(Utama) Hukum Dan Etika Bisnis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR P



uji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas limpahan nikmat dan karunia-Nya penulisan seri modul untuk pelatihan E-Procurement berjudul Hukum dan Etika Bisnis telah berhasil diselesaikan. Fokus dari modul ini adalah memberikan pemahaman kepada peserta terkait dengan aspek hukum bisnis dan etika bisnis yang penting dalam ranah pengadaan barang dan jasa pemerintah, khususnya bagi pihak penyedia barang dan jasa atau yang sering disebut dengan istilah vendor. Pengadaan barang/jasa itu sendiri pada hakikatnya merupakan upaya pemerintah sebagai pengguna barang/jasa untuk mewujudkan atau mendapatkan barang/jasa yang diinginkan. Pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan APBN/APBD harus dilakukan secara efisien, efektif, terbuka, dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Ranah hukum dan etika bisnis berperan penting dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana dimaksud. Oleh karena itu, melalui modul ini diharapkan pembaca akan mampu memahami aspek hukum dan etika bisnis sehingga proses pengadaan yang ada berlangsung dengan legal dan etis. Akhirnya sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa tidak ada gading yang tidak retak, begitu pula dengan modul ini. Oleh karena itu atas saran dan masukan yang konstruktif dari pembaca diucapkan terima kasih. Semoga modul ini bermanfaat bagi para stakeholder yang berkaitan langsung atau tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa. Amin.



Yogyakarta, 6 Februari 2012 Tim Penulis Modul CPPR



DAFTAR ISI



MODUL HUKUM DAN ETIKA BISNIS



1



BAB I PENDAHULUAN



13



BAB III HUKUM JAMINAN



2



A. Latar Belakang



13



A. Pengantar



3



B. Maksud dan Tujuan



13



B. Pengertian dan Ruang Lingkup Jaminan



4



BAB II HUKUM KONTRAK



14



C. Bentuk-Bentuk Jaminan



17



D. Eksekusi Jaminan



22



BAB IV HUKUM LEMBAGA KEUANGAN BANK



22



A. Pengantar



C. Syarat-Syarat Sahnya Sebuah Kontrak



22



B. Pengertian Bank



7



D. Hal-Hal yang Membatalkan Kontrak



23



C. Kegiatan Usaha dan Produk Bank



8



E. Wanprestasi dalam Kontrak



28



10



F. Forje Majeur



BAB V HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN



11



G. Berakhirnya Kontrak



28



A. Pengantar



28



B. Perusahaan Pembiayaan



50



C. Perusahaan Modal Ventura



4



A. Pengantar



4



B. Pengertian dan Ruang Lingkup Periikatan dan Perjanjian Kontrak



6



DAFTAR ISI



MODUL HUKUM DAN ETIKA BISNIS



53



D. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur



73



C. Prinsip-Prinsip yang Mendasari Kewajiban Konsumen dalam Bertransaksi



56



BAB VI HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT



74



D. Hak Publik



77



E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha



56



A. Pengantar



79



57



B. Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat



BAB VIII PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS



79



A. Pengantar



79



B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis



82



C. Lembaga Penyelesaian Sengketa



86



BAB IX STANDAR PRINSIP INTERNASIONAL: SEBUAH WACANA



86



A. Pengantar



86



B. Beberapa Contoh Adopsi Standar Prinsip Internasional



58



C. Prinsip Hukum per se dan rule of reason



59



D. Bentuk-Bentuk Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat



67



E. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Posisi dan Wewenangnya



67



F. Beberapa Contoh Kasus dari Putusan KPPU



71



BAB VII HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN



71



A. Latar Belakang



71



B. Pengertian dan Klasifikasi Konsumen



DAFTAR ISI



MODUL HUKUM DAN ETIKA BISNIS



95



BAB X ETIKA BISNIS



95



A. Pengantar



95



B. Pengertian Etika dan Etika dan Bisnis



96



C. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis



99



D. Bisnis dan Masyarakat



100



E. Business as a Human Investor



101



F. Contoh Kasus Etika Bisnis



103



BAB XI PENUTUP



103



A. Kesimpulan



104



B. Saran



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



BAB I Pendahuluan A



Latar Belakang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. Proses pengadaan dimaksud diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Vendor selaku salah satu stakeholder dalam Pengadaan Barang dan Jasa dalam melaksanakan aktivitasnya sudah seharusnya mengetahui aspek hukum dan aspek etik dalam pengadaan dimaksud. Aspek hukum perlu diketahui agar hubungan hukum yang dilakukan dengan pihak pemerintah, lembaga keuangan, supplier dapat dilakukan sebagaimana mestinya dan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang akan merugikan diri sendiri maupun pihak lain seperti wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Sedangkan aspek etika bisnis perlu diketahui agar dalam menjalankan aktivitasnya selalu menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai etis. Oleh karena itu, melalui modul Hukum dan Etika Bisnis ini akan diperkenalkan kepada pembaca mengenai bidang-bidang hukum yang terkait langsung atau tidak langsung terkait dengan Pengadaan Barang dan Jasa, yaitu: Hukum Kontrak, Hukum Jaminan, Hukum Lembaga Keuangan, Hukum Lembaga Pembiayaan, Hukum Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Hukum Perlindungan Konsumen, dan Penyelesaian Sengketa Bisnis. Dari aspek etika akan dipaparkan mengenai Standar Prinsip Internasional dan Etika Bisnis.



vendor dan pemerintah dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah senantiasa mendasarkan pada aspek-aspek dari hukum kontrak. Aspek hukum lain yang juga perlu diketahui oleh vendor adalah terkait dengan Hukum Jaminan, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Pembiayaan, Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta Hukum Perlindungan Konsumen. Ketentuan yang ada dalam bidang hukum tersebut memang tidak terkait langsung dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, akan tetapi keberadaan dari lembaga keuangan bank maupun lembaga pembiayaan dapat dijadikan alternatif dalam proses pengadaan ketika dana yang berasal dari APBN/APBD tidak serta merta dapat dicairkan pasca penandatanganan kontrak dan proses pembuatan dari barang sesuai spesifikasi sudah harus dimulai oleh vendor. Adapun Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat sangat penting dipahami oleh vendor selaku penyuplai kebutuhan barang/jasa pemerintah, agar dalam melakukan kegiatannya tidak terjebak pada perjanjian atau kegiatan yang dilarang seperti maraknya persekongkolan tender dalam proses pengadaan. Sementara Hukum Perlindungan Konsumen perlu dipahami, karena seringkali ketika masyarakat yang menggunakan barang/jasa pemerintah merasa dirugikan akan menggugat pihak pemerintah, kemudian ujung-ujungnya vendor selaku penyedia barang/jasa akan ditarik sebagai turut tergugat di Pengadilan. Aspek hukum terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai penyelesaian sengketa bisnis, baik litigasi maupun non-litigasi. Vendor hendaknya mengetahui berbagai model penyelesaian sengketa yang ada agar tidak setiap sengketa yang muncul selalu dibawa ke pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan seringkali memakan waktu yang lama, prosesnya rumit, berbiaya mahal, putusan tidak dapat diprediksi, dan berpotensi mengganggu hubungan baik di antara pihak-pihak yang bersengketa. Standar Internasional dan Etika Bisnis juga merupakan hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Apabila hukum dan etik dilaksanakan, maka cita-cita untuk mewujudkan clean government dan birokrasi yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat segera diwujudkan.



Hukum Kontrak merupakan inti dari setiap transaksi bisnis. Hubungan hukum keperdataan yang dibuat oleh para pihak senantiasa mendasarkan pada kontrak atau perjanjian, yang mana apabila kontrak atau perjanjian memenuhi syarat sah sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata berlaku bagi para pihak sebagaimana undang-undang, membebani kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakan dengan penuh itikad baik, dan tidak boleh dibatalkan sepihak tanpa ada alasan yang sah. Kegiatan transaksi antara



1 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



2



MODUL 3



B



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari Modul Hukum dan Etika Bisnis ini, antara lain yaitu sebagai berikut:



1



Memberikan pemahaman bagi partisipan mengenai aspek hukum dan etika bisnis dalam pengadaan barang/jasa;



2



Memberikan keterampilan bagi partisipan dalam implementasi hukum dan etika bisnis dalam pengadaan barang/jasa;



3



Memberikan pemahaman terhadap partisipan terkait resiko hukum atas transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan.



BAB II Hukum Kontrak A



Pengantar Kontrak merupakan elemen penting dalam setiap hubungan hukum keperdataan antara orang/badan satu dengan yang lain. Hukum memberikan status sebagai undang-undang bagi kontrak yang dibuat secara sah. Akibatnya para pihak wajib melaksanakan isi kontrak dimaksud dengan itikad baik dan dilarang melakukan pembatalan secara sepihak, kecuali dengan alasan yang sah. Dengan demikian dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, dimana hubungan hukum antara pemerintah dan vendor didasarkan pada hubungan kontraktual menjadi suatu keniscayaan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan hukum kontrak.



B



Pengertian dan Ruang Lingkup Perikatan dan Perjanjian/Kontrak 1



Pengertian dan Ruang Lingkup Perikatan



Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Perikatan terdiri dari perikatan yang lahir karena undang-undang, maupun perikatan yang lahir karena perjanjian. Kedua-duanya sama-sama mempunyai akibat hukum bahwa salah satu pihak wajib menunaikan prestasi, sedangkan pihak lain berhak atas prestasi. Ada yang bersifat prestasi sepihak dan ada yang bersifat timbal balik. Perikatan yang lahir karena undang-undang misalnya karena adanya perbuatan pengurusan sukarela (zaakwarneming) dan karena adanya perbuatan melawan hukum dari salah satu pihak yang menimbulkan kewajiban bagi pihak yang bersalah melakukan perbuatan tersebut memberikan ganti kerugian. Perikatan yang lahir karena perjanjian misalnya, perjanjian jual beli yang melahirkan kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan barang dan kewajiban pembeli



3 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



4



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



menyerahkan sejumlah uang. Hak dari salah satu pihak menjadi kewajiban pihak lain begitu pula sebaliknya.



2



Pengertian dan Ruang Lingkup Perjanjian



Suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.1 Definisi ini oleh para sarjana hukum dianggap tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga. Perbedaan terletak pada tempat diaturnya, tentang janji kawin diatur dalam Buku I KUHPerdata tentang orang, sedangkan perjanjian di bidang harta kekayaan diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan.



C



Syarat-syarat sahnya sebuah kontrak Syarat sahnya sebuah kontrak harus memenuhi unsur-unsur berupa: 2 kesepakatan para pihak, kecakapan, obyek tertentu, dan kausa yang halal. Penjelasannya adalah sebagai berikut:



1



Bahwa kedua pihak harus mempunyai kebebasan dalam menyatakan kehendak. Para pihak tidak mendapat tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut. Tidak dianggap terjadi kesepakatan, jika ada unsur paksaan, kekhilafan, maupun penipuan. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak.



Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Namun untuk perjanjian tertentu undangundang menentukan bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian tidak sah. Dengan demikian sebenarnya bentuk tertulis lebih ditujukan untuk kepentingan alat bukti.



3



Kesepakatan Para Pihak



2



Kecakapan pihak-pihak yang melakukan kontrak Mengenai kecakapan ini ketentuanya adalah bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak 3 dinyatakan tidak cakap. Lebih lanjut dalam disebutkan bahwa “tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan atau perjanjian adalah: (1) orang-orang yang belum dewasa; (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan 4 tertentu”. Ketentuan nomor (3) tersebut saat ini dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Jadi perempuan dianggap cakap melakukan perbuatan hukum sendiri.



Pengertian dan Ruang Lingkup Kontrak



Dalam kaca mata bisnis kontrak adalah perjanjian obligatoir, yakni perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan penyerahan (perjanjian kebendaan).



3



Dalam khasanah hukum perdata kontrak dapat dibedakan menjadi kontrak nominat dan kontrak inominat. Kontrak nominat adalah kontrak yang sudah dikenal dalam KUHPerdata, seperti kontrak jual beli dan kontrak sewamenyewa, sedangkan kontrak inominat adalah kontrak yang pengaturannya di luar KUHPerdata, seperti kontrak karya, kontrak joint venture, dan kontrak kredit bank.



Obyek tertentu Syarat obyek tertentu disini meliputi: 3.1



3.2



3.3 2 3 1



Lihat Pasal 1313 KUHPerdata



5 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



4



Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan; Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidak dapat dijadikan obyek perjanjian; Dapat ditentukan jenisnya.



Lihat Pasal 1320 KUHPerdata Lihat Pasal 1329 KUHPerdata Lihat Pasal 1330 KUHPerdata



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



6



MODUL 3 4



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



1.2



Kausa yang halal



Kekhilafan dibedakan menjadi kekhilafan mengenai orang (error in persona) dan kekhilafan mengenai hakikat barangnya (error in substantia). Adanya kekhilafan dapat dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian.



Bahwa suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.5 Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian.



1.3



Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif, yang apabila syarat itu dilanggar maka perjanjian yang dapat dibatalkan, artinya tanpa pembatalan maka perjanjian tetap dianggap sah dan punya kekuatan mengikat. Syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif, yang apabila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum. Artinya sejak semula perjanjian itu tidak ada. Namun demikian pernyataan batal demi hukum harus dinyatakan dalam sidang pengadilan oleh Majelis Hakim.



2



Paksaan ini bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya jika seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah perjanjian. Paksaan disini adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Paksaan harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan. Lihat Pasal 1335 KUHPerdata



7 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Obyek kontrak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum Apabila obyek kontrak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum maka konsekuensinya batal demi hukum. Sejak semula kontrak itu dianggap tidak ada. Pernyataan batal demi hukum ini harus dinyatakan dalam sidang pengadilan.



Paksaan (Dwang)



Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat.



5



3



Paksaan, Kekhilafan, dan Penipuan 1.1



Pihak-pihak yang melakukan kontrak tidak cakap hukum Tidak cakap hukum, yakni: (1) orang-orang yang belum dewasa; (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.7 Belum dewasa dalam kontek hukum di Indonesia indikatornya berbeda antar bidang hukum satu dengan yang lain, khusus di bidang hukum perjanjian kedewasaan ditentukan apabila seseorang sudah mencapai usia 21 tahun.



Hal-hal yang Membatalkan Kontrak 1



Penipuan (Bedrog)



Dapat dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan, jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.



Keempat syarat sebagaimana tersebut di atas menentukan keabsahan dari sebuah kontrak. Apabila syarat tersebut terpenuhi, maka berlaku ketentuan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat seperti undangundang bagi pihak-pihak yang mengadakannya. Perjanjian atau kontrak tersebut tidak dapat diputuskan secara sepihak dan para pihak wajib melaksanakannya dengan penuh itikad baik (in good faith).



D



Kekhilafan (Dwaling)



E



Wanprestasi dalam kontrak 1



Wanprestasi dalam kontrak



2



Hal ini bisa disebabkan debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena debitur obyektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subyektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. Pada peristiwa pertama memang kreditur tidak bisa lagi berprestasi, sekalipun ia mau. 7



Lihat Pasal 1330 KUHPerdata



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



8



MODUL 3 2



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Tidak melaksanakan kontrak dengan sempurna atau keliru Di sini debitur memang dalam fikirannya telah memberikan prestasinya, akan tetapi dalam kenyataannya yang diterima oleh kreditur lain dari pada5 yang diperjanjikan.



3



Melaksanakan kontrak tidak pada waktunya Tidak tepat pada waktunya misalnya terlambat menyerahkan prestasi sehingga kreditur rugi karenanya. Atau justru terlalu awal debitur5 menyerahkan prestasinya kepada kreditur. Dalam praktik yang sering terjadi adalah keterlambatan debitur untuk berprestasi.



F



Force Majeur Menurut undang-undang ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa (force majeur), yaitu: (1) tidak memenuhi prestasi; (2) ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; (3) faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Adanya keadaan memaksa mengakibatkan sebuah perjanjian tidak lagi bekerja walaupun perjanjian tersebut masih eksis. Konsekuensi hukumnya: a



b



4



Melakukan hal-hal yang dilarang dalam kontrak Dalam kontrak biasanya terdapat hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh debitur atau yang disebut dengan negative covenant. Apabila debitur5 melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam kontrak, maka ia dianggap telah melakukan cidera janji (breach of contract).



Dalam kenyataan sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi (wanprestasi), karena seringkali ketika mengadakan perjanjian pihakpihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perjanjian atau kontrak yang dibuat di mana waktu untuk melaksanakan pretasi ditentukan, cidera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, maka ia tidak memenuhi perikatan. Adapun hak-hak kreditur dalam hal debitur mengalami wanprestasi adalah sebagai berikut: 8 a



b



Hak menuntut pemenuhan perikatan; Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik menuntut pembatalan perikatan;



c



Hak menuntut ganti rugi;



d



Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;



e



Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.



c



d



e



Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi; Tidak dapat mengatakan bahwa debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut; Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian; Pada perjanjian timbal balik, maka gugur kewajiban untuk melakukan kontraprestasi. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah: 1)



2)



Debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi). Berdasarkan Jabatan Hakim tidak dapat menolak gugatan berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang memikul beban untuk membuktikan adanya keadaan memaksa.



Force majeur dapat dibedakan menjadi force majeur mutlak (absolut), yakni apabila prestasi dari debitur tidak mungkin dapat dilaksanakan sama sekali dan force majeur relatif, yakni bahwa prestasi masih mungkin dilaksanakan tetapi dengan pengorbanan yang besar. Force majeur mutlak (absolut), misalnya bencana alam yang menghancurkan obyek perjanjian, sedangkan force majeur relatif misalnya terjadi perubahan kebijakan pemerintah sehingga apabila prestasi tetap dilaksanakan, maka dianggap melakukan pelanggaran hukum.



Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 21.



8



9 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



10



MODUL 3



G



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Berakhirnya kontrak



a



Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata, berakhirnya perikatan disebabkan oleh: a



Karena pembayaran;



b



Karena penawaran pembayaran tunai, yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;



c



Karena pembaharuan utang;



d



Karena perjumpaan utang atau kompensasi;



e



Karena percampuran utang;



f



Karena pembebasan utang;



g



Karena musnahnya barang yang terutang;



h



Karena kebatalan atau pembatalan;



I



Karena berlakunya suatu syarat batal;



j



Karena lewatnya waktu;



k



Tujuan kontrak telah terpenuhi.



b



c



d



Bahwa setelah membaca peraturan perundang-undangan yang ada ternyata terjadi antinomi (pertentangan) antara Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah dengan Permendagri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Bahwa Perpres No. 54 Tahun 2010 menegaskan pemisahan antara PA/KPA dengan PPK berupa pemberian kriteria (persyaratan) dan kewenangan yang berbeda, namun dalam Permendagri No. 21 Tahun 2011 keduanya dapat dirangkap dan dijadikan satu. Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berlaku asas lex superior derogat legi inferior, yakni bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam kasus di atas, kedudukan Perpres lebih tinggi daripada Permendagri sehingga konsekuensi hukumnya Permendagri tidak boleh bertentangan dengan Perpres. Konsekuensi hukum lebih lanjut Permendagri, khususnya yang terkait dengan PA/KPA sekaligus bisa menjadi PPK tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Tuan X yang menjadi PA sekaligus PPK dengan demikian tidak mempunyai kewenangan dalam proses pengadaan ini karena adanya larangan sebagaimana dimaksud dalam Perpres. Dengan demikian, perjanjian pengadaan barang yang dibuat antara pihak supplier dan PPK dapat dibatalkan, artinya tanpa adanya pembatalan, perjanjian pengadaan masih mempunyai kekuatan mengikat. Tanpa pembatalan dari vendor, prestasi tetap harus ditunaikan.



Kasus I Sebuah supplier komputer di Yogyakarta memenangkan tender pengadaan 1000 unit komputer untuk kepentingan kantor suatu instansi pemerintah yang harus disediakan dalam jangka waktu 1 (bulan) setelah penandatanganan kontrak. Pada hari yang ditentukan ditandatangi kontrak pengadaan antara supplier tersebut dengan Tuan X selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Tuan X dalam realitasnya ternyata juga bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA) sehingga proses untuk pengadaan berlangsung lebih efektif dan efisien. Setelah jangka waktu berakhir ternyata pihak supplier belum dapat memenuhi 1000 unit komputer sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dengan berbagai alasan. Bagaimana penyelesaian terbaik untuk kasus dimaksud?



