2021 - PSIK A - Dwi Putra Setiawan - 21117045 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Skripsi TERAPI KOMPLEMENTER ALTERNATIF DALAM MENURUNKAN PRURITUS UREMIK PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISA: LITERATURE REVIEW



Dwi Putra Setiawan 21117045



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2021



i



Literature Review TERAPI KOMPLEMENTER ALTERNATIF DALAM MENURUNKAN PRURITUS UREMIK PADAPASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISA



Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan



Dwi Putra Setiawan 21117045



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2021



ii



HALAMAN PERSETUJUAN



Skripsi ini diajukan oleh : Nama



: Dwi Putra Setiawan



NIM



: 21117045



Program Studi



: Ilmu Keperawatan



Judul Skripsi



: Terapi komplementer alternatif dalam menurunkan Pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa: Literature Review



Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di depan tim penguji Skripsi.



Palembang, 21 April 2021



Pembimbing I



Pembimbing II



Sukron, S.Kep., Ns., MNS NBM.1268645



Yulius Tiranda, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D NBM.1085013



Disetujui Ketua Program Studi



Yudi Abdul Majid, S.Kep,. Ns., M.Kep NBM.1056216



iii



HALAMAN PENGESAHAN



Nama



: Dwi Putra Setiawan



NIM



: 21117045



Program Studi



: Ilmu Keperawatan



Judul



: Terapi komplementer alternatif dalam menurunkan Pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa: Literature Review



Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawtaan Fakultas Ilmu Kesehatan Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang.



DEWAN PENGUJI



Pembimbing I



: Sukron, S.Kep., Ns., MNS



(....................)



Pembimbing II



: Yulius Tiranda, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D (.....................)



Penguji I



: Suratun, S.Kep., Ns., M.Kep



(....................)



Penguji II



: Joko Tri Wahyudi, S.Kep., Ns., M.Kep



(....................)



Ditetapkan di : Palembang Tanggal 21 April 2021 Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan



Maya Fadlilah, S.Kep., Ns., M.Kes NBM.999587



iv



HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS



Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.



Nama



: Dwi Putra Setiawan



NIM



: 21117045



Tanda Tangan



: ....................................



Tanggal



: 21 April 2021



v



HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS



Sebagai civitas akademik IKesT Muhammadiyah Palembang, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama



: Dwi Putra Setiawan



NIM



: 21117045



Program Studi



: Ilmu Keperawatan



Jenis karya



: Skripsi



demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada IKesT Muhammadiyah Palembang Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Nonexclusive Royalty-Free Right)atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pengaruh Penggunaan Madu terhadap Luka iritasi Kulit Peristoma: Review Literatur. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini IKesT Muhammadiyah Palembang berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di : Palembang Pada Tanggal : 21 April 2021 Yang Menyatakan



Dwi Putra Setiawan NIM.21117045



vi



KATA PENGANTAR



Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan di Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1.



Bapak Heri Shatriadi CP., M.Kes selaku Rektor Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang.



2.



Ibu Maya Fadlillah, S.Kep., Ns., M.Kes selaku dekan fakultas ilmu kesehatan Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang yang banyak memberikan arahan yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan non akademik.



3.



Bapak Yudi Abdul Majid, S.Kep., Ns., M.Kep selaku ketua program studi ilmu keperawatan Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang.



4.



Bapak Sukron, S.Kep., Ns., MNS selaku pembimbing I yang telah membimbing



dan



mengarahkan



penulis



dalam



proses



pembuatan



skripsi/literature review ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya. 5.



Bapak Yulius Tiranda, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D selaku pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses pembuatan skripsi/literature review ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.



6.



Ibu Suratun, S.Kep., Ns., M.Kep selaku penguji I yang telah memberikan kritik, saran dan motivasi selama proses pembuatan skripsi/literature review ini.



7.



Bapak Joko Tri Wahyudi, S.Kep., Ns., M.Kep selaku penguji I yang telah memberikan



kritik,



saran



dan



motivasi



skripsi/literature review ini.



vii



selama



proses



pembuatan



8.



Segenap dosen program studi Ilmu Keperawatan Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan bimbingan, serta pengarahan dengan penuh perhatian dan kesabaran berhubungan dengan proses perkuliahan.



9.



Kedua orang tua bapak Nurbawi Santoso, S.H , ibu Euis Zubaidah dan kedua saudara ku Cecep Rudi Darmawan dan Vira Putri Anjani yang selalu memberikan doa, semangat, dorongan, nasehat, kasih sayang dan dukungan moril maupun materil dalam penyusunan Skripsi/literature review ini.



Akhir kata, saya berharap Allah SWT, berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.



