Wacana Keagamaan di Indonesia Pasca Reformasi
 9786020864792 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...

Table of contents :
Binder1
Cover Wacana dpn
Wacana Keagamaan
Cover Wacana blk

Citation preview

Wacana Keagamaan di Indonesia Pasca Reformasi



Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Surakarta 2020



Copyright@ 2020, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Surakarta Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit IAIN Surakarta Press, Desember 2020 dengan dukungan LP2M IAIN Surakarta bekerja sama dengan Paradigma Institute LP2M IAIN Surakarta Jl. Pandawa, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah Penulis Editor Proofreader Desain Sampul Layout



: Abd. Halim, dkk : Agus Wedi, Abraham Zakky Zulhazmi dan M Zainal Anwar : Khasan Ubaidillah : Azizah Nur Khasanah : Kiosdesain



ISBN



: 978-602-0864-79-2



Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian Atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit



Pengantar Editor



Wajah Islam yang Beragam Pasca reformasi, wajah Islam dan masyarakat muslim menjadi beragam, tidak tunggal apalagi seragam. Kebebasan politik dan hak bersuara hingga hak berserikat adalah salah satu kuncinya. Longgarnya pemerintah terhadap gerakan keagamaan menjadikan komunitas keagamaan tumbuh subur dengan berbagai variannya. Gerakan keagamaan yang pada masa orde baru bergerak di balik layar, pasca tumbangnya Soeharto berani beraktivitas tanpa tedeng aling-aling. Pun demikian dengan wacana media, dakwah hingga komunitas yang mengklaim telah melakukan hijrah. Dengan dukungan internet dan beragamnya media sosial, gerakan keagamaan di bidang dakwah mengalami variasi yang luar biasa. Tidak hanya dakwah secara offline yang berkembang, tetapi media sosial telah menjadi new da’wa atau ajang dakwah baru yang menyuburkan munculnya komunitas dakwah hingga ustaz seleb. Aktivisme keagamaan yang kian beragam ini menjadi arena yang menantang para peneliti di lingkungan perguruan tinggi, termasuk civitas akademika di IAIN Surakarta. Artikel yang tersaji dalam buku ini adalah kumpulan tulisan yang berasal dari kegiatan penelitian lintas disiplin keilmuan. Laporan penelitian ini lalu dibuat iii



menjadi artikel yang didiseminasi di forum ilmiah hingga di jurnal ilmiah. Khusus untuk penerbitan buku ini, para dosen cum peneliti menulis ulang hasil penelitiaannya ke dalam bahasa populer agar bisa dibaca publik lebih luas. Dalam pandangan kami, setiap tulisan memiliki segmen tersendiri. Jika artikel ilmiah yang biasanya dipublikasikan di jurnal menyasar komunitas akademik di perguruan tinggi, maka esai populer sebagaimana tersaji dalam buku ini hendak menyasar masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya di perguruan tinggi, ikhitiar kami menyajikan hasil penelitian dengan bahasa populer juga berharap bisa menyasar kalangan birokrat yang biasanya ingin membaca hasil penelitian secara cepat saji. *** Kita tahu, setiap tahun, dosen-dosen di lingkungan IAIN Surakarta melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari pengamalan Tridarma Perguruan Tinggi. Kegiatan itu lantas berakhir dengan laporan. Sebagian besar mengemas laporan menjadi artikel jurnal, baik yang dipublikasikan di dalam maupun di luar negeri, baik yang Scopus ataupun tidak. LP2M IAIN Surakarta melihat laporan-laporan penelitian dan pengabdian masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang berharga dan sebetulnya mengangkat tematema yang menarik. Laporan tersebut idealnya dapat menemukan banyak pembaca dan memberikan dampak. Hanya saja, karena dikemas dalam format laporan ilmiah iv



seringkali tidak mendapatkan khalayak pembaca yang luas. LP2M IAIN Surakarta menginisiasi penerbitan buku kumpulan esai berbasis laporan penelitian dan pengabdian masyarakat. Penerbitan buku ini adalah upaya agar laporan penelitian dan laporan pengabdian kepada masyarakat dosen-dosen IAIN Surakarta dapat lebih banyak menjumpai pembaca. Esai yang berkarekter “ringan”, pendek, dengan bahasa yang lugas diharapkan bisa dibaca kalangan luas, tidak hanya kalangan akademik belaka. Beragam tema tersaji di buku ini. Mulai dari tema pendidikan, ekonomi, dakwah, politik, gender hingga tafsir. Keberagaman tema dapat dibaca sebagai kekayaan sekaligus kekuatan buku ini. Beberapa esai juga mengangkat tema-tema aktual, seperti tentang efek pandemi, fenomena komunitas hijrah dan moderasi beragama di perguruan tinggi. Melalui dukungan berbagai pihak, terutama para penulis, artikel yang berserak ini menjadi dokumen buku yang akan mudah dikonsumsi oleh publik. Dalam prosesnya, tentu banyak pihak yang berkontribusi dalam penerbitan buku ini. Pak Dr. Zainul Abas (Ketua LP2M), Pak Fathan (Sekretaris LP2M), Pak Sulhani (Kapus Pengabdian Masyarakat) dan Pak Hasan (Kepala PSGA) adalah para kolega di jajaran pimpinan LP2M, mereka telah memberi apresiasi dan dukungan atas ide penerbitan buku ini. Akhir kata, semoga penerbitan buku serupa ini dapat berkelanjutan. Tentu, sebagaimana niat awalnya, karyav



karya dosen IAIN Surakarta bisa lebih banyak dibaca orang, dari banyak kalangan. Teriring harapan, semoga tulisan-tulisan dalam buku ini bermanfaat. Kritik dan masukan tentu kami nantikan.



vi



Kata Pengantar Rektor IAIN Surakarta



Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag, M.Pd (Rektor IAIN Surakarta) Agama di level konseptual, menyajikan ideal-ideal dan kesempurnaan-kesempurnaan. Banyak doktrin agama jatuh kepada pandangan-pandangan utopia, yang secara operasional tidak mudah diwujudkan. Ideal-ideal doktrin agama yang utopia di antaranya adalah konsep tentang kebahagiaan di dunia dan akhirat; konsep politik; konsep tentang kemanusiaan; konsep tentang kesatuan umat; konsep ekonomi Islam, dan lain-lain. Nah, agama dalam pengertian konseptual secara faktual menghadapi kendalakendala baik bersifat politik, budaya, ekonomi, maupun kendala-kendala penafsiran. Itulah sebabnya, agama konseptual—termasuk juga Islam konseptual—seolah hanya menjadi gambaran utopia yang dilawan di arah yang berlawanan oleh konflik-konflik antar ideologi dan kepentingan geopolitik dunia Islam. Lawan dari utopia adalah dystopia. Jika utopia merupakan gambaran masa depan yang terlalu ideal sehingga sulit diwujudkan, maka dystopia adalah kebalikannya, yakni gambaran paling suram yang tidak mungkin sepenuhnya terjadi, misalnya, konflik-konflik tanpa ujung yang mendera suatu masyarakat. Baik utopia vii



maupun dystopia, pada dasarnya hanyalah sebuah gambaran yang sangat diinginkan atau sangat tidak diinginkan namun pada kenyataannya sulit diwujudkan dalam arti teknis kata ini. Johan Galtung punya istilah relevant utopia yang diartikan sebagai ‘utopia’ yang masuk akal dan sangat mungkin terwujud. Dalam konteks persatuan Islam atau perdamaian dunia, cita-cita ini dapat diusahakan melalui kerja-kerja progrmatik dan berkelanjutan. Problem radikalisme agama dan proyek moderatisme misalnya, dalam batas-batas tertentu, dapat diwujudkan jika kolaborasi dengan konsensus-konsensus yang kuat dan insentif-insentif sosial-politik yang adil akan mendorong kemudahan keterwujudannya dalam kehidupan sosial kita. Dalam konteks umat Islam, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk memainkan peran solidarity maker dan pada saat yang sama menjadi jembatan sosio-budaya dengan kecanggihan intelektual yang disampaikan dengan idiomidiom modern. Memisahkan proyek moderasi beragama dari proyek kesejahteraan relatif warga, Pendidikan yang kuat, dan insentif-insentif sosio-politik-budaya lainnya, ideal-ideal hidup damai dalam kerangka NKRI akan menghadapi banyak kendala. Elit-elit masyarakat kita harus memainkan peran-peran semacam itu. Saat ini, kita memerlukan agama aktual atau lebih spesifik, Islam aktual, yakni Islam yang mengejawantah dalam fakta-fakta kehidupan dengan seluruh percabangannya. Terdapat jarak yang jauh antara Islam konseptual dengan konsep Islam aktual. Di level global, viii



dunia Islam terbelah oleh konflik-konflik ideologis (Sunni-Syi’ah) dan konflik-konflik ‘abadi’ yang disebut masalah Timur Tengah antara Arab dan Israel. Di tingkat mikroskopis, konflik-konflik terbuka maupun tertutup terjadi antara mazhab-mazhab dalam Islam. Akibat dari konflik-konflik tersebut, energi dunia Islam terkuras tanpa henti dan semua sumber daya seakan tersedot oleh lubang hitam tanpa bekas. Mestinya sumber-sumber ekonomi dan budaya dapat dimanfaatkan untuk membangun peradaban umat Islam melalui pendidikan, infrastruktur, transformasi digital, dan literasi demokrasi. Inilah fakta-fakta yang dihadapi dunia Islam yang berakibat pada terjadinya involusi peradaban. Dengan demikian, problem dunia Islam adalah belum membuminya ajaran Islam yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, Abdurrahman Wahid tepat ketika memunculkan konsep pribumisasi ajaran Islam. Maksud Gus Dur adalah agar ajaran-ajaran Islam hadir dalam gerak tumbuh secara organis dalam masyarakat Islam. Nurcholish Madjid, di sisi lain, juga menggelindingkan istilah sekularisasi yang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan akal dan rasionalitas sehabis-habisnya untuk tujuan kemajuan. Bukan hanya itu, Munawir Sadzali yang waktu itu sebagai Menteri Agama juga punya istilah ‘reaktualisasi ajaran Islam’. Istilah ini—sebagaimana ide Abdurrahman ix



Wahid dan Nurcholihs Madjid yang menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat—tujuannya adalah untuk menjadikan Islam agama rasional dan menyapa tujuantujuan nyata kehidupan. Munawir Sadzali—yang nampaknya mendapat restu dari Soeharto—ingin agar Islam menjadi mitra dalam usaha pemerintah melakukan pembangungan. Di masa Munawir Sadzali, RUU-PA (Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama) berhasil dilahirkan. Elit-elit tersebut, karena itu, dapat disebut sebagai tokoh-tokoh transisional dalam perubahan sosial di Indonesia. Karya-karya akademis yang ditulis oleh kaum intelektual Muslim Indonesia seperti Buya HAMKA, KH Ahmad Siddik, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Syafii Ma’arif, KH Alie Yafie— untuk menyebut beberapa di antaranya—merupakan fondasi yang sangat penting dalam menciptakan struktur masyarakat yang tercerahkan. Generasi muda yang lahir pada era 1970-an dan 1980-an diberkahi teladan-teladan akademik dari para tokoh transisional tersebut. Struktur masyarakat Muslim Indonesia dewasa ini adalah produk dari pergulatan intelektual yang tertulis dalam buku-buku, lembaga-lembaga Pendidikan PTKIN, jurnal-jurnal, dan interaksi intelektual di ruang-ruang sosial. Transformasi di bidang digital mempercepat perubahan struktur masyarakat Muslim dan kaum beragama pada umumnya secara lebih terbuka, terdidik, toleran, dan multikultural. x



Namun demikian, tidak semua kelompok terangkut dalam kapal intelektual yang sama. Sebagian mereka ada yang tertinggal oleh kesempatan dan literasi wacana-wacana keagamaan dari dasar sehingga kehilangan kematangan dalam beragama. Keterasingan sebagian umat Islam dalam masyarakat modern membuat mereka bergerak meminggir. Mereka tersisih dari pergaulan terbuka dan kehilangan banyak kesempatan dalam akses pekerjaan dan ekonomi. Tapi ternyata, mereka yang bergerak ke pinggir tidak dengan tangan kosong, tapi dipenuhi pikiran-pikiran kalah dan senjata sehingga terjerumus pada tindakan terorisme. Di sinilah, hilangnya insentif-insentif sosial, budaya, dan ekonomi harus juga ikut bertanggungjawab atas kelompok ‘terpinggirkan’ ini. Dialog dan komunikasi antar kelompok yang beragam tanpa sikap prejudice sangat diperlukan untuk menjembatani problem sosial seperti ini. Abad digital yang dianggap sebagai abad terbaik karena dapat menghubungkan semua orang dan memudahkan komunikasi ternyata tidak paralel dengan harapan. Media sosial—sekalipun diakui sangat besar manfaatnya—ternyata juga bisa menjadi alat untuk tujuan-tujuan negatif. Kelompok-kelompok radikal dalam banyak kasus justru menjadikan media sosial sebagai alat rekrutmen, propaganda, literasi membuat bom, dan konsolidasi. Ini tantangan tersendiri abad digital bagi upaya memerangi terorisme dan membendung ide-ide transnasional yang anti-sosial dan anti kemanusiaan. Terjadi perang konten antara yang pro dan anti terhadap xi



radikalisme dan musuh-musuh peradaban. Nah, tugas kaum intelektual dan masyarakat adalah terus-menerus memproduksi konten-konten positif, inklusif, dan toleran dalam semua lini masa digital. Dengan demikian, upaya ini dapat menyumbangkan secara relatif perdamaian dunia. Dalam alur argumen di atas, buku yang diberi judul “Wacana Keagamaan di Indonesia Pascareformasi” menjadi sangat relevan. Buku antologi yang membahas agama, budaya, spiritualitas, politik, ekonomi, moral, dan rasionalitas yang ditulis oleh para dosen IAIN Surakarta adalah salah satu upaya konstruktif membangun struktur masyarakat Muslim yang matang, inklusif, dan terbuka terhadap perbedaan serta perubahan—setidaktidaknya—di masa depan. Sebuah struktur masyarakat yang berbeda tidak terjadi tiba-tiba, tetapi terjadi melalui proses panjang dan sadar yang dibangun oleh sekelompok elit di masa lampau atau hari ini. Hasilnya, tentu saja, tidaklah segera. Menurut Arnold Toynbee, perubahanperubahan masyarakat sering dimulai dari sekelompok elit yang memberikan tanggapan yang tepat atas perubahanperubahan yang terjadi. Jadi, tulisan yang yang tertuang dalam buku ini dampaknya tidak dapat dirasakan langsung, tapi perlu menunggu dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Akhirnya, selaku Rektor IAIN Surakarta, saya mengapresiasi penerbitan buku antologi ini. Para penulis buku ini, pada dasarnya, telah bekerja untuk jangka panjang. Menulis adalah bekerja untuk keabadian karena xii



dengan menulis pikiran dan ide-idenya akan terabadikan melampaui usia hidupnya. Semoga buku ini abadi dalam pikiran-pikiran para pembacanya dan menjadi amal bagi para penulisnya.



xiii



Kata Pengantar Ketua LP2M IAIN Surakarta



Dr. Zainul Abas, S.Ag. M.Ag. (Ketua LP2M IAIN Surakarta) Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa, atas selesainya buku ini sehingga bisa disajikan kepada para pembaca. Buku dengan judul “Wacana Keagamaan di Indonesia Pasca Reformasi” yang ada di hadapan para pembaca ini adalah buku yang memiliki nilai penting bagi civitas akademika IAIN Surakarta. Pertama, buku ini ditulis oleh dosen-dosen dan peneliti di lingkungan IAIN Surakarta dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan. Aneka warna latar belakang tersebut merupakan gambaran dari adanya berbagai potensi bagi pengembangan IAIN Surakarta menjadi UIN di masamasa yang akan datang. Kedua, buku ini menjadi salah satu bukti kontribusi pemikiran dari civitas akademika IAIN Surakarta dalam memahami dan menjelaskan realitas yang terjadi di masyarakat khususnya di era reformasi berdasarkan hasil penelitian. Buku ini adalah bagian dari diseminasi publikasi ilmiah hasil penelitian dan pengabdian dosen-dosen IAIN Surakarta yang dikemas dalam bentuk esai. Hal ini xiv



dimaksudkan supaya hasil-hasil penelitian dan pengabdian tersebut dapat dinikmati secara lebih santai, enak dibaca, dan tidak kaku berdasarkan kaidah-kaidah penulisan laporan penelitian. Pilihan dalam bentuk esai ini juga bagian dari upaya LP2M IAIN Surakarta memberi kesempatan kepada lebih banyak dosen untuk bisa mendiseminasi hasil-hasil penelitian dan pengabdiannya. Karena itu, dalam buku terdapat 24 dosen yang mendapat kesempatan untuk mempublikasikan karya-karyanya. Kami mengucapkan terima kasih kepada pimpinan IAIN Surakarta yang telah memfasilitasi terbitnya buku ini, baik dalam kebijakan maupun pendanaan, sehingga buku ini bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas. Kami mengucapkan terima kepada rektor IAIN Surakarta, Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag. M.Pd. yang juga berkenan memberikan pengantar akademik dalam buku ini. Selanjutnya kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Rumadi Ahmad, M.Ag., senior saya yang juga banyak memberi inspirasi dalam dunia pemikiran Islam, yang telah menyempatkan waktu untuk memberikan prolog dalam buku ini dengan judul “Memperkuat Energi Positif Agama”. Kata pengantar dari beliau berdua tentu semakin meningkatkan bobot kajian dalam buku ini. Jazakumullah ahsanal jaza’, amien. Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim LP2M IAIN Surakarta yang telah membantu xv



terbitnya buku ini, khususnya kepada Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Surakarta, Mokhammad Zainal Anwar, M.Si., yang telah mengkoordinasi proses buku dan penyelesaian buku bersama tim editor. Saya yakin ikhtiar ini merupakan amal saleh baik secara akademik maupun secara sosial dan memberikan kemanfaatan yang sangat besar bagi banyak pihak. Buku ini adalah karya lanjutan dari LP2M IAIN Surakarta setelah sebelumnya juga menerbitkan buku dengan judul “Rahayu Nir Sambikala” esai dosen-dosen IAIN Surakarta selama masa pandemi. Terakhir, kami mengucapkan selamat menikmati kepada para pambaca atas sajian dan kajian dalam buku ini. Tentu saja karya ini mungkin masih banyak kekurangannya di sana sini, karena itu masukan, kritikan dan perbaikan tentu saja akan diterima dengan lapang dada. Semoga kita semua mendapatkan keberkahan dari Allah SWT, amien. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Surakarta, Desember 2020



xvi



Prolog



Memperkuat Energi Positif Agama Rumadi Ahmad (Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua LAKPESDAM PBNU)



MEMBERI kata pengantar sebuah karya kumpulan tulisan dengan tema yang beragam bukanlah hal yang mudah. Jika kita berada di ruang gelap, kata pengantar merupakan cahaya yang menuntun kita untuk bisa sampai ke sebuah tempat. Kata pengantar sebuah buku yang baik harus bisa membangun narasi agar pembaca bisa memahami isi dari buku tersebut. Kalau ada kata pengantar tapi tidak bisa mengantarkan pembaca, atau justru menjadikan pembaca bingung berarti kata pengantar itu gagal. Kata pengantar gagal bisa jadi akan saya alami. Tulisan ini mungkin tidak bisa sepenuhnya mengantarkan pembaca untuk memasuki tema-tema yang dibahas. Kesulitan pertama yang saya hadapi adalah mencari benang merah dari beragam tema yang ada dalam buku ini, dari persoalan toleransi, radikalisme, pluralisme, pendidikan, modernisasi pesantren, pendidikan anak usia xvii



dini, media sosial, soal Kuliah Kerja Nyata (KKN), korupsi, soal ekonomi dan sebagainya. Terus terang, saya kesulitan untuk mencari benang merah yang bisa merangkaikan semua keragaman pembahasan. Jadi, saya sudah siap kalau kata pengantar ini dianggap gagal. Kalaupun dipaksa untuk mencari benang merah dari semua tulisan, saya memilih untuk mengatakan bahwa semua tulisan ini pada dasarnya mengulas tentang bagaimana umat beragama mengekspresikan agamanya di ruang publik. Ruang publik Indonesia memberi keleluasaan kepada kepada semua pemeluk agama mengekspresikan kepentingannya. Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia termasuk negeri yang sangat meriah dengan rona kehidupan keagamaan. Antusiasme keagamaan di Indonesia terus meningkat. Jumlah tempat ibadah terus bertambah dari waktu ke waktu. Masyarakat yang melaksanakan ibadah haji dan umroh –sebelum ada pandemi covid-19— menunjukkan antusiasme yang luar biasa. Hampir semua bandara di Indonesia setiap waktu dipenuhi dengan jamaah umroh. Penampilan simbolik seperti melalui mode pakaian atau ungkapan-ungkapan bernada religius juga semakin menjadi hal yang biasa. Demikian juga dalam kehidupan politik. Para politisi berlomba-lomba menunjukkan ke publik sebagai sosok yang religius. Lihat saja gambar politisi di baliho menjelang Pemilu Legislatif atau xviii



Pemilihan Kepala Daerah, dengan memakai kopyah haji, berbaju koko, bahkan ada juga yang memakai surban, serta menengadahkan tangan ke atas seolah dia orang yang rajin berdoa. Singkatnya, kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agama, bukan hanya dalam kehidupan sosial tapi juga dalam politik. Situasi demikian bisa membawa dampak ganda. Di satu sisi membawa dampak positif karena hal itu menunjukkan keterikatan yang sangat kuat bangsa Indonesia dengan agama. Tapi bisa berubah menjadi negatif jika hal tersebut menjadi pembelah identitas, termasuk identitas politik. Bangsa Indonesia sudah merasakan bagaimana pahitnya pertarungan politik kekuasaan yang dibumbui dengan politik identitas. Luka bangsa ini akibat Pilkada DKI 2017 dan juga Pilpres 2019 masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Di sinilah pentingnya terus menerus menjaga keanekaragaman bangsa Indonesia yang juga menjadi spirit yang ada dalam buku ini. *** Pada bagian berikut, saya akan mengulas persoalan yang terkait bagaimana merawat pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural) yang juga menjadi salah satu benang merah penting dalam buku ini. Istilah-istilah tersebut mempunyai titik kesamaan, yaitu menunjuk pada sesuatu yang tidak tunggal. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari xix



satu itu (many); keragaman menunjukkan bahwa yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, bahkan tak bisa disamakan. Sedang multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Jika dibanding dengan dua konsep terdahulu, konsep multikulturalisme relatif baru. Konsep ini baru muncul sekitar 1970 di Kanada dan Australia, kemudian muncul di AS, Inggris, Jerman dan sebagainya. Jika pluralitas sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dalam segala perbedaan itu mereka mempunyai kesempatan dan kedudukan yang sama di ruang publik. Multikulturalisme menjadi respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitaskomunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh Negara. Guna memperoleh pemahaman lebih jauh, ada baiknya diuraikan makna pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme dalam pengertian yang sederhana dapat dimaknai sebagai segala bentuk keanekaragaman dan kemajemukan. Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau “bentuk kata yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lebih dari xx



satu” (form of word used with reference to more than one). Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, pluralisme dapat dipahami sebagai: (1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; (2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial. Pluralisme sangat menghargai adanya entitasentitas beragam yang mengkonstruk sebuah sistem sosial budaya. Dialektika seputar pluralisme tidak bisa dipisahkan dari aspek keragaman budaya, agama, etnis, dan ragam perbedaan lainnya. Pluralisme menekankan sikap saling menghormati, menyayangi, dan selalu menghargai “yang lain” dalam sebuah masyarakat atau kesatuan sosial tertentu. Sebagai upaya mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya budaya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat mengakui adanya kemajememukan sosial, namun persoalan penyikapan terhadap segala bentuk pluralitas sering menimbulkan masalah tersendiri. Yang paling menonjol dari persoalan pluralisme adalah isu yang berkaitan dengan ras atau agama. Kedua isu ini kadang menyatu dalam satu permasalahan seperti yang xxi



terjadi dalam kasus Israel-Palestina, Serbia-Bosnia, dan sebagainya. Wacana tentang pluralisme terkait erat dengan multikulturalisme. Sesuai dengan akar katanya, multikulturalisme secara kebahasaan menunjukkan pada paham tentang keragaman budaya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antarmanusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia. Perbedaan antara konsep masyarakat yang plural dengan masyarakat multikultural dalam hubungannya dengan identitas, bahwa konsep masyarakat yang plural menekankan adanya sejumlah besar identitas yang satu dengan lainnya berbeda, sementara paham multikultural xxii



menekankan adanya sejumlah besar perbedaan di dalam masyarakat yang plural dan heterogen itu, termasuk identitasnya. Dengan kata lain, konsep multikultural mengakui adanya perbedaan-perbedaan di dalam identitas yang berbeda itu (intra cultural defferentiations) dan perbedaan itu dalam posisi yang setara. Terlepas dari perbedaan istilah tersebut, dalam realitas kehidupan sehari-hari, masalah perbedaan dalam berbagai hal sering kali memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak atau kurang adanya kesepahaman dan kompromi diantara perbedaanperbedaan tersebut. Fakta pluralitas di sebuah kelompok sosial dengan titik-titik perbedaan di dalamnya seringkali ditarik ke medan pertikaian yang tiada henti. Keragaman bahkan sering tertuduh menjadi “kambing hitam” kepentingan-kepentingan negatif individual dan kelompok sepihak. Kemajemukan dalam banyak hal perlu dimaknai secara tepat dan disikapi secara arif. Fakta pluralisme harus disikapi dengan menerapkan sikap pengawasan dan pengimbangan (check and balance) untuk mewujudkan keselamatan bagi umat manusia. Diperlukan upaya yang tidak sederhana untuk mendialogkan segala keanekaragaman. Diantara perbedaan yang dapat dijumpai dalam kehidupan adalah; perbedaan agama, suku, bahasa, dan budaya. Karena itu, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa xxiii



masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif ” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Pengakuan adanya pluralitas serta beradaptasi dengannya dalam kehidupan menjadi kebutuhan yang mendesak. Keanekaragaman yang ada memang menjadi hukum Allah (sunnatullah) yang harus dikelola dengan arif dan bijaksana untuk dicarikan kompromi dan titik temunya, bukan malah dijadikan sebagai alasan untuk menuai konflik dan menciptakan ketegangan. Proses demokratisasi yang semakin meriah dalam segala kehidupan masyarakat juga berdasar atas pluralisme yang tidak hanya xxiv



dimaknai sebagai kenyataan sosial belaka melainkan juga sebagai kekuatan sosial. Masih banyak hal yang harus diupayakan untuk mengkompromikan pluralisme dalam konteks demokratisasi, karena hubungan-hubungan yang ada dalam keragaman masyarakat dapat menjadi energi positif dan juga energi negatif. Diskursus pluralisme dapat dilihat dari dua cara pandang. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pluralisme merupakan ketentuan dari Tuhan sehingga harus diterima bukan saja sebagai hukum kehidupan, melainkan juga sebagai cermin keteraturan masyarakat dengan tertib alam semesta. Ajaran yang dikembangkan paham ini ialah terciptanya kerukunan antar umat beragama dan tertib sosial yang harmonis. Paham ini menawarkan dialog sebagai jalan keluar ketika terjadi pergesekan yang mengarah ke pertikaian dan perpecahan. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa pluralisme merupakan “energi sosial” (secara positif) sekaligus bisa menjadi “komoditas politik” (secara negatif). Pluralisme menjadi energi sosial jika ia diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka demokratisasi dan perubahan sosial, di mana institusi-institusi mediasi dimanfaatkan untuk meraih tujuan bersama, bukan tujuan salah satu kelompok sosial saja. Dalam konteks inilah serpihan dan ungkapanungkapan dalam buku ini bisa kita maknai, yaitu bagaimana xxv



kenyataan keanekaragaman di Indonesia dijadikan sebagai energi positif untuk menguatkan bangsa, bukan justru menjadi energi untuk memecah belah. Ancaman keanekaragaman dijadikan sebagai alat memecah belah bukan isapan jempol, tapi hal nyata yang harus kita waspadai.



xxvi



DAFTAR ISI Pengantar Editor ................................................................ iii Pengantar Rektor IAIN Surakarta ................................. vii Pengantar Ketua LP2M IAIN Surakarta ..................... xiv Prolog .................................................................................... xvii Daftar Isi .............................................................................. xxvii AGAMA, BUDAYA, DAN SPIRITUALITAS Menciptakan Kultur Moderasi (Nur Kafid) ................. 3 Langgam Dakwah Muslim Muda Perkotaan (Abraham Zakky Zulhazmi) ................................................................ 10 Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW dengan Budaya Lokal (Abd. Halim) .............................................. 15 Jalan Lain ‘Ber-Tasawuf ’ (Alfina Hidayah & Hamdan Maghribi) ............................................................................. 21 Perempuan Urban dan Dahaga Spiritual (Azzah Nilawaty) ................................................................ 28 Mitigasi Sikap Menyalahkan Kelompok Lain (Ahmad Saifuddin) .............................................................................. 35 PENDIDIKAN, PLURALISME, DAN MORALITAS Pengembangan Karakter Anak Berwawasan Lokal (Khasan Ubaidillah) ........................................................... 41 Santri dan Pandemi: Sebuah Pencarian Solusi (Alfin Miftahul Khairi) .................................................................. 49 xxvii



Modernisme Buku Ajar Pesantren (Muhammad Zaenuri) ................................................................................ 55 “Calistung” sebagai Penanda Kesiapan SD? (Retno Pangestuti) ............................................................. 63 Pengembangan Model Supervisi Akademik di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (Subar Junanto & Tri Utami) ............................................................................ 68 Sekolah Islam Terpadu: “Jualan” yang Laku di Era Revolusi Industri 4.0 (Mayana Ratih Permatasari) .... 77 MEDIA SOSIAL, POLITIK, DAN RASIONALITAS Memilih Ustaz di Media Sosial pada Masa Pandemi (Nur Rohman) ..................................................................... 86 KKN dalam Pusaran Dinamika (Politik) Masyarakat (Andi Wicaksono) ............................................................... 93 Monetisasi Konten Dakwah (Ferdi Arifin) ................... 101 Melawan Korupsi Sejak Dini (Abdulloh Hadziq) ....... 108 Cantik Berkiblat Kontes? (Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi) .................................................................... 114 Madrasah, Pandemi, dan Pemanfaatan Digital (Muhammad Nur Kholis) ................................................. 124 EKONOMI, REGULASI, DAN TRANSFORMASI Kearifan Politik Label Halal (M. Zainal Anwar) ......... 134 Sampah: dari Tak Berharga Menjadi Harta (Khairul Imam) .................................................................................... 140 xxviii



Merawat Kampung, Merawat (Ingatan) Sejarah (Latif Kusairi) ..................................................................... 147 Murabahah dan Solusi Pembiayaan Ramah Pandemi (Fathurrohman Husen) ..................................................... 153 Menggagas Konsep Desa Wisata Terpadu di Desa Kwadungan (Ade Yuliar) .................................................. 165 Potensi Masalah dan Pemanfaatan Sampah Jerami Padi di Desa Pucangan Kartasura Sukoharjo (Sulhani Hermawan & Ahmadi Fathurrohman Dardiri) ................................. 173 Biodata Penulis .................................................................... 183



xxix



xxx



Agama, Budaya, Dan Spiritualitas



2



MENCIPTAKAN KULTUR MODERASI1 Nur Kafid



RADIKALISME seolah tidak pernah mati. Radikalisme selalu muncul dengan berbagai bentuk dan model gerakan. Baik di ranah offline maupun online. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, telah resmi dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 2017. Tetapi, para aktivis dan pendukungnya tidak pernah berhenti menyebarkan paham khilafah. Karakteristik radikalisme memang tidak tunggal. Tetapi ada karakteristik umum yang dapat dijadikan ukuran. Seperti kebencian terhadap pemerintahan yang tidak menjalankan syariat Islam; kuatnya emosi terhadap kelompok sendiri dibanding lingkungan sekitar; berpakaian khas (yang diklaim islami); dan mudah mengkafirkan kelompok lain; berpikir dan bertindak ekstrim; serta hitamputih (benar-salah) dalam menilai persoalan. Upaya deradikalisasi memang telah banyak dilakukan pemerintah. Tetapi tidak sedikit pula yang memberikan catatan. Angel Rabasa (2010) misalnya, menilai kebijakan deradikalisasi di Indonesia kurang 1



