Waldorf 1 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MATA KULIAH PENDEKATAN DAN MODEL PAUD “MODEL PEMBELAJARAN WALDORF”



Makalah Ini Disusun Sebagai Bukti Hasil Tugas Kelompok



Dosen Pengampu: Risty Justicia, M.Pd



Disusun Oleh: Lina Gustina (2108246) Lista Sugiyana (2107203) Navy Ana Saputri (2103638) Tasalwa Audreya (2108397)



UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA PROGRAM STUDI PGPAUD TAHUN 2022/2023



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah tentang "Model Pembelajaran Waldorf". Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan Makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.



Purwakarta, 12 Februari 2023



Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................................................2 DAFTAR ISI ............................................................................................................3 BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................4 1.1 Latar belakang ..............................................................................................4 1.2 Rumusan masalah .........................................................................................5 1.3 Tujuan masalah ............................................................................................5 BAB II KAJIAN TEORI ..........................................................................................6 2.1 Sejarah pendekatan waldorf .........................................................................6 2.2 Model pembelajaran waldorf .......................................................................7 2.3 Pandangan model pembelajaran waldorf .....................................................8 2.4 Prinsip Sekolah Waldorf ..............................................................................9 2.5 Tujuan Pendidikan Pendekatan Waldorf ....................................................10 2.6 Karateristik Program Pendekatan Waldorf ................................................13 BAB III PENUTUP................................................................................................15 3.1 Kesimpulan.................................................................................................15 3.2 Saran ...........................................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................16



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pendidikan dan manusia adalah dua bagian penting yang tidak dapat dipisahkan, dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Dengan pendidikan pula manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan. Fungsi lain dari pendidikan untuk manusia yakni menjadikan manusia yang berkarakter dan cerdas. Sedangkan tujuan pendidikan bagi manusia adalah mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan yang dimilikinya. Sekolah adalah lembaga pendidikan kedua bagi anak setelah keluarga dan bersifat formal, dimana guru adalah motor penggerak dan peserta didik sebagai objek nya. Perkembangan zaman dan perubahan pola kehidupan dalam masyarakat menuntut setiap lembaga pendidikan untuk terus melakukan pembaruan, penyempurnaan dan perbaikan kualitas pendidikan. Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam rangka mengoptimalkan kulitas pendidikan yakni dengan cara meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dengan cara memberikan berbagai pengalaman belajar yang nyata bagi kehidupan anak. Hal tersebut selaras dengan konsep pendidikan humanis yakni pendidikan yang memberikan rasa kedamaian, rasa tentram pada siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan kemudian peserta didik diberikan kebebasan tanpa ada paksaan ataupun ancaman serta peserta didik dapat termotivasi untuk selalu memperbarui diri serta selalu termotivasi untuk mengasah kemampuan yang ada pada diri peserta didik tanpa meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan salah satu jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan sekolah dasar, namun bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang memiliki prinsip belajar sambil bermain, dimana dalam setiap kegiatannya harus menyenangkan bagi anak dan dalam kegiatannya pun tidak memaksakan kehendak anak sehingga membuat mereka menjadi terpaksa atau bahkan tertekan. Pendidikan anak usia dini



adalah pendidikan yang berpusat pada anak serta adanya pendampingan orang dewasa yang berperan sebagai fasilitator dan juga motivator dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan setiap aspek perkembangannya. Pendidikan Waldorf diberikan untuk mengembangkan kehendak, rasa, dan akal/nalar melalui tangan, hati, dan kepala. Kehendak (will) adalah dorongan untuk melakukan sesuatu. Dorongan ini bersifat murni dari dalam diri, tanpa melibatkan orang lain. Proses munculnya kehendak dimulai dari adanya insting, hingga kemudian menjadi suatu keputusan untuk melakukan tindakan. Merasa (feeling) merupakan suatu respon indera terhadap rangsangan yang datang atau tindakan yang dialami dan dikerjakan tubuh kita. Secara psikologis, merasa merupakan respon hati terhadap kesan-kesan yang datang atau tindakan yang dialami dan dikerjakan tubuh kita. Berpikir (thinking) adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia.