Palembang,



April 2021



Penulis



Dwi Putra Setiawan



viii



RIWAYAT HIDUP PENULIS



Nama



: Dwi Putra Setiawan



NIM



: 21117045



Fakultas



: Ilmu Kesehatan



Program studi



: Ilmu Keperawatan



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Tempat Lahir



: Sumber Jaya, Musi Rawas



Tanggal Lahir



: 10 Desember 1998



Anak Ke



: 2 dari 3 bersaudara



Agama



: Islam



Kewarganegaraan



: Indonesia



Alamat



: Jln.Silaberanti, Kota Palembang



Orang tua Ayah



: Nurbawi Santoso, S.H



Ibu



: Euis Zubaidah



Alamat



: Desa Sumber Jaya, Kec. Sumber Harta, Kab. Musi Rawas



Telp



: 0853 6658 5251



Riwayat Pendidikan ▪



2005-2011



: SD Negeri 1 Sumber Jaya







2011-2014



: SMP Negeri 1 Sumber Harta







2014-2017



: SMA Negeri 1 Musi Rawas







2017-2021



: Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Institut Ilmu



Kesehatan



Palembang



ix



dan



Teknologi



Muhammadiyah



ABSTRAK Nama NIM Program Studi Judul



Jumlah Halaman



: Dwi Putra Setiawan : 21117045 : Ilmu Keperawatan : Terapi komplementer alternatif dalam menurunkan Pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa: Literature Review : 56 Halaman



Latar Belakang: Angka kejadian gagal ginjal kronik cukup tinggi dan mengalami kenaikan setiap tahunnya dan memerlukan terapi hemodialisa. Terapi hemodialisa secara rutin dapat menimbulkan komplikasi diantaranya pruritus uremik.Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu kenyamanan dan aktivitas sehari-hari pasien. Salah satu perawatan pada pruritus uremik yaitu dengan terapi komplementer yang mampu menurunkan derajat pruritus uremik yang dialami pasien. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh terapi komplementer alternatif dalam menurunkan pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik yang mendapat hemodialisa. Metode: Pada penelitian ini digunakan metode Literature Review dengan mengambil sumber data menggunakan database elektronik Pubmed, Science direct, Proquest, Ebsco dan Willey antara tahun 2015-2020. Kata kunci yang digunakan yaitu, Complementary therapy, Uremic pruritus, Chronic kidney disease, Hemodialysis. Dari 147 artikel yang diidentifikasi, 8 jurnal yang memenuhi kriteria inklusi. Artikel yang di review didapatkan dari hasil diskusi dan validasi antara peneliti dan pembimbing. Hasil: Berdasarkan dari hasil 8 artikel penelitian yang di analisis oleh penulis didapatkan hasil ada 7 terapi yang digunakan yaitu, mengkompres air hangat, akupresur aurikuler, minyak violet topikal, akupresur, topikal capsaicin, aromaterapi, gel lidah buaya. Kesimpulan: Pasien prurtitus uremik yang mendapatkan terapi komplementer alternatif mengalami perubahan ke arah positif dan dapat mengurangi keparahan pruritus uremik. Kata Kunci Daftar Pustaka



: Complementary therapy, Uremic pruritus, Chronic kidney disease, Hemodialysis. : 30 (2015-2020)



x



ABSTRACT Name Student ID Study Program Title



Number Of Pages



: Dwi Putra Setiawan : 21117045 : Bachelor of Nursing : Complementary alternative therapy in reducing uremic pruritus in chronic kidney disease patient on hemodialysis: Literature Review : 56 Pages



Background: Chronic renal failure incidence increasing yearly, then comosly have’s need a hemodialysis as a treathment. Hemodialysis may lead complication, oneof it is uremic pruritus, where as affects to the comfort the daily activities. Furthermore, complementary the also recommended in order to reduce the occurence of uremic pruritus. Objective: The aim in this study was to determine the effect of complementary alternative therapy in reducing uremic pruritus in chronic renal failure patients receiving hemodialysis. Methods: In this study, the Literature Review method used, using electronic database: Pubmed, Science direct, Proquest, Ebsco and Willey between 2015-2020, and keywords were Complementary therapy, Uremic pruritus, Chronic kidney disease, Hemodialysis. 147 articles identified, whereas 8 journals following inclusion criteria.The articles reviewed were obtained from the results of discussions and validation among researcher. Results: There were 7 therapies including, compressing warm water, auricular acupressure, topical violet oil, acupressure, topical capsaicin, aromatherapy, aloe vera gel. Conclusion: Complementary and alternative therapy could reduce the severity of uremic pruritus.



Keyword Bibliography



: Complementary therapy, Uremic pruritus, Chronic kidney disease, Hemodialysis. : 30 (2015-2020)



xi



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ................................................... v HALAMA PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................................... vi KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii RIWAYAT HIDUP PENULIS ............................................................................. ix ABSTRAK ............................................................................................................ x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv BAB I A. B. C.



PENDAHULUAN .................................................................................. 1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 Rumusan Masalah ..................................................................................... 3 Tujuan Literature Review ......................................................................... 4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5 A. Konsep Dasar Teori Gagal Ginjal Kronik ................................................. 5 1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik .......................................................... 5 2. Etiologi ................................................................................................ 5 3. Patofisiologi ........................................................................................ 6 4. Manifestasi klinis ................................................................................ 8 5. Klasifikasi ........................................................................................... 8 6. Komplikasi .......................................................................................... 9 7. Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronis ..................................... 9 8. Penatalaksanaan .................................................................................. 11 B. Konsep Dasar Henodialisa ........................................................................ 12 1. Pengertian Hemodialisa ...................................................................... 12 2. Cara Kerja Hemodialisa ...................................................................... 12 3. Prinsip Hemodialisa ............................................................................ 13 4. Tujuan Hemodialisa ............................................................................ 14 5. Komplikasi Hemodialisa ..................................................................... 15 C. Konsep Dasar Pruritus Uremik ................................................................. 15 1. Pengertian Pruritus Uremik ................................................................. 15 2. Etiologi Pruritus Uremik ..................................................................... 16 3. Klasifikasi/Derajat Pruritus Uremik .................................................... 16 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pruritus Uremik......................... 17 5. Manifestasi Klinis Pruritus Uremik .................................................... 20 6. Penilaian/Pengukuran Derajat Skala Pruritus Uremik ........................ 21 7. Penatalaksanaan Pruritus Uremik ....................................................... 24 8. Dampak Pruritus Uremik .................................................................... 25 D. Pengertian Terapi Komplementer ............................................................. 26 E. Macam-macam Terapi Komplementer ..................................................... 27 F. Kerangka Teori.......................................................................................... 28