Esai ini berasal dari penelitian yang berjudul “Peta Potensi dan Respons Kebijakan Pencegahan Radikalisme di PTKI” 3



berhasil, karena minimnya pelibatan masyarakat sipil. Carl Unger (2010), bahkan menemukan beberapa terpidana tindak radikal-terorisme yang ada di dalam penjara justru menumbuhkan ajaran baru yang lebih radikal. Untuk itu, agar kebijakan deradikalisasi bisa berjalan efektif dan tepat sasaran, diperlukan pemetaan potensi radikalisme sebagai pijakannya. Radikalisme tidak berdiri sendiri. Tidak pula muncul di ruang hampa. Radikalisme beriringan erat dengan dinamika politik. Dimensi kekuasaan dan kepentingan yang berjalin dengan radikalisme, menjadikannya bertambah kompleks. Salah satu tempat yang disinyalir menjadi ‘persemaian’ radikalisme adalah perguruan tinggi. Tidak hanya perguruan tinggi umum, tetapi telah merambah ke perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI). Kampus yang mestinya menjadi ruang persemaian pemikiran progresif, justru ‘terancam’ dengan kehadiran paham radikal. Mahasiswa, sebagai kelompok masyarakat yang secara usia masih labil, menjadi mudah terombang-ambing dengan beragam pola sosialisasi. Dari surveipenulis pada 2018, rentang usia mahasiswa baru adalah 18 tahun (55,6 persen). Usia ini merupakan fase transisi dari masa anakanak menuju dewasa. Jika mereka tidak mendapatkan pembinaan dengan baik dan benar, maka berpotensi ‘terjebak’ ke dalam kegiatan negatif. Apalagi, jika bersinggungan dengan pola sosialisasi yang manipulatif 4



dan indoktrinatif. Akibatnya, mereka dapat menjadi pribadi yang eksklusif dan rentan terdeprivasi (Gurr, 1978) secara sosial. IAIN Surakarta, secara sosial-kebudayaan merupakan PTKI yang berada di lingkungan masyarakat yang dikenal ramah, toleran dan memiliki nilai kebudayaan tinggi. Solo sendiri dikenal sebagai ‘jantung’ kebudayaan Jawa. Tetapi, Solo—dalam arti wilayah eks-Karesidenan Surakarta, atau dikenal dengan istilah Solo Raya—dalam sejarahnya juga memiliki gelombang radikalisme tinggi. Geger Pecinan, kerusuhan Mei 1998, hingga kasus terorisme pernah mewarnai wajah kota ini. Hingga muncul anggapan, wajah keramahan yang tampak juga menyimpan potensi kekerasan. Demikian pula dengan wajah IAIN Surakarta. Terlebih, setelah diketahui adanya keterlibatan (eks) mahasiswanya dalam tindak terorisme pada 2016, dan ancaman pembubaran acara bedah buku karya Haidar Bagir pada 2017. Pada tahun 2018, penulis melakukan survei kepada 500 mahasiswa baru yang ditentukan secara acak. Beberapa pertanyaan yang ditanyakan antara lain; keyakinan Islam sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta; kesesuaian tradisi yang dipraktekkan oleh masyarakat muslim di Indonesia dengan ajaran Alquran dan Hadith; pengetahuan tentang khilafah; Negara Islam sebagai bentuk negara terbaik bagi Indonesia; penerapan hukum potong tangan 5



dan pelaksanaan hukum rajam. Hasilnya menunjukkan mayoritas responden (75-90 persen) tergolong moderat. Ada sekitar (10-15 persen) berpotensi radikal. Meski secara persentase potensi radikalisme kecil, tetapi jika dibiarkan tentu dapat berkembang. Karena mereka mahasiswa baru, tentu benih radikalisme sudah ada sebelum mereka masuk kampus. Jika benih ini bersentuhan dengan dinamika sosialisasi yang manipulatif dan indoktrinatif, tanpa atau minim kontrol dari civitas akademika, terutama saat mereka berada di luar kampus, sungguh menjadi ancaman serius. Mengingat, lata belakang mahasiswa baru pun sangat beragam. Mulai dari latar belakang ekonomi keluarga yang mayoritas kalangan menengah bawah. Pendidikan (SMU 45.6 persen; MA 37.4 persen; SMA Islam 10.6 persen; Pesantren 2.8 persen). Asal daerah, meski mayoritasnya dari Jawa Tengah (80 persen), Jawa Timur (11%), dan sisanya dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia, hal ini menunjukkan tingginya tingkat keragaman suku, budaya, adat-istiadat mahasiswa baru. Selain itu, latar belakang organisasi keagamaan yang mereka ikuti pun variatif. Dari 47 persen mereka yang menyatakan pernah ikut dalam organisasi keagamaan Islam; seperti Rohis (18,2 persen), Ikatan Remaja Masjid (9 persen), Ikatan Remaja Muhammadiyah (3,4 persen), IPNU/IPPNU (3 persen), lainnya (6 persen). Tingkat 6



keaktifan mereka beragam;sangat aktif (4.8 persen), aktif (32.2 persen), kurang aktif (12.6 persen), dan tidak aktif (2.2 persen). Status keanggotaan mereka dalam organisasi punberagam; sebagai pengurus (13.6 persen), anggota (25 persen), dan simpatisan (3.2 persen). Beragamnya latar belakang mahasiswa baru tersebut, jika dapat dikelola dengan baik, tentudapat menjadi modal sosial bagi pengembangan academic values di kampus. Sebaliknya, jika dibiarkan tumbuh gap maka potensi konfliknya akantinggi. Untuk itulah, dalam rangka mencegah berkembangnya radikalisme pihak kampus menerapkan kebijakan yang mengarah pada penciptaan kultur moderasi. Mulai dari penguatan konten kurikulum berbasis Islam moderat, pengawasan dan evaluasi pembelajaran, hingga ‘kontrol’ terhadap aktivitas kemahasiswaan. Penguatan kurikulum yang dimaksud merupakan upaya ‘penyeragaman’ target capaian pembelajaran yang berorientasi pada profil lulusan sesuai dengan visi dan misi kampus. Sehingga, terbentuklah konsorsium keilmuan, yang mengusung wawasan keberagamaan inklusif. Agar proses ini berjalan efektif, dilakukan pengawasan dan evaluasi melalui penjaminan mutu pembelajaran. Mulai dari tingkat Institut hingga ke level Program Studi. Kebijakan itu perlu diperkuat lagi dengan pengawasan dan evaluasi aktivitas tenaga pendidik. Artinya, seluruh 7



pelaksanaan kegiatan tridharma perguruan tinggi diarahkan pada penanaman pengetahuan keberagamaan moderat. Mengingat, para tenaga pendidik menjadi ujung tombak transmisi pengetahuan kepada mahasiswa, maka upaya pencegahan radikalisme di ranah tenaga pendidik, dilakukan sejak proses rekrutmen. Track record, afiliasi organisasi, paham keberagamaan moderat dan komitmen kebangsaan menjadi bagian penting penentu kelulusan mereka.Bagi tenaga pendidik lama, upaya pencegahan radikalisme dilakukan proses pembinaan melalui pertemuan rutin tiap awal semester. Di sinilah ditekankanpentingnya penanaman sikap keberagamaan yang moderat kepada mahasiswa. Ditambah lagi dengan proses pengawasan selama proses pembelajaran. Pelibatan ketua kelas dan evaluasi pembelajaran pada akhir semester atas materi dan praktik pembelajaran di dalam kelas menjadi ukuran keberhasilan pembelajaran. Selain itu, proses deradikalisasi kepada mahasiswa baru dilakukan dengan cara memperkuat nilai-nilai kebangsaan pada masa pengenalan budaya akademik dan kemahasiswaan (PBAK). Kemudian diperkuat dengan melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap seluruh kegiatan kemahasiswaan agar tidak mengarah pada paham radikal. Di sini bisa memunculkan kebijakan bahwa seluruh unit kegiatan mahasiswa harus memiliki pembina, yang langsung berada di bawah koordinasi Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan.



8



Untuk aktivitas para mahasiswa di luar kampus, meski cukup menyulitkan lembaga dalam melakukan pengawasan, tetapi dapat dilakukan melalui pertemuan rutin antara pihak kampus dengan wali mahasiswa. Pihak wali mahasiswa secara langsung diminta terlibat melakukan pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa di luar kampus. Selain itu, melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok di lingkungan sekitar kampus, baik yang dilakukan mahasiswa maupun dosen, menjadi sarana cukup efektif proses pengawasan kegiatan mahasiswa di luar kampus. Dari sinilah terjalin hubungan harmonis antara kampus dan masyarakat sekitar. Sehingga tercipta ruang komunikasi efektif, selain dalam kerangka pemberdayaan masyarakat juga pelibatan masyarakat sebagai stake-holders keberlangsungan masa depan kampus. Walhasil, melalui berbagai kebijakan itulah, dengan catatan selama dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan, maka akan terbentuk kultur budaya moderat. Menerima dan menghargai keragaman sebagai sunnatullah yang tercermin dan menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh rutinitas akademik maupun nonakademik. Sehingga, di masa mendatang, moderasi dapat menjadi jangkar dan identitas diri sekaligus keunikan bagi pengembangan kultur akademik IAIN Surakarta.



9



LANGGAM DAKWAH MUSLIM MUDA PERKOTAAN2 Abraham Zakky Zulhazmi



Kami tiba di Masjid Kalitan Solo sekitar pukul 19.00. Parkiran motor tampak penuh malam itu. Sejumlah anak muda memenuhi ruang utama masjid Kalitan. Kajian mingguan #YukNgaji hari itu mendatangkan Ust. Andre Aditya yang menyampaikan tema “9 Level Rezeki”. Kami mengetahui info kajian dari akun Instagram #YukNgaji Solo. Kajian malam itu dibuka oleh MC, dua anak muda yang tampil gaul, satu berkaus, satunya berkemeja kotak-kotak. MC mengajak yang hadir malam itu untuk memberikan infak terbaikuntuk #YukNgaji. Polanya: masing-masing jamaah dikasih botol, dan botol bisa dibawa pulang, jika sudah penuh dengan uang botol bisa dikembalikan kepada panitia. Ketika kajian berlangsung ada juga kotak infak keliling. Semakin malam Masjid Kalitan semakin dipenuhi anak-anak muda. Mereka tidak berbaju koko putih-berpeci 2



Esai ini berasal dari riset berjudul “Eksistensi Komunitas Hijrah dan Dakwah Masa Kini: Studi Komunitas Jaga Sesama Solo” yang terbit di Jurnal Ilmu Dakwah Vol 40, No 2 (2020) 10



layaknya orang-orang yang datang ke pengajian. Sebagian besar berpakaian kasual, berkemeja-bercelana jins, satu dua berbaju koko lengan pendek. Nyaris tak tampak yang bersarung. Model kajian macam ini sepertinya begitu diminati generasi muda muslim urban. Mungkin ada sensasi “gaul tapi saleh” ketika anak-anak muda mengikuti kajian serupa itu. Sebetulnya, tidak ada yang istimewa dari penyampaian Ust. Andre Aditya malam itu. Awal kajian terkesan “garing”, datar dan monoton. Menjelang tengah dan akhir barulah muncul joke-joke yang memantik tawa jamaah. Antusiasme makin terlihat ketika bahasan mulai menyerempet soal jodoh dan pernikahan, tema yang disuka anak muda. Ust. Andre Aditya, menurut penuturannya, adalah seorang mualaf yang lama ikut Ust.Yusuf Mansur. Ia terlihat masih muda, good looking dan tampak piawai bicara di hadapan anak muda. #YukNgaji didirikan oleh sejumlah orang, salah satunya Felix Siauw. Jika kita telisik akun Instagram #YukNgaji Solo maka akan muncul foto-foto Felix Siauw (selain konten-konten lain dengan desain termutakhir). Ia memang menjadi patron kelompok tersebut. Mantan aktivis HTI itu merupakan founder #YukNgaji dan dianggap punya pengaruh dalam dunia dakwah yang menyasar pada anak muda. Posisi Felix Siauw di komunitas #YukNgaji boleh jadi setara dengan posisi Hannan Attaki di komunitas Shift.



11



Kiranya, begitulah salah satu potret perkembangan dakwah perkotaan masa kini. Komunitas hijrah menjamur di banyak kota besar. Mereka memiliki pola dan karakteristiknya sendiri dalam menyajikan dakwah. Komunitas hijrah umumnya mengemas kajian-kajian rutin mereka dengan kemasan populer. Mereka menghadirkan pendakwah-pendakwah muda, memilih tema-tema kekinian yang ringan serta membuat pamflet ajakan mengikuti kajian dengan desain yang atraktif dan khas anak muda. Mereka juga gencar memproduksi konten dakwah di media sosial. Sebagian dari komunitas itu memiliki anggota mantan preman yang mengaku bertaubat dan ingin belajar agama, seperti terlihat di komunitas Expresso (Ex Preman Solo). Atau, anak muda yang dulunya “nakal” lalu ingin berhenti, sebagaimana didapati di komunitas Jaga Sesama Solo. Komunitas hijrah dapat dibaca sebagai turunan dari tren berhijrah yang mengemuka satu dasawarsa ini. Mereka berhijrah lazimnya mengubah penampilan. Perempuan yang sebelumnya tidak berjilbab memutuskan mengenakan jilbab lebar atau yang populer dengan sebutan jilbab syar’i. Sedangkan para lelaki mengubah penampilan dengan jenggot dan celana di atas mata kaki. Fenomena serupa itu dapat kita lihat pada sejumlah selebritas yang memilih untuk hijrah dan membuat pernyataan di ruang publik. Beberapa bahkan secara tegas meninggalkan pekerjaan lama mereka yang dianggap sebagai perbuatan dosa dan maksiat.



12



Munirul Ikhwan menyebut “propaganda hijrah” memiliki posisi penting dalam wacana Islamisme. Menurutnya, sebagian generasi muda Muslim hari ini ingin “berhijrah” karena adanya anggapan bahwa menjadi Muslim saja tidak cukup. Mereka harus “berhijrah”, menjadi muslim yang taat dan “utuh”. Riset Hadri Hasan menjelaskan bahwa gerakan hijrah sudah menjadi tren di kalangan muslim perkotaan, khususnya remaja di ibukota. Ia melihat, ribuan remaja yang hadir di Hijrah Festival menunjukkan pencarian jati diri mereka menuju “shirotol mustaqim” melalui hijrah. Gerakan ini menjadi populer karena dipengaruhi oleh banyaknya artis ibukota yang menjadi influencer gerakan hijrah. Mereka mempunyai role model dalam gerakan hijrahnya. Paparan di atas mengingatkan pada selebrasi tren hijrah di Solo dengan digelarnya Solo Hijrah Day. Acara tersebut diinisiasi komunitas #YukNgaji Solo bekerja sama dengan beberapa komunitas lain. Panitia mengklaim acara tersebut mampu menyedot dua ribu orang. Sejumlah “ustaz hijrah” didatangkan, seperti Ridwanullah, Hawaariyyun, Husain Assadi, Fuadh Naim, Shifrun dll. Nama-nama ustaz itu cukup populer di lingkar komunitas hijrah. Solo Hijrah Day dapat dibaca sebagai konsolidasi komunitas hijrah di Surakarta. Pada beberapa sisi, terdapat kemiripan pola antara Solo Hijrah Day dan Hijrah Festival.



13



Terdapat sejumlah tokoh yang secara kritis menyoroti fenomena hijrah. Firly Annisa melihat dangkalnya “hijrah” yang ditampilkan di media sosial (hanya sebatas soal pakaian, pernikahan, dan semacamnya), sehingga kesan yang muncul justru hijrah artifisial dan simbolik. Senada dengan pandangan itu, Afina Amna memandang hijrah yang dilakukan para artis belakangan ini sebagai suatu bentuk komodifikasi. Agama tampak menjadi sesuatu yang diperjualbelikan. Tidak hanya itu, hijrah para artis juga dianggap hanya sebagai gimmick dan sarana membuat sensasi. Tentu menarik mencermati perkembangan komunitas hijrah di masa mendatang. Akankah ia menjadi komunitas dakwah yang mapan dan bertahan lama atau sekadar tren sesaat? Lepas dari itu, tersimpan harapan agar komunitaskomunitas yang dekat dengan anak muda perkotaan itu mengusung semangat moderasi beragama dan cinta tanah air. Tidak menjadi komunitas yang menyemai benih radikalisme dan menebar virus anti Pancasila. Di sisi lain, eksistensi komunitas-komunitas hijrah juga sebetulnya adalah semacam “cubitan” untuk ormasormas Islam moderat di Indonesia yang kerap kali gagap menghadapi anak-anak muda dan gegas laju zaman. Ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah yang sudah memiliki akar kokoh dituntut untuk tetap relevan di masa kini. Tidak hanya karib dengan perkembangan teknologi, melainkan bisa menampilkan cara-cara dakwah yang lebih dekat dengan generasi muda. 14



STRATEGI DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW DENGAN BUDAYA LOKAL3 Abd. Halim



Tak jarang kita temukan beberapa kelompok orang yang membenturkan agama dan budaya. Kebudayaan dalam masyarakat yang dianggap tak ada dasarnya dalam agama seringkali dilabeli negatif seperti budaya sesat, budaya bid’ah dan lainnya. Sikap membenturkan nilai dan norma agama dengan keragaman budaya Indonesia semacam ini dapat merusak kohesi sosial dan kultural yang menjadi pondasi bangsa dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Lantas, bagaimanakah nabi memandang budaya dan tradisi masyarakat lokal Arab pada masa kerasulan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita gunakan dalam konteks memandang budaya dan tradisi yang mengakar di wilayah kita masing-masing. Faktanya, model dialektika Nabi dengan budaya Arab tidak bisa lepas dari peranan wahyu yang membimbing Nabi di dalam menghadapi masyarakat Arab. Meskipun Nabi dalam beberapa hal berijtihad dalam tindakannya, namun wahyu memantau perilaku Nabi sebagai wujud 3



Esai ini berasal dari riset berjudul “Dialektika Hadis Nabi dengan Budaya Lokal Arab” yang terbit di Jurnal Dinika Vol 4, No 1 (2019) 15



kemaksuman Nabi yang terpelihara dari kesalahankesalahan. Beberapa literatur sejarah mencatat, Nabi tampak mengapresiasi berbagai tradisi dan budaya lokal Arab, misalnya tradisi menabuh rebana yang biasa dilakukan oleh orang Anshar; menghormati bulan-bulan haram yang sudah mengakar kuat sebelum Islam datang; mencintai bahasa Arab yang juga merupakan bagian dari budaya lokal budaya Arab. Hadis Nabi yang berbunyi innamâ buitstu liutammima makârimal akhlâq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak) ini menunjukkan bahwa nabi datang tidak memulai dari nol, tetapi sudah ada fondasi budaya, tradisi, dan karakter dalam masyarakat yang perlu disempurnakan oleh dakwah Nabi Muhammad Saw. Dalam buku Antropologi Al-Quran karya Ali Sodikin dijelaskan bahwa setidaknya ada tiga macam dialog nabi dengan budaya. Pertama, tahmîl, yakni sikap yang mengapresiasi dan membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan oleh adanya ayat-ayat Alquran dan praktik hadis Nabi yang menerima dan melanjutkan tradisi yang sudah ada serta menyempurnakan aturannya. Salah satu contohnya adalah sistem perdagangan seperti tradisi jual beli, utang-piutang dan penggadaian yang sudah berlaku dalam masyarakat.



16



Dengan kata lain, mereka sudah memiliki sistem ekonomi yang mapan dan diakui keberadaannya. Beberapa literatur hadis menyebutkan, Nabi memberikan pesan-pesan teknis dan etik dalam berdagang. Praktik perdagangan tetap dibiarkan tetapi berlaku sesuai dengan adat istiadat masyarakat setempat. Salah satu contoh arahan Nabi dalam berdagang adalah larangan berdagang dengan cara yang zalim; bertransaksi menggunakan pencatatan; bertransaksi dengan amanah dan jujur dan toleran dalam berakad. Contoh lain adalah sikap akomodatif Nabi terhadap beberapa tradisi yang sudah mengakar di masyarakat seperti menabuh rebana. Kaum Anshar memiliki tradisi mengadakan iring-iringan hiburan ketika acara penikahan. Dalam sebuah riwayat, Aisyah mengawinkan seorang wanita dengan sahabat Anshar kemudian dia ditanya oleh Rasulullah, “Tidakkah kalian memiliki hiburan untuk pengantin? Sesungguhnya kaum Anshar itu suka hiburan”(HR Al-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath).Nabi juga pernah menganjurkan agar dalam pernikahan diiringi tabuhan rebana untuk mengumumkan pernikahan. Kedua, taghyîr (adoptive-reconstructive), yakni menerima tradisi Arab tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga karakter dasarnya berubah. Nabi tetap menggunakan simbol-simbol pranata yang ada tetapi praktik yang ada di dalam tradisi tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam sehingga karakter aslinya berubah.



17



Salah satu contohnya adalah tradisi aqiqah. Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyyah terdapat tradisi aqîqah. Dalam tradisi Arab Jahiliyyah, jika ada seorang anak baru lahir, maka orang tuanya menyembelih kambing dan melumuri kepala anak yang baru lahir tersebut dengan darah kambing. Tradisi ini dilanjutkan oleh Nabi tetapi diubah dengan tradisi yang sesuai dengan risalah Nabi sebagaimana tercermin dalam hadis berikut; “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan darah tersebut pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi” (HR Ibnu Hibban). Buraidah berkata :“Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi.” (HR. Abu Dawud) Dalam dua hadis di atas, sungguh jelas bahwa Nabi tetap menggunakan tradisi aqiqah yang merupakan bagian dari pranata sosial Arab pra-Islam sebagai bagian penting dalam ajaran Islam. Tradisi mengusap kepala bayi dengan darah diubah menjadi mengusap kepala bayi dengan minyak Za’faran. Secara praktik, Nabi tidak banyak merubah tradisi 18



tersebut, tetapi yang diubah adalah pengusapan darah di kepala bayi karena darah dalam ajaran Islam hukumnya najis. Ketiga, Tahrîm (Destructive), yakni sikap penolakan keberlakuan sebuah tradisi masyarakat Arab Jahiliyah yang dipandang sangat negatif dan banyak mudharat-nya. Pelarangan tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Contohnya budaya minum khamar di kalangan para sahabat sebelum masuk Islam, judi dan praktik riba, mengubur bayi perempuan yang masih hidup. Tradisi-tradisi tersebut sudah mengakar dalam kalangan masyarakat Arab. Nabi sangat mengecam tradisi-tradisi yang nir-kemanusiaan ini dan menyuruh para sahabat dan seluruh umat Islam untuk menjauhinya. Dari ketiga pendekatan Nabi dalam berinteraksi dengan budaya lokal masyarakat Arab ini, kita bisa belajar bahwa tidak semua tradisi dan budaya lokal di dalam lingkungan masyarakat kita harus dihapus. Jika budayabudaya itu baik dan banyak menimbulkan maslahah maka kita harus melestarikannya, karena itu adalah warisan leluhur dan menjadi sumber karakter kekuatan bangsa kita, Indonesia. Tradisi-tradisi dan budaya yang masih bisa diubah nilai-nilainya, juga kita kembangkan menjadi tradisi dan budaya yang sejalan dengan tuntunan agama dan karakter bangsa yang luhur. Baru kemudian, jika tradisi dan budaya 19



berpotensi banyak bahayanya, maka dengan tegas kita berantas sampai tuntas. Begitulah kira-kira yang diajarkan Nabi Muhammad tentang memandang tradisi dan budaya. Wallahu a’lam bishshawab. Omsan, 06 Oktober 2020; 15:34



20



JALAN LAIN ‘BER-TASAWUF’4 Alfina Hidayah & Hamdan Maghribi



Perhatian terhadap moral anak bangsa sangatlah tinggi, termasuk dari pemerintah, yang berupa mata pelajaran akidah akhlak pada lembaga pendidikan formal. Demikian juga dari masyarakat dalam bentuk madrasah diniyah dan pengajian-pengajian. Hal ini bertujuan untuk membendung dekadensi moral anak bangsa yang identitas ketimuran dan keislamannya dewasa ini mulai memudar. Di satu sisi Indonesia sebagai bangsa yang terkenal menjunjung adab dan etika dengan berbagai materi yang bermuatan akhlak, namun disisi lain telah mengalami keterpurukan akhlak atau budi pekerti. Fenomena tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar, khususnya berkaitan dengan muatan akhlak dalam kurikulum pendidikan. Karena diatas kertas, muatan tersebut sudah diajarkan sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan nama pendidikan akhlak atau akidah akhlak, hingga jenjang perguruan tinggi Islam dengan nama mata kuliah akhlak tasawuf, dan sejenisnya. Pertanyaan berlanjut tentang, adakah sistem yang salah 4



Esai ini berasal dari riset berjudul “Tasawuf Modern: Kajian Akhlak Tasawuf dan Implementasinya pada Mahasantri Ma’had Stikes ‘Aisyiyah Surakarta” 21



atau cara pembelajaran yang tidak tepat, atau lingkungan yang tidak mendukung dan tidak kondusif sehingga terjadi degradasi moral? Fakta di atas menjadi kontradiktif dengan gambaran ideal dari konsep dan penerapan kurikulum yang telah memuat banyak nuansa akhlak. Bahkan tidak sedikit perguruan tinggi Islam yang mewajibkan semua dosen dan pengajar pada semua mata kuliah agar memasukkan nilai-nilai akhlak dalam penyampaian materi mata kuliahnya. Oleh karena itu, tulisan ini pada dasarnya ingin menjelaskan tentang pelaksanaan kajian akhlak tasawuf pada mahasantri Ma’had STIKES ‘Aisyiyah Surakarta atau yang sekarang telah beralih status menjadi Ma’had Aisyiyah Surakarta University. Kedua, tentang implementasi pemahaman mahasantri di ma’had tersebut terhadap kajian akhlak tasawuf, baik selama di Ma’had (asrama) maupun selepas masa wajib asrama (saat kembali ke tempat tinggalnya masing-masing). Tasawuf dan Lembaga Pendidikan ‘AisyiyahMuhammadiyah Kajian akhlak tasawuf adalah salah satu materi inti pada kajian rutin Ma’had STIKES ‘Aisyiyah Surakarta. Yang menjadi point menarik disini adalah; pertama, institusi amal usaha Aisyiyah-Muhammadiyah membolehkan bahkan menerapkan kajian yang berhubungan langsung 22



dengan tema akhlak dan tasawuf. Sedangkan praktik tasawuf sering kali menjadi momok yang harus dijauhi bagi organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah; karena bisa terindikasi masuk kedalam takhayyul-bid’ahchurafat. Kedua, STIKES ‘Aisyiyah Surakarta sebelum menjadi ‘Aisyiyah Surakarta University, merupakan perguruan tinggi yang fokus pada ilmu-ilmu kesehatan yang menyediakan program studi yaitu kebidanan, keperawatan dan fisioterapi. Mengingat bahwa secara teori bahkan praktiknya lebih banyak berkutat pada ilmu-ilmu terapan yang jauh dari kajian-kajian akhlak dan tasawuf. Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kajian akhlak tasawuf dipahami dan kemudian diterapkan dalam keseharian. Hal ini yang memandu untuk menemukan jawaban dari dua poin diatas yang kemudian bisa sambung dengan kegelisahan fenomena dekadensi moral yang terjadi di masyarakat. Hasil survey (observasi), wawancara dan catatancatatan dokumentasi berupa modul maupun kegiatan di Ma’had STIKES ‘Aisyiyah Surakarta, menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa kampus tersebut adalah lulusan sekolah umum yang sangat minim pengetahuannya tentang agama, sehingga saat mereka memasuki program Ma’had seringkali menjadi salah persepsi. Sebagian besar berasumsi bahwa kegiatan Ma’had membosankan dan tidak nyaman karena mereka akan dihadapkan pada banyak 23



peraturan yang ketat, berbeda dengan kondisi di rumah atau di tempat kost. Kedua, padatnya kegiatan dan aktivitas Ma’had, khususnya aktivitas ibadah yang dilakukan secara berjamaah seperti salat fardu 5 waktu berjamaah dan tilawah Alquran bersama-sama. Ditambah dengan kajiankajian pendukung membuat para mahasiswa berlatih disiplin dan manajemen waktu, sehingga kemudian mereka mampu menata dan menyusun agenda-agenda mereka pasca-ma’had. Ketiga, meskipun termasuk dalam amal usaha Aisyiyah-Muhammadiyah, namun Ma’had STIKES terbuka dengan kontekstualisasi ritual ibadah, seperti zikir, wirid dan doa bersama setiap selesai salat berjamaah yang dipimpin oleh imam salat. Ini menandakan keterbukaan dan toleransi yang baik dalam melihat keragaman aliran. Keempat, solidaritas dan ukhuwwah sangat kental dan terbentuk selama tiga bulan menjalani program ma’had, sehingga toleransi, interaksi dan juga komunikasi antar mahasiswa terjaga dengan baik. Kelima, kajian akhlak tasawuf yang menekankan pada pendidikan akhlak ditunjang dengan pembiasaan-pembiasaan melalui disiplin dan kegiatan-kegiatan di Ma’had. Oleh sebab itu, kemudian mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa pascama’had atau saat mereka kembali ke rumah atau tempat kost. Tidak sedikit dari mereka justru merasa bahwa tiga bulan di Ma’had perlu diperpanjang karena dampak positif ini. Keenam, kajian akhlak tasawuf di Ma’had lebih 24



menitik beratkan pada tema sentral akhlak sehingga tematema tasawuf hanya dijelaskan sekilas, ini karena memang titik berat program Ma’had adalah pada pendidikan dan pembinaan karakter mahasiswa. Kajian Akhlak Tasawuf dan Dampaknya STIKES ‘Aisyiyah Surakarta dengan program Ma’had-nya berusaha ingin mengharmonis-selaraskan antara fikir dan zikir, spiritual dan intelektual, duniawi dan ukhrawi, sehingga mewajibkan para mahasiswa baru kurang lebih selama tiga bulan mengenyam program Ma’had yang didalamnya penuh dengan kegiatan dan aktivitas yang menunjang tujuan tersebut. Meskipun pada awalnya hampir semua mahasiswa merasa terbebani dengan program ini; karena mayoritas mereka adalah lulusan sekolah umum yang minim pengetahuan agama. Namun perlahan, dalam menjalani proses tersebut, akhirnya mereka menjadi nyaman bahkan merasakan banyak hal positif yang diambil dari kegiatan dan kajian-kajian yang ada di Ma’had.Sehingga tidak sedikit dari mereka yang justru ingin menambah masa tinggal di Ma’had. Disamping disiplin dan kegiatan yang dijalankan dengan baik, ada pula kajian-kajian yang menguatkan seperti salah satunya adalah kajian akhlak dan tasawuf yang disampaikan dua minggu sekali pada hari sabtu. Kajian ini meski lebih fokus pada tema-tema akhlak; tema tasawuf hanya menjadi pelengkap dan dijelaskan secara normatif.



25



Kajian akhlak tasawuf dilaksanakan dua minggu sekali setiap hari Sabtu. Pemateri lebih banyak menggunakan metode ceramah dibantu LCD dengan materi dan modul yang sudah disiapkan. Durasi kajian dilaksanakan selama dua jam ba’da salat Isya’, diawali dengan presentasi dari pemateri; menjelaskan tema-tema pilihan yang sudah disiapkan dalam bentuk file yang ditampilkan melalui LCD, dimana kajian ini seringkali disampaikan dengan logikalogika sederhana menyesuaikan bahasa mahasiswa. Setelah satu jam, mahasiswa diberi waktu untuk bertanya dan berbagi tentang pengalaman mereka, khususnya seputar akhlak dan tasawuf. Dari tema-tema yang disampaikan serta referensi yang jadi acuan; baik primer maupun sekunder, kajian ini pada dasarnya lebih menitik-beratkan tema-tema akhlak daripada tasawuf, dengan kata lain, bahwa tema tasawuf hanya disampaikan sekilas secara deskriptif. Secara garis besar, indikasi pengaruh kajian akhlak dan tasawuf tidak bisa disimpulkan dengan tegas. Namun melihat dari perubahan sikap, cara berkomunikasi dan juga aktifitas ibadah; dari yang sebelumnya tidak aktif berjamaah duhur setelah selesai program Ma’had justru merekalah yang menjadi penggerak kegiatan-kegiatan keagamaan di kampus. Tidak hanya dalam hal ibadah, tapi sikap, perilaku sopan-santun, dan juga menjaga kebersihan menjadi hal-hal yang terlihat dalam keseharian mahasiswa 26



setelah keluar dari Ma’had. Oleh karenanya, dapat dimengerti bahwa kegiatan-kegiatan di Ma’had dan juga kajian-kajian penunjang khususnya akhlak tasawuf telah memberikan bekas dan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku mahasiswa STIKES ‘Aisyiyah Surakarta pascama’had. Dengan demikian, sebagai mahasiswa dengan tanggungjawab akademik dan juga moril yang tinggi, sebetulnya sudah semestinya lebih banyak menggali ilmu dari mana saja bukan hanya dari Ma’had. Regulasi kampus yang mewajibkan untuk mengikuti program Ma’had harusnya dilihat dari sisi positif, sehingga tidak perlu lagi beradaptasi dengan program kegiatan yang ada di dalamnya. Sehingga, Mahasiswa pasca-ma’had kemudian dapat menjadi duta bagi Ma’had, memberikan informasi yang proporsional bagi civitas akademika kampus, khususnya bagi Mahasiswa yang belum menjalani programma’had. Begitu pula bagi civitas akademika STIKES juga ada baiknya memiliki kontrol pengawasan dan pengawalan program-Ma’had yang sudah dilaksanakan. Sehingga, konsistensi mahasiswa pasca-ma’had dalam bersikap dan berperilaku tetap terjaga bahkan menjadi lebih baik lagi. Disinilah peran komunikasi baik dari pihak kampus dengan para pengelola kost di sekitar kampus juga diperlukan, sehingga bukan hanya kendali saat dikampus tapi juga ketika para mahasiswa berada di kost mereka. 27



PEREMPUAN URBAN DAN DAHAGA SPIRITUAL5 Azzah Nilawaty



Sepuluh ibu dengan niqab warna-warni masuk ke dalam ruangaan pertemuan yang luas. Protokol Kesehatan diterapkan secara ketat; tidak bersalaman, menjaga jarak tempat duduk tiap peserta, menggunakan masker, dan membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Sebelum pengajian dimulai Ibu Laili, ketua majelis taklim menset-up terlebih dahulu piranti alat rekam yang berupa tripod, mic kecil dan tersambung ke smart phone. Proses live streaming melalui media sosial facebook Majelis Taklim Laatifa dimulai. Pengantar di atas merupakan awal cerita dari pengabdian kepada masyarakat program studi psikologi Islam yang dilaksanakan pada 23 Juni 2020 bertempat di Wisma Assalaam Syariah. Suasana pandemi membuat program pengabdian kepada masyarakat wajib dilakukan oleh perguruan tinggi tiap tahun dengan peserta terbatas. Kebijakan kampus mengatur batas maksimal peserta sejumlah sepuluh orang. Tema besar dari penyelenggaraan 5



Esai ini berasal dari laporan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta tahun 2020 yang bertajuk “Menjaga Emosi di Masa Pandemi: Perspektif Islam”, pengabdian dilakukan oleh tim (Azzah Nilawaty dan Elvi Na’imah). 28



pengabdian kepada masyarakat tahun 2020 berbasis penguatan terhadap dampak Covid-19. Anggaran dana berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penawar Hati Pada masa pandemi perempuan memiliki beban ganda: membantu anak belajar, melakukan pekerjaan domestik yang seolah tiada habisnya. Perempuan sangat rawan mengalami gejala emosi yang tidak seimbang atau bahkan depresi. Salah satu jalan keluarnya yakni ajaran agama. Majelis taklim Laatifa menjadi wadah kaum Ibu untuk menimba ilmu agama. Mereka memiliki agenda rutin tiap seminggu sekali untuk melakukan kajian. Jika sebelum pandemi para Ibu berkumpul untuk mengikuti kajian di Masjid seputar Kota Solo. Saat pandemi mereka melakukan strategi untuk menyiarkan kajian secara daring. Program pengabdian kepada masyarakat program studi Psikologi Islam tahun 2020 mengundang dosen Psikologi Islam, Hj. Elvi Na’imah, L.c, M.Ag. sebagai narasumber. Majelis Taklim Laatifa terlibat secara aktif di dalamnya. Ustazah Elvi menyampaikan materi berdasar Alquran surat Al-Baqarah ayat 214 yang artinya: “… Kapan pertolongan Allah akan datang? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat…” Hikmahnya ayat tersebut terkait dengan pandemi adalah sebagai berikut. Pertama, kita harus menyadari 29



bahwa pandemi ini ujian dari Allah SWT. Betapa Allah SWT telah menghibur kita ratusan kali di Alquran saat kita sulit. Sebagai obat penawar bagi hati yang cemas. Kita bisa menyimak kisah umat-umat terdahulu juga banyak diuji oleh Allah dengan ujian yang lebih berat. Wabah kusta pada masa Nabi Ayyub misalnya. Syarat untuk bisa masuk kedalam surga pasti ada ujiannya Kedua, doa jangan pernah ditinggalkan. Doa menjadi kewajiban sebagai makhluk Allah yang memiliki akal. Kekuatan doa menjaga semangat menjalani hidup dan optimisme tetap menyala. Musuh kita saat ini tidak kelihatan, akan tetapi kita percaya bahwa virus Covid-19 itu ada. Amalkan doa yang diajarkan oleh para Nabi terdahulu untuk mengatasi wabah serta supaya diberikan kekuatan dan ketabahan. Maka itu, niscaya hati akan menjadi tenang. Ketiga, kita semestinya tawakal dan berikhtiar. Saat ini, ada banyak pemutusan hubungan kerja yang menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan secara ekonomi. Orang yang beriman akan meyakini bahwa ini ujian. Jika tidak beriman maka akan berujung pada tindakan kriminal untuk menghalalkan segala cara memenuhi kebutuhan hidup. Agama Islam mengajarkan senantiasa bertawakal serta berikhtiar mencari rezeki yang halal. Keempat, kita harus yakin bahwa pertolongan Allah SWT sangat dekat. Ketaatan menjadi sebuah kunci dalam memperoleh pertolongan dari Allah SWT. Mematuhi 30



protokol kesehatan di masa pandemi merupakan salah satu ikhtiar yang wajib dilakukan untuk menjaga diri sendiri dan orang-orang di sekitar lingkungan kita. Bukankah Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubah sendiri nasibnya? Kelas Menengah Muslim Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Alvara Research Center 2019, kelas menengah merupakan kelompok yang peka terhadap perubahan. Setidaknya, ada 141 juta penduduk Indonesia menjadi kelas menengah pada tahun 2020. Muslim Indonesia berjumlah 87% dari total populasi penduduk di Indonesia. Maka jumlah kelas menengah muslim Indonesia diprediksi mencapai 122 juta jiwa. Hampir sebagian kaum menengah muslim tinggal di daerah urban. Mereka memiliki trennya sendiri dalam memenuhi dahaga spiritual. Menjalankan ibadah umroh, fenomena hijabers, pilihan keuangan syariah, fenomena produk halal, dan filantropi. Satu hal yang terlewat yakni mengikuti majelis taklim. Ketika kemapanan secara ekonomi telah tercapai, maka selanjutnya adalah keinginan menggapai nikmat spiritualitas. Majelis taklim menjadi suatu kegiatan yang memiliki banyak manfaat. Pertama, menggali ilmu agama dengan perspektif yang moderat. Nilai-nilai moderasi beragama diperlukan bagi suatu majelis taklim untuk memperoleh 31



pemahaman agama Islam yang berwajah ramah. Kedua, mencari jalan keluar atas pelbagai permasalahan kehidupan. Seorang ustaz atau ustazah berperan penting untuk menjawab pertanyaan yang mucul di kalangan masyarakat awam. Seperti halnya yang terjadi saat pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat program studi Psikologi Islam. Ada seorang Ibu yang bertanya tentang bagaimana hukumnya dalam Islam menggunakan kalung bebatuan untuk kesehatan. Ustazah Elvi dengan sigap menjawab bahwa segala sesuatu tergantung dengan niatnya, akan tetapi sebagai manusia biasa harus berhatihati dengan syaitan yang gemar menggoda manusia. Bisa jadi terlintas di hati bahwa yang memberikan kesehatan bukan Allah SWT, tetapi kalung bebatuan tersebut. Hal tersebut yang sebaiknya dihindari. Ketiga, majelis taklim sebagai syiar keagamaan yang lebih luas jangkauannya. Selain lewat media televisi, saat ini penggunaan media sosial sangat efektif dalam menyebarkan nilai kebaikan ajaran agama. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh Majelis Taklim Laatifa, mereka sudah akrab dengan berbagai perangkat teknologi yang menghubungkan dunia nyata dengan dunia maya. Tujuan utamanya supaya ilmu yang diajarkan oleh seorang ustaz atau ustazah lebih bermanfaat bagi kalangan masyarakat luas.