11 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



12



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Yang dimaksud dengan jaminan ialah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Baik perikatan itu lahir dari undang-undang ataupun perikatan itu yang lahir dari suatu perjanjian.



BAB III Hukum Jaminan A



C



Bentuk-Bentuk Jaminan 1



Jaminan atas hak perorangan adalah suatu bentuk jaminan atas diri seorang pihak ketiga yang berisi kesanggupan untuk melunasi hutang yang dibuat pihak debitur kepada seorang kreditur. Pihak ketiga ini yang akan membayar kepada kreditur manakala pihak debitur tidak melakukan 7 kewajibannya membayar hutang kepada kreditur. Pihak ketiga baru akan melakukan pembayaran, bilamana pihak debitur sendiri sudah tidak dapat membayar.



Latar Belakang Hubungan kontraktual yang berlangsung antara orang/badan yang satu dengan yang lain senantiasa harus didasarkan pada unsur kepercayaan. Artinya harus ada kepercayaan bahwa pihak lain akan melakukan prestasi sebagaimana yang diperjanjikan dalam kontrak. Namun demikian dalam praktiknya, kepercayaan tidak mudah didapatkan apalagi terhadap pihak yang baru dikenal dan menyangkut transaksi dengan nominal besar. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan hubungan kontraktual dimaksud salah satu pihak biasanya menyaratkan adanya jaminan, baik jaminan perorangan maupun jaminan kebendaan. Adanya jaminan akan terasa sangat bermanfaat, ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi atas isi kontrak yang disepakati.



Dengan demikian, jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu. Harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan. Termasuk dalam jenis perjanjian perorangan adalah: (1) Personal guaranty; (2) Corporate guaranty; dan (3) Bank guaranty.



Dalam praktik pengadaan barang dan jasa pemerintah, pihak vendor yang memenangkan tender selain menadatangani kontrak juga diminta menyediakan jaminan. Oleh karena itu hukum mengenai jaminan merupakan hal penting yang perlu dipahami oleh stakeholder, khususnya vendor.



2



B



Pengertian dan Ruang Lingkup Jaminan Hukum jaminan adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jaminan akibat adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu perbuatan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur. Apabila hak dan kewajiban ini tidak dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati maka ada sanksi hukumnya. Bahwa segala harta kekayaan milik debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada baik yang berwujud benda bergerak maupun benda tetap akan menjadi jaminan untuk segala hutang-hutangnya dari para kreditur-krediturnya. Hasil dari penjualan harta benda tersebut akan dibagi secara bersama-sama para kreditur sebanding dengan piutang yang diberikan kecuali ada alasan untuk lebih didahulukan pelunasannya.9 9



Jaminan Perorangan



Jaminan Kebendaan Jaminan atas suatu benda adalah hak mutlak atas suatu benda untuk memperoleh pelunasan daripadanya atas piutang seorang kreditur. Untuk jaminan suatu benda tetap berupa tanah dilakukan dengan Hak Tanggungan dan selain tanah dengan hipotik, sedang untuk benda bergerak dilakukan dengan gadai 7atau fidusia. Hak kebendaan mempunyai sifat selalu mengikuti bendanya meskipun benda dimaksud dikuasai oleh orang lain, mempunyai hak lebih didahulukan, dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, serta diperalihkan kepada orang lain. Dengan demikian termasuk dalam jaminan kebendaan adalah jaminan yang obyeknya adalah benda bergerak (gadai dan Fidusia) dan jaminan yang obyeknya benda tetap (hipotik dan hak tanggungan).



Lihat Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata



13 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



14



MODUL 3 2.1



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Gadai



a



Adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.



b



Adapun unsur-unsur gadai adalah sebagai berikut: a



b



c



d



2.2



Fidusia memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan;



Gadai diberikan hanya atas benda bergerak; c



Jaminan gadai harus dikeluarkan dari penguasaan Pemberi Hadai (Debitur), adanya penyerahan benda gadai secara fisik (levering); Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference); Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahului.



2.3



Bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.13 Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. 11 12



Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia



15 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Hak Tanggungan Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.12



Jaminan fidusia



Dasar hukum dari jaminan fidusia adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Adapun unsurunsur dari fidusia adalah sebagai berikut:



Fidusia memberikan kewenangan kepada kreditur untuk menjual benda jaminan atas kekuasaannya sendiri.



Utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia berupa: (a) utang yang telah ada; (b) utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; dan (c) utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.11



Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Adapun jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.10



10



Fidusia merupakan jaminan serah kepemilikan yaitu debitur tidak menyerahkan benda jaminan secara fisik kepada kreditur tetapi tetap berada di bawah kekuasaan debitur (constitutum possessorium), namun pihak debitur tidak diperkenankan mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain (debitur menyerahkan hak kepemilikan atas benda jaminan kepada kreditur);



13



Pasal 7 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



16



MODUL 3



D



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Adapun hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: (a) Hak Milik; (b) Hak Guna Usaha; (c) Hak Guna Bangunan. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.14



a



Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.



c



b



d



Eksekusi Jaminan 1



Eksekusi Jaminan Benda Bergerak 1.1



1.1



a



Kreditur diberikan hak untuk menyuruh jual benda gadai manakala debitur ingkar janji, sebelum kreditur menyuruh jual benda yang digadaikan maka ia harus memberitahukan dahulu mengenai maksudnya tersebut kepada debitur atau Pemberi Gadai;



b



Suatu penjualan benda gadai oleh kreditur berdasarkan perintah pengadilan, maka kreditur wajib segera memberitahukan kepada Pemberi Gadai.



Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia



17 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



5



16



Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak; Pelaksanaan penjualan di bawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Para Pihak kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar di daerah yang bersangkutan.15



a



Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”



b



Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undangundang No. 4 Tahun 1996);16



5



Fidusia



Penjualan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;



Eksekusi jaminan benda tetap berupa Hak Tanggungan



Gadai



Apabila debitur atau pemberi gadai cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan gadai dapat dilakukan:



14



1.3



Pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut;



PPAT adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



18



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



c



d



e



f



g



Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996); Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undangundang No.4 Tahun 1996); Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996); Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1)



Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan;



2)



Tidak memuat kuasa substitusi;



19 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



3)



Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;



h



Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.



I



Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak tanggungan.



j



Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang.



k



Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.



l



Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa. CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



20



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



m



n



Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg



BAB IV Hukum Lembaga Keuangan Bank A



Pengantar Bank memiliki peran yang sangat penting dalam sistem perekonomian suatu Negara, artinya apabila sistem perbankan dalam suatu Negara itu sehat, maka sistem perekonomiannya akan sehat pula. Demikian pula sebaliknya apabila sistem perbankannya sakit, akan dapat mengakibatkan sistem perekonomian dalam Negara yang bersangkutan menjadi sakit dan terpuruk.17 Pernyataan ini diperkuat oleh J. Soedradjad Dijwandono yang menyatakan bahwa kondisi bank yang sehat dalam suatu Negara akan sangat menentukan efektifitas pengelolaan ekonomi makro dalam mencapai berbagai sasaran dalam pembangunan secara seimbang.18 Pengadaan barang/jasa pemerintah secara langsung atau tidak langsung terkait dengan perbankan, oleh karena itu aspek hukum atas perbankan perlu diketahui, khususnya oleh vendor sebagai pihak yang menyediakan barang/jasa yang diperlukan oleh pemerintah.



B



Pengertian Bank Pengertian bank diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. 17



18



21 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Rimsky K. Judisseno, 2002, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 3. J. Soedradjad Djiwandono,2001, Bergulat Dengan Krisis Dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Cet.1, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 139.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



22



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Industri perbankan adalah industri yang sangat bertumpu kepada kepercayaan masyarakat (fiduciary financial institution). Kepercayaan masyarakat adalah segala-galanya bagi bank. Begitu masyarakat tidak percaya pada bank, bank akan menghadapi “rush” dan akhirnya kolaps. Di AS pada abad 19-20, setiap 20 tahun sekali terjadi krisis perbankan sebagai akibat krisis kepercayaan, demikian menurut Lash.19



C



3



Bank Umum dapat menerbitkan surat pengakuan utang baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Surat pengakuan utang yang berjangka pendek adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai Pasal 229 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang dalam pasar uang dikenal sebagai Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), yaitu promes dan wesel maupun jenis lain yang mungkin dikembangkan di masa yang akan datang. Surat pengakuan utang berjangka panjang dapat berupa obligasi atau sekuritas kredit.



Kegiatan Usaha dan Produk Bank Ditinjau dari substansi pengaturannya, kegiatan usaha bank ditentukan sebagai berikut:



1 2 3



4 Kegiatan usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat;



2



Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;



b



Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;



c



Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;



d



Sertifikat Bank Indonesia (SBI);



Menghimpun Dana dari Masyarakat



e



Obligasi;



Bank Umum menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.



f



Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;



Kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh bank; Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkan. Bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya.



g



Memberikan kredit Kegiatan bank dalam memberikan kredit merupakan fungsi utama dari bisnis perbankan, yakni fungsi menyalurkan dana dari para deposan penyimpan dana. Fungsi ini juga memberikan return atau penghasilan yang paling besar sebanding dengan risiko yang dihadapi perbankan.



19



20



Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya : a



Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa usahausaha yang dijalankan oleh Bank Umum meliputi : 20



1



Menerbitkan surat pengakuan utang



Lash, 1987, Banking Law and Regulations : An Economis Perspentive, Prentice-Hall Inc, USA,p.8. Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 208-211.



23 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



5



Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.



Memindahkan uang (Transfer) Bank Umum menjalankan usaha memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. Pengiriman uang (transfer) adalah salah satu pelayanan bank kepada masyarakat dengan bersedia melaksanakan amanat nasabah untuk mengirimkan sejumlah uang, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang dtujukan kepada pihak lain (perusahaan, lembaga, atau perorangan) di CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



24



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



tempat lain baik di dalam maupun luar negeri. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pengiriman uang (transfer) adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh bank untuk mengirim sejumlah uang yang ditujukan kepada pihak tertentu dan di tempat yang tertentu. Pengiriman uang tersebut dilakukan atas permintaan nasabah atau untuk keperluan dari bank yang bersangkutan.



6



Menempatkan atau meminjamkan dana



8



Bank Umum menyediakan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga. Penyediaan tempat disini adalah kegiatan bank yang sematamata melakukan penyewaan tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank.



9



Menerima pembayaran Bank Umum menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar-pihak ketiga. Kegiatan ini mencakup antara lain inkaso dan kliring. Inkaso adalah pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan atau perorangan untuk menagihkan, atau memintakan persetujuan pembayaran (akseptasi) atau menyerahkan begitu saja kepada pihak yang bersangkutan (tertarik) di tempat lain (dalam atau luar negeri) atas surat-surat berharga, dalam rupiah atau luta asing seperti wesel, cek, kuitansi, surat aksep (promissorry notes), dan lain-lain. Menurut kamus perbankan yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Perbankan Indonesia 1980, kliring adalah perhitungan utang piutang antara peserta secara terpusat di satu tempat dengan cara saling menyerahkan surat-surat berarga dan surat-surat dagang yang telah ditetapkan untuk dapat diperhitungkan. Dalam pengertian lain, Bank Indonesia guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan pokok diadaannya kliring adalah untuk memperlancar lalu lintas pembayaran giral dan merupakan pelayanan kepada masyarakat yang menjadi nasabah bank. Kliring diselenggarakan oleh Bank Indonesia antara bankbank di suatu wilayah kliring yang disebut kliring lokal. Wilayah kliring adalah suatu lingkungan tertentu yang memunginkan antar kantor tersebut memperhitungkan warkat-warkatnya dalam jadwal kliring yang telah ditentukan.



25 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Melakukan kegiatan penitipan Bank Umum melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. Kegiatan penitipan dapat dilakukan baik dengan menerima titipan harta penitip maupun mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank. Mutasi dari barang titipan dilaksanakan oleh bank atas perintah penitip. Jika bank yang menyelenggarakan kegiatan penitipan mengalami pailit, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.



Bank Umum menjalankan usaha menempatkan dana pada, meminjamkan dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.



7



Menyediakan tempat penyimpanan



10



Penempatan dari dalam bentuk surat berharga Bank Umum melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercantum dalam bursa efek. Dalam kegiatan ini bank berperan sebagai penghubung antara nasabah yang membutuhkan dana dengan nasabah yang memiliki dana.



11



Kegiatan anjak piutang, kartu kredit, dan wali amanat Bank Umum melakukan penempatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat. Kegiatan anjak piutang merupakan kegiatan pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri, yang dilakukan dengan pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut. Sementara itu, usaha kartu kredit adalah usaha dalam kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang penarikannya dilakukan dengan kartu. Secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana pemindahbukuan dalam melakukan pembayaran suatu transaksi.



12



Menyediakan pembiayaan Bank Umum menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



26



MODUL 3 13



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Menyediakan kegiatan lain Bank Umum dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan usaha selain dari kegiatan tersebut di atas, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya memberikan bank garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap bunga, membantu administrasi usaha nasabah dan lain-lain. Bank Umum dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas dan masingmasing bank dapat memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Dengan cara demikian, kebutuhan masyarakat terhadap berbagai jenis jasa bank dapat dipenuhi oleh dunia perbankan tanpa mengabaikan prinsip kesehatan dan efisiensi.



BAB V Hukum Lembaga Pembiayaan A



Untuk usaha bank yang berjenis Bank Perkreditan Rakyat, usahanya lebih sempit jika dibandingkan usaha yang dijalankan Bank Umum. Bahwa usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: 21 a



Menghimpun dana masyarakat;



b



Memberikan kredit;



c



Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana;



d



Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.



Pengantar Hubungan kontraktual sebagaimana dibahas dalam Bab II Modul ini mendasari transaksi bisnis yang dilakukan oleh nasabah lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan. Lembaga Pembiayaan dalam Pasal 1 angka 1 Pepres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan didefinisikan sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan penyediaan dana atau 17barang modal. Lembaga Pembiayaan dalam Perpres tersebut terdiri dari Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrstruktur. Pihak penyedia barang/jasa (vendor) dapat memanfaatkan 18 lembaga ini untuk memenuhi prestasi kepada Pemerintah sesuai dengan perjanjian pengadaan yang dibuat. Bab ini akan fokus memberikan penjelasan atas aspek hukum Lembaga Pembiayaan.



B



Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan sebagai salah satu bentuk Lembaga Pembiayaan diatur secara khusus melalui Peraturan Menteri Keuangan, yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan didefinisikan sebagai badan usaha di luar Bank dan 17 Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan kegiatan usaha dalam bentuk Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan / atau Pembiayaan 18 Konsumen. Sebelum membahas lebih lanjut, berikut perlu dikemukakan definisi dari setiap kegiatan bisnis yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan.



21



Pasal 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998



27 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



28



MODUL 3 a



b



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessor) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.



untuk memiliki obyek leasing di akhir masa sewa dengan membayar sejumlah uang sesuai dengan perjanjian. Sedangkan leasing dalam bentuk Operating Lease adalah leasing tanpa hak opsi, yakni setelah masa menyewa selesai maka obyek leasing wajib dikembalikan kepada pihak lessor. Berdasarkan pada definisi leasing sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada lembaga leasing terdapat beberapa pihak, yaitu sebagai berikut: 23



Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.



c



Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.



d



Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan / atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.



Dalam menjalankan kegiatan usahanya dimaksud, Perusahaan Pembiayaan juga dibatasi dengan adanya larangan-larangan berupa: 22 a



Menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;



b



Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note), kecuali sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang menjadi krediturnya;



c



1



Lessor, yakni merupakan pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat “multi finance”, tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang leasing;



b



Lessee, yaitu merupakan pihak yang memerlukan barang modal, barang modal mana dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee;



c



Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.



a



Lessor membeli barang atas permintaan lessee, selanjutnya memberikan kepada lessee secara leasing.



b



Lessee membeli barang sebagai agennya lessor, dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor.



Sewa Guna Usaha (Leasing)



c



Leasing dalam bentuk Finance Lease adalah leasing yang pada diri penyewa guna usaha terdapat hak ospi di akhir masa sewa, yakni hak 23



Pasal 30 PMK No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan



29 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Supplier, yaitu merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal mana dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee. Dapat juga supplier ini merupakan penjual biasa. Tetapi ada juga jenis leasing yang tidak melibatkan supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak lessor dengan pihak lessee. Misalnya dalam bentuk Sale and Lease Back.



Mekanisme terjadinya hubungan hukum antar para pihak, yaitu Lessor, Lessee, dan Supplier dapat melalui berbagai alternatif, yaitu sebagai berikut:



Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi Penyewa Guna Usaha (Lessee) baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut. Oleh karena itu leasing dibedakan menjadi dua bentuk yakni Finance Lease dan Operating Lease.



22



a



Lessee membeli barang atas namanya sendiri, tetapi dalam kenyataannya sebagai agen dari lessor, dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor.



Munir Fuady, 2002, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7-8.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



30



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



d



e



f



Setelah lessee membeli barang atas namanya sendiri, kemudian melakukan inovasi, sehingga lessor kemudian mempunyai hak barang tersebut dan membayarnya. Setelah lessee membeli barang untuk dan atas namanya sendiri, kemudian menjualnya kepada lessor dan mengambil kembali barang tersebut secara leasing atau yang dikenal dengan istilah Sale and Lease Back. Lessor sendiri yang mendapatkan barang secara leasing dengan hak untuk melakukan subleasing kepada lessee.



Financial Lease dan Operating Lease mempunyai karakteristik yang harus dipahami oleh nasabah atau yang dalam hal ini disebut sebagai Lessee. Intinya adalah pada keberadaan hak opsi pada Financial Lease yang tidak dijumpai pada Operating Lease. Karakteristik dari kedua jenis leasing tersebut secara lebih detail dapat dikemukakan sebagai berikut:



1.1



g



1.2



Operating Lease Operating lease disebut juga Service Lease. Karakteristik dari leasing jenis ini adalah sebagai berikut: a



b



c



d



Financial Lease Financial Lease ini sering disebut dengan capital lease atau full-payout lease. Leasing jenis merupakan jenis leasing yang paling sering diterapkan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a



Kontrak leasing tidak dapat dibatalkan sepihak.



e



Jangka waktu berlakunya leasing relatif panjang.



Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia ekonomis dari barang tersebut. Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan lessor. Tidak diberikan hak opsi bagi lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing. Biasanya operating lease dikhususkan untuk barang-barang yang mudah terjual setelah pemakaian (yang laku di pasar barang bekas). Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena umumnya mereka mempunyai keahlian dalam seluk beluk tentang barang tersebut. Sebab, dalam operating lease, jasa pemeliharaan merupakan tanggung jawab lessor.



Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus keuntungan yang diharapkan oleh lessor.



f



Biasanya harga sewa setiap bulannya dibayar dengan jumlah yang tetap.



Diberikan hak opsi kepada lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing.



g



Biasanya lessor-lah yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak, dan asuransi.



d



Financial lease dapat diberikan oleh Perusahaan Pembiayaan.



h



Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh lessee, dengan mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor.



e



Harga sewa yang dibayar per bulan oleh lessee dapat dengan jumlah yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman.



f



Biasanya lessee yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi.



b



c



31 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



32



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



(mudahnya adalah pihak yang menjual piutang kepada factor). Penjual atau supplier masuk dalam pengertian klien. Sementara nasabah atau konsumen merupakan pihak yang mengadakan transaksi dengan klien.