xii



BAB III METODE LITERATURE REVIEW ................................................. 29 A. Desain Penulisan Literature ...................................................................... 29 B. Strategi Penulisan Literature ..................................................................... 29 1. Database elektronik ............................................................................ 29 2. Kata kunci .......................................................................................... 29 C. Strategi Penelusuran Literature ................................................................. 30 D. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi .................................................................... 30 E. Proses Seleksi Literature ........................................................................... 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 33 A. Hasil .......................................................................................................... 33 B. Pembahasan ............................................................................................... 38 C. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 48 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 49 A. Kesimpulan ............................................................................................... 49 B. Saran .......................................................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 50 LAMPIRAN.................................................................................................................... 53



xiii



DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Kata Kunci Literature Review............................................................... 29 Tabel 3.2 Format PICOS dalam Literature Review .............................................. 31 Tabel 4.1 Ekstraksi Data ....................................................................................... 34



xiv



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Cara Kerja Hemodialisa .................................................................... 13 Gambar 2.2 Kerangka Teori .................................................................................. 28 Gambar 3.1 Diagram Alur Jurnal .......................................................................... 32 Gambar 4.1 Lokasi Titik Akupresur Aurikuler ..................................................... 41



xv



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit merupakan sebuah kondisi tidak normalnya sebuah perangkat organ yang ada di dalam tubuh manusia yang menyebabkan rasa sakit yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan orang yang menderitanya. Salah satu penyakit yang terus meningkat persentasenya saat ini dan menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat adalah penyakit ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit menakutkan dikarenakan gagal ginjal belum ada obat untuk penyembuhannya, angka kejadian gagal ginjal kronik tahun ke tahun semakin meningkat, penderitanya bisa siapa saja baik pria maupun wanita, tua maupun muda bukan jadi ukuran klien yang terkena gagal ginjal kronik (Manurung, 2018). Penyakit ginjal merupakan salah satu isu kesehatan dunia dengan beban pembiayaan yang tinggi. Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal akibat destruksi struktur ginjal dan mrngakibatkan terganggunya fungsi ginjal secara terus-menerus dan menyebabkan dampak yang berkelanjutan. Penyebab utama gagal ginjal kronik adalahg diabetes melitus dan hipertensi. Jumlah penderita kedua penyakit tersebut yang semakin banyak mengakibatkan faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronik semakin besar. Studi Global Burden Disease (GBD) Tahun 2015 juga memperkirakan bahwa, pada Tahun 2015, 1,2 juta orang meninggal karena gagal ginjal, meningkat 32% sejak Tahun 2005. Pada Tahun 2010, diperkirakan 2,3-7,7 juta orang dengan penyakit ginjal tahap akhir meninggal tanpa akses ke dialisis kronis. Selain itu, setiap tahun, sekitar 1,7 juta orang diperkirakan meninggal karena cedera ginjal akut. Oleh karena itu, diperkirakan 5-10 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ginjal (WHO, 2018). Data gagal ginjal di salah satu negara di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Sudoyo et al., 2010).



1



Pasien GGK dapat mengalami berbagai komplikasi seperti edema paru, edema perifer, ketidakseimbangan elektrolit, dan kelebihan toksik uremik yang dapat menyebabkan rasa gatal atau pruritus. Terapi yang dapat dilakukan pasien gagal ginjal kronik antara lain hemodialisa, continuos ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), atau transplantasi ginjal. Terapi yang paling banyak dilakukan pasien gagal ginjal kronik adalah hemodialisa. Terapi hemodialisis adalah proses terjadinya difusi partikel yang terlarut dan air secara pasif yang dilakukan melalui kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen dialisat melewati membran semi permeabel dalam dializer dan sampai saat ini masih diberikan kepada pasien gagal ginjal kronik untuk mempertahankan fungsi ginjal yang telah rusak seperti menghilangkan gejala uremia, kelebihan cairan tubuh dan untuk keseimbangan pada elektrolit tubuh, dimana hemodialisis adalah (Price & Wilson, 2015). Terapi hemodialisa dapat pula menimbulkan beberapa efek samping seperti nyeri, demam, kram, disequilibrium syndrome, dan pruritus uremik. Pruritus merupakan keluhan pada bagian kulit integumen yang paling sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, dengan prevalensi 58% sampai 90% pasien. Pruritus dapat mempengaruhi kualitas hidup, menyebabkan gangguan tidur, dan meningkatkan resiko mortalitas. Pruritus pada pasien gagal ginjal kronik yang menjlani hemodialisa disebut pruritus uremik. Patogenesis pruritus uremik dengan gagal ginjal kronik dan pruritus uremik dengan hemodialisa sampai sekarang belum sepenuhnya diketahui. Penyebab yang paling banyak dikaitkan dengan terjadinya pruritus adalah toksin uremik yang terakumulasi dari sisa metabolisme. Setelah terapi hemodialisa pun, biasanya gejala pruritus tidak berkurang.Hal ini disebabkan karena pada pasien hemodialisa, hanya 48-52% saja toksin uremik dapat dikeluarkan. Hipotesis lain menyatakan bahwa pruritus uremik dapat dihubungkan dengan alergi disensitisasi oleh komponen-komponen pada saat melakukan hemodialisa. Pruritus uremik sering dikaitkan sebagai penyebab kematian pada penderita gagal ginjal kronik dimana pruritus uremik dapat mengganggu