1.2 Rumusan masalah Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut: 1.2.1 Apa yang dimaksud dengan model pembelajaran waldorf? 1.2.2 Bagaimana pengaplikasikan model pembelajaran waldorf pada anak usia dini? 1.2.3 Manfaat apa yang ada di model pembelajaran waldorf? 1.2.4 Apa tujuan dari model pembelajaran waldorf?



1.3 Tujuan masalah Dari rumusan masalah di atas maka tujuan masalah dari makalah ini yaitu: 1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4



Untuk menambah wawasan tentang model pembelajaran waldorf Untuk mengetahui metode apa saja dalam pendekatan waldorf Untuk mengetahui manfaat dalam model pembelajaran waldorf Untuk mengetahui tujuan dari model pembelajaran waldorf



BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Sejarah pendekatan waldorf Rudolf Steiner, lahir tanggal, 27 Februari 1861, Donji Kraljevec Croatia. Seorang ilmuan dan filsuf. Rudolf terkenal dengan salah satu teori nya yang menyebutkan bahwa manusia memiliki kebijaksanaan yang melekat untuk mengungkap misteri dunia spiritual. Dalam bidang pengajaran dan pendidikan Rudolf mengembangkan model pendidikan yang berfokus pada pengembangan totalitas, yaitu pengembangan kreatifitas. Rudolf percaya bahwa 7 tahun pertama dalam kehidupan anak adalah periode anak untuk belajar meniru dengan basis sensorik. Pada masa itu juga di gunakan untuk mengembangkan kemampuan non-kognitif pada anak. Maka dari itu anak usia dini di sekolah Waldorf di dorong untuk bermain dan berinterkasi dengan lingkungan sekitar. Teori pendidikan Rudolf biasa disebut Waldorf, yang menggambarkan sekolah dengan kurikulum berdasarkan ajaran Rudolf yang telah di jelaskan. Rudolf menyebutkan bahwa manusia punya tiga poros yang harus di kembangkan, yaitu tangan, hati, dan kepala (hand, heart, head). Dikenal juga dengan istilah threefold human being. ● Tangan dan kaki ada di poros paling bawah yang melambangkan aktivitas, bekerja, dan berkegiatan yang di pimpin oleh kehendak (willing). ● Hati berada di poros tengah, merujuk pada sistem, peredaran darah, pernafasan, dan juga pencernaan, yaitu tempat nya untuk mengolah rasa (feeling). ● Kepala atau sistem syaraf berada di poros paling atas yang melambangkan aktifitas berfikir (thinking). Konsep tentang manusia itu Rudolf jabarkan lebih lanjut menjadi tahap perkembangan manusia, yang kemudian nantinya akan menjadi landasan kurikulum pendidikan Waldorf.