Dengan demikian Financial lease sebagai suatu bentuk pembiayaan dengan cara sewa yang disertai dengan hak opsi mempunyai karakteristik sebagai berikut: 24 a



b



c



d



2



Lessor sebagai pihak pemilik barang atau obyek leasing yang dapat berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak yang memiliki unsur maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut. Lessee berkewajiban membayar kepada lessor secara berkala sesuai dengan jumlah dan jangka waktu yang disetujui. Jumlah yang dibayar tersebut merupakan angsuran atau lease payment yang terdiri dari biaya perolehan barang ditambah dengan semua biaya lainnya yang dikeluarkan lessor dan tingkat keuntungan atau spread yang diinginkan lessor. Lessor dalam jangka waktu perjanjian yang disetujui tidak dapat secara sepihak mengakhiri masa kontrak atau pengakhiran barang tersebut. Risiko ekonomis termasuk biaya pemeliharaan dan biaya lainnya yang berhubungan dengan barang yang di lease tersebut ditanggung oleh lessee. Lessee pada akhir periode kontrak memiliki hak opsi untuk membeli barang tersebut sesuai dengan nilai sisa atau residual value yang disepakati atau mengembalikan pada lessor atau memperpanjang masa leasing sesuai dengan syarat-syarat yang disetujui bersama. Pembayaran berkala pada masa perpanjangan lease tersebut biasanya jauh lebih rendah dari angsuran sebelumnya.



Anjak Piutang (Factoring) Agar dapat lebih memahami tentang perjanjian anjak piutang ini, maka dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: a



24



Subyek hukum dari perjanjian anjak piutang itu tentu saja adalah Penjual, Pembeli dan Perusahaan Anjak Piutang. Namun penamaan tersebut diubah disesuaikan dengan hakikat anjak piutang. Perusahaan anjak piutang atau dikenal sebagai factor adalah badan usaha yang menawarkan anjak piutang. Klien adalah pihak yang menggunakan jasa dari anjak piutang



Ibid, hal 149.



33 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



b



Obyek Hukum. Obyek hukum dalam perjanjian ini jelas adalah piutang itu sendiri, baik itu dijual atau dialihkan atau diurus oleh pihak lain.



c



Peristiwa hukum atau hubungan hukumnya adalah perjanjian anjak piutang, yaitu perjanjian antara perusahaan anjak piutang dengan klien.



Kegiatan Anjak Piutang dilakukan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas bentuk piutang tersebut. Kegiatan Anjak Piutang ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni Anjak Piutang tanpa jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse) dan Anjak Piutang dengan jaminan dari Penjual Piutang (With Recourse). Anjak Piutang tanpa jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse) adalah kegiatan Anjak Piutang di mana Perusahaan Pembiayaan tidak menanggung risiko tidak tertagihnya piutang. Sedangkan Anjak Piutang dengan jaminan dari Penjual Piutang (With Recourse) adalah kegiatan Anjak Piutang di mana Penjual Piutang menanggung risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan. Kemudian yang dimaksud dengan piutang dagang jangka pendek adalah piutang dagang yang jatuh tempo selamalamanya 1 (satu) tahun. Dalam transaksi Anjak Piutang pada dasarnya terdapat tiga pihak yang terlibat jalinan hubungan bisnis, yaitu sebagai berikut : a



Pihak Perusahaan Factor, yaitu pihak pemberi jasa factoring atau pembeli piutang. Perusahaan Factor dapat berupa perusahaan yang khusus bergerak di bidang factoring, perusahaan multifinance, dapat juga berupa Bank.



b



Pihak Klien, yaitu pihak yang mempunyai piutang/tagihan yang akan dijual kepada pihak perusahaan factor.



c



Pihak Customer, yaitu pihak debitur yang berhutang kepada pihak klien, untuk selanjutnya ia akan membayar hutangnya CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



34



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



kepada pihak perusahaan factor. Customer merupakan unsur yang sangat penting diperhatikan, mengingat customer-lah yang akan melunasi pembayaran, sehingga customer yang menentukan macet tidaknya tagihan. Oleh karena itu, kemampuan/kemauan bayar customer mestil benar-benar diperhatikan, sebelum suatu perusahaan factor membeli piutang. Apalagi karena bisnis factoring pada prinsipnya tidak mengenal agunan. Dalam sebuah transaksi factoring mengenal adanya prepayment, yaitu harga pembelian kredit yang dibayar terlebih dahulu oleh perusahaan factor sebagai pembeli piutang kepada pihak klien sebagai penjual piutang. Prepayment dalam transaksi factoring sudah mencakup antara 80% sampai 90% dari harga jual. Dengan demikian sudah merupakan bagian substansial dari harga beli, kemudian selebihnya akan dibayar begitu tagihan-tagihannya lunas ditarik dari customer, yakni setelah dipotong biaya dan fee untuk perusahaan factor. Pada prinsipnya piutang yang dapat dialihkan adalah piutang yang sudah ada pada waktu akta cessie sebagai akta peralihan piutang atas nama dibuat. Piutang dianggap sudah ada jika telah terjadi transaksi yang menyebabkan hutang piutang itu terjadi, sungguhpun piutang tersebut belum jatuh tempo untuk ditagih. Sebagai contoh antara pihak klien dengan pihak customer telah dilakukan jual beli suatu barang perdagangan. Penagihannya oleh perusahaan factor baru dapat dilakukan setelah jatuh tempo piutang tersebut.25 Beberapa manfaat yang dapat diberikan oleh perusahaan anjak piutang (factoring) dalam rangka peningkatan kemampuan dunia usaha adalah sebagai berikut: 26 a



b



Penggunaan jasa anjak piutang akan menurunkan biaya produksi perusahaan. Cepat dan mudahnya memperoleh dana tunai (cash money) akan membuat perusahaan dapat memanfaatkan beberapa peluang untuk menurunkan biaya produksi, antara lain price discount, quantity discount, dan biayabiaya lain yang berkaitan dengan persediaan.



c



Kegiatan anjak piutang dapat meningkatkan kemampuan bersaing perusahaan klien, karena dia dapat mengadakan transaksi dagang secara bebas atas dasar open account baik perdagangan dalam maupun luar negeri.



d



Meningkatkan kemampuan klien memperoleh laba melalui peningkatan perputaran modal kerja.



e



f



2.1



Undisclosed / Non Notification Adakalanya perusahaan ingin performance/bonafiditasnya tetap terjaga di mata pelanggan (debitur) walaupun sebetulnya perusahaan sedang mengalami kesulitan dana. Untuk itu pada saat pengalihan piutang maka perusahaan tidak memberitahu pelanggan (debitur) bahwa piutang sudah dialihkan ke perusahaan anjak piutang (factoring). Transaksi anjak piutang ini dinamakan Undisclosed/Non Notification Factoring. Mekanisme transaksi Undisclosed Factoring adalah sebagai berikut:



a



b



Anjak piutang dapat memberikan fasilitas pembiayaan dalam bentuk pembayaran di muka (advance payment) sehingga akan meningkatkan credit standing perusahaan klien.



26



Ibid, hlm. 78. Linna Ismawati, t.t. Anjak Piutang (Factoring) Alternatif Pembiayaan untuk Memperlancar Arus Kas (CashFlow) Perusahaan, Majalah Ilmiah Unikom, Vol. 5, hlm. 134.



35 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Kegiatan anjak piutang dapat mempercepat proses ekonomi dan meningkatkan pendapatan nasional.



Beberapa fasilitas anjak piutang yang ditawarkan, antara lain yaitu sebagai berikut:



c 25



Menghilangkan ancaman kerugian akibat terjadinya kredit macet. Risiko kredit macet dapat diambil alih oleh perusahaan anjak piutang.



Terjadi transaksi penjualan secara kredit kepada pelanggan (klien). Negosiasi dan kontrak anjak piutang antara perusahaan (klien) dengan lembaga anjak piutang (factoring) di mana perusahaan menyerahkan kopi faktur penagihan piutang dan dokumen terkait lainnya, sedangkan dokumen asli tetap dipegang perusahaan. Lembaga anjak piutang memberikan pembiayaan maksimal 80% dari nilai faktur.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



36



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



d



e



2.2



Pada saat jatuh tempo perusahaan akan menagih kepada debitur/pelanggan. Perusahaan akan mengembalikan pinjaman dana kepada factoring ditambah dengan biaya anjak piutang (service charge/discount charge).



Dalam transaksi anjak piutang sebagaimana dimaksud terdapat beberapa risiko yang mungkin timbul, antara lain yaitu: a



Disclosed / Notification Factoring Jika perusahaan (klien) setelah memperoleh pembiayaan dari anjak piutang tidak ingin direpotkan oleh tugas menagih kepada debitur, maka perusahaan bisa memanfaatkan fasilitas disclosed factoring yaitu segera menyerahkan pengelolaan piutang kepada perusahaan anjak piutang. Mekanisme transaksinya bisa dijelaskan sebagai berikut: a



b



c



d



e



f



g



Terjadi penjualan secara kredit kepada pelanggan (klien). Negosiasi dan kontrak factoring antara perusahaan (klien) dengan lembaga anjak piutang di mana perusahaan menyerahkan faktur penagihan dan dokumen terkait (dokumen asli). Perusahaan memberitahu kepada debitur kalau piutang dan penagihan sudah dialihkan ke lembaga anjak piutang. Lembaga anjak piutang memberikan pembiayaan maksimum 80% dari nilai faktur. Pada saat jatuh tempo lembaga anjak piutang melakukan penagihan kepada debitur.



b



37 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Pelanggan/debitur yang ingkar janji yaitu tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo sehingga kemungkinan perusahaan atau lembaga anjak piutang mengalami kerugian.



Untuk mengatasi risiko tersebut, pada saat kontrak/perjanjian dibuat maka perlu ditetapkan pihak yang bertanggung jawab atas penanggungan risiko. Jika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dan yang menanggung risiko tersebut perusahaan (klien) maka perjanjiannya dinamakan with recourse fatoring, sedangkan jika lembaga anjak piutang yang menggung risiko kerugiannya maka perjanjiannya dinamakan without recourse factoring. Dengan memanfaatkan jasa anjak piutang maka perusahaan (klien) tidak perlu membentuk bagian kredit tersendiri dalam organisasi. Lembaga anjak piutang sudah secara otomatis telah melaksanakan fungsi bagian kredit (crediet departement) dimana lembaga anjak piutang akan memberikan laporan hasil kerjanya secara periodik kepada perusahaan (klien). Atas pemanfaatan jasa anjak piutang timbul suatu kewajiban bagi perusahaan (klien) yaitu membayar biaya anjak piutang. Biaya ini terdiri dari: a



Pelanggan (debitur) membayar tagihan kepada perusahaan anjak piutang. Lembaga anjak piutang menyerahkan sisa (20% nilai faktur) kepada perusahaan (klien) setelah sebelumnya dikurangi biaya administrasi.



Pada Undisclosed Factoring ada kemungkinan perusahaan (klien) ingkar janji (wanprestasi) yaitu tidak mengembalikan pinjaman/pembiayaan kepada factor walaupun perusahaan sudah menerima pembayaran dari debitur sehingga perusahaan anjak piutang mengalami kerugian.



b



Service charge yaitu biaya yang dikeluarkan karena klien menggunakan jasa untuk pengelolaan/pembukuan penjualan (sales ledger) dari transaksi penjualan yang dilakukan klien. Besarnya biaya berkisar antara 0,5% - 2,5% tergantung kesepakatan antara anjak piutang dan klien. Discount charge, yaitu biaya yang dikeluarkan karena klien memperoleh pembiayaan (dana tunai) dari lembaga anjak piutang. Besarnya discount charge antara 2%- 3%. Biaya ini juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



38



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



mempunyai kaitan kepemilikan dengan supplier barang dan jasa yang akan dibeli oleh debitur.



Berdasarkan pada paparan tersebut, dapat ditegaskan bahwa manfaat anjak piutang bagi perusahaan (klien) adalah sebagai berikut: a



b



c



d



3



Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan disebutkan bahwa Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kebutuhan konsumen antara lain meliputi:



Perusahaan yang kesulitan/kekurangan dana akan segera memperoleh dana tunai sehingga terdapat aliran kas masuk (cash flow) yang bisa digunakan untuk modal kerja perusahaan. Aliran kas akan lebih lancar karena perusahaan tidak perlu menunggu pencairan piutang sampai jatuh tempo. Tugas perusahaan (klien) dalam pengelolaan administrasi penjualan dapat dialihkan ke lembaga anjak piutang karena lembaga ini membantu mengelola administrasi penjualan dan penagihan (sales ledgering and collection service). Perusahaan (klien) tidak ragu dalam penjualan produknya terutama kepada customer baru karena risiko tagihan macet bisa ditanggung bersama dengan lembaga anjak piutang (credit insurance). Anjak piutang dapat memperbaiki sistem penagihan sehingga piutang dapat dibayar tepat saat jatuh tempo dan sebisa mungkin penagihan ini tidak merusak hubungan baik antara perusahaan (klien) dengan pelanggannya (customer).



Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) Consumer Financing atau sering disebut dengan Pembiayaan Konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang atau jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi ataupun distribusi. Perusahaan yang memberikan pembiayaan di atas disebut perusahaan pembiayaan konsumen atau consumer finance company. Perusahaan pembiayaan konsumen dapat didirikan oleh suatu institusi non Bank maupun oleh bank, tetapi pada dasarnya antara Bank yang mendirikan dengan perusahaan pembiayaan konsumen yang didirikan merupakan suatu badan usaha yang terpisah satu dengan yang lainnya. Atas dasar kepemilikannya, perusahaan pembiayaan konsumen dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan anak perusahaan dari supplier barang dan jasa yang akan dibeli oleh debitur, perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan satu grup usaha dengan supplier barang dan jasa yang akan dibeli oleh debitur, dan perusahaan pembiayaan konsumen yang tidak



39 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



a



Pembiayaan kendaraan bermotor;



b



Pembiayaan alat-alat rumah tangga;



c



Pembiayaan barang-barang elektronik;



d



Pembiayaan perumahan.



Suatu transaksi Pembiayaan Konsumen melibatkan tiga pihak, yaitu pihak perusahaan pembiayaan, pihak konsumen, dan pihak supplier. Hubungan antara pihak-pihak dimaksud, yaitu sebagai berikut:



3.1



Hubungan Pihak Kreditur dengan Konsumen Hubungan antara pihak kreditur dengan konsumen adalah hubungan kontraktual, yakni kontrak pembiayaan konsumen (Consumer Finance Agreement). Dalam kontrak ini, pihak pemberi biaya sebagai kreditur dan pihak penerima biaya (konsumen) sebagai pihak debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian sesuatu barang konsumsi, sedangkan pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi hubungan kontraktual antara pihak dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit, sehingga ketentuan tentang perjanjian kredit berlaku. Ketentuan perkreditan yang diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang perbankan tidak berlaku, karena pemberi biaya bukan bank sehingga tidak tunduk kepada peraturan perbankan. Konsekuensi yuridis dari perjanjian kredit tersebut adalah bahwa setelah seluruh kontrak ditanda tangani dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang yang bersangkutan sudah langsung menjadi miliknya konsumen, walaupun kemudian biasanya barang tersebut dijadikan jaminan hutang lewat perjanjian fidusia. CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



40



MODUL 3 3.2



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Hubungan Pihak Konsumen dengan Supplier Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, di mana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi biaya. Ini berarti bahwa apabila karena alasan apa pun pihak pemberi biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen sebagai pembeli akan batal. Karena adanya perjanjian jual beli ini, maka seluruh ketentuan tentang jual beli yang relevan berlaku. Sebagai contoh tentang adanya kewajiban “menanggung” dari pihak penjual, kewajiban purna jual (garansi) dan sebagainya.



3.3



d



Dokumen kepemilikan barang, yang biasanya berupa BPKB, fotokopi STNK dan atau faktur-faktur pembelian, kwitansi pembelian, sertifikat kepemilikan dan lain sebagainya.



e



Dokumen pemesanan dan penyerahan barang, dalam hal ini biasanya diberikan certificate of delivery and acceptance, delivery order, dan lain-lain.



f



Supporting documents, berisi dokumen-dokumen pendukung yang untuk konsumen individu misalnya fotokopi KTP, fotokopi kartu keluarga, pas foto, daftar gaji dan sebagainya. Sementara itu untuk konsumen perusahaan, dokumen pendukung ini dapat berupa anggaran dasar perusahaan berserta seluruh perubahan dan tambahannya, fotokopi KTP yang diberi hak menandatangani, NPWP, SIUP dan TDP, bank statement dan sebagainya.



Hubungan Penyedia Dana dengan Supplier Antara pihak penyedia dana dengan supplier tidak ada hubungan khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang disyaratkan, yakni disyaratkan untuk menyediakan dana untuk digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen. Oleh karena itu, jika pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya, sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilakukan, jual beli bersyarat antara pihak supplier dengan konsumen akan batal, sementara konsumen dapat menggugat pihak pemberi dana karena wanprestasi tersebut.



Adapun mekanisme transaksi pembiayaan konsumen yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pembiayaan pada prinsipnya sama dengan transaksi sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Mekanisme selengkapnya dapat dijabarkan sebagai berikut: a



Para konsumen untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan konsumen, biasanya sudah mempunyai usaha yang baik dan atau mempunyai pekerjaan tetap serta berpenghasilan yang memadai. Sebelum mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan konsumen, debitur (konsumen) mengajukan surat permohonan dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut: 27



Dalam menjalankan transaksi pembiayaan konsumen, terdapat beberapa dokumen yang sering diperlukan, antara lain yaitu sebagai berikut: a



b



c



Dokumen pendahuluan, yang meliputi credit application form (formulir aplikasi kredit), surveyor report (laporan survey), dan credit approval memorandum (memo persetujuan kredit).



1)



Dokumen pokok, yaitu perjanjian pembiayaan konsumen itu sendiri. Dokumen jaminan, yaitu meliputi perjanjian fidusia, cessie asuransi, kuasa menjual (kuitansi kosong yang ditandatangani konsumen), pengakuan hutang, persetujuan suami atau istri, atau persetujuan komisaris atau rapat umum pemegang saham.



41 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Tahap Permohonan



2)



3)



27



Foto kopi Kartu Tanda Penduduk debitur (konsumen) Foto kopi Kartu Tanda Penduduk suami/isteri calon debitur (konsumen) Kartu Keluarga



Joko Hartanto, 2007, Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Sepeda Motor Pada PT. Federal International Finance (FIF) Kota Tegal, Skripsi pada Universitas Negeri Semarang, hlm 28.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



42



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



4)



Rekening Koran tiga bulan terakhir.



5)



Surat keterangan gaji, jika calon debitur bekerja



6)



Surat keterangan lainnya yang diperlukan.28



(5) kondisi pembiayaan yang diajukan; dan (6) jenis dan tipe barang kebutuhan konsumen. d



Pada tahap ini marketing departement akan mengajukan proposal terhadap permohonan yang diajukan oleh debitur kepada kredit komite. Proposal yang diajukan biasanya terdiri dari:



Permohonan pembiayaan konsumen biasanya dilakukan oleh debitur (konsumen) ditempat dealer/supplier penyedia barang kebutuhan konsumen yang telah bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan (kreditur). b



Tahap pengajuan proposal kepada kredit komite



Tahap Pengecekan Berdasarkan aplikasi dari pemohon, marketing departement akan melakukan pengecekan atas kebenaran dari pengisian formulir tersebut dengan melakukan analisa dan evaluasi terhadap data dan informasi yang telah diterima yang dilanjutkan dengan kunjungan ke tempat calon debitur, pengecekan ke tempat lain, dan observasi secara umum atau khusus lainnya.



1)



Tujuan pemberian fasilitas pembiayaan.



2)



Struktur pembiayaan yang mencakup harga barang, nett pembiayaan, bunga, jangka waktu, tipe dan jenis barang.



3)



Latar belakang debitur disertai dengan keterangan mengenai kondisi pekerjaan dan lingkungan tempat tinggalnya.



4)



Analisa risiko.



5)



Saran dan kesimpulan.30



Adapun tujuan dari pemeriksaan lapangan ini adalah: 1)



2)



3)



c



Untuk memastikan keberadaan debitur dan memastikan akan kebutuhan barang konsumen.



e



Keputusan kredit komite merupakan dasar bagi kreditur untuk melakukan pembiayaan atau tidak. Apabila permohonan debitur ditolak maka harus diberitahukan melalui surat penolakan, sedangkan apabila disetujui, maka marketing departement akan meneruskan ke tahap berikutnya.



Mempelajari keberadaan barang kebutuhan konsumen yang dibutuhkan oleh debitur, terutama harga, kredibiltas 28 supplier atau pemasok dan layanan purna jual. Untuk menghitung secara pasti berapa besar tingkat kebenaran laporan calon debitur dibandingkan dengan laporan yang telah disampaikan.29



f



Tahap pembuatan customer profile



29



Budi Rachmat, 2002, Multi Finance: Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hlm 144. Ibid, hlm. 145.