2



kualitas hidup bahkan dapat meningkatkan mortalitas pada penderita dan gejala ini menjadi gangguan kulit yang paling sering dan terjadi pada penyakit sistemik, kejiwaan (Reich & Szepietowski, 2013). Beberapa manajemen pengobatan pada pasien dengan pruritus uremik termasuk farmakologi, psikologi dan terapi komplementer. Manajemen medis termasuk modifikasi teknik dialisis,pemberian antihistamin dan ultraviolet irradiation dan pengobatan herbal seperti aromatherapy yang digunakan untuk mengurangi pruritus uremik (Abdelghfar, 2017). Berdasarkan dari uraian diatas gagal ginjal ialah suatu penyakit dengan beban biaya pengobatan yang tinggi, salah satunya dengan cara hemodialisa. Angka kejadian gagal ginjal kronik cukup tinggi dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Terapi hemodialisa menimbulkan pruritus uremik, yaitu sensasi keinginan menggaruk, rasa gatal dirasakan hampir seluruh tubuh, maupun hanya di area tertentu. Adanya eksoriasi atau bekas garukan maupun dengan tanpa adanya eksoriasi dan frekuensi yang dialami hilang timbul. Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu kenyamanan dan aktivitas seharihari pasien. Hasil yang didapatkan oleh penulis ada beberapa artikel yang membahas terapi komplementer yang mampu memberikan efek positif pada kejadian pruritus yang dialami pasien. Oleh sebab itu, penulis ingin mengetahui atau menelaah bagaimana pengaruh terapi komplementer alternatif dalam menurunkan derajat pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa. Hal ini bertujuan untuk perawat dapat memberikan informasi dan edukasi masalah penanganan pruritus,sehingga pasien dapat memahami manajemen penanganan pruritus.



B. Rumusan masalah Pruritus uremik merupakan sensasi yang tidak nyaman dan rasa seperti gatal pada tubuh dan salah satu dampak yang paling sering terjadi pada pasien gagal gagal ginjal kronik yang dapat memberikan dampak seperti gangguan tidur, gangguan fisik sehingga dapat menurunkan kualitas hidup bahkan dapat meningkatkan angka kematian.



3



Perawatan sangat diperlukan pada pasien pruritus uremik khususnya perawatan non-farmakologi karena dianggap lebih aman daripada pemberian obat-obatan. Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka penulis merumuskan masalah yaitu “Apakah ada pengaruh terapi komplementer alternatif dalam menurunkan derajat pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa”



C. Tujuan literature review Untuk menelaah jurnal dengan literature review dengan database elektronik saat ini mengenai pengaruh terapi komplementer alternatif dalam menurunkan derajat pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Teori Gagal Ginjal Kronik (GGK) 1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik Gagal



ginjal



kronik



adalah



kegagalan



fungsi



ginjal



untuk



mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang proresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin et al., 2011). Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel, di mana fungsi ginjal mengalami penurunan dalam mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga terjadi uremia (Ariani, 2016). Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) merupakan kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal di mana kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elktrolit, yang menyeabkan azotemia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Diyono et al., 2019). Gagal ginjal adalah gangguan pada fungsi ginjal yang progresif dan irreversible sehingga kemampuan ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit yang menyebabkan uremia (kardiyundiani et al., 2019). Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73 m selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving Global Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management). Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis atau penanda keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah, urin atau studi pencitraan (Kementriaan Kesehatan RI, 2017).



2. Etiologi Gagal Ginjal Kronik Menurut Haryono (2013) etiologi dari gagal ginjal kronis adalah:



5



a. Infeksi saluran kemih (piolonefritis kronis) b. Penyakit peradangan (glomerulonefritis) c. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis) d. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliartertitis nodusa, sklerosis sistemik) e. Penyakit kongenital sistemik (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal) f. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiriodisme) g. Nefropati toksik h. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) Menurut Ariani (2016) penyakit gagal ginjal kronis di sebabkan oleh hipertensi dan diabetes. Sekitar 25% kasus gagal ginjal kronis diindikasikan terpicu oleh hipertensi, sementara 30% terpicu oleh diabetes.