2.2 Model pembelajaran waldorf Teori pendidikan Rudolf Steiner, pencipta antroposofi, menjadi dasar pendidikan Waldorf, yang sering dikenal dengan pendidikan Steiner. Pendekatan pendidikan bersifat komprehensif, dengan penekanan pada mendorong imajinasi dan kreativitas siswa bersama dengan perkembangan intelektual dan kreatif mereka. Setiap pendidik memiliki kelonggaran yang cukup besar untuk menentukan materi pelajaran, pendekatan pedagogis, dan struktur kelembagaan. Tes standar dijaga seminimal mungkin dan penilaian kualitatif pekerjaan siswa dijalin ke dalam struktur setiap hari di sekolah. Pendidikan Waldorf dimulai dengan premis bahwa masa kanak-kanak terdiri dari tiga tahap berbeda yang masing-masing kira-kira tujuh tahun lahir hingga usia tujuh (masa kanak-kanak), tujuh hingga 14 (masa kanak-kanak menengah), dan 14 hingga 21 (remaja). Setiap tahap membentuk cara anak merasakan dan mendekati dunia secara intelektual, emosional, fisik, dan spiritual yang, pada gilirannya, membentuk cara mereka belajar. Pendidik Waldorf percaya bahwa kurikulum dan metode pengajaran harus disesuaikan dengan tepat untuk tahap perkembangan ini, masing-masing berkembang seiring perkembangan masa kanak-kanak. Sesuai dengan teori perkembangan masa kanak-kanak Rudolf Steiner, sistem sekolah Waldorf membagi siswa menjadi tiga "usia", atau tahap perkembangan, dan menyesuaikan pengajaran mereka sesuai dengan itu. Menurut Steiner, setiap fase berlangsung sekitar tujuh tahun. Fase tujuh tahun Steiner, kecuali dari dasar spiritualnya, umumnya identik dengan yang didefinisikan selanjutnya oleh Jean Piaget, dan dengan yang dijelaskan sebelumnya oleh Comenius dan Pestalozzi. Tujuan dari strategi ini adalah untuk merangsang perkembangan "fisik, perilaku, emosional, kognitif, sosial, dan spiritual" setiap siswa. 1. Anak Usia Dini – Kembangkan anggota tubuh Anak-anak kecil sejak lahir hingga usia tujuh tahun terutama hidup melalui indra mereka dan belajar paling baik melalui peniruan. Berjuang untuk menjadi sosok yang layak ditiru, pendidik anak usia dini Waldorf mengasuh perkembangan setiap anak, menyediakan lingkungan yang lembut namun kaya sensorik dan aktivitas berbasis permainan yang



mendorong anak kecil untuk menyelidiki dunia alam, menjelajahi hubungan sosial, dan memperluas kapasitas imajinatif. Kegiatan ini meletakkan dasar penting untuk perkembangan intelektual, emosional, dan fisik. 2. Masa Kecil Menengah – Kembangkan hati melalui imajinasi Antara usia tujuh dan 14 tahun, anak-anak belajar paling baik melalui pelajaran yang menyentuh perasaan mereka dan menghidupkan kekuatan kreatif mereka. Kurikulum sekolah rendah Waldorf hidup dengan dongeng dan fabel, saga mitologis, dan biografi tokoh sejarah yang menggugah. Waldorf SD (atau "kelas") guru mengintegrasikan cerita, drama, gerakan ritmis, seni visual, dan musik ke dalam pekerjaan seharihari mereka, menenun permadani pengalaman yang menghidupkan setiap mata pelajaran dalam pemikiran, perasaan, dan kemauan anak. Dipercayakan dengan tugas penting untuk menemani siswa mereka dalam perjalanan beberapa tahun, guru kelas 1-8 Waldorf memiliki peran yang serupa dengan peran orang tua yang efektif, membimbing pembelajaran akademik formal anak-anak sambil membangkitkan perkembangan moral mereka dan meningkatkan kesadaran mereka akan tempat mereka. Di dalam dunia. 3. Masa remaja – Kembangkan pikiran melalui ketajaman dunia Usia 14 hingga 21 tahun menandai perkembangan intelek independen dan, bersamaan dengan itu, kemampuan untuk memeriksa dunia secara abstrak dan melatih kearifan, penilaian, dan pemikiran kritis. Siswa di sekolah menengah Waldorf diberikan otonomi yang lebih besar atas pendidikan mereka di bawah bimbingan guru yang ahli di bidangnya. 2.3 Pandangan model pembelajaran waldorf Pandangan ini didasari oleh Rudolf Steiner (1861-1925). Sekokah Waldorf di beberapa tempat dikenal sebagai Sekolah Steiner, yang diambil dari nama Rudolf Steiner Sekolah Waldorf sendiri diambil dari nama sekolah yang didirikan dan dikembangkan oleh Rudolf Steiner pada saat pertama kali. Sekolah Waldorf didirikan di Kota Stutgart Jerman pada tahun 1919. Sekolah Waldorf pertama kali didirikan untuk mendidik anak-anak pekerja pabrik.