32



Refleksi Program studi Psikologi Islam pada awal masa pandemi berpacu untuk menyelesaikan borang akreditasi standar sembilan. Diskusi online maupun offline secara intensif dilaksanakan. Salah satu saran dari ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) IAIN Surakarta, Dr. Lukman Fauroni, M.Ag. memberikan arahan implementasi keilmuan Psikologi Islam semestinya dapat memberikan solusi permasalahan masyarakat, seperti kekeringan spiritualitas pada masyarakat kontemporer. Hal ini sejurus dengan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh program studi Psikologi Islam pada masyarakat urban khususnya kaum perempuan. Masa pandemi telah mengubah semua tatanan kehidupan. Tidak luput dunia perguruan tinggi. Tugas utama institusi pendidikan adalah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Salah satu unsur yang termasuk Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PkM). Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, apabila ada sinergi antar stake holder yakni akademisi (dosen, mahasiswa), pemegang kebijakan (pemerintah), pihak swasta, lembaga pendidikan serta masyarakat umum. Tujuan dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat harus sesuai dengan misi program studi (prodi) Psikologi Islam, yakni menyelenggarakan program pengabdian 33



masyarakat yang berorentasi pada peningkatan kualitas kesehatan psikologis masyarakat. Hal ini selaras dengan misi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, yaitu menyelenggarakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat, serta berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mengendalikan emosi di masa pandemi sangat penting untuk menjaga keluarga tetap berperilaku positif dengan bersabar dan bersyukur. Harapan kita semua semoga pandemi Covid-19 ini segera berakhir dan kita bisa menjadi pribadi yang lebih matang secara spiritual. Peran perempuan urban maupun pedesaan sama-sama penting dalam menjaga stabilitas keluarga. Termasuk di dalamnya merawat spiritualitas tanpa batas. Wallahu A’lam Bis Showaab.



34



MITIGASI SIKAP MENYALAHKAN KELOMPOK LAIN6 Ahmad Saifuddin



Agama merupakan sebuah sistem yang sangat luas dan kompleks. Hal ini disebabkan di dalam agama terdapat banyak pendapat. Maka, di setiap agama selalu terdapat mazhab atau golongan. Perbedaan yang terjadi sebagai akibat dari proses dialog antara teks keagamaan dengan tafsir yang memunculkan beragam respons. Sebagian kalangan menganggap perbedaan tersebut sebagai keniscayaan, sehingga diterima apa adanya. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa perbedaan tidak semestinya terjadi sehingga pemahaman terhadap teks keagamaan harus diseragamkan. Sikap semacam ini yang kemudian memunculkan perilaku menyalahkan kelompok lain. Ironisnya, sikap menyalahkan kelompok lain ini beriringan dengan sikap menganggap pendapat yang dianutnya adalah pendapat yang paling benar. 6



Esai ini berasal dari riset berjudul “Reproduksi Pemahaman dan Dinamika Psikologis Paham Radikal: Analisis Terhadap Sikap ‘Menyalahkan’ Kelompok Lain” yang dimuat Jurnal Al A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat 14 (1) tahun 2017 halaman 47-72. 35



Perilaku menyalahkan tersebut sangat mudah ditemui. Dalam kehidupan bermasyarakat, perilaku menyalahkan ini berdampak negatif karena mengancam persatuan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Hal ini disebabkan perilaku menyalahkan bisa berakhir pada perilaku agresi (misalkan agresi verbal dan agresi fisik, seperti perundungan), perilaku radikal, dan perilaku teror. Sejatinya, perilaku radikal dan teror menjadi pembahasan setiap masa. Meski berbagai strategi didaratkan guna menanggulangi perilaku tersebut, belum banyak strategi yang melibatkan aspek kejiwaan dan berpikir. Aspek kejiwaan dan berpikir menjadi komponen penting dalam dinamika perilaku “menyalahkan” yang bisa berakibat pada perilaku radikal dan teror. Lalu, mengapa seseorang bisa berperilaku menyalahkan kelompok lain? Perilaku menyalahkan kelompok lain berawal ketika seseorang memahami bahwa agama adalah sistem yang sempurna sehingga tidak perlu ditambah dan tidak perlu dikurangi lagi. Pemahaman semacam ini mengakibatkan seseorang tersebut menganggap bahwa setiap ritual peribadatan yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, maka dihukumi sebagai ritual yang sesat. Selain itu, pemahaman terhadap banyaknya ritual yang dianggap tidak berdasar pada Nabi Muhammad SAW, menyebabkan seseorang tersebut terpengaruh dalam melakukan pemurnian agama.



36



Jika kita cermati dinamika pemikiran agama Islam secara global, maka pemahaman terkait ritual yang tidak berdalil sebagai ritual yang sesat dan pemahaman radikal ini sudah menjadi pergerakan. Meskipun pergerakan dalam artian organisasi yang menganut pola berpikir semacam itu sudah berhasil ditumpas, tetapi pemikiran macam itu tidak bisa benar-benar mati. Pemikiran ini menjelma menjadi berbagai gerakan lain yang berkamuflase, sehingga bisa dengan leluasa kembali menyebarkan pola berpikir tersebut kepada orang lain. Maka, pada titik ini sebagian orang menjadi terpengaruh. Terlebih lagi, ada iming-iming surga dibalik propaganda berpikir radikal dan menyalahkan tersebut. Hal ini didasarkan bahwa melakukan pemurnian agama sama halnya dengan berjuang untuk kebaikan agama. Maka, tak heran jika pola berpikir menyalahkan kelompok lain ini berkaitan erat dengan sikap menganggap pendapatnya sendiri yang benar dan yang lain salah. Seseorang yang menganggap kelompok lain salah cenderung memiliki pola pikir yang heuristik. Pola pikir heuristik ini adalah pola pikir dalam pengambilan keputusan ketika individu tidak menyertakan data yang lengkap serta dilakukan tanpa upaya yang sungguhsungguh. Pola pikir heuristik terlihat ketika seseorang gemar menyalahkan kelompok lain hanya berbekal dari secuil teks keagamaan untuk menghakimi kelompok lain. Selain itu, upaya yang tidak sungguh-sungguh ini juga terlihat dalam proses penafsiran teks keagamaan 37



yang tanpa prosedur yang sistematis dan jelas, karena cenderung memahami teks keagamaan apa adanya (kalau tidak dikatakan serampangan). Pada tahap yang lebih lanjut, pola pikir heuristik menyebabkan pola penyimpulan yang cenderung overgeneralisasi. Overgeneralisasi adalah pola penyimpulan yang hanya didasarkan dari sebagian kondisi untuk menyimpulkan kondisi secara umum. Perilaku overgeneralisasi ini tampak ketika seseorang gemar menyalahkan dan menganggap semua orang yang tidak berlandasan pada Alquran dan sunnah merupakan kelompok tersesat. Selain itu, overgeneralisasi juga tampak pada hasil kesimpulannya terhadap mazhab-mazhab dalam agama, misalnya orang yang berada di organisasi atau mazhab tertentu maka kesemuanya dihakimi sebagai orang sesat. Konsekuensinya, dinamika berpikir semacam itu melahirkan sikap ingroup-outgroup. Sikap ini berwujud pada anggapan bahwa setiap orang yang memiliki pendapat yang sama dengan kelompoknya adalah sebagai bagian dari kelompoknya. Sedangkan, orang lain yang berbeda pendapat dengannya, makamereka bukan bagian dari kelompoknya. Selanjutnya, sikap macam ini rentan pada sikap intimidasi dan agresi terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat. Selain itu, bentuk akhir dari fenomena ini bisa mengarah pada perilaku teror. Memahami fenomena dan proses mental tersebut membantu kita untuk menyusun strategi dalam 38



menghadapi sikap gemar menyalahkan. Kita bisa membumikan berpikir terbuka pada masyarakat dengan memahamkan masyarakat terkait perbedaan. Perbedaan merupakan kondisi yang pasti terjadi dan tidak mungkin disatukan. Maka, respons terhadap perbedaan ini yang harus dikembangkan adalah penanaman toleransi. Selain itu, dialog secara terbuka berbasiskan data juga dapat menjadi strategi untuk menghadapi sikap menyalahkan. Di sisi lain, upaya berbasis psikologi penting diberikan kepada setiap individu dan kelompok yang sudah melahirkan perilaku teror.



39



Pendidikan, Plurarisme, Dan Moralitas



PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK BERWAWASAN KEARIFAN LOKAL7 Khasan Ubaidillah



PEMERINTAH secara intens pernah mengkampanyekan pengembangan pendidikan karakter pada semua level pendidikan di Indonesia. Oleh pemerintah, pendidikan karakter akan menjadi solusi mujarab untuk menyembuhkan problem kemasyarakatan yang semakin jatuh terjerembab dalam berbagai kasus asusila, anarkisme dan tindakan koruptif dalam segala bidang. Bukti Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi dan globalisasi yang saat ini sudah dimulai. Kedua tantangan tersebut yang harus dihadapi dengan persiapan yang matang oleh seluruh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi semua itu, terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan ber­budaya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM dengan bekal budaya yang kuat merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara 7



Esai ini berasal dari riset tahun 2013 berjudul “Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Melalui Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Madrasah Qudsiyyah Kudus)”, terbit sebagai artikel jurnal dengan judul “The Early Childhood Learning Models Based on The Local Wisdom in Madrasah Qudsiyyah Kudus” (Journal ICIE, 2017). 41



sungguh-sungguh. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM, karena kualitas ka­ rak­­ ter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter individu yang baik lebih dari sekadar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup. Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa seseorang yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena, mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu sendiri. Desain Pendidikan Karakter Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat dan bernegara, dan membantu mereka membuat keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter mencoba membantu anak berperilaku yang baik, santun dan disiplin secara terus menerus, sehingga hal-hal yang diakibatkannya secara relatif menjadi mudah untuk dilakukan anak. Anak menjadi merasa tidak biasa untuk melakukan hal-hal buruk. 42



Sebagaimana diketahui, setiap manusia memiliki potensi sifat bawaan yang termanifestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius--seorang filsuf terkenal Cina--menyatakan bahwa anak pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah anak dilahirkan, maka anak dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi. Maka itu, sosialisasi dan pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrahnature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan– nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki anak sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan. Desain pendidikan karakter bergerak dari knowing menuju doing atau acting. William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing), adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari 43



pemikiran ini, maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan karakter. Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, di antaranya; kesadaran moral (moral awareness), yaitu kesediaan seseorang untuk menerima secara cerdas sesuatu yang seharusnya dilakukan; pengetahuan tentang nilainilai moral (knowing moral values), pemahaman mengenai macam-macam nilai moral seperti menghormati hak hidup, kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kesopanan dan kedisiplinan; penentuan sudut pandang (perspective taking), yaitu kemampuan menggunakan cara pandang orang lain dalam melihat sesuatu; logika moral (moral reasoning), kemampuan individu untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan baik atau buruk; keberanian mengambil/menentukan sikap (decision making), kemampuan individu untuk memilih alternatif yang paling baik dari sekian banyak pilihan; pengenalan diri (self knowledge), kemampan individu untuk menilai diri sendiri. Keenam unsur tersebut adalah komponen-komponen yang harus diajarkan untuk mengisi alam kognitif mereka. Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi anak untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh anak, seperti 44



kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Setelah dua aspek tadi terwujud, maka perilaku moral (moral acting) sebagai outcome dengan mudah muncul baik berupa competence, will, maupun habits. Perilaku moral ini adalah hasil nyata dari penerapan pengetahuan dan perasaan moral. Orang yang memiliki kualitas kecerdasan dan perasaan moral yang baik akan cenderung menunjukkan perilaku moral yang baik pula. Lebih lanjut dalam konteks pengembangan karakter untuk anak--terutama yang dilakukan melalui media pembelajaran--alangkah baiknya kalau pembelajaran di dalamnya bukan merupakan pembelajaran yang terus menerus menekan dan mengintervensi anak. Melainkan pembelajarannya harus mampu memfasilitasi kebutuhan dasar belajar anak. Sehingga, anak merasa nyaman dalam belajar, dan materi soal pengembangan karakter tetap diterima anak secara utuh dalam pembelajaran. Penanaman karakter pada anak merupakan proses penyesuaian kepribadian yang perlu memperhatikan macam-macam prinsip dasar pertumbuhan. Mekanisme penyesuaian tersebut pada dasarnya merupakan sebagian dari usaha pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat, serta berlangsungnya hidup. Itulah sebabnya, perencanaan pembelajaran yang praktis, 45



aplikatif memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan peserta didik sangat diperlukan, dalam upaya pembelajaran (nilai) yang membawa muatan karakter baik bagi anak. Salah satu nilai yang dapat dijadikan sebagai sebuah pijakan pembangunan karakter anak adalah nilai-nilai kebaikan sebuah daerah, yang sudah mengakar kuat sebagai sistem budaya, yang kemudian disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi sebuah tawaran yang menarik, karena pada dasarnya pengembangan karakter harus diikuti dengan pengintegrasian jati diri kebangsaan pada diri anak. Jati diri kebangsaan atau nasionalisme akan berkait erat dengan jejaring kebudayaan bangsa yang menjadi basis kebudayaan nasional. Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang harus secara terus-menerus dijadikan penjangkaran hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Sehingga, dengan mengintegrasikan kearifan lokal dalam desain pembentukan karakter anak, secara tidak langsung anak akan mendapatkan gambaran yang utuh atas identitas dirinya sebagai individu, serta identitas dirinya sebagai anggota masyarakat yang terikat dengan budaya ungul dan yang telah lama diugemi para pendahulunya. Kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dan dilaksanakan dengan baik bisa berfungsi 46



sebagai alternatif pedoman hidup manusia. Nilai-nilai itu dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru atau asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan turut bisa menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya. Sebagai bangsa besar pemilik dan pewaris sah kebudayaan, kearifan lokal dapat menjadi benteng kokoh menanggapi modernitas dengan tidak kehilangan nilai-nilai tradisinya yang mengakar. Dalam pendidikan karakter, pedoman nilai-nilai kearifan lokal merupakan kriteria yang menentukan kualitas tindakan anak. Sebagai pandu penentuan sikap anak, nilai-nilai kearifan lokal bisa menjadi sebuah pijakan untuk pengembangan sebuah pembelajaran yang lebih berkarakter. Kebermaknaan pembelajaran dengan nilai kearifan lokal akan menampilkan sebuah dimensi pembelajaran, selain memacu keilmuan seseorang, juga sekaligus bisa memerdekakan dan memoderatkan keilmuan tersebut menjadi kontekstual dan ramah budaya daerah. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pembelajaran, dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya “lain”. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi strategis bagi pembentukan karakter dan identitas 47



bangsa. Pendidikan yang peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, santun dan kreatif. Untuk itu, nilai yang terkandung dalam bingkai kearifan lokal sebuah daerah, akan menjadi senjata ampuh untuk membangun karakter anak bangsa agar memiliki jiwa nasionalisme tinggi sekaligus mampu menjadi penjaga kelestarian kearifan lokal tersebut melalui sikap keseharian yang berkarakter kuat. Uraian di atas menjadi sangat logis, karena diakui atau tidak, nilai-nilai kearifan lokal yang notabene merupakan sedimentasi dari nilai-nilai kebaikan yang dianut di sebuah daerah, nantinya akan memberikan warna positif bagi pembangunan karakter anak. Ketika kedigdayaan kearifan lokal dominan dalam proses pembangunan karakter anak, maka kearifan lokal tersebut akan mampu mendinamisasi perkembangan karakter anak menuju arah yang lebih baik, baik pada perilaku dunianya, atau pada akhiratnya.



48



SANTRI DAN PANDEMI: SEBUAH PENCARIAN SOLUSI8 Alfin Miftahul Khairi



Pandemi Covid-19 berdampak pada setiap sendi kehidupan. Dalam lingkup pendidikan, pondok pesantren menjadi salah satu ‘korbannya’. Santri sebagai penuntut ilmu diharapkan untuk fresh dari segi fisik maupun psikis. Karena selain mengenyam pelajaran yang menguras tenaga dan pikiran, kondisi fisik turut berperan penting bagi santri. Menyadari akan pentingnya hal ini, beberapa pondok pesantren membuat kebijakan yang ketat terkait keselamatan santrinya. Pondok pesantren yang memiliki santri berjumlah ribuan memberlakukan larangan kunjungan oleh wali santri. Isolasi mandiri menjadi sebuah kewajiban sebelum ditemukannya vaksin korona ini. Para kyai harap-harap cemas dengan kondisi yang tidak menentu. Peraturan yang longgar sedikit bisa berakibat fatal bagi santri. Kegiatan full di pondok mengharuskan santri berinteraksi dengan siapapun. Bisa 8



Esai ini berasal dari laporan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta tahun 2020 yang bertajuk “Upaya Meningkatkan Resiliensi Santri di Masa Pandemi”, pengabdian dilakukan bersama Athia Tamyizatun Nisa dan Galih Fajar Fadillah. 49



dibayangkan jika ada satu orang saja yang terdampak atau OTG (orang tanpa gejala), maka bisa dipastikan kondisi bakal runyam. Kondisi berbeda ditemukan di Pondok Pesantren AlMusthofa, Sawit, Boyolali. Pondok yang diasuh oleh Kyai Yasin ini, tidak dipusingkan dengan jumlah santri. Karena sejak awal berdirinya dikhususkan hanya untuk kalangan mahasiswa. Bisa dikatakan pondok pesantren mahasiswa. Santri yang mukim hanya 30-an. Jumlah yang sedikit memudahkan para pengurus untuk mengatur keselamatan santrinya. Tidak bisa dipungkiri, perasaan jenuh dan bosan menghantui santri di pondok pesantren Al-Musthofa. Masifnya berita tentang korona, baik di media digital maupun cetak menambah beban pikiran santri. Kondisi yang serba sulit ini, menuntut setiap santri harus bisa bertahan. Pertanyaannya adalah strategi apa yang sesuai untuk santri bertahan? Resiliensi Santri Resiliensi adalah ketangguhan individu dalam menghadapi kondisi sulit. Tangguh sendiri bermakna individu bisa bangkit dari kondisi psikologis yang terpuruk. Meskipun tidak dipungkiri perasaan cemas, sedih, kecewa dan marah begitu akrab bagi individu (Hendriani, 2018). 50



Pada dasarnya, manusia mempunyai naluri kuat untuk bertahan. Naluri alamiah. Faktanya, tidak semua bisa menggunakannya untuk bertahan. Hal ini dipicu oleh keragaman adversity atau kondisi yang tidak menyenangkan yang dimiliki oleh manusia (Dhesmita, 2009). Begitu juga dengan kemampuan resiliensi individu yang beragam. Jika ia mampu merespons kesulitan dengan sudut pandang yang positif, maka kemampuan resiliensinya akan baik. Sebaliknya, jika memunculkan respons negatif maka kemampuan resiliensinya buruk. Menurut Carver (1998), ada empat respons yang dimiliki individu ketika berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Pertama; Succumbing, yaitu individu pasrah atau mengalah dengan keadaan. Kondisi ini dipicu dengan rasa frustasi yang terus-menerus mendera. Mengalah bermakna individu terbentur dengan jalan buntu. Faktor lingkungan mempunyai andil dalam hal ini. Teman misalnya, jika salah memilih teman juga bisa berakibat fatal. Teman yang negatif akan membawa aura yang merugikan. Teman yang positif memberikan tenaga ekstra untuk tumbuh dan berkembang bersama. Kedua; Survival, yang mempunyai arti kondisi yang bisa bertahan namun tetap terganggu fungsi psikologis dan emosi. Kondisi fisik yang kuat tidak menjamin 100% kondisi psikis dan emosinya stabil. Bisa jadi bertambah parah. Individu yang tidak bisa menghadapi gangguan 51



ini, justru menambah beban psikologis yang dimiliki sebelumnya. Dalam kondisi survival, individu patut diapresiasi karena sudah mempu bertahan pada kondisi yang sulit. Hal yang harus diperbaiki adalah tentang cara mereka menstabilkan kondisi psikologis dan emosi. Kondisi yang ketiga adalah recovery, yaitu individu yang telah pulih kembali secara psikologis dan emosi serta mampu beradaptasi. Kondisi yang ideal saat pandemi seperti sekarang ini. Untuk sampai pada titik ini, individu dihadapkan dengan kondisi yang serba sulit di awal. Seperti rasa tidak mampu, perasaan buruk sangka dan play victim. Pandemi mengharuskan individu kreatif dan inovatif. Selain merangsang otak berfikir, hal ini berguna bagi individu untuk selalu mencari solusi dari masalah yang dihadapi. Jika kuat bertahan dan semangat pantang menyerah, maka individu bisa mencapai titik selanjutnya atau kondisi yang ideal. Kondisi yang dimaksud adalah thriving, yaitu perkembangan yang pesat dimana individu tidak hanya dapat kembali ke tingkat fungsi sebelumnya, tetapi juga melampauinya. Meminjam istilah Maslow, bisa dikatakan kondisi ini adalah aktualisasi diri. Kondisi yang menempatkan individu berada di titik teratas dari hierarki kebutuhan Maslow.



52



Jika sampai pada tahap ini, bisa dikatakan resiliensi yang dimiliki sudah sangat baik. Individu sanggup menghadapi segala kondisi dengan kepala dingin dan menghasilkan solusi yang terbaik. Individu bisa mengenal baik kondisi di sekitarnya serta potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah mengenal beberapa respons atau kondisi yang tidak menyenangkan. Maka ada beberapa tips yang bisa dilakukan oleh santri saat pandemi. Terutama untuk membentuk resiliensi diri yang kuat. Pertama; hindari berita yang berlebihan. Kemudahan santri mencari informasi, apalagi tentang korona justru menjadi boomerang. Berharap mendapatkan berita yang mencerahkan, akan tetapi yang didapat adalah berita kematian dan berdampak pada kepanikan. Asupan yang seperti ini memperkeruh kondisi psikis santri. Alangkah baiknya dikonsumsi secukupnya. Agar, kondisi psikologis tetap terjaga dan stabil. Selain itu, kegiatan belajar-mengajar juga terbantu jika santri sangat menikmatinya. Kedua; cari partner yang tepat. Seperti halnya santri di pondok pesantren manapun, mereka terpisah jauh dari orangtua.Orang terdekat yang bisa diajak berdiskusi dan bertukar pikiran adalah teman sendiri. Selain kyai tentunya. Memilih teman juga harus selektif. Teman yang salalu mengajak kepada kebaikan. 53



Ketika santri salah dalam memilih teman, dapat dipastikan sangat mempengaruhi kehidupan kesehariannya. Ajakan untuk malas-malasan, suka mengeluh dan menyerah pada keadaan menjadi sikap. Jika telat sadar, santri bisa saja terperangkap pada jurang yang sangat dalam. Sudah sepantasnya para kyai dan otoritas pesantren sadar akan kondisi psikologis santrinya. Kebijakan yang dibuat seharusnya mengutamakan hal tersebut. Selain kewajiban mematuhi protokoler kesehatan tentunya. Santri adalah amanah dan pengemban dakwah ke depannya. Semoga.



54



MODERNISME BUKU AJAR PESANTREN9 Muhammad Zaenuri



Buku ajar memiliki fungsi yang strategis dalam proses pembelajaran, baik di ruang kelas maupun di luar kelas. Dalam pendidikan modern, buku selain sebagai sumber informasi, juga sebagai media interaksi antara pengajar dan pemelajar. Sehingga, dalam mengembangkan buku ajar dibutuhkan metode pemikiran penulis dalam mengelaborasi dan mengontruksi subtansi pada materi buku yang ditulisnya, agar buku yang dikembangkan menjadi buku ajar yang baik secara isi maupun penyajiannya. Buku ajar pesantren di Indonesia biasanya adalah kitab turats atau kitab kuning yang menjadi komponen utama dalam pembelajaran. Kitab kuning juga dipakai di madrasah diniyah. Hampir semua pelajaran yang diajarkan di pesantren dari berbagai disiplin keilmuan seperti fiqh, tauhid, akhlak, sejarah dan lainnya menggunakan kitab kuning. Kitab kuning di pesantren merupakan sumber referensi dan inspirasi pemahaman Islam moderat bagi masyarakat pesantren. Sebagaimana pernah dimuat dalam NU Online bahwa kitab kuning digunakan sebagai inti 9



Esai ini berasal dari penelitian berjudul “Analisis Buku Ajar Belajar Membaca Kitab Kuning Metode Ibtida’i Karya Mujahidin Rohman” yang dimuat di jurnal Arabia Vol 11, No 1 (2019) 55



tradisi intelektualisme pesantren, yang menjadi sumber pemahaman dinamis kalangan NU. Melalui penyajian matan dan syarah, kitab kuning mengajak para pembacanya untuk tidak hanya memahami satu pemahaman, tetapi bisa mengikuti perdebatan berbagai pendapat para intelektual Islam yang dituangkan dalam kitab tersebut. Dari hal tersebut, maka pembelajaran kitab kuning menjadi penting untuk terus dikembangkan dan disebarkan ditengah-tengah masyarakat muslim Indonesia, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Pemahaman kitab kuning penting dikuatkan ditengah arus deras transnasional yang masuk ke Indonesia sejak reformasi dibuka. Inilah yang kemudian menjadi inspirasi Dedi Mulyadi yang saat itu menjabat sebagai bupati Purwakarta dalam menggagas sekolah berbasis kitab kuning. Dibalik kabar gembira tersebut, beberapa realitas ditemui terkait dengan pembelajaran kitab kuning di pesantren. Ada kekhawatiran di kalangan para Kiai pesantren akhir-akhir ini, yaitu semakin meredupnya kemampuan membaca kitab kuning di kalangan santri pondok pesantren. Kemampuan membaca menjadi modal dasar dalam memahami kitab kuning. Kemampuan membaca setidaknya mencakup dua hal, yaitu, pertama, mengubah lambang tulis (simbol) menjadi bunyi dan menangkap arti atau maksud dari lambang tulis tersebut. Kedua, aspek tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat 56



dipisahkan meskipun, inti dari kegiatan membaca adalah menangkap arti atau pesan tertulis. Namun, kemampuan mengubah simbol tulis menjadi simbol bunyi merupakan kebutuhan dasar yang harus dikuasai (Efendi, 2012: 166). Banyak faktor yang mempengaruhi masalah ini, selain faktor bahasa juga kemajuan teknologi yang mempengaruhi pola hidup manusia termasuk model belajar. Kemajuan teknologi yang pesat mengubah gaya hidup manusia menjadi pragmatis dan melahirkan generasi instan yang juga mengedepankan efektivitas dan efesien. Dampak dari kemajuan teknologi ini tentu tidak bisa kita hindari. Berbagai solusi harus diusahakan diantaranya me”modernisasi”-kan buku ajar yang digunakan dipesantren, sehingga menjadi buku ajar yang efektif dan efesien sesuai tabiat manusia modern saat ini. Kitab Kuning, Buku Ajar Pesantren Buku ajar berbeda dengan buku referensi. Buku referensi disusun dengan mengasumsikan minat baca dan tanpa disertai tujuan intrusksional, sedang buku ajar disusun dengan berusaha menimbulkan minat baca dan motivasi santri untuk belajar serta dilengkapi dengan tujuan instruksional. Buku-buku yang digunakan dipesantren bila dilihat dari kategorisasi ini lebih banyak merupakan jenis buku referensi. Sebut saja dalam bidang nahwu sharaf, misalnya kitab ajrumiyah, imrithi, mutamimah, kafrawi, ibnu 57



aqil, maqshud, jauharul maknun, yang apabila dilihat dari penyusunannya tidak disertai dengan tujuan instruksional, gaya bahasa yang digunakan tidak komunikatif dan tidak ada umpan balik. Dalam khasanah kitab kuning, dilihat dari model penyusunannya setidaknya ada tiga model yaitu, matan, syarah, dan khasyiyah. Kitab Matan merupakan penyebutan kitab kuning yang ditulis oleh penulis pertama, hanya menyajikan informasi singkat dan dasar dari satu disiplin ilmu tanpa banyak penjelasan, misalnya, dalam bidang nahwu yaitu kitab Matan Ajrumiyah. Sedangkan Kitab Syarah adalah penyebutan bagi kitab yang menjelaskan isi kitab matan, misalnya dalam bidang Nahwu adalah kitab Mukhtashor Jiddan sebagai kitab syarah dari kitab Ajrumiyyah. Dan Kitab Khasyiyah merupakan penyebutan bagi kitab yang menjelaskan kitab syarah, atau bisa disebut sebagai syarah-nya. Syarah, misalnya adalah Kitab Tasywiqul Khilan, sebagai kitab Khasyiyah dari kitab Mukhtashor Jiddan. Model kitab seperti ini sebenarnya menarik, karena dalam pengembangan pemahaman tetap disertakan matan (teks asli rujukan) untuk mengkonfirmasi pemahaman yang berbeda antara penulis, pensyarah, dan pembaca. Disisi lain kitab model seperti itu, apabila digunakan sebagai buku ajar, maka dibutuhkan waktu yang lama dalam mempelajarinya. Kitab-kitab kuning yang kurang komunikatif dalam gaya penyajiannya perlu dijembatani dengan “memodernisasi” 58



kitab kuning sebagai buku ajar di pesantren. Modernisasi yang dimaksud adalah satu usaha transformasi kearah yang lebih baik yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari segi ilmu pengetahuan, dengan makin berkembangnya ilmu pendidikan dan bahasa dari hasil temuan-temuan penelitian yang menguraikan problematika pembelajaran dan solusi penyelesainnya bisa menjadi pertimbangan dalam mengembangkan buku ajar. Untuk melakukan hal tersebut tentu tidak mudah, karena masih ada “keyakinan” di sebagian pesantren, bahwa mempelajari suatu kitab karya ulama salaf tidak sekadar mengambil pengetahuan yang ada didalamnya. Tetapi juga mengambil keberkahan dari pengarangnya. Materi yang terkandung adalah mutlak dan tidak perlu dikembangkan lagi. Atas keyakinan inilah, mengembangkan buku ajar atau tidak menggunakan kitab yang telah diwariskan tersebut merupakan bentuk su’ul adab. Hal-hal seperti ini masih dipegang teguh dalam budaya kepesantrenan. Guna menjembatani persepsi barokah dan ilmu pedagogik yang dituangkan dalam buku ajar, maka dapat dilakukan dengan mengembangkan buku ajar yang materi utamanya dari kitab ulama salaf, namun dilakukan gradasi. Artinya, pengembangan materi dan penyajiannya yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan problematika pembelajaran. Hal ini seperti yang dilakukan KH. Taufiqul Hakim Pondok Pesantren Amsilati Bangsri, Jepara. 59



Melalui karyanya buku amsilati, beliau sukses memadukan konsep barokah dengan ilmu pedagogik modern. Dalam karyanya amsilati, beliau meringkas nadzam alfiyah ibnu malik yang terdiri dari seribu nadzam menjadi dua ratus nadzam. Menurut beliau, untuk dapat membaca kitab, seorang santri tidak harus mempelajari seluruh kaidah pada nadzam alfiyah ibnu malik tetapi cukup beberapa kaidah pokok saja. Selain meringkas dari segi kaidah atau materi, dalam penyajiannya kitab amsilati tidak hanya sekadar berisi kaidah tapi juga berisi latihan-latihan dengan menggunakan strategi drilling dan active learning. Selain kitab amsilati ada juga buku “Belajar Membaca Kitab Kuning Metode Ibtida’ikarya KH. Mujahidin Rohman Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Tahunan, Jepara. Jika biasanya pembelajaran kitab kuning diawali dengan kaidah terlebih dahulu, melalui karyanya ini dikembangkan buku ajar dengan memadukan antara tradisi pesantren dengan ilmu pedagogik modern. Dalam penyajiannya, buku ini disusun dengan strategi langsung praktik. Buku ini disajikan dengan memadukan antara keterampilan membaca kitab kuning, mengartikan, pemahaman ilmu nahwu dan penerapannya. Ada tiga komponen yang menjadi kontruksi buku ini yaitu; 1), teks bacaan berupa kitab tijaanu ad-darari (tauhid), safinatu an-najah (fiqih), dan arba’in an-nawawi (hadits akhlak), yang disajikan dalam bentuk berharokat, bermakna ala pesantren salaf, 60



dan terjemahannya, 2), kaidah nahwu yang disusun sesuai kebutuhan siswa dalam membaca teks, 3), kosakata (kata yang telah diartikan perkata pada teks). Kedua buku ajar yang telah dikembangkan tersebut, merupakan contoh dari modernisasi buku ajar pesantren. Model-model pengembangan buku ajar berbasis kitab kuning seperti ini harus digalakan dan disosialisasikan di masyarakat pesantren, disamping kitab-kitab kuning yang lain yang digunakan sebagai referensi. Pengembangan buku ajar pesantren berbasis kitab kuning harus terus dilakukan oleh pesantren, sesuai dengan karakteristik masing-masing pesantren. Pengembangan buku ajar kedepan tidak hanya sebatas pada bidang gramatikal bahasa Arab, tetapi dalam bidang lainnya seperti tauhid, fiqih, akhlak, tafsir, dsb. Buku ajar yang dikembangkan harus dapat digunakan untuk belajar secara mandiri oleh santri, yang didalamnya dilengkapi dengan buku latihan, dan buku evaluasi yang dapat dilakukan oleh santri untuk menilai seacara mandiri pemahamannya. Materi yang sajikan didalam buku ajar tidak hanya sebatas materi yang bersifat teoritis, namun juga diperkaya dengan contoh yang kontekstual dan relevan dengan perkembangan zaman. Bahkan sangat mungkin dilakukan setiap buku ajar yang dikembangkan dengan bidang keilmuan yang lain sehingga santri dapat memahami secara komprehensif, tidak hanya satu bidang ilmu sendiri, tetapi bidang keilmuan yang lain yang masih terkait.