3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan



ekskresi,



sejumlah



besar



urine



dikeluarkan,



yang



menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Bayhakki, 2013). Menurut Haryono (2013), perjalanan klinis gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu: a. Stadium I Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40%-75%). Tahap inilah yang paling ringan; faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita belum merasakan gejala-gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal



6



masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitroen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan menandakan test GFR yang teliti. b. Stadium II Insufiensi ginjal (faal ginjal antara 20%-50%). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun, pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan



cairan,



kekurangan



garam,



gangguan



jantung



dan



pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah-langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat, dapat mencegah penderita masuk ke tahap lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal. Poliuria menjadi akibat gagal ginjal biasanya menjadi lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal 5%-25%. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala-gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu. c. Stadium III Uremi gagal ginjal (faal kurang dari 10%). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan tidak dapat melakukan tugas seharihari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak napas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10ml/menit atau kurang.



7



Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.



4. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik Manifestasi klinis gagal ginjal kronis menurut Haryono (2013), adalah sebagai berikut: a. Sistem kardiovaskuler, antara lain hipertensi, pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena leher. b. Sistem pulmoner, antara lain nafas dangkal, krekel, kusmaul, sputum kental dan liat. c. Sistem gastrointestinal, antara lain anoreksia, mual dan muntah, perdarahan saluran GI, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas berbau amonia. d. Sistem muskuloskeletal, antara lain kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang. e. Sistem integumen, antara lain warna kulit abu-abu mengkilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. f. Sistem reproduksi, antara lain amenore, atrofi testis.



5. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Klasifikasi penyakit ginjal kronik di dasarkan atas dua hal yaitu, atas derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologis.Klasifikasi berdasarkan derajat (stage) penyakit, ditetapkan atas dasar perhitungan nilai dari GFR. Pedoman K/DOQI (Kidney/Dialysis Outcome Quality Initiative)merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus CockrofitGault untuk orang dewasa. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit adalah sebagai berikut ( Black & Hawk, 2014) a. Stadium 1 yaitu kerusakan ginjal dengan tingkat filtrasi glomerulus (GFR) normal, berada pada risiko dengan GFR >90/menit/1,73 m2.



8



b. Stadium 2 yaitu kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan atau istilah lain yang digunakan kelainan ginjal kronis atau chronic renal insufficiency-CRI dengan GFR 60-89/menit/1,73 m2. c. Stadium 3 yaitu kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang atau istilah lain yang digunakan CRI, gagal ginjal kronis (chronic renal failure- CRF) dengan GFR 30-59/menit/1,73 m2. d. Stadium 4 yaitu kerusakan ginjal dengan penurunan GFR parah atau istilah lain yang digunakan gagal ginjal kronis(chronic renal failureCRF) dengan GFR 15-29/menit/1,73 m2. e. Stadium 5 yaitu gagal ginjal atau istilah lain yang penyakit ginjal stadium akhir (End- stage renal disease- ESRD) dengan GFR < 15 /menit/1,73 m2. 6. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik Menurut Haryono (2013) komplikasi gagal ginjal yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup: a. Hierkalemia,



akibat



penurunan



ekskresi,



asidosis



metabolic,



katabolisme dan masukan diit berlebihan. b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. c. Hipertensi, akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem renin, aniotension, aldosteron. d. Anemia, akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi. e. Penyakit tulang, akibat retensi fosfat, kadar kalium serum yang rendah metabolisme vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar albumin.



7.



Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronik Menurut Syamsiah (2011), ada beberapa pemeriksaan diagnostik untuk gagal ginjal kronik antara lain: a. Pemeriksaan laboratorium Penilaian GGK dengan gangguan yang serius dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, seperti



9



kadar serum sodium/natrium dan potassium atau kalium, pH, kadar serum fosfor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam arah (BUN) serum dan konsentrasi kreatinin urin urinalisis. Pada stadium yang cepat pada insufiensi ginjal, analisa urine dapat menunjang dan sebagai indikator untuk melihat kelainan fungsi ginjal, batas kreatinin, urin rata-rata dari urine tampung selama 24 jam. Analisa urine dapat dilakukan pada stadium gagal ginjal yang mana dijumpai produksi urine yang tidak normal. Dengan urine analisa juga juga dapat menunjukkan kadar protein, glukosa, RBC/eritrosit dan WBC/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada gagal ginjal yang progesif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi urine menurun, monitor kadar BUN dan kadar kreatinin sangat penting bagi pasien gagal ginjal. Urea nitrogen adalah produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin 20:1. Bila ada peningkatan BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein. b. Pemeriksaan radiologi Beberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain: 1) Flat-flat radiografi keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi dan klasifikasi dari gijal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan adanya proses infeksi. 2) Computer Tomography Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas anatomi ginjal yang penggunaannya dengan memakai kontras atau tanpa kontras. 3) Intervenous Pyelography (IVP) dugunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa dugunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan,anomali kongenital, kelainan prostat, caculi ginjal, abses ginjal, serta obstruksi saluran kencing.



10



4) Arteriorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena dan kapiler ginjal dengan menggunakan kontras. 5)Magnetig



Rosonance



Imaging



(MRI)



digunakan



untuk



mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathy, ARF, proses infeksi ginjal serta post transplantasi ginjal. c. Biopsi ginjal Untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonefritis, sindrom nefrotik, penyakit ginjal bawaan dan perencanaan transplantasi ginjal.



8. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik Penatalaksanaan gagal ginjal kronik menurut Haryono (2013) antara lain: a. Obat-obatan Antihipertansi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih), tranfusi darah. b.