Model pembelajaran Waldorf memiliki tujuan untuk meningkatkan lingkungan dan suasana belajar yang sehat dan sesuai dengan perkembangan bagi anak-anak. Pandangan yang didasari oleh Rudolf Steiner saat bersekokah ini membuatnya memili pandangan mengenai sekolah untuk anak usia dini, beberapa landangan menurut Metode Pendekatan Waldorf adalah: • Sekolah yang dapat membantu anam mengembangkan kepercayaan diri • Sekolah yang membantu anak untuk mengembangkan kreativitas diri • Sekolah yang membantu anak untuk menambah pengetahuan • Sekolah yang membantu anak untuk mengembangkan keterampilan diri 2.4 Prinsip Sekolah Waldorf Prinsip-prinsip pendidikan Waldorf didasarkan pada perkembangan manusia dan kebutuhan anak-anak yang berubah. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar ini diantaranya : 1. Two fold of human being, bahwa pada manusia melekat dualisme, masa lalu dan masa depan, Dying and becoming. Masa lalu yang mengikat dan membentuk manusia dan masa depan yang membebaskan dan memberi harapan. 2. Three fold of human being, yang tergambarkan pada wujud tubuh manusia yang terdiri dari poros atas yang didominasi oleh kepala, atau sistem sarafindera; area tengah yang diisi oleh sistem ritmik yaitu sistem pernafasan dan sistem peredaran darah; serta poros bawah yang diisi oleh sistem pencernaan. Poros atas dilambangkan dengan kepala menjalankan aktivitas berfikir yang dilaksanakan oleh akal. Area tengah sering ditunjuk ketika kegiatan mengolah rasa berlangsung. Poros bawah yang didominasi oleh tangan dan kaki melambangkan aktivitas, berkegiatan, bekerja yang dipimpin oleh karsa atau keinginan. Ketiga hal ini dikenal sebagai thinking, feeling, willing. 3. Four fold of human being, adalah konsep yang cukup rumit. Namun secara singkat penjelasannya adalah sebagai berikut; Bahwa manusia terdisi dari empat elemen tubuh. Pertama, tubuh fisik, berupa raga yang kita miliki.



Seperti mineral, bagian tubuh paling materiil. Kedua, tubuh etheric yang memastikan raga ini hidup. Memastikan darah beredar, jantung berdetak, nafas bertukar, dsb. Seperti tanaman yang memiliki raga dan etheric sehingga memungkinkan bagi tanaman untuk hidup sehat, tumbuh dan berkembang, berkembang biak. Ketiga, tubuh astral, yang menjadi wadah emosi dan perasaan juga mood. Seperti binatang yang juga memiliki astral dan kedua anggota tubuh lainnya. Keempat, elemen ini lah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu I atau Diri. Bagian tubuh yang merupakan ruh, atau spirit dari manusia. Diri ini lah yang menjadikan manusia unik, tidak ada duanya; manusia sejati. Diri adalah spiritual being yang mengisi tubuh, tumbuh dan berkembang serta menjadi manusia (individu) unik yang utuh. Selain itu, menurut Rudolf Steiner jika ingin memiliki sekolah yang menyenangkan, bisa dekat dengan anak usia dini dan membantu mereka dalam hal bermain, bertanya, berimajinasi, dan belajar. Kita harus memiliki prinsip. Berikut beberapa prinsip yang diterapkan di sekolah Waldorf adalah : 1. Accept the children with reverence (terima anak anak dengan hormat) 2. Educate them with love (didik anak dengan cinta) 3. Send them forth in freedom (beri kesempatan kepada anak anak untuk meraih kemajuan yang bebas) 2.5 Tujuan Pendidikan Pendekatan Waldorf 1. Anak-anak menikmati masa kecil yang tidak tergesa-gesa. Kunjungi sekolah Waldorf dan saksikan para siswa bermain. Anda akan melihat anak-anak yang senang diizinkan untuk hidup di saat ini, yang bebas menjelajahi alam dan pergi ke mana rasa takjub dan imajinasi mereka membawa mereka. Di dunia kita yang hiruk pikuk, di mana mendorong anak-anak untuk "cepat atau tertinggal" telah menjadi norma, pendidikan Waldorf berpandangan bahwa masa kanak-kanak adalah sesuatu yang harus dinikmati. Dengan bebas berkembang menurut ritme alami mereka sendiri, anak-anak yang dididik Waldorf menikmati masa kanak-kanak yang penuh dan kaya, mendapatkan pengalaman yang mereka butuhkan untuk menjadi individu yang sehat dan mengaktualisasikan diri.