43 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Tahap pengikatan Berdasarkan keputusan kredit komite, bagian legal akan mempersiapkan pengikatan sebagai berikut:



Berdasarkan pemeriksaan lapangan, marketing departement akan membuat customer profile dimana isinya akan menggambarkan: (1) Nama calon debitur dan istri atau suami; (2) alamat dan nomor telepon; (3) pekerjaan; (4) alamat kantor; 28



Keputusan kredit komite



30



1)



Perjanjian pembiayaan konsumen beserta lampiranlampirannya.



2)



Jaminan pribadi (jika ada).



3)



Jaminan perusahaan (jika ada).



Ibid, hlm. 146.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



44



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



g



Pengikatan perjanjian pembiayaan konsumen dapat dilakukan secara bawah tangan yang dilegalisir oleh notaris atau dapat dibuat secara notariil.



4)



Bukti pengiriman dan surat tanda penerimaan barang.



5)



Gesekan rangka dan mesin.



Tahap pemesanan barang kebutuhan konsumen



6)



Surat pernyataan BPKB.



7)



Kunci duplikat (jika ada).



8)



Surat jalan (jika ada).



Setelah proses penandatanganan perjanjian dilakukan oleh kedua belah pihak selanjutnya kreditur akan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1)



2)



3)



Kreditur melakukan pemesanan barang kepada supplier, pesanan dituangkan dalam penegasan pemesanan pembelian atau confirm purchase order dan bukti pengiriman dan surat tanda penerimaan barang. Khusus untuk objek pemesanan bekas pakai, baik kendaraan bermotor, tanah dan bangunan, akan dilakukan pemeriksaan BPKB atau Sertifikat oleh credit administration departement ke instansi terkait.



I



b)



Tahap penagihan atau monitoring pembayaran Setelah seluruh proses pembayaran kepada supplier atau dealer dilakukan, proses selanjutnya adalah pembayaran angsuran dari debitur sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Adapun sistem pembayaran yang dapat dilakukan oleh perusahaan yaitu dengan cara cash, cek atau bilyet, transfer dan ditagih langsung. Perlu diketahui bahwa penentuan sistem pembayaran angsuran telah ditentukan pada waktu marketing process.



Penerimaan pembayaran dari debitur kepada kreditur (dapat melalui supplier atau dealer) yang meliputi: a)



h



Sebelum pembayaran barang dilakukan oleh kreditur kepada supplier, kreditur akan melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) melakukan penutupan pertanggungan asuransi ke perusahaan asuransi yang telah ditunjuk dan (2) memeriksa ulang seluruh dokumentasi perjanjian pembiayaan konsumen oleh credit dan legal administration department dengan mempergunakan form check list document.



Pembayaran pertama antara lain: uang muka, angsuran pertama (jika in advance), premi asuransi untuk tahun pertama, biaya administrasi dan pembayaran pertama lainnya jika ada.



Collection departement akan memonitor pembayaran angsuran berdasarkan jatuh tempo pembayaran yang telah ditetapkan. Monitoring yang dilakukan oleh kreditur tidak hanya sebatas monitoring pembayaran angsuran dari debitur, kreditur juga melakukan monitoring terhadap jaminan dan masa berlakunya penutupan asuransi.



Pembayaran berikutnya yang meliputi: angsuran berikutnya berupa cek atau bilyet giro mundur, pembayaran premi asuransi untuk tahun berikutnya dan pembayaran lainnya jika ada.



Tahap pembayaran kepada supplier j



Setelah barang diserahkan oleh supplier kepada debitur, selanjutnya supplier akan melakukan penagihan kepada kreditur, dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut: 1)



Kwitansi penuh



2)



Kwitansi uang muka dan atau bukti pelunasan uang muka.



3)



Confirm purchase order.



45 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Pengambilan surat jaminan Apabila seluruh kewajiban debitur telah dilunasi, maka kreditur akan mengembalikan hal-hal sebagai berikut kepada debitur, yaitu: (1) Jaminan (BPKB dan atau sertifikat dan atau sertifikat atau faktur atau invoice), dan (2) Dokumen lainnya jika ada.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



46



MODUL 3 4



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Pihak penerbit dibebani kewajiban-kewajiban sebagai berikut:



Usaha Kartu Kredit (Credit Card) Kegiatan Usaha Kartu Kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian barang dan/atau jasa. Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan Usaha Kartu Kredit sebagaimana dimaksud, sepanjang berkaitan dengan sistem pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.



a



Memberikan kartu kredit kepada pemegangnya.



b



Melakukan pelunasan pembayaran harga barang atau jasa atau bills yang disodorkan oleh penjual.



c



Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit terhadap setiap tagihannya dalam suatu periode tertentu, biasanya setiap bulan.



Adapun fungsi kartu kredit antara lain adalah sebagai berikut: a



b



Sumber kredit, yakni bahwa kartu kredit dapat digunakan sebagai instrumen untuk memperoleh kredit dengan mekanisme pembayaran setiap transaksi atau secara bulanan.



d



Penarikan uang tunai, yakni bahwa kartu kredit dapat digunakan untuk penarikan uang tunai baik di counter bank atau di ATM.



Selanjutnya pihak penerbit kartu kredit oleh hukum diberikan hak-hak sebagai berikut: a



c



Penjaminan cek, yakni bahwa kartu dapat digunakan untuk menjamin penarikan cek yang ditarik si pemegang kartu guna meyakinkan si penerima cek dalam bertransaksi. b



Para pihak yang terlibat dalam Usaha Kartu Kredit adalah (1) pihak penerbit, (2) pihak pemegang kartu kredit, (3) pihak penjual barang atau jasa, dan (4) pihak perantara. Penjelasannya adalah sebagai berikut: c



4.1



Pihak Penerbit (Issuer) Pihak penerbit kartu kredit terdiri dari: a



b



c



Bank. Lembaga Keuangan yang khusus bergerak di bidang penerbitan kartu kredit. Lembaga Keuangan yang di samping bergerak di dalam penerbitan kartu kredit, bergerak juga di bidang kegiatan lembaga keuangan lainnya.



47 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit berita-berita lainnya yang menyangkut dengan hak, kewajiban dan kemudahan bagi pemegang tersebut.



4.2



Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran kembali uang harga pembelian barang atau jasa. Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran lainnya, seperti bunga, uang pangkal, uang tahunan, denda dan sebagainya. Menerima komisi dari pembayaran tagihan kepada perantara penagihan atau kepada penjual.



Pihak Pemegang Kartu Kredit (Card Holder) Secara hukum, pihak pemegang kartu kredit mempunyai kewajiban sebagai berikut: a



Tidak melakukan pembelian dengan kartu kredit yang melebihi batas maksimum.



b



Menandatangani slip pembelian yang disodorkan oleh pihak penjual barang/jasa.



c



Melakukan pembayaran kembali harga pembelian sesuai dengan tagihan oleh pihak penerbit kartu kredit.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



48



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



d



Melakukan pembayaran-pembayaran lainnya, seperti uang pangkal, uang tahunan, denda, dan sebagainya.



d



Selanjutnya, pihak pemegang kartu kredit mempunyai hak-hak sebagai berikut: a



b



c



4.3



Sedangkan yang menjadi hak dari penjual barang/jasa adalah sebagai berikut:



Hak untuk membeli barang/jasa dengan memakai kartu kredit, dengan atau tanpa batas maksimum. Kebanyakan kartu kredit juga memberi hak kepada pemegangnya untuk mengambil uang cash, baik pada mesin teller tertentu dengan memakai nomor kode tertentu ataupun via bank-bank lain atau bank penerbit. Jumlah pengambilan uang cash dibatasi sampai batas plafon tertentu. Hak untuk mendapatkan informasi dari penerbit tentang perkembangan kreditnya dan tentang kemudahan-kemudahan sekiranya ada yang diperuntukkan kepadanya.



4.4



Terhadap pihak penjual barang atau jasa, yang mana kartu kredit akan atau telah dipergunakan, secara hukum mempunyai kewajibankewajiban sebagai berikut:



b



c



d



Memperkenankan pihak pemegang kartu kredit untuk membeli barang atau jasa dengan memakai kartu kredit.



Menyodorkan slip pembelian untuk ditandatangani oleh pihak pembeli/pemegang kartu kredit.



Meminta pelunasan harga barang/jasa yang dibeli oleh pembelinya dengan memakai kartu kredit.



b



Meminta pembeli/pemegang kartu kredit untuk menandatangani slip pembelian.



c



Menolak untuk menjual barang/jasa jika tidak terdapat otoritas dari penerbit kartu kredit.



Pihak Perantara



Selanjutnya yang dimaksud dengan perantara pembayaran adalah bankbank di mana pembayaran kredit/harga dilakukan oleh pemilik kartu kredit. Selanjutnya bank-bank ini akan mengirim uang pembayaran tersebut kepada penerbit. Pihak perantara pembayaran ini berkedudukan dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama saja seperti pemberian jasa pengiriman uang lainnya yang biasa dilakukannya. Dalam hal ini bank perantara ini akan mendapatkan bayaran berupa fee tertentu.



Bila perlu melakukan pengecekan atau otorisasi tentang penggunaan dan keabsahan kartu kredit yang bersangkutan. Menginformasikan kepada pemegang/pembeli barang/ jasa tentang charge tambahan selain harga jika ada. Misalnya charge tambahan sekian persen dari harga penjualan terhadap pembelian dengan memakai kartu kredit terhadap beberapa jenis produk tertentu.



a



Pihak perantara terdiri dari perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Pihak perantara penagihan yang disebut juga acquirer adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak perantara penagihan inilah yang melakukan pembayaran kepada pihak penjual tersebut. Apabila pihak perantara penagihan ini terpisah dari pihak penerbit, maka jumlah yang harus dibayar kepada penjual pun terkena pemotongan komisi oleh pihak perantara.



Pihak Penjual Barang/Jasa



a



Membayar komisi ketika melakukan penagihan kepada perantara (jika dipakai perantara) atau kepada penerbit (jika dilakukan langsung kepada penerbit).



C



Perusahaan Modal Ventura Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui 17 pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.



49 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan 18



50



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Ciri-ciri khas yang menjadi karakteristik Modal Ventura, yaitu sebagai berikut: a



Merupakan bantuan pembiayaan pada Perusahaan Pasangan Usaha.



b



Bersifat sementara, karena maksimal dalam jangka waktu 10 tahun harus dilakukan divestasi.



c



d



e



f



g



h



Perusahaan Modal Ventura terlibat dalam Manajemen Perusahaan Pasangan Usaha yang dibiayainya atau yang lebih dikenal dengan istilah hands-on management. Pembiayaan yang diberikan bukan dalam bentuk pinjaman (loan), melainkan penyertaan modal (equity participation). Pembiayaan yang diberikan oleh Perusahaan Modal Ventura berisiko tinggi karena tidak didukung oleh jaminan (collateral).



Walaupun demikian ketiga mekanisme tersebut masih jarang dilakukan oleh PMV di Indonesia, kebanyakan dalam praktik justru dana yang digulirkan oleh PMV menggunakan skema pinjam-meminjam (loan) dan memerlukan adanya jaminan (collateral).31 Hal demikian disebabkan oleh adanya kondisi bahwa sebagian besar PPU yang menjadi mitra dari PMV adalah kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). UMKM lebih paham terhadap skema pinjaman (loan) daripada skema lainnya. Di samping itu juga mengingat bentuk badan usaha UMKM masih sederhana dan belum berbadan hukum, sehingga untuk mendapatkan penyertaan modal layaknya PT tidak dimungkinkan. Akibat lebih jauh ternyata pemberian skema pinjaman oleh PMV pada dasarnya melanggar regulasi yang ada yaitu Keputusan Menteri Keuangan. Untuk itu maka menurut hemat Penulis, pengaturan khusus mengenai modal ventura ala Indonesia perlu diterbitkan agar operasional dari PMV sah secara hukum. Dalam literatur lain dikatakan bahwa usaha modal ventura merupakan pembiayaan berisiko tinggi karena tidak didukung oleh jaminan (collateral). Cara yang ditempuh oleh PMV dalam penyediaan pembiayaan, yaitu: 32



Motif utama adalah bisnis pembiayaan yang mengharapkan keuntungan (capital gain) relatif tinggi sebagai kontraprestasi pembiayaan yang berisiko tinggi. Pembiayaan umumnya berjangka panjang dari 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun. Pembiayaan ditujukan kepada perusahaan kecil atau masih baru, tetapi berpotensi besar untuk berkembang dan mempunyai prospek yang cerah, khususnya bidang teknologi atau nonteknologi, atau usaha yang mengandung terobosan baru dimana perusahaan baru ini sulit memperoleh kredit/pembiayaan dari perbankan.



Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan menyebutkan bahwa kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi: (a) Penyertaan Saham (equity participation); (b) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan (c) Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing). Dengan demikian, mekanisme kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Modal Ventura (PMV) dalam hubungannya dengan Perusahaan Pasangan Usaha (PPU), dapat berupa penyertaan modal (equity participation), obligasi konversi (convertible bond), dan pembiayaan bagi hasil (profit/revenue sharing).



51 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



a



Penyertaan modal langsung ke dalam Perusahaan Pasangan Usaha yang dibiayai (investee company).



b



Pembelian saham Perusahaan Pasangan Usaha yang dibiayai.



c



Obligasi konversi (convertible bond) yang memiliki hak opsi untuk ditukarkan dengan saham biasa perusahaan yang dibiayai.



Alasan mengapa praktik PMV di Indonesia berupa pemberian pinjaman (loan) yang disertai dengan keharusan memberikan jaminan, karena memang masih minimnya kegiatan usaha baru di Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan penyertaan modal (equity participation). Kemudian masih perlunya jaminan adalah karena regulasi yang mengatur tentang lembaga pembiayaan khususnya modal ventura masih lemah tidak seperti regulasi tentang Perbankan, sedangkan pembiayaan melalui modal ventura merupakan usaha yang memiliki risiko tinggi (high risk). Untuk meminimalisir risiko, kaitannya dengan moral hazard dari PPU itulah, maka keberadaan jaminan (collateral) menjadi suatu keniscayaan. 31



32



Khotibul Umam, 2006, “Tinjauan Hukum Kemitraan Antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha (Studi Kasus PT. Sarana Yogya Ventura, Yogyakarta)”, Skripsi pada Bagian Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 123. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 186.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



52



MODUL 3



D



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 17 diatur dalam Pasal 5, yakni:



1



Infrastruktur. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 PMK, infrastruktur yang dapat menjadi obyek Pembiayaan Infrastruktur meliputi: a



Infrastruktur transportasi, meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel, dan stasiun kereta api;



b



Infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;



c



Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;



d



Infrastruktur air minum, meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum;



Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi: a



Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur; e



b



c



2



Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;



Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan: a



Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;



b



Pemberian Jasa Konsultasi (advisory investment);



c



Penyertaan Modal (equity investment);



d



e



Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan Menteri.



Peraturan pelaksana dari Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, khususnya terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan



53 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



f



g



h



I



Infrastruktur air limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; Infrastruktur telekomunikasi, meliputi jaringan telekomunikasi; Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, transmisi atau distribusi tenaga listrik; Infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak dan gas bumi; dan/atau Infrastruktur lain yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf h atas persetujuan Menteri.



Untuk membiayai kegiatannya, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat memperoleh dana antara lain dari: a



b



Penerbitan surat-surat berharga; Pinjaman jangka menengah dan atau jangka panjang yang bersumber dari: 1)



Pemerintah Republik Indonesia;



2)



Pemerintah asing; CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



54



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



3)



Organisasi multilateral;



4)



Bank dan/atau lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri; dan



5)



Hibah (grant).



BAB VI Hukum Antimonopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat A



Pengantar Hukum antimonopoli merupakan salah satu regulasi yang mengatur tata cara persaingan usaha di Indonesia. Hukum antimonopoli dimaksudkan agar persaingan usaha di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan wajar yang dijalankan oleh para pelaku usaha serta menciptakan suatu keseimbangan dan persaingan usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha. Dalam perkembangannya, hukum antimonopoli sangat berkaitan erat dengan prinsipprinsip dasar ekonomi. Hal tersebut dikarenakan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahannya, dipastikan membawa dampak ekonomi, baik dampak dalam ruang lingkup ekonomi mikro maupun dampak dalam ruang lingkup ekonomi makro. Cikal bakal dibentuknya Undang–Undang No 5 Tahun 1999 karena begitu banyaknya pelanggaran–pelanggaran bentuk kegiatan usaha pada masa orde baru yang berakhir pada tahun 1998. Monopoli dan gerak konglomerasi membuat distribusi 'kue pai' bergulir pada lingkaran kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Sejarah lahirnya UU No.5 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari fenomena keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi baik yang berlangsung dari negara lain di dunia maupun yang dari dalam negeri; di mana sejak tahun 1930-an orang baru memulai menggunakan kacamata hukum ekonomi atau Droit Economique yang pada waktu itu baru mencakup peraturanperaturan administrasi negara. Tumbuhnya hukum ekonomi ini berpangkal pada konsepsi Negara Kesejahteraan, yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak hanya menyerahkan kepada



55 3 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



56 4



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



warga negara sendiri saja untuk memenuhi segala kebutuhan (sebagaimana pendirian paham liberal).



B



Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat Dalam Hukum Inggris Kuno, monopoli diartikan sebagai suatu izin atau keistimewaan yang dibenarkan oleh raja untuk membeli, menjual, membuat, mengerjakan atau menggunakan apa pun secara keseluruhan, 17dimana tindakan monopoli tersebut secara umum dapat mengekang kebebasan berproduksi atau trading.



C



Prinsip Hukum Per Se dan Rule of Reason Sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya bahwa dalam teori ilmu hukum, larangan terhadap tindakan monopoli/persaingan curang pada garis besarnya dilakukan dengan memakai salah satu dari dua teori sebagai berikut:



a



Teori per se dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan setiap tindakan, baik perjanjian maupun kegiatan usaha tertentu, adalah ilegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan oleh tindakan tesebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se ilegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu serta pengaturan harga penjualan kembali.



Sedang persaingan usaha tidak sehat didefinisikan sebagai suatu persaingan antar pelakau usaha dalam 18menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujuratau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (vide Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Anti Monopoli). Hukum antimonopoli, sering disebut juga dengan anti-trust law, berdiri berdasar filosofi bahwa sistem ekonomi ideal tercipta ketika para pembeli, dipersenjatai dengan informasi, di suatu pasar mampu mengambil keputusan yang memuaskan secara kualitas dan kuantitas. Hukum anti monopoli bertujuan untuk mendorong dan selalu menjaga timbulnya suatu kompetisi pasar. Monopoli menyebabkan ketidakefisienan karena persaingan tidak sehat tersebut akan mengakibatkan pemborosan ekonomi. Pemborosan ekonomi tersebut adalah: a



Biasanya perusahaan monopoli memroduksi produk dengan jumlah yang kurang dari permintaan pasar, sehingga cost per unit-nya menjadi lebih tinggi.



b



Adanya kecenderungan terhadap misalokasi sumber dana.



c



Diperlukan cost tertentu dalam usaha mencegah/mematikan kompetitor, misalnya dengan melakukan usaha-usaha entry deterring atau membanting harga.



d



Adanya pengeluaran biaya untuk melobi pihak otoritas dan legislator untuk terus menjaga kehidupan bisnis yang tidak fair dalam bentuk monopoli dan trust.



57 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Teori Per Ee



b



Teori Rule of Reason Teori rule of reason dimaksudkan bahwa jika dilakukan tindakan tersebut, masih dilihat seberapa jauh hal tersebut akan merupakan monopoli atau akan berakibat kepada pengekangan persaingan pasar. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian/kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Jadi tidak seperti teori per se, dalam teori rule of reason tindakan tersebut tidak otomatis dilarang , sungguhpun perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak dalam kenyataannya terbukti telah dilakukan.



Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua prinsip tersebut tetapi sebenarnya kedua prinsip ini saling melengkapi dan tidak merupakan inkonsistensi. Per se ilegal di satu sisi mempunyai manfaat besar dalam penerapannya yaitu kemudahan dan kejelasannya dalam proses administratif, selain itu juga memiliki daya ikat yang lebih luas daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai kondisi pasar yang kompleks. Sedang konsep rule of reason memiliki keunggulan dengan digunakannya analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memilki implikasi terhadap persaingan. Kedua prinsip ini terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yang berbunyi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga” dimana kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian lebih lanjut. Selain itu klausul yang menggambarkan prinsip per se ilegal juga terdapat adanya istilah “dilarang, tanpa anak kalimat “yang dapat mengakibatkan”. Maka CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



58



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



ada perjanjian/tindakan yang dilarang tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:



D



a



Dilarang secara per se



b



Dilarang dengan rule of reason



c



Antara per se dan rule of reason



Bentuk-Bentuk Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat



dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, dimana keduanya diakui sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha. Berlakunya perjanjian dalam bentuk tidak tertulis merupakan terobosan karena sebelumnya perjanjian tidak tertulis dianggap tidak begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan. Menilik beberapa kasus, para pelaku usaha pun berhati-hati dalam memformalkan kesepakatan diantara mereka, yang apabila terjadi kesalahan maka akan ada alat bukti yang kuat. Berikut akan dibahas perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar:



1.1



Oligopoli adalah dimana di dalam pasar hanya terdiri dari sedikit perusahaan, sehingga setiap perusahaan yang ada memiliki pengaruh yang cukup besar untuk menetapkan harga dan perilaku pasar lainnya.



Jika ditelusuri ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999, maka tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pasar yang perlu diatur oleh hukum anti monopoli, sekaligus merupakan ruang lingkup dari hukum anti monopoli adalah: perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan penyalahgunaan posisi dominan.



1



Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 5/1999, sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk membuat perjanjian oligopoli selama tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Namun kecenderungan pada perjanjian oligopoli dalam berbagai kasus adalah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat: penentuan harga bersama dan pengaturan kuantitas produksi. Juga, Pasal 4 Undang-undang No. 5/1999 mengatur oligopoli secara rule of reason agar dapat dipertimbangkan dengan baik apakah oligopoli terjadi karena alamiah, atau mempunyai alasan yang dapat diterima, atau untuk membatasi persaingan usaha.



Perjanjian yang Dilarang Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Suatu prestasi dalam suatu perikatan menurut pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa tiga macam. Pertama adalah kewajiban untuk memberikan sesuatu. Kedua, kewajiban untuk berbuat sesuatu. Ketiga, kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu. Syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah: a



Sepakat untuk mengikatkan diri



b



Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian



c



Suatu hal tertentu



Oligopoli



1.2



Penetapan harga Perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, predatory pricing, dan pengaturan harga jual kembali adalah bentuk dari penetapan harga menurut Undang-undang No. 5/1999. a



d



Suatu sebab yang halal



Dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian mempunyai arti bahwa para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan berbentuk apa saja sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dari rumusan yang diberikan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 mengenai perjanjian, dapat diketahui bahwa perjanjian



59 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) Salah satu dasar persaingan usaha adalah persaingan harga, dimana antar pelaku usaha berlomba-lomba menetapkan harga serendah mungkin untuk dapat memenangkan market share. Namun dengan adanya perjanjian penetapan harga, para pelaku usaha dapat memaksakan dan mengontrol harga secara sepihak terhadap konsumen. Akibatnya, konsumen tidak memiliki alternatif yang luas terhadap harga tersebut. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 5/1999 mengatur CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



60



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



mengenai perjanjian penetapan harga dengan rumusan per se illegal, yang berarti praktek tersebut menimbulkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat tanpa harus dicari latar belakang dan pembuktian dampak atas praktek penetapan harga tersebut. b



dijatuhi sanksi hukum tanpa terlebih dahulu dampak tertentu atau alasan dari dilakukannya itu. c



Predatory pricing adalah strategi dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi. Tujuan dilakukannya predatory pricing adalah untuk menyingkirkan pesaing dari pasar dan mencegah potensi pesaing untuk masuk ke dalam pasar. Untuk dapat melakukan hal itu, pelaku usaha haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian dari masa predator.



Perjanjian diskriminasi harga (price discrimination agreement) Ketika suatu produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda-beda kepada konsumen, maka terjadilah perjanjian diskriminasi harga. Akan tetapi dapat pula terjadi bahwa diskriminasi harga tersebut disebabkan karena komponen produksi yang berbeda, misal biaya iklan. Terdapat beberapa syarat untuk terjadinya diskriminasi harga: 1)



2)



3)



Untuk beberapa waktu predatory pricing tentu menguntungkan konsumen karena produk yang ada ditawarkan dengan harga rendah. Namun ketika persaingan usaha menjadi tidak berarti akibat predatory pricing, maka pelaku usaha dapat menaikkan harga setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan agar mencapai titik impas.



Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis sehingga apabila terjadi diskriminasi harga akan merugikan apa yang disebut “primary line” injury yaitu diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau ritel terhadap pesaingnya. Dapat pula mengakibatkan “secondary line” injury, yaitu bila diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen terhadap satu ritel, sedang yang ritel lainnya mendapatkan perlakuan khusus. Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya. Terdapat perbedaan harga baik secara langsung maupun tidak langsung. Semisal pada suatu pihak harus cash dan tidak ada diskon, pihak lain pembayaran kredit dan ada diskon.



4)



Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda, paling tidak ada dua pembeli.



5)



Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat.



Menilik rumusan Pasal 6 Undang-undang no. 5/1999, ketentuan mengenai diskriminasi harga diatur secara per se sehingga pelaku usaha yang melakukan perbuatan tersebut dapat



61 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Predatory pricing



Pasal 7 Undang-undang No. 5/1999 melarang predatory pricing yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat secara rule of reason. Berarti sesungguhnya tidak ada larangan untuk menetapkan harga dibawah harga pasar selama tidak membuat terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau pelaku usaha tersebut mempunyai alasan yang bisa diterima. d



Pengaturan harga jual kembali (resale price maintenance) Unsur utama dalam pengaturan harga jual kembali adalah adanya perjanjian antar pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan, yang bila demikian akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat karena penyalurnya tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk dengan harga yang lebih rendah dari penyalur lainnya. Ketentuan mengenai resale price maintenance di Undangundang No. 5/1999 dirumuskan secara rule of reason. Karena pada dasarnya tiap pelaku usaha mempunyai hak untuk mengontrol beberapa aspek distribusi produknya sehingga praktek pengaturan harga jual kembali perlu ditelaah dampaknya pada persaingan usaha.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



62



MODUL 3 1.3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Pembagian wilayah



1.5



Pembagian wilayah yang dimaksud adalah wilayah pemasaran guna menghindari persaingan di antara pelaku usaha. Dengan demikian pelaku usaha dapat mengeksploitasi konsumen melalui penetapan harga ataupun produksi untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi bila konsumen dapat berpindah ke pasar lain maka pembagian pasar menjadi tidak efektif.



Merupakan strategi untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi. Sesuai dengan hukum supply and demand, makin sedikit kuantitas suatu produk maka akan semakin mahal harganya. Dengan demikian, perjanjian kartel akan menyepakati tingkat produksi yang disekapati bersama. Praktek kartel biasanya melibatkan mayoritas pelaku usaha dalam pasar yang sama. Apabila tidak demikian, kekurangan kuantitas pasokan akan dipenuhi oleh pelaku usaha yang lain.



Perjanjian pembagian pasar bisa berwujud dalam berbagai hal. Bisa dengan satu pelaku usaha diwajibkan untuk memasok kuantitas-kualitas produk tertentu, tidak mengiklankan produk di wilayah tertentu. Karena pelaku usaha hanya dapat memasarkan produknya di wilayah tertentu, padahal dalam keadaan normal dia dapat memasarkannya dimanapun, maka eksploitasi terhadap konsumen akan dilakukan sebagai kompensasi. Dalam Pasal 9 Undang-undang No. 5/1999, perjanjian pembagian wilayah dirumuskan secara rule of reason, sehingga perlu pembuktian lebih lanjut atas dampak yang dihasilkan: apakah menimbulkan monopoli/persaingan usaha tidak sehat atau tidak.



1.4



Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 mengkategorikan praktek kartel secara rule of reason. Artinya perlu ditelaah lebih jauh apakah dampak dari praktek kartel mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Dalam beberapa kasus, terdapat perjanjian kartel yang bertujuan melindungi konsumen karena aturan dari produk tersebut perlu spesifikasi khusus.



1.6



Perjanjian boikot mendapat perhatian serius di banyak negara, menimbang dampaknya yang besar terhadap persaingan usaha. Undang-undang No. 5/1999 Pasal 10 ayat (1) dan (2) merumuskan perjanjian pemboikotan secara per se illegal, sehingga tanpa memperhatikan dampak dan alasan dari perbuatan tersebut, pelaku usaha dapat dijatuhi sanksi hukum.



Trust Gabungan beberapa perusahaan untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran di pasar disebut trust. Trust terjadi ketika sejumlah perusahaan menyerahkan saham mereka pada badan trustee, kemudian diberikan sertifikat untuk semua anggota trust. Trust mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan sehingga rawan disalahgunakan.



Pemboikotan Pemboikotan adalah suatu cara unutk mencegah pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar, sehingga pasar dikuasai oleh hanya pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pembolkotan. Secara umum, pemboikotan dilakukan secara kolektif, meskipun bisa juga tindakan individu pelaku usaha dengan cara memaksa tertentu agar mengikuti perbuatan pemboikot.perbuatan memaksa tertentu misalnya adalah menghentikan suplai produk tertentu sebagai ancaman bila pelaku usaha lain tidak mau diajak boikot.



Kartel



Pasal 12 Undang-undang No. 5/1999 mengkategorikan trust secara rule of reason. Dalam beberapa kasus, trust menyebabkan kemajuankemajuan industri, sehingga praktek pemusatan kekuatan itu sendiri tidak dilarang sepanjang membawa manfaat bagi masyarakat.



1.7



Oligopsoni Dalam oligopsoni, yang menjadi korban adalah produsen dan penjual karena konsumen membuat kesepakatan bersama agar dapat menguasai pembelian atau mengendalikan harga di pasar. Dengan demikian, pelaku usaha tidak memiliki pilihan untuk menjual produk kepada konsumen, mereka harus memenuhi apa yang disyaratkan konsumen. Oligopsoni dapat terjadi jika mayoritas konsumen sepakat untuk bertindak bersama dalam sebuah mekanisem kecurangan. Juga mereka harus mampu mencegah masuknya konsumen baru. Pasal 13 Undangundang No. 5/1999 merumuskan oligopsoni secara rule of reason.



63 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



64



MODUL 3 1.8



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



d



Integrasi vertikal



Inti dari praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi hanya pada satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha atas produk tertentu. Tidak semua penguasaan tersebut dilarang karena ada monopoli alami: yakni karena keunggulan unik suatu produk. Sedangkan monopsoni adalah kebalikan dari monopoli, yakni pemusatan kekuatan untuk membeli produk di pasar, atau identik dengan pembeli tunggal. Penguasaan pasar pada dasarnya keinginan pelaku usaha untuk mendapat bargaining power yang besar di pasar. Persekongkolan atau konspirasi, yakni tindakan kerjasama antar pelaku usaha dalam bertindak melawan hukum. Terdapat tiga bentuk dari persekongkolan: persekongkolan tender, persekongkolan membocorkan rahasia dagang, dan persekongkolan untuk menghambat perdagangan.



Pasal 14 merumuskan integrasi vertikal secara rule of reason. Integrasi vertical merupakan perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk dapat menguasai produksi produk tertentu, termasuk rangkaian produksi tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung.



1.9



Perjanjian tertutup Perjanjian tertutup adalah perjanjian diantara mereka yang berada pada level yang berbeda dalam suatu proses produksi atau jaringan distribusi suatu produk. Jenis dari perjanjian tertutup adalah exclusive distribution agreement, tying agreement, dan vertical agreement on discount. Exclusive distribution agreement adalah perjanjian antar pelaku usaha bagi pihak yang menerima produk untuk hanya memasok atau tidak memasok produk tersebut kembali kepada pihak tertentu atau tempat tertentu. Sedang tying agreement adalah perjanjian antar pelaku usaha dimana dalam penjualan atau penyewaan produk disyaratkan kepada pembeli untuk juga membeli atau menyewa produk lainnya. Vertical agreement on discount adalah perjanjian dimana mensyaratkan pelaku usaha harus bersedia membeli produk sejenis dari pelaku usaha lain, dengan demikian barulah dia mendapatkan diskon. Pasal 15 UU no. 5/1999 merumuskan tiga jenis perjanjian ini secara per se illegal.



1.10 Perjanjian dengan pihak luar negeri Pasal 16 UU No.5/1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Namun pasal tersebut memiliki keterbatasan, yakni mengharuskan adanya suatu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dalam negeri dengan pihak luar negeri, bila tidak ada perjanjian tersebut maka tidak dapat diproses.



2



Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar Adapun kegiatan tersebut adalah: a



Monopoli



b



Monopsoni



c



Penguasaan pasar



65 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Persekongkolan



3



Posisi Dominan Posisi dominan atau mempunyai bargaining power yang besar di pasar menjadi salah satu tujuan pelaku usaha. oleh karena itu dalam kasus persaingan usaha, posisi dominan menjadi kunci dalam memetakan pelanggaran terhadap hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Posisi dominan didefinisikan sebagai posisi pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar terbesar. Parameter posisi dominan dari ketentual Pasal 1 angka 4 UU No. 5/1999 adalah ukuran pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau penjualam, kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan produk tertentu. Penyalahgunaan posisi dominan dalam Pasal 25 ayat 1 UU No. 5/1999 adalah: a



Mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh produk yang bersaing secara kualitas dan harga



b



Membatasi pasar dan pengembangan teknologi



c



Menghambat pelaku usaha lain untuk memasuki pasar



Penilaian posisi dominan dilihat juga dengan hubungan pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya., seperti jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



66



MODUL 3



E



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Posisi dan Wewenangnya Upaya pemerintah dalam pengawasan dan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia adalah dengan membentuk lembaga independen nonstruktural yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kewenangan yang dimiliki KPPU sangat besar, meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan untuk memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar hukum antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pemeriksaan yang dilakukan KPPU dapat berasal dari:



a



b



F



Laporan dari pelaku usaha atau masyarakat yang merasa dirugikan. Setelah menerima laporan, KPPU akan menetapkan komisi yang bertugas memeriksa dan menyelidiki pelaku usaha yang dilaporkan. Pemeriksaan atas dasar inisiatif KPPU. Pemeriksaan ini dilakukan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap hukum antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat.



Beberapa Contoh Kasus dari Putusan KPPU Upaya pemerintah dalam pengawasan dan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia adalah dengan membentuk lembaga independen nonstruktural yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kewenangan yang dimiliki KPPU sangat besar, meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan untuk memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar hukum antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pemeriksaan yang dilakukan KPPU dapat berasal dari:



1



PT. Steady Safe, Tbk



2



PT. Mayasari Bakti



3



4



PT. Bianglala Metropolitan



5



PT. Pahala Kencana



6



PT. AJA Putra



Terhadap hasil monitoring tersebut, KPPU menindaklanjuti dengan membentuk Tim Pemeriksa untuk melakukan serangkaian pemeriksaan, dimulai dengan Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 16 Juni 2003 dengan menetapkan status para pelaku usaha tersebut sebagai Terlapor. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan menunjukkan adanya bukti awal pelanggaran Pasal 5 UndangUndang No. 5/1999 mengenai Price Fixing (Penetapan Harga) yakni para Terlapor tersebut diduga telah melakukan kesepakatan bersama melalui DPD Organda DKI Jakarta (Surat DPD Organda DKI Jakarta tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta tanggal 5 September 2001) yang menetapkan tarif bus kota Patas AC dari Rp 2.500,00 menjadi Rp 3.300,00. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, Majelis Komisi kemudian membacakan putusan pada tanggal 14 Januari 2004 sebagai berikut: 1



2



1 Kasus dari Putusan KPPU No.05/KPPU-L/2003



Perusahaan Umum (Perum) Pengangkutan Penumpang Djakarta



Menyatakan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang No. 5/1999. Menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp2.500,00 menjadi Rp3.300,00 per penumpang yang dilakukan oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI pada tanggal 15 Agustus 2001.



Perkara ini berasal dari hasil monitoring yang dilakukan oleh KPPU pada awal tahun 2003, sehingga kemudian perkara ini menjadi perkara inisiatif. Dari hasil monitoring yang dilakukan tersebut, KPPU menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5/1999 yang dilakukan oleh para pengusaha Bus Kota Patas AC di DKI Jakarta, masing-masing adalah:



67 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



68



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



2 Kasus dari Putusan KPPU No. 53/KPPU-L/2008



3 Kasus dari Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007



Dugaan pelanggaran dalam perkara ini berkaitan dengan pembagian wilayah yang dilakukan oleh DPP AKLI, DPD AKLI Sulawesi Selatan, DPC AKLI Palopo, DPC AKLI Luwu Utara, DPC AKLI Luwu Timur, dan DPC AKLI Tana Toraja. Pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran dan ditetapkan sebagai Terlapor adalah sebagai berikut:



Dugaan pelanggaran pada perkara ini adalah penetapan harga SMS off-net (short message service antar operator) yang dilakukan oleh para operator penyelenggara jasa telekomunikasi pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008 yang dilakukan oleh:



1 2



1



PT Excelkomindo Pratama, Tbk (Terlapor I)



2



PT Telekomunikasi Selular (Terlapor II)



3



PT Indosat, Tbk (Terlapor III)



4



PT Telkom, Tbk (Terlapor IV)



DPP AKLI (Terlapor I) DPD AKLI Sulawesi Selatan (Terlapor II)



3



DPC AKLI Palopo (Terlapor III)



4



DPC AKLI Luwu Utara (Terlapor IV)



5



PT Huchison CP Telecommunication (Terlapor V)



5



DPC AKLI Luwu Timur (Terlapor V)



6



PT Bakrie Telecom (Terlapor VI)



6



DPC AKLI Tana Toraja (Terlapor VI)



7



PT Mobile-8 Telecom (Terlapor VII), Tbk



8



PT Smart Telecom (Terlapor VIII)



9



PT Natrindo Telepon Seluler (Terlapor IX)



Berdasarkan alat bukti, fakta serta kesimpulan dan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5/1999, pada 13 Februari 2009 Majelis Komisi memutuskan: 1



Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 9 Undang-undang Nomor 5/1999;



2



Memerintahkan Terlapor I membatalkan perjanjian pembagian wilayah kerja Penanggung Jawab Teknik pada Surat Pengesahan Penanggung Jawab Teknik terhitung sejak dibacakannya putusan ini;



3



Memerintahkan Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI untuk tidak melaksanakan perjanjian pembagian wilayah kerja Penanggung Jawab Teknik terhitung sejak dibacakannya putusan ini.



69 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Dengan tidak adanya regulasi khusus mengenai SMS mengakibatkan operator mengambil tindakan untuk mengatur keseimbangan traffic (lalu lintas) SMS antar operator melalui instrumen harga sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka Majelis Komisi merekomendasikan kepada KPPU untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dan pihak terkait untuk segera menyusun peraturan mengenai interkoneksi SMS yang tidak merugikan konsumen. Berdasarkan fakta-fakta dan keseluruhan penilaian, pada tanggal 18 Juni 2008 Majelis Komisi memutuskan bahwa: 1



Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT Smart Telecom terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 /1999.



2



Menyatakan bahwa Terlapor III: PT Indosat, Tbk, Terlapor V: PT Hutchison CP Telecommunication, Terlapor IX: PT Natrindo Telepon Seluler tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU No 5 / 1999. CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



70



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



atas, yakni konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai sebuah input dari proses produksi suatu produk lainnya. Meskipun dalam undang-undang no 8 tahun 1999 menegaskan bahwa yang dimaksud konsumen adalah konsumen akhir, menjadi sangat penting untuk mengetahui klasifikasi ini karena pada saat terjadi pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen bisa jadi pelanggaran tersebut bukan berasal dari produsen melainkan dari kelalaian konsumen antara.



