligus direktur pada waktu kantor kosong, lari ke rumah untuk mengambil jas Mao biru saya. Jas itu memang jas bikinan RRC gaya Mao yang saya beli beberapa tahun yang lalu di toko serba ada di Singapura. Tentu saja jas itu sekarang sudah kedaluarsa modenya. Jangankan para mahasiswa 287



dan kaum intelektual yang sok kiri di negeri kapitalis yang pernah tergila-gila mengenakan jas Mao biru itu, di RRC pun tinggal Deng Xiao Ping yang mau memakainya. Itu pun mungkin cuma buat basa-basi. Untuk sedikit membuat arwah Mao, yang terus-terusan dia kritik itu, sedikit tenteram. Selebihnya para generasi muda RRC konon sudah bersikap cuek terhadap jas potongan begitu. Sama dengan generasi muda belahan dunia yang lain, mereka memakai celana jeans, t-shirt dan rambut di-sliwir. Touche buat simbah Marx! Berantakan sosialisme sampeyan digasak kathok bluwek dan kaos oblong dan come back-nya kucir China. Tetapi jas itu masih berfungsi bagi saya. Terutama pada saat-saat gawat darurat seperti siang itu. Sangat efektif buat menutup tubuh yang menggigil. Makanya jarang saya cuci. Semangkin jarang dicuci ternyata semangkin ampuh daya hangatnya. 288



Tetapi waktu Pak Bei Bahurekso datang dan mengrukup tubuh saya dengan jas Mao legendaris itu, saya malah gebresgebres, bersin-bersin, hampir sepanjang hari. Tahulah saya bahwa saudara flu telah datang kembali. Di rumah, Mr. Rigen segera saya perintahkan membuat wedang jeruk pecel yang panas dan persediaan Refagan yang cukup. “Lho, saudara flu sudah rawuh lagi to, Pak?” “Iya, iya. Gek cepetan sana siapkan semuanya!” “Lho, tadi pagi Bapak masih seger, menyanyi lagu-lagu Londo. Masih sempat menjewer kupingnya thole Beni. Kok sekarang ….. “ Saya bersin mengikuti gaya almarhum ayah saya. Huuuuurrsyaaahhhh …. 289



Huuuurrsyaaaahhh …! “Wah, blaik tenan iki. Pak Ageng ketamuan saudara flu tenan iki …. “ “Lha, sudah tahu orang mulai wohangwahing nggak karuan begini kok masih saja berdiri di situ, lho! Ayo cepetan, siapkan semuanya!” Flu memang akrab dengan saya. Begitu akrab sehingga kedatangannya yang agak teratur itu menjadi sasmita, isyarat, bagi kami serumah. Bagi Mr. Rigen itu pertanda bahwa untuk hari-hari flu begitu dia mesti hati-hati dalam menebak buntut dan menyusun hurufhuruf KSOB. Dia yang begitu fanatik dengan aura, sinar, kekuasaan majikannya percaya benar bahwa flu akan sangat berpengaruh terhadap gelombang-gelombang yang membangun sinar wibawa saya. Dan pengaruh itu baginya terang pengaruh yang tidak 290



menguntungkan. Sebab gangguan sinar tersebut akan ikut mengganggu susunan nomor dan huruf-huruf yang, menurut Mr. Rigen, akan terbawa lewat getaran gelombang saya menuju otak dia. Maka flu harus dilawan, dicegah agar jangan lama-lama ngendon di tubuh saya. “Alahhh! Tanpa flu kamu juga jarang dapat pasang buntut sama huruf.” “Lho, kalo Bapak sehat buktinya saya sering dapat itu, Pak!” “Gombal! Itu othak-athik mistik kampungan.” Bagi Mrs. Nansiyem, flu itu membawa sasmita lain lagi. Bagi dia kedatangan saudara flu berarti bakmi godhog panas dan sambel botol sepanjang sarapan pagi, makan siang dan makan malam saya. Hari-hari begitu meskipun menyederhanakan tugasnya, pastilah 291



sangat membosankannya. Daya kreativitasnya di dapur terasa sangat dihina oleh saudara flu itu. Masak cuma mi tiap hari! Itu pun bukan mi telur tetapi supermi biasa. Tetapi mau bagaimana lagi kalau cita rasa boss kadang-kadang, kadang kala, memang bukan cita rasa kalangan intelektual. Dan buat Beni Prakosa, kedatangan flu di tubuh Pak Ageng sungguh membawa sasmita petaka yang luar biasa besar. Apalagi kalau flu itu datangnya pada malam hari Kamis atau malam Minggu. Oh … ciloko tenan, Pak Ageng. Hari Kamis dan hari Minggu adalah hari-hari Pak Joyoboyo patroli di kawasan kompleks perumahan kami. Biasanya pada malam Kamis dan malam Minggu sang bagus Beni Prakosa sudah mengingatkan saya akan hari besar itu. “Sesuk Pak Joyoboyo lewat lho, Pak Ageng!” 292



Saya pun mengerti sendiri bahwa itu berarti sate usus minimum dua tusuk buat dia. Tetapi dengan datangnya saudara flu, tak mungkin itu terjadi! Seperti telah saya ceritakan, bahwa flu telah merendahkan kualitas makanmemakan saya, menjadi dunia bakmi menjadi mi godhog saja. Penggeng eyem hasil eksperimen budaya masak-memasak yang turun temurun di Klaten itu tidak mempan melawan flu. Tubuh saya langsung merinding melihat santan yang mlekoh bergelimang membungkus dada mentok dan paha. Melihat kelebatannya saja perut terasa dikebur, tenggorokan terasa sesak mau muntah. Dus, no penggeng eyem, yes? Maka bagi Beni, flu itu benar-benar satu kutukan dewata. Bagi saya, pada usia yang mulai membayang laruik sanjo ini, aneh sekali flu semangkin jelas peranan spiritualnya! Kedatangannya semangkin membawa 293



pesan jelas untuk lebih mawas diri. Dulu hal itu tidak pernah saya rasakan Flu, seperti Anda semua tahu, adalah virus yang tidak tedhas tapak paluning jamu sisaning tablet. Obat yang paling mujarab adalah daya tahan tubuh kita masing-masing. Semangkin kuat daya tahan tubuh kita, semangkin cepat flu itu hengkang dari tubuh kita. Semangkin lemah daya tahan tubuh kita, semangkin lama kita tergeletak di tempat tidur merenungi langit-langit kamar. Ada pun wedang jeruk pecel, Refagan, bakmi godhog dan sambel botol hanyalah sebatas penguat sugesti bahwa tubuh kita digarap oleh semacam obat yang bisa melawan flu. Begitulah. Dari pengalaman saya tergeletak di tempat tidur kamar saya yang sunyi sepi karena ditinggal sendiri, muka menghadap ke langit-langit kamar 294



dan mata yang hanya menangkap sepetak eternit yang bagaikan lukisan Mondrin yang belum jadi, saya mulai menangkap sasmita itu. Dimulai dengan merenung apa yang sudah dan belum saya kerjakan hari-hari dan yang akan datang. Lama-kelamaan, saya jadi mawas keterbatasan saya dan menemukan sangat sedikitnya kebisaan dan kebolehan saya. Saya janjikan satu mobil Mercedes Benz 220 pada usia saya yang ke-40 kepada anak istri saya. Saya janjikan sangu naik-dewasa kepada mBak dan Gendut sebanyak US $ 1.000,00, yang sesungguhnya hanya seper-seribu yang diberikan Yoseph Kennedy kepada anakanaknya. Saya janjikan baju seragam ABRI kepada Beni Prakosa menjelang ulang tahunnya yang ke-4. Eh, …. tidak satu pun dari jani-janji tersebut mampu saya penuhi. Jangankan di usia yang ke295



40, usia sudah merayap mendekati yang ke-60 ini pun janji-janji itu masih berstatus gombal melulu. Nahhh, jadi tahu kan keterbatasan kita? Itulah fungsi spiritual flu! Ia berfungsi meng-edit, menyunting janji-janji palsu kita. Dari janji Mercedes Benz 220 pada usia yang ke-40 menjadi Jeep kanvas plat merah. Dari janji US $ 1.000,00 waktu naikdewasa menjadi slametan murah -tidak begitu- meriah di antara sanak sedulur. Dari janji baju seragam ABRI menjadi dua biji kaos oblong bergambar Superman. Virus-virus flu seluruh Indonesia, bersatulah! Berilah sasmita kepada semua pemimpin kita, ABRI atau sipil, yang belum mantan atau yang sudah purnawirawan, yang masih sendiri atau yang sudah warakawuri, yang sudah berjanji ini dan itu. Hinggaplah sewaktuwaktu pada tubuh-tubuh mereka. Biarkan mereka sewaktu tergeletak di tempat 296



tidur, mereka menatap langit-langit, mengingat-ingat janji-janji mereka. Saudara flu, biarkan mereka.



Yogyakarta, 19 Juli 1988



297



Haagen Dasz vs Es Tung-Tung Jajan adalah sarapan kedua, dessert atau cuci mulut sesudah makan siang, dan alat untuk mancal kemul atau penedang selimut sebelum tidur. Bagaimana hebat dan bertubi-tubinya indoktrinasi yang telah kita dapat sejak kecil bahwa jajan adalah tidak baik. Karena airnya mentah, makanannya tidak ditutup tudung saji karena itu penuh dengan debu, gizinya cuma sedikit, tempat nangkring lalat pembawa penyakit. Toh, dengan gembira kita lawan indoktrinasi itu. Seakan-akan indoktrinasi yang sudah berdasar penelitian dan penemuan ilmiah itu omongan gombal saja. Korban besar atau kecil, perut mules atau mencret bahkan meninggal, tidak pernah membuat kita jera. Kita jajan, 298



jajan dan jajan. Dan sepertinya ini merupakan persekongkolan internasional melawan fatwa-fatwa tentang hygiene dan kesehatan, di seluruh dunia, baik kesatu, kedua dan ketiga, orang gemar melahap jajanan itu. Dan with relish, dengan nikmat! Lihat saja Meryl Streep dalam “Falling in Love”. Dengan sedapnya aktris dahsyat itu melahap hot-dog jalanan sembari terus minta tambah sambal chili kepada penjajanya. Padahal di samping indoktrinasi di sekolah, majalah “Comsumer’s Report” yang sangat berwibawa di Amerika itu, tidak jerajeranya memperingatkan khalayak akan kotor dan tidak hygienis-nya makanan seperti hot-dog atau hamburger jalanan itu. Bahkan untuk makanan rakyat atau makanan jalanan itu, mereka menciptakan istilah junk food. Makanan 299



sampah! Makanan rongsokan! Toh, rakyat Amerika terus melahap makanan rongsokan itu di jalan-jalan. Restoranrestoran yang canggih di negara itu yang mengangkat hamburger dalam menu mereka dengan, misalnya, merk hamburger with college education, tidak pernah dapat mengusir hot-dog dan hamburger dari jalanan. Mereka tumbuh terus dengan suburnya. Ilalang tidak pernah punah, kata pepatah Belanda. “Pak Ageng, Beni boleh panggil ginding-ginding, ya?” “Ginding-ginding itu apa?” “Itu, lho, yang bundel-bundel, yang ting-ting.” Anak kecil, apalagi jenius seperti Beni Prakosa, selalu mempunyai cara sendiri untuk menggambarkan benda-benda. Adapun ginding-ginding itu maksudnya 300



glinding-glinding, bundel-bundel adalah bunder-bunder dan ting-ting adalah suara mangkuk yang dipukul sendok. Maka tahulah kita yang dia gambarkan. Bakso! Wah, setan cilik itu minta bakso pada pukul empat sore. Dua jam sebelumnya dia masih tidur pules. Dan setengah jam sebelumnya dia masih makan siang dengan sop cakar yang sangat bergizi. Pada pukul empat sore tubuhnya sudah membutuhkan jajan bunderan daging kecil-kecil yang direkat dengan kanji dalam jumlah yang sangat sporadis berenang-renang di kolam larutan kaldu yang mengagumkan cuwer-nya. “Boleh, boleh. Panggil, Le!” Saya tidak tahu mengapa nyaris otomatis saya mengatakan “boleh” kepada setiap permintaan bedhes cilik itu. Mr. Rigen yang mendengar itu, buru-buru berteriak, 301



“Ginding-ginding tiga saja!” Hari berikutnya, hari yang memang panas betul. Kami serumah leyeh-leyeh kegerahan. Suara penjaja es puter lewat. Beni Prakosa pun berteriak, “Pak Ageengg! Es tung-tung, es tungtung!” “Terus mau apa kalau ada es tungtung?” “Beni mau, Pak Ageng.” “Kamu baru sembuh dari pilek, to?” “Sudah sembuh, sudah sembuh!” “Sudah sembuh, sudah sembuh! Ya, boleh panggil, Le!” Dan, eh, kok saya ikut-ikutan beli juga, lho. Dan, hemm … nikmat juga! Dan tentu saja saya tidak bertanya apakah 302



airnya matang atau mentah, santannya diperas di bekas kaos dalam penjajanya atau dikalo bambu yang bersih, merasnya pakai tangan kanan atau tangan kiri. Pokoknya rasanya enak. Dan kami serumah menikmati es tung-tung tanpa beban apa pun. Mr. Rigen dan spouse pun ikut menikmatinya tanpa kekhawatiran anaknya mungkin akan kambuh batuknya. Pokoknya enak. Di Jakarta beberapa hari sesudah itu si mBak, anak sulung saya yang sudah bersuami dan beranak bayi itu, membawa berita setengah pengumuman setengah tuntutan. “Pak, es krim Häagen Dasz sudah datang di Jakarta!” “Terus?” “Kok terus. Beli, dong!” “Dalam rangka?” 303



“Dalam rangka nostalgia.” Es krim, saya ingat, memang kelewat enak. Cuma enaknya es krim itu sampai mana sih batas puncaknya? Di Moskow, saya ingat, es krimnya juga kelewat enak. Konon dulu mereka mengirim Anastasia Mikoyan sendiri untuk belajar membuat es krim di Amerika. Ada pun Häagen Dasz itu bukan es krim Skandinavia, melainkan es krim Amerika tulen. Nama Häagen Dasz itu konon untuk bikin seram di telinga saja. Biar lebih meyakinkan, memberi kesan es krim impor. Jadi, sesungguhnya sama saja dengan sepatu Cibaduyut diberi merk „kebarat-baratan’, tas kantor Sidoarjo diberi merk Echolac atau Samsonite. “Demi nostalgia nih, yeee?” “Iye, dong, Be.” Dan demi nostalgia itu mahal juga 304



harganya. Eh, bukan mahal! Tapi … muahall! Plus korban perasan lagi. Bayangkan, di delicatessen Hotel Borobudur saya memang plingak-plinguk mencari saudara Häagen Dasz itu ngumpet di mana. Perempuan yang jaga itu, perempuan Indonesia, bertanya rada ketus, “Yes?” Lho, kok yes, tanya saya dalam hati, “Yes?” Wah, repot nih. Tanyanya yes melulu. “Anu, apa betul di sini jualan Häagen Dasz?” “Sure. Di situ. Di freezer itu. Mau beli? Satu pint Rp 9.500,- plus tax, lho. Diamond saja lebih murah. Bule saja kalau ke sini ambil yang Diamond …” Untuk show of force bahwa Häagen 305



Dasz itu dulu di Amerika sono adalah dessert kami setiap saat, saya beli dua pint. Satu Chocolate, satu Vanilla Honey. Di depan kas, meski mata masih menteleng mempertahankan gengsi, hati saya kecut juga. Mati aku. Es krim dua pint saja kok dua kali Rp. 9.500,- plus tax, lho. “Terima kasih, Pak. Saya harap keluarga akan enjoy Häagen Dasz.” “Sure, sure, mBak. Häagen Dasz ganyangan kami sehari-hari.” Di rumah kami, di Cipinang Indah, memang dengan penuh relish anak-anak saya plus meng-Häagen Dasz dengan nikmatnya. Akan halnya saya, karena yang membayar, tentu saja harus juga kelihatan nikmat melahap es krim canggih itu. Juga istri saya, yang sepeninggal saya wajib ketir-ketir hatinya menampung tuntutan-tuntutan nostalgia yang lain dari 306



anak-anak saya. Waktu kembali ke Bulaksumur segera saya keluarkan perintah hari itu. “Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni Prakosa, kalau es tung-tung lewat, segera panggil, ya!” “Lho, tumben Bapak kok ngebet es tung-tung?” “Demi nostalgia, Gen.” Kami berempat, sekali lagi leyeh-leyeh di lincak menikmati es tung-tung di siang yang gerah itu. Empat gelas es tung-tung harganya cuma Rp. 200,-. Junk food, makanan rongsokan sedunia, bersatulah!



Yogyakarta, 23 Februari 1988



307



Roti Dan Permainan Dialog antara Mr. Rigen dengan Mas Joyoboyo pada rutin ayam panggang Minggu pagi kemarin itu agak nyleneh, keluar dari acuan biasa mereka. Tidak kedengaran mereka ngrasani kelas priyayi, tidak terdengar desah tradisional kelas wong cilik. Tidak juga nyelonong semangat kepasrahan mereka. Yakni sembari tiduran di kamar pada Minggu pagi yang permai meski sedikit sumuk. “Mas Rigen, sampeyan nanti malam mau nonton bal-balan Indonesia lawan Malaysia tidak?” “Haa, enggih, to! Pinal, je!” “Wah, sampeyan enak nggih, nontonnya di sini sama majikan sampeyan.” 308



“Wee, lha enggih. Tur tipi-nya berwarna.” “Wah, lha kalo saya mesti numpang lihat di rumah ipar saya. Sesungguhnya rikuh juga. Ngrepoti.” “Wong numpang nonton tipi saja kok ngrepoti, to Mas. Di rumah ipar lagi!” “Ya, mestinya begitu. Tapi ipar saya yang satu ini elok tenan kok, Mas Rigen.” “Bagaimana elok-nya?” “Lha, kalo saya datang sama anakanak mau nonton tipi itu ada saja sindirannya. Katanya begroteng nyamikan kacang tambah sekilo, gula ya tambah sekilo, lha teh sama kopi tambah dua bungkus. Mangka kami datang belum tentu seminggu sekali, lho. Jiaan, elok tenan sedulur saya yang satu ekor itu.” “Ahh, mosok saestu, Mas Joyo. Wong 309



bersaudara kok begitu?!” “Weh, lha saestu. Ning nanti malam saya mau rai gedhek, muka tebal, kok. Biar dia bilang mau tambah begroteng gula kopi sak kwintal, ya biar saja. Soalnya bal-balan, je. Sampeyan njagoi mana, Mas Rigen?” “Ya Indonesia, ngoten. Mosok njagoi mungsuh?” “Wah, kalo saya itu, meskipun bangsa dhewek, kalo nganyelke, ya tidak usah dijagoi, Mas.” “Lho, nganyelke bagaimana?” “Lha, bal-balan kok makan suap pemain kita itu, lho. Karena itu nanti malam saya njagoi Malaysia.” “Ah, biar makan suap, kan bangsa dhewek, Mas Joyo.” 310



“Kalo begitu begini, Mas Rigen. Kita totohan, taruhan dada mentok panggang lima biji. Kalo Malaysia yang menang, sampeyan kudu beli lima potong dada mentok. Sebaliknya, kalo Indonesia yang menang saya hadiahi dada mentok lima biji, biar sampeyan sama mbakyune sama den baguse Beni blokekan ayam panggang.” “Nggih, setuju!” Dan keduanya tertawa keras-keras. Saya pun di tempat tidur ikut cekikikan sendiri. Wah, ada-ada saja para punakawan mencari hiburan. Tidak setuju suap tapi setuju taruhan. Konon, Julius Caesar, kaisar Romawi yang agung itu punya resep jitu untuk menenteramkan rakyatnya, yaitu resep “roti dan permainan”. Berilah wong cilik cukup makanan, maka mereka akan diam karena kenyang. Berilah wong cilik cukup permainan, maka hatinya akan senang. Rakyat mana yang akan mau macam311



macam kalau sudah dibegitukan? Tetapi apakah Julius Caesar orisinal dengan konsepnya itu? Mungkin tidak. Mungkin dia meniru saja resep sederhana dari orang tuanya. Bukankah para orang tua dari zaman dulu sampai sekarang begitu saja mengelola kontradiksi dalam rumah tangganya? Cukupi roti di pasaran, giringlah rakyat menonton gladiator berkelahi sampai mati di koloseum. Dan kalau mereka masih resah, kirim mereka berperang ke Mesir dan entah ke mana lagi. Lha, di rumah saya, di mana kecil-kecil saya juga madeg, bertahta bagaikan seorang kaisar, ternyata saya menerapkan resep begitu juga (yang saya dapat dari orang tua saya dulu). Roti yang berbetuk nasi lauk-pauknya cukup. Begitu juga permainan, apalagi yang kurang? Yang disebut rakyat di kerajaan saya cuma tiga orang. Kamar tidur mereka satu. Cukup 312



untuk permainan apa saja buat Mr. Rigen dan Ms. Nansiyem. Dan Beni Prakosa mulai dari mainan thowet-thowet sampai mobil-mobilan dari jalan Solo ada semua. Dan semua tontonan baik di Purna Budaya maupun di alun-alun utara, mulai ketoprak Gito-Gati sampai flipper dan sirkus sekatenan adalah saluran permainan mereka juga. Bisa dimengerti kan kalau mereka tidak rewel dan hatinya senang? Dan, eh, teve berwarna yang baru bisa saya beli dua bulan yang lalu, yang setiap hari dipamerkan Beni kepada setiap tamu yang berkunjung ke rumah, kok ya menyajikan SEA Games, lho. Setiap pukul lima sore, sehabis mandi, sang jenius kecil Beni Prakosa sudah duduk manis dan rapi di depan teve, berteriak menuntut, “Setel tipi, Pak Ageng, sigim, sigim.” Ucapan Inggris jenius cetakan Pracimantara memang agak lain … 313



Sore itu, saya sudah mapan tertelungkup di depan teve sejak pukul tujuh sore. Mr. Rigen boleh full melihat final sepak bola asal sembari mijit tubuh saya. Wong kaisar, kok! Dan Mr. Rigen, rakyatku yang setia, apakah ada pilihan lain? Malam itu adalah malam taruhannya yang terpenting dan terbesar. Lima dada mentok panggang Klaten. Itu berarti seperenam dari gajinya setiap bulan. Bisa dimengerti kalau konsentrasi pijitannya agak kacau malam itu. Nyet-nyet tangannya yang khas terasa agak enteng malam itu. Dan kalau Malaysia mulai menggerebek gawang Mas Ponirin, tangannya begitu saja dilepaskan dari kaki saya karena dibutuhkan untuk sedakep sendiri. Dan pada waktu pasukan kita menggerebek gawang Malaysia tanganya juga dilepas lagi. Kali ini dibutuhkan untuk mengepal-ngepal tinjunya. Dan kasihan nasib juga Beni pada malam itu. Terus-menerus digusah 314



bapaknya ke belakang ke tempat ibunya. Akhirnya Ribut Waidi dengan ributnya membuat gol sehingga Mr. Rigen membikin ribut suasana rumah saya. “Gol! Goll! Mana dada mentok-mu Mas Joyooooo?!” Dan Mr. Rigen pun berjingkrak-jingkrak membayangkan dada mentok lima buah yang bakal dia terima Minggu pagi yang akan datang. Kalau begini memang taruhan itu sehat dan tidak berbahaya. Lha wong dada mentok, je ….!!!



Yogyakarta, 22 September 1987



315



Nostalgia AGAK mengejutkan juga percakapan dengan Prof. Dr. Lemahamba M.Sc. seminggu yang lalu di rumah saya. Pertama, kunjungan itu adalah kunjungan yang boleh dikatakan langka karena kesibukan Profesor tersebut mengurus dunia. Mungkin itu yang disebut mamayu hayuning bawana. Kedua, tema percakapannya itu. Coba …. “Well, I think our economy is in totally, completely chaos.” “Lho, kados pundi to, Prof?” “Ekonomi-ne negaramu itu, lho, ancurancuran!” “Lho, ancur-ancuran bagaimana to, Prof?” 316



“Daging sekarang sudah Rp. 5.500,satu kilo, kacang lanjaran yang beberapa waktu yang lalu satus rupiah tiga ikat, sekarang seket rupiah satu ikat. How, about that?” “Wah … lha how ya? Prof kok begitu up to date data-data pasar? Dapat dari ibu, ya?” “Eh, tidak. Data dari ibu itu hanya untuk mengecek saja. Saya mengadakan grounded research sendiri. Di Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo, bahkan pasar di jalan Solo yang nylempit di antara toko-toko itu.” “Yakk, apa bener itu harga-harga di pasar Yukja, Prof? Kok kayaknya ibunya Gendut di Jakarta minggu lalu laporannya ya kayak begitu, Prof. Daging, kacang lanjaran, kangkung … “ “Pokoknya mahal, mahal, mahal. Terus 317



nanti kalau lebaran bagaimana? Rakyat kecil itu lho, yang saya pikirkan. Mau makan apa mereka?” “Kalau pertanyaan itu yang kita tanyakan, wah, kita hanya akan dikecelekan oleh surprise-surprise mereka, Prof.” “Maksudmu?” “Wong cilik itu kayaknya kok pinter jadi tukang sulap semua, Prof. Coba Prof, lebaran nanti datang nyelonong begitu saja ke rumah pembantu Prof. di desa. Nanti Prof. rak kaget.” “Kaget bagaimana?” “Di meja makan mereka akan ada juga opor ayam, ketupat, lontong, sambel goreng ati. Coba saja datang, Prof.” “Ahh, masa. Dari mana mereka dapat duit untuk itu semua, hah?” 318



“Yaa, ada saja akal mereka, Prof. Menabung sedikit demi sedikit.” “Curi sedikit demi sedikit?” “Ahh, ya tidak, Prof. Kalau yang diikuti pegawai negeri kayak kita, yang mau dicuri itu gek ya apa to, Prof?” Prof. Lemahamba menghela nafas panjang. Kekhilafannya masih tercekam oleh naiknya harga-harga. Atau mungkin lebih oleh roso prihatinnya memikirkan nasib wong cilik. Lha wong beliau itu sarjana, intelektual, patriot, penerap tri dharma perguruan tinggi komplet, pelaksana P4 sempurna, lho! “Wah, … hemm. Hidup kita sebagai pegawai negeri kok semakin berat, ya?” “Ya berat, Prof. Tapi ya tidak usah sedih-sedih amat, Prof. Seperti para pembantu kita itu, mosok kita akan kehilangan akal. Akan tetap ada opor 319



ayam, sambel goreng ati, ketupat sak uba rampe-nya. Ya, embuh nanti, Prof. Lebaran tahun ini di mana, Prof?” “Wah, … kami agak mujur lagi tahun ini, Bung. Kalau tahun lalu kebetulan kami dapat undangan konferensi di Geneva. Tahun ini dekat-dekat sini saja. Kebetulan, kebetulan lagi nih, kami ada undangan rapat konsultasi di Hongkong. Ya, lumayan. Ngirit! Menghemat tidak usah sedia opor ayam. Cuma itu, lho ….!” “Cuma apa, Prof?” “Kami masih memikirkan para pembantu itu, lho. Mau makan apa mereka nanti lebaran. Tapi ah, ya, kalau seorang sosiolog seperti kamu sudah mengatakan para pembantu itu banyak akalnya, very resourceful, ya sebagai orang di bidang matematika, yah, saya percaya saja.” 320



Sesudah Prof. Lemahamba pergi dan Mr. Rigen mengundurkan cangkir-cangkir, Mr. Rigen kembali ke ruang duduk nglesot di dekat kursi malas. Saya sudah tahu, dia pasti mau kasih komentar. “Apa, kamu rak habis nguping, menelinga lagi, to?” Saya menunggu Mr. Rigen meringis. Eh, kok tidak. “Jan para priyayi itu sadis semua!” “Lho, sadis bagaimana, Mister?” “Lha, coba saja dengar kata-kata profesor yang lemah-nya berhektarhektar itu.” “Ya, tidak berhektar-hektar to, Mister. Beberapa ribu meter saja.” “Ya sudah, beribu-ribu. Kayak yak-yaknya saja mengeluh harga kangkung, 321



kacang lanjaran. Wong tahu harga koran Jakarta, lho.” “Ya, kan tidak salah to, Gen? Hargaharga rak mumbul semua, to?” “Iya. Tapi mboten usah ethok-ethok sedih. Terus saya ini yang mau sedih betul bagaimana?” “Lho, kamu sedih apa, Mister?” “Yakk, Bapak ki. Saya dengar Bapak ikut-ikutan bilang wong cilik banyak akalnya itu, saya jadi semangkin sedih. Wong akal saya mangkin sedikit lho, Pak, kalau dekat-dekat lebaran begini.” “Saya kan ya tidak terlalu salah to, Gen, kalau bilang kalian bisa menyediakan opor ayam sak uba rampenya itu?” “Ya, tidak terlalu salah. Ning tetep salah, Pak.” 322



“Salahnya?” “Ya, wong cilik itu makin pringisan cari akalnya, Pak. Makin susah mengumpulkan duit. Opor ayam ya tetep ada. Ning ya itu. Yang disembelih ayamnya mangkin cilik tur sithik. Santannya juga mangkin cuwer. Sambel gorengnya ya tidak pakai ati lagi. Daging ya ada ning disuwir-suwir. Pak, Pak, mbok panjenengan sedaya jangan sadis-sadis sama wong cilik …. “ Mak klepat Mr. Rigen pergi ke belakang. Hatiku anjlok beberapa meter. Kali ini miris betul aku. Aku tercenung mendengar grundelan Mr. Rigen itu. Aku membayangkan Prof. Lemahamba jalanjalan shopping di Kowloon lebaran yang akan datang. Aku membayangkan opor ayam dan rendang dagingku di Jakarta. “Pak Ageng, nanti sore boleh lihat baris dramben?” 323



Beni Prakosa tahu-tahu sudah mengelus-ngelus tanganku di kursi. “Boleh, boleh, Le. Bilang bapakmu boleh pakai jip …” “Horee, horee, boleh pakai jip, Paaakkkk!”



Yogyakarta, 2 Februari 1988



324



Gudeg, Kultur dan Kita Dari sudut gizi apalah artinya gudeg?. Makanan yang unsur utamanya adalah nangka muda itu dimasak dalam lautan santan dalam waktu paling sedikit dua puluh empat jam. Dua puluh empat jam! Dalam waktu selama itu manusia normal sudah akan tidur dan bangun sedikitnya dua kali, makan sedikitnya tiga kali, mandi dua kali dan ke belakang sekali. Belum lagi bekerja plus ngantukngantuknya di kantor yang sedikitnya enam jam itu. Pendeknya, dalam dua empat puluh jam itu, alangkah banyak yang dikerjakan manusia. Tetapi gudeg? Dalam waktu selama itu, nangka muda itu diubleg-ubleg dengan kehangatan yang konstan dalam lautan santan, gula Jawa dan buillon plus kumpulan rempah-rempah yang hanya 325



diketahui oleh juru masaknya. Untunglah nangka muda itu tidak punya roh seperti kita. Bayangkan kalau mereka punya roh itu. Diubleg-ubleg dalam segala macam lautan bumbu begitu. Apakah mereka tidak akan berontak memecahkan belanga, meluberkan santan dan kaldu, menggelegakkan semuanya hingga dapur mbakyu penjual gudeg itu akan berantakan tenggelam dalam lautan kuah gudeg? Kalau hal itu sampai terjadi, koran Kedaulatan Rakyat pada esok paginya pasti akan memuatnya sebagai headline. Kira-kira laporan itu akan berbunyi seperti ini. “Pemberontakan Gudeg! karena sudah tidak tahan lagi menahan penderitaan yang berabad-abad lamanya, nangka muda di dalam belanga pabrik gudeg 326



mBakyu Siyem berontak. Kuwali itu diledakkan dari dalam dengan suara menggelegar. Dapur itu hancur berantakan. Seorang pembantu mBakyu Siyem ditemukan mati tergeletak di dapur. Tubuhnya berlumuran santan, cuwilan nangka muda, tetelan daging dan tulang-belulang bertebaran di seluruh tubuhnya ….. “ Jadi dari sudut gizi, gudeg itu nyaris tidak berarti. Ia termasuk masakan yang over-overcooked, alias sangat terlalu lama dimasak sehingga menguap semua sarisari vitaminnya. Tetapi, apakah masakan asli kita pernah sangat peduli tentang vitamin? Lodeh, sambal goreng ati dan pete, opor, oblok-oblok, abon, akankah tidak terlalu menggubris akan kesegaran vitamin? Yang penting eco, lezaat, mak nyuss. Tetapi, bicara tentang kelezatan gudeg, secara obyektif, kita harus mengakui bahwa itu relatif. Bagi orang 327



Yogya jekek yang sudah bergenerasi tinggal dalam pelukan jas sogok upil dan mondolan telur, tentulah gudeg itu kelezatannya seklasik gamelan Sekaten. Tetapi, bagi wong sabrang yang datang ange-Jawa, gudeg itu terlalu manis, baahh! Toh dari sudut kultur, gudeg itu adalah fenomena ajaib! Ada unsur beyond, nun di balik sana. Di balik rasa gudeg yang dianggap eco, bisa dianggap terlalu manis itu, ada satu ikatan emosional yang aneh bagi siapa saja yang pernah bermukim di kota Yogya. Pak Affandi, pelukis ekspresionis yang kesohor seantero dunia tetapi berasal dari Cirebon dan bermukim di pinggir Kali Gajah Uwong, Ngayogyakarta, selalu harus nongkrong di depan bakul gudeg setiap kali beliau pulang dari perjalanan melukis di luar kota. Rasanya belum afdol kalau belum melahap gudeg sepulang dari jalan 328



menggambar, kata beliau. Almarhum Pak Wonohito, Pak Besut dan Pak Samawi hampir setiap malam sehabis tugas di belakang meja Kedaulatan Rakyat nongkrong di gudeg Bu Mul dan wedang Bu Amat di depan Pasar Beringharjo. Berhandai-handai dengan dua ibu itu, dengan siapa saja yang mampir nongkrong di situ. Menghirup udara malam, mengamati kehidupan sehari-hari sembari makan gudeg dan menyeruput wedang teh nasgitel, panas legi tur kenthel, adalah ritual yang sangat penting bagi almarhum pelopor-pelopor wartawan itu. Para seniman yang habis nonton teater di Seni Sono atau lihat pameran di Purna Budaya atau mendengar ceramah di Karta Pustaka adalah juga pelanggan gudeg yang setia di sepanjang trotoar Malioboro. Dan sekali-sekali keluarga Presiden kita kalau kebetulan menginap di Istana 329



Gedung Agung juga berkenan memanggil Bu Mul dan seorang kolega lagi untuk membawa gendongan gudeg mereka ke istana itu. Pak Harto dan Bu Tien sekalisekali rindu juga jajan gudeg sembari nglesot di tikar. Pastilah bukan kebetulan kalau kehidupan malam sepanjang trotoar Malioboro dengan sederet gudeg-gudeg itu semangkin rame saja di kota ini. Beyond, nun di balik sana, itu pasti ada sesuatu … Begitulah, pada suatu malam, saya mengajak beberapa teman dan Mr. Rigen untuk makan gudeg Bu Mul dan minum teh jahe di Bu Amat, di depan Pasar Beringharjo. Untuk kesekian kali, Mr. Rigen tidak begitu antusias ikut ramerame makan gudeg begitu. Tetapi, karena ini perintah bos yang membutuhkan sopirannya, dengan penggrundelan di dalam hati, Mr. Rigen akhirnya mau juga. Meskipun dengan melemparkan 330



pangunandikanya secara vokal kepada saya. “Kalo Bapak rame-rame dhahar gudeg begini, apa Bapak tidak merasa buangbuang saja?” “Tidak. Memangnya kalau aku jajan dengan uang-uangku sendiri tidak boleh? Lagi pula ini jajan gudeg. Nguri-nguri warisan tradisional. Saya kan tidak ngajak teman-teman dan kamu jajan steak dan hamburger, Mister.” “Lha, nguri-nguri gudeg di rumah kan ya bisa to, Pak. Urusan saya beli gudeg Selokan Mataram atau Juminten terus didhahar rame-rame di rumah kan bisa? Kalau begini ini kan Bapak terpaksa begadang sampe jauh malam. Naaa… besok masuk angin! Saya juga ikut repot!” Cilaka! Ini direktur kitchen cabinet 331



sudah agak kejauhan kritiknya. Saya jadi agak tersinggung karena dia sudah mulai berhak mencampuri urusan dalam negeri saya. Juga karena dia tidak mengerti unsur beyond dari gudeg itu. “Pokoknya kamu harus ikut. Titik. Ini proyek prioritas. Kamu harus ikut!” Mr. Rigen tidak bisa lain daripada harus ikut. Nada sang bos sudah kedengaran final betul. “Siap, Pak!” Dan berangkatlah kita ke depan Pasar Beringharjo. Dan malam itu berjalan seperti malam-malam yang lain. Hangat, seronok, geerrr, srupat-sruput minum wedang, satt-sett melahap gudeg. Lempar melempar guyon kepada kedua ibu legendaris itu. Orang ngamen, baik yang siteran maupun yang Bob Dylan gadungan, tidak hentinya mampir minta 332



pembagian honorarium. Mr. Rigen biasanya tidak mau ikut makan, tetapi cuma duduk di pojok lincak Bu Amat sambil nyeruput wedang teh nasgitel. Mungkin dari pojok begitu dia bisa merasa aman mengamati polah tingkah kami warga kelas menengah elite birokrasi yang sedang piknik ke bawah dengan para wong cilik. Saya lihat sebentar-sebentar dia tersenyum sendiri. Mungkin menertawakan absurditas ritual makan gudeg kami. Tiba-tiba saya melihat ketebangketebang segerombolan wong sabrang datang, sahabat saya seangkatan di UGM dulu yang sekarang jadi bos besar di departemen dalam negeri, Mr. Robert Rajagukguk. Dan seorang lagi yang saya juga kenal, Mr. Johni Sibutar Butar, juga seorang petinggi di salah satu departemen di Jakarta. “Wah … wah … wah… ini kok raja333



raja mBatak pada turun ke kerajaan Jawa. Ada apa nih?” “Ha … ha … ha … ini si raja Zawa kok masih kerazan nongkrong teruz di Zogza. Gudegnya, Buk, yang bezar dada mentoknya, yang banyak nazinya. Kalau belum makan nazi gudeg di Zogza, belum zah, toh?” Dan sambil tertawa keras-keras, Raja memukul punggung saya keras-keras. Dan pesta gudeg itu pun jadi semangkin seronok. “Eh, Raja. Seingat saya, dulu kau itu paling benci sekali dengan gudeg, lho. Yang terlalu manis lah, yang bikin eneg lah. Kok sekarang malah rindu gudeg?” “Ya, itulah gudeg. Kalau jauh bikin kita rindu. Kalau hari-hari di zini jadi bozan, ya? Zama dengan kota Zogza, toh?” Dan kami pun melewatkan malam itu 334



dengan saling mengingatkan zaman jauh sekali di belakang, yang sekarang kayaknya tampak begitu indah tanpa cela. Di rumah, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Mataku mulai terasa berat betul. Dan boyok pun mulai berbunyi mak kreteg setiap saya gerakkan agak keras sedikit. Mr. Rigen melihat saya tampak begitu loyo, membantu saya melepas pakaian saya. Kemudian masih memandang saya agak lama menggeletak di tempat tidur saya. Sebelum meninggalkan kamar saya, dia masih sempat nyeletuk, “Maaf, nggih Pak. Dhahar gudeg seperti tadi itu buat saya malah tidak cucuk. Ngebreh, tidak hemat. Kalo tadi dhahar gudeg di rumah, kan Bapak tidak gerah dan loyo seperti sekarang …” Dengan mata belas kasihan dia memandang saya sekali lagi, terus 335



menghilang di balik pintu. Saya menguap kuat-kuat. Boyok memang semangkin sakit. Tetapi ingat kawan-kawan lama tadi, malam lesehan yang begitu maat dengan gudeg dan wedang teh jahe, alangkah nikmatnya. Tidak cucuk, kata Mr. Rigen! Mungkin buat dia ritual gudeg seperti malam itu, ritual mewah kaum priyayi yang dekaden saja. Mungkin gudeg buat dia mesti dihayati sebagai lawuh, lauk yang mesti dilahap langsung dengan nasi tanpa embel-embel apa-apa lagi. Sedang melahap gudeg seperti malam tadi itu hanya buang uang dan energi saja. Kaum priyayi sekarang yang bernama Korpri, sih! Tetapi si Rajagukguk tadi, apakah dia juga priyayi? kalau Mr. Rigen mendengar pangunandika saya, mungkin dia masih akan ngeyel begini,



