Unit PPA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Unit Sidik 4 PPA Merupakan sebuah unit kerja dibawah fungsi Sat Reskrim yang bertugas untuk menangani laporan kejadian tindak pidana dari masyarakat. Selain penanganan terhadap laporan tindak pidana umum, Unit Sidik 4 PPA mengkhususkan diri dalam penanganan tindak pidana khusus yang berhubungan dengan tindak kekerasan/Eksploitasi terhadap Anak dan Perempuan Saat ini Unit Sidik 4 PPA berada di bawah pimpinan IPTU KUMISIH, S.Sos Unit Sidik V PPA Merupakan sebuah unit kerja dibawah fungsi Sat Reskrim yang bertugas untuk menangani laporan kejadian tindak pidana dari masyarakat. Selain penanganan terhadap laporan tindak pidana umum, Unit Sidik V PPA mengkhususkan diri dalam penanganan tindak pidana khusus yang berhubungan dengan tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak. Saat ini Unit Sidik V PPA berada di bawah pimpinan IPTU YOGA PRAYOGA Pasal 1 Ayat 1 dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 disebutkan bahwa : “Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat PPA adalah Unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegak hukum terhadap pelakunya.” Kemudian pelaksanaannya juga mengacu pada Perkapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus yang menyebutkan tugas Unit PPA dalam memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak korban tindak pidana. Oleh karena itu jika anak yang menjadi pelaku tindak pidana maka ia harus diberlakukan secara khusus menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa dalam penanganan perkara anak wajib mengutamakan pendekatan Restorative Justice, dalam hal ini penyidik pada tindak pidana anak dari pihak kepolisian ialah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) . Unit Pelayanan Perempuan dan Anak bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Dalam melaksanakan tugasnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak menyelenggarakan fungsi : a. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum ; b. Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana; c. Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait;



d. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak juga mempunyai tugas pokok yang terdapat pada Peraturan Kapolri No. 10 Pasal 6 Ayat 4 disebutkan bahwa tugas pokok Unit PPA adalah melakukan penyidikan tindak pidana terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan tugas pokok Unit PPA, Unit PPA merupkaan institusi yang bertanggungjawab atas tegaknya hukum, Unit PPA dituntut peran sertanya dalam mendukung terciptanya keadilan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Lingkup tugas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) meliputi tindak pidana terhadap perempuan dana anak, yaitu : a. Perdagangan orang (human trafficking) b. Penyelundupan manusia (people smuggling) c. Kekerasan (secara umum maupun rumah tangga) d. Susila (perkosaan, pelecehan, cabul) e. Perjudian dan prostitusi (vice) f. Adopsi ilegal g. Pornografi dan pornoaksi h. Pencucian uang (money laundering) dari hasil kejahatan tersebut di atas i. Masalah perlindungan anak (sebagai korban/tersangka) j. Perlindungan korban, saksi, keluarga dan teman serta kasus-kasus lain yang dimana pelakunya adalah perempuan dan anak. Dalam hal Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) bertugas dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakkan hukum terhadap pelakunya, dilaksanakan di Ruang Pelayanan khusus, baik antar satuan organisasi dilingkungan Polri maupun lembaga pemerintah, non pemerintah dan pihak lainnya dalam



rangka perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakkan hukum terhadap pelakunya, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) berpedoman pada ketentuan yang berlaku di lingkungan Polri. Restorative Justice (Keadilan Restoratif) atau dikenal dengan istilah ‟reparative justice‟ adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang. Penerapan Restorative Justice harus dilakukan sejak tahap penyidikan sampai pelaksanaan putusan Pengadilan sehingga substansi hukum harus mampu memberikaan peluang penerapan penyelesaian yang mengandung keadilan Restorative baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan putusan. Konsep Restorative Justice yang diimplementasikan dalam UndangUndang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempunyai dasar yuridis. Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi‟. Tujuan Restorative justice dapat dilihat dari tujuan diversi, Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (7) Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dari defenisi tersebut maka jelas bahwa dalam penerapannya diversi menggunakan prinsip Restorative justice yang artinya tujuan dari diversi sama dengan apa yang hendak dicapai melalui Restorative justice.



Peradilan Pidana dengan Konsep Restorative Justice bertujuan untuk : 1) Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak; 2) Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan; 3) Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;



4) Menanamkan rasa tanggung jawab anak; 5) Mewujudkan kesejahteraan anak; 6) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 7) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; 8) Meningkatkan keterampilan hidup anak. Konsep Restorative Justice adalah sebuah terobosan hukum yang harus dan wajib digunakan dalam setiap perkara anak yang berkonflik dengan hukum, yang mempunyai peran besar dalam masa depan peradilan anak di Indonesia dan restorative justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebapkan terjadinya kejahatan tersebut. Perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan merupakan bagian penting dari konsep Restorative Justice, mengupayakan perdamaian dalam perkara anak, menyelesaikan konfilk yang melibatkan anak, sehingga menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak serta dapat memberikan dampak positif dalam masa depan anak. Perkembangan mengenai keadilan Restorative Justice dan diversi ini dengan lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana. Secara lebih rinci diversi ini diatur dalam Bab II Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor.11 Tahun 2012. Diversi bertujuan: 1. Mencapai perdamian antara korban dan Anak; 2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; 3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; 4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan, 5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan; 1.



Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan



2.



Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.



Pasal 8 Ayat (1, 2, & 3) Undang-Undang Nomor.11 Tahun 2012 ini menentukan, Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban



dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing tua/Walinya, korban dan atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Proses Diversi wajib memperhatikan; 1.



Kepentingan korban;



2.



Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;



3.



Penghindaran stigma negatif;



4.



Penghindaraan pembalasan;



5.



Keharmonisan masyarakat;dan



6.



Kepatutan,kesusilaan,dan ketertiban umum.



Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan; 1. Kategori tindak pidana 2. Umur anak 3. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;dan 4. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk; 1.



Tindak pidana yang berupa pelanggaran;



2.



Tindak pidana ringan;



3.



Tindak Pidana tanpa korban, atau



4.



Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat



Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kab. Karawang mencatat angka kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat pada 2018 hingga 2020. Dari catatan DPPPA Karawang, kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2018 sebanyak 71 kasus. Rinciannya 29 kasus kekerasan terhadap perempuan, 29 kekerasan terhadap anak, 3 perdagangan orang, dan 10 kasus lain. Jika dirinci lebih lanjut, ada 30 kasus kekerasan fisik, 5 kekerasan psikis, 18 kekerasan seksual, 5 penelantaran, 3 perdagangan orang, dan 10 kasus lain-lain. Kemudian pada 2019 terdapat 88 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rinciannya kekerasan terhadap perempuan 15 kasus, anak 47 kasus,



perdagangan orang 3 kasus, dan lainnya 22 kasus. Jika dirinci lebih lanjut, ada 12 kasus kekerasan fisik, 6 psikis, kekerasan seksual 35, penelantaran 10, perdagangan orang 3, dan 22 kasus lain. Sementara hingga pertengahan Juni dilaporkan ada 46 kasus, dengan rincian 21 kekerasan terhadap perempuan, 11 kasus kekerasan anak, dan lainnya 14 kasus. Dilihat dari jenis kekerasannya, ada 12 kasus kekerasan fisik, 5 kekerasan fisik, 12 kekerasan seksual, 4 penelantaran, dan 13 kasus lain.