BAB VII Hukum Perlindungan Konsumen A



Latar Belakang Hukum perlindungan konsumen merupakan bidang hukum memberikan manfaat bagi pihak konsumen maupun pelaku usaha. Dengan adanya hukum ini, konsumen diajari untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri dalam proses transaksi. Di lain pihak, hukum ini juga menjadi pelecut semangat pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa yang ia produksi, menjamin kelangsungan ketersediaan barang dan jasa, serta memberikan keselamatan kepada konsumen. Selain itu, hukum perlindungan konsumen berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.



B



Pengertian dan klasifikasi Konsumen Di beberapa negara, definisi mengenai konsumen memiliki beberapa perbedaan. Di Spanyol dan Belanda, konsumen didefinisikan tidak hanya perseorangan akan tetapi juga perusahaan (sekelompok orang). Selain itu, dua negara tersebut mengklasifikasikan konsumen tidak hanya sebagai penikmat barang atau jasa melainkan juga perseorangan atau sekelompok orang yang membeli barang atau jasa untuk diperjualbelikan kembali. Dalam perundang-undangan yang berlaku di indonesia, definisi konsumen telah dijelaskan pada UU No 8 tahun 1999. Konsumen pada undang-undang tersebut didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Artinya, yang akan mendapatkan perlindungan dari undang-undang adalah konsumen akhir, bukan konsumen perantara. Selanjutnya, konsumen dapat diklasifikasikan sebagaimana telah disinggung di



71 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Contoh Kasus Bank Sugih Makmur (BSM) adalah salah satu perusahaan perbankan nasional yang memiliki ribuan cabang di berbagai daerah. BSM ini memproduksi beragam jenis layanan keuangan untuk beragam jenis konsumennya. Mulai dari kredit konsumsi, pinjaman modal, tabungan, hingga penjualan valas dan surat-surat berharga. Akan tetapi, meski BSM memiliki kantor cabang yang sangat banyak, ia membuat kebijakan bahwa para kepala cabang tidak memiliki wewenang untuk melakukan pembelian alat-alat kantor yang diperlukan. Para kepala cabang hanya diperbolehkan untuk melakukan transaksi sewamenyewa . Suatu ketika, kepala cabang BSM di Kendari sangat membutuhkan seperangkat alat komputer untuk melakukan update teknologi. ia mengalami kendala dalam pemenudhan kebutuhan itu. Kendala tersebut di satu sisi berupa larangan untuk melakukan pembelian. Di sisi lain, tidak ada supplier yang menawarkan jasa sewa teknologi (misalnya, seperangkat komputer, hardware maupun software). Singkat cerita, akhirnya, kepala cabang Bank Sugih Makmur tersebut melakukan kesepakatan dengan supplier penyedia perangkat alat komputer untuk kantornya. Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan transaksi jual-beli yakni, pihak BSM cabang Kendari membeli seperangkat komputer dengan harga pasar namun dengan syarat nota pembelian tidak menunjukkan nota pembelian melainkan nota sewa-menyewa. Artinya, secara de facto kepala cabang membeli perangkat komputer pada suplier namun secara de jure perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah perjanjian sewa-menyewa. Pertanyaan: 1



2



Bagaimanakah posisi tanggungjawab pelaku usaha dalam melindungi konsumen jika kesepakatan yang terjadi mengacu pada contoh di atas? Jika terjadi sengketa akan proses pembelian di atas, apakah dasar kesepakatan pembelian atau sewa-menyewa yang dijadikan acuan untuk proses penyelesaian sengketa? CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



72



MODUL 3



C



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Prinsip-Prinsip yang Mendasari Kewajiban Konsumen dalam Bertransaksi 1



buktikan dengan bahwa konsumen mengonsumsi produk yang dikeluarkan oleh pelaku usaha terkait. Maka mulai pada saat itu, sah lah ikatan diantara dua belah pihak terkait dengan suatu produk tertentu. Permasalahannya adalah dalam ikatan kontraktual yang terjalin pada saat pengonsumsian produk memiliki beberapa kelemahan yang jarang disadari oleh konsumen. Pertama, berdasarkan prinsip ini, pihak-pihak lain yang tidak ikut mengonsumsi barang terkait tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari pelaku usaha meskipun bisa jadi dampak buruk dari produk tersebut mengenainya. Kedua, kontrak yang secara tidak sadar disetujui oleh konsumen melalui pembelian produk biasanya hanya menyangkut hal yang prinsipil saja. Namun jika terjadi pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang dianggap besar oleh mereka padahal dimata pelaku usaha adalah hal yang kecil, biasanya pelaku usaha akan menjawab bahwa hal tersebut tidak ada pada kontrak.



Let The Buyer Beware Prinsip let the buyer beware adalah sebuah doktrin yang menjadi embrio lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen.33 Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen dapat mengakses informasi yang dibutuhkannya secara sempurna. Sehingga tidak diperlukan lagi adanya proteksi bagi konsumen terkait transaksi yang dilakukannya. Permasalahan baru muncul ketika kedua belah pihak saling menutupi informasi. Artinya asumsi bahwa konsumen dan pelaku usaha dapat mengakses informasi secara bebas dan terbuka tidak lagi terpenuhi. Pelaku usaha sebagai pemegang informasi terbanyak bisa saja melakukan pelanggaran perlindungan konsumen tanpa diketahui dan disetujui oleh konsumen tersebut dan biasanya, setelah melakukan hal tersebut pelaku usaha dengan enteng menyatakan bahwa hal itu adalah kesalahan konsumen karena kelalaiannya sendiri. Akibat rentannya permasalahan di atas terjadi dalam dunia usaha, maka prinsip ini ditolak oleh penggiat konsumerisme (gerakan perlindungan konsumen).



2



4



Dengan semakin kompleksnya transaksi dan keinginan perlindungan yang didapatkan konsumen, maka prinsip perlindungan berdasarkan kontrak tidak dapat lagi dipertahankan. Artinya, eksistensi hubungan hukum bisa terjadi tanpa harus ada kontrak. Dengan demikian, hubungan hukum (terkait perlindungan konsumen) berlandaskan pada efek yang ditimbulkan oleh produk, tanpa memperdulikan obyek efek buruk tersebut mengenai orang yang mengonsumsi barang tersebut atau bukan.



The Due Care Theory Prinsip the due care theory adalah sebuah doktrin yang menyatakan bahwa dalam melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha haruslah bersikap hati-hati dan peduli dalam memasarkan produk pada konsumen. Dengan sikap hati-hati pada benak pelaku usaha diharapkan tidak terjadi kesalahan yang disengaja atau fatal terkait produk yang dipasarkan oleh pelaku usaha dan selanjutnya tujuan perlindungan konsumen akan produk yang dipasarkan dapat terpenuhi.



Sekalipun demikian, ada pandangan yang menyatakan bahwa prinsip ini hanya berlaku pada obyek transaksi yang berupa barang. Sebaliknya, untuk obyek transaksi berupa jasa prinsip hubungan hukum yang mendasarkan pada kontrak tidak dapat dihindarkan.



D



Hak Publik 1



3



The Privity of Contract Prinsip the privity of contract merupakan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban melakukan perlindungan konsumen, tetapi hal itu dapat dilakukan jika diantara mereka memiliki ikatan kontraktual.34 Ikatan kontraktual ini biasanya di



33 34



sidharta ibid



73 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Prinsip Kontrak bukan Merupakan Syarat



Melakukan Gugatan Secara Perdata Dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang dimaksud konsumen tidak hanya negara/pemerintah saja. Dalam kasus-kasus tertentu, konsumen pada proses ini bisa jadi adalah publik/masyarakat. Misalnya, pada pengadaan alat dan vaksin untuk imunisasi anak. Dalam hal ini pemerintah adalah konsumen perantara yang menghantarkan vaksin dan alat imunisasi pada publik. Melakukan gugatan secara perdata oleh konsumen merupakan sebuah hak dasar yang dimiliki konsumen. Gugatan perdata ini dapat dilakukan CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



74



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



secara pribadi oleh konsumen jika terjadi kerugian yang didapatkannya. Tiga alasan fundamental yang memperbolehkan adanya gugatan meskipun terkadang gugatan perdata oleh konsumen secara pribadi bukan merupakan sebuah gugatan yang besar (small claim) adalah (1) kepentingan pihak pengggugat tidak dapat semata-mata diukur dari nilai ekonomis kerugiannya, (2) keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi siapa saja, (3) untuk menjaga integritas lembaga-lembaga peradilan



2



4



Dalam rangka menegakkan hukum perlindungan konsumen, tidak hanya pelaku usaha, konsumen, dan pemerintah yang ikut bertanggungjawab melestarikannya. Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dapat ikut serta menegakkan hukum perlindungan konsumen. Adapun peran yang biasa dilakukan adalah legal standing. Artinya LSM pun memiliki kesempatan melakukan gugatan terkait perlindungan konsumen.



Melakukan Class Action



Meskipun upaya gugatan yang dilakukan oleh LSM diperbolehkan, masih ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratanpersyaratan tersebut, antara lain:



Salah satu bentuk gugatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat secara berkelompok adalah gugatan dengan prosedur class action. Gugatan dengan prosedur ini adalah gugatan yang dilakukan oleh perwakilan kelompok yang memiliki jenis kerugian yang ada. Perihal gugatan dengan prosedur ini, peraturan perundang-undangan telah menaunginya melalui UU Perlindungan konsumen, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU No 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.



a



b



Melakukan gugata dengan prinsip class action setidaknya harus memiliki empat syarat yaitu (1) numerosity, artinya jumlah penggugat haruslah banyak yang akan mencerminkan tingkat efisiensi dibandingkan jika gugatan dilakukan sendiri-sendiri, (2) commonality, ada kesamaan soal hukum dan fakta yang diangkat oleh penggugat, (3) typicality, adanya kesamaan jenis tuntutan hukuam dan dasaar pembelaan yang digunakan, (4) adequacy of representation, kelayakan perwakilan yang mewakili kepentingan kelompok penggugat.



3



75 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Hak melakukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa ada tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi yang melakukan gugatan haruslah organisasi yang berbentuk badan hukum atau yayasan; dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah berkaitan dengan hal yang sedang digugat; dan telah melaksanakan kegiatan sesuai anggarang dasar.



Dalam perkara UU Perlindungan Konsumen, secara gamblang dijelaskan mengenai jenis-jenis gugatan yang dapat dilakukan. Jenis-jenis gugatan yang ditujukan pada pengadilan hanya terbatas pada (1) memohon kepada pengadilan agar orang diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, (2) menyatakan seseorang melakukan perbuatan melanggar hukum, (3) memerintahkan seseorang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan perbaikan atas kegiatan melanggar hukum yang telah dilakukannya.



Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Penyelesaian sengketa konsumen dapat juga dilakukan tanpa melalui pengadilan. Penyelesaian ini biasanya dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Badan tersebut adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah dengan setidaknya terdiri dari tiga unsur: Pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Penyelesaian sengketa konsumen terkait hukum perlindungan konsumen melalui BPSK dilakukan dengan musyawarah ataupun mediasi. Dalam hal ini, kegiatan musyawarah dan mediasi yang dilakukan oleh BPSK ditujukan untuk menentukan bersalah/tidak bersalahnya pelaku usaha, penentuan ganti rugi dan lain sebagainya.



Peran LSM di Bidang Konsumen dalam Penegakan Hukum Pelindungan Konsumen



5



Peran Ombudsman dalam Sengketa Konsumen Peran ombudsman dalam perkara sengketa konsumen tidak dapat dikatakan sepele. Tugas lembaga ombudsman untuk menampung aspirasi/laporan, melakukan penyelidikan, dan memberikan solusi/rekomendasi terhadap sebuah permasalahan adalah salah satu alasannya. Secara lebih spesifik peran-peran lembaga ombudsman CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



76



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



adalah menyaring aspirasi masyarakat terkait sengketa konsumen; kemudian menindaklanjutinya dengan penyelidikan dan penggalian data serta mengolahnya; dan diakhiri dengan memberi rekomendasi pada kasus yang dihadapi. Dengan demikian, lembaga ombudsman memiliki peran penting dalam sengketa konsumen terutama terkait dengan kemampuannya menyediakan data dan rekomendasi guna memperkuat penegakan hukum perlindungan konsumen. Maka, ketika di dalam sebuah negara dijumpai lembaga ombudsman yang sehat, dapat dipastikan ia mampu berperan dalam penyelesaian sengketa konsumen dan penegakan hukum perlindungan konsumen.



E



2



Tanggung jawab hukum mutlak adalah prinsip pertanggungjawaban pelaku usaha akan memikul tanggung jawab tanpa menetapkan kesalahan sebagai faktor yang menentukan. Prinsip ini digunakan karena unsur kesalahan bisa jadi bukan disebabkan semata-mata oleh pelaku usaha melainkan adanya force majeure. Selain itu, prinsip ini mengharuskan adanya hubungan langsung antara konsumen dan pelaku usaha. Artinya, prinsip ini hanya berlaku ketika konsumen benar-benar mengonsumsi produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Prinsip tanggung jawab mutlak di indonesia telah diberlakukan pada UU No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan. RC Hoeber et al. (dalam Shidarta, 2006), menyatakan bahwa penerapan prinsip tanggung jawab mutlak dilakukan ketika (a) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (b) diasumsikan produsen dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahanya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produksi, (3) dan asas ini dapat memaksa produsen lebih hatihati



Tanggung Jawab Pelaku Usaha Prinsip-prinsip tanggung jawab dalam penegakan hukum perlindungan konsumen menjadi sangat penting untuk diketahui. Hal ini dikarenakan prinsipprinsip tersebut memiliki konsekuensi tentang siapa yang bertanggung jawab dan sejauh mana ia harus bertanggung jawab. Mengenai prinsip-prinsip tersebut, terdapat tiga bentuk prinsip tanggung jawab hukum yaitu tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan, tanggung jawab hukum mutlak (strick liability), dan tanggung jawab produk (product liability).



1



Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Kesalahan Prinsip tanggung jawab hukum berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang berlaku umum dalam hukum pidana atau perdata. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ia melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan. Sedangkan yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Dalam hal ini pengertian hukum bukan hanya undang-undang melainkan juga kepatutan, ketertiban, dan kesusilaan dalam masyarakat. Sedangkan sebuah kegiatan dapat dikatakan melawan hukum ketika memenuhi beberapa unsur pokok: a



Adanya perbuatan;



b



Adanya kesalahan;



c



Adanya kerugian yang diderita;



d



Adanya hubungan kausalitas antara kerugaian dan kesalahan.



77 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Tanggung Jawab Hukum Mutlak (Strick Liability)



3



Tanggung Jawab Produk (Product Liability) Prinsip tanggung jawab produk menekankan pada asas bahwa pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan berdasarkan tanggung jawab produk biasanya dilakukan jika (1) perusahaan melanggar jaminan, misalnya masa guna sebuah jembatan yang baru dibangun oleh penyedia jasa konstruksi lebih pendek dari pada masa guna yang seharusnya berlaku (padahal tidak ada force majeure), (2) adanya unsur kelalaian, misalnya produsen menyediakan produk yang tidak sesuai spesifikasi yang telah disepakati, (3) menerapkan tanggung jawab mutlak.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



78



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



BAB VIII Penyelesaian Sengketa Bisnis A



Pengantar Sengketa merupakan kata yang tidak asing lagi dalam kehidupan manusia. Sengketa pertama umat manusia terjadi antara Putra Nabi Adam A.S, yakni Qobil dan Habil yang berujung pada pembunuhan yang dilakukan Qobil terhadap Habil. Di dunia bisnis yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dewasa ini juga tidak luput dari kemungkinan terjadi sengketa yang berkepanjangan, apabila tidak diselesaikan sebagaimana mestinya. Vendor sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang/jasa sudah seharusnya mengetahui dan memahami bentuk-bentuk penyelesaian sengketa, baik litigasi maupun non-litigasi. Penyelesaian sengketa merupakan salah satu klausula yang terdapat dalam sebuah kontrak, termasuk di dalamnya kontrak pengadaan barang/jasa Pemerintah.



B



hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, sehingga mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum dimaksud, terdapat empat hal yang harus dibuktikan yakni adanya unsur perbuatan melanggar hukum, unsur kesalahan, unsur menimbulkan kerugian, dan unsur yang menunjukkan hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian yang ditimbulkan. Tuntuntan ganti kerugian inilah yang menjadi awal dari sengketa para pihak, yang apabila tidak muncul kesadaran dari para pihak untuk menyelesaikan secara damai akan menjadi sengketa yang berkepanjangan. Dengan demikian hendaknya para pihak lebih mengedepankan upaya-upaya perdamaian (nonlitigasi), ketimbang berurusan dengan lembaga peradilan (litigasi). Adapun beberapa keunggulan dari penyelesaian sengketa secara nonlitigasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:



1



Kesukarelaan di sini karena penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan perjanjian yang dibuat para pihak. Perjanjian dimaksud dibuat dengan mendasarkan kesukarelaan baik menyangkut substansi maupun proses. Berbeda dengan proses beracara di lembaga peradilan, dimana prosedurnya telah tertentu atau ditentukan secara pasti.



2



Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis Pelaksanaan transaksi bisnis berpotensi menyebabkan terjadinya sengketa. Sengketa berawal dari adanya perasaan tidak puas dari salah satu pihak karena ada pihak lain yang tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah dijanjikan atau dengan kata lain ada salah satu pihak yang wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi sebagaimana yang sudah dipaparkan dalam Bab II terdiri dari (1) tidak melaksanakan prestasi sama sekali; (2) melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; (3) melaksanakan prestasi tetapi terlambat atau tidak tepat waktu; (4) melaksanakan hal-hal yang dilarang dalam perjanjian. Adanya hal-hal dimaksud memberikan hak kepada pihak lain untuk menuntut ganti kerugian dengan atau tanpa pembatalan perjanjian. Sengketa juga dapat terjadi karena adanya perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad), yakni perbuatan yang memenuhi kualifikasi Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum yakni setiap perbuatan melanggar



79 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Sifat Kesukarelaan dalam Proses



Prosedur Cepat Keunggulan lain dari penyelesaian sengketa alternatif adalah dalam hal kecepatan. Kecepatan dalam penyelesaian tergantung dari itikad baik dari para pihak yang sedang bersengketa dalam berupaya menyelesaikannya dengan mengedepankan semangat kekeluargaan. Prosedurnya pun tergantung dari kesepakatan para pihak sehingga lebih fleksibel.



3



Putusan Non Yudisial Putusan bersifat non yudisial maksudnya bahwa putusan yang dihasilkan tidak diputus oleh lembaga hakim, melainkan lebih pada hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa sendiri dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga yang netral. Karena merupakan kesepakatan maka hasil penyelesaian hakikatnya merupakan perjanjian yang mengikat CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



80



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



seperti undang-undang dan wajib dilaksanakan dengan penuh itikad baik.



4



8



Prosedur Rahasia (Confidential)



Hasil penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif dapat lebih mudah diperkirakan hasilnya (predictable). Hal ini tentu saja berbeda dengan penyelesaian sengketa secara litigasi di peradilan. Di peradilan proses persidangan berlangsung lama, apalagi dalam hal para pihak yang bersengketa melakukan upaya-upaya hukum berupa banding dan kasasi, bahkan hingga sampai ketahap peninjauan kembali. Proses yang panjang dan lama itulah yang menyebabkan terjadinya tumpukan perkara di lembaga peradilan negara. Sementara melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif dengan prosedur yang fleksibel akan memudahkan bagi pihak bersengketa untuk memperkirakan hasil penyelesaiannya.



Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan pada asasnya terbuka dan dibuka untuk umum. Akan tetapi dalam lembaga penyelesaian sengketa alternatif justru sebaliknya, yaitu bahwa putusan harus dirahasiakan. Hal ini ditujukan untuk menjaga reputasi dari para pihak yang sedang bersengketa.



5



Fleksibilitas dalam Merancang Syarat-Syarat Penyelesaian Masalah Syarat-syarat penyelesaian masalah dalam lembaga alternatif penyelesaian sengketa lebih fleksibel karena bisa ditentukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Hal ini berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan dimana syarat-syaratnya telah baku dan para pihak tinggal menjalani saja syarat-syarat itu.