336



“Ahh, dia kan Korpri juga. Jadi priyayi juga to, nggih. Dari namanya saja Rajagukguk. Pasti priyayi itu, wong raja kok …”



Yogyakarta, 15 Desember 1987



337



Menjelang Tahun Baru MEREKA yang benar-benar penikmat connoisseur- pijit, pastilah tahu bahwa semua tukang pijit profesional adalah pemijit yang nikmat. Sering kali bahkan sebaliknya. Saya punya langganan seorang tukang pijit prof di Jakarta yang memang seorang prof sejati. Artinya, bukan hanya hidupnya dari pekerjaan memijit, akan tetapi pekerjaan itu ditekuninya dengan sangat seriusnya. Segala macam letak urat, syaraf, tulang belulang dikuasainya. Bukunya tentang pijit memijit dari macam-macam Negara dimiliki dan dikuasainya. Tetapi kalau mau pijit maat-maatan lebih baik kita tidak ke sana. Sebab pijitannya itu, wuaduh … prof sekali alias sakit sekali dan mahal betul ongkosnya. Tetapi, memang sesudah itu tubuh kita terasa segar dan lincah. 338



Tetapi, apakah orang hidup mesti hanya kesegaran dan kelincahan yang dicari? Tidak, kan? Orang hidup di samping mau segar dan lincah bukankah mau macam-macam lagi? Misalnya, mau hidup laras, santai dan maat. Maka di dunia pijit-memijit mestilah ada yang memiliki keahlian khusus memberi roso maat kepada yang dipijit. Dan sering kali tidak ada hubungannya dengan urusan ilmiah seperti pemijit prof saya yang di Jakarta itu. Ini urusan roso. Ada yang mengisik-isik, mengosok-osok, ada pula yang menggosok-gosok dan menggusukgusuk, ada pula yang …. ahh, pokoknya yang ada hubungannya dengan roso-lah! Mr. Rigen adalah pemijit dari mazhab yang kedua itu. Pemijit roso. Hanya sekali dia diajari oleh sahabat saya yang penyair sekaligus pemijit, pencari batu akik dan pengusir setan itu. Tetapi pada kesempatan berikutnya, Mr. Rigen sudah 339



memijit dengan nikmatnya. Salah satu bonus saya, bila kecapekan habis melembur baik di Yogya maupun di Jakarta, adalah menyerahkan tubuh kepada Mr. Rigen di tikar depan teve. Demikianlah pada hari Minggu kemarin waktu baru pulang dari Jakarta. Dengan diselingi suara Beni, anaknya, yang ikutikutan mengisik-isik sambil berbunyi nyeet-nyeet-nyeet, batas mega-mega di langit maat-maatan itu mulai terjangkau. “Malam tahun baru di Jakarta itu apa ya hebat dan muahal seperti kata koran itu to, Pak?” Saya terkejut dan langsung turun ke bumi lagi. “Hehh? Malam tahun baru di Jakarta? Apanya yang hebat?” “Lho, itu lho, Pak. Kalo menurut goteknya koran-koran Jakarta itu malam tahun 340



baru di Jakarta itu jan elok saestu!” “Lha, coba, kalau menurut bayanganmu malam tahun baru di Jakarta itu kayak apa?” Mr. Rigen njegeges, pijitannya dihentikan. Kemudian dia pun mulai ngecepres bercerita tentang apa yang ia bayangkan sebagai malam tahun baru Jakarta. “Para priyayi kakung putri yang bagus, ngganteng, ayu, gandhes, kewes pada naik Mersedes, BMW, Toyota pergi ke restoran yang mahal-mahal. Dhahar bestik yang kandel-kandel, tebel tapi dagingnya empuk-empuk. Kalau diiris dengan pisau mak nyuss kuahnya dleweran campur sedikit darah. Kentangnya ada yang digoreng, ada yang diongklong, ada yang digodok. Habis dhahar begitu terus disambung dhahar poding. Podingnya merah, ijo, kuning. 341



Susunya juga dleweran ke bawah. Rasanya juga mak nyuuss muanis seger!” Mr. Rigen berhenti sebentar. Saya lihat jakunnya naik turun. Mulutnya klametan. “Lho, cerita malam tahun baru, baru sampai restoran kok sudah glagepen dan klametan begitu to, Mister.” “Lha, pripun, wong makannya wongwong sugih itu ya enak-enak tenan lho, Pak. Terus habis dhahar di restoran mereka naik Mersedesnya lagi pergi ke nait kelep.” “Apa? Apanya yang kelep, Gen?” “Niku, lho, Pak. Gedhong-gedhong sing lampunya kecil-kecil, bunder-bunder, panjang-panjang, abang, ijo, kuning, byar-pet, byar-pet. Terus musiknya buanter banget gedobrakan.” “Oh, itu to. Nait klup.” 342



“Lha, inggih. Nait kelep. Terus ndorondoro yang bagus-bagus dan ayu-ayu itu duduk minum bir kalih ciu. Habis itu mereka pada dangsah.” “Dangsah? Piye, dangsah-nya?” “Dangsah-nya itu kados mau tinju lho, Pak. Ning tidak jotos-jotosan saestu. Cuma ethok-ethokan jotosannya. Ning ada juga yang dangsahnya cuma kekepkekepan saja. Asyiikk.” Mr. Rigen menyudahi ceritanya. Matanya kiyer-kiyer, merem-melek, merem-melek. Dia pun melanjutkan pijitannya lagi. “Sudah, cuma sampai itu bayanganmu tentang malam tahun baru di Jakarta?” “Lha, enggih. Wong saya juga cuma nggabung-nggabungkan cerita yang saya dengar dari konco-konco yang pernah nderek di Jakarta kok, Pak.” 343



“Lha, apa menurut kamu di Jakarta itu tidak ada wong cilik to, Gen?” “Lha, enggih kathah. Berjuta-juta, malah. Ada apa to, Pak?” “Elho! Lha, menurut kamu apa wong cilik itu tidak merayakan malam tahun baru?” Mr. Rigen tertawa keras banget. “Huahahahaha … Bapak ndagel lagi ini. Wong cilik itu kerjanya ya cuma ubyang-ubyung, grudak-gruduk. Berdiri atau jongkok di pinggir jalan. Memandang, nyawang, MersedesMersedes itu lewat. Paling mereka cuma tat-tet, tat-tet nylompret slompretan kertas.” “Hushh … mereka itu juga jalan-jalan lho, Gen. Jajan bakso, wedang sekoteng, kuwih pancong, soto mie, es teller. Macam-macam. Apa hati mereka tidak



344



senang? Mereka pergi ke Ancol, ke Taman Mini.” “Hoalahh … terus mereka itu numpak apa? Terus duitnya itu bolehnya ngutang to, Pak?” “Semua orang juga ngutang, Gen. Apa menurut kamu yang naik Mersedes itu tidak ngutang, apa? Utangnya guedhiiii banget lho, Gen.” “Lha … lha, Bapak rak ndagel lagi. Wong sugih itu ya sugih. Kalau ngutang ya cepet nyaur-nya. Tapi kalau wong cilik ngutang, ya ngutang terus.” Mr. Rigen pun selesai memijit. Dibikinnya teh jahe hangat, diletakkan di meja di depan saya. “Lha, Bapak malam tahun baru ini tidak tindak Ngambarukmo to, Pak?” “Enggak. Aku mau pulang ke Jakarta. 345



Malam tahun baru di rumah saja sama ibumu nonton teve.” “Hoalahh … apa mboten bosen to, Pak. Lihat tipi sepanjang malam?” “Ya, bosen. Wong pilihannya cuma itu kok, Gen. Lha, kamu mau apa? Kalau kamu mau ubyang-ubyung di Malioboro, ya boleh-boleh saja. Tapi rumah kudu dikunci baik-baik. Banyak maling kalau malam tahun baru begini. Dan, awas kowe kalau pakai jip kantor. Dak kethak tenan, kowe! Itu jip Negara. Yang boleh pakai itu saya. Orang kantor saja kalau mau pakai minta ijin saya, lho!” Mr. Rigen pringisan. Mungkin dia tidak mengira kalau saya tahu kadang-kadang dia bersama Mrs. Nansiyem dan si jenius Beni Prakosa suka kya-kya naik jip keliling kota. “Kalau saya punya duit, malam tahun 346



baru ini saya mau ke Ngambarukmo.” “Hah?! Kamu ke Ngambarukmo?” “Lho, itu juga umpama punya duit kok, Pak. Saya cuma kepingin lihat Meriam Belina kok, Pak. Waktu dia main jadi Rara Mendut dulu itu, waahhh jiaaannn, kewes saestu!” “Rupamu!” “Kalau dipikir ya, Pak. Wong mau ketemu Meriam Belina saja kok ya harus sugih to, Pak.” “Lho, kamu juga bisa lihat gitu kok di film. Kamu kok tiba-tiba nggrundel to, Gen?” “Ya, nggrundel sebentar aja ya bolehboleh aja to, Pak. Paling-paling saya rak yo kembali lagi jadi pembantu Bapak. Jangan khawatir, Pak. Saya tetap di sini tempatnya.” 347



Malam pun semangkin larut. Seharian saya tidak istirahat. Malam itu juga tidak sempat kerja apa-apa. Waktu menjelang tidur, di tempat tidur, kok sekilas saya melihat Meriam Belina tersenyum. Saya menguap keras-keras. Mr. Rigen, Mr. Rigen …..



Yogyakarta, 29 Desember 1987



348



Pariwisata Dimana-Mana MAKAN malam di rumah yang sepi tanpa di-reriung seorang anggota keluarga jelas merupakan makan malam yang hambar. Maka menu penderita bludreg, yang mengurangi garam, yang sudah secara rutin hadir di meja makan saya makin terasa hambar lagi. Sayursayuran tidak kelihatan hijau, sambal kehilangan seri dan tempe-tahu pun kelihatan pucat. Makan begitu baru terasa sedikit lebih nikmat bila ada teman-teman mampir dan mau mengawani makan. Itu pun untung-untungan. Sebab tidak semua orang akan doyan dengan makanan yang bertitik berat sayuran. Misalnya, kawan saya penyair dari lereng Gunung Merapi itu. Meskipun anak desa, dia itu anti sayuran. Katanya, sayuran hanya diperuntukkan bagi kambing dan kerbau saja. Manusia, katanya lagi, hanya 349



pantas makan telur, daging dan, ahh … tongseng kambing. Waktu dia mula-mula mengutarakan bahwa sayuran untuk kambing dan kerbau, saya sudah siap menyimpulkan bagaimana peka lingkungan sahabat saya itu. Lha wong, anak petani merangkap penyair, lho! Tentu saja gevoeling terhadap tetumbuhan dan hewan. Tetumbuhan disediakan buat ternak agar ternak dapat terus berguna buat manusia. Tetapi, pada waktu dia bilang, ahh … tongseng, saya tidak berani mengambil kesimpulan apaapa lagi. Mosok saya harus mengambil kesimpulan bahwa kambing disediakan bagi manusia agar manusia jadi berguna seperti kambing-kambing …. Berita nasional pukul tujuh malam di teve baru saja selesai. Itu berarti Mr. Rigen akan segera mengatur meja makan untuk menyiapkan makan malam saya. Wah, satu malam yang hambar 350



terhampar di depan saya. Mengharap kedatangan sahabat saya penyair itu juga akan sia-sia. Akhir-akhir ini hobinya berkembang menjadi pemburu batu akik di kuburan-kuburan yang angker. Yah, sudahlah apa boleh buat. Dari balik koran Kedaulatan Rakyat dan Kompas, yang hingga sore hari itu sudah saya bolakbalik tujuh belas kali, saya mendengar suara Beni Prakosa menyilakan makan. “Pak Ageng, dahaal … “ “Iyo, Le.” Dan saya tetap membolak-balik koran. “Dahalipun sampun, Pak Ageng.” Saya pun dengan ogah-ogahan melipat koran-koran saya dan mulai berjalan ke kursi makan. Waktu saya mulai duduk menghadapi makanan itu, saya mulai melihat perubahan drastis pada blocking tata piring lelawuhan itu. Jumlah sih, 351



tetap tiga piring saja. Tiga sehat tetapi belum sempurna. Cuma warna sayursayuran itu kok jadi hijau kemerahmerahan. Juga tempe dan empal itu jadi tampak coklat kemerahan. Saya baru sadar kemudian bahwa lilin, yang biasa dinyalakan di meja untuk menggusah laler, kali ini berwarna merah. Jadi, ada semacam light effect yang dramatis. Tempe kok jadi dramatis, lho. Dan piringpiring lelaukan itu juga tidak lagi berderet linier satu baris. Tetapi ditata dalam bentuk segitiga. Jadi triangle tempe, sayur bayem dan empal. Tetapi shock berat itu datang pada waktu saya menatap Mr. Rigen dan anaknya yang tumben pada malam itu berdiri rapi berjajar dengan tangan ngapurancang. Astaga, pakai baju apa mereka itu? Mr. Rigen memakai daster Bali merah yang kemilau, hem putih lengan panjang, sarung plekat yang dilipat dan celana panjang putih. Beni Prakosa memakai 352



blangkon yang dibeli di Sekaten tangannya memegang ukulele mainan yang siap untuk dikencrung kapan saja. “Apa-apaan nih, Mr. Rigen?” “Dener, Pak. Pliis.” “Huss, dapurmu. Kowe iki baru kumat apa?” “Pliis, empal en tempe en bayem, Pak. Pliis.” “Dak tabok lho, kowe. Ini badutan apa to, Gen?” Mr. Rigen meringis tertawa. Anaknya, Beni, mengencrung ukulele-nya. Menyanyi keras-keras, “jenang gula, kowe aja lali, malang aku iki iyo to, maass …. “ “Begini, lho Pak. Saya lihat Bapak kok makannya makin sedikit kurang selera. Terus saya, bune Beni dan Beni akal353



akalan pariwisata begini. Siapa tahu Bapak jadi lebih lahap dhahar. Meski begroteng tetap kurang. Hihiikk … “ “Pariwisata? Begini ini pariwisata, to Gen?” “Ha, enggih. Saya cuma tiru-tiru dalem-nya Pak Propesor Lemahamba saja kok, Pak.” “Memangnya di sana ada pariwisata apa?” “Elho, Bapak belum tahu, to? Rumah beliau yang di jalan Kaliurang itu disulap jadi losmen apik sanget, lho Pak.” “Losmen? Omah Profesor itu jadi losmen? Tur Pak Lemahamba itu sudah sugiih banget, lho. Rumahnya yang di daerah Pogung sudah dikkontrakkan bulebule dalam dolar itu.” “Lha, ya biar semangkin sugih, to Pak.” 354



Malam itu makanan yang di meja masih terasa hambar. Meskipun ada lilin merah. Meskipun lelawuhan itu disusun dalam triangle tempe-empal-bayem. “Coba kamu ceritakan pariwisata di rumah Profesor itu bagaimana?” “Ya, konco-konco saya yang kerja di sana pakaiannya ya seperti yang saya pake sekarang ini. Cuma mereka lebih canggih.” “Canggihnya bagaimana?” “Ya, bahannya lebih mewah. Sarungnya ya tidak kumel seperti sarung saya ini. Tur mereka dikursus bahasa Inggris oleh Pak Propesor sendiri. Wah, konco-konco saya itu sekarang cara Inggrisnya cas-cis-cus, lho Pak.” “Coba cas-cis-cusnya kayak apa, Gen?” “Wah, lha kalau ke sini itu salamnya 355



„halo’. Kalau pamit „bai-bai’. Kalau terima kasih „sengs’. Kalau menyilakan „pliss’. Pokoknya macem-macem. Etungetung; wan, tu, sri, saya juga sudah mereka ajari.” Pada suatu sore di took buku saya ketemu Prof. Lemahamba. Saya cuma kuat beli satu buku. Harga buku kok semangkin mahal saja, lho. Tetapi Prof. Lemahamba saya lihat membawa setumpuk buku. Dengan setumpuk buku itu wajahnya kelihatan lebih berwibawa dan ilmiah lagi. “Wah, mborong buku nih, Prof?” “Yaahh, rutin. You know, untuk catch up informasi bidang saya yang pesat sekali kemajuannya. How are you? Everything all right?” “Yah, oke-oke saja, Prof. Sakwangsulipun? Rak ya oke-oke saja, 356



to?” “Oh, I’m not complaining. Everything under control.” “Wah, sukur to. Lha, saya dengar Prof. sekarang buka losmen pariwisata?” “Aahh, jangan losmen, dong. Hotel kecil tapi modern. Nantinya mau saya jadikan pariwisata yang bener. Hotel-hotel di Yogya masih kurang canggih servicenya. Saya harap hotel saya nanti jadi model service yang betul-betul service.” “Wah, Anda makin sibuk saja, dong. Masih harus blebar-bleber ke luar negeri. Masih kasih kuliah. Masih nguji. Sekarang masih harus ngurus losmen, eh … hotel.” “Ya, saya selalu bilang sama Anda. Jangan stick sama satu profesi. Mesti allround. Semua potensi kita mesti kita manfaatkan. Anda mesti jadi economy 357



animal … “ “Wah, economy animal? Animal apa lagi itu?” “Pokoknya sekarang semua mau jadi pariwisata, ya kita ikut bantu pariwisata. Ini termasuk yang dinamai Tri Dharma perguruan tinggi, lho! Pengabdian masyarakat …” Wah, ya deh. Ayo, Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem dan Beni, my Pracimantoro animals. Ayo cancut tali wanda. Itu kamar di depan masih bisa nampung dua orang bule ….



Yogyakarta, 6 Oktober 1987



358



Mas Joyoboyo Dikejar Target Minggu pagi kemarin Mas Joyoboyo datang setengah protes kepada saya. Tenong-nya digelar di lantai di antara kursi-kursi bambu ruang duduk rumah saya dengan agak demonstratif. Ayamayam itu disusun menurut gelar perang klasik. Di sebelah selatan ayam-ayam itu ditaruh dalam gelar Supit Urang. Sedang yang utara menurut gelar Garuda Nglayang. Karena saya duduk di kursi goyang, ayam-ayam panggang yang mau diadu menurut strategi perang Bratayuda itu jadi tampak lebih mengesankan lagi. Itulah cara rakyat kecil Jowo melancarkan protes. Overacting, nylekit, tetapi tidak memarahan hati. Mungkin karena itu protes-protes Jowo tidak pernah terlalu efektif. Yang diprotes malah ketawa cekakakan … 359



“Pun, pripun, Pak! Kalau sudah digelar begini panjenengan tidak kersa mborong, kebangetan tenan, Pak!” “Elhoo ..! Ayam panggang sak medan Kurusetra mau disuruh mborong, terus yang mau makan itu gek yo siapa to, Mas Joyo?” “Elhoo ..! Ya ada saja to, Pak. Mas Rigen sak brayat, ibu panjenengan di Pogung, untuk oleh-oleh Jakarta. Pokoknya akan ada saja yang dapat diberi. Tanggalnya tanggal muda, Pak. Tanggal baik untuk dedane, beramal.” “Wee … lha, Mas Joyo. Pegawai negeri seperti saya ini juga masih harus diberi dedane, je.” “Haa, inggih. Ning nek panjenengan itu dapat dedane ya datangnya dari dewadewa di atas sana, di Jakarta sana. Yen kulo ya cukup dari Bapak saja. Nggih Pak, 360



nggih?” Saya jadi mikir juga. Tidak sari-sarinya Mas Joyoboyo begitu mendesak bolehnya minta ayamnya diborong. Biasanya dia datang dengan rileks menjajakan ayam panggangnya. Dan selalu tampak percaya diri. Tetapi sekarang kok kelihatan desperate, terdesak nyaris putus asa betul. Saya memutuskan membeli agak banyak karena sore itu saya memang mau pergi ke Jakarta. “Jadi tidak dibeli semua to, Pak? Tanggung Pak.” “Yakk, sampeyan itu! Sudah saya beli banyak kok ya masih ngangsek terus, lho. Ada apa sih kok sampeyan maksa saya mborong?” “Lha, ya ini to, Pak. Saya itu jadi kemrungsung. Di perusahaan ayam panggang itu sekarang ada sistem target 361



atau apa itu. Pokoknya saya harus menghabiskan ayam panggang sak tenong ini. Kalau tidak habis saya kena potong komisi saya. Pun cilaka apa tidak itu?! Terus anak saya yang ragil, eh … tahu-tahu kok ya sudah mau tamat SMA. Pengeluaran lagi buat persiapan ujian. Sampun to, wong cilik itu tidak hentinya dirongrong pengeluaran.” Tenong-nya disiapkan. Sisa-sisa Supit Urang dan Garuda Nglayang sudah pada rontok satu demi satu masuk ke dalam tenong. Wajahnya kelihatan pasrah dan memelas. “Lha, tapi ya, Mas Joyo. Yang kena begitu tidak cuma wong cilik, Mas Joyo. Kabeh, semua, kena yang begitun, Mas!” “Ayakk, Bapak.” “Lho, iya. Target itu untuk efisiensi, untuk ngirit tapi produktif.” 362



“Gek apa lagi itu, Pak Ageng?” “Lha, perusahaan itu sekarang kan harus bersaing to, Mas Joyo. Jadi …. “ “Jadi harus nyekik lehernya wong cilik, nggih?” “Lha, ya mboten. Supaya wong cilik itu harus lebih pinter jualan. Supaya jadi lebih kaya. Sampeyan tidak mau kaya?” “mBoten! Saya cuma mau cukup saja. Hidup sak madya saja.” “Lho, tidak boleh lagi sekarang hidup sak madya. Harus ngaya, ning tidak usah lekas tua. Kerja keras, efisien, produktif, sugih!” Mas Joyo geleng-geleng kepala. Pelanpelan mengangkat tenong-nya ke atas kepalanya. “Urip kok semangkin kemrungsung. 363



Terus enaknya jadi wong Jowo di mana? Wong Jowo itu ya, Pak Ageng, enaknya hidup gliyak-gliyuk, je. mBoten ngaya, mboten dioyak-oyak. Alon-alon waton kelakon. Pelan-pelan ning sampai dengan slamet. Apa itu salah to, Pak Ageng. Kok ini diganti target, pengeluaran anak semangkin aneh-aneh. Wahh, puuunnn ….. we-el-we-el-ka-we-te saja.” “Lho, apa itu, Mas?” “Wala wala kuwata, semoga kuat saja. Sampun nggih. Sami donga-dinonga. Saling mendoakan saja supaya semua bisa mencapai target.” Hampir saja saya mau terus wewejang hukum ekonomi modern yang capetcapet, lamat-lamat, pernah saya ketahui. Tentang Schumpeter, tentang Keynes, tentang Samuelson. Edann! Kok mak brabat dia sudah lenyap tanpa suara jajaaann-nya yang tersohor itu. Mas Joyo, 364



Mas Joyo … kapan dikau mau developed. Underdeveloped terus, dong, kalau kau begitu. Liyer-liyer, setengah memejamkan mata, saya bersandar di kursi goyang antik hadiah almarhum Syumajaya. Alangkah damai, maat, nyaman duduk rileks begitu pada Minggu pagi. Burung prenjak yang berkicau semangkin menambah kedamaian pagi itu. Tiba-tiba … bruk-bruk-bruk … Beni Prakosa setengah telanjang lari dikejar-kejar Mr. Rigen. Saya gragapan, tergagap dari setengah tidur saya. Sialan. Sontoloyo. Trembelane! “He .. he .. he ..!! Mandeg! Berhenti!” Kedua anggota staf itu pun berhenti dan berdiri bagaikan tikus. Tahu Pak Ageng sedang tidak berkenan di hati. “Tidak tahu ini Minggu pagi, hah?



365



Semua mesti tenang! Tidak boleh ganggu Pak Ageng. Pak Ageng mau istirohat!” Beni Prakosa meskipun takut, matanya yang besar-besar seperti kelereng itu masih sempat melirik ke ayam panggang yang tergeletak. “Heitt! Karena kamu sudah ganggu Pak Ageng pagi ini, tidak ada sate usus buat kamu. Out! Out!” Kedua anak beranak itu pun kluncrutkluncrut pergi ke belakang. Saya meneruskan liyer-liyer saya di kursi goyang. Angin semilir dan mestinya saya jatuh tertidur. Wong tidak lama kemudian saya melihat Mas Joyoboyo mengacungkan dada menthok panggang kepada saya sambil berteriak keras-keras, “target, target, target, target, ….”



Yogyakarta, 5 April 1988 366



Kencana Wingka Membayangkan anak kita buruk rupa, tidak cantik atau tidak ganteng, apalagi goblok dan tidak terampil adalah hal yang tidak mungkin. Kalau toh anak kita itu tidak seberapa cantik atau ganteng, tidak seberapa pinter dan cekatan kita sudah akan siap dengan penjelasan. Anak kita itu betul tidak terlalu cantik, tetapi kalau ditatap lama-lama kok kelihatan sedep. Anak kita itu memang tidak ganteng, tetapi entahlah kok kayaknya dia itu ada sesuatu yang menarik. Mungkin itu yang disebut sexy barangkali. Anak kita itu rapornya ya cuma pas-pasan, rata-rata enam saja, tetapi nanti kalau kerja di masyarakat dia akan sukses memimpin masyarakat. Wong dia selalu aktif di OSIS dan jadi maskot drumband „tu. Anak kita itu ….. dan selalu saja akan ada penjelasan tambahan dari kita. Wong 367



anak, je! Sejelek-jelek anak, wong anak, je! Orang Jawa, suku bangsa yang selalu siap dengan segala peribahasa dan umpamaan untuk melindungi kekurangannya, menciptakan istilah “kencana wingka”. Kencana adalah emas, wingka adalah pecahan genteng. Bagi kita dia tetap kelihatan kemilau bagaikan emas. Opo ora hebat?! Begitulah pada musim NEM dan Sipemnaru ini. Wingka-wingka itu semakin tampak kemilau bagai emas 24 karat. Wong anak, je! Pada waktu mereka begadang mencicil belajar sampai pagi, kita akan sebentar-sebentar melongok ke kamarnya, atau kalau mereka tidak punya kamar sendiri, menatap dari kejauhan. Hati mongkok. Anakku belajar tenan, lho! Hati terharu. Anakku prihatin tenan, lho! Dan para orang tua yang alim dan saleh pada lebih rajin lagi bersembahyang. Dan para orang tua yang berolah kebatinan 368



tan kendat mengucapkan “rahayu”, mungkin akan topo ngrowot, hanya makan ubi-ubian. Semuanya demi suksesnya wingka-wingka kita. Tetapi, pada waktu anak-anak kita datang melapor dengan muka berkabut, kita tahu ada sesuatu yang tidak benar. “NEM saya ancur-ancuran, Pak, Bu.” “Ahh, mosok? Keliru kali?” Hati deg-degan, tetapi masih belum percaya membayangkan kencana kita hancur berantakan bagai sebuah wingka. Waktu angka-angka NEM itu, dengan jelasnya mblungker-mblungker di depan kita, tahulah kita bahwa NEM-nya hancur beneran. Hati orang tua angles, tetapi darah mulai mendidih. Bagaimana bisa. Angka-angka di rapor „kan lumayan bagus, kok, NEM-nya ancur-ancuran. Gurunya pasti tidak beres, nih. Guru sekolah lain yang memeriksa ujian pasti 369



tidak fair. Guru-guru itu pasti mau minta sogok. Waktu akhirnya hati sudah tenang, darah sudah mendingin, kita juga melihat bahwa mungkin pertanyaan-pertanyaan itu memang terlalu sukar buat anak-anak kita. “Tidak apa, Le, nDuk! Ayo cancut taliwanda. Tiwikrama! Kita bikin revenge nanti waktu ujian Sipenmaru. Mosok …… “ Dan wingka-wingka itu kelihatan seperti kencana lagi. Sipenmaru pun lewat. Anak-anak datang lagi dengan muka berkabut. Wah, jangan-jangan revenge mereka seperti revenge-nya PSSI terhadap kesebelasan Jepang. Keok lagi. “Sipenmarunya ancur-ancuran, Pak, Bu. Matematika dan Fisika hangudubillah setan sulitnya ..” “Ahh, mosok? Keliru kali?” 370



Hati para orang tua angles lagi. Darah mendidih lagi. Penanaman modal selama dua belas tahun begitu saja harus menguap bagai embun di pagi hari? Tidak! Wong anak, je! “Tidak apa, Le, nDuk! Ayo cancut taliwanda. Tiwikrama! Masuk universitas swasta! “ Waduhh, universitas swasta? Segera angka-angka jutaan menari-nari di depan kita. Bagaimana akan mampu kita membayar semua itu? Kita suruh kerja saja anak-anak kita itu? Jadi apa? Pelayan toko, kenek kol, satpam, jongos restoran, pengintil turis, asisten bong supit, jual ronde dan bakso … Uwahh, ternyata banyak juga, lho, lapangan kerja menganga di pasaran. Tidak apa, Le, nDuk, tidak boleh masuk universitas negeri. Wong itu nanti kabarnya cuma buat anak-anak 371



cemerlang dan cemerling, kok. Kau tidak, kan? Baiklah dicoba masuk universitas swasta. Don’t worry yang jut-jut itu! Kepala akan kita jadikan kaki, kaki akan kita jadikan kepala. Gulung koming, matimatian cari duit seperti buto Sriwedari. Dan kalau yang jut-jut itu tidak nyampe, yang sabar ya Le, ya nDuk. Atau sementara kerja jadi pelayan toko, kenek kol, satpam, pengintil turis, asisten bong supit … Wahai, wingka-wingka yang tercinta, bagi kami kalian tetap kencana yang terus berkilau! Catatan Admin : NEM : Nilai Ebtanas Murni Sipenmaru : Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Yogyakarta, 30 Juni 1987



372



Never On Sunday BEBERAPA tahun terakhir ini kondisi kesehatan saya kurang begitu prima. Dokter menasihati agar saya lebih santai. Umpama mobil begitu, saya tidak bisa lagi digenjot di atas 100 kilometer sejam. “Jangan ngoyo, Pak. Nanti cepat tua, lho!” “Yak, dokter ini kok klise begitu. Mbok yang lebih orisinil, Dok, nasihatnya …” “Baik! kalau you begini terus …. nggak tahu, deh!” “Yaa, masih ucapan klise, Dok. Tapi bolehlah, setidaknya lebih jelas. I get your message, Doc!” “Kalau puasa sekuatnya saja dulu. Pokoknya jangan ngoyo!” 373



Kali ini saya tidak lagi ngeledek “tidak orisinil”. Karena nasihatnya sangat kreatif, lagi relevan dengan rencana bawah sadar saya. (Menurut Freud, bawah sadar memang punya rencana, kok!). Rencananya, ya itu! Tahun ini bulan Pasa 1987, atau bulan Romadhon 1407 Hijriah, saya tidak akan mampu puasa penuh karena menurut roso tubuh saya akan nglemprek, loyo, kalau dipaksa puasa penuh. Lha, kok dokter memerintahkan pas seperti yang dimaui bawah sadar saya. Maka saya memutuskan untuk tidak akan puasa pada setiap hari Minggu. Tiba-tiba saya ingat nama yang bagus untuk program prei puasa pada tiap hari Minggu itu, Never on Sunday. Bagi mereka yang sebaya dengan penulis kolom ini mungkin masih ingat bahwa Never on Sunday adalah judul sebuah film yang pada permulaan tahun enam 374



puluhan sempat terkenal. Film itu disutradarai oleh Jules Dassin dan dibintangi oleh Merina Mercouri, aktris Yunani yang konon sekarang menjadi menteri kebudayaan di negerinya. Yang penting bagi saya bulan filmnya karena saya sudah banyak lupa adegan-adegan ceritanya. Yang penting peristiwa pemutaran film itu dengan saya. Lho?! Bukan nyombong „nih ye. Saya nonton film itu di New York dengan Bung Karno, Pak Ali Sastroamidjojo, salah seorang tokoh NU yang saya lupa namanya dan D.N. Aidit. Pada waktu itu Bung Karno datang dengan delegasi besar dan kami para mahasiswa dikerahkan untuk meladeni bapak-bapak itu. Pekerjaan con amore alias gratisan (waktu itu kita belum memasuki era honorarium …) tetapi yang sangat membanggakan hati. Bayangkan pada malam hari kita piket di Hotel Waldorf Astoria. Dan bila Bung Karno berkenan melihat film kita semua diajak. 375



Wah, mongkok-nya hati ini, lho! Rombongan Indonesia itu datang terlambat di gedung bioskop itu. Terpaksa penonton bule-bule Amerika itu menunggu kita. Dan waktu Bung Karno tampil di balkon memberi salam kepada semua penonton (hallo, … hallo …!) kayak gedung itu di Gedung Kesenian Pasar Baru jakarta dan penonton pada bertepuk tangan, wah, banggaku! Presidenku jan hebat tenan …! Pada Sunday pertama saya mulai programku itu terasa nikmat betul. Bangun pukul 8 pagi, secangkir kopi susu, roti bakar dengan dilepot selei setroberi cap hero, koran KR Minggu, kaki metangkrang di meja. Uwahh, laras banget. Tiba-tiba … penggeng eyem, ….. penggeng eyem …. “Panggange, dipundhuti, Den?” Hlaadalahh! Mas Joyoboyo begitu saja 376



sudah nglesot di lantai di bawah kursi malas saya. Dan rite de panggang ayam dibeber pun begitu saja dimulai. Karuan saja saya jadi kelabakan, malu ketahuan tidak puasa. Repot nih! Apakah mungkin wong Klaten ini akan mengerti kalau saya terangkan makna program Never on Sunday, dan kenapa dipilih kode Never on Sunday. “Lho, mboten siyam to, Den?” Belum sempat saya menemukan katakata penjelasan yang tepat ….. “Saya juga tidak pasa kok, Den. Wong saya mesti menjaja ngalor-ngidul, ngetan bali ngulon, cari makan buat anak ini. Mosok Gusti Allah tidak paring ampun, nggih, Den?” Saya Cuma bisa menggut-manggut tanpa teges, mulutku masih belepotan selei setroberi. 377



“Apalagi menurut Den Bei Curiga Naraka, sing penting itu batine kalau pasa, Den. Kalau batine resik dan kuat, lha, … mbok minum es kopyor ditambah bistik komplit dikunyah nyas-nyis-nyus waktu pasa siang bolong begini ya tidak apa-apa, Den. Mak legenderr … masuk mulut tapi tidak terasa makan. Itu, Den, menurut Den Bei Curiga Naraka pasa kelas paling tinggi …” “Sudah … sudah … sudah … Ini uang panggang ayam. Sampeyan lekas pergi sana meguru sama Den Bei sampeyan!” Saya masuk kamar mencoba membaca. Edan tenan! Minum es kopyor tidak terasa minum, makan bistik tidak terasa makan. Edan …! Dari kamar terdengar jauh Mas Joyoboyo menjaja, penggeng eyem … penggeng eyem …. Suaranya cempreng. Senja mulai turun. Langit merah 378



campur lembayung. Sirene mengaung terdengar berbareng dengan adzan maghrib menembus sungai dan pohon randu alas. Nglangut dan adem benar kedengarannya. Di kamar makan saya lihat dari jendela luar, Beni Prakosa, -anak Rigen, pembantu rumah saya- menyalami Rigen dan ibunya (Nansiyem Rigen). “Selamat buka, Pak. Selamat buka, Bu.” “Iya, Le. Terima kasih, ya. Kita samasama makan kolak ya, Le.” Di dalam, sehabis makan malam Rigen bertanya, “Besok hari Senin, Bapak puasa, to?” “Ya … ya … yaaa ….. Allahumaghfirli, Tuhan ampunilah aku …..” Yogyakarta, 19 Mei 1987 379



Melik Nggendhong Lali NAMA lengkapnya panjang sekali. Teguh Budi Santosa Resik Bawa Laksana. Tentu tidak seorang pun dari saudara dan kawan-kawannya pernah memanggilnya dengan nama lengkap. Untuk menghemat nafas, kami setuju untuk memanggilnya cukup dengan „Mas Guh’ saja. Dia adalah ipar dari sepupu mertua perempuan saya. Orang Jawa, yang kadang-kadang memang ruwet sistem kekerabatannya, tidak terlalu mementingkan lagi bagaimana orang seperti Mas Guh ini mesti didudukkan dalam bagan pohon kekerabatan kami. Maksud saya bagaimana Mas Guh itu seharusnya dipanggil. Mestikah saya dan sistri saya memanggilnya dengan Oom, Pakde, Paklik atau bagaimana. Dan anakanak kami mesti memanggilnya dengan 380