61



Usaha penulisan modernisasi buku ajar pesantren yang telah dilakukan para kiai dan masyarakat pesantren harus diapresiasi setinggi-tingginya. Dengan adanya modernisasi buku ajar pesantren ini, diharapkan dapat menjembatani berbagai permasalahan pembelajaran kitab kuning di pesantren dewasa ini.



62



“CALISTUNG” SEBAGAI PENANDA KESIAPAN SD?10 Retno Pangestuti



Pendidikan dilakukan sepanjang rentang kehidupan (life-longeducation) dan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Demi memenuhi hak pendidikan pada anak, Undang Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat menjadi entry point bagi keberhasilan akademik dan penyesuaian pada jenjang berikutnya. Meski penting, pendidikan di kelas satu SD/MI, perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Berdasarkan Ikhtisar Data Pendidikan 2016/2017 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah siswa yang mengulang atau tidak naik 10



Esai ini berasal dari penelitian yang berjudul “Model Kesiapan Sekolah Anak yang Dipengaruhi oleh Keterlibatan Orangtua dan Relasi Guru dengan Mediasi Regulasi Diri Anak” 63



kelas tahun pelajaran 2016/2017 di SD dan MI mencapai 361.215 anak. Dari jumlah tersebut, siswa mengulang di kelas I tertinggi, yakni 149.972 anak atau sebesar41,5% dibandingkan jumlah angka pengulangan di kelas yang lebih tinggi. Persoalan tingginya angka pengulangan di kelas satu Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah memunculkan pertanyaan awal bagi penulis, apa yang menyebabkan munculnya persoalan tersebut? Ketertarikan terhadap dunia pendidikan anak, penulis melakukan riset lebih mendalam mengenai kesiapan anak mengikuti Sekolah Dasar. Riset yang dilakukan selama kurang lebih dua tahun ini melahirkan sejumlah gagasan besar, diantaranya adalah untuk membuat suatu pola kesiapan sekolah dasar yang ditinjau dari aspek keluarga dan sekolah, mengkreasikan instrumen kesiapan sekolah dasar anak dan last but not least, berupaya melakukan suatu intervensi sebagai tindak lanjut hasil penelitian. Pada esai kali ini penulis akan membagikan pengalaman berdasarkan hasil penelitian awal atau yang seringkali disebut preliminary research. Survey awal yang peneliti lakukan adalah melalui metode wawancara pada guru-guru kelas satu SD dan MI di Kecamatan Cipadung, Bandung Kulon. Pada awal tahun pelajaran 2017 lalu, menurut para guru, salah satu penyebab rendahnya kesiapan sekolah anak adalah kurangnya optimalisasi aspek perkembangan anak secara 64



seimbang. Orangtua dinilai lebih mengejar ketertinggalan aspek kognitif anak dan mengabaikan aspek perkembangan yang lain sehingga anak terkesan tidak siap mengikuti pendidikan dasar. Wawancara berikutnya adalah dengan guru-guru PAUD, pengelola PAUD dan orangtua serta observasi terhadap usia anak pra-sekolah. Hasilnya,terdapat fakta yang menarik. Terkait dengan aspek apa saja yang dikembangkan di PAUD, semua guru menjawab semua aspek perkembangan perlu dipersiapkan agar anak bisa mengikuti pendidikan formal di sekolah dasar. Meski demikian, pada saat ditanyalebih lanjut hal penting apa yang perlu dipersiapkan agar anak siap masuk SD, para orangtua sepakat menjawab kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Alasan yang mereka kemukakan adalah tuntutan di kelas satu SD/MI saat ini adalah anak harus bisa membaca dan menulis. Para guru pun menyatakan ketidakberdayaannya mengikuti tuntutan orangtua murid. Usaha yang telah dilakukan para orangtua dan guru, di sana, diantaranya adalah mempercepat kemampuan anak usia dini dalam membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Bahkan ada salah satu POS PAUD yang berada dalam binaan PKK kelurahan yang beralih fungsi sebagai tempat les membaca dan menulis dengan siswa yang berusia kurang dari 6 tahun. 65



Hal ini sebetulnya cukup memprihatinkan. Wajib belajar yang dimulai dari usia 7 tahun telah diatur dalam Peraturan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Menteri Agama RI No. 02/VII/PB/ 2014 dan No 07 Tahun 2014, tentang penerimaan peserta didik baru di jenjang pendidikan dasar (SD/MI) dan pendidikan anak usia dini (TK/RA/BA). Aturan ini bukan tanpa alasan logis. Dalam perspektif neuropsikologis, rentang usia 6-7 tahun dianggap telah siap mengikuti pembelajaran formal di sekolah. Saat berusia 6-7 tahun, berat otak anak telah mencapai 95% berat otak orang dewasa. Proses pematangan fungsi otak, misalnya, komunikasi antar sel saraf atau neuron, yang disebut sinaps pada periode tumbuh-kembang ini sudah lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Kemampuan untuk belajar, seperti memfokuskan perhatian dan mengingat, terjadi karena perubahan sinaps tersebut dan lingkungan ikut mempengaruhi plastisitas otak (Ikrar, 2016). Bagaimana jika kurang dari 6 tahun? Psikolog perkembangan anak, Elly Risman menyampaikan bahwa bagian otak anak usia balita yang sedang berkembang pesat adalah pusat perasaan, bukan pusat berpikir. Kebutuhan anak usia 0-8 tahun adalah bermain dan kelekatan. “Balita harus menjadi anak yang bahagia, bukan anak yang pintar,” tegas Elly.



66



Dengan demikian, penting sekali bagi orangtua mengetahui dan memahami kesiapan bersekolah dasar pada anak usia pra-sekolah. Pengetahuan dan pemahaman ini akan menjadi dasar dan modal bagi orangtua untuk mengoptimalisasi perkembangan anak bukan hanya kognitif semata. Orangtua juga perlu memahami dasar diterapkannya usia kematangan sekolah anak dan tidak memaksakan obsesinya agar anak memasuki sekolah dasar lebih awal. Demikian pula bagi guru di pendidikan pra-sekolah sangat urgen untuk memahami kesiapan bersekolah dasar siswanya secara lebih komprehensif, menggiatkan program parenting dan mensosialisasikan mengenai pentingnya kesiapan bersekolah dasar bagi guru dan pemerhati pendidikan lainnya. Bila hal demikian dilakukan, saya optimis anak dapat berkembang, baik secara nalar maupun dalam proses tindakan yang pada akhirnya membuat anak makin tumbuh dewasa dengan segala pengalaman dan kebajikan serta kebijakannya.



67



PENGEMBANGAN MODEL SUPERVISI AKADEMIK DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI11 Subar Junanto & Tri Utami



Kegiatan supervisi akademik dilembaga Pendidikan Anak Usia Dini bertujuan membangun kebersamaan dan kekompakan dari seluruh warga sekolah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan target dan tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi lain yang sangat strategis dari kegiatan supervisi akademik ini adalah untuk mendorong supervisor atau dalam hal ini kepala sekolah untuk melihat kualitas guru-gurunya dan juga bagi guru untuk mengetahu kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam proses pendidikan. Melihat begitu, pentingnya kegiatan supervisi bagi lembaga PAUD maka sudah seharusnya lembaga PAUD melakukan kegiatan supervisi pendidikan secara kontinue terutama berkaitan dengan supervisi akademik. Berdasarkan hasil observasi ketika melakukan kegiatan visitasi akreditasi periode Juli 2018 di beberapa lembaga PAUD di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ditemukan data 11



Esai ini berasal dari penelitian yang berjudul “Pengembangan Model Supervisi Akademik di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini” 68



bahwa lembaga PAUD masih belum maksimal dalam melakukan kegiatan supervisi akademik di lembaganya. Hasil wawancara dengan para kepala sekolah PAUD, mereka menjelaskan bahwa selama ini kegiatan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah belum secara rutin dilaksanakan. Atau, terkadang mereka melakukan kegiatan supervisi tetapi tidak didokumentasikan. Kegiatan supervisi yang selama ini ada juga lebih banyak supervisi dari pengawas kepada sekolah, masih jarang ditemukan kegiatan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah. Terutama peran kepala sekolah yang harus berperan sebagai supervisor belum berjalan optimal. Kepala sekolah belum melakukan secara rutin supervisi akademik kepada guru. Sehingga, ketika mereka diminta menunjukan bukti dokumen supervisi akademik yang mereka lakukan, mereka tidak dapat menunjukkannya. Beberapa lembaga PAUD juga menjelaskan bahwa alasan mereka belum melakukan kegiatan supervisi akademik dikarenakan belum mengetahui panduan dan format supervisi akademik yang sesuai dengan standar lembaga PAUD. Sehingga, dari hasil wawancara, mereka mengharapkan ada buku panduan dan format supervisi akademik PAUD agar membantu mereka dalam melaksanakan kegiatan supervisi di lembaga PAUD sendiri. Melihat begitu pentingnya kegiatan supervisi akademik untuk meningkatkan mutu dan kualitas 69



pendidikan yang belum optimal, serta tertib kegiatan supervisi akademik yang telah dilakukan oleh lembaga Pendidikan Anak Usia Dini, maka dibutuhkan solusi dengan membuat model supervisi akademik di lembaga PAUD yang terstruktur. Sehingga, model supervisi itu bisa membantu lembaga PAUD dalam melakukan kegiatan supervisi akademik. Oleh karena itu, peneliti akan membuat model supervisi akademik di lembaga PAUD. Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan untuk membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran. Hasil supervisi perlu ditindaklanjuti agar memberikan dampak yang nyata dalam meningkatkan profesionalisme guru. Tindak lanjut tersebut berupa penguatan dan penghargaan; teguran yang bersifat mendidik; dan kesempatan mengikuti pelatihan atau penataran lebih lanjut. Pemanfaatan hasil umpan balik supervisi akademik menyangkut dua kegiatan penting, yaitu berkenaan dengan pembinaan dan pemantapan instrumen supervisi. Dalam melakukan penelitian, penulis mamakai beberapa jenis pendekatan untuk menciptakan hasil yang gemilang. Di antaranya, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan (Research and Development). Research and Development yang akan dibuat adalah dengan mengembangkan model supervisi akademik di lembaga PAUD yang memfokuskan pada 70



dimensi proces dan product. Produk yang dihasilkan dari penelitian ini adalah suatu model supervisi akademik di lembaga PAUD. Begitupun model pengembangan ini dilakukan dengan mengadopsi model Borg and Gall. Serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun penjabaran dari masing-masing langkahnya sebagai berikut: 1. Tahap Pengumpulan Informasi Penelitian ini diawali dengan review pustaka, mengkaji hasil penelitian yang relevan, dan melakukan penelitian awal. Review pustaka dan hasil penelitian diperoleh dari buku-buku, jurnal, artikel, dan kajian produk penelitian. Hasilnya kemudian dibahas sehingga mendapatkan model supervisi akademik di lembaga PAUD. Langkah berikutnya dalam pengumpulan informasi adalah melakukan penelitian awal dalam rangka analisis kebutuhan mengenai model supervisi akademik di lembaga PAUD. Subyek dalam penelitian awal ini berjumlah 50orang yang merupakan kepala lembaga danpendidik PAUD di Kabupaten Sleman dan Bantul. 2. Tahap Perencanaan Tahap selanjutnya dalam penelitian pengembangan adalah tahap perencanaan. Pada tahap ini meliputi penyusunan draft materi dan layout dari



71



model supervisi akademik di lembaga PAUD yang dikembangkan . 3. Tahap Mengembangkan Produk Awal Pada tahap ini dilakukan pembuatan pengembangan model supervisi akademik di lembaga PAUD. Pengembangan model supervisi akademik yang dibuat terdiri dari: a) Perencanaan Supervisi Akademik; b) Pelaksanaan Supervisi Akademik; c) Analisis Data Supervisi Akademik; d) Pemberian Umpan Balik dan Rencana Tindak Lanjut; f) Penyusunan Laporan Hasil Supervisi Akademik PAUD 4. Pengujian Lapangan Awal Setelah peneliti selesai membuat draft model supervisi akademik di lembaga PAUD maka tahap selanjutnya adalah pengujian lapangan awal. Selanjutnya hasil pengembangan model supervisi akademik di lembaga PAUD yang telah dibuat dibawa ke pakar atau ahli untuk menilai model supervisi akademik PAUD yang akan dikembangkan. Instrumen yang dimaksud merupakan validasi yang meliputi tiga aspek yaitu: a) aspek materi pada model supervisi akademik di lembaga PAUD yang akan dikembangkan, b) aspek bahasa, dan c) aspek tampilan model supervisi akademik PAUD.



72



5. Revisi Pada Produk Utama Setelah dilakukan pengujian lapangan awal dan memperoleh penilaian serta masukan terhadap kelayakan dari model supervisi akademik di lembaga PAUD yang dikembangkan, maka selanjutnya dilakukan revisi pada model supervisi akademik di lembaga PAUD dengan memperhatikan masukan dari pakar. 6. Pengujian Lapangan Utama Tahap selanjutnya dalam penelitian R&D pengembangan model supervisi akademik di lembaga PAUD adalah pengujian lapangan utama. Tahap uji coba ini dilakukan di PAUD Insan Kamil dan TK ABA Al Hikmah Kretek, dan KB Al-Hikmah responden terdiri kepala lembaga dan pendidik PAUD. Metode pengumpulan data dalam uji coba lapangan utama untuk melihat kelayakan hasil pengembangan model supervisi akademik di lembaga PAUD menggunakan angket, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Secara umum hasil uji coba menunjukkan bahwa model supervisi akademik di lembaga PAUD dikaterogikan baik-sangat baik. Dari segi kepraktisan, model Supervisi Akademik di Lembaga PAUD dikategorikan efisien (aspek kemudahan untuk dikerjakan mencapai 80% dan aspek kemanfaatan mencapai 90%). Meskipun demikian, model ini masih



73



perlu diuji validitas maupun reliabilitasnya secara empiris dalam rangka perbaikan atau revisi untuk menyempurnakan model supervisi akademikmenjadi lebih baik. 7. Revisi Produk Akhir Instrumen yang semula pada saat penilaian oleh pakar dijilid terpisah-pisah tiap kompenen supervisi akademik akhirnya dijilid menjadi satu kesatuan menjadi sebuah buku. Adapun isi dari masing-masing bagian buku model supervisi akademik di lembaga PAUD terdiri dari: a) Cover; b) Pengantar; c) Daftar Isi; d) Petunjuk Penggunaan Modul; f) Tahap Perencanaan Supervisi Akademik di Lembaga PAUD; g) Tahap Pelaksanaan Supervisi Akademik di Lembaga PAUD; h) Tahap Analisis Data Supervisi Akademik di Lembaga PAUD; i) Tahap Pemberian Umpan Balik dan Rencana Tindak Lanjut; j) Penyusunan Laporan Hasil Supervisi Akademik PAUD 8. Kajian Produk Akhir Produk akhir yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa sebuah model supervisi akademik di lembaga PAUD yang dapat digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan kegiatan supervisi akademik di lembaga PAUD. Kepala PAUD dapat merujuk model supervisi akademik dengan mengikuti langkah-langkah yang 74



ada dalam buku pedoman. Hal ini penting agar kualitas mutu pembelajaran dapat terkontrol. Kepala PAUD akan secara rutin melakukan kegiatan supervisi akademik dengan membuat perencanan supervisi akademik, pelaksanakan supervisi akademik, analisis data supervisi akademik, pemberian umpan balik dan rencana tindak lanjut, dan pembuatan laporan hasil supervisi akademik. Supervisi akademik yang rutin di lembaga PAUD akan meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala PAUD dapat mengetahui keberhasilan yang dicapai pendidik dalam proses pembelajaran maupun kendala yang dihadapi pendidik dalam proses pembelajaran. Secara keseluruhan, model supervisi akademik di lembaga PAUD telah memenuhi standar sebagai sebuah alat yang dapat digunakan untuk melakukan supervisi akademik di lembaga PAUD. Karena, dalam uji coba yang dilakukan di PAUD Insan Kamil dinilai “sangat baik” oleh para reviewer untukdigunakan dalam melakukan supervisi akademik di lembaga PAUD. Tahap selanjutnya merupakan tahap penyebaran model supervisi akademik di lembaga PAUD. Diseminasi digambarkan sebagai proses penyampaian dan penerimaan suatu pesan. Diseminasi adalah proses interaktif mengkomunikasikan pengetahuan kepada khalayak target, sehingga dapat digunakan untuk melakukan perubahan. Diseminasi bertujuan untuk mempercepat penerimaan suatu pesan yang 75



mudah dipahami oleh pengguna (pengguna antara dan pengguna akhir) tentang suatu informasi. Pada tahap ini model supervisi akademik di lembaga PAUD disampaikan dalam sebuah forum diskusi pertemuan pendidik dan kepala PAUD di kabupaten Sleman yang terdiri dari 45 lembaga PAUD baik TPA, KB, TK/RA. Diharapkan hasil penelitian yang matang dan unggul dapat didistribusikan secara cepat kepada kelompok sasaran melalui berbagai saluran diseminasi baik secara langsung maupun melalui media online dan cetak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa model supervisi akademik di lembaga PAUD ini telah memenuhi kelayakan dengan kriteria: a) memiliki format baik (rata-rata 81,8%), b) telah memenuhi substansi model evaluasi yang baik (rata-rata 84,12%), c) memiliki prosedur evaluasi yang baik (rata-rata 82%). Dari hasil tersebut dapat tergambar jelas bahwa model supervisi akademik di lembaga PAUD dapat digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan kegiatan supervisi akademik di lembaga PAUD. Kepala PAUD dapat merujuk model supervisi akademik dengan mengikuti langkah-langkah yang ada dalam buku pedoman. Hal ini penting agar kualitas mutu pembelajaran dapat terkontrol dan menghasilkan output fantastis.



76



SEKOLAH ISLAM TERPADU: “JUALAN” YANG LAKU DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.012 Mayana Ratih Permatasari



Memilih lembaga pendidikan yang tepat di era revolusi industri 4.0 saat ini adalah sebuah keniscayaan bila kita ingin tetap eksis dalam kerasnya persaingan di dunia ekonomi, politik, industri, dan sosial-budaya. Salah memilih lembaga pendidikan berarti salah menyerahkan masa depan anak kita. Sebuah akibat yang mengerikan apabila benar-benar terjadi. Era revolusi industri 4.0 menuntut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni, visioner dan melek teknologi. Dunia industri yang keras secara alami melakukan seleksi alam: yang tak dapat menyesuaikan diri akan tersisih. Saat ini, jenis lembaga pendidikan makin beragam. Ada sekolah umum, madrasah, pondok pesantren, kuttab, dan Sekolah Islam Terpadu. Yang terakhir inilah, saat ini mengalami lonjakan peminat yang signifikan. Jumlah Sekolah Islam Terpadu semakin menjamur menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap lembaga 12



Esai ini berasal dari penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Preferensi Orang Tua dalam Memilih Lembaga Pendidikan untuk Anak”. 77



tersebut. Keberadaannya menjadi kebutuhan terutama di lingkungan masyarakat perkotaan. Lalu, apa yang menjadi daya pikat Sekolah Islam Terpadu di mata masyarakat? Apakah sistem pendidikannya memadai untuk membentuk karakter anak yang tangguh di era revolusi industri 4.0 saat ini? Lembaga Penengah Sejarah Pendidikan Islam Indonesia mengurai tentang perkembangan lembaga pendidikan sekaligus konsep pendidikan Islam di Indonesia. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang menjadi pusat dakwah dan pengembangan agama Islam (Mahmud Yunus, 1996). Pesantren adalah sekolah Islam berasrama yang bertujuan memperdalam pengetahuan Alquran dan sunnah dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidahkaidah tata bahasa Arab. Dalam pandangan masyarakat, pesantren dianggap sebuah bentuk lembaga pendidikan yang memprioritaskan pendidikan keagamaan Islam. Ini berseberangan dengan lembaga pendidikan sekolah umum. Sekolah umum adalah lembaga yang bertujuan mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa asrama dan tanpa batasan pilihan agama. Bila ingin belajar ilmu agama, maka belajarlah di pesantren. Sebaliknya, bila ingin belajar ilmu umum, maka belajarlah di sekolah umum.



78



Dikotomi lembaga pendidikan diatas mulai terjembatani dengan munculnya lembaga pendidikan Islam bernama madrasah. Madrasah mengajarkan ilmu agama sekaligus ilmu umum tanpa ada asrama. Namun hasilnya masih dinilai setengah-setengah. Alumni madrasah tidak mumpuni dalam ilmu agama namun juga tidak ahli dalam ilmu IPTEK. Secara antropologis, madrasah hanya diminati oleh masyarakat pesisir pantai yang notabene mencintai lembaga pendidikan berbasis Islam karena mereka adalah penganut Islam yang taat. Pada dekade tahun 90-an, mulai muncul lembaga pendidikan berkonsep baru, yaitu Sekolah Islam Terpadu. Lembaga ini bertujuan mengajarkan pendidikan agama sekaligus pendidikan umum dengan penekanan pada penguatan kompetensi murid melalui pembiasaan ibadah harian dan pendalaman sains-teknologi yang intensif tanpa asrama. Sejak kemunculannya, Sekolah Islam Terpadu memancarkan pesona yang demikian menawan di mata masyarakat perkotaan. Lembaga pendidikan ini dianggap mewakili kebutuhan kaum perkotaan terhadap agama namun tanpa ketinggalan terhadap ilmu pengetauan dan teknologi. Semakin kesini, pesona Sekolah Islam Terpadu semakin kuat seiring dengan terus dibenahinya manajemen lembaga dan profesionalitas gurunya. Inilah lembaga pendidikan Islam yang menjadi penengah antara pesantren dengan sekolah umum. Segera saja, Sekolah Islam Terpadu 79



menggeser popularitas pesantren, madrasah dan sekolah umum (Maksudin, 2010). Kurikulum yang Terintegrasi Sebagai sekolah “penengah”, Sekolah Islam Terpadu menawarkan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan sains-teknologi (TIM JSIT, 2013). Implementasi kurikulum yang terintegrasi ini semakin efektif ketika layanan pendidikan dilakukan dengan sistem full day sehingga pembentukan karakter anak dapat terjaga dan terkontrol melalui pembiasaan ibadah di sekolah. Pembentukan karakter Islami adalah sesuatu yang sulit ditanamkan orang tua murid yang selalu sibuk bekerja. Pada akhirnya, orang tua menyerahkan proses pembentukan karakter Islami ini kepada sekolah dan berharap anaknya mendapat pendidikan satu “paket’ lengkap: anak yang cerdas, percaya diri, berkarakter Islami dan melek teknologi. Tanggap Terhadap Perkembangan Zaman Sekolah Islam Terpadu dalam sejarah berdirinya, merupakan perwujudan dari cita-cita para aktivis dakwah kampus di UI, ITB, dan kampus-kampus ternama lainnya yang tergabung dalam komunitas Jamaah Tarbiyah. Mereka memiliki keprihatinan terhadap kondisi pendidikan Islam 80



di Indonesia. Dakwah Islam melalui lembaga pendidikan dianggap lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam sejak dini dan dapat dikelola secara sistematis (Zuly Qodir, 2009). Sekolah Islam Terpadu dalam pengelolaannya banyak digawangi oleh pemuda (mahasiwa dan kaum muda idealis lainnya). Telah menjadi ciri dari Sekolah Islam Terpadu, bahwa manajemen sekolah dikelola secara rapi dan profesional. Mereka merespons dengan cepat perubahan lingkungan sosialnya. Sikap responsif terhadap perubahan zaman ini menciptakan banyaknya variasi dalam pembelajaran, pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan muatan pendidikan agama dan umum, dan penyediaan sarana-prasarana yang menunjang tercapainya output yang mumpuni. Dengan menerapkan sistem belajar full day dan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, semakin menambah daya tarik Sekolah Islam Terpadu di mata orang tua murid. Melalui JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu), sekolah Islam terpadu dapat menyamakan standar layanan pendidikan yang sama dengan Sekolah Islam Terpadu lainnya. Ini menjadi jaminan kualitas lembaga dan gurugurunya karena standar layanan pendidikan yang dibuat cukup idealis dan tinggi (Usamah Hisyam, 2012). Lembaga pendidikan yang responsif (baca: tanggap) terhadap perubahan zaman seperti itulah yang dicari para 81



orang tua murid untuk memasrahkan anaknya dididik di lembaga tersebut. Modern dan Profesional Sekolah Islam Terpadu (SIT) dianggap merepresentasikan modernitas dan profesionalitas dalam sistem pengelolaannya. Pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap serta akses internet yang tanpa limit memacu modernisme dan profesionalisme. Terlebih ketika lembaga digawangi oleh para pemuda beridealisme tinggi. Gerak langkah mereka cepat, standar mereka tinggi dan ghirah dakwah melalui pendidikan yang terus menyala. Manajemen Sekolah Islam Terpadu terbuka terhadap kritik dan saran. Tenaga pendidik dan kependidikan yang melek teknologi benar-benar mendorong kerapian administrasi dan tata kelola lembaga yang profesional. Yang Mahal yang Dicari Era revolusi industri 4.0 menuntut dinamisme dalam kehidupan manusia pada semua sektor. Generasi milenial yang sedang menjalani era ini mempunyai ciri high mobility. Dalam strata sosial, mereka adalah masyarakat dari golongan menengah ke atas. Mapan dalam pekerjaan dan finansial. Namun, mereka tenggelam dalam pekerjaan yang padat sehingga tak memiliki cukup waktu untuk mendidik anak-anak mereka. Solusinya, anak-anak kaum milenial 82



ini dipasrahkan pendidikannya pada lembaga pendidikan yang dianggap bermutu. Sekolah Islam Terpadu adalah representasi dari selera kaum milenial ini. Menariknya, secara sosial-antropologis, terjadi pergeseran paradigma berpikir kaum milenial tentang biaya pendidikan. Semakin mahal biaya pendidikan sebuah sekolah maka dianggap semakin tinggi mutu pendidikannya. Maka sekolah yang mahal biaya pendidikannya justru lebih diminati, karena bagi kaum milenial uang bukanlah masalah. Pertanyaannya, apakah Sekolah Islam Terpadu benar-benar mempunyai kualitas pendidikan yang lebih tinggi dibanding sekolah umum, pesantren maupun madrasah? Pertanyaan tersebut mempunyai jawaban yang relatif dan membutuhkan riset yang mendalam. Karena, tingkat kepuasan pengguna jasa pendidikan secara spesifik (orang tua dan murid) berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang atau persepsi masing-masing. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Sekolah Islam Terpadu adalah sekolah yang mahal. Namun faktanya, setiap tahun ajaran baru antrian pendaftar untuk murid baru semakin panjang saja. Padahal, setiap tahun biaya pendidikan di Sekolah Islam Terpadu selalu dinaikkan. Ini berbanding terbalik dengan sekolah umum maupun madrasah, tiap tahun terjadi penurunan jumlah pendaftar murid baru, bahkan meski biaya pendidikan digratiskan. 83



Sungguh sebuah fenomena yang unik dan menarik untuk dikaji lebih jauh. Yang mahal yang di cari. Sekolah Islam Terpadu memang menawarkan pesona yang begitu memikat bagi generasi milenial yang hidup di era revolusi industri 4.0. Ada tawaran kualitas layanan pendidikan yang tinggi meski dibanderol dengan biaya pendidikan yang mahal. Idealisme tinggi untuk memajukan pendidikan Islam di tanah air dalam pengelolaan yang modern dan profesional menjadi jaminan eksistensi outputnya (lulusan) tampil tangguh dan gagah menghadapi era revolusi industri 4.0. Generasi muda Islam yang beriman kokoh, berakhlak mulia dan berilmu pengetahuan tinggi adalah komitmen yang ditawarkan oleh Sekolah Islam Terpadu bagi lulusannya.



84



Media Sosial, Politik, Dan Rasionalitas



MEMILIH USTAZ DI MEDIA SOSIAL PADA MASA PANDEMI13 Nur Rohman



PERKEMBANGAN teknologi dan sosial politik di Indonesia dalam dasawarsa terakhir telah mempengaruhi gaya dan cara hidup masyarakat. Hampir semua lini kehidupan, kini diisi oleh perangkat teknologi yang saling terkoneksi dengan jaringan internet. Kemudian itulah yang banyak mempengaruhi munculnya kategorisasi generasi baru yang biasa disebut gen-z atau generasi post-milenial. Gen-Z disebut sebagai anak kandung teknologi. Generasi yang lahir antara tahun 2000-kini, memiliki ciri khusus dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi ini disebut memiliki kecenderungan connected, confidence, dan creative (Hasanuddin Ali dan Purwandi, 2017). Mereka terkoneksi satu sama lain dengan perangkat teknologi (gawai) dengan ragam medianya. Mereka juga sangat percaya diri menyampaikan sesuatu di laman media sosialnya. Kemudahan-kemudahan yang muncul berkat teknologi tersebut, membuat generasi ini cukup kreatif dibanding generasi sebelumnya. Tiga kecenderungan 13



Esai ini berasal dari laporan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta tahun 2020 86



tersebut dapat dilihat dari kecakapan mereka dalam berinteraksi dan berselancar di media sosial, seperti facebook, Instagram, Youtube, twitter, line, dan semacamnya. Mudahnya akses informasi, generasi ini mencari semua informasi melalui media digital, tak terkecuali dalam persoalan agama. Sayangnya, tidak semua hal yang muncul di media digital mempunyai sumber otoritatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, tidak sedikit muncul ustaz atau orang yang menyampaikan ajaran agama namun tidak dibarengi dengan penguasaan ajaran agama secara memadai. Banyak juga yang hanya bermodalkan follower media sosial, kemudian mereka menjadi ‘primadona’ bagi sebagaian kalangan generasi-z. Ironisnya, banyak terjadi kesalahan-kesalahan pengucapan bahkan dalam menafsirkan agama. Misalnya, belakangan ada ustaz yang mengatakan bahwa ‘Nabi Muhammad pernah sesat’. Bahkan ustaz ini mengaku terang-terangan belajar agama dari google. Adalagi ustaz yang pernah mengatakan bahwa ‘wanita salihah diukur dari berat badannya’. Kemudian ada juga ustaz yang viral karena salah menyebut jumlah ayat dari salah satu surat dalam Alquran. Di salah satu stasiun televisi swasta nasional, ada juga ustaz yang mengatakan ‘nanti di surga akaka nada pesta seks dengan para bidadari’. Sebuah fenomena yang seharusnya tidak perlu terjadi.