6



7



9



Pemeliharaan Hubungan Baik Penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif juga dapat menjaga atau memelihara hubungan baik di antara para pihak yang sedang bersengketa. Hal ini dapat terwujud karena penyelesaian sengketa dilakukan secara dialogis dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga yang netral dan putusan hakikatnya merupakan kesepakatan dari para pihak. Dengan demikian sifat penyelesaian sengketa yang ada yakni winwin sollution. Bahwa setiap pihak tidak dirugikan dan masing-masing mendapatkan keuntungan secara proporsional.



81 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Putusan Cenderung Bertahan Lama Karena Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif Dibandingkan Pendekatan Adversial atau Pertentangan Pada hakikatnya putusan lembaga penyelesaian sengketa alternatif sebagaimana tersebut di atas adalah kesepakatan dari para pihak bersengketa yang bersifat win-win sollution. Konsekuensi logis dari putusan yang demikian adalah bahwa pelaksanaanya juga akan berlangsung secara sukarela dan meminimalisir konflik di kemudian hari.



Hemat Waktu dan Biaya Konsekuensi logis dari fleksibelnya prosedur penyelesaian dan faktor kecepatan adalah bahwa menyelesaikan sengketa melalui lembaga alternatif akan menghemat waktu dan biaya. Dengan demikian sejalan dengan asas dalam penyelesaian sengketa yang menghendaki dilakukan secara cepat, sederhana, dan biaya murah.



Lebih Mudah Dikontrol dan Lebih Mudah Memperkirakan Hasil



C



Lembaga Penyelesaian Sengketa Beberapa lembaga hukum yang termasuk dalam lembaga penyelesaian sengketa alternatif adalah sebagai berikut:



1



Negosiasi (Negotiation) Adalah proses konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka yang bersengketa. Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa untuk mencari solusi pemecahan masalah yang mereka hadapi tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah. Negosiasi biasanya digunakan dalam kasus yang tidak terlalu pelik dimana para pihak beritikad baik untuk secara besama memecahkan persoalannya. Negosiasi dilakukan jika komunikasi antara pihak masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya dan ada keinginan baik untuk mencapai kesepakatan dan menjalin hubungan baik.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



82



MODUL 3 2



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Mediasi (Mediation)



3



Adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Hampir sama dengan pengertian tersebut, menurut Gary Goodpaster, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membatu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.35 Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak; namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. “The assumption ... is that a third party will be able to alter the power and social dynamic of the conflict relationship by influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by providing knowledge or information, or by using a more effective negotiation process and thereby helping the participants to settle contested issues”. (Terjemahan bebas: asumsinya adalah bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi/individual para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para p e se rta u n tu k me n ye l e sa i ka n p e rso a l a n -p e rso a l a n ya n g dipersengketakan).36 Dengan demikian dalam sengketa yang salah satu pihaknya lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan yang dicapai melalui mediasi karena para pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian. Mereka bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa tanpa arahan konkrit dari pihak ketiga (mediator). Kekuatan mengikat dari hasil mediasi sama dengan sebuah perjanjian, karena dibuat berdasarkan kesepakatan bebas para pihak. Untuk itu maka wajib dilaksanakan dengan penuh itikad baik.



35 36



Garry Goodpaster, 1995, Arbitrase di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 11. Ibid, hlm. 12.



83 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Konsiliasi (Conciliation) Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga yang mengajukan usulan jalan keluar sebagai penyelesaian, proses ini disebut dengan konsiliasi. Proses penyelesaian model ini mengacu pada pola penyelesaian secara konsensus dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun secara pasif. Pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan dalam penyelesaian sengketa.



4



Arbitrase (Arbitration) Para pihak sepakat menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada pihak yang netral. Dalam arbitrase para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum yang diterapkan. Arbiter hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi, dimana putusan dimaksud bersifat final and binding, serta merupakan win-loss sollution. Penyelesaian sengketa melalui sarana-sarana dimaksud kini sudah terlembagakan oleh masing-masing lembaga keuangan. Di lembaga keuangan bank terdapat Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang saat ini untuk sementara masih dilaksanakan oleh Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia. Sementara di lembaga keuangan bukan bank terdapat Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan Mediasi melalui Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Lembaga Arbitrase institusional di Indonesia terdiri dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen dikenal dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di lingkungan peradilan dikenal adanya forum mediasi. Mediasi di lembaga peradilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA|) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Berbeda dengan lembaga perdamaian yang sifatnya hanya seringkali sebagai formalitas bagi hakim sebelum memeriksa perkara yang dimajukan kepadanya, Mediasi Pengadilan ini bersifat imperatif, artinya wajib dilaksanakan terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara. Hal ini antara lain dapat kita lihat Pasal 2 PERMA dimaksud yang CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



84



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



intinya adalah semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.



BAB IX Standar Prinsip Internasional: Sebuah Wacana A



Pengantar Adopsi dari standar prinsip internasional mempunyai banyak keuntungan. Dengan mengadopsi standar tersebut, akan memudahkan perusahaan untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bertransaksi dengan mitra bisnis di berbagai belahan dunia. Dengan kalimat lain, suatu perusahaan yang comply dengan standar internasional mempunyai aksesbilitas yang bagus untuk berbisnis secara internasional. Jika perusahaan benar-benar berbisnis dengan menggunakan standar global, kita dapat menuntut mitra bisnis termasuk mitra bisnis domestik, untuk juga mematuhi standar dunia tersebut. Adopsi tersebut juga akan melindungi kita dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang mengurangi daya saing serta merugikan pelanggan dan pemasok. Bahkan secara umum pemerintah memberikan insentif, seperti pengurangan/pembebasan pajak, bagi perusahan yang memakai standar prinsip intenasional. Berbisnis dengan mengabaikan etika bisnis universal dan standar bisnis internasional akan menghasilkan praktek bisnis yang substandard dan medioker. Dalam jangka panjang praktek bisnis seperti ini dapat membawa kebangkrutan pada perusahaan. Bab ini bertujuan sebagai pengantar seputar standar internasional, baik berupa konvensi maupun kode etik atau bentuk lainnya, kepada para stakeholders (terutama pelaku bisnis dan pemerintah). Wacana tersebut tentu penting sebagai relevansi terhadap perkembangan zaman, dan tentu saja progres terkait hukum dan etika bisnis yang lebih baik.



85 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



86



MODUL 3



B



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Beberapa Contoh Adopsi Standar Prinsip Internasional 1



Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN Convention Against Corruption)



c



2



Salah satu contoh apa yang sudah dilakukan pemerintah adalah ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN Convention Against Corruption) Tahun 2003 menjadi UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. Terkait dengan yang sebelumnya menurut hukum Indonesia bukan merupakan tindak pidana namun sebagai tindak pidana menurut UNCAC (kriminalisasi dijabarkan sebagai berikut): Konvensi ini berhasil menyepakati dan merumuskan pelbagai tindak pidana yang berkembang baik dalam kehidupan nasional maupun internasional. Pelbagai tindak pidana baru tersebut antara lain berupa pengembangan tindak pidana utama (basic form) dari tindak pidana korupsi sebagai penyuapan (bribery) dan penggelapan (embezzlement) dana publik, tetapi juga berkaitan dengan apa yang dinamakan “trading in influence”, “Illicit enrichment”, menyembunyikan dan mencuci hasil-hasil korupsi. Di samping itu kriminalisasi juga mencakup perlbagai tindak pidana yang bersifat mendukung tindak pidana korupsi, termasuk : “money laundering” dan “obstructing justice” . Juga korupsi di sektor privat. Bentuk-bentuk tindak pidana penyuapan yang dikriminalisasikan tidak hanya meliputi tindak pidana penyuapan terhadap pejabat publik domestik tetap juga penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat publik pelbagai organisasi internasional. Dikriminalisasikan juga “bribery in the private sector” yang dilakukan dengan sengaja dalam kerangka aktivitas di bidang ekonomi, finansial, dan perdagangan (commercial). Penyuapan di sektor privat ini dilakukan terhadap seseorang yang bekerja dalam suatu kapasitas, baik untuk kepentingan lembaga privat tersebut, untuk diri sendiri atau orang lain, dengan maksud agar dia berbuat atau tidak berbuat yang melanggar kewajibannya. Demikian juga penggelapan di sektor privat yang dilakukan dalam kerangka aktivitas ekonomi, finansial atau komersial.



b



Sejak adanya krisis finansial di berbagai negara di tahun 1997-1998 yang diawali krisis di Thailand (1997), Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Hongkong, dan Singapura yang akhirnya berubah menjadi krisis finansial Asia ini dipandang sebagai akibat lemahnya praktik GCG di negaranegara Asia. Ini disebabkan adanya kondisi-kondisi obyektif yang relatif sama di negara-negara tersebut antara lain adanya hubungan yang erat antara pemerintah dan pelaku bisnis, konglomerasi dan monopoli, proteksi, dan intervensi pasar sehingga membuat negara-negara 37 tersebut tidak siap memasuki era globalisasi dan pasar bebas. Berbagai isu yang berhubungan dengan Corporate Governance (CG) menjadi populer di Indonesia di penghujung abad ke-20, tepatnya setelah terjadinya krisis ekonomi dalam bulan Juni 1997. Isu semacam itu menguat kembali setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron and WorldCom di AS. Isu CG semakin gempar setelah berbagai lembaga keuangan multilateral, seperti World Bank dan ADB



Mengatur mekanisme penarikan aset hasil tindak korupsi secara komprehensif. Mentransformasi norma hukum internasional menjadi hukum nasional, sehingga menguatkan infrastruktur hukum nasional. 37



87 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Good Corporate Governance (GCG) Isu cukup hangat menarik perhatian para ekonom dan pelaku bisnis di Indonesia satu dasawarsa terakhir ini adalah tentang Good Corporate Governance (GCG). GCG merupakan suatu sistem, yang terdiri dari berbagai perangkat/kelembagaan serta aturan main (code of conduct) dan hukum yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan (cheks and balances) agar sistem dapat bekerja secara optimal. Secara umum, GCG dapat dibedakan dengan fenomena manajemen lainnya melalui pemahaman istilah sederhana berikut. Manajemen dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang akan menjamin bahwa segala sesuatu “dilakukan secara benar” (doing things right) atau manajemen berhubungan dengan aktivitas manages the “things”. Sementara GCG adalah mekanisme untuk “melakukan sesuatu yang benar, secara benar” (doing the right things right), dengan penekanan makna pada “the right things”. GCG memberikan penekanan pada the right things sebelum dikerjakan secara benar. Berkaitan dengan ini hal yang paling mendasar adalah sebelum memutuskan atau melakukan sesuatu perlu dipertimbangkan apakah hal tersebut “benar” (right) atau “salah” (wrong) sebelum dilakukan (do) dengan “benar”.



Dari segi substantif, konvensi ini membawa manfaat: a



Memanfaatkan kerja sama internasional dalam mengatasi tindak korupsi seperti legal assistant, penelusuran aset, pemulihan aset, dan ekstradisi.



I.Nyoman Tjager, dkk.,Corporate Governance, Tantangan dan KesempatanBagi Komuniutas Bisnis Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2003



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



88



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



mengungkap bahwa penyebab krisis keuangan yang melanda berbagai negara, terutama di Asia, tak lain adalah buruknya pelaksanaan CG. Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara yang paling menderita serta paling lambat bangkit dari dampak tersebut menurut penelitian yang dilakukan oleh ADB. Di Indonesia, krisis ekonomi ini telah berkembang dan bersifat multi dimensi, karena diikuti krisis politik serta berbagai masalah dalam negeri lainnya. Hal ini diperparah oleh lemahnya mekanisme berbagai penyangga sistem perekonomian negara. Keadaan menjadi semakin parah karena rendahnya kadar penegakan hukum sebagai benteng terakhir yang diharapkan dapat menjamin tegaknya aturan dan berjalannya sistem yang ada. Apalagi, larinya modal dalam negeri ke negara lain (capital flights) sangat besar jumlahnya, sehingga secara teknis menyebabkan Indonesia dianggap bangkrut. Dalam kondisi demikian, tidak mengherankan bila lembaga keuangan terbesar di dunia (IMF) datang menawarkan program penyelamatan ekonomi kepada Indonesia. Lembaga ini mensyaratkan adanya perbaikan serta peningkatan praktik CG di Indonesia. Letter of intent yang ditandatangani pemerintah RI bersama lembaga ini menjadi tonggak awal dimulainya reformasi sistem CG nasional secara legal-formal. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan 'Komite Nasional Mengenai Kebijakan Corporate Governance' melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Ekuin tahun 1999. Pada tahun berikutnya, dihasilkan kode etik untuk pelaksanaan CG melalui 'Code for Good Corporate Governance'. Namun demikian, hingga tulisan ini selesai, penerapan kode etik itu belum bersifat wajib (mandatory) atau masih bersifat himbauan (optional) dan hanya ditujukan pada perusahaan yang tercatat di pasar modal.



c



d



e



3



b



38



Corporate Social Responsibilities (CSR)



Terdapat lima pilar yang menjadi tolok ukur dalam program Corporate Social Responsibility, yakni:



a



Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.



89 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.



Menguatnya terpaan prinsip good corporate gorvernance juga telah mendorong CSR semakin populer. Di Indonesia, CSR sekarang dinyatakan lebih tegas lagi dalam UU PT No.40 Tahun 2007. Pendapat Milton Friedman yang menyatakan bahwa tujuan utama korporasi adalah memperoleh profit semata, semakin ditinggalkan. Sebaliknya, konsep triple bottom line (profit, planet, people) yang digagas John Elkington semakin masuk ke mainstream etika bisnis.39



Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.



Mas Achmad Daniri, Log. Cit., 2005, hlm:9. Lihat Johny Sudharmono, Good Governed Company Panduan Praktis bagi BUMN untuk menjadi G2C dan Pengelolaannya Berdasarkan Suara Hati, PT. elex Media Komputindo, Jakarta, 2004, hlm:8.



Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.



Menurut Holmes dan Watts (2000), CSR merupakan sebuah komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi jangka panjang terhadap satu isu tertentu di masyarakat atau lingkungan untuk dapat menciptakan kondisi yang lebih baik. Jadi, CSR sangat berbeda dengan kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan secara spontan atau berkala namun tidak berkelanjutan, meskipun memiliki kemiripan.



Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance yaitu: 38 a



Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.



Building Human Capital Adalah kegiatan yang memberdayakan masyarakat untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal.



39



Suharto, Edi (2007a), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Bandung: Refika Aditama 37



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



90



MODUL 3 b



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Strengthening Economies



b



Perusahaan tak hanya pihak yang hanya memikirkan diri mereka sendiri, namun mereka juga dituntut (meski secara tidak langsung) untuk memberdayakan perekonomian yang ada di sekitarnya. Tanggung jawab mereka tak hanya memperkaya perusahaan namun juga bagaimana membuat lingkungan yang di sekitar perusahaan bisa lebih sejahtera.



Contoh dari model ini adalah penjualan atas suatu produk akan didonasikan secara sosial sejumlah persentase tertentu. Dengan membeli produk tersebut sama artinya dengan menyumbang untuk mengatasi masalah tertentu.



c c



Assessing Social Issue



d



Merupakan pemberian kontribusi atau bantuan secara langsung baik dalam bentuk dana maupun jasa kepada pihak yang membutuhkan. Penyaluran beasiswa bagi yang kurang mampu adalah salah satu contohnya.



Protecting The Environment Perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan, terlebih bila mereka menggunakan sumber daya yang ada di lingkungan mereka. Prinsip kelestarian lingkungan ini sering dikenal juga dengan go green.



e



Cause Promotion Merupakan bentuk CSR yang ditunjukkan dengan kepedulian perusahaan terhadap isu tertentu yang sedang beredar di masyarakat kemudian perusahaan mengajak masyarakat untuk ikut peduli terhadap isu tersebut.



91 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Corporate Volunteering Model ini melibatkan karyawannya secara langsung dalam kegiatankegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan.



Umumnya, ketentuan perpajakan di berbagai Negara memberikan insentif untuk program-program CSR, filantropi, dan aktivitas sosial lainnya. Berikut ini adalah skema insentif yang lazim digunakan.



CSR menjadi bagian internal dari rencana perusahaan dan memiliki tujuan jangka panjang. Ada beberapa model dari CSR:



a



Corporate Philanthropy



Encouraging Good Governance Dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus memiliki etika bisnis. Good corporate governance menjadi hal yang mutlak dilaksanakan.



e



Corporate Social Marketing Perusahaan memiliki target untuk mengubah perilaku masyarakat. Salah satu contohnya adalah kampanye anti narkoba, dimana perusahaan tak hanya organisator kampanye namun juga terlibat dalam kegiatankegiatan yang relevan.



Tak hanya urusan ekonomi saja, namun isu sosial juga diakomodir. Perusahaan tak hanya memiliki tanggung jawab materiil melainkan juga moril. Artinya perusahaan juga ikut menciptakan kondisi sosial yang aman dan nyaman.



d



Cause Related Marketing



a



·Tax Exemption Yaitu, pengecualian dana program CSR dari objek pajak untuk individu atau organisasi yang menerima/mengelola dana tersebut (pada umumnya organisasi nirlaba). Tax exemption diberikan untuk kepentingan keadilan atau mempromosikan jenis aktivitas ekonomi tertentu dalam masyarakat terutama aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat dan membantu tugas pemerintah.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



92



MODUL 3 b



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



·Tax Deduction/Tax Allowance/Tax Relief



g



Sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga yang ketentuannya diatur dengan PP.



Yaitu, insentif diperbolehkannya dana CSR sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (Ph KP) atau tax base. Kebijakan ini akan mengakibatkan Ph KP menjadi lebih kecil bagi organisasi yang melakukan aktivitas CSR, sehingga besaran pajaknya pun akan menjadi lebih kecil.



c



·Tax Credit Yaitu, insentif diperbolehkannya dana CSR sebagai pengurang pajak terutang yang akan mengurangi jumlah beban pajak secara riil bagi organisasi yang melaksanakannya. Dalam praktiknya, ketiga bentuk insentif pajak di atas diterapkan dengan skema dan tingkatan yang berbeda oleh setiap negara sesuai dengan konstitusi dan political will pemerintahnya masing-masing. Pemerintah Indonesia memberikan tax exemption – untuk aktivitas CSR dalam ranah PPh yang diatur Pasal 4 UU Nomor & Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Di sisi lain, dalam ranah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga diatur mengenai tax exemption terkait aktivitas CSR. Selain tax exemption, pemerintah Indonesia juga memberikan kebijakan insentif perpajakan untuk aktivitas CSR berupa tax deduction. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh, terdapat sejumlah biaya terkait dengan aktivitas CSR yang diperkenakan sebagai deductible expense dalam menghitung Ph KP Wajib Pajak. Biaya tersebut adalah : a



Biaya pengolahan limbah;



b



Biaya beasiswa, magang dan pelatihan;



c



Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP);



d



e



f



Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan PP; Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan PP; Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP;



93 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



94



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Di sisi lain, etika ditafsirkan oleh Oxford Advance Learner's Dictionary sebagai prinsip-prinsip moral yang mengontrol/mempengaruhi perilaku seseorang. Franz Magnis-Suseno dengan sangat baik menjelaskan definisi etika sebagai berikut :



BAB X



Sebuah ilmu dan bukan ajaran, yang menurutnya adalah etika dalam pengertian kedua. Sebagai ilmu yang terutama menitik-beratkan refleksi kritis dan rasional, etika dalam kedua ini mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu harus dilaksanakan dalam situasi konkret tertentu yang dihadapi seseorang.



Etika Bisnis A



Sehingga, etika merupakan sebuah upaya refleksi bagaimana seseorang menerapkan nilai dan norma moral tertentu yang ia percayai pada situasi konkrit yang dihadapinya. Upaya refleksi ini membutuhkan evaluasi kritis atas semua situasi yang terkait. Dibutuhkan informasi seluas dan selengkap mungkin baik menyangkut nilai dan norma moral, maupun informasi empiris tentang situasi yang belum terjadi atau telah terjadi untuk memungkinkan seseorangbisa mengambil keputusan yang tepat, baik tentang tindakan yang akan dilakukan maupun tentang tindakan yang telah dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam hal ini, masuk beberapa pertimbangan mengenai: motif, tujuan, akibat pihak terkait, dampaknya, besarnya resiko bila dibandingkan manfaat, keadaan prsikis pelaku, tindakan intelegensi, dan sebagainya.