Eyang atau mBah Guh? Oh, repot. Yang bernama Mas Guh itu masih muda. Baru kira-kira empat puluh lima tahun umurnya. Tinggi semampai, gagah, rambut berombak, kulit coklat matang, matanya serasa mau membujuk. Lha, mulutnya, begitu sensuous-nya. Kalau menurut anak saya, si Gendut, Oom Guh itu hensem, tubuhnya sangat mbody, dan senyumnya seperti Robert Redford – kayak mau menahan sakit tapi nggak jadi. Ya sudah. Lalu mesti dipanggil bagaimana Teguh Budi Santosa etc, itu?! Maka kembalilah kami serumah memanggilnya dengan „Mas Guh’ dan bagi anak-anak „Oom Guh’. “Ahh, sing penting dia itu sedulur dhewek. Sing luwih penting lagi kabeh sedulur kudu rukun.” Begitulah mBah Putri saya menasihati kami semua. Nah, itulah kata kuncinya, rukun. Dan bagi jaringan keluarga kami 381



yang memang selalu rukun tidak ada masalah untuk tidak rukun dengan Mas Guh sekeluarga yang simpatik itu. Dan ternyata kesediaan keluarga Mas Guh untuk berukun-rukun itu juga diperluas dengan sifatnya yang luwes, soepel, suka berhandai-handai dengan anggota jaringan keluarga yang mana saja. Dan yang lebih penting lagi, Mas Guh itu juga amat murah hati. Loma bin blaba. Setiap tarikan arisan keluarga atau rapat trah di rumahnya selalu didatangi lengkap oleh semua anggota. Menunggu hari-H arisan itu seperti menunggu datangnya pesta perayaan kawain perak saja. Habis bagaimana tidak begitu, untuk arisan begitu saja, keluarga Mas Guh pesan dari catering yang terbaik di kota. Dan jumlahnya selalu berlimpah hingga kami yang datang selalu mendapat pembagian oleh-oleh sisa makanan arisan itu. Untuk anggota 382



jaringan trah kawulo negeri yang jarang menikmati kemewahan seperti itu, tentulah kesempatan seperti itu welkom. Lha, untuk anak-anak remaja putri kesempatan arisan di rumah Mas Guh itu juga merupakan kesempatan yang bagus untuk menguras isi lemari pakaian anakanak remaja putri mereka. Entah bagaimana, setiap arisan begitu kok selalu saja ada lemari remaja putri yang siap sedia untuk dikuras, lho. Mungkin berhari-hari sebelumnya Mas Guh anak beranak memang sudah membuat inventaris pakaian anak-anaknya. Mana yang dapat dilepas, mana yang tetap tinggal di lemari. Sedang yang masih baru, maksudnya baru dari Singapur atau Hong Kong disimpan di lemari lain. (Ahh, tetapi ini tentu imaji saya saja). Apa pun, pokoknya, arisan di keluarga Mas Guh adalah hari yang menyenangkan buat kebanyakan anak-anak perempuan keluarga trah. Tetapi juga buat ibu-ibu 383



anggota trah. Kalau ada arisan-arisan lain kesempatan kumpul begitu dipakai untuk saling menjajakan pakaian dan pinjam meminjam uang, tidak pada arisan di rumah Mas Guh. Di rumah itu, arisan itu berfungsi sebagai Bank Dunia. Ibu-ibu akan datang kepada Mas Guh beserta ibu, yang akan dengan penuh simpati, mendengarkan proposal pembangunan yang canggih tapi tidak tertulis itu. Biasanya setiap proposal itu gol, diluluskan, tanpa bunga, tanpa batas waktu. Bank Dunia mana yang bisa murah hati seperti itu?! “Wahh, Mas Guh, mBakyu Guh, matur nuwun sanget, lho. Sudah ditolong. Kalau tidak ada Mas dan mBakyu ….. “ Atau bagi mereka yang belum dapat mengangsur hutang, “Aduhh, Mas Guh, mBakyu Guh, nyuwun duka, maaf seribu maaf, belum 384



dapat mengangsur. Habis, bulan ini si Gendhuk lan Thole …. “ Atau kadang-kadang laporan yang lebih dahsyat lagi, “Ketiwasan, Mas Guh, mBakyu Guuhh. Proyek kami bangkrut. Modal kami ludes. Habis, saingan sama modal non-pribumi …. “ Mas Guh dan mBakyu Guh sama dengan waktu mereka mendengarkan proposal para nasabah trah, tetap simpatik, tetap tersenyum. “Wis, wis, … ora papa, ora papa. Kami mengerti. Kami akan sabar menunggu sampai kalian sanggup. Kalau akhirnya tidak sanggup, yo ora papa, ora papa. Wong rejeki kami kan rejeki paringan. Kalau tidak sumrambah, merata, buat sanak sedulur, lha kan sedulur apa saya ini. Kan menurut pesan mBah Putri, sing 385



rukun, sing rukun …. “ Akan tetapi namanya cakra manggilingan, sang roda waktu, kok ya berputar ke bawah. Dan itu ditandai dengan berita di koran pagi itu. Cilakanya yang melapor lebih dulu, kok ya Mr. Rigen. “Ini lho, Pak. Kabar rame. Pak Guh terlibat korupsi sak miliar … “ Cepat-cepat koran saya rebut dari tangannya. Astaga. Memang di situ diberitakan Dr. Tgh. Bst. Rsk. Bwlksn, M.Sc, ditahan untuk dimintai keterangan tentang uang proyek yang ketlisut sebesar satu miliar rupiah. “Ini kan betul Pak Guh, nggih Pak? Wahh, tidak nyana, tidak ngimpi, nggih Pak … “ “Wis, wis, kau urus uang proyek 386



belanjaan pasarmu sana dulu!” Keranjingan! Mr. Rigen alumnus SD Pracimantoro pun sudah pinter membaca nama-nama yang dipendekkan di koran. Lha, skandal koran mana lagi yang tidak akan dia ketahui. Saya terhenyak duduk di kursi malasku. Juga tidak nyana dan tidak ngimpi. Wah, bagaimana orang sekaya dan sebaik begitu sampai menlisut uang sak miliar. Saya mesti pergi ke rumah kawan wartawan yang bekerja di koran itu. Aku butuh info lebih banyak tentang Mas Guh. Dan info dari kawan wartawan itu lebih membuatku grogi. Bagaimana tidak. Mas Guh ternyata telah memutarkan uang itu untuk berbagai proyek spekulasi yang agaknya hancur semua. Tetapi yang lebih mengenaskan lagi proyek spekulasi itu masih ditambah dengan proyek spekulasi yang lain. Mas Guh ternyata punya tida istri lagi. Dikawin sah. Astaga! Serta merta saya ingat 387



lukisan kaca karya almarhum Pak Sastra Gambar dari Muntilan. Gambar itu menampilkan Petruk jadi raja, duduk di kursi goyang, memangku seorang perempuan, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi whiski. Gambar itu bertuliskan huruf Jawa : Melik Nggendhong Lali. Mendamba menggendong alpa. Sayang lukisan itu saya berikan kepada seorang sahabat di Jakarta. Siapa tahu kalau dulu saya hadiahkan ke Mas Guh, ada pengaruhnya. Tetapi .. yahh, siapa nyana, siapa ngimpi ….. Di Jakarta semua anggota keluargaku sedih mendengar laporanku. Masingmasing terdiam dengan kenangannya sendiri tentang Mas Guh. Mungkin buat istri saya, dia dikenang sebagai sedulur yang pernah memberi oleh-oleh tas Etienne Aigner, dan bagi anak-anak saya sebagai Oom yang ngganteng, yang 388



senyumnya bagaikan senyum Robert Redford yang aneh, yang bodynya sangat mbody. “Tapi korupsi kan nggak buat dia sendiri, Pak. Rejekinya dibagi-bagi kan? Buat tolong sanak sedulur, kan Pak?” Saya tidak mendengar apa-apa lagi. Mungkin saya masih grogi dan bengong. Akhirnya, aneh sekali, saya cuma bisa bergumam kepada anak istriku. Wis, wiss … ora papa, ora papa, ora papa, ora ….. “



Yogyakarta, 4 Agustus 1987



389



Sekaten Telah Lampau SEKATEN telah lampau. Seperti tahun lalu, tahun ini saya tidak sempat menengoknya. Pekerjaan mondar-mandir Yogyakarta-Jakarta, pekerjaan rutin di kampus selalu saja menunda keinginan untuk pada satu malam jalan-jalan ke alun-alun menyaksikan ombyaking kawula Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan solidaritas mereka. Solidaritas? Solidaritas kepada siapa? “Mister Rigen, kemarin kalian nonton Sekaten berapa kali?” “Tiga, eh, … empat kali, Pak.” “Wehh, kok bolehnya katog!” “Lha, yang dua kali sama bune Beni, thole Beni, mengantar simbok sama Madam. Kalau cuma sekali mengunyah 390



sirih di gapura mesjid, simbok sama Madam tidak puas itu, Pak. Menurut mereka, kalau mau awet muda, makan sirihnya mesti beberapa kali.” Yang dipanggil simbok adalah ibunya Ms. Nansiyem, dus ibu mertua Mr. Rigen, yang sekarang sudah berumur enam puluh tahun. Dan Madam kira-kira juga seumur itu. Sunggguh dua orang janda yang memandang kehidupan di depan dengan optimisme besar. Sembari mengunyah sirih sekali setahun di gapura masjid keraton direntangnya terus umur mereka. “Terus kamu sendiri mengunyah apa, Gen?” “Yakk, Bapak. Mosok saya ikut ngunyah sirih. Nggih mboten, Pak. Saya sama thole, nunggu mereka nglesot di tangga gapura mendengarkan gamelan Kiai dan Nyai Sekati.” 391



“Apa menurut kamu suara gamelan itu merdu, to Gen?” “Wah, kalau dibanding sama gamelan uyon-uyon ya kalah mat dan gayeng, Pak. Cuma itu lho, Pak.” “Cuma apa, Gen?” “Gamelan Sekaten itu suaranya cuma cemplang-cemplung kok bisa bikin merinding, to Pak.” “Ah, mosok. Kamu saja itu yang begitu.” “Ee, Bapak kok tidak percaya, lho! Simbok, Madam, bune Beni semua merinding lho, Pak. Dan pasti lainnya juga begitu.” Menurut Mr. Rigen gamelan Kiai dan Nyai Sekati adalah gamelan yang bukan sakbaene gamelan. Bukan gamelan sembarangan. Makanya yang 392



mendengarkan pada merinding semua. “Ning merindingnya itu merinding yang baik, lho Pak. Bukan merinding yang bikin ngeri itu.” “Lha, merinding yang yang tidak bikin ngeri itu yang bagaimana?” “Merinding yang bikin nglangut. Bikin adem dan tentrem begitu, lho Pak. Plangplung, plang-plung, ning terus mak nyes di hati dan pikiran, gitu lho Pak.” Saya membayangkan beratus mungkin beribu orang pada duduk nglesot di halaman masjid keraton, di bawah gapura, di emperan, di bawah pohon, dengan wajah entah ke mana mendengarkan suara gamelan itu dengan syahdunya. Orang-orang yang entah datang dari mana. Orang yang seperti Madam, yang meskipun belum sembuh benar dari sakitnya, memerlukan turun 393



dari desanya di Tepus nun jauh di selatan sana. Orang yang seperti simbok, yang jauh datang dari desanya Jatisrono di kawasan Wonogiri. Apakah mereka datang untuk sekadar menikmati segarnya sirih yang akan membuat mereka awet muda dan mendengarkan Kiai dan Nyai Sekati supaya hati dan pikiran jadi mak nyes seperti digambarkan oleh Mr. Rigen? Ataukah itu yang disebut daya tarik kolektif dari satu tradisi? “Lha, terus yang dua kali lagi kamu nonton sama siapa, Gen?” Mr. Rigen tertawa nyekikik secara misterius. Suaranya pun lebih rendah beberapa oktaf. “Lha, nggih niku, Pak. Saya diajak konco-konco pembantu di Sekip untuk nonton ndangdut di Sekaten. Ning janji tidak boleh ngajak konco wingking. Wee 394



… jebul edan saestu ndangdut di Sekaten itu, Pak.” “Edane? Wong ndangdut saja kok pakai edan segala.” “Hot, Pak. Hot ….!” “Huss, cah Praci wae kok tahu hot segala. Hot itu apa, sih?” “Pokokipun goyangnya penyanyi itu panas. Hot! Sangsaya dalu sangsaya hot. Mangkin malam mangkin gayeng, saestu lho, Pak.” “Terus kamu jadi merinding seperti waktu mendengar gamelan Kiai Sekati? Terus kamu nonton lagi supaya merinding lagi?” “Yahh, Bapak „ki terus begitu, lho. Tidak boleh, to Pak?” “Ya, boleh-boleh saja. „Kan kamu 395



sudah jadi orang. Itu hak kamu untuk milih hiburan. Mana saya berani nglarangnglarang kamu. Asal tugasmu beres, tidak bikin repot dan susah orang lain dan yang penting tidak dikrawus istrimu, pipimu yang peyot itu. Ongkos jahitnya itu lho, Gen, yang mahal … “ “Yang nonton itu bukan cuma barisan batur seperti saya dan konco-konco itu, lho Pak. Banyak priyayinya juga. Mahasiswa, pelajar, malah bapak-bapak dosen dan pegawai saya lihat juga pada nonton itu, Pak.” “Lha, mereka „kan ya manungsa kayak kamu to, Gen. Masak cuma kamu yang boleh merinding lihat ndangdut Sekaten?” Saya membayangkan berpuluh, beratus orang pada duduk terdiam menghadapi panggung. Wajahnya terpaku pada sang primadona yang menggoyangkan pinggulnya. Bajunya 396



aduhai tipisnya. Mungkin yang paling brukut pada tubuhnya hanya sepatu laars-nya yang tinggi hingga lutut. Bunyi seruling, gendang dan mungkin juga tabla yang mak nduuttt semangkin membuat goyang sang primadona semangkin seser. Wajah-wajah penonton melongo, mulut ndoweh, iler netes, kalamenjing alias jakun naik-turun dalam frekuensi yang meninggi. Siapakah mereka itu? Dan para penyanyi, penari dan pemusik ndangdut itu? Saya tidak dapat memastikan meja prasmanan yang bagaimana gelanggang alun-alun Sekaten sekarang ini. Hidangan gamelan Sekaten itu di sebelah timur dan hidangan ndangdut hot di sebelah barat. Penikmatnya ada yang menyantap dengan memilih. Tetapi tidak kurang juga seperti angkatan Mr. Rigen yang tampil sebagai penikmat ulang-alik dan merasakan hidangan-hidangan itu sama nikmatnya. Sama merindingnya. 397



Sampai jumpa di Sekaten yang akan datang. Apakah simbok dan Madam akan turun lagi dari Jatisrono dan Tepus untuk makan sirih dan liyer-liyer menikmati merindingnya gamelan Kiai dan Nyai Sekati? Apakah Mr. Rigen masih akan sabar dan telaten menggiring kerabatnya itu ke bawah gapura masjid? Atau Mr. Rigen akan lebih betah lagi menonton ndangdut Sekaten? Dan barisan pemusik, penyanyi dan penggoyang pinggul itu akan lebih besar dan lebih berani? Eh, ngomong-ngomong, berapa ya keuntungan bersih pasar malam Sekaten tahun ini ……



Yogyakarta, 10 Nopember 1987



398



Musim Bal – Balan Pagi-pagi sesudah menonton kesebelasan Uni Sovyet menghancurkan kesebelasan Italia, Mr. Rigen sembari menata meja untuk sarapan pagi mengomel, “Mbok PSSI itu kalo bal-balan seperti londo-londo Eropah itu, lho. Bal-balan kok kakinya pengkor semua. Lawan kesebelasan Pracimantoro saja belum tentu menang …” Saya yang sudah mandi dan siap untuk mulai dengan ritual makan pagi, rada kaget mendengar pengantar makan itu. Saya lihat Mr. Rigen masih agak bintit matanya karena nonton pertandingan Uni Sovyet lawan Italia, dan pagi-pagi sekali sudah harus bangun menyapu lantai dan menyiapkan sarapan. 399



“Kamu itu pagi-pagi kok mendahului sarapan saya dengan penggerundelan bal-balan. Ada apa to, Gen? Kamu kalah taruhan?” “Ha, inggih mboten, Pak. Saya itu cuma ngungun, terheran-heran, lihat PSSI dilalap Korea empat nol. Sekali jebol kok terus mreteli tanpa bisa melawan apa-apa. Dan lawan Korea, kita itu kok kalah terus to, Pak.” “Kalah awu barangkali, Mister.” “Awu napa? Wong tidak ada hubungan darah sama mereka kok ada hubungan awu. Lha, nek badminton kalah sama RRC, nah itu ada hubungan awu.” “Elhoo, Gen. Kamu itu bicara apa? Kok terus mrembet-mrembet soal badminton sama RRC?” “Ha, inggih to! Cina peranakan itu kalo ketemu Cina daratan Tiongkok sana rak 400



jadi kalah awu to, Pak? Kalah tua! Lha kalah badmintonnya, wong takut kuwalat ..!” “Huss … huss … Kamu itu kalau ngomong mbok jangan begitu. Semua pemain badminton kita itu warga negara Indonesia. Ya kayak kamu, kayak saya. Sama haknya, sama kewajibannya. Lha, siapa tahu to, Gen, kamu dan saya itu dulu-dulunya ada juga kecipratan darah campuran Cina, Arab atau India. Terus hubungan awu-nya bagaimana? Rak kacau to?” Mr. Rigen tertawa nyekikik. “Pak Ageng, Pak Ageng. Yang mulai ngendika awu tadi itu siapa? Rak panjenengan to, Pak?” “Ya sudah, saya ngaku salah sudah mulai. Ayo, sambil ngatur makan pagiku, kamu teruskan penggrundelanmu tentang 401



bal-balan.” Dengan kegesitan seorang pelayan restoran profesional, Mr. Rigen cak-cek mengatur blocking piring, gelas, wijikan, sendok-garpu, lauk-pauk serta nasi yang sesungguhnya sisa-sisa makan malam sebelumnya. Meski sisa-sisa begitu, karena dihangati lagi dan diatur dalam ngelmu tata meja yang canggih, sarapan pagi di rumah saya selalu tampil indah menggiurkan, tidak kalah dengan yang disajikan oleh majalah Femina atau House and Garden. “Begini lho, Pak. Saya itu ngungun kok bal-balan dan badminton kita itu kayaknya tidak maju-maju. Wong tiap tarikan porkas*) saya ya ikut nyumbang, lho. Gek uang sak pethuthuk banyaknya itu apa ya masih kurang saja untuk menaikkan mutu mereka, Pak?” Saya terdiam. Ini pertanyaan klise 402



yang sehari-hari sudah kita dengar tentang kegagalan pembinaan olah raga kita dan tentang hubungannya dengan porkas. Apalagi kalau itu ditambah dengan jumlah penduduk kita yang lebih seratus juta orang dibandingkan dengan negera Eropa yang hanya dua puluh hingga tiga puluh juta orang itu. Juga kalau ditambah lagi dengan keluhan dari para mantan pemain sepakbola atau olah-ragawan tempo doeloe. Yang membandingkan bagaimana mereka dulu lebih idealis, tidak materialis dan lebih gembira dalam melakukan olahraga ketimbang para atlet sekarang. Wah, saya tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Masing-masing pertanyaan dan keluhan itu ada benarnya, akan tetapi juga tidak dapat begitu dijadikan alat penjelasan yang mutlak memuaskan. Dana yang digrujuk banyak-banyak 403



memang tidak menjamin mutu bal-balan otomatis naik. Akan tetapi, di lain pihak, kesebelasan-kesebelasan terbaik Eropa itu memang selamanya didukung oleh grujukan dana yang banyak. Dan jumlah penduduk yang banyak dari satu negara memang juga tidak menjamin kualitas tinggi dari negera tersebut. Tetapi jumlah penduduk yang banyak, di lain pihak, akan selalu lebih siap memberi cadangan sumber daya manusia. Yang jelas dana yang banyak memang bisa menjadi modal yang menguntungkan. Kalau modal yang menguntungkan itu tidak bisa menggerakkan, mengembangkan dan menaikkan kualitas ketrampilan dan kecakapan manusia, lha mestinya manusianya yang mesti menggerakkan. “Lha, inggih niku lho, Pak. Saya mau bilang manungsa-nya yang menggerakkan itu yang bento kok tidak tegel. Wong saya ini cuma tamatan SD 404



Pracimantoro. Tapi dibilang pinter wong nyatanya ya mutunya merosot terus.” Saya tersenyum mendengar itu. “Dan niku lho, Pak. Pemain-pemain kita itu kalo bertanding kok kelihatannya ngoyo, tegang, kenceng tapi tidak seneng dan tidak gembira hatinya. Mungkin itu juga yang menyebabkan mereka kalah terus lho, Pak.” “Apa pemain londo-londo itu tidak ngoyo dan kenceng begitu, Gen?” “Mereka itu srius … “ “Apa?” “Srius! Srius, … srius!” “Ohh … serius. Se-ri-us.” “Lha, inggih niku, srius! Mereka itu srius tapi mboten keberatan beban begitu 405



kayak pemain kita. Padahal kalo mereka mau main rilek tapi srius mungkin menang lho, Pak. Apa mungkin karena awu lagi ya, Pak?” “Lha, awu lagi. Tidak. Mungkin kamu betul, Mister. Serius tapi rilek, rilek tapi serius … “ Tiba-tiba saya jadi ingat waktu SD dulu di Solo, saya ikut dua perkumpulan balbalan. Di sekolah ikut perkumpulan O(nze) V(oetbal) C(lub) dan di kampung ikut B(romantakan) V(oetbal) C(lub). Saya menjadi pemain cadangan abadi. Tugas saya di samping jadi pemain cadangan, juga jadi tukang kepruk es prongkol yang akan dibagikan kepada para pemain waktu jeda. Es batu itu saya bungkus dalam serbet besar, lantas saya kepruk-kan ke batu besar sampai es itu berantakan. Lha, mengepruk es batu itu, seingat saya, saya laksanakan dengan serius dan rilek, dengan rilek dan serius. 406



Pruk … pruk … pruk … Dan lagu kebangsaan BVC itu, wah … canggih banget. Sola, fa, mi, sol, si, fa, sol, si, re, do … BVC, Bro-man-ta-kan Voet-bal Club, kumpulannya anak-anak muda … “Pak, nanti sore saya nyuwun pamit.” “Lho, mau ke mana kamu?” “Lha, saya di-bon kesebelasan Pogung mau pertandingan sama Blunyah Cilik …“ “Ya, boleh. Tapi mainnya yang rilek dan serius lho, ya! Jangan kayak PSSI … “ “Wooo … tanggung main kulo mirip Rut Gullit. Setidaknya ya dekat-dekatnya Marko pan Basten.” Saya sudah siap untuk pergi ke kantor untuk berdikusi soal bal-balan lagi …. Yogyakarta, 28 Juni 1988 *) Porkas : lotere nasional dng dalih untuk sumbangan olahraga 407



Sore-Sore Tentang Gusti Allah Sore-sore sepulang saya dari Jakarta dan Padang, Mr. Rigen menunggu saya minum teh dan nyomot pisang goreng panas. Upacara sore begitu sering kali memang saya rindukan setiap kali saya harus lama meninggalkan Yogya. Ada suasana yang khas pada sore-sore begitu. Suasana yang tidak dapat digambarkan atau ditulis secara pas. Wong soal roso, kok! Setangkas-tangkas seorang penulis tidak akan mungkin ia akan memiliki cukup peluru kata-kata untuk bercerita tentang suasana sore dengan teh panas kenthel dan pisang goreng yang mangetmanget. Ya, pokoknya maat dan laras. Mungkin Anda akan bertanya apakah di Jakarta, di mana saya justru direriung keluarga tidak saya temui suasana maat dan laras begitu? Wooo … lain! 408



Di Jakarta, istri baru pulang menjelang maghrib dari rutin kerja kantor. Si Gendut, mahasiswi metropolitan masa kini, entah di mana sore-sore begitu. Entah belum pulang dari ngobrol di rumah temannya, jogging keliling kompleks, pokoknya embuh di mana, dia selalu punya acara sendiri. Suasana kumpul itu baru datang di sekitar meja makan pada malam hari. Sore memang jarang hadir di rumah saya di Jakarta. Kecuali pada hari Minggu dan hari libur. Sore-sore, agaknya memang milik kota yang masih adem ayem di pedalaman. Kota yang pada pukul dua siang tidur. Yang toko-tokonya setengah terbuka setengah tertutup pada jam-jam siang begitu. Sore-sore memang sekatan waktu yang indah antara siang dan malam. Sehabis menggeliat sesudah tidur siang, belum siap untuk mandi sore dan mikirmikir mau apa pada malam harinya. Sore 409



memang zona yang akan aman untuk menampung itu semua. Di luar negeri pun tidak ada suasana sore-sore begitu. Sore kadang lenyap begitu saja ditelan malam pada musim dingin. Atau tidak jelas batasnya pada hari-hari panjang di musim panas. Pokoknya sore-sore milik kota seperti Ngayogya inilah. “Wah … pripun, Pak?” “Pripun lagi. Mbok sekali-sekali mulai dialog itu tidak dengan pripun.” “Lha, memang batur itu kan perbendaharaan kata-katanya terbatas to, Pak. Di ketoprak-ketoprak dan dagelandagelan itu batur kan ya mulai dengan pripun to, Pak.” “Huss … kok semangkin nekat, lho.” “Ha …inggih. Pripun itu cara wong cilik bertanya pada para pemimpinnya.” 410



“Ya, sudah. Silakan pripun!” Mr. Rigen meringis. Tahu bahwa diamdiam majikannya selalu kagum akan ketangkasan pokorolannya. “Pripun, Pak? Jago-jago Bapak kok keok semua!” “Jago apa?” “Persija, keok. Pak Ngalmus dobel keok!” Saya jadi mak sengkring mendengar pertanyaan atau malah ledekan Mr. Rigen itu. Saya sudah mencoba melupakan semua itu, kok ini malah digugat lagi. “Yaaa … kadang-kadang dalam hidup itu, Gen, orang tidak dapat terus-terusan berhasil. Kadang-kadang perlu juga keok itu. Ada hikmahnya, Gen, keok itu.” “Yakk … Bapak kok terus jadi lebih tua 411



begitu, lho.” “Lha, terus maumu apa, Gen? Wong kenyataannya Persija ya kalah tenan. Pak Ngalmus ya belum berhasil lagi jadi menteri. Mau apa, mau apa?” “Ya, betul itu memang kersane Gusti Allah. Yang saya herani, kok Persebaya diparengke menang, wong sudah pernah urikan main sabun. Dan Pak Ngalmus yang sudah ngetok semua usaha bertahun-tahun kok ya belum diparengke Gusti Allah jadi menteri, lho.” “Ya, mana kita tahu, Gen. Pokoknya apa yang digariskan Yang Kuwasa itu mesti ada maksudnya. Mesti baiknya.” “Yakk … Bapak itu kok terus tiru-tiru kami wong cilik, lho. Kalau tidak paham, sudah buntu, larinya ke Gusti Allah. Buat ngayem-ayem, menenteramkan hati. Saya itu mohon penjelasan lho, Pak.” 412



Saya jadi judeg. Kenapa wong cilik seperti Mr. Rigen itu suka menuntut yang angel-angel dari kami kaum pemegang kekuasaan. Kami power elite. Keranjingan tenan! Mbok ya sudah nrimo saja dengan keterangan yang seadanya, yang masuk akal. Lagi pula apa kersanya Gusti Allah itu hanya untuk wong cilik saja? “Gen! Gusti Allah itu kalau kagungan kersa buat kita semua. DIA yang menentukan Persebaya menang. Yo wis. DIA menetapkan Pak Ngalmus belum boleh jadi menteri. Yo wis. Diterima saja.” “Wah … kalau begitu saya dak main sabun dalam bal-balan lawan Blunyah Cilik minggu depan. Biar Jetis terpelanting masuk kotak. Paklik saya di Praci dak suruh lenggang-kangkung saja, tidak usah kasak-kusuk untuk jadi lurah. Nanti kan kejatuhan pulung sendiri.” Sehabis ngomong begitu, mak brebet 413



Mr. Rigen pergi ke belakang. Saya mengelus dada. Weh … sering kali sulit juga nyrateni, momong kemauan wong cilik! Selalu butuh penjelasan yang memuaskan. Tetapi permintaannya sering sulit-sulit. Kayaknya kami kaum power elite hasumadya dengan penjelasan yang memuaskan. Kalau kami sendiri hilang akal dan mau lari ke Gusti Allah dimarahi. Kayaknya cuma mereka yang punya Gusti Allah. Wee … lha, trembelane tenan! Tetapi sesudah saya merenung sebentar, saya kok jadi tersenyum. Lha, kalau mereka wong cilik tidak mengklaim Gusti Allah sebagai milik mereka, punya apa lagi mereka?



Yogyakarta, 29 Maret 1988



414



Mudik Lebaran dan Rigenomics MUSIM semi datang bagai seekor singa, kata penyair T.S. Elliot. Tetapi lebaran datang bagai air bah, kataku. Pengeluaran dan pengeluaran itu lho, yang datang bagai air bah. Gaji para anggota kitchen cabinet alias kanca wingking mesti dibayar dobel. Lebaran kok! Pakaian lengkap dari atas ke bawah bagi mereka juga kudu dibeli. Lha, lebaran je. Dan di atas semua itu para anggota kabinet tersebut tentulah membutuhkan masa reses juga. Sama seperti anggota DPR yang sudah sekian bulan mengantuk di ruang besar yang ber-air conditioning membutuhkan udara luar yang segar sambil meninjau kebutuhan rakyat di tanah akarnya, begitulah para kanca wingking. Mereka butuh reses sesudah 415



setahun penuh (dan di sini mungkin mereka agak berbeda dari anggota DPR) bekerja keras mengabdi para bendoro (yang kadang-kadang ada yang mau dipanggil Pak atau Bu). Mereka butuh mudik untuk reriungan dengan jaringan keluarga mereka, yang entah berapa kompi besarnya, bila datang berkumpul di rumah leluhur mereka di desa. Jaringan yang antara bulan Syawal yang satu dengan Syawal yang lain ada dalam kondisi cerai-berai, tersebar ke manamana. Tetapi, pas pada dua hari riyaya itu, jaringan itu akan terpaut kembali menjadi satu jagat yang utuh, hangat dan bersemangat, mangan ora mangan waton kumpul. Lha, wong lebaran, je! Maka, karena itu tradisi reses itu kudu diberikan. Pengeluaran lagi! “Mau mudik berapa lama?” “Seminggu saja, nDoro Putri.” 416



“Edann, kowe! Seminggu?! Jadi aku kau suruh nyuci piring dan nDoro Kakung ngangsu air, kasih makan dan ngguyang si Bleki selama seminggu lamanya, hahh?! Ora! Tiga hari saja!” “Waduhh, mbok kasihan sama simbok dan bapak saya, nDoro. Sudah setahun tidak ketemu. Kangen, nDoro.” “Ya, wis. Lima hari, tidak boleh lebih. Awas kalau kowe pulangnya molor, dak cengklong gajimu!” “Matur nuwun sanget, nDoro! Saya akan pulang tepat!” Wajahnya menunduk gembira. nDoro Putri pun lega. Keduanya tahu, di dunia Jawa (mungkin juga di dunia mana saja), semuanya kudu ada bargaining, tawarmenawar, nyang-mengenyang. Setidaknya dulu …… Meski hidup sendiri di Yogya, jelek417



jelek saya punya kitchen cabinet. Mereka, seperti telah saya laporkan dalam kolom terdahulu, terdiri dari tiga anggota : (Mr.) Rigen, (Mrs.) Nansiyem Rigen dan (Junior) Beni Prakosa. Dan meskipun hadiah lebaran tahun ini dari fakultas semangkin mungkret (delapan belas ribu dicengklong tiga ribu buat Syawalan), karena mau solider dengan tekad yang dahsyat dari bapak-ibu di Pusat untuk hidup sederhana, saya toh tetap tak bisa lain daripada mempertahankan ritual lebaran. Dan itu „kan perlu untuk memelihara rapor dengan rakyat saya. Pakaian lengkap dari atas sampai bawah, gaji dua bulan dan menawarkan reses lima hari ke desa. Buat saya, kepergian The Rigen’s setiap lebaran begitu tidak pernah mengacaukan organisasi pemerintahan saya. Sebelum pergi, semalam suntuk biasanya mereka saya perintahkan untuk 418



mau secara sukarela (dengan ancaman sanksi secukupnya) melembur sambel goreng ati (plus pete), opor ayam, mendeplok bumbu kedele, merebus ketupat. Pagi harinya, dengan mata merah, tubuh loyo tetapi hati gembira, mereka pun meninggalkan rumah saya dengan meja makan sudah tertata rapi. Ahh, menteri-menteriku yang setia … Dan siang harinya, istri dan anak-anakku pun datang dari Betawi lengkap dengan oleh-oleh dunia metropolitan yang super canggih. Dengan sigap pula mereka akan mengambil alih semua administrasi dan bidang pekerjaan umum rumah saya. Ahh, anggota keluargaku yang efisien … “Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem dan Junior … “ Begitulah setiap lebaran saya akan menegur dengan formal sekali. “Ini baju-baju kalian. Semoga memuaskan kalian. Ini gaji dua bulan.” 419



“Matur nuwun sanget, Pak.” Pada saat begitu paduan suara anak beranak itu sangat merdunya. Tak senada pun mblero. “Lha, tahun ini kalian mau pulang berapa lama? Lima hari seperti biasa?” Diam sejenak. Mr. dan Mrs. Rigen saling berpandangan sedetik. Lantas … “Kalau boleh, tahun ini kami tidak pulang.” “Lho?! Priye karepmu?” “Terus terang ke desa Cuma habishabiskan uang, Pak.” “Lha, tentu saja uang mesti dihabiskan. Kan dibagi sama orang tua dan lain-lainnya?” “Desa cuma bikin hari sedih, Pak.” 420



“Ahh, mosok? Wong iji royo-royo. Gemah ripah.” “Yak, Bapak. Kok terus ndagel, lho!” Rupanya Mr. Rigen sudah punya perhitungan yang rapi bin njlimet. Tahun ini mereka tidak mudik tetapi cukup kirim uang ke kedua orang tua mereka. Praktis, tidak repot katanya. Kalau pulang jatah subsidi Bandes itu akan molor. Belum naik bus tiga kali plus colt. Belum muntah-muntah madam dan Junior di tengah jalan. Sudah uang mereka sudah dicengklong buat orang tua itu diharap akan dikompensir oleh persen dari jaringan keluarga saya yang diperhitungkan akan reriungan di rumah saya dan di rumah ibu saya. Kalau datang semua bisa sekitar 15 orang jumlahnya … “Coba kalau saya pulang, Pak. Bapak akan capek nyopir jip. Para putri akan 421



lecet tangannya nyuci …” Kemudian bibirnya menyungging senyumnya yang lihai. “ … dan saya akan kehilangan rejeki dari ibu-ibu dan bapak-bapak.” “Dapurmu!” Saya jenggung kepalanya alon-alon. Well, President Ronald Reagan, you may have your Reaganomics …. Tetapi di sini, I punya Rigenomics!



Yogyakarta, 26 Mei 1987



422



Sawang Sinawang Waktu Lebaran MENURUT para pengamat budaya Jawa, konon orang Jawa itu sangat mementingkan keselerasan, harmoni dan sejauh mungkin menghindari konfrontasi dan konflik. Konfrontasi dan konflik akan membuat suasana tidak laras dan tidak apik. Dan seterusnya akan membuat jagat menjadi gonjang-ganjing, unsurunsurnya pun akan mreteli, lepas satu demi satu, dan akhirnya akan berantakan jagat yang sebelumnya mengikat orangorang Jawa itu selaras dan seimbang dalam keindahan. Apakah itu berarti bahwa orang Jawa tidak pernah berani menatap muka orang? Bayangkan, satu dunia yang terdiri dari orang-orang yang membuang muka atau menundukkan kepala (dengan 423



malu-malu atau tidak) setiap bertemu muka dengan orang demi keselerasan dan keindahan. Baru membayangkan satu bagian kecil saja dari dunia orang Jawa, Malioboro misalnya, penuh dengan orangorang yang begitu sudah sulit, apalagi membayangkan seluruh jagat Jawa seluruhnya. Kalau begitu, apakah orangorang Jawa sudah menjadi tawanan kearifan pandangan hidupnya sendiri? Menjadi suku yang minggrang-minggring, terus menerus dihantui suara hati yang dengan nada serak berkata : mengko dhisik, le … ; mengko gek …, janganjangan ….! Takut atau segan bertatap muka, lebih baik minggir dan menundukkan kepala agar kemungkinan konfrontasi atau konflik dapat terus menerus diperkecil. Lantas bagaimana Mas Giman bisa mengatakan kalau Pariyem berwajah … huuhhh … menggemaskan atau Denmas Suryodicokroingjonggo dapat bilang kalau 424



Rara Lara Ireng black sweet alias ireng manis, kalau mereka terus menerus saling menghindar menundukkan kepala? Mestinya Mas Giman berani menatap (dengan kalamenjing atau jakun naik turun) muka Pariyem untuk sampai pada kesimpulan “huuhhh …” itu. Atau denmas yang namanya dapat melingkari beringin kurung di alun-alun itu pastilah pernah dengan mata membelalak mengamati gerak-gerik dan lenggak-lenggok den rara itu untuk menetap bahwa gadis yang tinggal di pojok beteng itu hitam manis. Ternyata, untuk satu jebakan filsafat hidup selalu ada semacam safety device alias alat penyelamat untuk keluar dari kesulitan kearifan pandangan hidup yang dibikin sendiri. Konon, hanya bangsa yang besar yang akan dapat secara kreatif berkelit menciptakan alat penyelamat tersebut. Dan bangsa Jawa (setidaknya dalam jumlah) adalah bangsa yang besar. 425



Ia, bangsa Jawa itu, telah menciptakan alat penyelamat tersebut. Sawangsinawang, memandang-(dan)-dipandang. Hidup itu hanya sekadar sawangsinawang kata para filsuf Jawa. Dan karena saya bukan filsuf (untuk mata kuliah yang angker itu saya hanya lulus pas-pasan), saya membuat tafsiran sendiri tentang sawang-sinawang itu. Begini. Orang Jawa sudah terlanjur menjebakkan diri dalam pegangan “keselarasan apa pun bayarannya” dan “emoh konfrontasi karena itu tidak edi peni”. Padahal alangkah banyaknya keindahan di dunia ini yang harus dilihat, ditatap dan dinikmati. Maka mesti ada akal, dong, untuk dapat keluar dari dilema tersebut. Dengan strategi “dijupuk iwake ojo nganti butek banyune”, diambil ikannya (tetapi) jangan sampai keruh airnya, digalilah dari akar budaya bangsa Jawa sendiri, pandangan hidup sawangsinawang itu. Keselrasan harus tetap 426



dijaga, konfrontasi harus tetap dihindari, tetapi nyawang, memandang dari satu jarak tertentu, ya boleh, to? Nyawang dan disawang (karena dalam jarak tertentu yang tidak terlalu dekat) berada dalam titik netral yang tidak mungkin mengundang konfrontasi dan merusak harmoni. Nah, pada hari lebaran itu (meski dianjurkan jangan) sahabat saya yang jadi petinggi di daerah ini kok nekat membuat open house. Dan yang aneh, kok saya dan istri saya berani-beraninya datang! Begitulah, pada siang hari itu kami tahu-tahu sudah berada di tengah pusaran manusia di rumah sang petinggi yang indah. Salam-menyalam, lemparmelempar senyum, rangkul-rangkulan dan tentu saja (karena modelnya begitu) sun pipi kiri dan kanan. Saling memaafkan pun bergumam di sela segala olag raga itu. 427



“Wah, hampir semua bapak-bapak pake hem ikat sutera Troso. Kau sendiri ketinggalan zaman, Pak.” Istri saya melempar kalimatnya yang pertama sesudah nyawang sekilas ke sekelilingnya. “Yo, ben.” Saya pun mulai ikut menyawang ke ibu-ibu yang pada hari itu kok pada kelihatan menor semua. “Lha, itu para ibu juga pada parade pake batik sutera Sapto, Ardianto, Iwan Tirta. Waduhh, selendangnya yang setelan klengsreh tanah. Kau sendiri yang ….. “ “Yo, ben!” Istri saya trengginas menukas hasil sawangan saya. Saya memotong, begitu tiba-tiba dia pelukan dengan grapyaknya 428



dengan seorang ibu yang sebaya dengannya. “Aduuhh, yang baru pulang dari Hong Kong dan Singapur. Mana hayoo, oleholehnya …” “Waallaahh, kok oleh-oleh. Waktu buat soping itu enggak ada!” Aku terus diewer-ewer Kangmas suruh ikut drink sini, eat sana. Sudah to, pokoknya … “mBakyu itu umpama tidak overacting kerdipan dan pacak lehernya mirip Leni Marlina, lho” “Halahh, Leni Marlina apa! Hongkong, Singapur, tapi urunan arisan sudah dua bulan belum bayar. Wong sugih kok malah …” dan seharian penuh kami pun menyawang dan menyawang segala 429



kemilau yang beredar di sekitar kita. Di rumah, di tempat tidur, saya melihat langit-langit yang sudah kusam dua ekor cicak berkejaran. Saya tersenyum masih melihat open house di rumah petinggi. “Kenapa senyum sendiri lihat cicak. Rumangsamu Prabu Angling Dharma, apa?” Saya tersenyum, nggleges. “Eee, Bu. Betul juga, ya. Hidup itu mung sawang sinawang ….” Saya menyawang Leni Marlina. Lha, istri saya menyawang siapa sekarang?