87



Kita menyadari, ustaz pun manusia yang tidak pernah luput dari salah. Namun menjadi seorang tokoh panutan, perlu memiliki keilmuan mendalam dan otoritatif. Sebagaimana seorang dokter yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Begitu juga perihal otoritas keagamaan. Seseorang perlu menguasai dan melengkapi prasyarat untuk dapat dikatakan ulama. Tulisan ini hendak mengetengahkan definisi, prasyarat dan tradisi keilmuan dalam Islam, kemudian dijadikan alat untuk melihat fenomena memilih ustaz di media sosial. Ulama: Definisi dan Syaratnya Ulama secara bahasa merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata ‘alim (seseorang yang mengetahui/ berilmu), yang memiliki akar kata ‘alima-ya’lamu yang berarti mengetahui. Dalam KBBI dijelaskan bahwa ulama adalah orang yang ahli dalam pengetahuan agama. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah (ilmu alam) maupun qur’aniyah (ayat teologis). Pandangan tersebut disandarkan pada Q.S. (35): 28 dan Q.S. (26): 197. Dalam sebuah hadis, ulama disebut sebagai pewaris Nabi (inna al-ulama waratsatul anbiya’). Hadis ini mengandung pemahaman bahwa ulama bertugas memberikan dan menyampaikan petunjuk, bimbingan kepada masyarakat guna mengatasi perselisihan88



perselisihan pendapat dan problem sosial masyarakat. Meskipun disebut pewaris para Nabi, ulama tidak bisa mewarisi ilmu para Nabi secara sempurna. Bisa saja seorang ulama melakukan dua kekeliruan sekaligus. Kekeliruan dalam memahami, dan kekeliruan dalam menyampaikan pesan agama (Quraish Shihab, 1994).Untuk itulah para ulama dituntut untuk ekstra hati-hati dalam memahami ajaran agama dan menyampaikannya. Melalui penjelasan tersebut, seharusnya para ulama baik yang tampil di media sosial maupun media offline memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, bukan malah sebaliknya. Sayangnya, definisi ulama ini belum banyak dipahami oleh generasi-z. Pemahaman yang ada tentang definisi ulama masih melihat pada kostum atau atribut yang dikenakan. Sementara itu, Yusuf Qardhawi menjelaskan beberapa syarat seseorang dapat dikatakan ulama, khususnya dalam bidang keagamaan. Setidaknya ada delapan syarat di antaranya; menguasai Alquran, asbab nuzul dan nasikh mansukh, memahami hadis Nabi, menguasai bahasa Arab, memahami ijma’ ulama, memahami ushul fiqh, menguasai maqasid al-syariah, memahami masyarakat dan adat istiadatnya, dan bersifat adil. Beberapa syarat ini, bisa dijadikan patokan untuk seseorang memilih rujukan ustaz, atau ulama yang paling otoritatif menjelaskan persoalan agama. Sayangnya, di era masyarakat digital ini orang 89



cenderung mengabaikan otoritas tersebut. Era inilah yang kemudian oleh Tom Nichols disebut dengan era ‘the death of expertise’ (matinya kepakaran). Tradisi Keilmuan dalam Konteks Studi Alquran dan Hadis Tradisi keilmuan Islam telah dimulai pada masa Nabi Muhammad S.A.W. Tetapi pada masa itu belum ada model pendidikan formal seperti sekarang. Aktivitas tulismenulispun masih sebatas mempelajari mencatat Alquran. Tradisi ini berkembang hingga wafatnya Nabi, yang kemudian pada masa Abu Bakar As-Siddiq, dimulailah pengumpulan Alquran (jam’ul Qur’an) dan selesai pada masa khalifah Utsman bin Affan. Proses pengumpulan Alquran dilakukan dengan sangat cermat dan hati-hati. Khalifah Abu Bakar atas masukan Sahabat Umar bin Khattab segera mengumpulkan dan membukukan Alquran. Kemudian, terjadilah diskusi panjang atas keduanya. Abu Bakar pun tidak lantas mengiyakan, karena pengumpulan dan pembukuan Alquran tidak terjadi pada masa Nabi. Setelah istikharah, barulah pada waktu itu Khalifah Abu Bakar memanggil sejumlah penghafal Alquran dari para sahabat Nabi yang kemudian saling menyampaikan hafalannya. Dalam sejarahnya, muncul beragam qiraat (cara baca). Itu berlanjut hingga kini. Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana Alquran dikumpulkan melalui proses yang sangat panjang.



90



Tradisi keilmuan Islam yang mengacu pada sanad (transmisi keilmuan) masih berlanjut hingga sekarang. Di pesantren Alquran, tradisi itu masih ada. Bagaimana seseorang menuntut Ilmu harus mendapatkan ijazah langsung dalam membaca dan memahami Alquran. Sehingga, mempelajari agama tidak bisa instan hanya bermodalkan terjemah dan membaca informasi dari google, yang sering kali sumber otoritasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Demikian halnya dalam tradisi keilmuan hadis yang sangat pelik. Hadis dibagi-bagi dari segi kualitas dan kuantitas perawinya. Hadis yang mempunyai sanad (transmisi) lengkap, bersambung dan kredibel yang dapat dijadikan sandaran hukum Islam. Di sini, sumber otoritas agama mempunyai alat penyaring, yaitu kritik sanad. Dalam hal ini ada mekanisme tracking rijal al-hadits, yang melacak bagaimana kepribadian seorang perawi hadis. Seperti hadis, jika mekanisme tracking ustaz ini dilakukan, maka niscaya kita akan mempunyai daya kritis terhadap setiap pendakwah yang ada di media sosial. Masalahnya, banyak ulama yang memiliki otoritas dan kredibilitas menyampaikan ilmu agama, namun mereka tidak mempunyai tim untuk membuatkan konten dan akun di media sosial. Meskipun belakangan banyak juga kyai dan ulamamuktabarah yang muncul di Youtube dan media lainnya. Sampai di sini, sudah saatnya, para pendakwah 91



dengan keilmuan yang mumpuni tampil dan membanjiri kanal-kanal media sosial, dengan tampilan yang lebih mutakhir. Wallahu a’lam.



92



KKN DALAM PUSARAN DINAMIKA (POLITIK) MASYARAKAT14 Andi Wicaksono



“Ya, begitu saja. Menolong ya menolong. Begitu pesan orang tua itu.” (Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah) Pada pertengahan 2019, saya berkesempatan bersilaturahim dengan salah satu saudara yang kebetulan bekerja di Pemerintah Kabupaten Boyolali. Perjumpaan tersebut tentu kami manfaatkan untuk saling berbagi kabar keluarga hingga sekilas tentang karier. Karena pada tahun tersebut kebetulan saya juga mendapat tugas untuk membimbing dua kelompok KKN mahasiswa di salah satu desa pada kabupaten yang ia mengabdi di dalamnya, maka saya ceritakan pula kabar tersebut. Sontak kemudian kakak yang sangat saya hormati tersebut memotong cerita saya untuk menanyakan kapan pelaksanaannya. Tentu dengan sedikit kaget kemudian saya segera menjawab 14



dengan



menyebutkan



rentang



tanggal



Esai ini ditulis berdasar pengalaman pribadi saya selama menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2018 dan 2019. 93



pelaksanaannya. Lantas saya lihat dahi beliau sedikit berkerut. Dia terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu, hingga ia pun angkat bicara, “Oh, insyaallah bisa, Dik. Aman.” Saya pun bertambah bingung sembari membatin sejak kapan kakak saya bisa memprediksi hari baik. Lelaki lulusan STPDN itu seingat saya tidak begitu tertarik dengan ilmu titen apalagi weton. Maka dari itulah saya tanyakan apa maksudnya dan dijawablah, “Begini Dik, tahun 2019 ini kan ada pilkades serentak. Kalau KKNmu itu dilaksanakan pada saat itu, saya sarankan mending diundur dulu.” Dua Tahun Berturut-turut Pada tahun 2019, itu adalah kali kedua saya membimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa tersebut. Setahun sebelumnya, saya pun juga menemani rekan-rekan mahasiswa untuk melaksanakan program KKN Mandiri di sana. Saat itu, saya memang cenderung memilih untuk menjadi pembimbing KKN mandiri daripada reguler, karena beberapa alasan. Pertama, dari segi penentuan lokasi sudah jelas sejak awal sehingga saya bisa mempersiapkan kegiatan pra-KKN lebih matang. Kedua, berdasarkan pengalaman bahwa kelompok mandiri lebih mantap rencana kerjanya dibanding reguler, karena mereka sendiri yang membentuk timnya sejak awal. Ketiga, untuk bisa 94



lolos tahap penerjunan ke lapangan, mereka harus melalui beberapa proses seleksi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) yang tentunya tidak mudah. Meski demikian, pada saat awal pinangan dari tim tahun 2019 itu datang, saya sempat terkejut. Apakah ini hanya kebetulan atau memang sudah direncanakan oleh mereka, maka saya pun mencoba mengorek informasi tersebut. Berdasarkan pengakuan mereka, ternyata langkah ini sudah mereka rencanakan setelah membaca laporan kegiatan KKN tahun sebelumnya, “Kami membaca laporan sebelumnya dan melihat nama Bapak sebagai pembimbing lapangan. Jadilah kami sepakat meminta Bapak untuk membimbing lagi untuk kelompok kami,” jawab ketua kelompok dengan mantap setelah menjelaskan garis-garis besar rencana program kerja kelompok. Tentunya, jawaban itu semakin memantapkan saya untuk menerima pinangan mereka. Hanya saja, berdasar pengamatan saya, ada perbedaan mencolok perihal pelaksanaan KKN di desa tersebut selama dua tahun berturut-turut itu. Perbedaan itulah yang ingin saya ceritakan pada kesempatan kali ini. Sebagai semacam pembatasan masalah, saya tak hendak menceritakan tentang kinerja para mahasiswa yang menurut saya keduanya sudah luar biasa. Saya hanya akan menggambarkan tentang potret masyarakat selama tahun 2018-2019 dalam menerima kegiatan KKN di sana.



95



Masyarakat Pedesaaan Pada dasarnya, sama seperti masyarakat pedesaan pada umumnya, masyarakat desa tempat tujuan KKN kami ini sangatlah ramah dan terbuka. Mereka adalah potret masyarakat sangat bersahaja yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan peternak sapi. Meskipun Islam (yang menjurus pada Kejawen) adalah agama mayoritas di sana, tapi uniknya kegiatan masjidnya kurang semarak. Penggaderan pengelola masjid adalah masalah utama di desa tersebut di samping tingginya angka pernikahan usia dini. Oleh sebab itulah, kegiatan KKN dari IAIN Surakarta bisa begitu disambut positif oleh masyarakat karena pada dua tahun berturut-turut, program pengabdian masyarakat ini mengangkat tema besar, “KKN Transformatif Berbasis Masjid.” Tak heran, pesan utama yang selalu saya sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa selama dua tahun membimbing sebenarnya cukup simpel, “Jangan sampai lupa untuk salat berjamaah di masjid atau surau. Jika ada undangan, apalagi yang bersifat keagamaan jangan sampai tidak hadir.” Hanya saja, khusus pada tahun 2019 itu sedikit berbeda. Tahun Politik Beruntung, sejak awal saya sudah mendapat wantiwanti dari kakak saya. Tahun 2019 yang lalu adalah 96



bertepatan dengan tahun politik, baik dalam lingkup nasional maupun pedesaan. Saya rasa, jamak dipahami bahwa kondisi ini sedikit banyak akan mengubah dinamika dalam bermasyarakat. Dan pengalaman berharga ini menjadi pelajaran bagi kami, terutama para mahasiswa KKN yang berada di lapangan yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Jadi, pelaksanaan KKN pada tahun 2019 kemarin bertepatan dengan masa transisi. Permasalahnnya, pada masa perizinan dan observasi awal, para mahasiswa diterima oleh kepala desa periode lama. Perlu diketahui, kepala desa tersebut telah menjabat selama dua periode dan kebetulan pada tahun 2019 itu beliau kembali mencalonkan diri untuk ketiga kalinya. Beliau merasa di atas angin, karena mendapat dukungan dari kaum tua pada desa tersebut. Sedangkan rivalnya yang lebih muda didukung oleh para kaum muda desa. Sejak awal, saya selalu memperingatkan para mahasiswa untuk bijak dan berhati-hati dalam berkeputusan, karena sesuai prediksi mereka diterima bahkan dipersilakan untuk menjadikan rumah kepala desa lama sebagai basecamp kegiatan KKN. Berkali-kali saya berpesan kepada mereka untuk selalu netral, tapi sepertinya masyarakat cenderung memandang mereka seolah menjadi alat politik salah satu kubu calon kepala desa. Sebuah pandangan yang lumrah. Akhirnya, dengan mengejutkan hasil pilkades tersebut menghasilkan pemenang pada pihak calon kedua.



97



Meskipun sejak awal berada pada pihak netral, para mahasiswa tetaplah gusar menghadapi perkembangan iklim politik desa tersebut. Hal ini disebabkan, sejak tak terpilih kembalinya kepala desa petahana, para mahasiswa mulai mengeluh kesusahan untuk menghubungi beliau. Ketika mereka saya minta untuk berkoordinasi dengan pihak pejabat Balai Desa, tanggapannya pun kurang memuaskan. Bisa dimaklumi, karena pada saat itu adalah masa transisi. Kepala desa lama berada dalam posisi jelang akhir jabatan, sehingga sudah mulai tak berkantor. Sedangkan kepala desa baru yang terpilih melalui mekanisme pilkades belum dilantik. Hingga akhirnya, disepakati bahwa basecamp pun berpindah ke rumah warga lain yang masih sedukuh dengan petahana. Namun, apakah dengan demikian permasalahan selesai? Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat Penerjunan kegiatan KKN Mandiri dilaksanakan secara simbolis dengan dilaksanakan apel penerimaan di kantor kecamatan. Keputusan ini adalah atas permintaan pihak Camat, karena di kecamatan yang ia pimpin kebetulan tidak hanya kelompok kami yang melakukan pengabdian di sana. Sebelum apel terlaksana, saya beserta para DPL lain sempat sejenak beramah-tamah dengan pihak pejabat kecamatan. Mereka menjelaskan tentang perkembangan desa-desa secara umum yang masih “hangat” pasca pilkades. 98



Meski demikian, semua kepala desa terpilih telah dilantik dan mulai berkantor di kantor desa masing-masing. Satu pesan yang menenangkan kami ketika salah satu pejabat kecamatan di sana mengatakan bahwa secara umum kondisi desa sudah kondusif. Usai apel, saya beserta para mahasiswa kemudian menuju kantor desa. Kami diterima dengan baik oleh salah satu pejabat desa (bukan kepala desa) dan dipersilakan untuk mulai berkegiatan. Terakhir, barulah kemudian kami menuju basecamp kegiatan. Pada saat itulah, saya melihat begitu beda sambutan warga jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Sedikit sekali warga yang menyambut kami, tapi saya selalu mengajak mahasiswa untuk berpikir positif dengan mengatakan, “Para warga jika jam segini masih sibuk mengolah lahan persawahan.” Usai saya serahkan mereka kepada induk semangnya, kemudian saya pamit untuk pulang dengan kembali berpesan kepada para mahasiswa, segeralah berkegiatan di surau (dukuh tersebut belum terdapat masjid) dan tetaplah membangun kedekatan dengan semua elemen masyarakat. Beberapa hari berselang, perwakilan mahasiswa kemudian melaporkan perkembangan KKN langsung dari lapangan. Para mahasiswa merasa bahwa masyarakat seolah mengambil jarak dengan mereka, sehingga keadaan ini menyulitkan mereka untuk melaksanakan program kerjanya. Dikarenakan laporan tersebutlah kemudian 99



memaksa saya untuk kembali meluncur ke lapangan. Sesampai di sana, kemudian kami bersepakat untuk kula nuwun dan membangun silaturahim dengan para tokoh warga yang ternyata belum mereka laksanakan sebelumnya. Saya antar dan perkenalkan mereka kepada para tokoh masyarakat dan alhamdulillah sambutan mereka sangatlah positif. Hingga, kemudian oleh salah satu tokoh masyarakat mengabarkan bahwa pada akhir pekan hendak dilaksanakan sambatan pembangunan rumah salah satu warga pedukuhan. Saya merasa, inilah satu kesempatan emas untuk membangun kedekatan. Maka, sepulang keliling seharian bersilaturahim, kemudian para mahasiswa saya wajibkan untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut, sebelum saya berpamitan pulang. Sejak saat itu, dan selanjutnya, penerimaan masyarakat makin membaik. Tiap kali para mahasiswa saya minta melaporkan progres kegiatan, beragam keluhan yang tadinya muncul pun mulai hilang. Para mahasiswa pun mulai bisa lebih fokus untuk melaksanakan programprogram kerjanya, walaupun saya melihat tak seoptimal pada pelaksanaan tahun sebelumnya. Meski demikian, bisa meraih kembali kepercayaan masyarakat adalah sebuah capaian luar biasa yang tak kalah dengan apa yang dilakukan oleh KKN periode sebelumnya.



100



MONETISASI KONTEN DAKWAH15 Ferdi Arifin



Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis data pengguna internet di Indonesia sebesar 147 juta pengguna. Banyaknya pengguna internet aktif di Indonesia menciptakan ruang sosial baru dalam dunia digital. Terlebih lagi, media sosial yang populer di Indonesia memberikan fitur untuk saling berkomunikasi dan berkomunitas satu dengan yang lain. Fenomena berjejaring di media sosial ini ternyata memberikan banyak dampak bagi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek literasi digital. Beberapa kasus hoax, bullying, pencemaran nama baik, hingga penistaan agama sering menjadi isu di tengah ruang sosial secara digital. Bentuk nyata dari fitur bersosial dan berjejaring di media sosial terlihat saat Hootsuite Wearesocial merilis data pengguna internet di Indonesia. Faktanya, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya menghabiskan waktu rata-rata sekitar 8 jam 15



Esai ini berasal dari penelitian yang berjudul “Mubalig Youtube dan Komodifikasi Konten Dakwah” dimuat di al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4 No.1 (2019) 101



per hari. Secara spesifik, data tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktu untuk bermedia sosial sekitar 3 sampai 4 jam dalam sehari. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia cukup aktif dalam menggunakan media sosial sepanjang harinya. Akibat masyarakat Indonesia yang aktif menghabiskan waktu di dunia maya menggiring banyak kegiatan luar jaringan menjadi kegiatan dalam jaringan. Salah satu hal sederhana yang menjadi sorotan kegiatan luar jaringan menjadi kegiatan dalam jaringan adalah berdakwah. Sebelum maraknya penggunaan internet di kalangan masyarakat Indonesia, proses dakwah yang dilakukan oleh para pemuka agama melalui lembaga-lembaga keagamaan atau aktivitas-aktivitas keagamaan berasal dari masjid. Namun, sejak adanya kemudahan mengakses internet menjadikan proses dakwah ini beralih melalui internet khususnya media sosial. Hal ini karena proses berdakwah dalam media sosial lebih memberikan sebaran yang luas dan bahkan tidak terbatas jika dibandingkan dengan berdakwah yang dilakukan secara konvensional. Polemik Orang Biasa Menjadi Tokoh Agama Kemudahan mengakses internet dan bermedia sosial di kalangan masyarakat Indonesia membawa semangat eksistensi bagi sebagian orang bahkan kelompok. 102



Dalam kasus berdakwah, banyak orang yang sukarela menyebarkan konten-konten keagamaan di media sosial. Baik tujuan mereka untuk berbagi kebaikan maupun dengan tujuan lain. Kasus-kasus yang muncul di tengah masyarakat digital di Indonesia adalah kemunculan para ustaz dan ustazah digital. Banyak orang menyampaikan kebaikan dalam potongan ayat Alquran atau hadis kemudian dianggap sebagai tokoh agama. Fenomena ini yang kemudian menjadikan syiar agama lebih mudah dan masif di kalangan masyarakat. Namun demikian, fenomena berdakwah di dunia digital ini menjadi polemik karena kapasitas orang yang menyampaikan syiar agama tersebut tidak semuanya memiliki kapasitas keilmuan yang cukup dalam konteks beragama. Banyak kasus yang terlihat di tengah masyarakat digital bahwa sebagian dari mereka yang aktif meyebarkan dakwah di media sosial adalah orang yang belum memiliki cukup kedalaman dan kebijaksanaan dalam menyampaikan syiar agama. Dengan kata lain, tidak sedikit orang biasa yang mendadak menjadi ustaz maupun ustazah dengan bermodalkan satu ayat dan pakaian muslim yang menyerupai ulama atau orangArab. Hal tersebut membawa polemik orang biasa menjadi tokoh agama. Mereka dengan kapasitas sebagai orang yang biasa lalu dianggap sebagai tokoh agama menjadikan 103



pembawaan sikap dalam berdakwah kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Sederhananya, hanya bermodalkan satu ayat bisa menjadikan para oknum tersebut membuat berbagai larangan untuk para umat. Fenomena tersebut kemudian membawa Kementrian Agama harus mengeluarkan daftar mubalig yang diakui pemerintah sehingga memunculkan perdebatan baru di dunia digital. Ada yang sependapat tapi juga ada yang beranggapan bahwa kebijakan itu sepihak. Terlepas dari itu semua, masyarakat awam semakin dibingungkan dengan konsep mubalig atau siapa saja orang yang sebenarnya pantas untuk menyebarkan syiar agama. Youtube dan Konten Dakwah Menghasilkan Cuan Dari sekian banyaknya media sosial yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, Youtube menjadi bagian dari media sosial paling popular digunakan di antara media sosial lainnya. Sesuai dengan tagline Youtube, semua orang mungkin untuk broadcast everything di platform tersebut sehingga para pengguna diberikan kemudahan untuk menonton dan mengunggah video yang disukai. Kemudahan yang diberikan Youtube ini adalah salah satu fitur yang menjadikan orang bisa mengekspresikan diri atau membangun personal branding mereka. Terlebih lagi, Youtube juga memberikan apresiasi sejumlah uang bagi para pencipta konten yang diminati banyak orang. 104



Oleh karena itu, banyak orang berbondong-bondong menggunakan Youtube untuk memperoleh cuan. Fitur yang diberikan Youtube dan kemudahan akses yang tersedia menjadikan banyak sekali kategori bagi para penontonnya. Hal tersebut menjadi pemantik sebagian orang untuk aktif membuat konten yang banyak diminati oleh penonton Youtube. Terlebih lagi, banyak Youtuber yang selalu menginformasikan bahwa penghasilan dari Youtube cukup fantastis. Dari sekian banyak kategori yang banyak durasi tonton di Youtube, konten dakwah adalah salah satu bagian kategori cukup banyak peminatnya. Isu keagamaan selalu menjadi hal menarik untuk dipahami oleh semua orang sehingga banyak konten berbau agama beredar bebas di dalam Youtube. Fenomena ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum yang ingin mencari cuan dari Youtube. Pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia selalu haus akan isu agama membuat para oknum memanfaatkan rasa ketertarikan ini kedalam suatu konten yang banyak penontonnya. Terlepas apakah konten keagamaan itu membawa kebaikan atau membawa perpecahan. Para oknum tersebut akan terus memproduksi konten keagamaan sebagai cara menarik minat penonton. Oleh karena itu, banyak orang-orang dengan kapasitas pendidikan agama yang biasa saja kemudian menjadi tokoh agama karena berhasil membawa satu ayat 105



menjadi konten yang menarik minat penonton. Bahkan, sebagian oknum memanfaatkan hal ini secara sengaja untuk membuat gaduh masyarakat digital Indonesia. Tanpa wawasan keagamaan yang cukup, satu ayat pun sudah bisa menjadikan para oknum tersebut membuat larangan-larangan kepada para penganut agama. Meskipun sebagian orang yang memahami agama mengecam perbuatan para oknum yang membawa agama sebagai konten yang memecah belah. Para oknum tersebut tidak menggubris hal tersebut karena memang apa yang dicari dari pembuatan konten bukan hanya sekadar upaya untuk berdakwah, tetapi untuk memperoleh cuan. Terlebih lagi, perilaku para pengguna media sosial yang cenderung aktif di digital tapi apatis di realitas sosial lebih memberikan kemudahan dan keleluasaan untuk membuat konten secara bebas tanpa mempertimbangkan dampak baik dan buruknya. Rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia ini akan menjadi problematika tersendiri sehingga isu-isu hoax maupun radikalisme akan sangat mudah tersebar luas di tengah masyarakat. Terlebih lagi, Youtube hanya mengatur larangan pembuatan konten yang bersifat harassment dan violent saja sehingga keleluasaan untuk mengunggah konten agama tidak perlu memperhatikan kebenaran kontennya.



106



Pemerintah mungkin saja sudah membuat regulasi untuk mengatur siapa saja mubalig atau orang-orang yang bisa dianggap sebagai tokoh agama. Tapi, jika pembuatan konten keagamaan itu menghasilkan uang yang banyak pasti orang-orang tidak akan menggubris aturan tersebut. Asumsi saya, perlu adanya skema tentang moderasi beragama untuk menghindari kasus orangorang yang tidak bertanggungjawab dalam menyebar konten keagamaan. Setidaknya untuk menjaga umat dari kesalahpahaman dan kesesatan dalam memahami agama.



107



MELAWAN KORUPSI SEJAK DINI Abdulloh Hadziq



Korupsi merupakan masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Fakta demikian tidak bisa kita hindari, sebab korupsi seakan mejadi budaya di setiap aspek pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Maka tidak heran jika birokrasi yang seharusnya melayani dengan tulus berubah menjadi dengan ‘fulus’. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia sudah sedemikian akut yang menyusup hampir ke seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2019 mengalami kenaikan dari 38 menjadi 40. Artinya ada perbaikan dari sisi prestasi. Meskipun demikian, peringkat Indonesia di level asia Tenggara tidak mengalami perubahan, yaitu peringkat ke empat setelah Singapura, Brunei Drarussalam dan Malaysia. Saat ini masyarakat tampaknya mulai ‘bosan’, berita tentang korupsi seakan tak pernah surut di lini masa. Korupsi telah menjelma menjadi ‘Tuhan’ bagi para pelakunya, dengan alasan dapat memberikan kesenangan, kemewahan dan kesejahteraan. Hal tersebut yang akhirnya membentuk sistem budaya 108



yang merusak dalam tradisi masyarakat. Bahwa ketika seseorang telah mencapai kedudukan tertentu, dirinya akan dianggap wajar untuk melakukan korupsi, atau mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukannya. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan. Korupsi bukan sekadar menghancurkan moral saat ini, akan tetapi kehancuran peradaban dimasa mendatang. Bukankah Ali Bin Abi Thalib r.a pernah mengatakan kebaikan akan dikalahkan oleh kejahatan yang tertata. Keyakinan bahwa kebaikan tidak akan pernah dikalahkan tidak akan terbukti selama kejahatan terus terorganisir dengan baik, sementara perlawanannya tidak dilakukan secara terukur dan sistematis. Oleh karena itu, sebagai musuh bersama korupsi harus dicegah dan dilawan melalui penataan sistem dan komitmen setiap individu pada setiap kelembagaan. Islam Agama Anti Korupsi Sebagai agama, Islam tidak sekadar mengatur hubungan manusia dengan khaliq (hablum minallah), tetapi mengatur pula hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya (hablumminannas) termasuk dengan alam semesta (hablum minal ‘alam). Islam secara komprehensif mengajarkan beberapa prinsip agar hubungan manusia menjadi harmonis dan beradab. Terdapat pesan menarik dalam Alquran surat al Baqarah; 42, “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah 109



kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” Ayat tersebut mengajarkan kepada kita agar senantiasa melaksanakan kejujuran dan meninggalkan segala perbuatan yang berlawanan dengannya. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip akuntabilitas (amanah), keadilan (aladalah) dan tanggungjawab. Hal ini tidak lepas dari dampak yang ditimbulkannya. Meskipun korupsi tidak secara langsung berhadapan dengan korban, akan tetapi perlahan dapat merugikan masyarakat dan Negara. Anggaran yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan dialihkan menjadi komoditas untuk menguntungkan individu maupun kelompoknya. Padahal, jika kita memandang perspektif Islam, hukuman bagi pelaku korupsi dapat menjadi lebih berat, seperti pemberlakuan hukuman mati. Sebagaimana dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang Tahun 2015, sebagai ornanisasi Islam terbesar melalui komisi Bathsul Masa’il Waqi’iyah sepakat atas penerpan hukuman mati bagi pelaku kejahatan berat seperti korupsi. Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Muhammadiyah dalam Muktamar ke 47 di Makasar. Dalam salah satu rekomendasinya dijelaskan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sehingga harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk mengatasi dan mengurangi angka korupsi. 110



Meskipun terdapat banyak pendapat berkenaan dengan korupsi yang jelas keharamannya, akan tetapi perilaku (korupsi) tersebut terus bersemi dan melahirkan calon-calon koruptor yang baru. Pendidikan sebagai Solusi Wacana untuk memberantas korupsi yang telah menggurita ini, selain menggunakan mekanisme hukum terdapat filosofi baru berupa penanaman nilai-nilai anti korupsi melalui dunia pendidikan. Beberapa teori pendidikan cenderung menyepakati bahwa mengembangkan potensi manusia diperlukan intervensi dari luar dirinya. Adapun upaya yang dinilai cukup efektif yaitu melalui aktivitas dalam pendidikan. Itulah kenapa manusia menurut Jalaluddin disebut sebagai makhluk eksploratif, yakni memiliki potensi berkembang dan dikembangkan. Pemberantasan korupsi melalui pendidikan kepada anak-anak adalah pilihan tepat. Secara sosiologis, sebagaimana yang disamapaikan Anarki (2012), anakanak sedang memasuki apa yang disebut sebagai tahap meniru dan bertindak (play stage dan game stage). Artinya, untuk melahirkan kader anti korupsi harus disiapkan sejak dini, karena disinilah fase pembentukan diri dimulai. Jika kebiasaan jujur dibiasakan kepada anak-anak sejak dini, maka nilai-nilai tersebut akan tertanam hingga mereka dewasa. Dengan demikian, pendidikan bisa sebagai 111



media untuk menjadikan manusia menjadi pribadi yang berkembang lebih baik. Penanaman nilai anti korupsi tentu relevan sebagai upaya edukatif dalam mendidik anak agar berkarakter jujur dan bermoral baik. Dengan harapan siklus korupsi yang ada selama ini dapat dicegah di masa yang akan datang. Penanaman nilai ini tidak sebatas pada integrasi mata pelajaran, tetapi perlu diberikan ke semua lini pendidikan. Nilai seharusnya melekat di setiap proses pembelajaran, baik yang bersifat intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Nilai–nilai pendidikan anti korupsi yang dikembangkan di banyak sekolah memang tidak berbentuk satu mata pelajaran khusus. Nilai–nilai tersebut dikembangkan secara integratif pada akvivitas pemelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Terdapat beberapa nilai yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan diantaranya amanah, adil, sederhana, dan mandiri. Selanjutnya, nilai -nilai tersebut ditanamkan dalam bentuk pembelajaran. Dalam pemelajaran di kelas, nilai-nilai anti korupsi diintegrasikan dengan kurikulum yakni pada sebuah mata pelajaran. Hanya saja dalam praktiknya guru nanti membuat sebuah kolom tersendiri terkait dengan nilai anti korupsi apa yang akan diajarkan. Misalnya, dalam mapel Muamalah, SKI, ataupun lainnya. Guru membahas mengenai pentingnya sebuah kejujuran, maupun keadilan ketika seorang menjadi orang yang berkuasa atau ketika mengemban tugas.



112



Selanjutnya, selain pemelajaran di dalam kelas, sekolah dapat melaksanakan penanaman nilai-nilai anti korupsi di luar kelas, yakni dengan cara membuat tempat temuan barang dan kantin kejujuran. Tempat temuan barang dibuat dengan tujuan mengasah nilai kepedulian, kejujuran serta tangungjawab ketika menemukan barang yang bukan haknya. Dengan adanya tempat temuan barang tersebut peserta didik, pendidik maupun seluruh stakeholder yang ada di dalam lembaga pendidikan dapat melakukan pembelajaran moral, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.Kantin kejujuran dibuat dengan harapan mampu menjadi salah satu media yang efektif membiasakan peserta didik untuk menjadi pribadi yang jujur, dan dapat dipercaya. Dengan adanya kantin kejujuran ini, civitas akademika dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus ada penjaganya. Penanaman nilai-nilai anti korupsi tentu tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan dari semua pihak. Kesuksesan sebuah progam di lembaga pendidikan tidak dapat dipisahan dari peran penting seorang pendidik. Dalam praktik mengajar pendidik dianjurkan memiliki kreativitas dalam menciptakan kegiatan pembelajaran yang efektif, menyenangkan, menggembirakan dan bermakna.