2. Pembelajaran dilakukan secara langsung dan sesuai usia. Anda tidak akan menemukan anak-anak kecil berkeliaran di sekitar komputer di ruang kelas sekolah Waldorf atau melewatkan jalan-jalan di hutan atau perjalanan ke pertanian untuk duduk dan menjejali ujian standar. Dalam pendidikan Waldorf, belajar adalah kegiatan pengalaman. Ini bukan masalah melakukan tanpa pengalaman tertentu, ini masalah memperkenalkan anak pada setiap pengalaman pada waktu yang tepat dalam perkembangan mereka. Saat tiba waktunya untuk mengajarkan manfaat, kegunaan, dan cara kerja teknologi, guru sekolah Waldorf melakukannya. Dan pengetahuan, kesadaran diri, dan keterampilan memecahkan masalah yang dikembangkan anak-anak selama bertahuntahun penyelidikan langsung jauh lebih berharga bagi mereka sebagai pelajar dan sebagai manusia daripada apa pun yang dapat mereka ambil dengan duduk di depan layar. 3. Studi mendalam memperkaya pengalaman belajar. Keunggulan pembelajaran blok telah lama dikenal dalam pendidikan Waldorf. Dalam pelajaran harian pagi (atau "utama") mereka, siswa Waldorf dari kelas satu hingga kelas dua belas menghabiskan hingga dua jam untuk berkonsentrasi pada satu mata pelajaran yang bergilir setiap 3-4 minggu di antara disiplin ilmu. Siswa memiliki kesempatan untuk mempelajari setiap mata pelajaran secara menyeluruh dan dari sejumlah sudut pandang, yang berkontribusi pada kesenangan mereka dan pemahaman mereka tentang materi pelajaran. 4. Siswa belajar bagaimana mengambil peran aktif dalam pendidikan mereka sendiri. Dari menemukan alfabet di kelas satu hingga menemukan anatomi, aljabar, dan sejarah A.S. di kelas delapan, dan terus hingga studi sekolah menengah mereka, siswa Waldorf mengambil bagian dalam proses pembelajaran dengan membuat buku teks mereka sendiri digambar dengan indah jurnal yang berisi cerita, esai, puisi, peta, ilustrasi, deskripsi lab, dan persamaan matematika. Alih-alih mengandalkan materi yang telah dicerna sebelumnya yang disajikan kepada mereka dalam buku teks konvensional,