Yogyakarta, 2 Juni 1987



430



Sawang Sinawang Waktu Lebaran MENURUT para pengamat budaya Jawa, konon orang Jawa itu sangat mementingkan keselerasan, harmoni dan sejauh mungkin menghindari konfrontasi dan konflik. Konfrontasi dan konflik akan membuat suasana tidak laras dan tidak apik. Dan seterusnya akan membuat jagat menjadi gonjang-ganjing, unsurunsurnya pun akan mreteli, lepas satu demi satu, dan akhirnya akan berantakan jagat yang sebelumnya mengikat orangorang Jawa itu selaras dan seimbang dalam keindahan. Apakah itu berarti bahwa orang Jawa tidak pernah berani menatap muka orang? Bayangkan, satu dunia yang terdiri dari orang-orang yang membuang muka atau menundukkan kepala (dengan 431



malu-malu atau tidak) setiap bertemu muka dengan orang demi keselerasan dan keindahan. Baru membayangkan satu bagian kecil saja dari dunia orang Jawa, Malioboro misalnya, penuh dengan orangorang yang begitu sudah sulit, apalagi membayangkan seluruh jagat Jawa seluruhnya. Kalau begitu, apakah orangorang Jawa sudah menjadi tawanan kearifan pandangan hidupnya sendiri? Menjadi suku yang minggrang-minggring, terus menerus dihantui suara hati yang dengan nada serak berkata : mengko dhisik, le … ; mengko gek …, janganjangan ….! Takut atau segan bertatap muka, lebih baik minggir dan menundukkan kepala agar kemungkinan konfrontasi atau konflik dapat terus menerus diperkecil. Lantas bagaimana Mas Giman bisa mengatakan kalau Pariyem berwajah … huuhhh … menggemaskan atau Denmas Suryodicokroingjonggo dapat bilang kalau 432



Rara Lara Ireng black sweet alias ireng manis, kalau mereka terus menerus saling menghindar menundukkan kepala? Mestinya Mas Giman berani menatap (dengan kalamenjing atau jakun naik turun) muka Pariyem untuk sampai pada kesimpulan “huuhhh …” itu. Atau denmas yang namanya dapat melingkari beringin kurung di alun-alun itu pastilah pernah dengan mata membelalak mengamati gerak-gerik dan lenggak-lenggok den rara itu untuk menetap bahwa gadis yang tinggal di pojok beteng itu hitam manis. Ternyata, untuk satu jebakan filsafat hidup selalu ada semacam safety device alias alat penyelamat untuk keluar dari kesulitan kearifan pandangan hidup yang dibikin sendiri. Konon, hanya bangsa yang besar yang akan dapat secara kreatif berkelit menciptakan alat penyelamat tersebut. Dan bangsa Jawa (setidaknya dalam jumlah) adalah bangsa yang besar. 433



Ia, bangsa Jawa itu, telah menciptakan alat penyelamat tersebut. Sawangsinawang, memandang-(dan)-dipandang. Hidup itu hanya sekadar sawangsinawang kata para filsuf Jawa. Dan karena saya bukan filsuf (untuk mata kuliah yang angker itu saya hanya lulus pas-pasan), saya membuat tafsiran sendiri tentang sawang-sinawang itu. Begini. Orang Jawa sudah terlanjur menjebakkan diri dalam pegangan “keselarasan apa pun bayarannya” dan “emoh konfrontasi karena itu tidak edi peni”. Padahal alangkah banyaknya keindahan di dunia ini yang harus dilihat, ditatap dan dinikmati. Maka mesti ada akal, dong, untuk dapat keluar dari dilema tersebut. Dengan strategi “dijupuk iwake ojo nganti butek banyune”, diambil ikannya (tetapi) jangan sampai keruh airnya, digalilah dari akar budaya bangsa Jawa sendiri, pandangan hidup sawangsinawang itu. Keselrasan harus tetap 434



dijaga, konfrontasi harus tetap dihindari, tetapi nyawang, memandang dari satu jarak tertentu, ya boleh, to? Nyawang dan disawang (karena dalam jarak tertentu yang tidak terlalu dekat) berada dalam titik netral yang tidak mungkin mengundang konfrontasi dan merusak harmoni. Nah, pada hari lebaran itu (meski dianjurkan jangan) sahabat saya yang jadi petinggi di daerah ini kok nekat membuat open house. Dan yang aneh, kok saya dan istri saya berani-beraninya datang! Begitulah, pada siang hari itu kami tahu-tahu sudah berada di tengah pusaran manusia di rumah sang petinggi yang indah. Salam-menyalam, lemparmelempar senyum, rangkul-rangkulan dan tentu saja (karena modelnya begitu) sun pipi kiri dan kanan. Saling memaafkan pun bergumam di sela segala olag raga itu. 435



“Wah, hampir semua bapak-bapak pake hem ikat sutera Troso. Kau sendiri ketinggalan zaman, Pak.” Istri saya melempar kalimatnya yang pertama sesudah nyawang sekilas ke sekelilingnya. “Yo, ben.” Saya pun mulai ikut menyawang ke ibu-ibu yang pada hari itu kok pada kelihatan menor semua. “Lha, itu para ibu juga pada parade pake batik sutera Sapto, Ardianto, Iwan Tirta. Waduhh, selendangnya yang setelan klengsreh tanah. Kau sendiri yang ….. “ “Yo, ben!” Istri saya trengginas menukas hasil sawangan saya. Saya memotong, begitu tiba-tiba dia pelukan dengan grapyaknya 436



dengan seorang ibu yang sebaya dengannya. “Aduuhh, yang baru pulang dari Hong Kong dan Singapur. Mana hayoo, oleholehnya …” “Waallaahh, kok oleh-oleh. Waktu buat soping itu enggak ada!” Aku terus diewer-ewer Kangmas suruh ikut drink sini, eat sana. Sudah to, pokoknya … “mBakyu itu umpama tidak overacting kerdipan dan pacak lehernya mirip Leni Marlina, lho” “Halahh, Leni Marlina apa! Hongkong, Singapur, tapi urunan arisan sudah dua bulan belum bayar. Wong sugih kok malah …” dan seharian penuh kami pun menyawang dan menyawang segala 437



kemilau yang beredar di sekitar kita. Di rumah, di tempat tidur, saya melihat langit-langit yang sudah kusam dua ekor cicak berkejaran. Saya tersenyum masih melihat open house di rumah petinggi. “Kenapa senyum sendiri lihat cicak. Rumangsamu Prabu Angling Dharma, apa?” Saya tersenyum, nggleges. “Eee, Bu. Betul juga, ya. Hidup itu mung sawang sinawang ….” Saya menyawang Leni Marlina. Lha, istri saya menyawang siapa sekarang?



Yogyakarta, 2 Juni 1987



438



Air Dan Hidup Ngrekasa Di Koran Senin pagi itu, saya membaca tentang kekeringan air di Pracimantoro. Segera saya panggil Mr. Rigen yang sedang menyapu halaman depan. Ini kabar gawat, pikir saya. Pastilah Mr. Rigen akan prihatin sekali membayangkan kesulitan orang tuanya. Maka untuk menambah bobot urgensi pada situasi, nada suara saya waktu memanggil Mr. Rigen juga seperti suara seorang jenderal memanggil ajudannya. Berat, berwibawa tur mantep. “Mr. Rigen, rene!” Mr. Rigen yang sejak lama sudah saya coba didik menjadi seorang teknokrat terampil tetapi tetap manusia, toh masih saja menyimpan sisa-sisa naluri robot di tubuhnya. Begitu mendengar suara panggilan jenderal itu, mak grobyak sapu



439



dilempar di tanah, rerontokan dedaunan dibiarkan tetap berserakan dan sreett begitu saja sudah berdiri di depan saya. “Wonten dawuh, Pak?” Sikapnya berdiri tegak, tangan ngapurancang. Di belakangnya, Beni Prakosa, beo murni dari bapaknya, berdiri dengan sikap yang sama. “Teh atau topi? Teh atau topi, Pak Ageng?” Robot beo kecil pun ikut-ikutan nyerocos pertanyaan rutinnya pada pagi hari. “Teh, teh. Sana suruh ibumu bikin. Ini lho, Gen. Ada kabar gawat di desamu!” “Oohh, itu to, Pak. Kabar kekeringan air to, Pak? Tiwas saya itu deg-degan waktu ditimbali tadi. Dak kira mau didukani atau mau diparingi apa, gitu.” Cilaka! Mengapa naluri pembantu selalu 440



begitu kalau dipanggil majikannya. Siap untuk dimarahi atau siap untuk diberi hadiah. Atau jangan-jangan itu naluri kita semua setiap kali kita dipanggil oleh atasan kita? Begitu terbatas dan nyaris tanpa nuansa kah pilihan-pilihan di republik yang egaliter ini? “Lho, kamu kok kelihatannya tidak kaget begitu, Gen? Ini kan kabar krisis berat? Air, je!” “Lha iya, air. Terus mau diapakan to, Pak. Wong itu sudah begitu terus saben tahun. Kalau ada urusan gawat betul nanti, kan orang tua saya suruhan orang ke sini.” “Lha, orang tuamu itu apa ya tidak ngrekasa kurang air begitu?” Mr. Rigen tertawa. “Orang desa itu kapan tidak ngrekasa to, Pak? Selamanya kan ya ngrekasa. Karena biasa ngrekasa ya jadi tidak terasa ngrekasa, Pak.” 441



Wah, elok tenan. Pagi-pagi sudah dapat kuliah filsafat ngrekasa. Benar juga kata guru saya dulu bahwa filsuf-filsuf terbaik di dunia lahir di negeri-negeri yang gersang. Mungkinkah Pracimantoro akan menjadi gudang filsuf-filsuf ulung? Setidaknya filsuf ngrekasa. Dan Mr. Rigen pun berkisah tentang desanya yang gersang. Tentang gununggunungnya yang pada gundul. Tentang telaga-telaga yang sedikit airnya, yang pada musim kering begini akan kering sama sekali. Maka orang akan berebut mencari sumber-sumber air yang lebih jauh letaknya dan lebih sedikit airnya. Dan perebutan itu nantinya tidak akan antara manusia-manusia, akan tetapi juga dengan macan-macan yang mulai pada turun dari gua-gua di gunung. “Macan?” “Iya, Pak. Macan itu tidak hanya mau 442



air. Tetapi juga mau jenazah-jenazah manusia. Kami di sana sudah nrimo kalau jenazah kami akhirnya dibongkar kiyaine itu untuk kemudian digondol, dibawa ke gua meraka.” Fantastik. Saya mendengar itu seperti melihat layar teve imajiner di depan mataku menyiarkan lakon science fiction. Tetapi bukan! Teve itu adalah teve Mr. Rigen from Pracimantoro. Dengan tenang dan dengan gaya dramatik teater tradisional dia menghabisi ceritanya. “Tapi orang tua saya masih untung kok, Pak.” “Untung bagaimana? Orang Jawa kok untung terus, lho!” “Lha, mereka itu tidak seperti lainnya. Mereka hanya harus menempuh tiga kilometer untuk mencari air …” Astaga. Hanya tiga kilometer …. 443



Sore-sore hawa yang seharian panas jadi teduh sedikit. Warna langit yang lembayung kemerahan itu ikut menambah sejuknya suasana. Dari jendela saya melihat Mr. Rigen & family sembur-semburan air dari selang yang habis dipakai untuk membasahi rumput halaman. Tawa meraka berderai-derai. Baju Beni Prakosa basah kuyup, tetapi dengarlah suara tertawanya yang renyah bahagia. Saya teringat orang tua Mr. Rigen di desanya. Sudahkah mereka mendapat air dari belik pada jam begini. Dan macan-macan itu? Saat itu pun saya tidak mungkin lupa pesan Prof. Blommenstein, ahli air yang bernenek Jawa tempo hari, “Ojo ngguwak-ngguwak banyu, ora ilok …!”



Yogyakarta, 8 September 1987



444



Raden Soemantio Mr. Rigen menyilakan orang itu masuk dan duduk di kursi bambu saya yang antik di ruang tamu. “Ada orang ingin sekali ketemu Bapak.” “Siapa?” “Duko. Katanya setap kawan Bapak di kantor kesenian. Sudah kenal Bapak.” “Wah, siapa ya?” “Katanya namanya Soemantio. Perlu sekali sama Bapak. Orangnya sopan sekali lho, Pak.” “Tahumu kalau sopan?” “Lha wong ing atas-nya cuma ngomong sama saya lho, Pak, bahasanya itu bahasa Jawa krama halus sekali. Biasanya priyayi 445



itu kalo ngomong sama wong cilik seperti saya cukup krama madya atau ngoko saja kan, Pak? Ini tidak, lho. Halus, gaya Solo, berdirinya juga ngapurancang terus.” Saya jadi penasaran. Sudah lama sekali tidak ada orang sopan bertamu ke rumah saya. Maksud saya dengan sopan yang seperti yang diceritakan Mr. Rigen itu. Penuh tata krama, berbahasa Jawa krama halus. Teman-teman saya selalu berbahasa Jawa ngoko campur bahasa Indonesia. Teman yang kurang akrab (meskipun Jawa) berbahasa Indonesia (yang baik dan benar). Mungkin untuk mencegah kami terperosok dalam komunikasi bahasa Jawa yang membingungkan jenjang-jenjangnya itu. Lha, kalau sanak saudara saya, karena yang paling akrab dengan saya yang paling kacau bahasa percakapannya itu. Bahasa Jawa penuh tidak, bahasa Indonesia yang baik dan 446



benar juga tidak. Dan untuk aksi di sanasini bahasa Inggris yang kadang-kadang saja betul. Sering kali saya bertanya sendiri, quo vadis bahasa Indonesia dan bahasa Jawa? Lha, ya quo vadis, wong mau tanya ke mana saja kok ya quo vadis, lho! “Selamat pagi, Pak Ageng. Nyuwun duko enjing-enjing sampun ngresahi.” Mati aku!. Pagi-pagi mendapat sarapan kata-kata yang begitu sopan, halus, diucapkan dengan diksi yang sempurna oleh seorang yang setengah baya, tinggi semampai, handsome, ngapurancang lagi. “Lenggah, lenggah, Mas.” Ia pun duduk. Dan gerak mau duduknya itu juga dengan ritme seorang yang kayaknya sudah pernah mendapat kuliah di jurusan teater Institut Kesenian 447



Jakarta. Sangat luwes dan metodis. Untuk mendapat gambaran yang lebih tepat dari dialog kami, juga karena tidak mungkin saya muat di sini bahasa krama halusnya yang sempurna dan krama saya yang jumpalitan, saya akan menerjemahkan saja dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Bagaimana? Ada yang bisa saya tolong, Mas?” “Begini, Pak Ageng. Mungkin Bapak tidak kenal lagi dengan sahaya. Sahaya adalah staf Pak Soerono di Kantor Kesenian DIY. Nama saya Soemantio. Sahaya yang selalu mengatur penyetensilan makalah-makalah bila ada seminar, lokakarya atau diskusi di Kepatihan. Bapak masih ingat? Ah, pasti Bapak tidak ingat sama saya. Saya orang kecil, Bapak orang penting.” 448



Kalau mendengar basa-basi seperti itu, heran sekali, saya kok masih senang saja. Bahkan mongkok hatiku …. “Lantas, maksud kedatangan, Mas Mantio?” “Ya, terus terang saja, Pak. Sahaya mohon pertolongan Bapak. Ini kalau tidak menyusahkan atau merepotkan Bapak.” “Wah, pertolongan apa, ya? Kalau saya dapat, tentu dengan senang hati akan saya usahakan.” “Begini, Pak Ageng. Begini … eh, begini.” “Ya, begini bagaimana, Mas? Coba terangkan. Jangan segan-segan.” “Begini, Pak Ageng. Begini. Saya harus menebus anak saya dari Panti Rapih. Dia baru sembuh dari operasi uci-uci di kakinya. Saya bawa uang Rp. 250.000,449



… eh, masih kurang. Lengkapnya Rp. 283.750,-. Jadi masih kurang Rp. 33.750,. Karena sahaya pikir Pak Ageng tinggal dekat sini, dan Pak Ageng biasa menolong teman-teman, sahaya mohon pertolongan Pak Ageng menutup kekurangan itu. Ini kalau tidak menyusahkan Pak Ageng, lho.” Dia duduk menunduk. Tangannya disilangkan di pahanya. Wajahnya kelihatan prihatin sekali. Oh … Korpri kecil yang malang. Ada berapa juga dari kalian yang akan selalu menemui kesulitan seperti itu. Menebus surat gadai, menebus beras, menebus baju, menebus uang lembur dan ini menebus anak dari rumah sakit. Saya sebagai Korpri yang tidak begitu kecil terpanggil untuk menolong sesama anggota korps. Kalau menolong begini saja tidak dapat, buat apa saya tempoh hari lulus P4 nomor satu sak DIY, bukan? 450



Tetapi, uwahhh, tanggalnya kok ya tua bangka, lho. Di laci lemari pakaian yang berfungsi sebagai brangkas, tempat menyimpan uang, surat-surat yang sesungguhnya tidak perlu, foto-foto yang juga tidak pantas disimpan, saya lihat uang saya tinggal Rp. 45.000,-. Kira-kira pas untuk uang belanja harian Mr. Rigen ke Pasar Kranggan sampai hari gajian tiba. Waduh, kalau dipotong untuk membantu Raden Soemantio yang halus itu, saya dan keluarga Mr. Rigen bisa survive sampai kapan? Tapi saya lantas ingat mahasiswa saya dari Bali yang tempoh hari bercerita tentang pengorbanan Suthasoma dengan mengharukan sekali. Wahh, dibanding dengan Suthasoma yang ikhlas menyediakan tubuhnya dilalap harimau demi keselamatan desanya, apalah artinya pengorbanan yang cuma 451



beberapa puluh ribu rupiah itu. Saya jadi malu sekali. Kok begitu saja ragu-ragu, meski sebentar. Tidak. Uang tiga puluh tiga ribu sekian itu saya ambil, saya hitung dan srett … saya ulungkan kepada Raden Soemantio. Raden Soemantio gurawalan menerima uang itu. Uang itu diangkatnya sebentar di dahinya, kemudian mak srett … dimasukkan ke dalam saku hem-nya. Juga dengan luwes dan metodisnya. Saya pikir tatakrama, unggah-ungguh Jawa, memang seni terapan ilmu teater yang canggih. “Waduhh, … matur nuwun, sewu sembah nuwun, Pak Ageng. Tidak salah dugaan sahaya. Kalau kesulitan di tanggal tua begini, pasti Pak Ageng yang dapat menolong sahaya. Matur nuwun, Pak Ageng. Matur nuwun.” Dan cengklak, dia pun menyengklak sepedanya menuju Panti Rapih. Saya pun lega, di tanggal tua masih dapat 452



menolong kawan sesama korps. Cuma waktu ingat sebentar lembar ribuan yang cuma beberapa biji terseruak di antara surat-surat dan foto-foto bosok di laci lemari pakaian, saya jadi tergetar sebentar. Ah, … tidak. Dibanding dengan Suthasoma ….. Esok harinya saya menelepon Mas Soerono di kantor Kesenian, melapor tentang Raden Soemantio yang sopan dan halus budi bahasanya itu. “Lho, Mas Ageng, tidak ada yang bernama Raden Soemantio di kantor kami. Kebetulan hari ini kami sedang menyiapkan daftar gaji. Tidak ada dalam daftar ini yang bernama Raden Soemantio.” “Mungkin tenaga honorer?” “Tidak ada tenaga honorer di sini, Mas Ageng. Wahhh …. sampeyan kejeblos!” 453



Trembelane! Orang yang begitu halus dan sopan menyandang sisa-sisa keagungan peradaban Mataram. Kok, eh … trembelane tenan! Mr. Rigen pun tidak kurang-kurang jengkelnya. Sejarah harihari paceklik tempe dan kangkung tempoh hari terbayang di mukanya. “To, gimana kalau begini, Gen?” “Ha, enggih. Wong priyayi alus itu jaman susah begini kok ya ngapusi-nya pakai seni halus. Saya hitung tadi sebelum dia ngulur tangannya minta duit, ancang-ancangnya bilang begini, begini, sampai 27 kali, Pak.” Saya membayangkan priayi-priyayi halus penipu yang kelas kakap di Pusat sana. Apakah mereka juga masih harus ancang-ancang begini, begini, begini, sampai ratusan kali? Yogyakarta, 16 Februari 1988 454



Pasca Lebaran PADA HARI kedua lebaran, pagi-pagi, kami serumah dikejutkan oleh suara “penggeng eyem … penggeng eyem .. “ dari Pak Joyoboyo. Terkejut, karena tidak masuk dalam perhitungan dan harapan kami bahwa pada hari kedua lebaran, yang mestinya masih hari reriungan dengan keluarga, Pak Joyoboyo sudah harus berjalan ngukur jalan berkilo-kilo untuk menyunggi tenong di kepalanya. Tentu saja suara cempreng itu kami terima dengan sangat senang. Bagi si mBak, yang datang dengan suami dan anaknya, si Gendut dan ibu anak-anak, kedatangan Pak Joyoboyo itu adalah kesempatan bertatap muka dengan tokoh legendaris tersebut. Bagi Mr. Rigen, yang kali ini tanpa Mrs. Nansiyem dan Beni Prakosa tetapi ditemani oleh Madam yang spesial diimpor dari Gunung Kidul, 455



kedatangan Pak Joyoboyo juga suatu blessing karena mereka tidak perlu terlalu panik lagi kekurangan lauk. Pak Joyoboyo untuk sekejap kelihatan grogi mendapat sambutan yang demikian hebat. Bayangkan. Lain dari biasanya yang hanya disambut oleh ketiga orang termasuk si bedhes Beni Prakosa. Kali ini tidak kurang delapan orang mengepung dan ngerubung dia. Tetapi, bukan Pak Joyoboyo kalau tidak dapat lepas dari tekanan tatapan dari delapan orang saja. Dengan roso percaya diri yang meyakinkan, tenong itu dengan sebat diturunkan. Lantas dibuka dan sebat pula potongan-potongan ayan itu digelar, disusun menurut gelaran perang Bratayuda, yaitu gelaran Supit Urang ala divisi Hastina versus gelaran Garuda Nglayang ala divisi Pandawa. Bagi saya dan Mr. Rigen, pertunjukan gelaran seperti itu sudah merupakan show of force biasa. Tetapi bagi brayat saya dari 456



Jakarta, pertunjukan itu adalah pertunjukan yang mengagumkan. Si Gendut yang ahli komentator spontan memberikan kesannya yang pertama. “Wah, keren, lho. Kayak parade senja tujuh belasan di Istana Negara, Jakarta.” Saya yang selalu peka buat komentarkomentar yang menganggu stabilitas nasional segera membentak dia. “Hush! Yang benar. Masak ABRI kau samakan dengan penggeng eyem. Ayo, cabut komentarmu. Nanti dak cabut izin makanmu, lho!” “Eh, sorry … sorry. Kayak parade satpam di Cipinang Indah. Ning pating plethot itu, Pak, kalau parade satpam Cipin.” “Yo ben. Pokoke jangan ABRI. Pokoke ABRI itu, … sudahlah … “ “Niki, Den, Pak. Sedaya sudah siap



457



diganyang.” Maka dengan sebat sekian banyak tangan pada sraweyan nuding-nuding gelaran Perang Bratayuda tersebut. Dalam sekejap susunan barisan, baik yang Kurawa maupun Pandawa, jadi bubrah, berantakan berpindah tangan. Si mBak dan suaminya, Mr. Kebumen, dan anak mereka si Kenyung serta si Gendut segera pindah ke meja makan, langsung sarapan dengan panggang ayam. Meskipun rambut mereka masih dhawuldhawul dan pojok-pojok mata mereka masih gemerlapan oleh setep-setep mereka. Saya dan istri karena manulamanula, ya harus kalem-kalem duduk nyawang mukti-nya anak-anak yang pada reriungan di seputar meja makan dan nyawang Mr. Rigen, Madam berdialog dengan Pak Joyoboyo. “Ha, inggih, Mas Joyo. Wong hari kedua lebaran kok ya sudah keluar jualan niku, 458



pripun?” “Ha, sampeyan sendiri bagaimana, Bu Madam? Lebaran-lebaran kok malah di kutha. Dan Mas Rigen juga kok ya nggak nyusul anak istri pulang ke ndeso?” “Wee, lha. Kalau saya tidak sepiksial turun dari Tepus ke sini sida berantakan kerjaan Rigen di sini. Tuwek-tuwek begini saya sepiksial diimport Pak Ageng, lho.” “Lha, kula ya begitu, Mas Joyo. Kalau saya nyusul mbokne thole dan thole Beni, lha kasihan tamu-tamu dari Jakarta mesti isah-isah piring dan cuci pakaian.” “Lha, kan sama saja to dengan saya. Pokoke kalau buat wong cilik seperti kitakita ini mesti lain etungan-nya!” “Pripun etungane, Mas Joyo?” “Ha, inggih to, Bu Madam. Nek kula reriungan penuh di rumah, kerjaan keteter, uang tidak masuk dan para bos459



bos pada kekurangan lawuh. Mangka anak-anak di rumah habis liburan ini butuh banyak pengeluaran sekolah. Lha, sampeyan berdua kan sama saja, to? Etungan-nya kalau reriungan di sini kan ya lumayan persen-persen dari keluarga bos sampeyan niku?” Kedua orang itu tertawa nyekikik merasa kena oleh analisa Pak Joyoboyo yang selalu waskito itu. “Sudah, to. Reriungan keluarga itu buat kita-kita ini sak cukupnya saja. Wong butuh kita lebih banyak dari bos-bos niku. Kalau beliau-beliau itu memang harus reriungan. Wong hidupnya mencarmencar dengan keluarganya. Lha, yang tidak mencar-mencar dengan keluarganya, ya tidak harus reriungan. Jeneh bagaimana kalau tidak. Terus yang jualan ketupat, bubuk dhele, ayam, krecek, pete, tholo dan sak uba-rampene makanan lebaran itu terus siapa? Itu 460



kewajiban para priyayi untuk menyediakan makanan lebaran yang mbruwah begitu. Mangkin mbruwah semangkin baik buat mereka dan yang penting juga buat kita-kita ini wong cilik. Gitu lho, Mas Rigen, Bu Madam, ekonomine lebaran. Makanya sudah betul kita hadir di sini waktu lebaran itu. mPun ah, kula badhe neruskan lampah.” Dan Pak Joyoboyo pun, sesudah mengantongi uangnya dengan sebat dan gembira, meneruskan perjalanannya dengan disertai suara cempreng nan legendaris, “penggeng eyem … penggeng eyem …”. Saya dan istri masih duduk berpandang-pandangan. Masih thengerthenger, kamitenggengen mendengar penjelasan Pak Joyoboyo tentang sosiologi dan ekonomi lebaran. Kadangkadang saya curiga jangan-jangan Pak Joyoboyo itu seorang pakar ilmu sosial tamatan luar negeri yang sedang 461



menyaru sebagai rakyat jelata dan ingin ngece kaum kelas menengah yang feodalnya nggak ketulungan, seperti saya. Atau jangan-jangan malah teoritikus Marxis! Habis, penjelasannya itu sering kali begitu penuh dengan analisis kelas. “Wah, Pak Joyoboyo itu hebat tenan lho, Pak. Dia itu bisa kita katakan sebagai filsuf sosial alam, Pak.” “Eh, betul, Bune. Ahli ilmu sosial dan sekarang filsuf sosial.” Kami berdua kemudian terdiam. Mungkin kami sama-sama ingat hal yang sama. Kasbon kami di kantor kami masing-masing yang semangkin menumpuk buat lebaran tahun ini. Yah, kalau menurut Pak Joyoboyo, demi menjaga fungsi reriungan lebaran kaum kelas menengah, to? Yogyakarta, 24 Mei 1988 462



Beni Prakosa Masuk Sekolah Pada tahun pengajaran ini, Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem memutuskan untuk menyekolahkan anak mereka, sang bagus Beni Prakosa. Pagi-pagi, beberapa hari menjelang hari pertama masuk sekolah, mereka menghadap saya. “Lho, ada apa ini? Kok tanpa konsultasi agenda terlebih dahulu tampil secara pleno?” “Ya, nyuwun samudra pangaksami, Pak Ageng. Sudah berani-berani melanggar prosedur. Begini saja sudah dumarojok tanpa sarapan.” Saya terpaksa tertawa ngakak. Beni yang ikut duduk ngedhepes men-dhempel ibunya ikut-ikutan tertawa. “Dhapurmu! Ya, sudah. Tanpa atau 463



pakai sarapan, bilang saja apa maumu.” Kedua suami istri itu saling memandang. Anak mereka ikut-ikutan memandangi orang tuanya bergantian. “Begini lho, Pak. Beni mau kami masukkan sekolah Senin depan ini.” “Elhoo! Bocah baru tiga setengah tahun umurnya kok sudah mau disekolahkan?! Apa tidak terlalu kecil?!” “Ya mestinya begitu. Cuma sekarang dia itu sudah terlalu nakal di rumah. Kami sudah terlalu repot ngladeni dia. Pekerjaan kami jadi keteter semua.” “Elhoo! Memasukkan anak sekolah kok ukurannya nakal atau tidak nakal. Mestinya rak sudah cukup umur atau belum. Tiga setengah tahun itu masih terlalu kecil, Mister. Nanti dia cepat bosan, lho. Cepat kangen sama bapak ibunya.” 464



“Kami sudah mempersiapkan semuanya kok, Pak. Sudah kami beri endog teri nasi tentang sekolah. Dia pun sudah seneng. Malah tiap hari sudah orek-orekan di kertas, nggambar dan membaca buku Donal Bebek paringan Bu Ageng dulu. Rak ya begitu to, Le? Seneng to kamu sekolah?” Beni Prakosa cuma pringas-pringis. Ibunya mencubit paha anaknya. “Ayo, matur seneng sekolah sama Pak Ageng. Ayoo!” Sekali lagi Mrs. Nansiyem mencethot paha anaknya. “Uaaduhh! Sakit, Buk! Seneng, seneng. Seneng sekolah, Pak Ageng!” Dan mak jranthal Beni pun melarikan diri menjauhi kemungkinan cethotan lain. “Terus anakmu itu mau kamu 465



sekolahkan di mana?” “Di taman kanak-kanak yang baru dibuka. TK Indonesia Hebat.” “Edyaann! Elok tenan, Mister! Betul itu namanya? Taman Kanak-Kanak Indonesia Hebat? Edyaann tenan! Lha, terus yang mau diajarkan itu apa saja? Dan kamu kok bisa saja nemu sekolah yang seperti itu?!” “Betul, Pak Ageng. Namanya memang begitu, TK Indonesia Hebat. Yang mendirikan kabarnya para mantan, purnawirawan dan warakawuri. Lha, saya diberitahu sama pembantunya Pak Propesor Lemahamba. Menurut cerita Pak Propesor, sekolah itu akan jadi sekolah yang hebat. Anak-anak yang sekolah di situ akan jadi anak-anak yang hebat juga. Akan dapat pekerjaan hebat dengan gaji yang hebat juga.” 466



“Welehh, hebatnya bagaimana, Mister, menurut Pak Propesor Lemahamba?” “Ha, inggih pokoknya hebat. Katanya sekolah itu nanti separo waktunya akan diajari baris sing apik banget, terus yang seprapat etung-etungan, yang seprapat lagi ajar pidato.” “Wah, elok tenan! Lha, miturut Pak Propesor itu nantinya mau dapat pekerjaan dan gaji yang hebat itu, gek pekerjaan dan gaji yang bagaimana itu?” “Ha, inggih mboten ngertos, Pak. Saya itu kan cuma wong cilik tamatan SD Pracimantoro. Tahu saya rak membayangkan si thole itu nanti akan jadi serba hebat. Itu saja, Pak. Eee… siapa tahu ya Bune, anak kita akan bisa mikul dhuwur orang tuanya.” Saya lihat Mrs. Nansiyem manggutmanggut, matanya sedikit berkaca-kaca. 467



Kedua suami istri itu saling memandang dengan penuh kemesraan dan harapan. Apa yang dapat Anda perbuat melihat pemadangan seperti itu kecuali terharu. “Yo, wis. Aku setuju! Wong bocah mau disiapkan jadi bocah hebat, je! Mosok nggak setuju. Setuju! Itu nanti kan seragamnya delapan macam, kan? Wong separo waktunya buat baris berbaris gitu, kok. Yo wis, baju seragam nanti aku yang tanggung.” Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem lengser dari paseban dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang saya suka membayangkan adegan seperti itu seperti adegan wayang “Langen Mandra Wanara”, yang para penarinya menari tanpa berdiri tetapi dengan duduk menjengkeng. Beberapa hari pun berlalu semenjak peristiwa tersebut. Saya berada di Jakarta 468



untuk berbagai pekerjaan ditambah dengan penderitaan flu yang membandel mengendon di tubuh saya. Sering kali di kamar, bersama Bu Ageng, kami membayangkan bagaimana sang bagus Beni Prakosa melewati hari-harinya di sekolah yang serba hebat itu. “Apa tidak keberatan buat anak seumur Beni itu, Pak?” “Itu tidak relevan, Bu. Keberatan atau tidak, yang penting itu hebatnya!” “Lho, kok lucu. Anak sekolah kan ya mesti dipertimbangkan kekuatannya. Kalau dipaksa, bisa-bisa malah ambrol, lho.” “Ah, kamu itu. Mestinya ya sudah diperhitungkan para pendirinya yang, menurut Prof. Lemahamba, memang pemikir-pemikir dahsyat di negeri kita. Sekali lagi, yang penting hebatnya itu lho, 469



Bu. Hebat, hebat! Wah, anak itu nanti akan jadi anak hebat betul, Bu. Baris, bergitung, pidato. Baris, berhitung, pidato. Baris, berhit ….” Dan saya pun jatuh tertidur pulas sekali. Waktu saya pulang ke Yogya, tidak sabar lagi saya tunggu Beni pulang dari sekolah. Saya lihat Beni datang dibonceng bapaknya. Di tubuhnya bergelantungan tas ransel, tempat minum dan tempat roti. Melihat saya, dia segera loncat dari sepeda bapaknya. “Halo, Pak Ageng. Oleh-olehnya apa, Pak Ageng?” “Oleh-oleh gampang nanti. Yang penting senang tidak kamu sekolah?” “Siap, Pak Ageng.” Anak itu langsung mengambil sikap 470



tegak, gagah. “Betul senang?” “Siap, Pak Ageng!” “Terus, diajar apa kamu hari ini?” Tiba-tiba sikap tegaknya mengendur. Dia berdiri rileks sekali. Mukanya pun kelihatan rileks dan cerah. “Tadi pagi saya jajan di sekolah, Pak Ageng.” “Hah, jajan?” “Jajan bakmi dibungkus plastik. Enak sekali.” “Lho, kamu punya duit, apa?” “Iya, dua. Dikasih Ibuk. Besok jajan lagi. Seneng lho sekolah, Pak Ageng. Boleh jajan.” Saya terkesima sebentar. TK Indonesia 471



Hebat yang akan mencetak anak-anak hebat membolehkan anak-anaknya jajan? Wah, elok tenan! “Di sekolah juga ada yang jual bakso, Pak Ageng. Besok saya disangoni duit buat jajan bakso, ya.” Saya mengamati muka anak itu. Begitu ceria, begitu gembira, begitu anak-anak. Jajan bakmi, jajan bakso. Mau jadi hebat bagaimana dia nanti? tetapi entah mengapa dan bagaimana, tiba-tiba kok saya jadi merasa lega sekali membayangkan prospek Beni yang justru mungkin tidak akan jadi hebat. Seketika itu Beni saya angkat tinggi-tinggi, lantas saya dudukkan di lincak. Anaknya tertawa berderai-derai. “Besok boleh jajan bakso ya, Pak Ageng? Bakso, bakso, bakso …. “ Yogyakarta, 2 Agustus 1988 472



Semeleh Bulan Syawal sudah agak lama lampau dan bulan Dulkangidah pun sudah dekat pertengahannya. Bekas luka-luka pesta reriungan keluarga bulan Syawal sudah mulai sembuh, mungkin sebentar lagi luka-luka baru (luka-luka rutin bulanan) akan segera hadir. Tidak apa. Pegawai negeri sudah selalu ditempa untuk menderita luka ini atau itu setiap bulannya. Luka rutin bulanan itu sudah diterimanya bagai bagian esensial dari hidupnya sehingga bila ada satu bulan berjalan mulus tanpa luka, mungkin akan membuatnya shock berat. Kemulusan memang bukan nyamikan-nya setiap sore waktu minum teh. Justru kejutan-kejutan kecil adalah menu santapannya setiap hari. Maka dengan penuh percaya diri saya melangkah masuk ke pertengahan bulan Dulkangidah. 473



Goodbye Syawal yang indah tetapi yang telah mendedel-duwelkan kantongku. Welcome Dulkangidah, datanglah luka baru apa pun itu bentukmu …. Hari Minggu. Perintah pertama untuk hari itu sudah saya jatuhkan. “Beni, cegat lik Joyo penggeng eyem. Suruh masuk ke sini.” Beni memandang saya. Matanya yang bulat indah itu menatap dengan ngungun, terheran-heran. Sepertinya dia mendengar suatu perintah tugas yang sangat absurd. Mungkin sudah lebih dari satu bulan tidak mendengar perintah semacam itu. Waktu akhirnya perintah itu tercerna di otaknya, mulutnya segera melepas senyum. Jempolnya segera diacungkannya. “Dud. Pak Ageng. Beli dud!” Jenius kecil! Celat begitu lidahnya sudah 474



berbahasa Inggris, lho. Dan dia pun berlari ke pinggir jalan menunggu suara penggeng eyem. Pak Joyoboyo penjaja door to door yang penuh energi meneriakkan penggeng eyem itu, datang mengelesot dengan mata berbinar. “Wah, Den. Saya kira saya sudah dijotak, diboikot, tidak ditimbali lagi.” “Lho, khan saya bilang bulam kemarin bulan tempe. Nyirik iwak.” “Ayakk, nyirik iwak. Kok ada saja, lho. Tidak mungkin priyayi seperti njenengan cuma mau dahar tempe terus. Pantesnya ya wong cilik seperti saya ini to, Den.” Saya tercenung. Apakah ucapannya itu satu teknik salesmanship, cara menjaja yang lihai, untuk merayu gombal calon pembelinya. Ataukah itu pandangannya yang murni, yang melihat manusia dan 475



makanannya dalam penyekatan kelas. Jadi, ada kelas priyayi dan wong cilik, ada kelas iwak dan kelas tempe. Huwiihh, awas lho, ini bangsanya Marxisme juga, lho! Kelas iwak, kelas tempe …. “Sampeyan itu bagaimana, to, mas Joyo. Tempe itu makanan kita semua. Wong enak tur gizinya tinggi. Nggak ada urusan priyayi dan wong cilik. Semua sama, padha-padha …. “ “Estu, to, Den? Lha, kok nasib saya dari dulu kok beginiiii saja, to, Den?” “Lho, jangan minder begitu, Mas.” “Minder niku apa?” “Minder ya minder. Niku, lho, cilik ati. Kerjaan apa saja itu terhormat, Mas. Jualan panggang ayam, dosen ngGajah Modo, sama-sama, Mas.” “Ayakk, kok bisa lagi, to, Den. Gantian 476



kerjaan apa, Den? Njenengan yang jualan ayam, saya yang jadi dosen ngGajah Modo?” Saya tertawa kecut, Mas Joyo tertawa keras. Kalau dia orang Perancis pasti akan bilang “touche”. Orang Jakarta bilang “kene lu!” Orang Yogya, awi, pripun sakniki …. Untuk kesekian kalinya saya kagum terhadap ketangkasan Mas Joyo. Tangkas dalam menyambar paha dan dada mentok. Tangkas dalam retorika. “Saya ini sekarang sudah semeleh, kok, Den. Pasrah kersaning Gusti Allah. Dikasih peranan panggang ayam, ya saya terima. Didapuk ketoprakan lainnya, ya nderek. Lha, njenengan yang sudah priyayi ngGajah Modo mestinya sudah lama semeleh, nggih?” Dengan gesit paha dan dada mentok dibungkus cantik dalam lipatan daun pisang. Bau gurih manis bercampur 477



harum merangsangku untuk cepat-cepat sarapan pagi. Beni Prakosa menyerobot dua tusuk sate usus. Teriak-teriak di belakang memberi komando bapak ibunya untuk menyiapkan makan paginya. Di meja makan, tanpa tunggu mandi dahulu saya siap melahap panggang ayam Mas Joyo. Dengan indahnya iwakiwak itu semeleh di piring di depanku. Uap nasi hangat, harum panggang ayam. Suara cempreng Mas Joyo di kejauhan, “ … penggeng eyem, penggeng eyem … “ Oh, semeleh hatiku.