113



CANTIK BERKIBLAT KONTES?16 Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi



“Frederika Alexis Cull, Indonesia” Mencetak sejarah Indonesia dalam 10 besar ajang kecantikan dunia Miss Universe, turut membawa Frederika Alexis Cull menjadi perhatian bagi sejumlah orang. Bagaimanapun, Indonesia secara tidak langsung mencetak prestasinya dalam ajang kecantikan—bagi perempuan— dunia yang sarat dengan simbol-simbol yang dianggap sebagai bagian dari standar kecantikan. Namanya juga kontes kecantikan, dimana secara sederhana, masyarakat awam banyak memaknai ini sebagai sebuah ajang yang menampilkan kecantikan, kemolekan, kecerdasan, perilaku baik, maupun kemampuan khusus para pesertanya, dalam rangkaian kapabilitas yang dimiliki oleh perempuan. Namun demikian, apakah standar kecantikan di masyarakat juga bersifat menyeluruh semacam itu, ataukah justru memberikan kesan yang kompleks? 16



Esai ini terinspirasi dari riset yang dimuat dalam artikel ilmiah berjudul “Perempuan dan Kontes Kecantikan” yang dimuat di Jurnal Komunikasi Islam An-Nida Vol. 10 No. 2 Tahun 2018 dan “Persepsi Komunitas Solo Hijabers Mengenai Konstruksi Citra Perempuan dalam Kontes Kecantikan” yang dimuat dalam Jurnal Aristo Vol. 8 No. 2 Tahun 2020. 114



Mengenai kontes kecantikan, baik dalam ranah nasional maupun internasional, keberadaan Frederika Alexis Cull, gadis kelahiran Gold Coast, Queensland, Australia ini, pada akhirnya dinobatkan sebagai pemenang utama dalam ajang Puteri Indonesia tahun 2019 lalu. Selanjutnya, ia menjadi perwakilan dari Indonesia untuk maju pada ajang Miss Universe 2019 yang digelar di Atlanta, Amerika Serikat. Sebelum Cull, kita dapati beberapa pendahulu Puteri Indonesia yang turut maju ke ajang Miss Universe, seperti Artika Sari Devi Kusmayadi (2004), Nadine Chandrawinata (2005), Whulandary Herman (2012-2013), Bunga Jelita Ibrani (2017), maupun Sonia Fergina Citra (2018) sebagai perwakilan Indonesia tepat sebelum Cull. Tahta Puteri Indonesia selanjutnya diraih oleh Raden Roro Ayu Maulida Putri (2020) dan merupakan perwakilan dari Provinsi Jawa Timur. Paling tidak, Cull mampu menjadi finalis dan mengikuti gelaran Miss Universe 2019, sebelum perhatian masyarakat Indonesia berpaling kepada kasus pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Lantas, mengapa harus kontes kecantikan? Hal ini tentu menjadi menarik karena adanya batasan yang bisa jadi berbeda pada setiap wilayah. Apakah cantik harus identik berkulit putih, bersih, langsing, dan memiliki rambut panjang? Apakah cantik juga merujuk pada kepandaian dan standar kecerdasan? Jika kemudian bertemu dengan perempuan yang memiliki kulit kurang putih, kurang bersih, dan cenderung gemuk, apakah ini 115



dinyatakan sebagai penyimpangan dan bias terhadap standar kecantikan? Brain, beauty, and behaviour. Slogan ini mungkin saja kita dengar pada beberapa ajang kecantikan yang mana menetapkan bahwa standar secara fisik pada dasarnya juga harus dipadukan dengan kemampuan lainnya. Bagaimana penyesuaian antara kecerdasan, kecantikan, dan perilaku, agaknya masih cukup dipegang oleh masyarakat untuk mengukur bagaimana perempuan masa kini tampil guna dipandang cantik. Namun demikian, esensi mengenai cantik lebih luas dan tidak sesederhana itu. Cantik tidak sekadar atribut dan penampilan fisik. Meski kemudian, ketika dikaitkan dengan kecerdasan, apa yang selanjutnya menjadi batasan bagi standar kecerdasan dan perilaku seorang perempuan, ini juga harus turut dipikirkan. Melihat perempuan dalam standar kecantikan yang dilombakan, pada akhirnya memberikan pertanyaan besar, apakah kemudian si pemenang akan dianggap sebagai perempuan yang paling sempurna kecantikannya, dalam takaran paling cerdas serta paling baik tingkah lakunya? Meski sekilas, ajang semacam ini bisa jadi penting untuk memberikan gambaran dan refleksi bahwa perempuan mampu memiliki potensi tertentu yang harus diperlihatkan kepada masyarakat banyak. Namun, positioning-nya adalah sejumlah kontes kecantikan tersebut bekerja dalam tataran bingkai media, kemasan media, dan konstruksi media. 116



Mengenai apa yang diperlihatkan, tentu akan dikemas sedemikian rupa agar menampilkan realitas yang terkesan nyata bagi masyarakat maupun audiens yang menontonnya. Sekali lagi, terkesan nyata. Citra Cantik Makna cantik dalam balutan konsep kecantikan pada dasarnya tidak terlepas dari perkembangan media. Bagaimana perkembangan media turut menjadi “sokongan” yang mengkonstruksi citra sekaligus pemaknaan terhadap makna cantik yang diyakini di dalam masyarakat. Terlebih, muncul istilah yang mengisyaratkan mengenai aspek kebutuhan ekonomi dalam media. Wolf (2002) turut mengidentifikasikan adanya tingkat ekonomi konsumen yang terhubung secara paralel dengan perkembangan media dan konsep kecantikan yang diyakini, sehingga ketika berbicara mengenai pemaknaan terhadap tubuh, pada dasarnya tidak dinyatakan hanya sebagai komoditi tunggal, melainkan membentuk metakomoditi yang sifatnya lebih kompleks. Atas dasar inilah, konsep cantik yang beredar di masyarakat sebenarnya muncul atas dasar persepsi sosial masyarakat yang tidak bersifat mutlak maupun universal. Mengenai kontes kecantikan misalnya, mengapa ini selanjutnya menjadi perhatian khusus dalam memaknai konsep kecantikan. Terlebih, memahami citra dan 117



penggambaran cantik dalam setiap batasan, seolah wajah dan standar fisik menjadi suatu keharusan untuk dapat dikatakan sebagai istilah cantik secara sempurna. Di sisi lain, ketika menyadari bahwa tubuh adalah bentuk metakomoditi, tanpa terlepas dengan aspek lain berupa kuasa dan modal, segala bentuk apapun mengenai tayangan dalam media mengarahkan metakomoditi atas penggambaran tubuh perempuan pada arah yang lebih ekstrem, sekaligus tersirat terhadap tujuan eksploitasi dalam kemasan komodifikasi (Sukmono, 2012). Sebut saja salah satunya, pandangan tentang whiteness. Tubuh perempuan diyakini sebagai tubuh yang cantik apabila memiliki kulit yang putih, mulus, kencang, dan berlekuk langsing sempurna, tidak gemuk, ataupun tidak terlalu kurus. Bahkan, perempuan dengan bibir sensual juga dinyatakan sempurna (Windasari, Pratiwi, & Yusriana, 2017). Citra dan penggambaran inilah yang lebih jauh memunculkan ideologi dan batasan cantik tentang perempuan di masyarakat. Tetapi, ideologi ini pula yang sekaligus turut menegaskan kritik tentang konsep whiteness, yang diartikulasikan sebagai gagasan kecantikan atas perempuan (Saraswati, 2017). Standar kecerdasan, kecantikan, dan tingkah laku yang baik seolah menjadi ukuran paten untuk meyakini bahwa seorang perempuan dikatakan cantik sepenuhnya. Padahal, baik dalam konteks kecerdasan seperti apa, 118



apakah kuantitatif dari nilai IQ yang diperoleh; kecantikan yang harus lengkap dengan klaim putih, langsing, dan bersih; sampai pada perilaku baik dalam kriteria sopan santun serta lemah lembut saat berbicara. Bagaimana perempuan direpresentasikan melalui kontes kecantikan dalam bingkai media, tak ubahnya kembali mengingatkan pandangan kita mengenai klasifikasi citra perempuan yang dimunculkan melalui iklan dalam majalah Femina, Kartini, dan Pertiwi (1986-1990) menurut Tamrin Amal Tomagola. Adanya citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, maupun citra pergaulan, secara sederhana mampu menjelaskan tentang mengapa bangunan citra atas presentasi sosok perempuan sebenarnya berangkat dari persepsi sosial terhadap perempuan. Hal inilah yang menciptakan perspektif dan keyakinan sosial dari masyarakat atas pemaknaan terhadap citra bagi perempuan, beserta standar yang mengikutinya. Cantik: Citra atau Identitas? Menjadi cantik, apakah ini sebatas gambaran ataukah wujud identitas bagi seorang perempuan. Memaknai citra perempuan secara sosial tidak akan terlepas dari pandangan masyarakat. Jika kemudian ada istilah bahwa persepsi sosial secara tidak langsung menjadi sebuah kesepakatan bersama, hal inilah yang mungkin diamini menjadi standar ataupun ukuran dalam memaknai sesuatu. Bagaimanapun, 119



makna pesan komunikasi pada dasarnya merujuk pada kesepakatan. Dengan demikian, dalam konsep cantik pun, bisa jadi standar yang dimaktubkan juga merupakan kesepakatan. Mengapa perempuan harus lemah lembut? Mengapa pula perempuan harus memiliki sifat keibuan dan bahkan harus identik dengan wilayah “dapur” serta segala permasalahan domestik? Bukan bermakna menolak bahwa perempuan tidak bersifat keibuan ataupun lemah lembut. Bukan pula mengartikan perempuan tidak diperkenankan untuk pandai memasak dan bertanggungjawab dengan urusan bersih-bersih rumah. Namun, bagaimana jika dinyatakan melalui negasi pertanyaan, apakah laki-laki tidak boleh pandai memasak? Mengapa laki-laki tidak boleh bersikap lemah lembut? Apakah akan muncul sederet pertanyaan mengapa laki-laki dipandang tabu jika menangis tersedu? Sadar atau tidak, bentukan ini diyakini dan dikonstruksi melalui persepsi sosial masyarakat yang bisa jadi merupakan bagian dari identitas kultural yang ada di sekitar mereka dan kita. Tampilan mengenai peran dan fungsi perempuan di masyarakat selanjutnya mampu digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara perubahan peran bagi perempuan. Merujuk pada tayangan kontes kecantikan, sisi empati dan kasih sayang para finalis Miss Universe dalam sejumlah kegiatan sosial yang dilakukan misalnya, 120



akan memberikan penggambaran bahwa perempuan harus mampu mengayomi dan menjadi pelindung. Selain mereka harus mampu berpemikiran ke depan, aktif dan peka terhadap permasalahan serta isu sosial, sekaligus kritis terhadap penindasan. Akhirnya, ranah kontes kecantikan ini seolah mampu mengkontruksi bahwa perempuan dapat berperan secara dominan di tengah masyarakat. Namun, apakah semuanya terlepas dari standar fisik yang ditampilkan? Paling tidak, sebelum membahas inner-beauty, kontes kecantikan tetap menggunakan standar outer-beauty melalui standar fisik sebagai filter pertama. Tetap mengharuskan berjalan ala modelling dengan gaun yang dipersiapkan, bahkan mengenakan bikini sebagai ukuran bahwa cantik adalah perkara luar dan dalam. Pada sisi yang berbeda, perkara perempuan dan kecantikan seolah menjadi senjata kapital dalam melakukan kamuflase bentuk perlakuan berbeda kepada perempuan secara halus. Menilik pada pemikiran Bourdieu mengenai kapital budaya, menyatakan bahwa kecantikan pada dasarnya mampu diupayakan, sekaligus menjadi tujuan bagi perempuan itu sendiri. Dalam beberapa contoh kontes kecantikan, seluruh peserta akan berpenampilan sesuai standar, menampilkan kecerdasan intelektual dan spiritual, serta tata perilaku yang baik. Tanpa mereka sadari, perempuan secara tidak langsung melakukan investasi 121



dengan mengusahakan beberapa hal untuk memenuhi konsep kecantikan yang diyakini. Di sisi lain, cantik dalam konsepnya sendiri cenderung mampu ditransformasikan ke dalam bentuk komoditi kapital—yakni uang dan ekonomi— sehingga, aspek batasan kecantikan bagi perempuan akan menjadikannya berada dalam status dan profesi yang lebih meyakinkan dan terjamin (Saraswati, 2017). Mengapa harus ada iklan tentang krim pemutih? Mengapa harus ada iklan pelembab wajah? Terlepas dari bahwa setiap wilayah dan negara memiliki standar cantik yang berbeda-beda, tetapi jelas iklan mengenai produk kecantikan cukup mampu menggiring opini masyarakat. Turut memberikan pengaruh, sekaligus membentuk persepsi tentang pentingnya citra cantik atas penawaran esensi dari kosmetik yang diiklankan, hingga munculnya hiperialitas sebagai anggapan ideal atas kecantikan. Padahal, di sisi yang berbeda, sejumlah kepentingan muncul dibalik hal tersebut. Apakah selanjutnya ekonomi politik media yang berbicara, ataukah sekadar bentuk komodifikasi yang dirasa wajar setiap harinya atas produk-produk yang ditampilkan melalui media. Sisi lain yang lebih menarik lagi, ketika keberadaan media baru dan media sosial turut menjadi alternatif platform media dalam mengemas serta menyiarkan iklan, yang mana ini berimbas terhadap kekuatan pesan iklan yang disampaikan, serta kecenderungan audiens yang tertimpa atau didapuk kekuatan iklan.



122



Menjelaskan dengan pernyataan yang lebih menohok, perempuan boleh jadi telah dihadapkan pada standar penampilan yang semakin tidak realistis (Jung & Forbes, 2007). Mereka dibenturkan pada adanya tekanan atas penampilan visual yang harus dicapai, lengkap dengan atribut-atribut yang melingkupinya, dan tidak jarang, perkara kompetensi seolah menjadi nomor dua dan seterusnya sehingga semakin melegalkan atas material yang dihadapi oleh perempuan guna mendobrak ukuran fisik yang secara tidak langsung mengikat dirinya. Meski demikian, hal ini tentu tidak dapat dikatakan universal. Tetapi, tetap ada perempuan yang juga berpikir bahwa kompetensi adalah hal utama dan lebih dari sekadar kecantikan. Bahkan, ada pula yang meletakkan standar ganda atas kecantikan dan kompetensi yang harus berjalan seimbang sehingga perempuan harus menjadi paket lengkap, semacam, percuma jika cantik tetapi tidak cerdas, bukan?



123



MADRASAH, PANDEMI, DAN PEMANFAATAN DIGITAL17 Muhammad Nur Kholis



Covid-19 mengubah banyak hal dalam tatanan kehidupan masyarakat. Bila sebelumnya saling menyapa, bertemu dan berdekatan dalam satu ruang, sekarang harus menjaga jarak dan memakai masker. Dulunya bisa bersilaturahim dari rumah ke rumah, sekarang tercipta ruang-ruang silaturahim virtual. Kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru yang harus dipatuhi oleh masyarakat untuk menjaga agar virus tak tersebar. Tidak hanya itu, Covid-19 juga mengubah pola pembelajaran dalam sekolah maupun madrasah. Semula guru begitu asyik bertatap muka, bercengkrama dengan siswa, bercanda dan menjalin komunikasi secara langsung,sehingga terbentuklah hubungan harmonis antara guru dan siswa dalam upaya transfer ilmu, norma dan nilai. Kini hanya ruang-ruang virtual memenuhi harihari siswa. Siswa dijejali dengan banyak pengetahuan baru minim akan norma dan nilai seperti sebelumnya. 17



Esai ini berasal dari laporan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat berjudul “Pendampingan Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Android Bagi Guru Madrasah Ibtidaiyah di MI Darussalaam Pucangan”, pengabdian dilakukan oleh tim (Imam Makruf, Ja’far Assegaf, Muhammad Nur Kholis) 124



Bagaimana dengan jenjang sekolah yang berbedabeda. Seperti SMA/MA, SMP/MTs dan SD/MI. Tentunya semakin tinggi jenjang siswa semakin kecil masalah yang muncul dilihat dari kedewasaanya. SMA usia anak hampir dewasa sudah bisa diajak berpikir dan mengatur waktu. SMP anak menginjak remaja yang sudah familiar dengan smartphone android dan konsentrasi sudah lumayan bagus. Bagaimana dengan jenjang SD atau MI? ini menjadi masalah tersendiri dimana anak SD/MI diharuskan menggunakan handphone untuk belajar secara daring dengan gurunya. Masalah tidak hanya datang dari anak yang belum bisa fokus saat belajar secara daring, tapi juga guru yang belum siap dengan menggunakan media maupun teknologi dalam pembelajaran. Selain itu, tidak semua orang tua anak mampu menyiapkan fasilitas smartphone dan kuota untuk pembelajaran, karena masih banyak ditemukan orang tua siswa yang belum mempunyai smartphone karena keterbatasan ekonomi. Kendati itu juga, seorang guru juga perlu mengupdate pengetahuan dan keterampilannya dalam menggunakan media modern berbasis teknologi. Salah satu madrasah berjenjang MI yang letaknya tak jauh dari kampus IAIN Surakarta juga menghadapi masalah yang sama dalam pembelajaran. Anak usia 7-13 tahun dimana belajar dan bermain dengan teman sebaya merupakan kegiatan utama yang seharusnya ada, tetapi karena pandemi digantikan dengan ruang-ruang maya.



125



Kebijakan BDR (Belajar Dari Rumah) di madrasah tersebut tidak serta-merta bisa dilakukan secara menyeluruh. Masih banyak yang belum siap. Guru yang belum terbiasa membuat materi digital dan belum menemukan metode yang tepat untuk pembelajaran jarak jauh. Selain itu, masih susahnya mengatur siswa dalam ruang-ruang virtual. Terlebih lagi masalah sinyal dan kuota bahkan masih ada orang tua siswa yang tidak mempunyai handphone android. Pada taraf Lembaga seharusnya kebijakan tersebut menjadi perhatian pertama. Dimana,lembaga menjadi penyedia layanan bagi guru dan siswa untuk melaksanakan pembelajaran. Fasilitas internet merupakan yang paling dibutuhkan. Tetapi masih banyak madrasah yang belum menyediakan fasilitas tersebut. Dikarenakan, untuk menyediakan fasilitas kelas yang lengkap saja masih terengah-engah, gaji guru yang masih minim, dan banyak masalah lain. Sehingga, fasilitas internet seharusnya diselesaikan lewat tangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dalam proses pembelajaran, masih banyak guru yang belum menemukan langkah-langkah yang tepat untuk pembelajaran dengan siswa madrasah. Beberapa guru menggunakan media sosial yang biasa digunakan untuk komunikasi seperti whatsApp, telegram, facebook dan Instagram sebagai media pembelajaran utama. Kegiatan 126



diawali pembuka salam teks lalu share materi berbentuk word atau pdf, kemudian diakhiri dengan evaluasi menggunakan google form. Sebagian dilakukan secara singkronus tatap muka secara virtual dengan menggunkan aplikasi google meet atau zoom tapi tidak bisa berdurasi lama karena kuota yang terbatas, sinyal yang tidak stabil dan fasilitas lain yang belum memadai. Dari beberapa hal tersebut, dapat dilihat bahwa masih terpecahnya proses pembelajaran dengan menggunakan media yang beragam yang dilakukan oleh guru dalam satu waktu. Peralihan dari satu media ke media lain menjadikan siswa kurang fokus bahkan bisa jadi gagal fokus. Apalagi, anak usia 6-13 tahun masih belum mempunyai konsentrasi yang panjang. Paling lama maksimal 10 menit. Pertanyannya, apa saja bentuk materi yang dibutuhkan oleh siswa?Aplikasi apa yang bisa digunakan untuk mendesain materi tersebut dalam sebuah pembelajaran dari awal sampai akhir dalam satu halaman? Kebutuhan dan Ketercapaian Kondisi seperti ini perlu dilakukan analisis. Apa yang dibutuhkan dalam laman pembelajaran? Bentuknya apa saja? Media apa saja yang perlu digunakan untuk membuat proses pemalajaran sukses? Tentunya dalam sebuah laman pembelajaran membutuhkan materi dengan beragam bentuk. Seperti 127



teks, gambar, audio, dan video. Selain itu, media evaluasi juga diperlukan guna melihat sejauh mana keberhasilan pembelajaran siswa. Teks merupakan salah satu bentuk materi yang harus ada. Hampir semua materi ajar pada dasarnya adalah teks. Teks menjelaskan banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dalam bentuk lain. Seperti banyak simbol dalam rumus matematika, fisika, kimia yang harus dituliskan untuk menjaga orisinilitas dan meningkatkan pemahaman siswa. Gambar merupakan wujud ilustrasi dan tampilan dari sesuatu. Gambar dapat menjelaskan, memperkuat, memperindah dan mempertegas sebuah teks dan pelajaran. Selain itu gambar juga dapat menarik perhatian siswa. Bentuk materi gambar dapat digunakan sebagai salah satu variasi materi yang bisa memunculkan imaginasi dan menghilangkan rasa bosan siswa. Audio atau suara menjadi bentuk materi yang cukup penting apabila berkaitan dengan pembelajaran Bahasa. Bahasa yang berarti suara akan lebih bermakna apabila diajarkan dengan bentuk suara. Karena, suara akan lebih menjelaskan dari pada teks tanpa intonasi, penekanan dan jeda. Suara akan lebih menggambarkan konteks dan penekanan makna. Maka, materi berbentuk suara menjadi penting ada. Apalagi dalam pembelajaran Bahasa.



128



Video merupakan bentuk materi yang lengkap. Bisa disematkan teks, audio, gambar bahkan gerakan beserta suaranya. Video dapat menceritakan banyak hal dengan tampilan dan alur yang beragam. Video bisa menjadi salah satu media yang efektif dalam pembelajaran. Ada yang berupa demonstratif seperti video tutorial yang menjelaskan prosedur dan alur pembuatan sesuatu. Ada yang eksplanasi yang sifatnya hanya menjelaskan saja. Ada juga yang sifatnya persuasif untuk memengaruhi pendengar agar melakukan sesuatu. Berbagai macam fungsi video ini bisa digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Bisa berupa demonstrasi terhadap suatu materi ajar, bisa untuk menjelaskannya, atau bisa untuk memengaruhi siswa melakukan tindakan tertentu, seperti sikap saling membantu dan tolong menolong pada sesama. Bentuk materi tersebut tidak lengkap tanpa evaluasi. Materi tanpa evaluasi seperti pembelajaran tanpa target dan tujuan. Ketercapaian target dan tujuan hanya bisa diketahui dari sebuah evaluasi. Bentuk evaluasi bisa berupa subjektif atau objektif. Bentuk subjektif dapat dilihat dari pertanyaan yang membutuhkan jawaban pendapat maupun uraian. Sedangkan objektif merupakan bentuk pertanyaan yang jawabannya berupa pilihan. Media evaluasi ini bisa menggunakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh google yaitu google form.



129



Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah aplikasi apa yang bisa digunakan untuk mendesain bentukbentuk materi di atas, bagaimana cara mendesain bentukbentuk materi tersebut menjadi satu laman pembelajaran, dimana siswa dapat mengakses dan menggunkannya dalam pembelajaran? Dan bisakah siswa madrasah menggunakannya dalam pembelajaran dan seberapa efektifkah? Pemanfaatan Google Site Google Site merupakan aplikasi gratis dari google yang dapat digunakan untuk pembuatan website. Aplikasi ini dibekali dengan berbagai macam fasilitas, seperti teks, gambar, suara, video youtube, google form dan masih banyak lagi. Dengan proses pembuatan yang cukup mudah, membantu guru agar dapat membuat website pembelajaran dengan baik. Adapaun tahapan yang dilalui dalam pembuatan website melalui google site adalah sebagai berikut; Langkah 1: Login ke akun situs google; Langkah 2: Buat situs baru di halaman situs google; Langkah 3: Mulai mendesain situs web gratis di situs google; Langkah 4: Beri nama situs web; Langkah 5: Pilih tata letak untuk situs web; Langkah 6: Pilih gambar latar belakang, jenis header, dan tema, ubah gambar latar belakang, ubah jenis tajuk, ubah tema dan gaya font.; Langkah 7: Publikasikan/ 130



publikasikan agar website Anda dapat diakses secara global di internet. Setelah selesai mendesain dan ditahap akhir publish karya, link website sudah bisa didistribusikan kepada siswa. Desain pada setiap halaman dengan kelengkapan pada setiap halaman berupa teks, gambar, audio, video serta quiz. Salah satu keunggulannya adalah siswa dapat mengakses kapanpun materi yang ada di website dengan dilengkapai evaluasi berupa quiz yang dapat menscore secara otomatis. Website ini menjadi salah satu solusi dari masalah di madrasah yang tidak hanya menggunakan satu aplikasi dalam pembelajaran. Dengan ini, siswa dapat mempelajari materi baik itu teks, audio atau video dalam satu halaman. Selain itu juga langsung bisa mengerjakan pada latihan tersebut. Apakah web ini efektif dan efisien digunakan sebagai salah satu media pembelajaran di masa pandemi? Tentunya, media web ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah materi ajar dari berbagai bentuknya dapat dijadikan satu halaman. Halaman pada web tersebut dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Dan model pembelajarannya seharusnya asingkronus dimana siswa dan guru tidak bertemu secara langsung pada saat itu juga, sehingga pembelajaran bisa berlangsung satu hari penuh tanpa batasan waktu. Sedangkan kekurangannya 131



adalah system pembelajaran yang asingkronus dimana guru dan siswa tidak bertemu langsung menyebabkan penundaan jawaban dan feedback atas permasalahan yang muncul saat pembelajaran. Sehingga, menyebabkan kurang terpenuhinya hasrat kaingintahuan siswa terhadap suatu materi saat itu juga. Dan apabila jawaban cenderung lama, informasi tersebut menjadi tertinggal dan tidak penting lagi. Pelatihan pembuatan website pembelajaran dengan menggunakan google site kepada para guru madrasah merupakan upaya untuk mendekatkan guru agar bisa berliterasi digital. Dimana para guru madrasah dapat menggunakan teknologi yang ada untuk membantu proses pembelajaran. Apalagi saat pandemi Covid-19 tuntutan penggunaan teknologi dalam pembelajaran menjadi tak terbantahkan. Semua guru baik muda maupun tua terpaksa dan dipaksa harus melek teknologi. Karena, satu-satunya cara pembelajaran yang aman sesuai dengan ketentuan pemerintah adalah dengan memanfaatkan teknologi internet.



132



Ekonomi, Regulasi, Dan Transformasi



KEARIFAN POLITIK LABEL HALAL18 M. Zainal Anwar



DALAM dua tahun terakhir, ada yang menarik jika kita cermati pemasangan label halal dalam produk yang ada di supermarket. Pemasangan label halal dalam produk makanan atau minuman tentu itu sudah hal biasa. Lalu apa yang tidak biasa? Sejauh pengamatan penulis, yang baru adalah pemasangan label halal pada produk non-makanan dan minuman seperti produk elektronik, tisu, hingga alatalat memasak. Hal ini jelas tidak penulis temukan beberapa tahun silam. Sebagai contoh, alat memasak branded yang saat ini beredar di supermarket rata-rata sudah memasang label halal. Bandingkan saja dengan alat memasak nenek kita pada 10 tahun silam. Tak ada label halal di wajan atau panci. Tetapi sekarang, label halal sudah merambah ke berbagai produk non-makanan dan minuman seperti kulkas, tisu, hingga mesin cuci. Pertanyaan tentang mengapa label halal terpasang pada berbagai produk non-makanan dan minuman, 18



Esai ini berasal dari laporan penelitian berjudul “Respons Generasi Muda Muslim Milenial Terhadap Label Halal Produk Non Makanan dan Minuman: Pengalaman dari Solo Raya.” Penelitian ini berasal dari dana BOPTN tahun 2018. 134



maka hal ini bisa ditelusuri dari munculnya regulasi No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Merujuk aturan ini, semua produk yang masuk dan beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal tanpa terkecuali. Dengan begitu, semua produk di Indonesia baik berupa makanan maupun non-makanan harus menempelkan label halal. Adanya label halal ini tentu menambah marak branding Islam/syariah yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya, adanya perumahan syariah, hotel syariah dan sebagainya. Lalu, apakah perluasan label halal ini menjadi penanda baru atau penguat ekspresi kesalehan seorang muslim? Atau, menunjukkan semakin kentalnya intervensi Negara dalam tata kehidupan keagamaan? Kenyataan demikian mengingatkan penulis pada pendapat Fischer (2008) yang menyebut fenomena ini dengan halalization dimana terjadi perluasan label halal pada produk yang dikonsumsi oleh masyarakat muslim. Sedikit berbeda dengan Alserhan (2010) yang mencermatinya sebagai strategi Islamic branding guna menyasar konsumen muslim dan memperkuat pasar Islam hingga pada level global. Antara Intervensi Negara dan Keuntungan Ekonomi? Penulis melihat fakta di atas menunjukkan adanya dua hal. Pertama, memperkokoh posisi Negara terhadap agama. Label halal yang disertifikasi pemerintah adalah 135



bukti kongkrit yang menunjukkan semakin kuatnya negara mengintervensi tata kehidupan keagamaan seseorang. Intervensi ini tercermin dari ikut sertanya negara memastikan bahwa produk yang beredar di Indonesia dan dikonsumsi masyarakat benar-benar halal. Mengapa Negara hadir untuk memastikan label halal dalam suatu produk? Sejatinya, soal halal tidaknya suatu produk adalah tanggungjawab produsen atau pengusaha. Kebutuhan akan objektifikasi penentuan halal atau tidak inilah yang kemudian “mewajibkan” Negara hadir. Tetapi tidak semua pengusaha atau produsen bersedia meminta label halal untuk produknya. Industri skala besar biasanya mengikuti prosedur dari pemerintah untuk mendapatkan label halal. Bisa jadi, diantara yang tidak (mau) meminta label halal ke Negara adalah industri skala kecil. Kita bisa melihat adanya “perlawanan” label halal pada warung kaki lima. Misalnya, warung-warung makan kaki lima memasang label halal sendiri. Terkadang, kita menemukan pula produk industri rumah tangga skala kecil yang memasang logo halal dalam produk yang dibuatnya. Kedua, pemasangan label halal pada produk nonmakanan dan minuman lebih pada upaya memberi nilai tambah pada produk. Ujungnya, sebenarnya untuk kepentingan ekonomi. Ketika melakukan riset terkait label halal, penulis memperoleh pandangan bahwa label 136



halal lebih pada ikhtiar pengusaha agar produknya mendapat legitimasi pemegang otoritas agama dalam hal ini adalah Kementerian Agama. Dengan komposisi struktur masyarakat yang mayoritas muslim, adanya label halal dianggap cara ampuh untuk meyakinkan para calon pembeli. Dari sisi ini, kita melihat ada kontestasi diantara para penjual. Di pasar, produk panci misalnya ada yang sudah memasang label halal dan ada pula yang tidak atau belum memasang. Yang terjadi di benak calon pembeli adalah persepsi bahwa ini ada produk yang tersertifikasi halal dan lainnya tidak ada. Maka, terjadilah pertarungan persepsi antara para calon pembeli. Pemantiknya tidak lain ialah ada dan tiadanya label halal. Dalam kacamata ekonomi, label halal ini menjadi nilai tambah untuk menarik konsumen agar mau membeli atau mengkonsumsi produk yang ditawarkan dan mengabaikan produk lain sejenis yang tidak ada nilai tambah. Dari perspektif negara, label halal tidak sekadar bagian dari kewajiban agama untuk mengkonsumsi semua hal yang halal. Tetapi memiliki dimensi ekonomi untuk memperkuat label atau branding produk. Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa salah satu tujuan pemasangan label halal pada produk adalah ikhtiar agar ada nilai tambah dalam produk yang dijual sekaligus menjadi penanda baru bahwa produknya bisa dikonsumsi 137



terutama konsumen muslim. Nilai tambah ini bisa beragam maknanya mulai dari menjadi penanda kesalehan, hingga keunggulan karena sudah terpasang sertifikasi halal. “Kesalehan Baru”? Penulis menangkap geliat adanya “kesalehan baru” ini dari hasil observasi dan wawancara kepada para generasi milenial muslim. Beberapa dari mereka tergerak untuk membeli produk non-makanan dan minuman dengan label halal agar terlihat saleh (piety), meskipun pada kenyataannya harga produk tersebut tidak terhitung murah bagi, dan sekaligus tidak ramah dengan kondisi keuangan anak muda yang lintasan uangnya masih labil. Bisa dikatakan, kemunculan label halal pada produk bukan makanan dan minuman bisa dianggap sebagai bentuk identitas baru di dunia industri yang terjadi perluasan kesalehan untuk dipromosikan oleh para produsen kepada konsumen terutama pada konsumen muslim. Beberapa produk yang dipasarkan menciptakan relasi kuasa sebab adanya label halal menjadi penanda kuasa baru terhadap calon konsumen. Yang pasti, label halal pada produk bukan makanan dan minuman menjadi penanda kelahiran generasi baru, yakni kelompok konsumen yang menjadikan halal menjadi penanda identitas baru. Membeli barang pada akhirnya adalah keputusan-keputusan politis tidak sekadar bermotif kebutuhan, tetapi ada hal lain yang menjadi pertimbangan, salah satunya adalah label halal yang dikeluarkan Negara. 138



Dengan kata lain, mengkonsumsi label halal adalah bagian dari cara generasi muda muslim milenial menunjukkan ekspresi kesalehan. Walaupun ada yang mengatakan, bahwa ini perlu ditinjau ulang karena dianggap bagian dari politisasi agama dengan memasang label halal pada produk non-makanan dan minuman di mana ajaran agama sendiri tidak terlalu jauh masuk kesana. Penulis pun teringat dengan pendapat akademisi Rudnyckyj yang mengatakan bahwa fenomena label halal pada produk bukan makanan dan minuman adalah gejala pertemuan kapitaslime dengan praktek keagamaan dalam konteks kekinian. Label halal menjadi salah satu pembeda antara satu produk dengan yang lain. Produk bukan makanan dan minuman berlabel halal akan memiliki distingsi dan menjadi faktor penarik bagi anak muda muslim milenial yang, pada saat yang sama ingin menunjukkan identitas Islam-nya. Era kebangkitan halal yang ditandai dengan regulasi jaminan produk halal ini bertemu dengan makin meningkatnya keinginan masyarakat muslim mengkonsumsi produk halal bahkan pada produk nonmakanan dan minuman. Kalangan industri menemukan cara untuk memperkuat branding produknya dengan menambahkan label halal, sehingga, mengokohkan dan memperkuat produknya terutama di kalangan pasar masyarakat muslim dan generasi muda muslim milenial.