tindakan membuat buku "pelajaran utama" mereka memungkinkan anakanak untuk menyerap pelajaran yang dibawakan oleh guru mereka dan menjadikan pembelajaran mereka sendiri. 5. Sekolah Waldorf menghasilkan individu yang berpengetahuan luas. Pendidik Waldorf berusaha untuk mengeluarkan apa yang hidup dalam setiap siswa, tetapi berhati-hati untuk tidak terlalu menekankan satu sifat atau keterampilan di atas yang lain. Semua siswa belajar matematika dan sains dan belajar bahasa asing; mereka semua memainkan alat musik dan bernyanyi dalam paduan suara; mereka semua belajar pekerjaan tangan dan mengambil kelas gerakan dan tampil di kelas bermain. Tujuan dalam pendidikan Waldorf adalah untuk mengekspos anak-anak ke berbagai pengalaman dan mengembangkan banyak minat dan kemampuan di dalam diri mereka. Ini, pada gilirannya, mengarah pada orang-orang muda yang seimbang dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi pada kemampuan mereka untuk menerapkan keterampilan yang dikembangkan di satu bidang ke bidang lain, dan pengetahuan bahwa mereka dapat menguasai apa saja. 6. Individu yang berpendidikan Waldorf memiliki hasrat seumur hidup untuk belajar. Di sekolah Waldorf, pendidikan tidak diukur dengan kompetisi dan nilai ujian, tetapi dipandang sebagai perjalanan seumur hidup. Dan pendekatan pendidikan yang secara tepat menanggapi minat alami seorang anak di dunia tidak bisa tidak menghasilkan keinginan intrinsik untuk mencari tahu lebih banyak. Sekolah Waldorf kadang-kadang keliru dilihat sebagai "sekolah seni" karena kedalaman kurikulum seni yang baik, praktis, dan pertunjukan yang akan Anda temukan di sini, dijalin dengan gaya interdisipliner di antara semua mata pelajaran. Menariknya, sebenarnya sainslah yang menjadi pilihan karir bagi banyak alumni sekolah



Waldorf—minat



yang



dikembangkan



penemuan, dan penemuan selama bertahun-tahun.



melalui



eksplorasi,



7. Peran Sentral Seorang Guru Waldorf Sementara pendidikan Waldorf menempatkan anak-anak di jantung pedagoginya, sekolah Waldorf bergantung pada guru sebagai tumpuan proses pendidikan. Individu yang memilih untuk mengajar di sekolah Waldorf membawa dirinya sepenuhnya untuk pengembangan orang lain, memberikan pendampingan, pengembangan, dan kasih sayang yang menopang siswa seumur hidup. “Jika seseorang ingin membuat perbedaan di dunia, saya tidak dapat memikirkan hal lain yang lebih relevan untuk zaman kita selain menjadi guru Waldorf.” 2.6 Karateristik Program Pendekatan Waldorf Ciri khas dari pendidikan Waldorf yaitu pada sekolahnya yang tidak hanya untuk mengembangkan kognitif pada anak, tetapi pendidikan Waldorf juga dapat membantu siswanya dalam membangkitkan keinginan dan mencari pengetahuan serta menikmati proses belajar. Pendidikan Waldorf juga dikenal dengan pendidikan yang sangat memandang penting hal-hal seni yang dianggap erat kaitannya dengan manusia, khususnya dalam perasaan dan kehendak manusia. Steiner sebagai pendiri Waldorf percaya pada 3 hal yaitu pengetahuan, seni, dan spiritual. Oleh karena itu, dalam setiap materi pendidikannya ketiga hal tersebut selalu terkait dengan anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara keseluruhan. Konsep yang unik dalam pendidikan Waldorf adalah pendidikannya yang tidak hanya mengenai cara berpikir anak, tetapi juga melibatkan tangan dan hati. Sehingga pendidikan Waldorf tidak akan terpisahkan dalam pembuatan suatu karya seperti membuat karya seni dan kerajinan serta menceritakan kisah-kisah yang indah, drama, dan musik. Waldorf memiliki kurikulum khusus pada sekolahnya sendiri yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pada tahun awal, kurikulum Waldorf membahas indera, imajinasi dan tubuh anak. Ditahap selanjutnya, kurikulum Waldorf membebaskan anak-anak di sekolahnya untuk berimajinasi sesuai tingkat perkembangannya seperti