Yogyakarta, 14 Juli 1987



478



Pak Ngalmus Alias Mister Almost WAKTU saya baru pulang dari Jakarta belum lama ini, Mr. Rigen lapor bahwa selain dari kawan-kawan rutin yang mampir untuk mengecek kehadiran saya, datang juga “Pak Ngalmus”. Sejenak saya tertegun membayangkan sosok Pak Ngalmus itu. Orangnya tinggi besar, ngganteng, rambut nyambel wijen, berombak seperti lautan berwarna putih kekelabuan, aktivis Golkar, dosen. Saya tertegun karena disadarkan waktu kok sudah hampir pembentukan kabinet lagi. Pak Ngalmus adalah versi Mr. Rigen untuk Mister Almost yang sesungguhnya bernama asli Drs. Ngalimin M.Ed, Neb. Adapun Neb itu berasal dari Nebraska, salah satu Negara bagian di pedalaman Amerika Serikat sana. Mudah diduga Neb 479



itu pastilah almamater beliau, seperti juga mereka yang diduga dari Oxford University suka mencantumkan kata Oxon di belakang deretan titel akademis mereka yang mentereng itu. Yah, waktu kok berlari amat kencangnya. Sudah hampir pembentukan kabinet lagi … “Pak Ngalmus kok kalo muncul empat atau lima tahun sekali to, Pak? Tur kalo sudah muncul sampai berhari-hari ngobrol terus sama Bapak.” “Lho, apa tidak boleh to, Gen. Di negara Pancasila ini boleh saja orang bertemu cuma sekali dalam empat atau lima tahun.” “Yak, Bapak ki. Kok pake nyandhak Pancasila segala. Ya, aneh to, Pak Ngalmus itu. Wong priyayi Yukjo, satu kota sama Bapak, eh, kalau dolan ke sini cuma empat atau lima tahun sekali. Gek pertimbangannya itu apa?” 480



“Ya ada. Pak Ngalmus itu tokoh politik penting lho, Gen. Bukan kayak Bapakmu ini, yang cuma dosen thok.” “Terus kalau tokoh politik itu kalau merdayuh, anjangsana cuma sekian tahun sekali to, Pak?” “Hush, ya tidak. Pak Ngalmus itu kalau ke sini kan ingin ngobrol soal kabinet. Bukan kabinet seperti kitchen cabinet-mu itu, Mister. Ini kabinet betulan. Kabinet yang terdiri dari menteri-menteri yang hebat-hebat. Yang ngurus wong sak negara.” “Wih … wih … wih … Lha, terus Pak Ngalmus itu kalau ngobrol empat tahun sekali soal kabinet itu, njur mau apa to, Pak.” “Aahh … kamu wong cilik ngertimu apa, Gen, Gen. Sana ngurus anak istrimu, sana. Dak terangke kamu juga nggak 481



bakalan tahu. Pokoknya wong cilik tahu beres sajalah!” “Estu lho, Pak. Wong cilik tahu beresnya saja nggih, Pak.” Wah, saya jadi merinding dan miris sebentar mendengar peringatan Mr. Rigen itu. Peringatan wong cilik, je. Padahal saya juga tidak pasti dapat menjelaskan pola kedatangan Pak Ngalmus itu. Bahwa tokoh itu bernama Mister Almost dan aslinya bernama Ngalimin, itu Mr. Rigen sudah tahu. Maka dari itu dia memanggilnya Pak Ngalmus, singkatan dari Ngalimin dan Almost. Tetapi, bahwa dia disebut Mr. Almost, karena pada setiap pembentukan kabinet dia selalu merasa menjadi calon serius tetapi akhirnya tidak jadi diangkat, tentulah tidak dapat saya ceritakan kepada Mr. Rigen. Itu agak merikuhkan. Dan kalau ini tidak dapat dijelaskan, tentulah akan 482



lebih sulit lagi menerangkan pola kedatangannya yang setiap menjelang pembentukan kabinet itu. Akhirnya, pada satu sore Pak Ngalmus muncul. Waktu membawakan teh buat tamu itu, kok saya lihat Mr. Rigen agak lebih lama mengamati wajah Pak Ngalmus. Dan Beni Prakosa yang biasanya salam „halo’ kepada setiap tamu, kali ini nampak mengkeret memegang tangan bapaknya kencengkenceng. “How are you, kid?” Pak Ngalmus mengulurkan tangannya kepada Beni. Tetapi Beni malah lari ke belakang menuju ibunya. “Lho, anakmu tambah besar kok mangkin pemalu gitu, Mr. Rigen?” “Habis, Bapak kalau rawuh ke sini tiap tahun Dal.” 483



“Yak, ngenyek kamu. Aku itu kalau ke sini kalau ada urusan-urusan gawat saja to, Mister. Lagi pula Bapakmu juga jarang di Yogya.” “Lha, sak niki ada urusan gawat apa to, Pak? Soal kabinet, nggih?” Saya mengerdipkan mata ke arah Mr. Rigen, memberi kode agar dia masuk. Mungkin menyadari bahwa pembicaraan gawat tentang kabinet akan segera dimulai, ia pun segera masuk ke belakang. “Wah … kamu itu. Soal gawat kok kamu bocorkan sama baturmu, lho!” “Soal gawat apa?” “Lho, soal kabinet, to!” “Wah … iya, ya. Sorry, sorry, sorry. Maafkan saya. Saya kadang-kadang lupa, lho, kalau soal kabinet itu soal gawat. 484



Sorry, sorry, sorry.” “Begini, namaku masuk lagi, nih.” Oh My God. Ya Allah. Namanya masuk lagi. Pasti aku dapat tugas lagi. “Calon menteri apa kali ini, Mas Ngalimin?” “Ada tiga kemungkinan.” Kemudian ditempelkan mulutnya di telingaku. Disebutnya tiga kementerian yang top bin gawat. Saya menganggukangguk. Waktu dia habis membisiki saya, matanya dengan penuh waspada melirik ke kanan dan kiri. “Tapi ini masih sikret bin rahasia, lho. Jangan bocorkan sama batur-baturmu. Kamu tahu sendiri mulut batur-batur.” “Oh, pasti saya rahasiakan betul, Mas. Lantas saya mesti apa kali ini?” 485



“Nah begini. Seperti yang sudah-sudah, sampeyan tolong lobi di Jakarta. Koneksimu di kalangan bekas orang partai, bekas ABRI dan bekas menteri kan banyak.” “Ya, cuma bekas-bekas, Mas.” “Eh, … jangan remehkan para bekasbekas itu. Yang mencalonkan saya ini juga seorang bekas, kok.” Kemudian ditempelkannya lagi mulutnya di telinga saya menyebutkan seorang nama tokoh yang gueedhiii banget. Mata Pak Ngalmus masih melirik ke kanan dan kiri. Tetapi, kali ini memancarkan sinar bangga dan gembira. “Wah … hebat dong, kalau beliau yang mencalonkan.” “Naa … saya bilang apa. Jangan meremehkan para bekas itu. Masih bisa 486



ampuh mereka itu. Yang belum bekas, yang masih aktif, biar saya sama temanteman lobi sendiri. Tugasmu yang bekasbekas. Oke!?” “Oke.” Dalam hati saya agak kecut juga. Wong jatah kok cuma yang bekas-bekas. “Kali ini saya lebih besar kemungkinannya untuk masuk.” “Bagaimana Mas Ngalimin tahu?” “Saya dengar kabinet akan datang fresh semua. Segar semua. Itu mafia-mafia berkelei, ngroterdam, ngamsterdam, denhaah, kornel akan habis semua. Diganti dengan tamatan luar negeri juga tapi yang masih segar dan orisinil. Seperti Nebraska, Alaska, Jamaika, dll. Jadi kewajibanmu nglobi tentang keampuhan tamatan universitas yang kecil-kecil tapi yang belum dikenal ini.” 487



Dan Pak Ngalmus pamit dengan menjanjikan bahwa „untuk sesuatu pasti ada sesuatu’. Saya manggut-manggut sambil membayangkan koneksi saya para bekas-bekas itu. Minggu depan saya akan menemui mereka. Ikut berkampanye agar Pak Ngalmus jangan jadi Mr. Almost lagi kali ini. “Pak, apa bekas-bekas unjukan teh dan bekas-bekas dhaharan kuweh bisa dibuang ke keranjang sampah bekas. Dan apa baju-baju bekas serta bekas-bekas mebel yang di belakang boleh saya jual ke pasar barang bekas …” Kurang ajar! Mr. Rigen pasti nguping terus sepanjang percakapan kami. “Apa bekas-bekas …..” “Hushh … gundhulmu amoh!” Yogyakarta, 12 Januari 1988 488



Uber Alles Pulang dari Aceh untuk menghadiri Pekan Kebudayaan Aceh yang ke-3, badan terasa loyo semua. Kaku dan keju rasanya seluruh bagian tubuh. Gemelethuk bunyi tulang-belulang setiap digerakkan, bahkan untuk gerakan yang paling kecil sekalipun! Perjalanan ke ujung dunia Indonesia itu ternyata memang terasa semangkin berat buat seorang menula seperti saya ini. Dan setiap kali saya melakukan perjalanan jauh seperti itu, semangkin saya diingatkan akan status kemanulaan itu. Wah … syusyah! Kok proses menjadi tua ini ternyata cepat sekali. Rasanya baru kemarin saya hadir di upacara dies natalis di Pagelaran sambil menyedot sebotol Green Spot dan sekantong kue yang saya dapat lewat perjuangan berebut dengan 489



beratus mahasiswa lain. Tahu-tahu sekarang sudah harus menyaksikan anakanak diwisuda, kawin-mawin dan punya cucu. Mak kreteg! Boyok ini terasa kaku dan kenceng lagi. He … saudara manula kenapa begitu cepat kau masuk, angslup, merasuk ke dalam tubuh saya? Apa tidak bisa perjalanan angslup-mu itu agak diperlambat sedikit? Biar saya tidak kesusu gampang teler dan loyo seperti sekarang ini. “Geenn … Mis-terr Rigeenn!” “Yes, eh … inggih!” “Dhapurmu! Rene!” “Ada apa, Pak?” “Lho, kok masih tanya?! Kalau kamu lihat aku sudah membujur horisontal di tikar begini, tubuh nglokro, hayoo … aku 490



kepingin apa?!” “Weh … Bapak mau klangenan lama. Pijit. Rak inggih, to?” “Naa … pinter kamu baca sasmita. Ayo mulai!” Maka segera saja terasa grayangan mejik dari tangan Mr. Rigen. Jari jemarinya yang kuat hasil tempaan tanah tegalan Pracimantoro yang gersang plus gemblengan meja cuci, isah-isah, di dapur terasa kuat mencekam kaki dan kempol-kempol saya yang lelah. Sekali lagi saya merasa beruntung mempunyai direktur kitchen cabinet seperti Mr. Rigen. Ada beberapa gelintir direktur kitchen cabinet di dunia ini (baik di Barat atau Timur) yang bisa merangkap menjadi tukang pijit yang canggih? “Pak?” 491



“Huh …” “Aceh itu apa ya jauh betul to, Pak?” “Lha, iya. Kenapa?” “Badan dan seluruh tubuh Bapak kok pada terasa capek semua. Mestinya Aceh itu ya jaauuhhhh sanget nggih, Pak?” “Ha, iya. Wong ada di ujung Pulau Sumatra sana! Kamu bisa bayangkan bagaimana jauhnya itu?” “Ya, bisa Pak. Wong dulu waktu SD juga dapat pelajaran ilmu bumi lho, Pak.” “Lha, ya sudah. Berapa jauh Aceh itu dari sini, kira-kira?” Mr. Rigen berpikir keras. Wong pegangannya di kaki saya terasa mengendor. “Ha … kira-kira ya bolak-balik Praci492



Wonogiri 27 kali terus masih ditambah ngubengi, keliling, Gunung Gandul 10 kali. Inggih apa mboten?” “Rupamu! Ya, masih kurang jauh sekali, Gen. Wong naik pesawat jet dari Jakarta saja kira-kira tiga jam itu.” “Weh … edan tenan jauhnya! Lha, terus orang-orang Aceh yang di sana itu apa seperti mahasiswa Aceh yang di sini, Pak?” “Lha, iya. Wong sak suku, kok. Ning wong Aceh itu macam-macam tampangnya. Ada yang putih blengahblengah, ada yang hitam cemani seperti Kresna, ada yang matanya biru seperti Londo, ada yang hitam, ada yang seperti orang India. Pokoknya macam-macam.” “Weh … kok begitu?” “Lha, iya. Aceh itu sejak dulu-dulu duluuu jadi tempat perdagangan dan



493



tempat mampir macam-macam bangsa. Lha, karuan saja mereka pada berbaur, Gen. Aceh itu dulu kerajaan hebat lho, Gen. Rajanya naik gajah lho, Gen.” “Weh … elok. Gajah itu jadi tumpakan ratu?” “Lha, kalau raja agung binatara ya mesti begitu, Gen. Lha, raja sana itu dulu juga suka adu gajah.” “Weh … elok. Gajah kok diadu, lho. Terus dapatnya gajah itu gek dari mana?” “Ya, dari hutan, Gen. Hutan di sana masih banyak gajahnya.” “Weh … kalau hutan di sini kok cuma banyak munyuk dan kera saja, lho.” “Ha, iya. Yang masuk desa munyuk-nya malih jadi seperti kamu to, Gen?” “Yakk … Bapak ki terus menghina, lho! 494



Ning kalau sama kerajaan Mentaram hebat mana kerajaan Aceh itu, Pak. Rak hebat Mentaram to, Pak?” “Ya, mungkin sama-sama hebat.” “Ning apa raja Aceh punya Kiai Plered, punya kreto kencono, punya istri ratu lelembut Nyai Roro Kidul, punya Sultan Agung yang pernah ngepung mBetawi? Nggak punya to mereka, Pak?” Saya jadi terkesima. Sambil tengkurap, memejamkan mata, menikmati jari-jari Mr. Rigen yang terus nyet-nyet-nyet menggerayangi belakang badan saya. Saya jadi ingat yang pada hadir di seminar Pekan Kebudayaan Aceh itu. Mereka, tua dan muda, yang masih pada penuh kebanggaan, berbicara tentang kedahsyatan Iskandar Muda Yang Agung, yang telah berhasil membangun suatu kerajaan yang kuat lagi makmur. Tentang kehebatan generasi nenek dan buyut 495



mereka yang melawan Belanda. Tentang keperkasaan mereka mempertahankan Aceh sebagai wilayah terakhir dari Republik Indonesia. Suatu kebanggan dan kerinduan yang wajar dan dapat dimengerti, karena itu semua memang sudah dicatat dalam buku besar sejarah kita. Tetapi waktu mereka diingatkan bahwa semua raja besar di Nusantara ini, termasuk Iskandar Muda dan Sultan Agung, adalah raja-raja yang absolut kekuasaannya dan karenanya, mestinya, juga sewenang-wenang, kok banyak dari mereka yang naik amper-nya. Juga waktu diingatkan bahwa pengorbanan rakyat Aceh mengumpulkan dana lewat obligasi nasional dan sekarang “dikemplang” oleh pemerintah pusat sebaiknya diikhlaskan saja sebagai salah satu dari sekian banyak rentetan “tumbal” kemerdekaan. Seperti tumbal rakyat Jawa Barat yang 496



mati dibunuh DI/TII, rakyat Jawa Timur yang mati dibunuh PKI, rakyat Sulawesi Selatan yang dibunuh Westerling. Kok mereka jadi terheran-heran mendengar argumentasi “tumbal” itu? “Pripun, Pak. Betul kan kalau saya matur Jowo itu masih unggul dari siapa saja di nuswantoro ini?” Mak jenggirat! Saya melepaskan diri dari pijitan mejik Mr. Rigen. Saya merasa shock berat mendengar ucapan Mr. Rigen. Mr. Rigen direktur kitchen cabinet saya masih berpikir uber alles Jowo?! Out! Dia mesti saya keluarkan! Bikin malu komuniti intelektual di mBulak Sumur saja. Mukanya tanpak begitu tidak berdosa. Lantas saya ingat berbagai perjalanan saya di hampir seluruh kawasan Nusantara. Wah … kok semangat uber alles daerah itu masih kuat betul, lho. Apalagi dengan kehadiran orang Jawa di mana-mana, kayaknya semangat uber 497



alles itu kok semangkin menggebunggebu seperti jelas terlihat di Aceh waktu saya ada di sana. “Eh … Mr. Rigen. Saya kasih tahu, ya! Yang uber alles itu cuma Indonesia! Nggak ada itu uber alles Jowo, uber alles Aceh, uber alles Minangkabau, uber alles Makassar ….. “ Wajah Mr. Rigen terheran-heran melihat bosnya jadi beringas. “Lho, Pak. Yang nguber-nguber tales niku nggih siapa ……?”



Yogyakarta, 6 September 1988



498



Wahyu Cakraningrat Pak joyoboyo yang mangkir datang pada hari Minggu, Senin pagi kemarin mampir. Mungkin mau coba-coba siapa tahu saya masih mau beli juga. Tentu saya beli juga beberapa potong. Meskpun bukan hari Minggu, saya merasa berkewajiban untuk menahannya dan menyilakan dia membeber dan menggelar potongan-potongan ayamnya. Seakanakan itu sudah merupakan ritual yang tidak boleh lowong. Lagi pula sudah berapa hari Minggu saya absen dari Bulaksumur dan lebih banyak di Cipinang. Alangkah susahnya orang lepas dari ritual! Mr. Rigen juga sudah ngetepes menyangga piring duduk bersila di dekat tenong. Beni Prakosa dengan mulut klametan mengawasi usus-usus yang 499



tertusuk menjadi sate pada bergelatakan di depannya. Tiba-tiba bapaknya, kurang kerjaan, menggoda anaknya. “Le, minggu depan di Jatisrono kamu tidak bakalan lihat sate usus, lho. Masih tetap mau mudik ke nJati sama ibumu? Tidak ada satenya Pak Joyo lho, Le!” Beni mendelik matanya. Sebentar dipejamkan. Mungkin mencoba membayangkan hidup tanpa sate usus selama beberapa minggu di desa. Kemudian dengan suara yang digagahgagahkan dia berseru, “Biar saja tidak ada sate usus, Pak. Pokoknya saya mau melu ibuk ke ndeso!” “Tenan? Pikiren lho, Le! Dua minggu tanpa sate usus. Belum lagi oleh-oleh lebaran dari mBak Gendut, Bu Ageng. Hayo priye, Le?” Beni memejamkan matanya lagi. 500



Kemudian membuka matanya lagi. Melolo. “Pokoknya saya mau ke ndeso sama ibuk. Biar nggak ada sate usus, nggak ada oleh-oleh dari mBak Gendut sama Bu Ageng. Biar, biar!” Kemudian sambil menyambar dua sate usus jatahnya, Beni pun lari ke belakang. Kami bertiga tertawa terkekeh-kekeh. Pak Joyo langsung melempar komentar. “Mas Rigen, anak sampeyan itu kalau dilatih terus bisa kesinungan wahyu pada satu waktu lho, Mas Rigen!” “Wahyu apa?” “Elhoo, sampeyan pernah nonton Wahyu Cakraningrat tidak?” “Ha, inggih. Ning thole Beni niku terus mau sampeyan dhapuk jadi Angkawijaya begitu apa?” 501



“Elho, nek dilatih prihatin semua anak bisa jadi Angkawijaya, Mas Rigen!” “Pripun?” Saya, yang meskipun sudah kesiangan ngantor, malah enak-enakan duduk di singgasana. Sangat kepingin tahu bagaimana Begawan Joyoboyo mau medar gagasannya. “Begini lho, Mas. Waktu itu Lesmana Mandrakumara rak sesungguhnya sudah dapat kesempatan nyedot wahyu dulu, to?” “Inggih. Terus?” “Ning bareng dihadap perawan ayu terus tergiur, kepencut, lupa kalau harus nglakoni empat puluh hari lagi. Lha, wahyunya kabur lagi. Begitu juga dengan Samba. Begitu dapat wahyu terus pethenthang-pethentheng, berkacak pinggang, tepuk dada. Eh, begitu dihadap 502



perawan ayu, mak nyuuttt, … nyuuttt, … kepencut juga. Lha, wahyunya terbang lagi.” “Lha, inggih. Kalau Angkawijaya memang kuat betul ya, Mas Joyo. Wahyu masuk, digoda perawan ayu malah menghunus kerisnya. Lha, terus hubungannya dengan thole Beni Prakosa itu apa?” Saya tertawa nggleges. Weleh, direktur kitchen cabinet itu kok bolehnya GR, kesusu mau menyamakan anaknya dengan Raden Angkawijaya. Dhapurmu, Geen, Gen! “Lho, tunggu dulu, Mas Rigen. Tadi saya lihat thole Beni itu sudah tahu milih pendirian. Mau ke ndeso meski sampeyan iming-imingi sate usus dan oleh-oleh. Dan dia tetap puguh, ora mingkuh dari pilihannya. Lho, niku sudah modal, Mas Rigen. Modal pendirian kukuh. Naa, itu 503



bisa dilatih terus, Mas Rigen.” “Latihannya terus latihan kepala batu, gitu?” “Yakk, sampeyan itu. Mosok latihan kok latihan kepala batu. Tidak usah! Dilatih setia sama pendirian. Dilatih milih pilihan macem-macem. Dilatih nimbang-nimbang yang mau dipilih. Begitu pilihan jatuh dia mesti pegang terus. Jangan miyar-miyur lagi. Lha, kalau sudah begitu tinggal gampang dia menghadapi wahyu apa saja, Mas Rigen.” Saya manggut-manggut lagi, mengagumi kemicaraan Pak Joyoboyo. Inilah kewicaksanaan rakyat kecil, pikir saya. Tetes, titis, cespleng. Dari mana mereka itu dapat kepinteran dan kewicaksanaan begitu? Mosok dari sekolah yang cuma beberapa tahun itu? Tak mungkin, tak mungkin! Saya lihat Mr. Rigen manggut-manggut juga. Cuma 504



manggut-manggutnya orang belum dong. “Lha, terus wahyune niku seperti apa dan mbesuk kapan datangnya, Mas Joyo?” Waduh, pikir saya. Lha, sudah jadi direktur kitchen cabinet pirang-pirang tahun dengan SK berlapis pitu, kok Mr. Rigen itu masih bego juga, lho. “Lho, pripun, Mas Rigen. Wahyu itu kan cuma perlambang to, Mas. Bisa ngelmu, bisa kawruh, bisa pangkat, bisa hadiah, bisa jodoh atau apa saja yang datangnya tiba-tiba, yang tidak kita nyana, pada waktu jatuh jadi milik kita. Lha, kalau sudah jadi milik kita, kita bisa ngopeni, pegang baik-baik apa tidak? Sudah ah, sudah siang. Saya mesti ngejar target nyonyahe juragan. Salah-salah wahyu cakraningrat ayam panggang melesat dari tubuh saya …. “ 505



Dan suara cempreng yang klasik itu pun terdengar menjauh. Saya lihat Mr. Rigen masih duduk thenger-thenger. “Heisyy, thenger-thenger. Mikir apa, Gen? Ini sudah siang, lho. Saya kudu kerja, kamu juga kudu kerja. Sana, ayam itu diringkesi ke belakang sana!” “Saya itu trus mak nyuutt, merasa diingatkan kalo perjalanan membesarkan thole itu kok masih jauuhh sekali lho, Pak.” “Lha, memang begitu, to. Terus mau apa kamu?” “Lha, kalau nuruti anjuran Mas Joyo itu, lha rak mesakake, kasihan thole itu. Kudu dilatih keras. Belajar milih pendirian. Wah … mpun, tidak tega saya. Biar saja thole tumbuh seperti maunya … “ Di kantor ternyata saya juga duduk thenger-thenger lama mikir konversasi



506



saya dengan kedua orang tadi. Saya jadi ingat anak-anak saya sendiri, si mBak dan si Gendut. Si mBak sudah berkeluarga, si Gendut baru masuk universitas. Wahyu, meskipun cakraningrat atau makuta rama, kecil-kecilan datang dan pergi di rumah saya. Syukur ngalkamdulillah sampai sekarang anak-anak saya itu slamet-slamet saja. Tanpa harus ngengkeng menahan disiplin besi, eh … mereka kok ya bisa tumbuh lumayan juga. Untung juga waktu saya jadi dirjen dulu uang belum melimpah ruah. Kalau saya tidak keburu dimantankan tempo hari, gek kayak apa anak-anak saya. Dan saya? Akan mampukah saya melatih disiplin seperti maunya Mas Joyoboyo? Sokur nDuk, sokur … bapakmu sudah keburu jadi mantan …..



Yogyakarta, 10 Mei 1988 507



Taksi AC Jakarta Untuk memberi service yang lebih memuaskan dan mat bagi warga metropolitan Jakarta dan sudah tentu para anggota komuniti bisnis bule dan Jepang yang semangkin banyak saja hadir di Jakarta, jumlah taksi metropolitan yang dipasangi AC tahu-tahu bermunculan banyak sekali. Juga sudah tentu para wisatawan di harap akan lebih senang naik taksi yang ber-AC itu. Dingin mak-nyes di tengah hawa gurun sahara kota Jakarta. Saya termasuk yang menyambut dengan gembira kehadiran taksi AC itu. Betul pada jeglekan pertama angka meteran argo itu belum-belum sudah Rp. 600,- tetapi „kan untuk tubuh yang kelas gembrot seperti ini „kan menolong banyak sekali. Keringat tidak lagi bercucuran, 508



kotos-kotos, kemana-mana. Hem tidak lagi basah lengket di tubuh hingga singlet di dalam tampak membayang. Belum lagi rambut yang ambyar awut-awutan kena angin kencang karena jendela dibuka untuk sekedar menangkap angin. Betul begroteng taksi jadi membengkak sekali (dari rumah ke senayan saja sudah rata-rata Rp. 4000,-), tetapi comfortable and convenient-nya itu, lho! Dan penampilan juga terpelihara, pokoknya bonafide. Tubuh kering, rambut tidak awut-awutan. Setidaknya yang mau kita todong proyeknya agak netral dulu melihat penampilan kita. Coba kalau baju lengket di tubuh, muka berminyak, rambut awut-awutan, salah-salah bisa dikira mau jual kalender. Akan tetapi, Jakarta bukan Jakarta kalau tidak segera terjadi akal-akalan yang kreatif dari para pemilik taksi reot dalam menghadapi persaingan taksi AC 509



itu. Mau pasang AC mobil yang baru jelas akan terlalu mahal. Maka mereka pun memasang air cooler yang entah bagaimana mengotak-atiknya, pokoknya, pokoke ada angin sriwing-sriwing yang sangat sporadis keluar. Yang duduk di depan, di samping sopir, kalau tidak tahan bantingan salah-salah bisa masuk angin. Yang duduk di jok belakang salahsalah bisa kagak kebagian angin karena angin yang sriwing-sriwing keluar itu tidak nyampe ke belakang karena terhalang oleh tubuh sopir. Atau oleh tubuh yang duduk di depan dan jok-jok depan itu juga. Wah, susah juga. Sang pemilik taksi dan sang sopir akan cuek saja. Pokoknya tancap saja jeglekan pertama Rp. 600,-. Lha wong sudah pakai angin, kok! Extra service, bukan? Mau nunggu taksi yang bonafide saja jumlahnya belum terlalu banyak untuk dapat mengambil oper semua lalu-lintas taksi Jakarta. Jadi, yah berdiri di pinggir 510



jalan untung-untungan …. Pukul sepuluh pagi. Hari sudah mulai angudubilah setan panasnya. Hari itu saya mesti pergi ngurus ini dan itu di tiga tempat. Celakanya tenpatnya saling berjauhan. Dari Jakarta Timur kudu ke Jakarta Selatan terus ke Jakarta Pusat, baru pulang ke Cipinang di Jakarta Timur lagi. Sebuah taksi ijo datang. Kaca depan bertulisan menyolok “full AC”. Wah, pasti AC-nya sip. Lha “l” nya sampai tiga begitu. Dengan gembira saya masuk. Pintu saya banting biar dikira bos dan saya pun duduk metengkreng di belakang. Mobil pun ditancep kencang sekali. Baru beberapa menit berjalan saya mulai mencium bau nyenggrak yang tajam sekali. Wah, edan, bau minyak gosok yang kelas wong cilik betul. Dari belakang kelihatan jelas sekarang leher pak sopir yang dekil-dekumel itu berlereklerek merah karena kerokan. Untuk 511



menghilangkan bau yang justru bikin kepala pusing itu, jendela saya buka. “Lho, ampun dibuka, Pak. Kulo niki mangsuk angin. Hoakk-heekk ….” Waduhh, lha ini. Baru masuk taksi pertama sudah ketemu bangsa dhewek. Bersendawa bin glegekan lagi. “Lho, sampeyan dari Jawa to, Mas. Kok sampeyan tahu saya juga dari sono?” “Yakk, gampang ngenali priyayi Jawa niku. Ning saya mohon pangerten Bapak enggih? Jendelanya ditutup saja terus. Tur ini AC kok, Pak. Kudu ditutup terus biar adem buat panjenengan …” Wah, ciloko. Gara-gara kudu pangerten dengan bangsa dhewek, saya tidak dapat menghalau bau minyak angin cilaka itu. Waktu sampai tujuan saya tidak tahu lagi saya yang masuk angin atau mas sopir yang sembuh dari sakitnya.



512



“Matur nuwun untuk pangerten-nya, lho Pak. Hoakk-heekk ….” Dengan kepala terasa pusing dan perut eneg, saya habiskan hari itu mengurus pekerjaan saya. Dan saya pun tidak peduli lagi waktu taksi AC yang berikut adalah taksi biru dengan sopir Batak. Gas ditancep. Sruuunggg …..!!! “Minta perhatian, bah, jendela dibuka dulu, ya. Saya masih merokok nih. Sayang kalau dibuang …” Ciloko maneh. Sekarang dibuka, mobil terasa panas dan asap terus mengepul. Argometer berklik-klik dengan tarif AC. Yahh, demi pangerten-lah. Tancep terus, bah …..!



Yogyakarta, 13 oktober 1987



513



Ketoprak dan Desa Pentas PS Bayu pimpinan Gito-Gati di Nanggulan Sabtu malam kemarin benarbenar dahsyat. Bagaimana tidak. Ada kurang lebih 10.000 manusia memenuhi lapangan olah raga itu. Mata mereka tertuju kepada pentas yang malam itu menayangkan “Joko Umbaran” sejak pukul 21.00 hingga pukul 3.30 pagi. Tertawa mereka yang ger-geran itu tidak putus-putusnya membahana sepanjang tujuh jam seakan waktu yang begitu panjang tidak berarti banyak bagi masyarakat petani yang biasa bekerja keras itu. Kakek dan nenek yang sudah thuyukthuyuk, ibu-ibu yang menggendong anakanak mereka yang masih menetek, suami-suami mereka dan para remaja yang sedang pacaran, semua tumplek514



blek membangun lautan manusia pada malam yang agak dingin tetapi bebas awan itu. Saya melihat sebagai fenomena yang menggetarkan. Saya membayangkan rumah-rumah mereka yang sederhana di dukuh-dukuh yang bertebaran di sekitar bukit-bukit agak jauh dari lapangan tempat ketoprak dipentaskan malam itu. Saya membayangkan kerja keras mereka sebagai petani sepanjang hari di sawah-sawah mereka. Saya membayangkan perjuangan mereka yang sengit untuk mencapai target-target hidup mereka. Saya membayangkan kelelahan tubuh mereka yang seharian dihajar oleh terik matahari dan hujan. Tetapi malam itu, apa yang saya bayangkan sebagai serentetan penderitaan jadi tampak sebagai bayangan yang saya bikin-bikin saja. Para kakek dan nenek pada tertawa terkekeh 515



melihat dan mendengar dialog dan gerakan-gerakan yang lekoh alias semi porno, para ibu yang sedang meneteki anak mereka tidak kurang pula gembira dari para manula, manggut-manggut sembari tangan mereka menahan gronjalan tetek-tetek yang disadap bayibayi mereka yang tidak peduli dengan semua itu. Dan para remaja yang tentu saja melupakan angka-angka sekolah mereka kelihatan meremas-remas tangan cewek-cewek di samping mereka. “Apakah bayi-bayi itu tidak akan kena pneumonia malam-malam begini diteteki di udara terbuka. Sepanjang malam lagi!” Saya menggerendeng sendiri, jelas karena ingat cucu saya. Mr. Oberlin, sahabat dan rekan saya di kantor, nggleges. “Heh … heh … heh … Pak Ageng ngomong begitu karena terbiasa berpikir 516



cara kulon. Sampeyan bisa menggerendeng begitu karena sampeyan punya irama hidup sehari-hari yang tercetak menurut cara kulon. Ha .. ha .. buat mereka nggak apa-apa kok ngewerngewer anak pada malam hari begini.” “Ah, ya. Pastilah saya nyeletuk begitu tadi karena saya ingat cucu saya yang begitu diimi-imi oleh semua anggota keluarg di Cipinang. Tapi apa itu soal berpikir cara kulon atau cara wetan?” Saya ngunandika dalam hati. Malam semangkin larut. Pukul dua pagi kantuk sudah tidak tertahan lagi dan saya pun segera mohon pamit pada panitia. Pagi harinya pada pukul delapan saya sudah dibangunkan oleh bedhes cilik Beni Prakosa. “Pak Ageng, beli penggeng eyemnya Pak Joyoboyo apa tidak? Itu lho sudah duduk di depan! Saya minta sate 517



ususnya, ya?” Dengan geragapan dan boyok masih kaku semua, saya keluar kamar dan langsung duduk di kursi kerajaan saya. “Wah, panjenengan kok kelihatan capek betul! Apa habis kerja nglembur?” “Yak, sampeyan itu. Malam minggu kok nglembur. Nglembur apa? Saya capek dam masih ngantuk karena habis nonton ketoprak di Nanggulan sampai jam dua pagi, Pak Joyo.” Mr. Rigen yang mungkin masih anyel karena tidak saya ajak nonton menyambung. “Ha, inggih niku, Mas Joyo. Apa tidak elok, Pak Ageng kok kerso menonton ketoprak, lho.” “Huss! Memangnya saya tidak pernah nonton ketoprak apa?” 518



“Ya, sok-sok, kadang-kadang saja. Itu pun biasanya cuma satu dua jam saja. Rak inggih to, Pak Ageng?” Touche, kata orang Perancis. Kena lu, kata orang Jakarta. Trembelane, pisuh saya. “Pokoknya tadi malam itu saya kuat nonton sampai jam dua pagi karena ketopraknya hebat, penontonnya luber, mbludak memenuhi lapangan sepakbola. Saya kagum melihat kecintaan rakyat kita di pedesaan sama ketoprak. Lha, itu yang disebut ngleluri, ngimi-imi, mencintai dan memelihara kesenian warisan budaya tradisi kita, Gen, Pak Joyo.” Kedua orang itu berpandangan sebentar. Sepertinya mereka merasa kaget bin heran mendengar pidato kebudayaan saya yang canggih itu. Kemudian Pak Joyoboyo pelan-pelan angkat bicara. 519



“Lho, Pak Ageng. Selamanya sedherek pedesaan itu akan mbludak kalau ada tontonan gratis. Apa saja akan mereka tonton waton tidak usah bayar.” “Yak, sampeyan itu. Meski gratis kalau tontonannya tidak mereka senangi dan mereka hormati mosok ya mereka tonton, Pak Joyo. “Lho, lha inggih. Wong desa itu gelap, sepi dan mlarat lho, Pak Ageng. Kalau sudah malam mau apa sedherek pedesaan itu, kecuali mancal kemul. Lha, kalau ada tontonan, apa saja tontonan itu, ya mesti ditonton to, Pak Ageng. Lumayan buat melupakan boyok mereka yang pegel karena macul dan hidup mereka yang keras dan berat.” Saya tercenung. Kaget mendengar analisis Pak Joyoboyo yang keras menjurus ke sinis itu. Jadi begitu to, dia melihat fenomena seni rakyat itu. Aku 520



jadi thenger-thenger. Lha, terus dari mana dan bagaimana roso estetika keindahan wong desa itu muncul? Masak tidak ada kesenian mereka? kalau theater rakyat itu ditonton hanya karena mau mengusir roso sepi dan melupakan beratnya hidup, wah kok prosais betul peranan theater itu! Saya membayangkan sekali lagi ribuan manusia yang menonton malam itu. Wajah-wajah mereka yang cerah, gembira dan sangat apresiatif mengikuti riwayat Joko Umbaran yang dahsyat, suara gamelan dan pesinden yang merdu. Mosok mereka tidak mengenal keindahan seni ketoprak? Tetapi wajah-wajah petani yang tidak tampak lelah dan gembira itu alangkah juga indahnya ….