Intake cairan dan makanan 1) Minum yang cukup 2) Diet rendah protein 3) Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani hemodialisa 4) Batasi asupan cairan 5) Hindari makanan kaya kalsium



c. Tranplantasi ginjal Merupakan suatu metode terapi dengan cara memanfaatkan sebuah ginjal sehat yang diperoleh melalui proses pendonoran dan diakukan melalui proses pembedahan. d.



Hemodialisis Hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti



fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun dari peredaran darah (Haryono, 2013). Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa tentunya memiliki tingkat kecemasan yang



11



berbeda-beda hal ini dipengaruhi karena adanya factor-faktor yang mempengaruhi diantaranya usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, tipe kepribadian, lingkungan dan situasi. Penyebab kecemasan yang dialami biasanya dikarenakan melihat selang-selang yang dialiri darah, biaya yang harus dikeluarkan saat menjalani hemodialisa, cemas karena akan ditusuk dan ketidak pastian akan kesembuhan (Alfiannur, 2015).



B. Konsep Dasar Hemodialisa 1. Pengertian Hemodialisa Hemodialisa adalah suatu terapi pengganti ginjal menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), berfungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan



sisa-sisa



metabolisme



dan



memperbaiki



gangguan



keseimbangan cairan dan elektrolit (Hutagao, 2016). Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto & Madjid, 2014). Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal untuk pasien penyakit ginjal kronik. Terapi ini dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak (Brunner dan Suddarth, 2013). Hemodialisa



merupakan



metode



yang



digunakan



untuk



mengoptimalkan fungsi ginjal yang mengalami kegagalan secara permanen. Hemodialisis merupakan suatu proses membersihkan darah, membuang produk sisa dan kelebihan cairan melalui mesin yang dihubungkan ke dalam tubuh pasien (Perkumpulan Nefrologi Indonesia, 2016). Pasien melakukan hemodialisis di unit hemodialisis 2-3 kali per minggu dengan periode waktu 3-5 jam setiap periode (Lewis et al., 2014).



2. Cara kerja hemodialisa Cara



kerja



hemodialisa



yaitu



darah



mengalir



ke



dalam



kompartemen dari dializer, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat



12



sisa, kemudian cairan diubah (ultrafiltrasi) dengan menggunakan tekanan hidrostatik pada kompartemen dialisat, yang menyebabkan cairan bergerak melewati membran (Novitasari et al., 2015).



Gambar 2.1 Cara kerja hemodialisa



3. Prinsip hemodialisa Hemodialisa merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi. Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membran semipermeabel berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul.Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit, dan untuk penambahan serum bikarbonat. Laju difusi sebanding dengan suhu larutan (meningkatkan gerakan molekul secara acak) dan berbanding terbalik dengan viskositas dan ukuran molekul yang dibuang (molekul besar akan terdifusi dengan lambat). Dengan meningkatkan aliran darah yang melalui dialiser, akan meningkatkan klirens dari zat terlarut dengan berat molekul rendah (seperti urea, kreatinin, elektrolit) dengan tetap mempertahankan gradien konsentrasi yang tinggi. Zat terlarut yang terikat protein tidak dapat dibuang melalui difusi karena protein yang terikat tidak dapat melalui membran. Hanya zat terlarut yang tidak terikat protein yang dapat melalui membran atau terdialisis (Suhardjono, 2014). Ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik



13



maupun tekanan osmotik. Air dan zat terlarut dengan berat molekul kecil dapat dengan mudah melalui membran semipermeabel, sedangkan zat terlarut dengan berat molekul besar tidak akan melalui membran membran semipermeabel. Ultrafiltrasi terjadi sebagai akibat dari perbedaan tekanan positif pada kompartemen darah dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat atau transmembran pressure (TMP). Nilai ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan/gradien tekanan persatuan waktu. Karakteristik membran menentukan tingkat filtrasi, membran high flux mempunyai permukaan kontak yang lebih tipis dan memiliki pori – pori yang besar sehingga mempunyai tahanan yang rendah untuk filtrasi. Permeabilitas membran diukur dengan koefisien ultrafiltrasi dengan satuan mL/ mmHg/ jam dengan kisaran antara 2 – 50 mL/ mmHg / jam (Suhardjono, 2014). Selain kemampuan difusi dan filtrasi, membran dialisis yang sintetik mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi protein seperti sitokin, interleukin, dan lain – lain. Sehingga dapat mengurangi konsentrasi interleukin dan protein lain yang terlibat dalam proses inflamasi atau sindrom uremia. Hal ini tentu sangat bermanfaat pada pasien dengan inflamasi.



4. Tujuan hemodialisa Terapi hemodialisa mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal (Suharyanto et al., 2013). Untuk mengambil mengambil zat–zat nitrogen yang toksik dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam – basa, mengembalikan beberapa manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel (Black & Hawk, 2009). Walaupun hemodialisa dapat mencegah kematian namun demikian tidak



14



menyembuhkan mengimbangi



atau



memulihkan



hilangnya



aktivitas



penyakit



ginjal,



tidak



mampu



metabolik



atau



endokrin



yang



dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal.