139



SAMPAH: DARI TAK BERHARGA MENJADI HARTA19 Khairul Imam



Sampah telah menjadi masalah pelik yang dihadapi oleh banyak kota di Indonesia. Kota-kota besar yang populasi penduduknya padat menghasilkan sampah dalam volume yang cukup tinggi. Sebenarnya, masalah sampah timbul seiring dengan bertambahnya jumlah produk dan pola konsumsi masyarakat yang tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga banyak sampah yang tidak ditangani dengan maksimal. Selain itu, masyarakat masih banyak yang belum mengetahui bagaimana mengelola dan memanfaatkan sampah. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pada 2019 produksi sampah rumah tangga di Kabupaten Purworejo juga mengalami peningkatan mencapai 237 ton per hari. Dari jumlah tersebut baru sekitar 196 ton sampah terangkut per hari ke Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA). Produksi sampah tersebut diprediksikan terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Sumber sampah tersebut berasal dari pasar, perumahan, 19



Esai ini berasal dari laporan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta. 140



perkantoran, instansi pendidikan, pondok pesantren, dan lain-lain. Selama ini, pengelolaan sampah masih dilakukan secara tradisional, yakni dengan penumpukan atau penimbunan dan pembakaran sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Pondok pesantren (yang memiliki santri ribuan) merupakan salah satu pemasok sampah yang cukup besar. Faktanya, banyak kondisi lingkungan dan pengelolaan sampahnya sebagian besar masih memprihatinkan. Belum banyak pondok pesantren yang memiliki lokasi pengelolaan sampah secara mandiri. Itupun belum dilakukan secara maksimal. Sebagai tempat pendidikan generasi bangsa, kondisi ini dapat mengurangi tingkat kenyamanan yang berimbas pada output pondok pesantren tersebut. Jika masalah sampah ini tidak segera diatasi, tentunya berdampak negatif terhadap kesehatan, lingkungan, dan kehidupan sosial santri. Dalam hal kesehatan, sampah yang tidak terkontrol berpotensi menimbulkan berbagai macam penyakit seperti diare, kolera, tifus, demam berdarah (haemorhagic fever), jamur kulit, cacing pita, dan lain sebagainya. Lingkungan juga akan rusak, dikarenakan cairan (rembesan) sampah yang masuk kedalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Dua dampak tersebut berimbas pada 141



perilaku sosial masyarakat. Jika sampah yang berasal dari pondok pesantren dapat dikelola dengan baik, maka lingkungan menjadi bersih dan kondisi lingkungan menjadi lebih baik serta kesehatan para santri juga terjamin. Selain itu, para santri juga mendapatkan keterampilan, wawasan dan mental yang sehatserta pendapatan ekonomi yang baik melalui pengelolaan sampah yang benar. Maka itu, melalui kegiatan ini, diharapkan para santri mampu memroses pengelolaan dan pengolahan sampah organik pada pondok pesantren agar dapat menghasilkan nilai ekonomis.Selain itu, akan meningkatkan kepedulian santri pondok pesantren akan pentingnya hidup bersih dengan pengelolan sampah yang baik. Pasca pendampingan, santri diharapkan dapat mengkonversi (reuse&recycle) sampah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat seperti pupuk kompos, pupuk cair dan bio gas serta sebagai upaya membantu menanggulangi masalah sampah khususnya di pondok pesantren secara sistematis. Selanjutnya, melatih santri pondok pesantren dalam berwirausaha dan mengembangkan hasil pengelolaan sampah organik. Sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang kelingkungan. Sampah yang dapat membusuk 142



(garbage), menghendaki pengelolaan yang cepat. Gasgas yang dihasilkan dari pembusukan sampah berupa gas metan dan H2S yang bersifat racun bagi tubuh. Sampah yang tidak dapat membusuk (refuse), terdiri dari sampah plastik, logam, gelas karet dan lain-lain. Sampah berupa debu/abu sisa hasil pembakaran bahan bakar atau sampah. Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, yakni sampah B3 adalah sampah yang sifatnya, jumlahnya, konsentrasinya atau karena sifat kimia, fisika dan mikrobiologinya dapat meningkatkan mortalitas dan mobilitas secara bermakna, atau menyebabkan penyakit reversible, atau berpotensi irreversible atau sakit berat pulih. Sampah yang menumpuk dan tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan bahaya, baik pada masa kini maupun akan datang terhadap kesehatan dan lingkungan. Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan nonhayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang. Sebagian besar anorganik tidak dapat 143



diurai oleh alam/ mikroorganisme secara keseluruhan (unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan kaleng. Menurut Gelbert dkk, ada tiga dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan, yaitu dampak terhadap kesehatan, dampak terhadap lingkungan, dan dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi. Pengelolaan sampah 3R secara umum adalah, Reuse (menggunakan kembali) yaitu penggunaan kembali sampah secara langsung,baik untuk yang berfungsi sama maupun fungsi lain; Reduce (mengurangi) yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah; Recycle (mendaur ulang) yaitu memanfaatkan kembali sampah setelah mengalami proses pengolahan. Adapun mengelola sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan dalam menangani sampah sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Secara garis besar, proses mengelola sampah dimulai dengan penimbunan sampah (solid waste generated), penanganan di tempat (on site handling), pengumpulan (collecting), pengangkutan (transfer and transport), dan pengolahan (treatment). Bergantung dari jenis dan komposisinya, menurut Apriadji (204) berbagai alternatif yang tersedia dalam pengolahan sampah, di antaranya adalah transformasi fisik, meliputi pemisahan komponen sampah (shorting) 144



dan pemadatan (compacting), yang tujuannya adalah mempermudah penyimpanan dan pengangkutan. Selanjutnya pembakaran (incinerate), yang dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Selain itu, teknik pembuatan kompos (composting) dan energy recovery, yaitu tranformasi sampah menjadi energi, baik energi panas maupun energi listrik. Langka akhir mengolah sampah adalah pembuangan akhir. Pelatihan Pengelolaan Sampah Organik. Bentuk kegiatan pada tahap pertama berupa pelatihan yang akan diikuti oleh perwakilan santri Pondok Pesantren se-Kabupaten Purworejo. Pelatihan ini akan diadakan dalam waktu 2 (dua) hari meliputi wacana lingkungan hidup, masalah sampah dan dampaknya, pengelolaan dan pemanfaatan sampah organik, pembekalan wirausaha sampah organik, dan praktik pembuatan sampah organik. Tahap kedua adalah kegiatan lanjutan dari tahap pertama. Tim pengabdian dosen FEBI IAIN Surakarta terjun ke lapangan guna melakukan pendampingan dan pengawasan serta memastikan kelancaran proyek pengelolaan sampah organik di pondok pesantren. Pendampingan ini dilakukan mulai dari proses pengelolaan sampah hingga pemanfaatanya atau pemasarannya. Waktu yang dibutuhkan dalam pendampingan tersebut sekitar 4 145



(empat) bulan. Jika tahap-tahap di atas dapat dipahami dan terjalani, maka pondok pesantren dan lingkungan sekitar dapat merasakan kenyamanan dan kesehatan yang lebih baik. Dengan demikian, udara dan kehidupan akan menjadi segar dan sehat.



146



MERAWAT KAMPUNG, MERAWAT (INGATAN) SEJARAH Latif Kusairi



Setiap kampung selalu menghadirkan romantisme atas perjalanannya. Romanatisme karena hal tersebut merupakan ejawantahan dari perjalanan sejarah yang bersifat mikro. Kampung sejatinya mendapatkan momentum atas ingatan masa lalu yang indah bagi penghuninya. Baik penghuni kampung yang masih berdomisili disitu ataupun sudah menjadi urban yang sukses di tempat baru. Mereka selalu mengingat dan ingin menceritakan kepada generasi penerusnya tentang masa lalunya yang indah dan penuh perjuangan. Bahkan ada adagium ‘Ayo Bali Kampung’ sebagai warisan sejarah yang tidak terbantahkan atas apa yang terjadi dalam sebuah kampung itu. Sejarawan Robby Peters mengistilahkan bahwa kampung adalah ajang bertemunya penghuni dengan romantisme kesejarahaan yang dihidupinya. Para urbanis juga sama halnya, mereka hanya menjauh dari kampung halaman, meninggalkan sanak saudara, tetangga, teman sejawat, dan segala pernak-pernik lingkungan masa kecilnya, dan pulang kampung akan membawa kenangan kepahlawanannya yang akan diceritakan dengan indah pada generasi penerusnya. Oleh karenannya, masih menurut 147



Robby, kampung adalah titik awal untuk mengabarkan kepada orang lain akan jati diri sebagai kampung yang tercirikan. Dengan kata lain, bahwa kampunglah yang mengingatkan kita terhadap masa lalu. Begitu juga apa yang terjadi dalam sebuah kampung-kampung di Indonesia. Ada istilah setidaknya detak kampung pasti mempunyai penciri-nya dari yang lain. Seperti kampung Batik Kauman dan Laweyan, Kampung gamelan di Kemlayan, Kampung, kampung wisata air di Tlatar (umbul Tlatar), dan kampung susu di Boyolali. Konsep Ecohistory Seiring berkembangnya waktu, banyak kampung kemudian berbenah mengabarkan romantisme kampung kepada khalayak ramai. Menonjolkan diri produk dan juga sejarahnya sebagai sesuatu yang bisa dijual kepada masyarakat. Melalui stakeholder yang ada, masyarakat kampung mulai menata, supayakampungnya bisa dikenal dengan keunggulannya. Oleh karenanya, boleh jadi kampung inilah yang menjadikan narasi masa lalu hadir bersama untuk bisa dijadikan tonggak unen-unen sejarah. Maka dari itu, ecohistory kampung mendepankan semangat ingatan masa lalu atas pewarisan sejarah yang coba dihadirkan dalam bentuk romantismenya, yang nantinya akan diikuti adanya wisata kampung yang berpotensi melejitkan prekonomian kampung itu.



148



Ambil contoh wilayah Kampung Laweyan Kota Surakarta. Kampung ini sangat lekat nilai historisnya, mengingat pergerakan Sarekat Dagang Islam lahir dengan Haji Samanhoedi sebagai pelopornya. Selain itu, kampung ini juga terbentuk karena adanya perdagangan batik. Di kampung Laweyan, batik menjadi barang mahal dan diproduksi secara masal. Oleh karenanya, kampung ini sangat bergeliat. Begitu juga ketika masa pergerakan, kampung batik Laweyan sebagai titik temu antara berbagai lapisan, dari pedagang hingga para aktivis politik datang berbicara perihal perbatikan. Pun juga, ketika pertemuan itu menghasilkan darah-darah pembahasan sekitar pergerakan dan ekonomi. Sehingga memunculkan tokoh Syarikat Dagang Islam yaitu KH Samanhudi. Hingga kini, kampung Laweyan sangat lekat dengan ritus sejarah Samanhoedi sebagai pengingat perjalanan sejarah. Begitu juga dengan letak makam pahlawan nasioanal ini (Samanhoedi), dan kaitannya dengan kondisi sosial politik di kompleks makam Laweyan (Randy Kahisma, 2013). Sekarang, kampung Laweyan menjadi destinasi wilayah kampung Pergerakan yang memadukan antara Kampung Sarekat Dagang Islam (SDI) dengan kampung batik. Maka itu, kampung selalu jadi penubuh memori masa lalu.



149



Kampung sebagai Remembering Narasi dan pembuatan ecohistory kampung ibarat menuliskan sejarah mikro dalam lingkup wilayah yang kecil. Bila sejarah merupakan narasi yang dihasilkan dengan metode-metode tertentu yang relatif baku, memori yang di dalamnya terkandung pengingatan (remembering) dan pelupaan (forgetting)sekaligus merupakan narasi masa lalu yang bersandar pada pengalaman langsung atau tak langsung (baca: hasil dari pewarisan dari generasi sebelumnya), atau hasil dari rekayasa yang ditanamkan (imbricated) pada suatu generasi dan kemudian diwariskan (postmemory), atau hasil seleksi ingatan yang bertolak dari sudut pandang kekinian dan terartikulasikan dalam beragam cara/bentuk (Budiawan, 2014). Dalam banyak kasus, terutama yang menyangkut peristiwa-peristiwa perjuangan, misal yang meninggalkan torehan-torehan trauma kolektif, narasi masa lalu yang tak terwadahi dalam sejarah terartikulasikan dalam berbagai bentuk memori. Di sini, memori menjadi semacam alternatif terhadap “keterbatasan” sejarah. Karena itu, sejarah pun kadang dikenali sebagai memori, namun memori yang telah dihistorisasikan (historicized memory). Persis pada persilangan antara sejarah dan memori inilah berbagai faktor yang kompleks tetapi tidak lepas dari perkara tarik-ulur dan relasi kuasa beroperasi.



150



Dengan kata lain, periode masa lalu melahirkan postulat-postulat yang ada dalam benak masyarakat. Masyarakat bisa mengingat memori masa lalu dan menjadi penanda terhadap kampung tersebut. Hal ini menerangkan sejarah baru, saat penghuninya berbicara tentang rangkaian, keterbagian, batasan-batasan, perbedaan dan pergeseran perubahan kampung. Dari kampung, penciri ini melahirkan nilai-nilai yang lambat laun akan menghidupkan kampung dari sisi ekonomi dan nilai sosial yang ada. Sejarah inilah yang nantinya membuat nasionalisme kampung menjadi hidup dan semarak. Ecohistory juga memotret bagaimana masa lalu yang ada dalam benak masyarakat kecil, di wilayah kampung yang, kadang tidak terwadahi dalam narasi besar penulisan sejarah akan menjadi semacam pengingat. Bahwa kampung punya narasi sejarah, yang dihadirkan dalam kesenyapan masyarakatnya dengan berbagai cara. Bisa jadi lewat penciri produk ekonomi dari kampung tersebut, bisa lewat relief yang dibuat masyarakatnya, bisa lewat gambar/graffiti di tembok-tembok kampung, ataupun dengan penciri lainnya. Hal ini nantinya yang menjadi pengingat bahwa suatu kampung punya nilai historis dan bisa menggambarkan sejarahnya sendiri. Kampung Laweyan bisa saja dihadirkan sebagai pengingat sejarah masalalu. Dengan menggandeng para stake-holder, para pelancong bisa diajak untuk keliling 151



untuk berwisata ke kampung ini. Wisata tersebut meliputi bagaimana sisi-sisi perjuangan Samanhoedi dan munculnya gairah batik di Laweyan. Kesadaran ini, nantinya, memunculkan semangat untuk menjelaskan kepada turis/ pelancong lewat para pemuda, tukang becak, pedagang yang tergabung dalam Pokdarwis untuk menjelaskan kampung Laweyan sebagai Kampung Sejarah. Selain itu, adanya Laweyan sebagai kampung batik juga menjadi magnet sendiri bagaimana berwisata sejarah juga memperkenalkan batik-batik yang ada di Laweyan. Artinya, sambil memperkenalkan sejarah, pengunjung juga diajak melihat batik-batik di Kampung Laweyan, yang nantinya gairah perdagangan batik lambat laun juga semakin ramai. Sehingga, konsep Ecohistory yang memadukan wisata sejarah dengan melahirkan pundipundi ekonomi dalam masyarakatnya. Apabila hal tersebut bisa digarap secara serius, di setiap kampung ada gairah tersendiri sebagai ikon wisata sejarah yang nantinya akan berefek pada sisi ekonomi para penghuninya, dan kampung-kampung tersebut juga bisa berbicara akan sejarahnya yang selama ini jarang diketauhi oleh masyarakat luas. Selaras dengan yang dikatakan Abidin Kusno (2012), bahwa konsep sejarah kampung menjadi monumen pengingat yang mengingatkan kita akan wilayah tersebut.



152



MURABAHAH DAN SOLUSI PEMBIAYAAN RAMAH PANDEMI20 Fathurrohman Husen



Masyarakat saat ini dimudahkan untuk mendapatkan barang konsumtif yang diinginkan. Sebut saja mobil sebagai kebutuhan yang tidak lagi menjadi sesuatu yang ‘wah’ ketika memilikinya. Banyaknya pihak penyedia pembiayaan yang menawarkan fasilitas untuk membantu terpenuhinya kebutuhan konsumtif tersebut menjadi faktor meningkatnya masyarakat yang terlibat dalam rotasi piutang. Misal penyedia jasa pembiayaan, antara lain Adira Finance, Bank Perkreditan Rakyat hingga Baitul Mal Wattamwil (BMT) yang berbadan hukum Koperasi. Pandemi Covid-19 disinyalir menurunkan siklus perekonomian, termasuk di dalamnya aktivitas pembiayaan lembaga keuangan. Tri Nuke Pudjiastuti dalam siaran persnya menyebutkan pandemi berpengaruh pada keberadaan lembaga pembiayaan mikro (lipi.go.id, 2020). Misalnya, adanya penurunan aktivitas pinjaman 20



Esai berasal dari riset penulis pada tahun 2013 (Tinjauan Hukum Islam Terhadap Solusi Pembiayaan Murabahah yang Bermasalah Di BMT Arafah Solo) yang dikontekstualisasikan dengan masa Pandemi Covid-19. 153



dan tabungan, termasuk penyaluran dana dari lembaga ke peminjam maupun nasabah yang menabung. Sejak kemunculan pandemi sampai saat ini, tercatat ribuan pekerja yang di rumahkan dan kehilangan pekerjaan akibat kebijakan perusahaan untuk memangkas pengeluaran menggaji karyawannya. Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan juga menyebutkan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai dengan 3,5 juta lebih, tercatat pada 31 Juli 2020 (kompas.com, 2020). Tentu saja kebijakan tersebut berpengaruh kepada pekerja-pekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan membayar tagihan pembiayaan (hutang) yang sedang berjalan. Dalam proses pembiayaan, terdapat beberapa identifikasi pembayaran nasabah, seperti lancar, kurang lancar, tidak lancar, dan macet. Kategori tersebut didasarkan kepada tingkat kemampuan nasabah membayarkan angsurannya. Strategi pembiayaan di setiap lembaga mesti dilakukan dalam merespons musibah pandemi Covid-19. Riko Amir, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pembiataab dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) menjelaskan salah satu strategi pembiayaan APBN dalam merespons pandemi adalah dengan cara fleksibelitas pinjaman tunai dan penambahan Surat Berharga Negara (SBN) (kemenkeu.go,id). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga merespons ketidakpastian ekonomi saat pandemi dengan menetapkan kebijakan restrukturisasi 154



kredit dengan tujuan menstabilkan sektor jasa keuangan (ojk.go.id, 2020). Dalam kajian fikih muamalat, akad murabahah termasuk nomenklatur kegiatan jual beli yang mudah, simpel, dan dapat dimodifikasi pembayarannya secara pembiayaan. Murabahah merupakan model akad pembiayaan yang transparan karena sejak awal akadnya menunjukkan keharusan untuk menyebutkan harga asal dan jumlah keuntungan yang diperoleh penjual dari pembeli. Artinya, ketika pembiayaan itu dilakukan maka pihak yang mengajukan pembiayaan akan mengetahui berapa harga asli barang tersebut dan berapa harga akhir setelah ditambah margin (keuntungan) penjualan. Dari hasil harga akhir yang disepakati tersebut maka pembiayaan dibayarkan secara berkala dengan nilai yang disepakati setiap bulannya. Rifki Muhammad (2008) menjelaskan tentang meningkatnya transaksi dengan skim murabahah beriring dengan meningkatnya kebutuhan konsumtif masyarakat. Veithzal dalam Islamic Financial Management (2008) menjelaskan, bahwa murabahah merupakan akad jual beli atas suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut, dan besarnya keuntungan yang diperolehnya. Pembiayaan murabahah dalam dunia perbankan diterjemahkan sebagai 155



perjanjian pembiayaan dengan kedudukan bank sebagai pihak yang membiayai pembelian suatu barang yang dikehendaki oleh pembeli dengan sistem pembayaran tertangguhkan. Melapangkan pembiayaan yang bermasalah termasuk dalam etika bisnis Islam. Disebutkan dalam surah alBaqarah ayat 280:“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Idealnya, lembaga pembiayaan yang melabelkan diri berlandaskan syariat Islam maka prinsip nas tersebut telah dipraktikkan. Namun, menurut bank-bank Islam, secara umum penerapan perintah tersebut justru menjadi celah potensial bagi para debitur mereka yang mungkin lalai untuk melunasi hutangnyua, padahal mereka mampu melunasinya. Untuk menutup penyalahgunaan celah potensial tersebut, Dewan Syariah telah mengadopsi konsep denda terhadap mereka yang tidak melunasi hutang tepat waktu, khususnya jika si debitur mampu melunasinya. Makna definitif dari “mampu membayar” sulit untuk ditentukan dalam konteks ini, karena bank Islam umumnya sejak awal kontrak murabahah telah memastikan bahwa danadana pinjaman mereka akan cukup aman, dan sedemikian rupa dijamin terlindungi dari segala risiko kegagalan atau penundaan pembayaran. Ini menjamin pembayaran harga 156



murbahah plusmarkupkepada bank Islam dan disamping itu denda keterlambatan pembayaran dapat dijatuhkan kepada nasabah yang wajib dipatuhi (Muhammad, 2015). Saya melakukan research pada tahun 2013 tentang pembiayaan bermasalah di lembaga pembiayaan mikro, BMT Arafah yang aplikasinya terjadi di masa saat ini maupun masa yang akan datang. Prosedur umum yang menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP), didapati dengan melakukan wawancara kepada manajer umumnya (Rakhmat, 2013). Dijelaskan, bahwa anggota (nasabah) yang mengalami pembiayaan bermasalah maka BMT melakukan tindakan kuratif . Di antaranya: 1. Mengevaluasi pembiayaan yang telah berjalan kemudian melakukan sulhu dan hajr. Proses sulhu dan hajr dilakukan dengan perpanjangan tempo pembayaran dan keluasan untuk menyepakati besar angsuran kembali sesuai dengan kemampuan; 2. Memberikan potongan tagihan bagi yang mengalami penurunan kemampuan namun anggota tetap beriktikad baik untuk melunasi kewajibanya; 3. Menahan barang jaminan sebagai sanksi bagi anggota yang mampu, namun sengaja menunda-nunda pembayaran. Mengeksekusi jaminan bagi anggota yang mengalami pembiayaan murabahah macet; 4. Menganggarkan dana cadangan untuk mengcover sisa tagihan bagi anggota yang bena-benar telah dihapus tagih. BMT tetap berusaha melakukan hapus buku sebelum pada akhirnya dihapus-tagihkan. Apabila 157



dalam hapus buku dapat ditagih maka dana tagihan akan masuk kepada pendapatan. Namun apabila tidak bisa ditagih kembali maka diibrahkan atau disedekahkan. Ibrah dilakukan dengan ikrar anggota pembiayaan macet kepada BMT Arafah di kantor. Berikut ini beberapa analisa solusi pembiayaan bermasalah di BMT Arafah yang bisa saja diterapkan dalam konteks pandemi Covid-19 saat ini. 1. Shulhu dan Hajr Tahapan penyelesaian pembiayaan murabahah bermasalah di BMT Arafah dilakukan dengan beberapa tahapan sesuai dengan ketentuan elektabilitasnya. Maka untuk menjaga kelancaran dilakukan evaluasi dan peninjauan setiap bulannya, ketika pembayaran telah jatuh tempo ada petugas yang menghubungi anggota (SMS). Kalo anggota mengalami kemacetan, maka BMT memanggil dan melakukan pendekatan terhadap faktor penyebab kemacetan itu. Umumnya proses restrukturisasi dilakukan dengan (rescheduling, reconditioning, restructuring), dalam hal ini, BMT melakukan tahapan berupa shulhu, hajr dan Ibrah. Praktiknya BMT melakukan tahapan penyehatan kembali dengan cara shulhu yaitu penangguhan angsuran yang tersisa (biaya riil), memberikan keringanan dengan cara memperpanjang jangka pembayaran tanpa tambahan biaya (wawancara pak Rakhmat/manajer umum). Hal inisesuai 158



dengan surah al-Baqarah ayat 280:“jika debitur mempunyai kesulitan, maka berilah penundaan sampai ia memperoleh kemudahan.” Shulhu dilakukan dengan memanggil anggota untuk diajak musyawarah dan pendekatan. Pendekatan dilakukan dengan hajr, yaitu memberikan motifasi kepada anggota yang mendapatkan kesulitan ekonomi, untuk membantu meringankan beban BMT, melakukan penawaran penjadwalan ulang jangka waktu yang sanggup ditempuh oleh anggota untuk melunasi kewajibannya, dan melakukan penawaran jumlah angsuran yang mampu dibayarkan kepada BMT setiap bulannya. Kesepakatan perpanjangan tempo pembayaran dan peringanan besar angsuran guna melunasi biaya riil yang tertangguh tanpa ada biaya tambahan.Hal ini sesuai dengan Fatwa nomor 48/DSN-MUI /II/2005 yaitu “Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa. Pembebanan biaya dalam penjadwalan ulang adalah biaya riil. Perpanjangan masa pembayaran adalah kesepakatan kedua belah pihak.” Setelah ada kesepakatan maka dilakukan reconditioning dengan perjanjian yang telah disepakati. Perjanjian yang disepakati dalam shulhu (tenggang waktu) dan atau hajr (rescheduling) di BMT Arafah dilakukan dengan pengubahan setingan mesin penghitung angsuran di komputer yang kemudian disepakati secara lisan. Menjadi catatan penting bagi BMT Arafah bahwa suatu akad yang telah disepakati, dalam hal ini penangguhan 159



hutang murabahah, diperlukan adanya pencatatan secara tertulis dan ditandatangani, karena akad jadwal tempo dan ketetapan besar angsuran telah berubah dari akad awal yang telah ditandatangani. Walaupun sudah dicatatkan dalam mesin penghitung, pencatatan secara tertulis sangat penting untuk menghindari terjadinya perselisihan diantara masing-masing pihak. Prinsip akad dalam Islam juga diajarkan dalam surah al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” Tindakan shulhu dan hajr yang dilakukan BMT terhadap anggota yang bermasalah, memenuhi prinsip akad al-hurriyah, yaitu kebebasan untuk menyelesaikan sengketa. Kebebasan penyelesaian ini oleh BMT dilakukan dengan memberi perpanjangan tempo dan besar angsuran yang nantinya disepakati oleh masing-masing pihak. Kesepakatan ini juga dilakukan sesuai dengan prinsip akad 160



ar-ridha, dalam artian masing-masing pihak tidak ada paksaan dan tidak saling merugikan. 2. Potongan Tagihan BMT memberikan keringanan bagi anggota yang benar-benar tidak mampu dan memiliki iktikad baik untuk melunasi kewajiban pembayaranya, diberikan potongan tagihan yaitu dengan menghilangkan markup pada sisa tanggungan anggota kepada BMT. Kemudian dari sisa riil dikurangi penghilangan markup itu dilakukan reconditioning pada tempo dan jumlah angsuranya. Potongan tagihan dalam fatwa Nomor 46/DSN-MUI/III/2002 “diberikan kepada anggota yang tepat waktu melunasi tanggungan kewajiban pembayaran dan diberikan kepada anggota yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran”. Sehingga pemotongan tagihan dalam pembiayaan murabahah sesuai dengan fatwa DSN. Kesepakatan penataan ulang dilakukan BMT dengan mengubah tempo dan jumlah kewajiban angsuran tiap bulannya pada mesin penghitung pembiayaan. Menjadi catatan dalam research ini, hendaknya perubahan akad tidak hanya dilakukan secara lisan saja atau tanpa ada kontrak perjanjian baru yang bertuliskan. Mesti dilakukan pembaruan perjanjian dengan cara hitam di atas putih yang kemudian ditandatangani masingmasing pihak. Prinsip al-kitabah dalam akad sebagaimana 161



disebutkan Alquransurah al-Baqarah181:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan, janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.” 3. Sanksi Penahanan Barang Jaminan Menetukan sanksi bagi anggota yang sengaja tidak membayar kewajibanya kepada Lembaga Keuangan Syariah diperbolehkan menurut fatwa DSN-MUI. Fatwa DSN Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 menyebutkan “penetapan sanksi kepada anggota yang mampu tapi sengaja menundanunda pembayaran dengan tujuan jera dan memenuhi kewajibanya sesuai dengan akad. Ketetapan sanksi boleh dalam bentuk denda. Penetapan denda sejumlah uang besarnya ditentukan atas kesepakatan antara LKS dan anggota. Denda tidak boleh diterapkan kepada anggota yang tidak mampu karena sifat penetapan denda adalah ta’dzir (peringatan). Ketentuan denda harus disepakati dan ditulis di awal kontrak. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan untuk 162



dana sosial. Namun demikian, saya mendapati ketentuan denda tidak diterapkan di BMT Arafah. Alasannya, kurangnya penjelasan tentang hukum syar’i (nas) terkait denda. Rahmat (2013) menjelaskan, tanpa adanya ketentuan denda, BMT Arafah telah berhasil menyehatkan kembali pembiayaan murabahah yang bermasalah sebesar 99% dari total pembiayaan bermasalah. BMT Arafah lebih memilih sanksi untuk anggota yang sengaja menunda pembayaran dengan cara memanggil anggota ke kantor BMT Arafah untuk musyawarah dan menahanan barang murabahah, serta jaminan atas anggota yang mampu tapi menundanunda pembayaran. Apabila tidak ada perubahah maka BMT akan menjual jaminan. Walaupun demikian, solusi yang dipilih BMT tidak bertentangan dengan fatwa denda karena dalam hal ini sifatnya mubah. BMT tidak menerapkan denda karena alasan landasan syar’i dari denda tersebut belum cukup kuat. Solusi dengan penahanan ataupun praktik penjualan jaminan pun sesuai dengan ketentuan fatwa Nomor 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar. Saya menyimpulkan, bahwa dalam hal pembiayaan, perlu adanya prinsip fleksibelitas dan transparansi dan ketertiban. Fleksibelitas diterapkan terutama dalam menghadapi musibah, seperti pandemi Covid-19 sehingga masing-masing pihak yang bertransaksi saling 163



diuntungkan dan tidak dirugikan.Transparansi berfungsi menghindari kesalahpamahaman antarpihak. Tertib maksudnya harus tertulis dan jelas sesuai kesepakatan. Ketika hal-hal tersebut dilakukan, maka pembiayaan yang ramah musibah pandemi dapat terwujud.