Yogyakarta, 14 Juni 1988 521



Melaksanakan Nglobi Untuk Pak Ngalmus Waktu baru-baru ini saya duduk di lobi Hotel Aryaduta, Jakarta, menunggu seorang kawan yang yang akan menraktir teppan yaki di restoran Shima yang nempel di hotel tersebut, sekelebat saya melihat Mas Ngalimin alias Drs. Ngalimin M.Ed, Neb, alias Mr. Almost atau yang menurut ejaan Mr. Rigen ; Pak Ngalmus. Tubuh saya segera saya plorod-kan dan saya jadikan lebih mengkeret takut ketahuan Mr. Almost. Di kursi yang empuk, kepenak bin comfortable itu memang duduk sembari mlorod dan mengkeret bisa enak sekali bagai seekor kucing yang tidur mblungker. Tetapi, bayangan begitu tentulah hilang sama sekali. Bagaimana tidak. Seperti yang pernah saya laporkan dalam kolom 522



ini pada bulan Januari yang lalu, saya telah sanggup menerima tugas melobi koneksi saya para mantan tokoh-tokoh sipil dan militer untuk mengatrol Mr. Ngalimin menjadi menteri. Memang betul waktu itu saya duduk di lobi, tapi lobi hotel, bukan lobi kasak-kusuk politik. Mati aku! Beliau melihat saya bahkan mendekati tempat saya duduk. “Aha! Campaign manager-ku! Baru duduk di lobi untuk melobi koneksi dalam rangka aku jadi menteri?” Waduh! Dalam hati, saya kagum juga kepada beliau. Tidak saja sanggup menebak apa yang sedang saya pikirkan. Tetapi malah menebak dalam satu sajak. Luar biasa. Saya terpaksa bersikap purapura kaget. “Lho, Mas Nglimin. Sudah lama di Jakarta?” 523



“Lho, sampeyan itu bagaimana, sih? Ya sudah, to. Kan saya mesti nongkrongi SIUM MPR sembari lobi ke sana ke sini. Sampeyan bagaimana nglobi-nya? Oke, to?” Saya jadi cegukan mendapat pertanyaan seperti itu. Pertanyaan itu adalah tagihan, tuntutan prestasi kerja saya sebagai salah satu lobbyist Mr. Ngalimin yang kali ini tidak boleh lagi menyandang Mr. Almost, tetapi Insya Allah mesti jadi Mr. Minister. Saya cegukan karena saya tidak terlalu sukses mengerjakan pekerjaan rumah saya. Dengan pelan dan diplomatis sekali saya coba menjawab dan memberikan laporan pekerjaan rumah saya. “Begini, Mas Ngalimin. Saya sudah berhasil mengontak semua calon target kita.” “Good, good. I know you won’t let me 524



down,” sambil berkata begitu Mr. Ngalimin menepuk-nepuk bahu saya. Benar-benar sudah gaya politikus Nebraska. “Wah … tunggu Mas. Saya berhasil mengontak, tapi .. eh, itu Mas.” “Eh … bagaimana?” “Begini, Mas. Berhasil itu ternyata tidak berarti sukses.” “Lho, bagaimana ini? Berhasil tidak berarti sukses? Waaahh … sampeyan ini masih wong Jawa betul. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.” “Maksud saya, nggih, Mas Ngalimin. Saya sudah berhasil menghubungi atau mendatangi empat rumah para mantan target kita dan malah salah satu night club yang sedang in di Jakarta.” “Lantas, lantas? Tidak suksesnya itu di mana?” 525



“Tidak suksesnya? Ya, di rumah-rumah dan klab malam itu.” “Bagaimana, bagaimana?” “Begini. Di tiga rumah mantan menteri sipil, menteri pati ABRI dan mantan keuangan PT Lenga Klentik Negara, saya dapatkan hal yang tidak dinyana-nyana. Lha, kok mereka sudah pada seda, meninggal dunia, semua.” “Wah, jadi mereka juga sudah mantan manusia, to? Lantas lainnya? Tadi sampeyan menyebut empat rumah mantan tokoh dan satu night club?” “Ya, di satu rumah lagi itu rumahnya seorang mantan perwira tinggi, mantan seorang yang hebat banget. Saya dapati rumahnya kosong. Rumahnya gede banget. Anjing herdernya dua. Untung satpamnya ramah. Katanya, bapak sedang di rumah ibu yang satunya, 526



Ngomong begitu sambil berkedip-kedip matanya. Waktu melihat wajah saya yang kecewa bin gela, mas satpam itu menyarankan saya untuk mencoba malam-malam ke satu night club baru yang kecil tapi indah, Le Beo. Bapak suka dansa malam-malam di sana. Sekali lagi satpam itu mengerdip-ngerdipkan matanya.” “Lantas, lantas? Sampeyan juga pergi ke sana?” “Lha, iya dong. Meski tempatnya sangat eksklusif dan sangat muahall. Saya glembuk adik saya yang jadi pengusaha untuk mengajak saya ke sana. Adik saya yang pengusaha kelas teri, yang cukup puas dengan proyek sub-sub-sub kontraktor, jadinya juga ngglembuk partner Cina-nya. Yang sesungguhnya juga pas-pasan saja.” “Lantas, lantas?” 527



Saya lantas menyambung laporan saya. Kami ke Le Beo bertiga saja. Sesunggguhnya tidak lucu karena seharusnya kita diharapkan membawa partner. Tetapi ndilalah ketiga istri kami alergi dengan klab malam. Untunglah kami dapat membujuk sang manager bahwa kami hanya minum dan menemui seseorang saja, itu pun hanya untuk sebentar saja. Kami duduk. Minuman sudah dipesan. Dan musik pun sedang bermain dengan hangatnya. Musik disko yang tidak gedobrakan diselingi cha-cha dan kadang-kadang sekali waltz. Enak juga. Kaki sudah mulai gatal-gatal kepingin turun ke lantai. Eh, bukan Narayana lagi. Tur tidak ada partner. Dan targetnya kan mau ngomong, melobi sang mantan jenderal, to? Jadi, ya cukup jari-jari saja dijentik-jentikkan di meja. Adik saya yang tidak dansa dan hanya sekali-sekali saja ke klab malam hanya untuk meng-entertain relasinya, ketawa 528



cekikikan melihat kombinasi ketegangan, nostalgia dan kenikmatan terbayang di wajah saya. Akhirnya, saya melihat pak jenderal, eh mantan jenderal itu datang dengan seorang wanita yang aduhai cantiknya. Pastilah bukan ibu yang satunya. Untuk itu terlalu manja dan coquette sikapnya. Sikap yang belum mapan, belum jelas anggaran pengeluarannya. Paling-paling calon ibu yang satunya lagi. Pak mantan jenderal pun melambaikan tangan kepada saya. “Rileks, ya? Nanti saya nggabung ke situ. Mau pencak silat dulu di lantai. Boleh, to? Boleh, to? Pensiunan, kok.” Sambil tertawa terkekeh, mereka turun ke lantai. Dan astaga! Kawan saya yang mantan jenderal itu masih dengan gusto, penuh gaya, berdansa dan berdansa. Dan kami dengan penuh kegemasan dan kecemasan, menunggu dan menunggu. Sialan, pak mantan jenderal pada jam 529



sebelas malam, begitu saja mak glenes pergi, lupa nggabung dengan meja kami. “Begitulah, Mas Ngalimin. Berhasil kontak tapi tidak sukses. Maafkan saya. Saya telah gagal total.” Mas Ngalimin diam. Mengambil sebatang Gudang Garam. Menyalakan korek, menyedot rokoknya dalam-dalam. Sementara itu saya melirik ke pojok lobi, saya lihat teman yang mau menraktir teppan yaki sudah gelisah menunggu. Teman saya itu adalah seorang sahabat yang bonafid, jutawan nyaris milyarder hasil dari keringat sendiri. Bukan putra mahkota, bukan pejabat. Pengusaha, titik. Karena itu, tidak tega untuk saya perkenalkan kepada Mr. Ngalimin. “Wah, ya sudah. Nggak apa-apa. You did your utmost best. Saya masih ada harapan lain. Kontak saya itu sudah saya penuhi permintaannya. Seekor ikan 530



arwana dan sejodoh ikan mas koki Taiwan. Katanya dia sudah melihat nama saya masuk. Dan berkat lobi dia, saya dapat pointer, angka yang tinggi.” “Wah, syukurlah Mas. Saya ikut mendo ’akan.” Dengan langkah tegas Mr. Ngalimin menuju counter resepsionis. Entah mau ngurus apa lagi dia. Saya pun menggabung sahabat saya melenggang ke Restoran Shima. Saya mulai membayangkan sang koki, di depan saya, di belakang meja persegi itu, meliukliukkan tempat garam dan tempat merica, merajang daging Kobe, menghancurkan telur dengan elegan, menggoreng nasi bagai seorang maestro. Memang betul kata seorang kawan. Teppan yaki bukan hanya seni memasak tetapi juga seni pertunjukan. Satu performing art. Catatan susulan : 531



Peristiwa di atas terjadi pada tanggal 18 Maret 1988. Saya mengetik kolom ini pada tanggal 20 Maret 1988. Saya kirimkan via pos kilat khusus siang hari tanggal 20 Maret 1988. Pada tanggal 21 Maret 1988 Bapak Presiden akan mengumumkan susunan kabinetnya. Pada malam yang bersamaan itu saya harus njagong resepsi perkawinan seorang anggota keluarga besar kami sampai jauh malam. Pasti pada malam tanggal 21 itu saya belum akan tahu apakah Mr. Ngalimin akhirnya berhenti jadi Mr. Almost dan menjadi Mr. Minister. Ketika kolom ini sampai di tangan pembaca, Anda pasti sudah akan tahu apakah Mr. Ngalimin masuk kabinet atau belum lagi. Wong kolom ini jatuh pada hari Selasa. Akan halnya dengan saya, baru akan tahu tanggal 22 sore di Padang, karena pada hari itu saya harus terbang ke kota itu. Untuk apa? Ah … untuk apa lagi kalau bukan untuk jual 532



abab di seminar …. Mr. Ngalimin, I’ll pray for you …..



Yogyakarta, 22 Maret 1988



533



Mr. Rigen Menjangkau Langit PULANG dari tugas ke luar negeri, saya disambut oleh datangnya warga baru dalam jagad istana saya. Beni Prakosa, sesudah menunggu-nunggu hampir empat tahun, akhirnya mendapat adik. Laki-laki, blengah-blengah seperti bayi Kakrasana.Mr. & Mrs. Rigen, yang pada waktu kelahiran anak mereka yang pertama dulu berharap agar anaknya di kelak kemudian hari bisa menjadi jenderal ABRI, apesnya ya kolonel, menamakan anak itu Beni Prakosa, kali ini agak keteter imajinasinya.Anak yang baru lahir ini datang pada bulan September.Bulan yang tidak merangsang imaji harapan yang menggetarkan.Lain dengan Beni dulu.Dia lahir pada tanggal 5 Oktober, hari ABRI. Tetapi, September? “Wah, repot, Pak. September itu rak 534



bulannya Gestapu to, Pak?” “Ya, jangan kau ambil yang Gestapu, Gen. Cari hari yang lebih mengandung harapan cerah begitu.” “Lha, pripun.Wong nyatanya peristiwa yang dahsyat, medeni, banjir getih itu dimulai tanggal 30 September itu.Saya jadi judeg cari hari-hari lain yang lebih menggembirakan di bulan September itu, Pak.” “Yang penting, kamu itu kepingin anakmu yang ini jadi apa?” “Ha inggih ABRI lagi to, Pak. Mau apa lagi. Jadi ABRi sudah karuan.Pasti mantep jalannya jadi priyayi.” “Lho, tenan to, Gen?” “Ha, buktinya semua sanak saudara saya yang jadi ABRI itu sekarang mukti semua kok, Pak.” 535



“Lho, sanak saudaramu itu pada jadi jenderal begitu apa?” “Lha, inggih mboten.Mosok semua ABRI itu jenderal. Terus prajuritnya siapa?” “Karena itu, kamu kok terus ambil kesimpulan semua sanakmu yang ABRI mukti semua.” “Semua mukti saestu kok, Pak. Ada yang jadi camat, ada yang jadi lurah, ada yang priyagung kantoran.Pun to, pokoknya enak semua.” “Geen, Geen. Jadi yang kamu inginkan itu anakmu itu akan jadi lurah atau camat, to? Lha, kalau itu ngapain harus jadi ABRI dulu?” “Lho, Pak. Kalau tidak jadi ABRI dulu apa bisa jadi camat atau priyayi dhuwur di kantoran?” “Oalahh, Le. Dak bilangin, ya. Yang 536



kamu katakan itu kan keadaan darurat. ABRI membantu sipil.Nantinya ya tidak harus begitu, to.Ya kalau mau jadi ABRI, ABRI saja.Mau jadi lurah saja kok mesti jalan-jalan dulu jadi ABRI.” “Inggih, pun.Jadi ABRI saja.Thole Beni nanti jadi jenderal. Adiknya ya jadi jenderal.Kalau tidak nanti adiknya meri, cemburu.Dikira orang tuanya membedabedakan kesempatan.Rak inggih to, Pak?” “Yo wis. Setuju aku. Terus namanya itu lho, siapa?” Kami berdua lantas terdiam. Berpikir keras mencari nama. Betul juga kegamangan Mr. Rigen melihat bulan September sebagai bulan berdarah.Tetapi, lho kok dia lupa. Kan yang menang melawan Gestapu itu ABRI sama rakyat. Jadi September itu, meski bulan berdarah, menyedihkan, tapi ABRI rak jaya. 537



“Gen, September itu bulan ABRI jaya, lho.Jadi ya sudah cocok dengan gegayuhanmu mau melihat anakmu jadi ABRI nanti.” “Oh, inggih ding. Pun begini saja. Anak saya, saya namakan Septian Jaya.Pripun, Pak?” “Sep-ti-an Ja-ya. Yo wis, apik.” Begitulah nama itu diturunkan kepda si jabang bayi. Sekali saya takjub, terharu, bangga dan tentu saja juga was-was mendengar begitu menggebu-nggebunya Mr. Rigen nggonto, meraih harapan, buat anak-anaknya. Di hadapan saya duduk nglesot seorang jebolan SD desa, mantan anak petani yang cukup berada, tetapi yang jadi korban revolusi hilang kemungkinannya naik tangga sosial dengan cepat. Tetapi, status yang dulu pernah sekejap melintas di rumah Mr. Rigen Senior nun di desa sana rupanya 538



belum padam dan hilang dari ingatan Mr. Rigen. Kayaknya ada dendam kelas. Awas, satu ketika saya akan bisa juga mengejar kekalahan itu. Kalau bukan saya, ya anak saya.Awas. Apakah dia tahu bahwa persaingan itu akan lebih ketat dan keras lagi untuk masuk AKABRI? Dan sekolah prajurit, kopral, sersan, letnan, kapten, mayor, kolonel dan jenderal itu akan lebih berlapis-lapis lagi dan lebih susah lagi? Pelajaran dan ketrampilan yang dituntut akan lebih canggih dan modern lagi? Kok dia masih membayangkan jadi ABRI sebagai camat atau lurah? Dari jendela saya lihat Beni Prakosa pulang sekolah dijemput sepupu perempuannya yang kebetulan sedang berada di kota. Beni dengan pakaian seragam TK Indonesia Hebat dengan enak dan nglaras roso duduk di gendongan belakang sepupunya, sembari 539



makan bakmi kering krip-krip. “Lho, katanya mau jadi ABRI di sekolah Indonesia Hebat kok masih digendong?” “Habis, capek Pak Ageng. Panas.Digendong mBak Nimplek enak lho, Pak Ageng.” Tasnya dilempar ke amben dapur.Baju seragamnya dilepaskan oleh Mrs. Nansiyem dan sepupunya.Juga sepatunya dijulurkannya kepada mereka untuk dilepas. “Madhaang, Buk. Madhang pake endhog, oseng-oseng kacang pake bakso.” “Inggih, Den Bagus.” Saya melihat pemandangan itu dengan takjub.Saya melirik ke Mr. Rigen.Dia tersenyum. 540



“Wong dia begitu itu yang ditiru, ya anak-anak, adik-adik Pak Ageng.” “Ah, mosok?” “Atau putro-putro dosen di sekitar sini.” “Ah, mosok?” “Lha, terus niru siapa?” “Lha, kalau begitu terus apa bisa jadi jenderal dia nanti, Gen?” “Ah, ya nanti dilihat saja Pak Ageng. Dengan pangestu Pak dan Bu Ageng, dengan pertolongan dan sumbangan dari para priyagung mosok anak-anak saya tidak akanslamet sempulur jalannya. Ya, Le,ya? Sana makan yang enak dan habiskan ya!” Ya, dengan do’a restu, dengan pertolongan dan sumbangan dari sanasini mosok tidak bisa anak-anak maju jadi 541



jenderal, jadi profesor, jadi menteri, jadi …..



Yogyakarta, 20 September 1988.



542



Mister Blue Moon ”Blue moon … na-na-ni-na … na-noo … na-na-ni-na … na-noo. Blue Moon …” Dan orang itu terus mengencrungngencrungkan ukulelenya. Kata yang dinyanyikan cuma keluar blue moon, sedang lain-lainnya ya cuma na-na-ni-nana-noo itu. Tetapi lagunya sampai selesai, benar semua. Dan tidak ada pales-nya. Bahkan nyaris merdu, dinyanyikan with feeling, mawi roso. Pengamen itu sudah setengah baya umurnya, sekitar empat puluhan tahun. Tinggi semampai, rambut berombak, tampangnya agak ngganteng juga. Cuma sayang, gusi giginya hitam keunguunguan, giginya banyak yang sudah rontok. Mungkin dulu kebanyakan merokok klembak menyan. Begitu selesai dia akan berhenti sebentar melongok ke 543



ruang tamu. Kalau di ruang tamu tidak ada orang, maka dia akan berkoar lebih seru dari sebelumnya. “Blue emmooonnn … na-na-ni-na … na-noo …” sampai selesai lagi. Sampai kemudian Mr. Rigen dengan diiringi Beni Prakosa memberinya duit Rp. 200,Memang untuk pengamen honorarium, Rp. 200,- adalah jumlah yang cukup tinggi. Itu pun sudah lewat proses keras. Mr. Rigen yang sebagai direktur kitchen cabinet memang tidak bisa dan tidak boleh punya perasaan seorang patron atau maecenas seni. Bayangkan kalau seorang direktur seperti itu punya jiwa maecenas, jeneh pesinden-pesinden seluruh P. Jawa senang semua … “Lho, Pak. Mosok dua ratus, Pak? Nyanyinya juga na-na-ni-na-na-noo begitu, kok. Tidak tutuk lagi.” “Hush, tutuk saja. Lagunya itu selesai 544



dinyanyikan. Bahkan bagus. Itu mesti dihargai. Cuma dia nggak hafal katakatanya.” “Yakk, Bapak pilih kasih. Wong biasanya buat orang ngamen paling banyak seratus, kadang malah cuma lima puluh, ini kok rong atus. Apa karena lagunya Inggris to, Pak?” “Hush, ya tidak. Bukan soal cara Inggris, Mister. Sebagai maecenas, ngerti ora, ma-e se-nas, pengayom seni kudu mempertimbangkan semua. Orang ini menyanyi dengan perasaan, with feeling. Lagunya utuh. Melodinya bagus. Iramanya pas. Semua dalam struktur keindahan yang good.” “Wah, Bapak kalau sudah begini ini saya merinding lho, Pak. Lha, kok ngendika yang saya tidak mudheng semua. Panjenengan itu tadi ngendika apa?” 545



“Ya, pokoknya apik. Titik! Dan orang itu tahu sopan santun. Kalau ngamen ke sini bukan waktunya orang tidur. Dia cari waktu kita sedang minum teh. Lha, itu kalau bukan trahing, turunan priyayi, mana tahu tata karma begitu, Gen. Jadi, ya rong atus!” Mr. Rigen geleng kepala sambil tertawa njegeges. “Lha, wong priyayi kok mbarang, ngamen dari rumah ke rumah. Priyayi apa itu, Pak? Priyayi itu ya kerja kantoran seperti Bapak. Pakai baju kelabu atau Korpri. Lha, ini. Cuma pakai kaos oblong. Kumel lagi. Giginya mrotholi semua …” “Eh, eh … kok kamu jadi sadis bin beringas gitu? Ini priyayi yang sedang jatuh, Gen. Kudu dikasihani. Uang rong atus itu berapa sih, Gen?” “Yakk … kok kayak Bapak tahu 546



riwayatnya saja. Saya nderek maunya Bapak saja. Wong itu uang-uangnya Bapak. Ning pada perasaan saya kok kurang adil terhadap pengamen lainnya yang cuma dapat satus, kadang malah seket itu. Sama-sama ngamen kok dibeda-bedakan, Pak?” Sambil menghabiskan kata-katanya itu Mr. Rigen dengan bersungut-sungut pergi. Wah, naluri kerakyatan Mr. Rigen sedang ngeper ini. Tetapi, yah, peduli apa. Pokoknya saya kan yang didhapuk jadi priyayi, toh? Uang itu uang saya sendiri, toh? Maecenas di mana saja memberi bantuan uang buat seniman yang menurut roso dan krenteg-nya hati, dong. Yang ini seket, yang itu satus dan yang itu lagi rong atus … Begitulah aturan permainan memberi honorarium bagi para pengamen saya terapkan. Dan Mr. Rigen sebagai direktur kitchen cabinet pun sudah hafal 547



aturannya. Bahkan feeling-nya, roso-nya sebagai maecenas pun sudah mulai jadi. Dia mulai tahu dan mengembangkan sendiri roso kapan mesti kasih seket, satus atau rong atus. Bahkan agaknya dia mulai bisa menghargai cengkok Mister Blue Moon yang melankolis itu. Memang bukan atau belum seperti Andi Williams, tetapi untuk hiburan sore yang nani-nano itu cukuplah. Sampai pada satu waktu untuk beberapa minggu Mister Blue Moon tidak mampir-mampir lagi. “Wah, gek ke mana ya, Pak?” “Lha, ya itu. Jangan-jangan ….” “Lha, ya itu yang saya takutkan, Pak. Waktu terakhir mampir ke sini itu nyanyinya sudah diselingi cekoh-cekoh itu, Pak. Jangan-jangan TBC, Pak.” “Hush, … sak enakmu saja ngepal penyakit orang. Belum tentu, Gen. 548



Mungkin dia ketemu saudaranya yang mau nolong dia. Mungkin dia dikukup bekas kantornya suruh ikut orkes keroncong kantornya, mungkin …” Mr. Rigen njegeges lagi. “Lho, Bapak kok terus ngarang-ngarang tentang Mister Belumun itu. Kok bayangan Bapak begitu. Kalau menurut saya mungkin malah sudah mati dia, Pak.” “Kamu itu makin lama kok makin sadis to, Gen. Mbok ya kalau bayangin apa-apa itu yang optimis to, Gen, Gen.” “Klimis apa bukan klimis, wong namanya nasib wong mbarang lho, Pak. Mau sampai mana. Kalau nggak kuat ya terus nggeletak to, Pak.” Saya jadi merinding mendengar pendapat Mr. Rigen yang begitu polos dan keras itu. Mungkin dia benar. Tetapi, eh, 549



mbok ya agak halus dan tepo sliro sedikit. Kemungkinan yang dia sediakan kok begitu sedikit dan sempit, lho! Saya menguap, tiba-tiba merasa mengantuk sekali. Di kamar saya merebahkan tubuh saya di tempat tidur. Siyat-siyut mulai mengantuk. Tiba-tiba di luar saya dengar, kencrung … kencrung … kencrung. Suaranya pales dan ndesit banget. Langsung saya teriak, “Mr. Rigen, seket … seket waeee ….!”



Yogyakarta, 5 Januari 1988



550



Di Radio, Aku Dengar … KEMARAU panjang yang aneh seperti sekarang ini memang bisa mejengkelkan betul. Bagaimana tidak. Resminya panas, akan tetapi ya tidak sepenuhnya begitu. Di sela kepanasan itu menyelip tusukan dingin yang aneh, yang membuat misum kemarau ini jadi musim panas-dingin. Bagi para priyayi (termasuk saya) yang menganggap siang, sesudah kerja rutin yang tidak terlalu keras (tetapi mulia karena untuk Negara) dan makan siang dengan nasi menggunung di piring, sebagai bagian yang terindah dari hari karena saat itu adalah saat leyeh-leyeh yang diteruskan dengan berlayar ke pulau kapuk. Musim panas-dingin adalah musim pengacau. Musim itu mengacaukan jadwal rutin kenikmatan. Musim itu merusak ritme. Musim itu tidak menghargai peradaban. Lha, bagaimana, 551



sudah sebulan dua bulan ini saya susah tidur siang. Dari semua previlese, hak-hak istimewa yang satu demi satu telah disebut baik oleh yang berwajib maupun yang tidak, previlese boleh tidur siang inilah yang tinggal dan yang saya eluselus dengan mesra. We lha, kok ya ikut dicabut juga lho! “Di ladioo aku kenal lagu kesayanganmu … “ Saya yang lagi kegerahan di kamar jadi tersentak mendengar suara Beni Prakosa menyanyi, setidaknya semacam usaha untuk bernyanyi. “Eh, Mr. Rigen, sejak kapan anakmu kau masukkan jadi kader Gombloh, he?” Mr. Rigen yang lagi menyetrika dan Ms. Nansiyem yang lagi ndhidhis rambutnya sendiri tersentak, kemudian terbengongbengong. 552



“Maksud Bapak?” “Lho, piye. Itu lho, anakmu kok begitu cemerlang sudah bisa menyaingi Gombloh nyanyi „Di Radioo …’ Dari mana dia belajar? Kalian yang ngajari, apa?” “Ooo, itu to, Pak. Ya dia belajar sendiri, Pak. Niru-niru yang di radio itu lho, Pak. Dari Reco Buntung, Njeronimo dan lainlainnya itu.” “Dari RRI juga, ya?” “We, ya mboten. RRI kok nyetel Gombloh. RRI itu yang bagus cuma ketoprak.” “Yakk, mosok to, Gen. Lainnya mosok tidak ada yang bagus?” “Ya, wayang kulit yang sebulan sekali itu. Ning itu saja kalo dalange Hadisugito saking Toyan itu lho, Pak.” 553



“Lho, kowe cah Pracimantoro kok jadi seneng sama dalang Yukjo, to?!” “Bapak jangan propokasi, lho. Yukjo, Solo, itu sama bagusnya. Wong samasama kerajaan.” “Ee … sukur kalau kau begitu. Waktu Suro kita ke Solo itu kayaknya bolehmu ngecopros muji-muji Solo nggak entekentek.” Mr. Rigen meringis sambil melipat hem yang baru disetrika. “Apa lagi, Gen, acara RRI yang menarik kamu dan bojomu. Mosok Cuma yang itu tadi. Lha, kalau uyon-uyon dari dalem Ngabean dan yang adiluhung dari kraton itu?” “Wah, kalo boleh matur, Pak. Gamelan Yukjo itu terlalu keras bolehnya mukul. Cengklang, cengklang, serune ora jamak.” 554



“Huss, umuk Solomu itu, lho. Wong namanya gaya, kok. Kamu harus menikmatinya. Juga tidak semuanya cengklang, cengklang. Lihat-lihat lagunya, dong. Terus lainnya lagi mosok tidak menarik. Berita yang macam-macam itu? Siaran pedesaan?” “Wah, trimo mboten, Pak. Dengar berita kepala ngelu, pusing. Dengar siaran pedesaan … he,he,he, lha wong saya ini kan dari desa to, Pak. Kok harus dengar cerita tentang desa. Pokoknya, nggih, Pak. Radio itu penting, nanging buat hiburan saja. Mangkin sedikit ngomongnya mangkin bagus.” Dari kamarnya, tiba-tiba saya dengar Beni berteriak menirukan Gepeng menjajakan balsem. Cespleng …! “Nah itu, Gen, anakmu juga sudah ikutikutan dodol balsem. Kalian kebanyakan nyetel radio komersil, sih.” 555



“Lha, adpertensi di radio komersil itu lucu-lucu, Pak. Lagu-lagunya bagus, omongannya juga. Lumayan buat momong anak.” Wah saya jadi ingat komentar Leonard Bernstein, dulu waktu dia masih memimpin Philharmonic Orchestra di New York. Dia mengeluh, kok yang sekarang paling kreatif dan dengan beitu menarik para pendengar remaja justru jingle komersial yang menjajakan produk industri. Di Jakarta, musim panas-dingin terasa lebih dramatis lagi. Lebih menyengat, tusukan dinginnya lebih basah dan lebih berdebu. Rasanya semangkin malas dan wegah keluar rumah. Tetapi repot juga. Di rumah panas dan sumuk-nya bukan main, keluar panas-dingin berdebu. Mau naik bus harus lari, harus berdiri, harus bersedia dicopet. Mau naik taksi mahalnya bukan main, kotor tur penguk 556



lagi! Di rumah, si Gendut, kencana wingka, sisa remaja keluarga kami, saya lihat sedang nglaras di kamarnya. Pukulan telak Sipenmaru*) rupanya sudah dapat diatasinya. Di mejanya saya lihat ada segelas es jeruk dan beberapa potong siomay tergelatak di piring. Kemudian berserakan bahan-bahan penataran P4, majalah-majalah, di tangannya yang sedang dibacanya majalah Gadis. Kemudian radio yang disetel kencangkencang. Si Gendut, sama dengan remaja lainnya, adalah juga generasi kuping congekan ….. “Vina ya, nDut …?” “He … he … he … Bokap! Tiap penyanyi Vina. „Ntar suara Harvey Malaiholo dibilangin Vina. Payah deh, Bokap.” 557



“Lha, siapa dong?” “Ini, Pak. Namanya Siila, tulisannya esha-e-i-el-a, Siila Majid. Cakep „kan, suaranya?” “Ahh, Vina atau Sssyiila sama saja. Suaranya sama, lagunya sama. Apa sih, bedanya?” “Idiihh … Bokap! Jelas lain dibilang sama. Dengar „tuh. Ngucap Jakarta saja sudah lain. Kalo Siila, Jeakareta. Mana Vina bilang Jakarta begitu. Dan kalo ngucap Anyer, Siila bilang Anye. Lain „kan, Be, sama Vina.” “Kalo nanti ada lagu „Dari ngGodean ke mBantul’ bagaimana Sssyiila-mu itu akan bilang?” “Bokap mesti gitu, deh, norak!” Si Gendut tertawa anyel, aku tertawa cekakakan. Menggoda anak, tonik yang 558



sedap juga. “Mbok coba sekali-sekali kau setel RRI. Musiknya enak, halus, sopan, tidak jeritjerit gedobrakan.” Si Gendut tersenyum, tetapi senyumnya kok mengandung misteri. Tangannya memutar-mutar kenop, mencari RRI. “Nih, RRI nih.” Dari radio itu keluar suara keroncong. Lagunya “Jembatan Merah”, kencrung … kencrung … kencrung … Suaranya di siang yang hareudang begitu memang kedengarannya lelah betul. “Tuh, Be, musik RRI Babe. Tak kencrung … tak kencrung … tak kencrung … “ “Ehh, begitu-begitu musik asli kita, lho.” “Asli. „Burung Camar’ juga asli. 559



Semuanya juga asli, Be.” Wah, si Gendut mulai ngotot. “Pokoknya, Be, kalo RRI lagunya gitu terus nggak bakalan saya setel, deh.” “Lho, „kan RRI punya FM juga. Lagunya bagus-bagus.” “Bagus-bagus buat generasi Bokap sama Ibuk. Buat kita enggak, dong.” “Lha, berita-berita bagaimana, nDut? RRI „kan?” “Aahh, bosen. Beritanya begitu melulu. Mendingan nyetel tivi jam sembilan. Seru. Banyak gambarnya yang menarik. Ini, ngomooooong doang. Pokoknya, Be, RRI sedikit aja ngomongnya kayak Warkop waktu masih ngintelek dulu. Yang penting yang canggih itu, Be.” Wah, ini generasi canggih. Semua 560



maunya canggih. “Canggih itu yang bagaimana, sih?” “Yaaa, Babe. Canggih ya canggih. Begitu saja kok ditanyakan.” Satu brakotan siomay, dua tiga gelegak es jeruk. Tangannya putar-putar kenop meninggalkan RRI-ku yang malang. Saya lihat mukanya yang bunder jerawatan, rambutnya yang sedikit pangrok, telinganya yang sebelah ditindik dua, yang sebelah satu. Antingnya yang sebelah bintang kecil merah dan biru, yang sebelah bunder biasa. Anak sekolahan yang begitu masa kini kok sama lho tuntutannya sama anak tamatan SD Pracimantoro. Radio jangan banyak ngomong, musik saja ….. “Nah, ini musik kita bersama, Be …” Di radiooooo … aku dengar, lagu 561



kesayanganmu …..



*) Sipenmaru : Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Yogyakarta, 15 September 1987



562



Merdeka, Mr. Rigen TUJUH BELAS Agustusan selalu dirayakan Mr. Rigen & family di Kampung Blunyah. Kampung itu tempat dulu mereka mengontrak rumah. Agaknya mereka senang dan kerasan juga tinggal di kampung itu. Buktinya, setiap ada ritual kampung, selalu saja mereka diundang untuk datang. Selain itu, Blunyah adalah juga kampung legendaris. Setidaknya bagi penduduknya yang mengalami zaman revolusi dulu. Dengan bangga mereka akan selalu mengisahkan pengalaman mereka sebagai salah satu kampung yang menjadi persinggahan sebagian pasukan janur kuning yang ikut penyerbuan SO 1 Maret. Bisa dimengerti jadi, kalau kampung itu merasa mendapat beban historis untuk merayakan tujuhbelasan itu dengan sehebat mungkin. Daerah lewat SO, je! 563



“Kali ini kalian mau Agustusan di Blunyah lagi?” “Inggih, Pak. Wong saya sudah didapuk jadi seksi hiburan, lha ibunya Beni jadi seksi konsumsi.” “Weh, seksi hiburan, tho? Apa saja acara hiburannya?” “Ndangdut, ketoprak dan kalau si Sis dalang yang sekarang kerjo di Semarang itu pulang, ya wayangan apa, Pak.” “Wah, kok hebat lho, bekas kampungmu itu, Mister. Lha, kalau desamu di Praci sana apa ya hebat Agustusannya?” “Wah, pancen kampung itu hebat kok persatuannya, Pak. Rukun. Lha, kalau desa saya di Praci itu ramenya baris-baris, sedekah, rebutan menek pokok jambe yang dilumuri gajih, slametan dan wayangan di kelurahan.” 564



“Terus kamu mau berangkat kapan?” “Ya, kalau pareng kami semua berangkat sore ini sehabis makan siang.” “Wee, lha, cotho aku. Mangka, Boy sak anak istrinya mau singgah di sini malam ini. Kalau mau nyuguh-nyuguh mereka, aku mesti bikin wedang sendiri, nih.” “Lho, mas Boy mau rawuh, to? Wah, kasian Bapak kalau mesti repot sendiri. Lagi mas Boy sudah hampir lima tahun tidak mampir sini, nggih Pak? Bapak mesti nyuguh mereka, gitu. Apa Nansiyem dan Beni biar di rumah saja, Pak?” Saya tersenyum. Untuk kesekian kalinya kagum akan kelihaian yang dilapis tata krama dari kepala staf saya itu. Hanya orang yang sudah berkultur tinggi yang bisa menerapkan teknik begitu. Tentu saja saya akan tidak tega membiarkan 565



Nansiyem dan Beni bersedih di rumah membayangkan keramaian Agustusan di Blunyah. Edan apa?! “Huss, yang benar saja. Nggak. Kalian berangkat saja semua sore ini. Gampang, nanti mas Boy, biar dak ajak makan di luar saja.” Beni Prakosa yang baru hampir tiga tahun umurnya tetapi punya daya tangkap konversi sama dengan orang dewasa, tiba-tiba berjingkrak ke luar dari balik pintu. “Hole, hole. Kita naik jip ke Blunyah sama Bapak, sama Ibuk.” “Huss, ora-ora. Jip mau dipakai Pak Ageng sendiri ..” Sontoloyo!. Cilik-cilik sudah pinter pake kesempatan dalam kesempitan, lho … Yang namanya Boy itu anak teman 566



seperjuangan zaman ikut-ikut jadi TP (Tentara Pelajar) dulu. Mas Koen, demikian nama sahabatku itu, adalah pahlawan pasukan kami. Beraninya nggak ketulungan. Mosok siang hari bolong dia berani masuk sendirian ke Pasar Ngasem dan ngedrel satu jip Belanda yang lewat, lho. Lha, kalau saya ini TP bagian tempe. Belum-belum sudah dipanggil orang tua untuk masuk kota membantu jualan di Malioboro. Tetapi waktu perang selesai, Yogya sudah kembali, saya ketemu Mas Koen lagi di sekolah. Kami bersahabat. Dan Mas Koen tetap Mas Koen. Tidak sombong, tidak pernah membusungkan dada sebagai hero. Dan yang lebih penting bagi saya, tidak pernah ngenyek saya sebagai tepe tempe. Wajar saja. Juga di sekolah dan kemudian di universitas, Mas Koen adalah tetap seorang hero. Cemerlang dalam studi, cemerlang dalam organisasi. Tidak mengherankan bukan kalau dia kemudian 567



meniti kariernya dengan sukses sekali. Kami masih berhubungan terus. Juga sesudah kawin-mawin. Tetapi yang namanya pekerjaan dan tempat tinggal tidak pernah terlalu ramah dengan pekerjaan kami. Kami semangkin jarang ketemu. Dari jauh saya memantau kesuksesannya dengan penuh kekaguman. Tahu-tahu saya mendapat kabar kalau Boy, anaknya yang dulu sering dak gendong-gendong, sudah punya keluarga, sudah menjadi kontraktor yang sukses. Wah, anak mosok ninggal lanjaran bapaknya … Tiba-tiba saya melihat jip masuk rumah. Lho, jip kok suaranya angler sekali. Eh, Boy and family masuk dengan jip Mercedes. Kami reriungan. Boy tampak gagah, gede dhuwur, hensem, bercambang lagi. Lha, istrinya, edaann, ayuu tenan. Mungkin gabungan Andi Meriem Matalatta dan Widyawati. Ayu lagi 568



anggun. Dan anaknya yang baru satu itu, wahh, matanya bunder dan rambutnya kluwer-kluwer. “Om, usul ini, Om. Soalnya waktu kami sedikit, mau lanjut ke Malang malam ini juga. Mau ke rumah mertua.” “Bagaimana sih, kamu itu. Baru ketemu lima menit sudah bilang mau berangkat lagi. Ya sudah. Mau usul apa?” “Kita puter-puter sekarang lihat Malioboro, lihat suasana Agustusan. Terus kita makan malam di restoran Siauw Ang. Itu kan restorannya Papi sama Om zaman dulu mahasiswa, to? Kata Papi yang istimewa nasi goreng dan pangsit gorengnya. Iya, to, Om?” “Lho, lha zaman kecilmu sering dibawa Papimu ke situ kok lupa. Ya masih enak. Lantas?” Lantas ya puter-puter aja sampai capek. 569



Di restoran baru saya melihat jelas kalau pasangan muda itu tidak hanya kelihatan hensem dan ayu, tetapi juga mahal. Bajunya, sepatunya, jam tangannya bahkan baunya pun jelas mahal-mahal semua. “Dengan anggaran lesu begini apa bisnismu bisa jalan terus, Boy?” “Seharusnya tidak. Tapi ya untungnya jadi anak pejabat, Om. Boy selalu ditolong Papi lolos tender dan pembayarannya juga berjalan mulus. Tapi, kami selalu saklek, business like, Om. Papi selalu dapat komisi dari kantor kami.” “Ah, masa Boy. Papimu terima komisi? Dari kamu?” “Lha, iya. Ini wajar-wajar saja dalam bisnis, to, Om. Untuk sesuatu ada sesuatu …” 570



Saya tidak terlalu jelas lagi mendengar sambungannya. Yang terbayang adalah Mas Koen yang gagah, cemerlang dan bersih dulu. Bagaimana bisa? Saya baru sadar kembali waktu saya mendengar Boy menggerutu kepada pemilik restoran. “Yaa, bagaimana restoran Yogya bisa maju. Masak restoran beken begini tidak mau terima credit card ..” Di tangannya berenteng tiga atau empat credit card. Si Ong cuma terbengong-bengong mendengar gerutuan orang muda itu. Dengan jengkel Boy membongkar tas istrinya mengeluarkan tumpukan uang puluhan ribu. Dengan sekali sebat dihitungnya beberapa puluhan ribu kemudian dibayarkannya kepada engkoh yang masih agak panik itu. Kepanikan itu bertambah lagi waktu Boy membayar lagi sepuluh ribu rupiah sebagai uang tip kepada pemilik restoran yang malan itu. 571



Dengan gagah Boy berkata di mobil. “Sekali-kali kita bayar tip buat Cina, Om.” Edann! Boy, Boy … Di rumah, waktu jip Mercedes itu pergi, aku masih ngungun. Di meja, jam Seiko diplipit emas hadiah Agustusan dari Boy saya biarkan terus tergeletak. Setidaknya untuk sementara. Keesokan harinya, pukul 8 pagi saya dibangunkan oleh Beni Prakosa dari jendela, “Meldeka, Pak Ageng, Meldeka …” Tangan anak kecil itu dilambailambaikan, mukanya memancarkan kegembiraan anak yang sehat. Dari jendela juga saya melihat Mt. Rigen dan Mrs. Mansiyem Rigen mengerek bendera Merah Putih. Heran aku melihat mereka. 572



Begitulah kelihatan segar, gembira. Tidak capek. Padahal semalam suntuk entah apa saja yang mereka lakukan di kampung Blunyah. “Meldeka, Pak Ageng. Meldelaaa ….. “ Merdeka, Le. Merdeka Mr.Rigen, Merdeka Mrs Nansiyem.