5. Komplikasi hemodialisa Banyak komplikasi yang dapat dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik seperti kelelahan, kelemahan otot, kulit kering dan insomnia serta salah satu keluhan lainnya adalah pruritus uremik yang merupakan sensasi tidak nyaman atau rasa gatal yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani terapi hemodialisa dan ditemukan lebih dari 40% pasien yang menjalani terapi hemodialisa mengalami uremik pruritus (Nakhee, 2015). Beberapa komplikasi yang sering dialami oleh pasien dengan hemodialisis diantaranya hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan selama dialysis, mual dan muntah, kram otot yang nyeri, peningkatan kadar uremic dalam darah dan pruritus (Juwita et al., 2016).



C. Konsep Dasar Pruritus Uremik 1. Pengertian Pruritus Uremik Pruritus uremik adalah suatu gejala resisten dan umum terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa jangka panjang, tetapi faktor yang dihubungkan dengan keadaan pruritus belum jelas (Ko, 2013). Pruritus uremik adalah pruritus yang terjadi pada gagal ginjal yang disebabkan oleh toksin uremik,dengan prevalensi berkisar antara 20%-50%. Pruritus uremik dapat mengganggu aktivitas atau pekerjaan,mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup (Sari, 2019). Istilah pruritus berasal dari bahasa latin yang berarti gatal. Pruritus merupakan sensasi kulit yang tidak menyenangkan yang menyebabkan keinginan untuk menggaruk. Pruritus uremik adalah pruritus yang paling sering terjadi pada penderita gagal ginjal kronik (GGK) dengan kadar ureum yang tinggi dan tidak terlihat pada gagal ginjal akut (Virga, 2003).



15



Pruritus merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada pasien hemodialisis. Hampir 60-80% pasien yang menjalani dialisis (baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal) mengeluhkan pruritus. Pruritus didefinisikan sebagai rasa gatal setidaknya 3 periode dalam waktu 2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur. Pruritus umumnya dialami sekitar 6 bulan setelah awal dialisis dan biasanya makin meningkat dengan lamanya pasien menjalani dialisis (Narita, 2008).



2. Etiologi pruritus uremik Uremia merupakan penyebab metabolik pruritus yang paling sering. Faktor yang mengeksaserbasi pruritus termasuk panas, waktu malam hari (nighttime), kulit kering dan keringat. Penyebab pruritus pada penyakit ginjal tidak jelas dan dapat multifaktorial (Narita, 2008). Sejumlah faktor diketahui menyebabkan pruritus uremik namun etiologi spesifik pada umumnya belum diketahui pasti. Beberapa kasus pruritus lebih berat selama atau setelah dialisis dan dapat berupa reaksi alergi terhadap heparin, eritropoietin, formaldehid, atau asetat (Narita, 2008). Penyebab



pruritus



lain



termasuk



di



antaranya



adalah



hiperparatiroid sekunder, dry skin (disebabkan atrofi kelenjar keringat), hiperfosfatemia dengan meningkatnya deposit kalsium-fosfat di kulit dan peningkatan produk kalsium-fosfat, dialisis inadekuat, meningkatnya kadar



ß2-



mikroglobulin,



anemia



(atau



manifestasi



defisiensi



eritropoietin), neuropati perifer, kadar alumunium dan magnesium yang tinggi,



peningkatan



sel



mast,



xerosis,



anemia



defisiensi



besi,



hipervitaminosis A dan disfungsi imun (Narita, 2008).



3. Klasifikasi/Derajat Pruritus uremik Derajat pruritus uremik bervariasi antara pasien. Dalam beberapa pasien Pruritus uremik bersifat terus-menerus, luas dan sulit diatasi tapi pada beberapa mungkin bersifat sementara dan lokal. Namun, hemodialisis kurang memberikan dampak pruritus pada gagal ginjal kronik. Walaupun



16



demikian, pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan psikologis antara lainnya frustasi. Menurut beberapa sumber lebih dari separuh pasien yang sedang menjalani hemodialisa mengalami gejala pruritus dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Kebanyakan pasien menderita pruritus genaralisata dan frekuensi pruritus uremik pada pasien bisa saja terjadi lebih dari 10 menit (Akhyani et al, 2005). Pruritus uremik memiliki penyebab yang multifaktor yang berarti memiliki banyak faktor penyebab. Intensitas dan distribusi spasial oleh pruritus terjadi sangat signifikan dari waktu ke waktu dan pasien dengan tingkatan yang lebih bervariasi dan dipengaruhi oleh lama terjadinya gangguan ginjal (Abdelghfar et al., 2017). Derajat keparahan pruritus sulit untuk dinilai oleh sebab sifat-sifat alaminya dan lokalisasinya yang tidak jelas. Secara umum, penilaian pruritus dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu evaluasi subyektif dari rasa gatal dan penilaian garukan. Untuk mengevaluasi rasa gatal secara subyektif dapat dilakukan penilaian sederhana terhadap derajat keparahan rasa gatal (seperti VAS, numeric rating scale (NRS), verbal rating scale (VRS)), kuesioner gatal yang menyediakan data kualitas gatal, sistem analisis terkomputerisasi, dan penilaian ambang persepsi pruritus. Untuk menilai garukan dapat dilakukan dengan bantuan pengamatan adanya ekskoriasi dan derajat likenifikasi, rekaman video inframerah, limb meter (monitor aktivitas pergelangan tangan, sensor tekanan), transduser vibrasi kuku jari-jari tangan (sensor piezo film, pruritometer) dan sistem evaluasi akustik dari garukan. Selain itu, untuk menganalisis aktivitas otak selama episode gatal, telah dilakukan teknik-teknik pencitraan fungsional (functional magnetic resonance, positron emission tomography)(Mettang et al., 2012).