menggambar, mendongeng dan menulis, sedangkan penerapan pendidikan matematika menggunakan suatu irama ritme atau gerakan tari. Waldorf percaya pada anak secara keseluruhan yang terdiri dari kepala, hati dan tangan. Dalam proses ini, guru atau tutor tidak mendukung untuk menanamkan materi intelektual kepada anak, tetapi untuk membantu proses belajar anak. Ada beberapa karakteristik dari Metode Program Pendekatan Waldorf, diantara nya: 1. Menciptakan pelajar yang peduli ● Kepekaan Anak-anak pada Lingkungan ● Pentingnya Permainan ● Manfaat Pengelompokan Campur Usia ● Menerapkan Rutinitas 2. Mengajar Untuk Mendorong Perkembangan dan Pembelajaran ● Penghormatan, antusiasme dan perlindungan ● Hubungan Anak-anak dengan pengalaman Pengindraan ● Bekerjasama dengan Teman Sebaya ● Belajar dengan Melakukan Tanggungjawab 3. Membuat Kurikulum yang Tepat ● Memelihara Anak Secara Keseluruhan ● Menggabungkan Berbagai Jenis Disiplin Ilmu ● Mempertahankan Keteguhan Kecerdasan ● Merangkul Perbedaan



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pendidikan Waldorf dimulai dengan premis bahwa masa kanak-kanak terdiri dari tiga tahap berbeda yang masing-masing kira-kira tujuh tahun lahir hingga usia tujuh (masa kanak-kanak), tujuh hingga 14 (masa kanak-kanak menengah), dan 14 hingga 21 (remaja). Model pembelajaran Waldorf memiliki tujuan untuk meningkatkan lingkungan dan suasana belajar yang sehat dan sesuai dengan perkembangan bagi anak-anak. Ciri khas dari pendidikan Waldorf yaitu pada sekolahnya yang tidak hanya untuk mengembangkan kognitif pada anak, tetapi pendidikan Waldorf juga dapat membantu siswanya dalam membangkitkan keinginan dan mencari pengetahuan serta menikmati proses belajar. Waldorf percaya pada anak secara keseluruhan yang terdiri dari kepala, hati dan tangan. Dalam proses ini, guru atau tutor tidak mendukung untuk menanamkan materi intelektual kepada anak, tetapi untuk membantu proses belajar anak.



3.2 Saran Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan riset lebih mendalam lagi mengenai Model Pembelajaran waldorf. Makalah ini tidak lepas dari segala kekurangan yang ada, oleh karena itu penulis dengan senang hati akan menerima segala kritik dan saran mengenai makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA Alheit, P. (2018). Biographical learning- within the new lifelong learning discourse. In K. Illeris (Ed.), Contemporary Theories of Learning. Learning theorists...in their own voice (2nd. Edition ed., pp. 153-165). London and New York: Routledge. Alheit, P., & Dausien, B. (2000). ‚Biographicity as a basic resource of lifelong learning. In P. Alheit (Ed.), Lifelong Learning Inside and Outside of Schools (pp. 400-422). Roskilde: Den: Riskilde University, Universität Bremen, University of Leeds. Dewi, Keny. (2019). Pengenalan Pendidikan Waldorf Usia 3-7 Tahun. Bandung. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, E. al. (2015). NSPK (Norma, Standar,



Prosedur,



dan



Kriteria)



Petunjuk



Teknis



Pelaksanaan



Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak. Gunawan, I. (2013). Metode Penilitian Kualitatif Teori dan Praktek. Jakarta : PT Bumi Aksara. Willmann, C., & Weiss, L. (2019). INASTE. The next generation of Waldorf Teachers. Vienna: INASTE. Woods, G. J., & Woods, P. A. (2008). Democracy and spiritual awareness: interconnections and implications for educational leadership. International Journal of Children‘s Spirituality, 13(2), 101-116. Zdrazil, T. (2019). Freie Waldorfschule in Stuttgart 1919-1925. Rudolf Steinerdas Kollegium-die Pädagogik. Stuttgart: Verlag Freies Geistesleben.