Yogyakarta, 8 Agustus 1987



573



Membina Budaya Wong Cilik Kadang-kadang naluri priyayi feodal saya, harus saya akui, memang masih mengalir dengan derasnya di otot-otot saya. Terutama naluri sadis saya terhadap para kerabat wong cilik. Tentu bukan lagi sadisme seperti pada zaman Amangkurat, tetapi sadisme kecil-kecilan yang cukup membuat Mr. Rigen dan family frustrasi tidak karuan. Ah, tentu saja juga bukan macam sadisme kawan-kawan ndoromas zaman kecil saya yang suka memberi tahu goreng, yang diam-diam mereka penuhi dengan lombok rawit, kepada abdi mereka. Waktu para abdi itu pada blingsatan kepedasan, kawan-kawan ndoromas itu malah pada tertawa cekakakan dengan nikmatnya. Air mata mereka, para ndoromas itu, tidak kalah 574



deras mengalir dari mata mereka dibanding yang keluar dari mata para abdi mereka. Cuma yang satu air mata kegembiraan, yang satu air mata kepedihan. Wehh, air mata saja kok ternyata bisa kontekstual, lho ….. Tidak. Sadisme saya terhadap para anggota kitchen cabinet saya tentu lebih canggih dan modern daripada para ndoromas yang dekaden itu. Misalnya pada Sabtu sore ini. Daripada melihat ketoprak di teve, saya kumpulkan mereka di ruang tengah untuk saya ajak main cerdas tangkas. Tentu saja targetnya mulia bin ideal. Supaya mereka menjadi batur-batur yang kelak punya wawasan intelektual yang luas. Misalnya, saya akan bertanya, “Siapakah Sir Isaac Newton itu?” “Sinten, Pak?” tanya Mr. Rigen dengan pandangan bengong. 575



“Ser Aisaak Nyuten, bento!” “Wah, kita mboten kenal sama Sri Aisah saking Nyutran itu, Pak.” “Wee, gebleg tenan kowe. Saya cegklong gajimu Rp. 100,- satu minggu!” Muka keluarga itu mulai pucat. Mungkin batin mereka mulai ngunandika, “Majikan saya mulai kumat ini …” Adapun saya tertawa terkekeh-kekeh. “Saestu, lho Pak. Saya sama Bune ini tidak punya sedulur dengan nama begitu di Nyutran. Atau jangan-jangan Bune?” “Ora ki Pakne.” Dan Ms. Nansiyem pun menjawab sauaminya dengan pandangan yang benar-benar desperate. Habis, Rp. 100,seminggu. Kalau majikannya kumat dengan cerdas tangkas sadis begini tiap 576



Sabtu sore, sambil mengorbankan ketoprak, harus bayar berapa lagi nanti. Ha … ha … ha … haaa. Saya pun tertawa bagaikan Dursasana, satria dari Banjurjungut itu. “Ayo, satu pertanyaan lagi, Gen, Yem, Ben. Kalau kali ini tidak bisa lagi, cengklong Rp. 100,- satu minggu lagi.” Mereka kelihatan tegang. Mata mereka sedikit mendelik. Saya pun mencari-cari pertanyaan yang muskil tetapi canggih. Mau saya tanyakan urutan Pancasila dan arti-artinya pasti mereka sudah mengetahui. Meskipun mereka belum lulus penataran P4 paket satu jam pun, pastilah mereka sudah akan dapat dengan tangkas menjawabnya. Wong Pancasila kan asli berakar di bumi kita, termasuk bumi Pracimantoro. Jadi, pasti mereka sudah mengenalnya. Saya tidak ikhlas kalau mereka dapat dengan enak menjawab pertanyaan saya. Dan juga itu 577



tidak mendidik! “Nah, sekarang Gen, Yem, Ben. Perhatikan. Dengar baik-baik. Jangan ngowoh. Apakah kalian setuju dengan konsep konflik kelas dari Karl Marx?” Mr. Rigen memang lantas ngowoh betul. Kemudian rambutnya dicabuti. “Woalahhh, Paak. Gek siapa lagi orang ituuu. Nyerah, Pak. Nyerah aja Bune. Nggak usah dijawab.” “Heitt, … kalau nyerah cengklongannya Rp. 200,- seminggu. Saya lebih menghargai orang yang ngawur daripada yang menyerah. Kalau ngawur itu masih ada harapan jadi orang. Kalau belumbelum sudah menyerah mau jadi apa kowe? Cengklong Rp. 200,-” “Mati kita Bune, Ben. Gek berapa jumlah denda itu nanti. Habis gaji kita, Pak. Padahal bulan depan kita mau 578



nyadran ke desa.” “Husss, … jangan cengeng. Bagaimana kamu bias jadi batur yang modern dan canggih, kalau belum-belum sudah cengeng begitu?” Mereka duduk diam. Kekes, kecut hati mereka. Mungkin mereka ngunandika dalam hati, “Gek tadi malam pak Ageng mimpi apaa kok jadi kumat begini?” “Nah, sekarang pertanyaan satu lagi. Dengar baik-baik. Siapakah Presiden Reagan itu?” Tiba-tiba dengan sigap Ms. Nansiyem mengacungkan tangannya. “Lha, nek niku ya Bapake thole, to Pak!” “Dapurmu. Aku tanya Presiden Reagan, bukan Rigen. Sontoloyo. Cengklong lagi!” Ketiga makhluk batur itu sekarang 579



hanya bias menundukkan kepala mereka. “Sekarang benar-benar pertanyaan terakhir. Kalau sampai salah satu dari kalian tidak bisa menjawab, ojo takon dosa kalian!” Mereka makin sigap lagi mendengarkan. Penuh konsentrasi dahsyat. Mata mereka kelap-kelip seperti lampu gereja. “Siapakah Dr. Huxtable itu *)? Hayo, cepat jawab!” Mr. Rigen nglokro. Ms. Nansiyem tidak mampu lagi melolo matanya. Tiba-tiba si setan, bedhes cilik, Beni Prakosa mengacungkan tangannya. “Saya tahu, Pak Ageng. Saya tahu … “ Saya kaget. “Bener, kamu tahu, Le?” 580



“Iya, itu wong ileng di tipi. Ha … ha … ha … “ Aha, jenius cilik. Akhirnya ada harapan juga generasi muda kita. Cerdas tangkas saya bubarkan. Cengklongan, tentu saja tidak jadi diterapkan. Begitu besar hati saya melihat kecerdasan Beni Prakosa. Sejak itu, setiap hari, saya sediakan setidaknya satu jam untuk mengedril dia dengan macam-macam. Menghafal sajaksajak. Baris berbaris. Upacara bendera. Sajak yang paling dia senangi, Halo, matahali Aku disini Namaku Beni Sajak yang paling saya senangi jika dia deklamasi, Halo, Pak Ageng 581



Engkau matahali Matahali, matahali, ma – ta – ha – liii … ..



Yogyakarta, 17 Nopember 1987



582



Hidup Bagaikan ….. MESKIPUN saya adalah seorang Pancasilais (buktinya saya sudah lulus P4 dengan gemilang dan mendapat vaandel dari Kanjeng Gusti), harus saya akui bahwa sisa-sisa gaya hidup feodal masih sedikit lengket menempel di tubuh saya. Mr. Rigen meski sudah saya panggil Mister Rigen masih saya haruskan berbahasa krama halus terhadap saya dan anak kerabat saya. Dan saya tentu saja cukup dengan ngoko saja kepadanya, kepada istrinya, Mrs. Nansiyem, dan anaknya Beni Prakosa. Meskipun untuk standar gaji pembantu wilayah DIY Mr. Rigen dan family tergolong tinggi, mereka masih saya perlakukan sebagai anggota keluarga bagian belakang. Buktinya, kapan saja dan di mana saja saya merasa kelelahan, mereka masih siap sedia memijit tubuh 583



saya dan sekal-kali juga ngeroki sampai belang-belonteng seluruh badan saya. Pancasila memang mengisyaratkan sikap egaliter bagi para pemeluknya, namun menerapkan prinsip persamaan hak ternyata kita harus luwes dan bijaksana. Maksud saya luwes dan bijaksana yang menguntungkan kita ….. “Gen! Mr. Rigen! Mis – terr Ri – gennn …!” Dari belakang kedengaran jauh, “Doalemmmmm!” Melhat saya sudah menggeletak dengan sarung dan kaos oblong di tikar dekat meja, Mr. Rigen langsung tanggap ing sasmita. Bos-nya sedang lelah dan membutuhkan pijitan. Radio transistor didekatkan dan Mr. Rigen pun dengan cekatan putar-putar mencari suara gamelan di EMC atau Reco Buntung. Sejak menemukan “Ojo Lamis” ciptaan Ki 584



Nartosabdo tangan Mr. Rigen langsung menggerayangi kaki saya. Beni Prakosa pun tidak ketinggalan ikut-ikutan memegang kaki saya sambil terus nyerocos bilang nyet-nyet-nyet. Mata saya pejamkan, tangan ekspert dari Mr. Rigen dengan penuh roso mengelus kempol saya yang kaku. Suara pesinden yang mengingatkan kita jangan suka bersikap mis alias lip-service pun terdengar merdu membelai, saya semangkin yakin bahwa gaya hidup feodal punya hak didup di alam demokrasi Pancasila. Dan lima, enam menit pun berlalu. Suara nyet-nyetnyet Beni telah menghilang karena anaknya sudah lari ke kamra ibunya. Tetapi, suara Mr. Rigen, tumben betul belum juga keluar. Biasanya saat-saat seperti ini adalah saat di mana dia melepas intrik-intrik ini dan itu. Tentang ongkos hidup yang semangkin mahal, tentang babu blok anu yang dihamili tuannya, tentang hari depan Beni 585



Prakosa, tentang …. “Kok diam aja, Gen?” “Lha, cerita apa to, Pak?” “Ayakk, pasti ada yang ngganjel pikiranmu. Ya, to?” Masih diam. Tangannya terus menggerayangi kaki saya dengan enaknya. “Begini, lho, Pak. Ini bukannya saya tidak tahu berterima kasih nderek Bapak. Saya seneng-seneng saja di sini. Cuma akhir-akhir ini saya mulai mikir apa ya saya ini akan teruusss saja begini?” Saya, mak njenggirat, membalikkan badan terus duduk jegang di depannya. Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet yang ahli dan berwibawa itu, jadi mengkeret duduk bersila di depanku. 586



“Bukan, bukan itu, nDoro. Gaji dari Bapak cukup memuaskan. Cuma saya ingin ganti propesi.” “Ganti apa?” “Ganti kerjaan, nDoro. Kepingin jadi sopir.” Hatiku angles buat dua hal. Satu, Mr. Rigen, kepala kabinetku kok memanggilku “nDoro” lho.Mentang-mentang saya mulai membentaknya. Kedua, dia kepingin jadi sopir. “Lha, kamu kan kadang-kadang sudah nyopir jip saya to, Gen?” “Tapi kan belum propesi.” Uwahh, ini kata “propesi” rupanya sudah merasuk benar di benaknya. Saya pun mengalah. Mr. Rigen saya beri kesempatan cari lowongan buat jadi sopir. Setiap hari dibacanya iklan di koran. 587



Setiap ada lowongan sopir dicobanya melamar. Begitu hingga satu, dua minggu. Karena kesibukan saya mondar mandir secara rutin Yogya-Jakarta saya tidak sempat mengurusnya. Baru pada kesempatan menggeletak untuk dipijit lagi saya bisa berdialog lagi dengannya. Kali ini sunyi. Tidak ada gamelan “Condong Raos” atau nyet-nyet-nyet Beni. Yang ada hanya pijitan yang kurang antusias dan desah tarikan nafas yang dalam dari Mr. Rigen. “Bagaimana kamu berburu propesi, Mister?” “Wah, sudah lima kali gagal terus, Pak. Saingannya berat-berat, Pak.” “Mosok? Siapa saja?” “Ada yang jebolan SMA, jebolan IKIP, malah juga jebolan Gama.” “Wah, kok jebolan melulu begitu. Kamu 588



sendiri jebolan apa?” “Wah, saya tidak jebol apa-apa, Pak. Saya hanya lulus SD Pracimantoro.” “Jadi, apa rencanamu sekarang?” Diam sebentar. Mendesah lagi. “Ya, kalau pareng, untuk sementara saya masih nderek Bapak.” Mr. Rigen yang malang. Kalau kau ke New York mungkin kau masih bisa mupus, menghibur diri dengan well, life is but a bowl of cherry. Hidup hanya bagaikan semangkuk buah cherry. Kadang-kadang nyeplus yang kecut, kadang-kadang dapat yang manis. Celakanya ini di Yogya! Di sini, life is but sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat yang manis, kebanyakan sepet teruusss ….. Cilaka. Mendengar keluhan Mr. Rigen itu 589



saya malah lega. Untuk waktu yang agak lama saya masih akan menikmati pijitannya.



Yogyakarta, 7 Juli 1987



590



Malam Suro Mr. Rigen Tidak seperti Suro tahun lalu, tahun ini Mr. Rigen tidak pergi ke Solo untuk menyaksikan arak-arakan pusaka keraton dan kebo bule. Biasanya dia minta izin khusus untuk bermalam Suro di Solo bersama teman-temannya dari desa seasal, yaitu Desa Pracimantoro. Saya pernah bertanya-tanya mengapa mereka menganggap begitu penting peristiwa Suro itu untuk dirayakan di Solo. “Lha, Praci itu kan masuk bawahan Solo to, Pak.” “Lantas?” “Ha, inggih. Sebagai kawulo Solo, kita ya setahun sekali harus menyaksikan Suro di Solo to, Pak.” “Lho, kok aneh. Kamu kan sudah 591



beberapa tahun jadi kawulo Ngayogyakarta, Mister. Kok masih ke Solo saja?!” “Lha, memang benar saya cari makannya di Yukjo, Pak. Tapi, saya kan masih tetap kawulo Solo to, Pak.” “Elhoo, apa kamu tidak tahu kalau Solo itu bukan kerajaan lagi?” “Ha, inggih ngertos, Pak. Tapi, pusokopusoko keraton itu kan masih tetap ada di Solo to, Pak. Itu artinya roh keraton masih ada di situ terus.” “Lha, kamu itu ngawulo keraton, raja atau pusaka to, Gen?” “Ha, inggih semua, Pak.” “Wee, lha. Repot ini. Lha terus kalau sama republik, bagaimana kamu itu?” “Ha, inggih jelas to, Pak. Saya, Bapak 592



dan semuanya rakyat Republik Indonesia.” “Ohh, begitu to, Gen. Jadi kalau sama keraton, raja dan pusaka itu kamu kawulo. Kalau sama republik kamu itu rakyat.” “Ha, inggih. Kalo sama roh itu kawulo. Kalo sama badan wadah rakyat.” Saya mengangguk-angguk bercampur ngungun. Alangkah dahsyat pandangan dunianya. Untung belum ada program penataran P4 untuk para pembantu rumah. Kalau sudah ada, apa tidak akan babak belur para penatar itu menghadapi filsuf, sosiolog, antropolog dan sejarahwan seperti Mr. Rigen itu? Saya berharap program penataran semacam itu tidak akan ada. Tiwas bikin runyam dan menghabiskan uang negara saja. Lagi pula pandangan dan pikiran rakyat yang sering aneh itu bukankah lebih baik 593



dan lucu untuk dibiarkan saja? Begitulah. Setiap tahun Mr. Rigen beserta teman-teman sekampungnya, saya biarkan pergi menziarahi pusokopusoko keraton beserta kebo bule-nya. Sampai pada satu hari menjelang Suro, Mr. Rigen tidak kelihatan tanda-tandanya untuk memulai perjalanan pilgrimage alias perjalanan ziarah ke Solo. Yang saya lihat justru tanda-tanda lain. Beberapa hari menjelang Suro itu saya lihat Mr. Rigen anak-beranak justru sangat getol bersih-bersih di halaman tanpa ada instruksi dari bos. Dan bersih-bersihnya itu benar-benar total, habis-habisan. Gerumbul dan perdu-perdu tanpa kecuali dipotong setengah gundul. Bahkan dua pohon Sri Mahkota, pemberian teman saya yang setengah dukun setengah penjual batu akik, yang konon dapat menolak dan menangkal segala macam peluru kendali, tanpa ampun dibabat 594



tinggal separo oleh Mr. Rigen. Edyann, … pikir saya. Kalau nanti ada rudal betulan yang dikirim musuh-musuh saya, bagaimana pohon-pohon itu bisa berfungsi sebagai penangkal? “Gen, kok kamu sekeluarga ngamuk babat alas wanamarta tanpa ada instruksi dan komando dari saya? Dan Sri Mahkota kok juga kamu potong, itu bagaimana?” “Lha, besok kan Suro, Pak. Saya sekeluarga berniat bersih-bersih betul, Pak. Tidak cuma pepohonan dan halaman. Jangan khawatir, Pak. Juga dalam rumah nanti akan kami bersihkan juga.” “Nanti meja, kursi dan seprei-seprei kamu potongi juga kayak Sri Mahkota. Ciloko aku!” “Ayakk, Bapak. Ya tidak to, kalo sampai begitu. Kalo Sri Mahkota meskipun tinggal 595



lima senti dari tanah, tetap akan nolak rudal dari mana saja.” “Kok kamu tahu?” “Elhoo, Bapak. Dulu dukunnya kan bilang kalo kekuatan Sri Mahkota ini memancar berupa gelombang-gelombang yang tidak kelihatan. Jadi selama masih ada pohonnya ya masih akan kuat terus.” “Yo wis. Aku percaya sama kamu. Cuma kamu kok kayaknya tidak mau ke Solo tahun ini. Betul ya, kamu tidak pergi kali ini?” Mr. Rigen diam sejenak. Kelihatan ambil nafas sedikit. Kemudian, “Betul, Pak. Bulan lalu pada malam Anggara Kasih, saya mimpi dikunjungi Simbah saya yang sudah tidak ada. Saya diberi nasihat supaya Suro ini tidak usah pergi ke Solo. Menurut Simbah, semua tempat itu baik dan keramat serta penuh 596



pusoko, asal semua itu bersih. Yang belum bersih ya dibersihkan. Jadi ya … terus semua saya bersihkan, Pak.” “Terus apa lagi pesan Simbahmu?” “Saya harus puasa, melek semalam suntuk dan cukup mengelilingi rumah ini delapan kali. Pusoko itu ada di rumah ini, Pak. Menurut Simbah, ya Bapak itu pusoko-nya …” Mak dhuer … dher …! Seketika suara petir sambar-menyambar terdengar di dalam telinga saya dan masuk mlorot ke dalam rongga dada. Aku jadi pusoko, sekarang. Ciloko tenan! Pasti sebentar lagi pusoko ini harus siap menaikkan gaji … Begitulah. Pada sore hari itu menjelang Suro, saya lihat Mr. Rigen anak-beranak sudah tampak bersih rapi. Rumah saya pun kelihatan istimewa bersihnya. Di 597



halaman rumput itu tidak kelihatan sehelai daun nangka pun tergeletak. Hijau, rata, sehijau dan serata lapangan sepakbola Wembley. Juga lantai dan meja kursi di dalam rumah. Semua kelihatan mengkilap. Adapun Mr. Rigen memakai hem putih lengan panjang. Belum pernah saya melihat baju dan celananya sebersih itu. Juga Mrs. Nansiyem kelihatan bersih, bersinar dan kelihatan tambah cantik dalam baju hamilnya itu. Sedang Beni Prakosa tampil dalam seragam ABRI lengkap. Ketiga orang itu datang menghadap saya, tiba-tiba nglesot di depan kursi goyang kerajaan saya. “Welehh … ada apa ini? Idhul Fitri kan masih lama lagi datang?” “Nuwun, Pak Ageng. Malam ini malam Suro. Malam suci. Malam bersih-bersih jiwa. Kami sekeluarga menghadap nyuwun sawab dan restu dari Pak Ageng.” 598



Waktu berbicara seperti itu, Mr. Rigen dengan hormat dan khusuk menundukkan kepalanya, begitu juga dengan istrinya. Adapun Beni Prakosa meski duduk rapi bersila, asyik mengelapngelap rentetan bintang jasa imitasi yang menempel di dadanya. Rupanya itu penjabaran wangsit, pesan dari Simbahnya dalam mimpi malam Anggara Kasih itu. Wadhuh … saya harus tampil sebagai pusoko atau kebo bule ini. Tetapi, melihat keseriusan Mr. Rigen, perut Mrs. Nansiyem yang semangkin besar dan Beni Prakosa yang pringas-pringis sembari pethitha-pethiti dengan bintang jasa dan gerilyanya, tiba-tiba hati saya jadi trenyuh. Beginikah rakyatku harus menyembahku sebagai pusoko? Ganti pusoko keraton dan kebo bule yang di Solo itu? Edyann tenan! “Wis … wis … Mr. Rigen, kau keluarkan jip dari garasi. Kita pergi semua malam 599



ini!” Saya melihat mata Beni Prakosa yang bundar itu berputar mengeluarkan sinar hijau. “Ke restoran, Pak Ageng? Ke restoran?” Ya. Malam itu kami serumah makan malam di Kentucky Fried Chicken. Saya lupa mengecek apakah Mr. Rigen jadi puasa dan keliling rumah delapan kali sesudah itu …



Yogyakarta, 16 Agustus 1988



600



Ngalap Berkah Di Malam Suro Bagi Mr. Rigen, yang kelahiran Pracimantoro itu, pastilah tidak ada kota yang melebihi Solo perkara keindahan, keelokan serta keorisinalan ide-idenya. Tentu juga bagi istrinya, Ms. Nansiyem yang kelahiran Jatisrana. Jalan protokolnya sejak dari Purwosari hingga Jl. Slamet Riyadi, lebar bukan main. Satu arah lagi. Yogya tidak punya jalan seperti itu, kata Mr. Rigen bangga. Makanan dan kehidupan malam? Oh … Yogya bukan apa-apa dibandingkan dengan Solo, suami-istri Rigen itu terus nyerocos. “Lha, bagaimana. Kehidupan malam Malioboro itu kan baru saja, Pak.” “Yakk, ya tidak to kalau baru saja. Dari dulu ya sudah ada.” “Ning kalah lama dengan Solo, Pak. 601



Wong orang Solo itu suka kehidupan malam karena suka tirakat, kok, Pak.” “Weh, elok. Betul apa, Gen?” “Eh, lha inggih. Orang Solo itu suka jalan malam untuk nglakoni. Sambil jalan nenuwun kepada Sing Kuwaos. Jalan membisu, merenung ka-elokan-nya urip. Lha, kalo sudah capek jalan-jalan begitu berhenti. Minum dulu, nyruput wedang. Makan nasi liwet Baki.” Kemudian sebagai layaknya orang Solo pada umumnya, Mr. Rigen dengan disela dukungan mantap dari istrinya akan bercerita secara mendetil tentang riwayat kehidupan malam di Solo beserta tempattempat jajanannya. “Sega liwet Malioboro itu kan tiruan Solo. Itu pun tiruan yang jelek. Tidak gurih, tanpa areh yang putih mumpluk di taruh di atas sambel goreng jipang. Sing 602



asli itu ya sega liwet Baki itu, Pak. Lha, kalo tindak Solo mau mencicipi itu di Keprabon. Yang kondang itu mBok Lemu. Makannya harus dari daun dipincuk. Atau Bapak mau dhahar sate kambing gaya Solo?” “Eh, kok kayak kamu belum tahu saja, Gen. Aku ini kan bludreg, mana bisa makan sate kambing.” “Wah, sayang Pak. Sate kambing Solo itu elok-elok, lho. Ada sate buntel Tambaksegaran. Ada sate warung Nyus dari Pak Man. Wah, pokoknya Solo itu …. “ Pokonya bagi Mr. Rigen & family, Solo itu uber alles, di atas segalanya. Mungkin kebanggaan itu tidak terlalu berlebihan. Perdana Menteri Kruschev dari Uni Sovyet pun pernah sangat terkesan melihat kehidupan malam Solo. Komentarnya di Jakarta sepulang dari Solo, “Wah, orang 603



Solo memang hebat. Kalau bekerja tidak kenal lelah hingga jauh malam …. “ Pada waktu malam Suro datang saya kena terbujuk oleh Mr.Rigen dan kawankawan lain. Merayakan malam Suro itu ya mesti di Solo, kata mereka. Melihat arakarakan pusoko Mangkunegaran dan Kasunanan. Ikut mengarak kebo bule Kiai Slamet. Melihat lautan manusia. Nyruput wedang dongo dan mincuk, makan di pincuk, sega liwet di Keprabon. Dan kalau masih belum puas, wayang orang Sriwedari malam Suro itu mau pentas semalam suntuk. Opo ora elok? Begitulah, dengan jip saya yang antik itu berangkatlah kami ke Solo. Sejak dari Tegalondo, yang masih kira-kira dua puluh lima kilometer dari Solo, kami sudah melihat iring-iringan manusia berjalan menuju kota. Mr.Rigen yang duduk di belakang setir bertindak sebagai guide turis internasional yang profesional. 604



Tangannya menunjuk ke kiri dan kanan. Persis seperti guide luar negeri yang sebentar-sebentar bilang, “to your left, to your right, you will see … “ Dan kepala kita akan thingak-thinguk ke kiri dan kanan bagaikan kunyuk Gembira Loka. “Orang-orang yang beriringan itu, bapak-bapak, adalah orang-orang desa sekitar Tegalondo sini. Mereka jauh-jauh berjalan ke kota mau ngalap berkah.” “Lha, ngalap berkah dari siapa, Gen?” “Ya … dari Kiai Slamet si kebo bule, dari pusoko-pusoko kraton, dari Gusti Allah. Malam ini malam suci. Kudu jalan terus, tidak boleh ngantuk, nanti hilang berkahnya.” “Tidak boleh berhenti jajan wedang dan nasi liwet?” “Oh, ya boleh. Tapi kalo sudah keliling kraton.”



605



Di Keprabon, waktu kami lesehan di tempat mBok Lemu menggelar nasi liwetnya yang tersohor itu, suasana malam Suro itu sudah tampil dengan hidupnya. Di antara kami sekelompok turis bule menglesot, mencoba mencicipi nasi liwet. Manthuk-manthuk menyatakan nikmatnya sega liwet mBok Lemu. Mungkin takut dikatakan tidak punya roso canggih oleh kawan bulenya yang lain yang sudah lebih in dengan dunia Solo. Semua deretan warung di jalan Keprabon itu penuh dijejali orang jajan. Lautan manusia berjalan memenuhi jalan rupanya baru pulang dari mengikuti prosesi pusoko keraton Mangkunegaran. Sambil menunggu Kiai Slamet dan pusoko keraton keluar dari keraton, orang berjalan hilir mudik di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Prosesi itu baru akan dimulai pada pukul dua belas malam, saat masuknya tahun baru Suro. Sementara itu mereka yang datang dari segenap 606



penjuru Surakarta akan menunggu dengan sabar. Menarik juga. Menunggu datangnya sesuatu yang dianggap keramat dengan berjalan hilir mudik dan jajan duduk lesehan mat-matan. “Pusoko keraton yang dikeluarkan itu apa saja, Gen?” “Wah, … saya tidak tahu betul, Pak. Yang jelas pusoko!” “Lho, kamu itu pernah lihat malam Suro begini apa belum sih?” “Ya, sudah Pak. Cuma tidak pernah lihat jelas pusoko itu. Lha wong, orang berjubel, suk-sukan, begitu lho, Pak. Lagi pula tidak penting.” “Lho, tidak penting?” Saya kaget bukan main mendengar pernyataan Mr. Rigen. “Iya tidak penting. Tidak bisa lihat kebo bule Kiai Slamet juga tidak penting. Kalo 607



bisa lihat ya syukur, kalo tidak ya tidak apa-apa. Wong yang penting itu bukan lihatnya itu, kok, Pak.” “Lha apanya dong, yang penting. Sudah jauh-jauh datang. Untel-untelan lagi. Tidak penting lihat pusoko dan Kiai Slamet!” “Lha inggih, yang penting itu hadir kita di sini ini. Di tengah-tengah ombyaking rakyat, kawulo Surokarto.” Di Sriwedari, kami menonton wayang orang yang malam itu memainkan Banjaran Srikandi, riwayat lengkap Srikandi. Jam sudah menunjukkan menjelang pukul empat subuh. Sarworini, primadona veteran yang sudah berumur 62 tahun itu, ikut bermain lagi bersama rekan-rekan sesepuh yang lain. Luar biasa! Dengan penuh gusto, energi dan seni akting yang cemerlang, Sarworini memukau penonton waktu memainkan 608



episode “Srikandi Edan”. Begitu juga para sesepuh yang lain. Sepertinya pada malam itu mereka mendapat suntikan kekuatan remaja yang baru. Ah … tentu saja! Malam itu malam Suro. Mereka yang sudah exit panggung pun mesti hadir malam itu. Hadir itulah yang penting. Maka bagi kami pun yang tidak sempat lagi melihat prosesi Kiai Slamet dan pusoko kraton, karena terpaku lagi di dalam gedung wayang orang Sriwedari, tidak menyesal karena tidak hadir di dekat alun-alun. Kami sudah hadir bersama Sarworini, Listiorini, Darsi, Rusman dan Surono di dalam gedung wayang orang itu. Mungkin kami sudah ikut ngalap berkah juga dengan hadir semalam suntuk mengikuti riwayat Srikandi. Tetapi, waktu akhirnya saya duduk di dalam pesawat yang akan membawa saya dari lapangan terbang Solo ke Jakarta 609



dan merasa mengantuk sekali, saya tidak terlalu pasti lagi apakah berkah itu sudah turun di pangkuanku. Di dalam gedung, saya masih ingat saya pernah jatuh lelap untuk beberapa kali.



Yogyakarta, 1 September 1987



610



Pedagogisch Kontekstual Pada hari ulang tahunnya yang ke-3 beberapa waktu yang lalu, Beni Prakosa menerima berbagai macam hadiah. Mobilmobilan, pesawat terbang 747, pestolpestolan dan sudah tentu segala macam permen dan coklat. Mr. Rigen & spouse mengundang semua P(erkumpulan) D(jongos) D(jongos) –nama perkumpulan itu masih memakai ejaan lama karena katanya, konon, sudah eksis sebelum ejaan yang disempurnakan lahir- dan P(erkumpulan) B(abu) B(abu) dari wilayah kami. Organisasi ini adalah organisasi profesional, terdaftar pada Kanwil Tenaga Kerja, mempunyai anggaran dasar yang sangat canggih, memiliki kas yang terdiri dari mata uang rupiah dan dollar Amerika. Salah satu ritual mereka yang penting 611



selain arisan bulanan dan rapat koperasi, adalah juga merayakan hari ulang tahun anak-anak mereka. Rupanya kebiasaan merayakan hari ulang tahun itu dimulai oleh seorang teknokrat yang ikut pada keluarga Amerika di Sekip. Buktinya ritual itu selalu menghadirkan kue taart dengan ditancepi lilin dan ditulisi happy birthday. Kadang-kadang juga ditambah dengan ditancepi bendera Amerika Serikat, The Stars and Stripes. Tetapi, di samping kue itu juga masih disediakan satu tumpeng besar nasi kuning komplit sak uba rampene. Mungkin skenario ritual itu bersemboyan : menuju modernitas tanpa meninggalkan kepribadian tradisi kita. Hari ulang tahun ke-3 dari putra mahkota Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem, asal Pracimantoro dan Jatisrono, berjalan menurut skenario yang sudah mentradisi di kawasan kami. Kue taart itu besar, berwarna putih berkembang jambon dan 612



hijau mentah. Sebelum upacara dimulai bunga-bunga jambon itu sudah pada mretheli karena, ya dipretheli, oleh siapa lagi kalau bukan sang Beni sendiri. Peniupan lilin diksanakan oleh Beni dengan tuntas. Dengan sekali sebul matilah tiga lilin itu. Sesudah itu mereka menyanyikan lagu “Panjang Umurnya”. Hanya sang teknokrat profesor Amerika itu yang rupanya ingin show of force dengan menyanyi “Happy Birthday to You”. Sebelum berangkat dari Jakarta tempo hari, kami serumah mengadakan sidang darurat untuk menghadapi perayaan hari ulang tahun Beni Prakosa. Kami berdebat sengit tentang kado apa yang mesti diberikan. Kami setuju bahwa kado itu harus bias dipertanggung jawabkan. Mentang-mentang jebolan Fakultit Sastra, Pedagogik dan Filsafat, Universitit Gadjah Mada, istri selalu menyebut kata 613



“pedagogisch” pada hampir setiap kalimatnya. “Pak, sebaiknya kita kasih Beni buku gambar, puzzle dan blok rumahrumahan.” “Kenapa?” “Itu kado yang paling pedagogisch. Mendidik dan merangsang daya imajinasi dan daya pikirnya.” “Ah, aku sudah menjanjikan dia sepursepuran.” “Lho, itu kan tidak pedagogisch, Pak. Menurut Maria Montessori, si anak jangan dibentuk fantasinya. Biarlah dia membentuk sendiri fantasinya. Sepur sudah terlalu jelas bentuknya, sepur! Kalau blok kayu kan selain bisa dianggap rumah bisa juga jadi sepur.” “Lho, sepur yang saya beli ini sudah 614



komplit dengan rel, stasiun dan tandatanda sinyalnya, Bu. Kalau kecil-kecil sudah dilatih begini, kalau nanti dia kerja di PJKA nggak mungkin tabrakan kayak di Bintaro tempo hari.” Si Gendut, kencana wingka saya, tertawa berderai mendengar perdebatan saya dengan ibunya. Mungkin bagi telinganya kedengaran absurd sekali. “Paaaakk, Bapak. Si Beni kerja di PJKA saja belum tentu, kok sudah dibayangin tidak akan nabrakkan lokomotif. Kapan maunya bapak ibunya si Beni jadi jenderal?” “Pokoknya sepur itu sudah terlanjur Bapak beli. Itu juga pedagogisch-lah. Mengajar seluk beluk perkereta apian. Mendidik berpikir canggih. “Bapaaak, Bapak. Wong anak baru umur 3 tahun kok bolehnya repot banget 615



kita mikirin apa, Pak? Peda … peda apa, Pak?” “Tanya ibumu, tuh.” “Pe-da-go jangan go ngucapnya tapi chochis. Lho, bukan cocis! Chochis. Seperti mau nggereng gitu lho, nDut!” “Ah, sudahlah. Tenggorokan Belanda kesumbat kerikil kali.” Saya pun akhirnya pulang ke Yogya beberapa hari sesudah hari besar itu. Cerita yang saya laporkan pada permulaan kolom ini tentulah rekonstruksi saja dari apa yang diceritakan Mr. Rigen anak beranak. Dengan bangga mereka saya kumpulkan untuk saya berikan oleholeh dari Jakarta. Ritual begitu selalu saya anggap penting dan khidmat karena fungsinya adalah untuk membentuk roso solider dan kohesif dengan majikannya. Rasa terima kasih dari wong cilik 616



bukankah kudu dipupuk terus kalau ingin mencegah kontadiksi-kontradiksi dalam tubuh masyarakat? “Rene, rene, Le, nyedhak. Ya, mendekat sini, Ben.” Beni yang biasanya spontan setiap saya tawari kue, kali ini jadi tersipu-sipu mendekati saya. Mungkin suasana ritual yang menekan, mungkin rasa kagum, overwhelmed, melihat bungkusan yang apik mengkilat disodorkan di hadapannya. “Yang ini dari mBak Gendhut. Buku gambar supaya kamu pinter nggambar dan mbaca. Yang ini dari Bu Ageng. Blok untuk bikin rumah, mobil, sepur, kapal terbang, apa saja. Ini lagi dari Bu Ageng, puzzle. Ini kepingan karton bisa dikotakkatik jadi macam-macam. Dan ini, yang gedhiii banget ini, tentu saja dari Pak Ageng. Sepur seperti di Stasiun Tugu itu. Tuwit, tuwiitt, jes-jes-jes, jo jajan, jo 617



jajan ….” Dan seharian itu saya bersama keluarga Rigen geletakan di tikar main anaknya. Beni dengan gembiranya melihat dan mengawasi bapaknya dan Pak Ageng memainkan sepur-sepuran, memasang stasiun dan bermain puzzle dan melihat ibunya dengan asyik melihat buku-buku gambar. Beberapa minggu berlalu. Seperti biasa saya terbenam pekerjaan mondar-mandir Yogya-Jakarta hingga tidak sadar bahwa rumah saya lengang-lengang saja. Saya selalu berharap hari-hari pasca kado itu akan dibarengi dengan suara gaduh sepur-sepuran, teriakan gembira Beni mencoret-coret buku gambarnya dan mengobrak-ngabrik kepingan puzzle-nya. Tidak. Rumah keliwat tertib dan sepi. “Lho, Gen. Mana Beni, kok tidak main sepur-sepuran-nya. Atau gambar, kek. 618



Coba bikin puzzle, kek. Di mana dia?” “Itu di luar, di pinggir jalan nyegati bakul-bakul yang lewat untuk ditodongi dengan pestolnya.” Saya melongok ke jalan. Benar saja. Beni sedang menodong nenek tua pengemis langganan kami, “Angkat tangan, angkat tangan …..!” “Lho, kok dia tidak kamu ajak main sepur atau nggambar. Itu mainan pedagogisch, Mister!” “Apa, Pak?” “Pe-da-go-gisch. Pestol itu tidak pedagogisch, Gen. Itu mendidik anak jadi galak, lho. Kok sepur-nya tidak dimainkan?” “Anaknya malas masang relnya. Saya juga malas ngajari terus, Pak.” 619



Dari luar Beni berlari ke dalam. Pestolnya diacungkan kepadaku. “Dher,dher,dher!. Angkat tangan, Pak Ageng. Angkat tangan, Pak Ageng. Banda apa nyawa. Banda apa nyawa …!” Saya melirik ke Mr. Rigen. Pasti itu ajaran bapaknya. Banda apa nyawa. Tetapi Mr. Rigen membuang mukanya, pura-pura tidak tahu saya lirik. Di Jakarta, di rumahku di Cipinang, saya laporkan fenomena kultural itu kepada istriku yang pedagogisch. Istriku hanya geleng-geleng kepala mendengar laporanku. Aku sendiri tiba-tiba saja nyeletuk, “Mungkin benar juga Arief Budiman dan Ariel Herianto. Kontekstual, kontekstual, kontekstual. Semua itu kontekstual. Juga mainan anak, dong.” “Maksudmu karena Rigen kepingin anaknya jadi jenderal, kecil-kecil sudah 620



diajari main pestol?” Saya tidak menjawab pertanyaan yang tendensius begitu. Saya hanya terbayang Beni Prakosa menodongkan pestolnya kepada nenek pengemis itu. Angkat tangan, angkat tangan. Banda apa nyawa, banda apa nyawa …..