Pengantar Era Globalisasi memberikan kesempatan yang luas bagi pelaku bisnis untuk mengembangkan bisnisnya tanpa harus memikirkan kendala batas teritorial maupun budaya. Era ini ditandai dengan semakin banyaknya pelaku bisnis memproduksi barang/jasa yang dibutuhkan oleh pasar. Keadaan tersebut menuntut pelaku bisnis untuk memberikan pelayanan terbaik bagi konsumennya. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi hal tersebut, tidak ada jalan lain bagi pelaku bisnis untuk menjalankan bisnisnya dengan berlandaskan dengan etika yang baik.



Kemudian, apa yang disebut dengan etika bisnis? Manuel G Velasquez (2006) menyatakan bahwa etika bisnis merupakan sebuah studi tentang standard moral dalam bisnis dan bagaimana penerapannya. Secara umum etika bisnis membahas tentang bagaimana standar moral pelaku bisnis dibentuk dan bagaimana sebuah pelaku bisnis menerapkannya dalam kegiatan bisnis sehariharinya. Lebih lanjut, etika bisnis juga membahas tentang bagaimana jika penerapan standar moral ini akan bergesekan dengan standar moral lain yang dianut oleh individu, kelompok, pelaku bisnis, bahkan pemerintah.



Sehubungan dengan kepentingan diatas, pada bab X ini diterangkan mengenai pengertian dan prinsip-prinsip etika bisnis, posisi bisnis dalam masyarakat, serta peluang institusi bisnis mengabil peran sebagai human investor pada perkembangan sebuah negara.



B



Pengertian Etika dan Etika Bisnis



C



Prinsip-Prinsip Etika Bisnis



Membahas etika tidak akan pernah terlepas dari pembahasan tentang moralitas. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki kesamaan dan sering mengalami pertukaran makna secara tidak sengaja dalam kehidupan seharihari. Oleh karenanya perlu dilakukan terlebih dahulu pembedahan definisi secara teoritis terhadap dua frase tersebut. Moralitas berasal dari bahasa latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam kamus Oxford Advanced Learner's Dictionary menerjemahkam moral terkait dengan perilaku yang benar dan salah. Artinya, moral merupakan kebiasaan hidup yang baik, baik dalam diri seseorang, masyarakat, maupun kelompok masyarakat. Dengan demikian ketika disebutkan bahwa seseorang bermoral adalah seseorang yang telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.



1



40



Ethical Relativism (Self-Interest) Prinsip ethical relativism mengamini bahwa sejatinya tidak ada standar atau aturan universal yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi moralitas dari sebuah perilaku. Dengan mendasarkan pada asumsi bahwa setiap orang berhak memiliki nilai-nilai moralnya sendiri, maka hanya keinginan dan nilai individual yang relevan untuk menilai perilakunya. Sehingga, otoritas moral disandarkan pada keinginan, nilai-nilai, prinsip keagamaan setiap individu atau kelompok.



40



Disarikan dari: Weiss, J.W. (2003) Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management Approach. Thomson. Hal 88 37



95 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



96



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Dalam konteks sosial, penerapan prinsip etika ini bisa memiliki kelemahan. Pertama, semakin banyak macam kultur atau nilai yang dianut oleh setiap individu semakin sering terjadi persilangan nilai. Maka akan rentan terkadi konflik nilai diantara individu dalam masyarakat. Kedua, upaya pengharmonisan konflik jikalau sebuah masyarakat menganut prinsip ini tidak lain hanya dengan metode Marchiavelli. Marchiavelli mengasumsikan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Sifat serigala yang kacau dan rentan konflik hanya bisa ditundukkan dengan adanya srigala yang lebih kuat. Artinya, untuk mengharmoniskan kondisi sosial yang perlu adanya dominasi yang kuat. Dominasi jika dalam konteks politik adalah otoritarian, dalam konterks bisnis adalah monopoli. Tentu dalam dunia globalisasi ini, monopoli adalah sebuah persaingan usaha yang tidak sehat.



2



3



Universalism (duty) Prinsip universalisme adalah prinsip etika yang mendasarkan pada kewajiban seseorang memenuhi prinsip-prinsip universal dalam bertindak dengan tidak mempertimbangkan konsekuensinya. Tidak seperti universalisme yang mendasarkan pada tindakan etis pada konsekuensi yang ditimbulkannya, prinsip universalisme ini mensyaratkan (mewajibkan) seseorang untuk berperilaku berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan bertanggungjawab. Secara sederhana, penerapan tindakan etis dengan prinsip ini dapat diarahkan dengan dua kategori: a



Utilitarianism (Calculation of Cost and Benefit) b



Prinsip utilitarianisme adalah prinsip etika yang menganggap bahwa sebuah perilaku atau kebijakan harus dievaluasi berdasarkan benefit/manfaat dan cost/akibat buruk yang mungkin berdampak pada masyarakat. Otoritas moral pada prinsip ini mendasarkan pada konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku. Perilaku yang dianggap beretika ketika perilaku tersebut mampu menghasilkan kebaikan yang maksimal (the greatest result for the greatest number of people).



4



b



c



Menentukan alternatif aksi/kebijakan yang memungkinkan; Mengestimasi manfaat dan akibat yang mungkin muncul secara langsung maupun tidak langsung; Alternatif yang mampu menghasilkan manfaat terbanyak untuk sebanyak-banyaknya oranga adalah sebuah aksi/kebijakan yang etis dilakukan.



Beberapa ahli etika yang mempercayai bahwa setiap orang berhak mendapatkan kebaikan dari sebuah kebijakan menentang beberapa hal dalam prinsip ini. Pertama, mengenai asumsi bahwa tidak semua hal hal baik dapat dihitung (kebahagiaan, cinta, kenyamanan, dan lain-lain). Kedua, dengan memilih utilitarianisme sebagai prinsip etika maka mau tidak mau keputusan harus diambil dengan mengorbankan sebagian orang (karena tidak mungkin sebuah alternatif dapat memuaskan semua orang)



97 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Seseorang harus memperlakukan orang lain dengan hormat dan mengikutsertakannya dalam sebuah proses bukan hanya menjadikannya objek (memperalat untuk mendapatkan tujuan pribadi).



Rights (Individual Entitlement) Prinsip etika berdasarkan pada hak adalah prinsip yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak dasar yang telah dicantumkan dan dilindungi oleh undang undang. Standar moral pada prinsip ini didasarkan pada hak hukum (legal rights) dan prinsip tanggung jawab. Seseorang yang beretika adalah orang yang bertanggung jawab terhadap setiap kegiatannya atau setidaknya tidak melukai hak-hak moral orang lain.



Adapun tata cara mengevaluasi etika dalam prinsip ini dapat dijabarkan sebagai berikut: a



Seseorang harus melakukan suatu aksi/kebijakan jika hanya jika ia rela orang lain melakukan hal yang sama kepadanya.



5



Justice (Fairness And Equity) Prinsip etika yang berdasarkan keadilan tidak terlepas dari term keseimbangan (equality) dan kewajaran (fairness). Prinsip ini menilai benar dan salah dengan melihat apakah kesempatan, tanggung jawab, dan kesejahteraan didistribusikan secara seimbang dan wajar dalam setiap orang. Artinya, jika sebuah aksi/kebijakan diambil, maka sejauh mana manfaat dan akibatnya didistribusikan secara seimbang dan wajar pada setiap stakeholder yang terkait.



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



98



MODUL 3



D



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Bisnis dan Masyarakat



bisnis pada lingkungan sosialnya dalam prinsip/teori ini biasanya disebut dengan corporate citizenship. Terminologi ini memiliki arti bahwa institusi bisnis adalah salah satu bagian dari masyarakat. Oleh karenanya ia memiliki dan harus melakukan penyeimbangan terhadap hak dan kewajiban yang diembannya.



41



Institusi bisnis dan masyarakat merupakan fakta yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan. Bisnis dan masyarakat merupakan dua unsur yang selalu berhubungan secara menguntungkan (simbiosis mutualisme). Di satu sisi bisnis membutuhkan masyarakat sebagai pengasup produk dan penyuplai sumber daya. Di sisi lain, masyarakat membutuhkan institusi bisnis untuk memenuhi kebutuhannya.



Teori ketiga, yaitu teori integratif. Teori ini menekankan bagaimana sebuah institusi bisnis mengintegrasikan kebutuhan sosial dalam proses operasinya. Freeman dkk lebih detail menjelaskan tentang teori ini sebagai sebuah pendekatan dimana pihak manajemen dari sebuah institusi bisnis mempertimbangkan juga stakeholder yang mengakibatkan dan diakibatkan oleh sebuah kebijakan dan praktik bisnisnya sebelum mengambil keputusan. Dengan kata lain, berdasarkan paradigma ini, kewajiban institusi bisnis pada masyarakat adalah melakukan kegiatan bisnis yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.



Pada dasarnya, ada beberapa prinsip/teori yang digunakan dalam memosisikan bisnis dalam kehidupan bermasyarakat. Penempatan posisi seperti ini dilakukan berdasarkan bagaimana institusi bisnis membangun presepsi mengenai pertanggungjawabannya pada masyarakat/lingkungannya. Teori-teori tersebut antara lain: a



Teori instrumental,



b



Teori politik,



c



Teori integratif.



Teori instrumental adalah sebuah teori tradisional yang secara umum menerima bahwa peran institusi bisnis dalam masyarakat adalah sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan. Dalam konteks bisnis kekinian, pandangan ini tentu melingkupi juga prinsip bahwa tugas dari institusi bisnis hanya memaksimalkan nilai pemegang saham. Pendapat ini dikuatkan oleh Milton Friedman bahwa satu-satunya kewajiban dari institusi bisnis terhadap masyarakat adalah memaksimalkan profit dari pemegang saham (pemilik) pada kerangka kerja dan nilai etika di sebuah negara. Artinya, sepanjang institusi bisnis berjalan pada jalur hukum dan etika yang dipakai oleh sebuah negara ia dapat memaksimalkan profit yang ditargetkan demi memenuhi kewajibannya pada pemilik bisnis tersebut. Jikalau pun ada kegiatan sosial yang dilakukan oleh institusi bisnis, maka tidak lain tujuannya adalah untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing-pesaingnya. Teori kedua, yaitu teori politik. Teori ini mendasarkan pada kenyataan bahwa institusi bisnis memiliki cukup kekuatan untuk merekasaya sebuah kenyataan sosial. Kemampuan ini muncul karena institusi bisnis mampu memanipulasi pasar secara simultan, mengarahkan kecenderungan pasar, mendesain trend produk dan pasar. Oleh karena itu, institusi bisnis memiliki kewajiban lebih pada lingkungan sosialnya. Perumusan kewajiban institusi 41



Disarikan dari: Okoye, Adaze. 2009. Thorising Corporate Social Responsibility as an Essentially contested Concept: Is a Deffinision Necessary?. Journal of Business Ethics: Springler.



99 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



E



Business as a Human Investor Memilih letak positioning institusi bisnis dalam masyarakat secara teoritis telah dipaparkan pada bagian di atas. Pelaku bisnis bisa saja memilih prinsip instrumental, politikal ataupun integratif. Akan tetapi, kontekstualisasi peletakan posisi bisnis ini juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan perkembangan dunia bisnis di sebuah negara. Hal ini dikarenakan perkembangan/pembangunan bisnis juga tidak terlepas oleh sejarah yang telah dilewatinya. Di indonesia, bisnis memiliki peran penting dalam perkembangan masyarakat. Dalam rezim orde baru hingga sekarang, bisnis adalah motor utama penggerak ekonomi masyarakat. Pemerintah menekankan pembangunan negara dengan mendorong peran institusi bisnis. Adapun kebijakan yang diambil misalnya, memberlakukan pola inti-plasma dalam pembangunan sektor pertanian/perkebunan, mengajak investor asing untuk mendirikan industri strategis dan lain-lain. Hanya saja, pelaksanaan pembangunan tersebut tidak diiringi dengan penataan hubungan bisnis dan lingkungan yang baik. Bisnis dibiarkan begitu saja berjalan sendiri tanpa mengikutsertakan masyarakat. Kalaupun ada pengikutsertaan itu hanya didasarkan keinginan institusi bisnis mendapatkan keuntungan dari kondisi masyarakat. Oleh karena itu, positioning bisnis pada lingkungannya/masyarakat harus segera dirumuskan. Rumusan posisi bisnis dalam masyarakat di Indonesia bisa diambil dari prinsip corporate citizenship. Prinsip ini menekakankan bahwa institusi bisnis merupakan salah satu bagian dari masyarakat dan ia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakat. Dalam konteks indonesia, di kala ekonomi masyarakat ditunjang dari kegiatan bisnis (skala besar maupun UMKM), posisi yang paling menguntungkan bagi institusi bisnis maupun masyarakat adalah bisnis sebagai investor pengembangan masyarakat (business as human investor). Konsep bisnis CPPR-MEP UGM -- Kemitraan 100



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



sebagai investor pembangunan masyarakat ini tidak dibatasi pada pembangunan ekonomi belaka, melainkan pada pembangunan kultur dan budaya, kapasitas, pendidikan, dan lain sebagainya. Pada dasarnya terdapat berbagai keuntungan yang didapatkan oleh pihak bisnis dengan melaksanakan paradigma ini. Pertama, bisnis secara politis kultural telah melakukan kewajibannya pada masyarakat dengan membantu memenuhi kebutuhan masyarakat selain produk yang dihasilakan institusi tersebut (misal: pendidikan, kebudayaan, rekreasi dan lain-lain). Kedua, sebagai investor pengembangan masyarakat (dalam hal ini kapasitas manusianya) institusi bisnis tentu dengan mudah akan mendapatkan input sumberdaya manusia yang mampu mengembangkan institusi bisnisnya. Dan ketiga, menjamin sustainability intitusi bisnis melalui terjaganya keharmonisan hubungan antara bisnis dan masyarakat. Sustainability ini bisa berbentuk tersedianya SDM yang baik juga tersedianya pasar yang mampu menyerap produknya serta terhindarnya konflik antara institusi bisnis dan masyarakat.



mundur bagi beberapa vendor lain, maka ia mendapatkan keuntungan berupa kesempatan memenangkan lelang yang lebih besar. Kemudian, implikasi lain jikalau ia menyetujui uang mundur dan memenangkan lelang, hasilnya justru bisa jadi merugikan karena ia telah menanggung biaya tidak terkait yang jumlahnya besar. Maka salah satu cara agar ia tetap dapat melaksanakan proyek tersebut adalah dengan mengurangi kualitas. Kedua, jika ia menolak memberikan uang mundur, persaingan dalam memenangkan tender pengadaan beras akan semakin keras dan sulit dimenangkan. Pertanyaan: 1



Standar etika apa yang dapat diterapkan CV X pada kasus tersebut?



2



Keputusan apa yang seharusnya diambil oleh CV X agar tetap berada dalam lingkup etika?



Contoh Kasus Etika Bisnis CV X adalah sebuah UKM yang bergerak di bidang pangan dengan spesialisasi distributor beras. Adapun kegiatan bisnis utama yang sering diikuti oleh CV X adalah mengikuti proyek pengadaan beras yang biasanya dilakukan oleh Bulog pada skala nasinal, provinsi, maupun kabupaten. Pada tahun 2011 Bulog provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengumumkan bahwa mereka membutuhkan pasokan beras tambahan sebesar 10.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Bulog melakukan pengumuman pengadaan di LPSE Provinsi DIY untuk menemukan penawaran terbaik dari vendor setempat. Mendengar pengumuman tersebut, CV X bersiap untuk mengikutinya. Segala persiapan dana, jaringan, administrasi, sampai pada sumber daya manusia dikerahkan agar bisa mengikuti pelelangan dan mampu menawarkan harga yang bersaing. Setelah mengajukan penawaran di LPSE, CV X mendapati bahwa setidaknya ada 20 vendor yang telah mendaftar dan menyatakan siap menyediakan kebutuhan Bulog tersebut. Hanya saja, yang mengagetkan CV X adalah selah dua hari setelah mendaftarkan diri sebagai salah satu peserta lelang pengadaan beras, ia didatangi oleh vendor lain (katakan CV Y) yang juga ikut serta dalam lelang tersebut. Kemudian CV Y mengajukan persyaratan bagi CV X berupa uang jikalau ia menginginkan CV Y mundur dari persaingan penyediaan beras. Lebih anehnya lagi, kejadian tersebut tidak hanya sekali dialami, beberapa vendor lain melakukan hal yang serupa. Bagi CV X tawaran-tawaran tersebut membuatnya menjadi dilematis. Pertama, jika ia menyetujui memberikan uang



101 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan 102



MODUL 3



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



BAB XI Penutup A



B



Saran Untuk memahami lebih lanjut terkait dengan hukum dan etika bisnis, pembaca dapat langsung membaca buku-buku terkait atau mengunjungi situs-situs resmi. Untuk hukum perbankan dapat mengunjungi www.bi.go.id, hukum lembaga pembiayaan di www.bapepam-lk.go.id, hukum antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat di www.kppu.go.id, serta untuk bidang hukum lain secara umum dapat mengakses www.legalitas.org. Sedangkan untuk kasus etika dapat diunduh di (source www.forum.pengadaan.org/phpbb/viewtopic.php tentang dukungan pabrik/distributor pada pengadaan barang)



Kesimpulan Berdasarkan pada pemaparan mengenai sebagian aspek hukum bisnis dan etika bisnis tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam praktik pengadaaan barang dan jasa para pihak yang ada harus mencermati kontrak yang akan dibuat. Para pihak harus beritikad baik sejak masa prakontraktual, kontraktual, dan post-kontraktual. Itikad baik lebih ditujukan pada pemenuhan prestasi yang harus sesuai dengan spesifikasi dan ketepatan dari sisi waktu, serta menghindari melakukan hal-hal yang dilarang dalam kontrak. Dalam praktik pengadaan vendor dimungkinkan memanfaatkan jasa yang diberikan oleh lembaga keuangan, khususnya bank dan lembaga pembiayaan. Lembaga dimaksud sesuai karakteristiknya masing-masing dapat mempermudah pihak penyedia layanan barang dan jasa untuk melakukan tugasnya sesuai dengan kontrak pengadaan yang telah disepakati. Kemudian dalam aspek pengadaan barang dan jasa ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan, yakni terkait dengan aspek hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, hukum perlindungan konsumen, serta alternatif penyelesaian sengketa bisnis. Lebih lanjut para stakeholder juga perlu memperhatikan adanya standar tertentu yang berlaku secara internasional dan melaksanakan kegiatan pengadaan tersebut dengan menjunjung tinggi etika dalam berbisnis.



103 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



CPPR-MEP UGM -- Kemitraan 104



MODUL 3



B



HUKUM DAN ETIKA BISNIS



Referensi Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Djiwandono, J. Soedradjad,2001, Bergulat Dengan Krisis Dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Cet.1, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Fuady, Munir, 2002, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Goodpaster, Garry, 1995, Arbitrase di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia. Hartanto, Joko, 2007, Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Sepeda Motor Pada PT. Federal International Finance (FIF) Kota Tegal, Skripsi pada Universitas Negeri Semarang. Ismawati, Linna, t.t. Anjak Piutang (Factoring) Alternatif Pembiayaan untuk Memperlancar Arus Kas (CashFlow) Perusahaan, Majalah Ilmiah Unikom, Vol. 5. Judisseno, Rimsky K., 2002, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lash, 1987, Banking Law and Regulations : An Economis Perspentive, PrenticeHall Inc, USA. Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rachmat, Budi, 2002, Multi Finance: Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta. Umam, Khotibul, 2006, “Tinjauan Hukum Kemitraan Antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha (Studi Kasus PT. Sarana Yogya Ventura, Yogyakarta)”, Skripsi pada Bagian Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. Usman, Rachmadi, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.



CPPR



Center for Policy and Procurement Reform Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada Jl. Teknika Utara, Yogyakarta 55281



105 CPPR-MEP UGM -- Kemitraan



Kemitraan Jl. Wolter Monginsidi No. 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110