164



MENGGAGAS KONSEP DESA WISATA TERPADU DI DESA KWADUNGAN21 Ade Yuliar



Munculnya Desa Wisata di beberapa tempat di Kabupaten/Kota wilayah eks karesidenan Surakarta, atau lebih dikenal dengan Solo raya di Provinsi Jawa Tengah, memunculkan pengaruh positif khususnya bagi Pemerintah daerah setempat dalam mengatasi disparitas perekonomian antara perkotaan dengan pedesaan. Terlebih Desa Wisata tersebut adalah hasil dari inisiatif dan swadaya masyarakat dalam pengembangannya yang membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa setempat. Tentunya untuk memunculkan sebuah Desa Wisata maka desa tersebut harus memiliki “modal,” baik kekayaan alam, budaya, maupun hasil pengembangan masyarakat. Kabupaten Karanganyar bagian dari wilayah Solo raya mempunyai potensi dan pengembangan untuk Desa Wisata. Kota ini sudah dikenal memiliki beberapa wisata andalan, seperti air terjun Grojogan Sewu Tawang Mangu, wisata kebun teh kemuning yang menawarkan 21



Esai ini berasal dari kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat bertajuk “Pengembangan desa Wisata Berbasis Nilai Islam” pada 19 Juli 2019. 165



pemandangan alam, ada juga Candi Cetho, Candi Sukuh, dan masih terdapat destinasi wisata menarik lainnya. Adapun untuk Desa Wisata di Kabupaten Karanganyar, seperti Desa Anggrasmanis yang menggarap wisata historis di hutan Gunung Lawu, Desa Karang terdapat wisata keluarga dan sejumlah rumah makan tematik, Desa Gerdu sebagai kampung wisata bahasa berbasis spiritual, dan masih terdapat Desa Wisata lainnya. Salah satu potensi Desa di Karanganyar yang patut dikembangkan menjadi Desa destinasi wisata unggulan di Kabupaten Karanganyar yaitu Desa Kwadungan, yang terletak di Kecamatan Kerjo. Desa Kwadungan berada pada ketinggian rata-rata 440 dpl dari permukaan laut yang sebagian besar luas wilayah desa adalah perkebunan karet milik PTPN IX/Batujamus/Kerjo Arum. Berada pada lokasi jalan raya yang strategis, berlokasi di Jalan penghubung antara Sragen-Batujamus, Kabupaten Karanganyar sebagai akses menuju objek wisata Tawangmangu, atau terkenal dengan sebutan simpang Telu Batu Jamus. Desa Kwadungan memiliki batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Sumberejo; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tamansari; sebelah timur berbatasan dengan Desa Karangrejo; dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Kuto. Wilayah Desa Kwandungan terbagi dalam 6 RW dan 32 RT yang sebagian besar lahannya untuk lahan pertanian dan areal perkebunan karet yang masih luas, diantaranya 166



digunakan untuk menanam pohon karet sebagai sumber penghasil utama getah karet. Desa Kwadungan memiliki karakteristik lingkungan berupa dataran miring, biasanya lahan yang naik turun digunakan untuk perkebunan karet, menanam padi dan pertanian buah-buahan. Potensi Desa Mengapa Desa ini dipilih sebagai lokasi Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) selain karena lokasi yang strategis, juga faktor kondisi perekonomian Desa Kwadungan, yaitu mayoritas masyarakat berada pada kondisi ekonomi menengah ke bawah seperti buruh tani yang memiliki sumber pemasukan hanya dari pertanian dan sebagian besar lahan adalah milik pemerintah. Sebaran mata pencaharian masyarakat Desa Kwadungan selain bercocok tanam/buruh tani, mata pencaharian lainnya seperti pertukangan, pedagang, karyawan swasta di pabrik dan lainnya. Hanya sekitar 11 % saja untuk profesi PNS/TNI. Maka perlu terobosan agar warga masyarakat Desa Kwadungan bisa meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan. Selain itu faktor potensi alam yang menarik, kita bisa menjumpai sawah terasering serta terdapat sungai yang dapat dijadikan wisata air seperti tubing dan arum jeram. Karena sebagian besar dari wilayah Desa Kwadungan adalah perkebunan Karet maka peluang yang dapat 167



dimanfaatkan selain dari hasil perkebunan karet tersebut, adalah mengembangkan lokasi kebun menjadi objek wisata taman kebun karet, tentunya akan bekerjasama dengan PTPN IX sebagai pemilik serta pengelola perkebunan. Selain perkebunan karet juga terdapat perkebunan jambu biji yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan objek wisata petik buah,untuk jambu biji tersebut berjenis merah dan kristal. Potensi wisata dari pohon buah lainnya seperti pohon durian dan rambutan bisa dikembangkan menjadi sentra buah lokal. Sebagian warga Kwadungan juga membudidayakan tanaman hias. Hal tersebut dapat terlihat beberapa taman disekitar desa dan menjadikan tanaman hias sebagai taman dirumah. Sehingga, Desa kwadungan bisa juga dikembangkan menjadi daerah penghasil tanaman hias. Dari hasil observasi tersebut, maka Desa Kwandungan layak dikemas menjadi Desa Wisata dengan destinasi utama: kebun karet yang dikembangkan menjadi wisata keluarga untuk taman rekreasi, wisata pendidikan dan outbond. Bisa didukung dengan wisata lainnya seperti wisata petik buah lokal, wisata arung jeram, tubing dan kuliner seperti makanan khas atau oleh-oleh dari hasil perkebunan buah. Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat Melalui kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) di Desa Kwadungan yang dilakukan pada pada 19 168



Juli 2019, adalah sebagai upaya untuk mencari terobosan pengembangan masyarakat di Desa Kwandungan, melalui pemberian materi konsep dan pengelolaan Desa Wisata. Tujuan kegiatan ini adalahuntuk mengedukasi pada masyarakat mengenai konsep Desa Wisata; untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat pendirian Desa Wisata bagi perekonomian desa, serta kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang potensi desa yang dimiliki sebagai modal pendirian Desa Wisata, yang pada akhirnya diharapkan dapat dirintis menjadi sebuah Desa Wisata. PKM ini berisi pemberian materi yang terdiri dari dua sesi, yaitu: sesi pertama disampaikan oleh Dr. Agus Wahyu Triatmo, M.Ag (Kaprodi Manajemen Dakwah FUD IAIN Surakarta), dansesi kedua diisi oleh Rini Wulandari, M.Sc (Dosen Pariwisata, alumni S2 Kajian Pariwisata UGM). Pada sesi pertama, materi yang disampaikan oleh Agus Wahyu yang bertema pengelolaan Sumber Daya Alam oleh manusia dengan bersandar pada nilai-nilai Alquran. Agus menjelaskan bagaimana fitrah manusia dalam mengelola alam harus bijak karena diamanatkan sebagai khalifah Allah di muka bumi, maka tidak boleh berbuat kerusakan seperti merusak alam atau lingkungan hidup. Kendati ada harmonisme antara manusia dengan alamnya sebagai tempat tinggal jika alam dijaga dengan baik. Dijelaskan pula pada pemaparan akibat alam dirusak berdampak 169



pada munculnya fenomena bencana yang pada penyajian materinya dilengkapi dengan gambar-gambar pendukung untuk penguatan pada materi. Bagian sesi kedua, materi disampaikan oleh Rini Wulandari berkaitan gagasan dan konsep Desa Wisata di Kwadungan. Analisa umum bahwa kondisi desa secara wilayah terletak strategis di persimpangan jalan provinsi yang menghubungkan antara Sragen dan Karanganyar. Menurutnya, yang penting ditonjolkan bahwa desa Kwadungan sekitar 30% lahan desa berada di area kawasan kebun karet berada dalam pengelolaan BUMN PTPN IX yang bisa dijadikan destinasi wisata kebun karet serta didukung keindahan alam persawahan yang tersusun terasering, wisata sungai, kebun buah sebagai wisata pendukung. Disampaikan pula model-model Desa Wisata yang telah dikembangkan oleh Lembaga-Lembaga Pendidikan untuk daerah-daerah seperti Desa Wisata karet di Kabupaten Kendal. Juga dijelaskan detail produk atau jasa apa yang bisa dijual seperti produk olahan biji karet, pengelolaan kebun karet, dan lain-lain. Pada bagian akhir sesi kegiatan, Agus Wahyu memberikan pernyataan bahwa dalam hal ini prodi Manajemen Dakwah IAIN Surakarta memberikan rekomendasi bagi Desa Kwadungan agar perlu dicanangkan dan dikhtiarkan menjadi Desa Wisata. Untuk menuju Desa Wisata, dari perencanaan hingga pendaratan, maka prodi 170



Manajemen Dakwah IAIN Surakarta siap dilibatkan sebagai konsultan dalam pengembangannya. Respons masyarakat dari kegiatan ini ketika kami mewawancarai beberapa warga yang hadir, sangat mengapresiasi terselenggaranya kegiatan ini. Karena merupakan kali pertama mendapatkan materi berkenaan konsep dan pengelolaan Desa Wisata yang diselenggarakan dari sebuah lembaga pendidikan. Serta warga juga telah tersadarkan akan potensi desa yang dimiliki dan dapat dikembangkan menjadi sebuah destinasi wisata. Rekomendasi Potensi alam yang dimiliki Desa Kwandungan layak dikembangkan menjadi sebuah nilai tambah, seperti menciptakan ekosistem wisata melalui Desa Wisata. Namun langkah tersebut membutuhkan keberanian warga masyarakat serta didukung Pemerintah Desa untuk menciptakan Desa Wisata tersebut. Beberapa catatan hasil observasi dan wawancara, Desa Kwandungan belum ditemukan adanya program-program pemberdayaan masyarakat ke arah program Desa Wisata. Upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat desa maka perlu pengadaan workshop/lokakarya lanjutan berkaitan peningkatan kapasitas dan pengetahuan masyarakat atau sumber daya manusia (SDM) pedesaan yang, terutama berkaitan dengan konsep pendirian Desa Wisata. Setelah 171



terbentuknya Desa Wisata, maka langkah selanjutnya dibutuhkan komitmen (integritas) dari masyarakat dalam mengelola Desa Wisata. Point kritis, perlunya inovasi dan kreativitas terus menerus sebagai kunci dalam kesuksesan sebuah Desa Wisata.



172



POTENSI MASALAH DAN PEMANFAATAN SAMPAH JERAMI PADI DI DESA PUCANGAN KARTASURA SUKOHARJO22 Sulhani Hermawan & Ahmadi Fathurrohman Dardiri



Mata rantai produksi dan konsumsi dari manusia memiliki efek munculnya sampah organik dan anorganik di tengah masyarakat. Laporan Direktur SWI (Sustainable Waste Indonesia) 2017 menyebutkan, seluruh kawasan Indonesia memproduksi 60% sampah organik (39 juta ton) dari total 65 juta ton sampah perhari (cnnindonesia. com, 2018). Melimpahnya sampah organik yang rutin diproduksi, seperti jerami padipasca panen, sebenarnya memiliki potensi manfaat yang sifatnya sustainable (berkelanjutan) dan memberi manfaat ekonomis yang nyata bagi petani. Misalnya pembuatan kompos tanah (dengan beragam metode) atau pemanfaatan lain di luar pertanian, misalnya kerajinan dan aksesoris. Sayangnya, pemanfaatan sampah jerami padi, seperti sampah lainnya,cenderung tidak dipedulikan oleh banyak orang. 22



Esai ini berasal dari laporan kegiatan Pengabdian Masyarakat Fakultas Syariah IAIN Surakarta tahun 2019 di Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, yang dilakukan oleh tim (Aris Widodo, Sulhani Hermawan dan Ahmadi Fathurrohman Dardiri) 173



Jika dimanfaatkan dengan baik, sampah jerami padi dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang nyata. Antara lain, dibakar dengan dicampur sampah plastik menjadi bahan hardflek, semacam kayu untuk furnitur; diolah menjadi bioplastik (plastik alami) yang dapat terurai mudah; dan diolah sebagai pupuk alami untuk tanaman padi. Dibakarnya jerami padi yang menjadi abu tidak lantas dimanfaatkan untuk suatu hal produktif, misalnya untuk pembuatan bahan furnitur dengan campuran sampah plastik (Anang S., dkk, 2016). Sejauh ini, opsi pemanfaatan jerami padi belum marak dilakukan. Pilihan jalan praktis masyarakat untuk menyelesaikanya adalah dibakar yang salah satu efeknya menimbulkan asap yang menyumbang pencemaran udara (http://eprints.undip.ac.id/57247/), selain menjadi salah satu alternatif pakan ternak. Di desa Pucangan kecamatan Kartasura kabupaten Sukoharjo, sampah jerami padi diselesaikan dengan cara dibakar yang ternyata berpotensi menyumbang polusi udara. Sesekali, jerami padi dimanfaatkan sebagai campuran tanah setelah musim panen untuk menciptakan humus; dan untuk pakan ternak, terutama pada musim kemarau, dan jarang pada musim hujan karena rumput melimpah. Karenanya, menjadi penting melakukan diskusi bersama petani di desa Pucangan tentang pemanfaatan sampah jerami padi. Dalam diskusi dilakukan upaya untuk mengenalkan pemanfaatan jerami padi dari sisi ekonomi 174



kepada petani, sekaligus menyiapkan penggerak petani di desa Pucangan untuk membumikan kepada petani lain. Metode pemanfaatan jerami padi yang paling relevan dan mudah dikerjakan. Ini menjadi penting agar petani padi di desa Pucangan bisa memanfaatkan jerami padi dan mengubahnya menjadi material potensi ekonomi; serta mengurangi sampah jerami padi dan menjauhkan dari pola pengelolaan yang mencemari lingkungan. Desa Pucangan dan Petani Padi Desa Pucangan, berada di bagian selatan kecamatan Kartasura, sebuah kecamatan yang berada di sisi barat laut wilayah Kabupaten Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah, kota kecamatan yang pernah menjadi lokasi kerajaan JawaIslam Pajang dan kerajaan Jawa-Islam Kartasura. Wilayah ini merupakan bagian dari eks-Karesidenan Surakarta dan memiliki kaitan kultural dengan Keraton Surakarta. Desa Pucangan berbatasan sebelah barat dengan desa Sambon Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali dan desa Kertonanatan kecamatan Kartasura, sebelah utara dengan kelurahan Kartasura. Sebelah timur dengan kelurahan Kartasura, desa Ngadirejo dan desa Ngemplak kecamatan Kartasura, sebelah selatan dengan desa Ngemplak kecamatan Kartasura dan desa Sraten kecamatan Gatak (Data Profil Desa, 2012). Secara geografis, Desa Pucangan dibelah menjadi 2 bagian oleh Jalan Raya Solo–Yogyakarta, 175



2 kebayanan di sebelah timur Jalan Raya Solo–Yogyakarta, 2 kebayanan berikutnya berada di sebelah barat Jalan Raya Solo–Yogyakarta (Hasil Wawancara dengan Kepala Desa Pucangan Bapak Budiyono, tanggal 25 April 2019). Sejak tahun 2007, Desa Pucangan terbagi ke dalam 4 wilayah Kebayanan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bayan. Masing-masing wilayah kebayanan terdiri atas beberapa Rukun Warga (RW) dan masing-masing RW terdiri atas beberapa Rukun Tetangga (RT). Wilayah desa Pucangan juga terdiri dari beberapa kampung (dusun) yang berada di bawah wilayah kebayanan. Desa Pucangan memiliki 4 wilayah Kebayanan, 15 Rukun Warga (RW) dan 55 Rukun Tetangga (RT). Wilayah kebayanan 1 terdiri atas RW 1, RW 2 dan RW 3. RW 1 memiliki 4 RT, RW 2 memiliki 4 RT dan RW 3 memiliki 3 RT. Dusun yang berada di wilayah kebayanan 1 adalah Pucangan, Sanggrahan, Bakalan, Gowongan, AlunAlun Kidul, Gerjen, dan Pedusan. Di wilayah Kebayanan 1 (dusun Pucangan, Sanggrahan, Bakalan, Gowongan, Alun-Alun Kidul, Gerjen dan Pedusan) terdapat 7 buah masjid dan 8 musala dan sebagian kecil wilayah kebayanan 1 adalah areal persawahan (Daftar Masjid dan Musala Desa Pucangan Kecamatan Kartasura tahun 2018). Wilayah kebayanan 2 terdiri atas RW 4, RW 5 dan RW 6. RW 4 memiliki 2 RT, RW 5 memiliki 5 RT, dan RW 6 memiliki 3 RT. Dusun yang berada di wilayah kebayanan 176



2 adalah dusun Tojayan, Gandikan, Grogolan, Gumuksari, Jegongan, Perumahan Kencana Asri, Tanggul dan Papungan. Kebayanan 1 dan 2 tersebut berada di sebelah timur Jalan Raya Solo-Yogyakarta. Sebagian besar wilayah di Kebayanan 2 merupakan areal persawahan. Berdasarkan data tersebut, di Kebayanan 2 terdapat 1 buah masjid dan 8 musala. Wilayah kebayanan 3 terdiri atas RW 7, RW 8, RW 9 dan RW 10. RW 7 memiliki 5 RT, RW 8 memiliki 4 RT, RW 9 memiliki 4 RT dan RW 10 memiliki 3 RT. Dusun yang berada di wilayah kebayan 3 adalah Krapyak, Perumahan Pucangan Baru II, Widorosari, Kebonbaru dan Jaganharjo. Sebagian kecil di sebelah barat kebayanan 3 merupakan areal persawahan yang berbatasan langsung dengan desa Sambon, Kecamatan Banyudono kabupaten Boyolali. Berdasarkan data tersebut, di kebayanan 3 terdapat 4 buah masjid dan 13 musala. Sedangkan kebayanan 4 terdiri dari RW 11, RW 12, RW 13, RW 14 dan RW 15. RW 11 memiliki 3 RT, RW 12 memiliki 3 RT, RW 13 memiliki 3 Rt, RW 14 memiliki 6 RT (berada di kompleks Markas Kopassus), RW 15 memiliki 3 RT. Dusun yang berada di kebayanan 4 adalah dusun Gunung, Citran, Betangsari, Sraten, Perumahan Pucangan Baru I, Kandang Menjangan dan Kragilan. Selain wilayah Kandang Menjangan, kebayanan 3 dan 4 berada di sebalah barat Jalan Raya Solo–Yogyakarta. Berdasarkan data 177



tersebut, di kebayanan 4 terdapat 5 buah masjid dan 4 buah musala. Seiring dengan perkembangan kampus IAIN Surakarta dari waktu ke waktu, yang ditandai dengan semakin banyaknya pendirian gedung-gedung pengembangan IAIN Surakarta, alih status tanah-tanah pertanian dari status basah menjadi status kering semakin meluas. Masyarakat pemilik lahan pertanian mulai menjual lahan pertanian kepada pengembang perumahan yang menyediakan pemukiman bagi banyak mahasiswa dan civitas akademika IAIN Surakarta yang memilih tinggal di desa Pucangan, tempat kampus IAIN Surakarta berdiri. Beberapa tempat usaha yang menyediakan kebutuhan civitas akademika IAIN Surakarta juga semakin menjamur. Alasan terkuat pemilik lahan menjual tanah pertanian adalah harga lahan semakin meningkat, sementara keuntungan dari usaha pertanian semakin menurun dari waktu ke waktu. Karena biaya pertanian semakin meningkat dan keuntungan pertanian padi tidak terlalu signifikan dan malah seringkali menurun. Pilihan menjual lahan pertanian yang kemudian dialih fungsikan oleh pembelinya, sebenarnya pilihan pahit yang sedikit banyak memunculkan penyesalan di kemudian hari. Berdasarkan data yang dibuat pada tahun 2012, penduduk desa Pucangan berjumlah 13.489 orang yang terdiri dari 6610 laki-laki dan 6879 perempuan. Dari jumlah tersebut, penduduk Muslim sebanyak 12.144 178



yang terdiri dari 5972 laki-laki dan 6172 perempuan. Kalau dibuat prosentase, maka penduduk Muslim di desa Pucangan berjumlah lebih dari 90 % (Data Profil Desa, 2012). Penduduk yang berprofesi sebagai petani terdiri dari petani pemilik pemilik lahan berjumlah 19 orang dan petani penggarap sawah (maksudnya penyewa lahan) berjumlah 26 orang. Dari jumlah petani tersebut, hanya 1 orang yang beragama non-Islam, dan sisanya semua beragama Islam. Realitas dan Solusi Pemanfaatan Jerami Padi oleh Petani Diskusi tentang pemanfaatan jerami oleh para penggerak petani dilaksanakan di Balai Desa Pucangan, Kartasura, Sukoharjo pada hari Jumat, 19 Juli 2019, pukul 19.30 WIB-selesai. Alasan dipilihnya balai desa sebagai tempat penyelenggaraan karena, selain alasan strategisnya balai desa, juga karena relevan dengan tugas desa sebagai penyelenggara pelayanan pedesaan. Peserta kegiatan ini adalah para petani, baik pemilik sawah, penggarap sawah di lahan pertanian di Desa Pucangan maupun di luar Desa Pucangan, dan para penyedia/penjual/pemasok kebutuhan bidang pertanian. Para penggerak petani tersebut menyatakan bahwa membakar jerami padi pasca panen adalah jalan singkat untuk menyelesaikan sampah jerami agar bisa segera



179



ditanami kembali. Zamzaini, staf LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan) Surakarta sebagai narasumber menyebutkan bahwa kunci dari konservasi lingkungan adalah kemauan para petani memahami keadaan tanah. Saat jerami padi dibakar, yang bertujuan untuk segera menghilangkan sampah pertanian dan agar tanah bisa segera ditanami padi kembali, ternyata berdampak serius bagi lingkungan, selain menghanguskan potensi ekonomis di balik jerami padi.  Sebagian kecil petani di desa Pucangan memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak, karena petani yang memiliki ternak jumlahnya hanya 1-2 orang saja. Jika jumlah jerami padi terlalu melimpah dan tidak bisa diserap sebagai pakan ternak, sebenarnya bisa digunakan untuk pupuk alami tanah pertanian. Praksisnya, jerami padi (tangkai pohonnya) dapat langsung dicampur dengan tanah oleh traktor untuk memberikan kesuburan bagi tanah. Efeknya, jadwal penanaman padi mundur, karena proses jerami dicampur dengan tanah menjadi humus, memerlukan waktu beberapa hari. Meski demikian, hasilnya, tanah menjadi subur karena ‘tidak terlalu dieksploitasi’. Maka itu, dalam kenyataannya, banyak petani penyewa lahan, selain petani penggarap. Pada umumnya, tanah sawah itu disewakan dalam waktu 1 tahun dengan panen 3 kali. Pelaksanaan metode mencampur jerami dengan tanah menjadi humus, bisa berimbas kepada penanaman padi hanya bisa dilakukan 2 kali. Model ini 180



bisa merugikan para penyewa tanah. Meski, sebenarnya, metode ini sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah dan keberlimpahan panen.  Dilema ini harus disiasati, misalnya, dengan melakukan kesepakatan-ulang antara pemilik tanah dan penyewa tanah. Di satu sisi, penyewa tanah tidak terlalu berorientasi eknonomis atas tanah sawah yang dimilikinya dengan memikirkan kesehatan dan keberlangsungan tanahnya. Di sisi lain, penyewa tanah tidak dikejar target uang sewa yang besarannya jauh dari standar kemampuan para penyewa tanah. Solusi terbaik hanya bisa dicapai melalui kesepakatan bersama, baik tingkat desa maupun dusun. Kesepakatan bersama yang memiliki maslahah bagi tanah, lingkungan, dan memberi nilai ekonomis bagi pemilik dan penyewa/penggarap sawah. Pola Pikir Baru Petani dalam Rembug Jerami Diskusi dengan para petani di desa Pucangan tentang jerami padi menghasilkan tahapan awal perubahan paradigma (paradigm shift) di kalangan para petani sendiri. Para petani mengaku mendapatkan masukan positif dan menarik tentang perawatan lahan pertanian, termasuk di antaranya adalah mengatasi dilema soal kesuburan tanah yang memakan waktu terlalu lama. Para petani bertekad akan memanfaatkan jerami padi dalam pola pemanfaatan berbasis kesuburan tanah, meski memang tidak mudah.



181



Kepala desa Pucangan yang memiliki tanggungjawab terhadap para petani dan keberlangsungan pertanian di desanya, merasa beruntung karena masyarakat petani relatif mudah diajak rembugan dan dialog untuk kemaslahatan bersama. Ke depan, para petani dan didukung pemerintah desa bertekad menjadikan pertanian berbasis kesuburan tanah dengan memanfaatkan jerami padi secara masif. Sehingga, tidak saja mengurangi sampah pertanian dan polusi udara (jika dibakar), melainkan juga mengurangi ongkos biaya tanam padi dalam bentuk ketergantungan dengan pupuk kimia. Meski demikian, salah satu tantangan besar dan sekaligus menjadi peluang bagi pertanian di desa Pucangan adalah semakin meluasnya alih status tanah pertanian menjadi tanah kering dengan berbagai macam tujuan, termasuk pengembangan perumahan. Pengelolaan pertanian secara lebih ekonomis di semua tahapannya dengan memperhatikan kesuburan tanah dan kelestarian alam, termasuk dengan pengelolaan sampah jerami padi pasca panen, menjadi salah satu upaya penting yang harus dilakukan para petani. Jika hal demikian dapat diimplementasikan, maka semua petani akan merasakan dampak baiknya



182



BIODATA PENULIS



Nur Kafid. Pengajar Sosiologi Agama pada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, Wakil Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara (PKPPN) IAIN Surakarta (2017-2020), alumni Exchange Program “Professional Fellows on Demand, on Religious Freedom and Inter-religious Dialogue, United State (2019)”. Saat ini sedang menempuh Studi Doktoral (S3) Pengkajian Islam, dengan konsentrasi studi Sosiologi dan Antropologi Agama di Sekolah Pascasarja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain menjadi pengelola Jurnal ilmiah, penulis juga aktif melakukan riset dan menulis berbagai artikel ilmiah secara reguler dengan isu (tetapi tidak terbatas pada); agama dan masyarakat, radikalisme, serta Islam dan demokrasi. M. Zainal Anwar. Staf pengajar IAIN Surakarta. Alumni Madrasah Qudsiyyah Kudus. Menempuh S1 di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga dan melanjutkan S2 pada prodi Hukum Islam konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam. Saat ini mendapat amanah sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Surakarta, Pengurus RMI PWNU Jawa Tengah bidang Media dan 183



menjadi peneliti di Pusat Pengkajian Masyarakat dan Pendidikan Islam Nusantara (PPM-PIN) IAIN Surakarta. Email : [email protected]. Khasan Ubaidillah. Mutakhorrijin Madrasah Qudsiyyah Kudus Tahun 2005, menyelesaikan S1 Kependidikan Islam FITK IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2010, menyelesaikan S2 PGRA pada program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2012, menjadi Sekretaris Jurusan PIAUD IAIN Surakarta tahun 20162019, Pengurus RMI PWNU Jawa Tengah periode 20192013, Kepala PSGA LP2M IAIN Surakarta periode 20192023. Sulhani Hermawan. Lahir, TK, SD, MTs di Banyuwangi, MAPK Jember, S1 Fakultas Syariah dan S2 Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga. Pernah mengajar di MTsN Banyuwangi 2, MAK Sunan Pandanaran dan ketika menulis di buku ini sebagai Dosen Fakultas Syariah dan Kapus Pengabdian pada Masyarakat LP2M IAIN Surakarta. Ikut mengabdi sebagai Katib Syuriyah PCNU Sukoharjo, salah satu Pengelola PPTQ NU Manik Mulya dan PPM Darussalam Pucangan Kartasura, Takmir Musholla AnNi’mah, Masjid Darussalam dan Masjid Imam Bukhari. Tinggal di Pucangan Kartasura bersama istri Anni dan empat anak (Ribhi, Arzaqi, Ashfa dan Ilma).



184



Nur Rohman. Staf pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Memiliki minat dalam pengkajian Al-Qur’an dan Budaya. Kini menjadi sekertaris Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Ia juga aktif menjadi pengurus Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara, islamsantun.org, dan pengelola jurnal Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat. Salah satu editor dan kontributor buku Dari Haliday Hingga Hannan Attaki: Generasi Milenial membincang Generasi-Z (2019). Tahun 2020, bersama teman-temannya menerbitkan buku Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan (2020). Abraham Zakky Zulhazmi. Pengajar di Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Surakarta. Alumni MAPK Solo ini menyelesaikan studi di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (konsentrasi Media dan Agama). Tesisnya berjudul: Propaganda Islam Radikal di Media Siber; Studi atas arrahmah.com. Ia meminati kajian media, dakwah dan jurnalisme. Saat ini diberi amanah sebagai sekretaris prodi KPI IAIN Surakarta. Turut mengelola Jurnal Al-Balagh, Jurnal AJDC, Jurnal Transformatif dan Jurnal Dinika. Penggagas berdirinya Radeka Podcast. Bersama sejumlah kawan dosen muda menerbitkan buku Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan (2020).



185



Abd. Halim. Direktur Pusat Pengkajian Masyarakat dan Pendidikan Islam Nusantara (PPM-PIN) IAIN Surakarta dan Pengelola Jurnal Dinika. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Surakarta. Ia menempuh studi di UIN Sunan Kalijaga dalam bidang kajian Al-Quran dan Hadis. Minat studinya adalah kajian Al-Quran dan Tafsir. Ia menulis beberapa buku di antaranya: Kajian Al-Quran dan Hadis dalam Dialektika Kontemporer (Bunga rampai, 2014); Hadis-hadis Inspiratif dalam Kitab Mu’tabarah (2015); Problem Solving Ala Nabi, Belajar dari Kearifan Nabi dalam Memecahkan Masalah (2016), Wajah al-Quran di Era Digital (2018), 99 Mutiara Pesantren (2018), Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan (Bunga rampai, 2020). Alfin Miftahul Khair. Suka tulis menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Tertarik di bidang konseling karena ingin menjadi pribadi yang bermanfaat untuk orang lain. Buku terbarunya Ingin Saleh Boleh, Merasa Boleh Jangan (2020) yang ditulis bersama rekan sejawatnya mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan. Bisa dihubungi di [email protected]. Alfina Hidayah. Lahir dan besar di Malang. Setamat dari SD meneruskan pendidikan ke PM Darussalam Gontor di Ngawi serta melanjutkan jenjang S1 dan S2 nya dari IIU Islamabad-Pakistan. Pulang ke Tanah Air, bersama suami ikut mengabdikan diri di STIKES ‘Aisyiyah Surakarta selama beberapa tahun, hingga akhirnya Tuhan 186



mengantarkan berlabuh di IAIN Surakarta. Selebihnya bisa ikuti jejaknya di akun instagram @alfina_hidayah dan @albiquotes serta akun facebook @alfina hidayah malik. Azzah Nilawaty. Lahir di Cairo tahun 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Menempuh pendidikan dasar hingga menengah atas di Surakarta tahun 19932004. Melanjutkan pendidikan tinggi di Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tahun 2004-2013. Belajar mengajar di IAIN Surakarta sejak tahun 2016. Bangga menjadi bagian dari keluarga Fakultas Ushuluddin dan Dakwah. Bergiat di Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan IAIN Surakarta. Aktif sebagai Wakil Sekretaris I di PW Fatayat NU DIY. Saat ini tinggal bersama keluarga kecilnya di Sleman Yogyakarta. Alamat surel [email protected]. Ferdi Arifin. Dosen muda dengan hobi membaca dan menulis yang mulai jenuh dengan aktivitas akademisi yang berorientasi pada publikasi jurnal. Kesibukan yang digeluti selain dosen adalah menjadi content creator akademik yang mengajak para akademisi untuk berbagi keilmuan sesuai bidangnya di channel Youtube Kampus Virtual Ferdi Arifin. Khairul Imam. Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta, mendapat tugas tambahan sebagai Ketua Program Studi Manajemen Bisnis Syariah. Santri 187



pada Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara IAIN Surakarta. Pernah mengabdi pada Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta dan Pondok Pesantren AnNawawi Berjan Purworejo. Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi. Pengajardi IAIN Surakarta, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) yang menggemari budaya pop Korea, sekaligus menaruh minat pada studi gender dan media. Merupakan lulusan S2 Ilmu Komunikasi konsentrasi Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi, Universitas Sebelas Maret. Termasuk pula seorang ekstrovert golongan darah B, serta penikmat seni. Ahmad Saifuddin. Pengajar di Institut Agama Islam Negeri Surakarta sejak September 2016. Ia menempuh studi S2 di Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan menyelesaikannya pada April 2016. Ia menulis di beberapa media massa dan media online serta jurnal diantaranya: Psikologi Agama: Implementasi Psikologi Dalam Memahami Perilaku Beragama (Kencana Prenadamedia, 2019), Penelitian Eksperimen Dalam Psikologi (Kencana Prenadamedia, 2019), Sufi Healing: Integrasi Tasawuf dan Psikologi Dalam Penyembuhan Psikis dan Fisik (Rajagrafindo Persada, 2019), Penyusunan Skala Psikologi (Kencana Prenadamedia, 2020), Jejak Kehidupan Yang Saya Tinggalkan dalam Asam Garam Kehidupan: Kisah188



Kisah Inspiratif Alumni FISHUM UIN Sunan Kalijaga (Cantrik Pustaka, 2020), 10) Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Psikologi (akan diterbitkan Rajagrafindo Persada, 2020). Ahmadi Fathurrohman Dardiri. Lahir di Surakarta. Menempuh pendidikan sekolah dasar dan menengah di pesantren Yanbuul Quran (Kudus) dan pesantren Ali Maksum (Bantul). Pendidikan menengah atas ditempuh di MAN 1 Surakarta, Program Keagamaan (MAPK). Menyelesaikan S1 Tafsir Hadis di UIN Walisongo Semarang dan S2 Studi Quran dan Hadis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain mengajar Studi Al-Quran dan Tafsir, penulis menyukai dunia kepenulisan. Sejak 2019, penulis diberi amanat menjadi pembina Lembaga Semi Otonom (LSO) Literasi, Riset, dan Jurnalistik (LIRIK) di Fakultas Syariah IAIN Surakarta. Penulis kini sedang menekuni proyek menulis esai-esai bertema Tafsir di website keislaman, antara lain islami.co dan arrahim.id. Subar Junanto. Lahir di Sragen 11 Juni 1982. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi Pendididikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2004, dan menyelesaikan program pascasarjana S2 pada program studi Teknologi Pendidikan di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2006. Penulis menyelesaikan 189



program S3 di program studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2019. Penulis mengajar di IAIN Surakarta dari tahun 2008 hingga sekarang. Penulis juga menjabat sebagai Asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal (BAN PAUD dan PNF) Provinsi Jawa Tengah. Latif Kusairi. Pengajar Sejarah Peradaban Islam IAIN Surakarta. Penulis menempuh pendidikan S1 llmu Sejarah Univ Airlangga Surabaya, S2 Ilmu Sejarah UGM Yogyakarta. Minat penelitian bidang sejarah, Sosial dan Budaya. Selain jadi pengajar juga diamanahi sebagai wakil ketua Pusat Studi Pancasila dan Kebangsaan (PSPK). Muhammad Zaenuri. Pengajar di prodi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Surakarta. Saat ini mendapat amanah menjadi sekprodi PBA. Ia juga aktif ikut serta mengelola pondok pesantren mahasiswa Darussalam Kartasura. Fathurrohman Husen. Dosen Fikih di IAIN Surakarta. Alumni Madrasah Aliyah Al-Mukmin (2009). Menyelesaikan S1 di Jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta, dilanjutkan S2 di Prodi Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga. Tahun 2020 menulis buku Fikih Haji, Umrah, dan Ziarah. Bersama Pusat Studi Halal IAIN Surakarta menulis buku Serba-Serbi Mindset Halal. Saat ini, turut aktif mengembangkan kajian hukum 190



Islam bersama Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta. Andi Wicaksono. Dosen tetap di Fakultas Syariah IAIN Surakarta sejak tahun 2015. Pria kelahiran Kudus ini menyelesaikan studi S-1 di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah UNS pada tahun 2007 dan menyelesaikan studi S-2 di kampus yang sama pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia pada tahun 2011. Kini, selain mengelola dua jurnal di lingkungan IAIN Surakarta ia juga aktif di Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan Islam dan Jawa (Puspa KIJ) sebagai sekretaris. Ade Yuliar. Pengajar di Prodi Manajemen Dakwah. Menyelesaikan S1 Ilmu Ekonomi Unsoed pada tahun 2010, menyelesaikan S2 Magister Management pada program Pascasarjana Universitas Trisakti pada tahun 2014. Saat ini sedang melaksanakan amanah sebagai Sekretaris Prodi Manajemen Dakwah IAIN Surakarta. Tri Utami. Dosen prodi PIAUD IAIN Surakarta, menyelesaikan pendidikan S1 di prodi PG PAUD UNY pada tahun 2014, menyelesaikan pendidikan S2 prodi PGRA di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2016. Penulis memiliki ketertarikan pada dunia anak dan saat ini sedang menjalankan amanah sebagai asesor BAN PAUD dan PNF, konsultan PAUD, dan sekretaris prodi PIAUD IAIN Surakarta. 191



Abdulloh Hadziq. Staf pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah IAIN Surakarta. Belajar di MAN Demak dan menyelesaikan S1 di Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN (UIN) Walisongo pada Tahun 2010 dan S2 di Jurusan PGRA UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta pada Tahun 2012. Saat ini diberi amanah sebagai Sekretaris Prodi PAI FIT IAIN Surakarta 2017-sekarang dan Ketua Unit P3KMI FIT IAIN Surakarta. Turut mengelola Jurnal at Tarbawy ; Jurnal Kajian Kependidikan Islam. Email : hadziq. [email protected] Mayana Ratih Permatasari. Dosen tetap PAI IAIN Surakarta, alumni prodi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga. Bangga dengan profesi utamanya sebagai ibu rumah tangga. Pemerhati madrasah dan mewakafkan waktunya untuk “mengobati” madrasah-madrasah yang “sakit”. Aktif terlibat dalam dunia parenting serta menggaungkan pendidikan ala Nabi di lingkungannya. Retno Pangestuti. Staf pengajar di Prodi Psikologi Islam, FUD IAIN Surakarta, sekaligus Founder dari Rumah Psikologi Surakarta. Penulis menempuh pendidikan S1 hingga S3 Psikologi pada universitas yang berbeda; Undip, UGM dan Unpad. Memiliki minat pada psikologi pendidikan, perkembangan anak dan parenting. Beberapa karyanya terkait kesiapan sekolah anak dimuat di jurnal internasional dan nasional bereputasi dan telah memiliki 192



sertifikat HAKI. Saat ini sedang menjalankan amanah sebagai Kaprodi Psikologi Islam dan menjadi reviewer pada 3 jurnal nasional bidang Psikologi dan PAUD. Email: [email protected] Editor Agus Wedi. Mahasiswa IAT IAIN Surakarta. Pemimpin Redaksi islamsantun.org.



193



194