Yogyakarta, 24 Nopember 1987



621



Suro Sakmadyaning Wono Waktu saya pulang dari Jakarta untuk tujuh belas agustusan bersama keluarga, saya dapati seorang tua berbaju Jawa lengkap dengan ikat kepala duduk di lincak teras depan. Kumisnya yang sporadis sudah pada memutih. Pastilah rambut yang tersembunyi di dalam iket juga pada memutih semua. Waktu dia menyambut saya, tersenyum sedikit meringis, giginya juga tidak mau kalah sporadisnya dengan kumisnya. Tinggal do, re, mi, fa, sol, blirik semua. Sikapnya gagah, tidak merunduk-runduk, sebagai layaknya wong cilik yang berhadapan dengan seorang priyagung. “Nuwun, Pak. Kenalkan kulo pun Suro Sakmadyaning Wono. Suro itu berani, sakmadyaning wono itu di tengah hutan. Jadi berani di tengahnya hutan. Ueh … 622



eh … he … he …” Sehabis melempar bunyi ketawa yang seperti ringkik kuda itu, seketika mulutnya tertutup kembali. Sikapnya tegak, kedua tangannya ngapurancang, siap menunggu reaksi saya. “Ya, baiklah. Kenalkan juga, saya pun Ageng tanpa sakmadyaning apa-apa. Saya yang kebetulan tinggal di rumah ini. Lha, sampeyan ini sesungguhnya siapa?” “Ueh … eh … he … he … Saya ini dongkol jagabaya Desa Wonojati, Pracimantoro … “ Uwahh, jadi beliau ini mantan pangkopkamtib mini lokal, to. Dan mengingat bahwa desanya itu masuk laladan Praci, pastilah dia masih mambumambu, bau-bau, keluarga Mr. Rigen. “Dulu, semua hutan, bukit, berikut 623



semua isinya itu di bawah lindungan saya. Dan waktu zaman gegeran Londo dulu, semua tentara dan para priyayi kota yang mengungsi di desa kami juga saya yang melindungi mereka semua. Ueh … eh … he … he … “ Lagi ringkik kuda dan lagi diikuti oleh katup mulut yang semi otomatis. Saya pikir orang tua ini unik juga. Dalam dua tiga kalimat dia sudah dapat memberikan sedikit otobiografinya. Tanpa diminta lagi. Tapi, apa betul dia itu masih sanak keluarga dari Mr. Rigen? Kalau menilik desanya, ya memper kalau masih saudara direktur kitchen cabinet saya. Tetapi, kalau ditilik dari polah tingkah lakunya, kok begitu jauh dari Mr. Rigen yang, meski pangkatnya sudah top dalam jenjang birokrasi rumah tangga saya, sangat rendah hati. Tiba-tiba Mr. Rigen datang serentak memboncengkan Beni Prakosa pulang 624



dari sekolah. Mukanya kelihatan gugup serentak melihat saya berhadapan dengan orang tua itu. Mungkin tidak mengira saya pulang hari itu. Buru-buru dia mendekati kami berdua. Dengan malu-malu dia memperkenalkan orang tua itu, yang ternyata masih paman jauh darinya. “Ini Pakdhe Surodimedjo, Pak Ageng. Pakdhe saya dari pihak kakak kemenakan bapak saya di Praci. Nuwun sewu, dia sudah beberapa hari menginap di sini. Besok sudah mau pulang ke Praci.” Saya jadi kasihan melihat Mr. Rigen yang begitu gugup menjelaskan itu semua. Saya jadi heran, kok tumben betul dia gugup begitu memperkenalkan saudaranya. Biasanya, saudarasaudaranya datang dan pergi, dia tenangtenang saja melapor. Eh, kali ini kok tampak agak panik. 625



“Yo wis, gak apa-apa. Tapi, namanya kok agak berbeda dengan yang dia sebutkan sendiri, Gen. Namanya tadi agak lebih panjang itu, Gen.” “Lho, siapa lagi nama sampeyan, Pakdhe?” “Suro Sakmadyaning Wono. Ueh … eh … he … he … “ “Lha, rak tenan! Sampeyan kan sudah saya pesan wanti-wanti jangan clometan sama Pak Ageng. Ini sampeyan rak sudah bikin saya kewirangan, malu, sama Pak Ageng, Pakdhe!” “Wong nama saja kok bisa bikin malu to, Le … Le …!” “Betul Pakdhe-mu itu, Gen. Buat saya sama baik dan sama kocaknya, apakah Suro itu di meja atau Suro itu di tengah hutan. Sudahlah, Pak Suro, yang enak 626



saja tinggal di sini.” Tetapi, pada malam harinya, waktu saya sedang membaca di kamar kerja, Mr. Rigen datang dengan berjingkat masuk kamar kerja saya. “Pak, nuwun sewu mengganggu. Soalnya saya masih belum enak saja kalo saya belum mohon maaf kepada Bapak tentang Pakdhe saya. Juga saya ingin cerita riwayat dia yang sesungguhnya.” “Yo wis. Tidak jadi apa, Gen. Tapi, cerita dia itu bagaimana?” “Begini, Pak Ageng. Dia itu, seperti Bapak sudah lihat sendiri, kurang waras.” Dan Mr. Rigen pun meletakkan jari telunjuknya miring di bathuk-nya. Saya lalu menggeser tempat dudukku agar dapat mendengar cerita Mr. Rigen tentang pakdhe-nya yang misterius itu. 627



Pak Surodimedjo atau Pak Suro Sakmadyaning Wono atau Pak Suro siapa lagi itu, dahulu tidak begitu. Dahulu dia adalah seorang jagabaya desa yang sangat penuh dedikasi dengan pekerjaannya. Tugas menjaga keamanan desa dan sekitarnya dia kerjakan dengan baik. Entah sudah berapa maling, rampok dan kecu kena diringkusnya. Selain itu Pak Suro juga seorang petani yang boleh dibilang kaya. Sawahnya luas, rumahnya joglo, kebunnya juga tidak sedikit penghasilannya. Pendek kata, Pak Suro itu boleh dibilang juga seorang yang populer di desanya. Sebagai jagabaya efektif, mrantasi. Sebagai manusia pun dia juga sangat sosial. Banyak sekali bantuan yang sudah dia berikan kepada desa. Masjid dan langgar-langgar di desa dan sekitarnya, dialah yang paling banyak menyumbang. Dan pribadi-pribadi di desanya, oh … 628



tidak terhitung lagi yang berhutang budi kepadanya. Kemudian datanglah clash kedua. Orang-orang kota tiba-tiba datang menyerbu masuk ke desa-desa untuk menyelamatkan diri. Para pegawai sipil republik, para anggota berbagai kesatuan militer dan semi militer, bergantian datang dan pergi ke Desa Wonojati. Rumah-rumah di desa dikerahkan untuk menampung mereka dan sudah tentu juga untuk mengurus makan mereka. Dengan penuh semangat dan dedikasi, penduduk desa bekerja sekuat tenaga menampung dan mengusahakan agar para priyagung sipil dan militer kota pada kerasan dan aman tinggal di desa. Dan Pak Suro sebagai jagabaya diperintahkan oleh pak lurah agar mengatur keamanan dan ketenteraman para pendatang dari kota itu. Tugas itu diterima dan dilaksanakan dengan gembira. Rumah 629



joglonya disediakan untuk menampung satu peleton prajurit. Belum lagi satu, dua keluarga sipil yang mengungsi di desa itu juga ditampungnya. Milik pribadinya disumbangkan untuk mengongkosi dapur umum. Sampai pada satu malam, datang musibah yang di kemudian hari mengubah sama sekali hidup Pak Suro. Sumini, anak tunggal Pak Suro, dihamili oleh salah seorang pendatang itu. Bukan main kaget dan tergoncang keluarga Pak Suro mendengar itu. Pak dan Bu Suro yang agaknya tidak pernah menduga dan bersiap untuk menyambut kedatangan bala seperti itu, jadi terguncang benar mental mereka. Bagaimana bisa?! Orang yang sudah diterima dengan segala keikhlasan dan diurus baik-baik bisa begitu tega berbuat seperti itu. Tetapi, waktu Sumini mengakui terus terang bahwa dia juga mencintai bintara 630



muda itu dan keluarga Pak Suro dijamin oleh teman-temannya bahwa segera setelah mereka memenangkan kemerdekaan semua akan beres, keluarga Pak Suro pun jadi lega. Sumini akan dijemput ke kota dan satu kehidupan baru yang juga penuh kebahagiaan dan keindahan akan menunggu mereka di kota. Peleton itu pun berangkat meninggalkan desa untuk diganti oleh peleton yang lain. Dan bintara muda, yang mengaku bernama Mas Lesmana Mandrakumara dan tinggal di Yogya, sekali lagi berjanji untuk kembali menjemputnya kelak. Bagai Jenderal Douglas MacArthur yang mengatakan „I Shall Return’, Mas Lesmana pun berangkat meninggalkan desa. Sampai berbulan, bertahun bahkan sampai jauh sesudah kemerdekaan itu dimenangkan. Sumini jadi gila menunggu, anaknya meninggal waktu dilahirkan, Bu 631



Suro pun tidak lama kemudian ikut juga mati negenes. Pak Suro berupaya ke sana-sini untuk mengobati Sumini. Entah sudah berapa dukun dan para waskita dimintai tolong, tidak berhasil. Dan Sumini makin menjadi gilanya. Bahkan jadi berbahaya bagi warga desa karena mulai berteriak-teriak dan sering mengamuk. Pak Suro juga mencoba mencari Mas Lesmana Mandrakumara ke berbagai kota, tidak berhasil. Akhirnya Pak Suro memasung Sumini dalam sebuah gubuk di dalam hutan. “Jadi, Pak, kalo Pakdhe Suro kadangkadang ke kota itu untuk mencari Mas Lesmana Mandrakumara itu.” “Juga kali ini?” “Juga kali ini. Cuma saya apusi kalo Mas Lesmana Mandrakumara saya dengar sekarang dinas di luar negeri. Harapan saya Pakdhe akan berhenti mencari 632



Lesmana dan mau mengurus Sumini yang dipasung.” Saya jadi tercenung. Suro Sakmadyaning Wono. Alangkah rapuh dan mengejutkan kadang-kadang jalan hidup seseorang. Alangkah kadangkadang terasa tidak asil perang kemerdekaan memperlakukan orang. Dan beberapa malam sebelum itu di kompleks Cipinang, Jakarta, saya baru berceramah tentang makna revolusi dan kemerdekaan kita kepada anak-anak muda di kompleks itu … Esok paginya, Pak Suro Sakmadyaning Wono pamit. Pagi itu dia masih memakai baju Jawa komplet yang dikenakan kemarin. Cuma kali ini dia memakai lencana merah-putih di dada sebelah kiri. “Nyuwun pamit, Pak. Matur suwun sampun dipun paringi penginepan lan tedha. Ueh .. eh … he … he … “ 633



Saya melihat dia berjalan digandeng Mr. Rigen semangkin menjauh.



Yogyakarta, 23 Agustus 1988



634



Martabak, Bukan Martabat Agak rikuh juga sesungguhnya persatuan para pembantu rumah tangga di wilayah kami memakai kata-kata “djongos” (pakai ejaan lama lagi!) dan “babu”. Para majikan mereka saja, para anggota elite birokrasi itu, sudah melebur dan mengubur kata “priyayi” dan mengubahnya menjadi Korpri. Masak mereka, para pembantu itu, masih begitu konservatif bin kolot menamakan persatuan mereka PDD dan PBB. Konotasi penamaan itu masih kolonial betul. Djongos, babu ….. “Gen, mbok nama persatuan kalian itu dirubah yang lebih progresif begitu to, Gen!” Mr. Rigen menghentikan pengepelannya dan Beni Prakosa menghentikan juga 635



pemerasan lap pelnya. “Pripun, Pak. Nama PDD dan PBB diganti? Tak mungkin, tak mungkin!” “Tak mungkin, tak mungkin ….” Beni Prakosa ikut nyelonong membeo bapaknya. “Halahh, tak mungkin yo tak mungkin. Tapi nggak usah sewot kayak almarhum Johny Gudel begitu, to. Ini bedhes cilik juga begitu. Ikut nyerocos saja. Kenapa tak mungkin, Mister?” “Lha, wong sudah dicoba ganti lewat rapat bola-bali gagal terus kok, Pak.” “Wong ngganti begitu saja kok susah banget to, Gen. Kan kalau sudah sadar kata “djongos” dan “babu” itu kolonial, menghina martabat kemanusiaan kalian, tinggal srett, nyoret kata itu to, Gen. Ganti apa, kek. Wong martabat kalian itu sama saja dengan kami priyayi, eh … 636



para anggota Korpri. Ini republik sudah egaliter, Gen.” “Lha, nyatanya ya sudah begitu kok Pak, nyoret mak srett kata “djongos” dan “babu” itu. Martabat ya martabat, ning nyatanya banyak yang masih owel itu Pak, ngganti kata-kata itu.” “Martabat itu masalah prinsip, Gen … “ “Pak Ageng, Beni mau martabak. Martabak ya, Pak Ageng … “ “Huss, … bedhes cilik ngikut saja! Ini urusan martabat bukan martabak. Sana, ikut mbok-mu sana, kalau mau ngurus martabak!” Sambil membik-membik mau nangis, Beni lari ke pangkuan Ms. Nansiyem. Saya meneruskan wejangan tentang hak asasi dan martabat manusia merdeka yang sudah dijamin dalam Pancasila dan 637



UUD 1945. “Martabat kalian kudu tetap dijunjung tinggi. Jangan takut. Nanti aku yang ngeback jadi deking kalian.” “Lho, Bapak ini. Wong sudah diaturi tidak bisa kok nekat saja, lho. Begini lho, Pak ceritanya …..” PDD dan PBB itu ternyata memang sudah mengadakan rapat pleno gabungan beberapa kali untuk mengubah nama mereka. Bukan hanya saya dan para kolega, seperti Prof. Lemahamba, Dr. Wismangrebda dan Ir. Mohammad Ngelmu Saqhohah saja yang rikuh melihat fenomena per-djongosan dan perbabuan itu. Ternyata pemerintah pun begitu. Kanwil Tenaga Kerja sudah menghimbau mereka agar mengubah nama persatuan mereka itu. Dan mereka pun lantas mengadakan 638



rapat pleno gabungan itu. Berbagai nama baru diajukan dan perdebatan pun jadi sengit. Menurut Mr. Rigen ada yang usul mengubah nama itu menjadi “Persatuan Karyawan Wisma Pancasila”. Ditolak, karena itu nanti dikira karyawan guesthouse Wisma Pancasila. Kemudian ada lagi yang mengusulkan “Serikat Kaum Pekerja Rumah Tangga”. Ditolak lagi. Itu terlalu mengingatkan mereka kepada serikat buruh zaman PKI masih jaya dulu. Kan sekarang sudah Pancasila, kata salah seorang pemimpin mereka. Nama itu mesti ada Pancasila-nya. Maka nama baru pun diajukan lagi, “Korps Karyawan Keluarga Wisma Yang Pancasila” dipendekkan menjadi “Korkarkelwisyapan”. Wah, terlalu panjang. Lagi pula nanti dikira mau menandingi Korpri. Mana mungkin. Kan Korpri itu majikan-majikan kita, begitu dalih mereka. Dan juga, kalau kependekan yang panjang itu diucapkan 639



dengan memotong di tengah, Kokarkelwisyapan, kok kedengarannya kayak mau pamit pergi saja. Gagal lagi. Akhirnya seorang anggota wanita mengacungkan tangannya. Mengusulkan, “Mbok … jadi orang itu yang prasojo saja. Saya usul nama itu diganti Kawula Bendera Ngayogyakarta …” Usul itu memancing kegegeran. Lho, lho, lho … kok pakai “bendera” dan “kawula” segala. Kan kita sudah merdhika, mbakyu! Dan menurut Mr. Rigen, mbakyu itu sambil tertawa bilang, “Merdhika? Merdhika mbel tut!” Maka rapat pleno gabungan itu pun segera bubar tanpa mengambil keputusan apa-apa. Artinya mereka ya tetap mempertahankan nama PDD dan PBB saja. “Begitu lho, Pak, ceritanya. Susah kan, Pak, ngatur batur-batur?” “Wah, kalian kok belum-belum sudah minder dan keburu putus asa begitu. 640



Frappe, frappetoyours, Gen. Martabat, Gen, martabat …. “ “Wah, Bapak kok terus tape, tape mak nyuss. Martabak, martabak …. “ Seminggu sesudah itu ganti kami pengurus Paguyuban Penghuni Wisma Negara bersidang. Pengurusnya ya Cuma empat orang. Prof. Lemahamba, Dr. Wismangrebda, Ir. Mohammad Ngelmu Saqhohah dan saya sendiri. Acara tunggal membahas petisi dari PDD dan PBB. Adapun isi petisi itu demikian ; Hunjuk Beritahu, Bahuasanya harga beras dan baju dan jajan anak-anak naik. Muhun dengan sangat : a)Gajih dinaekkan mulai ini bulan b)Dapat tunjangan lauk pauk dan uang jajan 641



c)Selesai d)Matur nuwun sangat Tertanda atas nama sadaya anggota :



Sadimin H.P (ketua) Riyadi H.S (sekeretaris) Samijem B (bendahara) Marsinem, mBok (sesepuh penasihat) Kami memutar otak membaca petisi tersebut. Jelas petisi itu tidak segalak petisi 50, bukan pula susastra para sastarawan Yogya, tetapi isinya tegas, lempeng dan bias dimengerti. Kami berembuk dan berembuk. Memutar otak karena naluri kami sebagai akademisi dan intelektual bukankah mesti memutar otak. Juga untuk petisi yang begitu lempeng dan jelas serta buat saya pribadi 642



agak mengharukan juga. “Apa-apan ini!” seru Prof. Lemahamba yang lemahnya amba dan losmennya sukses. “Kita sendiri sebagai abdi Negara belum naik gaji. Kok mereka minta naik gaji.” “Dihitung dengan rumus statistik apa pun, kenaikan kebutuhan mereka dibanding dengan kenaikan kebutuhan dan tetapnya pendapatan kita tidak signifikan, dus, permohonan mereka tidak relevan.” Ir. Mohammad Ngelmu Saqhohah menyampaikan pendapatnya yang sangat ilmiah. “Ini pasti ada unsur kiri, kalau tidak malah PKI dalam tubuh PDD dan PBB. Wong kita masih prihatin begini, kok. Mereka itu mbok ya rada Pancasilais sedikit begitu, lho!” Dr. Wismangrebda, yang rumah-rumah pribadinya dikontrak 643



para kontraktor asing, menyampaikan pendapatnya dengan penuh tepo sliro. Akhirnya, kami memutuskan, untuk sementara, belum bisa menerima petisi itu. Dan saya, yang katanya pemain film, akan bisa berakting di depan pengurus PBB dan PDD itu, dus saya yang harus menyampaikan jawaban kami itu. Matik aku! Aku yang tempo hari dengan penuh gusto berpidato tentang martabat kepada Mr. Rigen. Dan seperti itu belum cukup. Pertemuan itu ditutup dengan masuknya Ibu Lemahamba menyilakan suguhan. “Monggo, monggo lho. Martabaknya pumpung masih anget. Monggo, monggo …. “ Dan martabak itu memang masih anget. Mak nyusss ….!! Yogyakarta, 8 Desember 1987 644



Badai Pun Sudah Berlalu Kampanye pemilu datang dan pergi bagaikan badai di kota ini. Sekali akan datang berembus dahsyat membawa ekor lesus berwarna hijau, kemudian ekor puting beliung yang berwarna kuning, kemudian lagi prahara berwarna merah. Setiap ekor panjang berwarna dahsyat itu mengeluarkan suara gemuruh, gemelegar bagai guruh yang tidak mau berhenti. Dahulu, zaman saya masih anak-anak, gejala seperti itu akan ditanggapi sebagai berbagai macam tanda atau sasmita. Satu saat mungkin ekor lesus yang berwarna hijau, kuning atau merah itu akan ditanggapi sebagai segera datangnya bala berupa pageblug, musim penyakit menular, yang dahsyat. Pagi sakit, sore sudah meninggal. Pagi cuma mules, sore sudah mati kejang. Atau, 645



karena badai itu diikuti oleh suara gemuruh, ditafsirkan akan datangnya lampor, yakni konvoi “kendaraan magic” dari kerajaan lelembut Nyai Roro Kidul yang mengawal dan mengiringi ratu lelembut yang konon berwajah cantik tiada tara. Menurut para tua-tua kampung pada waktu itu, Nyai berkenan datang ke salah satu kota magic, Solo atau Yogya, untuk show of force, bertamasya atau mungkin menghadiri konferensi meja bundar di keraton rajaraja Jawa (harap jangan ditanyakan apa agenda konferensi itu ….. ). Apa pun, badai beserta suara gemuruhnya yang berkepanjangan dan ekor panjang berombak yang berwarna itu tidak akan dibiarkan berlalu tanpa interpretasi canggih dari penduduk. Semua melihat gejala itu sebagai satu sistem tanda yang cepat atau lambat diperkirakan akan membawa konsekuensi perubahan yang gawat buat negeri ini. (Para ahli semiotik, 646



makanya jangan kesusu kagum pada ahli teori Barat dengan cas-cis-cus bilang kalau di Amerika … di Australia ……. Sejak zaman dahulu orang Jawa sudah tahu apa itu semiotik. Semua sudah dilihat sebagai satu sistem tanda, lho!). Mas Joyoboyo, penjaja ayam panggang Klaten yang tiap hari Minggu setia menggedor pintu rumah dan langsung duduk nglesot di lantai dan dengan keterampilan seorang pro membeber paha-paha dan dada-dada yang coklat kehitaman di depanku, pada suatu Minggu pagi bercerita dengan penuh semangat dan emosi. Tentu saja tentang kampanye. Wong sedang musim kampanye. “Den, wah sudah to, kampanye itu jan elok tenan!” “Elok-nya?” 647



“Lho, wong kampanye kok ngangge gontok-gontokan, ancam-ancaman segala. Lha, dor … wonten sing mati!” “Lho, itu khan namanya resiko pesta demokrasi, Mas. Pesta ndangndut aja ada resiko mati, je …” Mas Joyoboyo terus aja dengan laporannya. Mungkin kata resiko (yang menurut saya kata kunci yang penting) tidak digubrisnya, mungkin ya tidak didengarnya karena “resiko” itu mungkin ya bukan kata apa-apa. Tangannya terus cak-cek menyambar dada, tepong dan menthok dibungkusnya – dengan cekatan – dalam daun pisang. Dan dengan tangannya mengacung-acungkan paha mulus kecoklatan, dia meneruskan cerocosannya. “Lha, pripun. Kampanye itu nggih, mestinya ya apik-apikan mawon. Wong Jowo itu „kan ya mestinya rukun saja. 648



Kampanye kok jor-joran. Kampanye itu sing guyup gitu, lho. Baris-baris bareng, nyanyi bareng, njoget bareng, saling muji golongane dhewe-dhewe. Rak begitu? Wong yang pisuh-pisuhan kampanye itu, kalau habis pemilu ya bareng-bareng saya lagi cuma dodolan ayam panggang atau kuliah lagi sama-sama anak saya lho. Kok sekarang itu bolehnya gawat, lho. Pahanya Den, besar, empuk, ayu, coklat .. “ “Sampeyan itu pripun, Mas. Ya, ini demokrasi tenan. Kalau kampanye boleh ndongeng program dan kehebatannya sendiri-sendiri. Bebas. Wong demokrasi, kok! Lho, sing pinter dodolan kampanye nanti nek coblosan dapat suara terbanyak. Terus dia nanti yang akan „ngatur pemerintahan. Pesta demokrasi, kok Mas …” “Den, niki dadane dua, mentoke dua, pahane papat. Lha, roti santen 649



tengkoweh loro. Semua delapan ribu dua ratus empat puluh sen. Maringi duit pas, ya Den!” Mau apa lagi kecuali membayarnya? Uang pas recehan itu saya pinjam dari para pembantu di belakang. Suara rakyat terus terdengar lagi. Penggeng eyem, … penggeng eyem, … penggeng eyem … Rigen adalah pembantu rumah yang sudah ikut saya selama sepuluh tahun. Pada hari ultah angkatan bersenjata dua setengah tahun yang lalu, ia punya anak. Dinamakan Beni Prakosa. Cita-cita orang tuanya, minimal, … minimal, anaknya kelak mesti jadi pati ABRI. Dia melihat kelahiran pada hari keramat, begitu juga dalam rangka sisten tanda. Pada musim kampanye itu setiap sore dia anak-beranak akan siap berdiri di pinggir jalan nonton gelombang badai kampanye lewat gemumruh di depan 650



hidungnya. Dasar anak calon jenius, si Ben yang baru berumur dua setengah tahun itu, sudah apal semua tanda gambar. “Gambar nomor satu apa, Le?” “Srengenge!” Tangannya ngacung jempol. “Kalau gambar nomor duwa, Le?” “Pohon jambuuu!” Tangannya ngacung jari dua. “Lha, kalau gambar nomor tiga, Le?” “Kebo, kebo!” Tangannya ngacung jari tiga. Dasar calon jenius. Sampai sekarang, jauh sesudah badai kampanye itu berlalu dan kita menanti-nanti hasil ramalan Mas Joyoboyo, si Ben masih terus berkampanye. Mau makan; hidup … hidup srengenge! Mau makan lagi; hidup 651



… hidup wit jambu! Mau makan lagi; hidup kebo … hidup keboo! Dasar calon jenius. Seharian kuping kita kudu sabar dan senang mendengar excitement jenius kita itu. Hari Minggu pertama sesudah pemilu, Mas Joyoboyo sudah nglesot di depan pintu lagi. Sambil dengan terampilnya membeber dada dan paha dia laporkan dengan nada gembira. “To, pripun, Den! Saya bilang apa!” “Lho, lha bilang apa?” “Bar kampanye dan coblosan semua, „kan mulih ke kandange dhewe-dhewe! Sing bakul seperti saya ya rukun jadi bakul lagi. Sing cah mahasiswa ya kembali sekolah lagi. Sing babu, hihiikkk, ya jadi babu lagi. Apa? Wong tiyang Jowo saja lho, Den!” Saya tersinggung entah kena apa. 652



“Lho, wong Jowo, apa? Wong Jowo kenapa …!” “Niku wau dadane dua, pahane dua, mentoke ….. “ Saya tidak mendengar lagi apa yang diomongkan. Cepat-cepat saya rogoh dompet. Saya bayar jreng. Dan dia pun kabur sambil …. Penggeng eyem … penggeng … “Mister Rigen, kowe nyoblos apa, hah?” “DPR wit jambu, tingkat satu srengenge, tingkat dua kebo.” “Lho …?” “Lha, nyoblos apa saja „kan saya tetap jadi batur sampeyan, to, Pak ….. “ Yogyakarta, 12 Mei 1987



653



Status Mister rigen, yang bukan hanya berpangkat direktur jenderal dari kitchen cabinet saya, tetapi juga komandan satpam rumah dan sewaktu-waktu juga sopir pribadi, pada suatu hari mengeluh kepada saya. “Wah, Pak, knalpot jip itu bocor lagi. Suaranya nggegirisi seperti mobil balap anak-anak muda.” “Ya malah keren to, Gen.” “Ayakk, Bapak ki. Jip sudah butut begitu mbok diganti saja, Pak.” “Huss, jipnya embahmu apa! Seenaknya aja diganti. Itu jip negara. Kalau ambrol baru boleh diganti, tahu! Tur negaranya baru prihatin, tidak punya duit.” 654



“Lhaa, ya negara. Maksud saya, Bapak mundut ngredit mobil sendiri. Wong bapak-bapak lain sudah pada ngredit begitu, kok. Malah ada yang sudah jreng apa, lho.” “Yo ben, Gen. Wong saya ini tidak mampu ngredit. Apa lagi jreng. Tangeh lamun. Lha, yang mau dipakai ngredit dan jreng itu apa to, Gen … Gen. Wong kamu tahu gaji tuanmu ini berapa.” “Lhaa, ya gaji. Sepakan seminarseminar. Bapak blebar-bleber ke manamana itu mosok tidak cukup to, Pak?” “Ohh, kowe tak sepak pisan! Blebarbleber. Kamu kira banyak to duit blebarbleber itu? Ora, kamu kok tiba-tiba begitu getol mendesak saya ganti mobil baru itu kenapa?” “Ya, tidak apa-apa, Pak. Begitu saja usul. Ee … kan ya saya ini ikut senang 655



dan mongkok, to Pak, kalau Bapak punya mobil sendiri yang keren. Catnya mulus. Suara mesinnya tidak kemrosak seperti lampor. Pintunya halus kalau ditutup, mak beupp, tidak glodakan seperti pintu bui. Dan kalau ibu sama putri-putri rawuh dari Jakarta mau ameng-ameng kan ya lebih pantes, lebih grengseng kalau mobilnya baru, to Pak.” “Wis, .. wis, nyapu latar sana. Omonganmu mulai manas ati.” Mr. Rigen tersenyum klejingan pergi menyambar sapu terus ke halaman depan. Waktu suara sapunya kedengaran, krek-krek, saya tersenyum sendirian. Ngunandika. Lha, ya, wong namanya wulu cumbu. Kalau tidak memasukkan input pikiran yang cemerlang tetapi gendeng bukan wulu cumbu namanya. Seminggu kemudian waktu saya sedang leyeh-leyeh di lincak bambu tutul, 656



Mr. Rigen datang bersama koleganya anggota kitchen cabinet dari blok lain. Menurut Mr. Rigen, majikan kawannya itu sekarang sedang bingung mau melego mobil kreditannya, yang baru berumur satu bulan. Masih kinyis-kinyis, baru, kata Mr. Rigen. “Lha, Bapakmu kok mau melego mobilnya kenapa, to?” “Lhaa, ya itu, Pak. Bapak saya itu sambat, mengeluh cicilan yang dicengklong dari gaji tiga bulan itu, kok terasa makin berat.” “Lho, lha apa sebelumnya itu tidak diperhitungkan, to?” “Dulu, Bapak saya itu kan banyak proyeknya. Kecil-kecil tapi renes, ada saja proyek ini dan itu. Sekarang nggak tahu, kok mak thel, Bapak tidak pernah blebarbleber terbang ke Jakarta, Medan, 657



Banjarmasin, Menado dan entah ke mana lagi.” Saya tersenyum, merasa mendapat kawan sepenanggungan kena krisis proyek. Memang negoro sekarang baru sepi ing proyek rame ing utang .. “Terus, kersane Bapakmu itu apa sekarang?” Mr. Rigen yang dari tadi diam saja terus dengan sigap menyahut. “Ya, Bapak ambil oper saja. Masih bagus lho, Pak. Corolla DX warna endog asin. Cukupan untuk keluarga kecil …” “Eeisshh, gundulmu kayak endog asin. Lha, terus Bapakmu itu mau melego ke mana? Saya kan tidak punya duit.” “Ya kalau bisa kepada bapak-bapak di kompleks sini. Katanya teman sendiri, tur tidak menyolok mata. Kalau dijual keluar 658



kompleks, wah … malu-maluin, kata Bapak saya.” “Wee, lha wong uang uangnya sendiri kok malu.” “Rupanya Bapak dan Ibu saya itu sekarang sedang butuh betul, lho, Pak. Soalnya Ibu itu sudah terlanjur janji mau membelikan Den Rara orgen kalau ketrima di ngGajah Modo.” “Lha, apa sudah pasti Den Rara-mu itu ketrima di Gama?” “Ya, belum Pak. Tapi bolehnya ngrengik, mendesak-desak Ibunya itu sudah sejak tahun Dal.” Dialog pagi itu saya tutup dengan permintaan penyesalan yang sangat kepada kolega di blok X karena tidak dapat menolong ngoper mobil apalagi mencarikan orgen … 659



Waktu pulang rutin ke Jakarta, rumah di Cipinang itu terasa kosong dan sepi. Saya bangga melihat rumah itu. Dengan congkaknya saya berkata kepada keluargaku yang pada nglesot di depan televisi. “Ini, lho, rumah intelektual sejati. Kosong, sepi, nggak ada apa-apa. High thinking plain living. Berpikir canggih, hidup prasaja.” Istri dan anak-anak saya, termasuk menantu pada melongo melihat saya tibatiba berkoar begitu. “Nggak sari-sarinya, Babe pidato, lho.” Si Gendut, si tukang meledek mulai menembak. “Huss, diam dulu kau. Ini penting punya semboyan seperti itu. Gandhi yang mulai dengan semboyan itu. Kan sekarang sedang prihatin.” 660



Rupanya sore itu bukan sore yang tepat buat pidato kesederhanaan. Si Gendut, kencana wingka saya yang wuragil, menuntut makan luar di hotel karena sudah berbulan-bulan tapa brata hidup di ujian tes ke ujian tes. Dan tuntutan itu rupanya secara aklamasi sudah disiapkan dan disetujui oleh seluruh penghuni rumah. Hak veto saya pun tidak mungkin mempan dalam keadaan seperti itu. Maka tidak ada jalan lain daripada ikut mereka. Untung di kantong ada tambahan dua kali honor kolom ini. Kalau tidak … Di hotel Aryaduta, coffee shop itu baru selesai dipugar. Interiornya jauh lebih indah dan mewah dari sebelumnya. Musik klasik ringan pelan mengalun. Bau uap kopi Nescafe, keju lasagna lewat membelai hidung dan wajah keluargaku yang selalu hidup sederhana, kelihatan gembira tetapi serius sekali melahap 661



pesanan mereka. French soup, lembang salad dengan dressing thousand island, lasagna, pizza, roast beef open sandwich, beef steak medium rare … Saya tersenyum ingat betul angkaangka yang tertera di daftar menu. Tidak mengherankan kalau suara yang terdengar waktu saya mengunyah roast beef-ku berbunyi, status, status, status, status ….



Yogyakarta, 21 Juli 1987



662



Dollar Rush SAHABAT saya, Prof. Dr. Lemahamba, M.A, M.Sc, Ph.D, menasihati saya agar dalam musim dollar rush alias demam balapan membeli dolar seperti sekarang ini saya tidak ketinggalan zaman. “Belilah dolar sebanyak mungkin. Atau kalau mau lebih sip, belilah Yen. Simpan rupiah berabe. Nilainya merosot terus.” Saya manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan nasihatnya yang panjang lebar. Penjelasannya ilmiah, tetapi tidak ruwet, to the point, tetapi kalimatnya canggih-canggih banget. Yang penting jelas dan saya mudeng. Maklum kadangkadang para ilmuwan itu, karena pendidikan dan bacaannya yang serba luar negeri, sangat rumit bahasanya. Tinggi, indah dan tidak memudengkan. 663



Tidak demikian dengan sahabatku yang satu ini. Panjang, lebar, canggih, rumit, teoritis dan praktis, penuh dengan hitungan di kalkulatornya yang digerakkan dengan tenaga matahari tetapi kok ces-ces-ces pleng, jelas begitu, lho! Maklum titelnya saja apes-nya satu, dua, tiga, empat, lima lho! Doktor dalam bidang matematika, M.A. di bidang ekonomi dan M.Sc. di bidang arsitektur pertamanan. Orangnya sibuk sekali. Jadi konsultan sana dan konsultan sini. Blebar-bleber Yogya-Jakarta-SingapuraTokyo-Ngawi enak saja nyengklak plin Garuda, SIA, JAL kayak si Beni Prakosa nyengklak rak piring teriak-teriak SoloPlambanan, lho! Orangnya sosial dan idealis, patriotik lagi. Buktinya nasihatnya itu demi kuatnya ekonomi kita, dan untuk nasihat itu, dia hanya nanti saja minta komisi sedikit dari bank atau money changer 664



kalau saya mentransfer rupiah saya ke dalam dolar. Mau minta komisi dari saya rikuh. Wong sahabat, je! Lagi pula dia sukses di bidang jual beli tanah. Di samping kesibukan mengajar dan jadi konsultan itu beliau ternyata juga pedagang tanah. Lemah dalam bahasa Jawa, maksud saya … “Sudahlah. Lekas beli sana. Dolar atau Yen. Nanti kalau beli langsung dimasukkan lagi dengan rollover …” Dan dia pun dengan jelasnya lagi menerangkan apa itu sistem simpan rollover di bank. Saya pun merasa sangat berterima kasih dan bersyukur punya sahabat yang begitu baik dan hebat. Di rumah saya segera mengadakan rapat kabinet darurat. Maklum ini mesti di-tackle cepat demi keamanan posisi keuangan rumah tangga saya. Karena rapat ini rapat ekuin, sidang kabinet juga 665



sidang kabinet terbatas. Anggota kitchen cabinet di bidang gerakan wanita (Mrs. Nansiyem) dan di bidang pemuda dan olah raga (Beni Prakosa) tidak perlu ikut. Jadilah rapat itu rapat kabinet yang terbatas betul. Wong cuma saya dan Mr. Rigen yang di kitchen cabinet kira-kira seperti menko di bidang ekuin dan polkam. Inilah susahnya rumah tangga duda-jejaka darurat, kabinet saja kecilnya bukan main. “Jadi, Bapak mau mendolarkan semua rupiyah Bapak? Banyak, Pak, yang mau didolarkan?” “Huss, ya tidak. Sing perlu didolarkan. Wong rupiyah memelas kayak gini ajinya.” “Lha, memelas, memelas, kan uang kita sendiri to, Pak. Terus nanti kalau didolarkan semua, kalau belanja di Pasar Demangan, bagaimana?” 666



“Ya, tidak didolarkan semua, bento! Disisakan sedikit buat keprluan seharihari.” “We, lha, Pak. Rupiyah untuk keperluan sehari-hari itu juga memang sudah pas sampai akhir bulan. Mangka bapak gajian baru paling cepat tanggal tiga. Kan pakultas sastra kalau gajian … ..” “Wis, wis, tidak usah ngece fakultasku. Kalau tidak ada fakultas ini mau jadi apa negeri ini …” Pagi itu saya pergi ke bank. Saya mau menguangkan cek dolar Hongkong saya ke cash dolar Amerika atau Yen terus saya rollover ke bank itu. Jumlah dolar Hongkong saya itu tidak banyak. Itu pun gresek-gresek nemu cek dari penerbit kumpulan cerpen saya yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Heinemann di Hongkong. Jumlahnya $ 200,- Hongkong. 667



Sedikit memang. Pokoknya mulai hari itu aku memang mau serius simpan dolar. Lama-lama kan kuat juga ekonomiku. Mosok jadi dosen kok kere terus. Untung ada Prof. Lemahamba, lho! Tapi ciloko! Cek itu cek Shanghai Bank. Karena saya tidak punya simpanan di bank itu, saya mesti mentransfer cek itu ke bank account kantor saya. Itu pun mesti dikirim teleks ke Hongkong dulu. Sesudah dipotong ongkos teleks, administrasi dan komisi kira-kira kalau mau ditarik (sesudah ada surat keterangan dengan cap universitas) untuk dimasukkan ke program rollover, baru kira-kira satu dua bulan lagi bisa dilaksanakan. Dan jumlahnya itu, juga tinggal sedikit sekali, kata nona bank yang melirik kayak Meriam Belina. “Habis, dolar Hongkong memang rendah betul kursnya, Pak!” sekali lagi lirikan Meriam Belina. Bersama itu angleslah hatiku. 668



Dengan gontai saya pelan-pelan keluar bank. Cek dak remas-remas di tangan. Saya ingat di kamus Inggris-Jowo Mr. Rigen tempo hari arti rollover adalah “ngglundung”. Wah, memang ngglundung aku sekarang. Dan di luar aku papasan dengan Prof. Lemahamba. “So, my friend, dollar or yen? Dollar or yen?” Aku terkesima. Coro Inggris, lho, Mas Profesor. “Yen saja, lebih sip. Yen, yen, yen …. “ Oh, Allah, Mas Profesor, ratapku dalam hati. Yen, yen, yen. Yen ing tawang ono lintang …….



Yogyakarta, 23 Juni 1987 669