4.



Faktor-faktor yang mempengaruhi pruritus uremik Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan pruritus (Narita, 2008):



17



a) Xerosis Xerosis merupakan masalah kulit yang sering terjadi (60% - 90%) pada pasien dialisis yang memicu terjadinya pruritus uremia. Xerosis atau dry skin akibat atrofi kelenjar sebasea, gangguan fungsi sekresi eksternal, dan gangguan hidrasi stratum korneum. Skin dryness pada pasien dialisis yang pruritus mempunyai hidrasi lebih rendah dibandingkan pasien dialisis tanpa keluhan pruritus. b) Berkurangnya eliminasi transepidermal faktor pruritogenik Secara teori, akumulasi senyawa pruritogenik yang tidak terdiaisis dapat menimbulkan efek sensasi gatal di saraf pusat ataupun di reseptor. Senyawa pruritogenik di antaranya vitamin A, hormon paratiroid dan histamin yang berpotensi menimbulkan pruritus. Namun tidak ada bukti yang mendukung bahwa senyawa-senyawa tersebut menyebabkanpruritus uremik. Kadar plasma vitamin A meningkat pada pasien dialisis, tetapi tidak ada hubungan antara kadar plasma vitamin A



dengan derajat pruritus,



bahkan autopsi



menunjukkan bahwa kadar vitamin A di organ-organ tubuh sama atau lebih rendah pada pasien uremia dibandingkan pasien yang tidak uremia. Senyawa pruritogenik lain adalah interleukin-1, yang dikeluarkan



setelah



kontak



antara



plasma



dengan



membran



hemodialisis yang bioinkompatibel. Interleukin-1 mempunyai efek proinfl amasi di kulit dan secara teori dapat menyebabkan rasa gatal. Stale-Backdahl menyatakan hipotesa bahwa pruritus uremik dapat disebabkan oleh proliferasi abnormal serabut saraf sensorik yang dikenal sebagai neuropati uremik. Stale menemukan serabut saraf dan saraf terminal tersebar di lapisan epidermis pasien dialisis. Namun, laporan terbaru menyatakan tidak ada perbedaan distribusi serabut saraf sensorik enolase-positip antara pasien normal dengan pasien uremik. Marker infl amasi seperti C-reactive protein dan interleukin-6 dilaporkan juga meningkat pada pasien pruritus uremik.



18



c) Hiperparatiroid Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium di kulit. Namun, tidak semua pasien hiperparatiroid berat mengalami pruritus. Suatu studi pernah melaporkan pruritus dapat hilang sama sekali setelah tindakan paratiroidektomi. Lebih lanjut diketahui tidak ada hubungan antara kadar PTH (parathyroid hormone) plasma dengan proliferasi sel dermal, juga tidak ada perbedaan jumlah sel mast atau kadar PTH antara pasien dengan atau tanpa pruritus. d) Hiperkalsemia dan hiperfosfatemia Pada kulit pasien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat



yang



tinggi.



Meningkatnya



kadar



ion



divalen



dapat



menyebabkan presipitasi kalsium atau magnesium fosfat yang menyebabkan



pruritus.



Magnesium



berperan



dalam



modulasi



konduksi saraf serta pelepasan histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya pruritus melalui degranulasi sel mast. Pruritus akan berkurang seiring dengan penuPruritus akan berkurang seiring dengan penurunan kadar kalsium dan magnesium. e) Peningkatan kadar histamine Histamin, basofi l, trombosit, dan sel mast peritoneal serta bronkial telah dikenal sebagai pemicu rasa gatal pada kulit yang alergi. Pelepasan histamin dipicu oleh substansi P, neurotransmiter yang terlibat dalam sensasi rasa gatal. Kadar histamin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien uremia, namun hubungan antara kadar histamin dengan derajat pruritus masih belum jelas. Reaksi akibat histamin sangat sedikit pada pasien uremia dibandingkan pasien normal, dan antagonis histamin biasanya tidak efektif mengurangi pruritus uremik. Jadi, sangat tidak mungkin bahwa histamin berperan sebagai patogen utama pruritus. f)



Peningkatan proliferasi sel mast di kulit



19



Pada pasien uremia, jumlah sel mast dermis meningkat, dan kadar histamin dan triptase plasma lebih tinggi pada pasien dengan pruritus uremik berat. g) Neuropati sensorik uremik Pruritus uremik merupakan sensasi gatal dari neuropati dan neurogenik. Pruritus ditransmisikan melalui serabut C di kulit. Stimulan



serabut



C



meliputi



sitokin,



histamin,



serotonin,



prostaglandin, neuropeptida, dan enzim. Sensasi gatal neuropati dapat berasal dari kerusakan sistem saraf di sepanjang jalur afferen, contohnya neuralgia postherpetik dan infeksi HIV. Sensasi gatal yang berasal dari sentral tanpa kerusakan neuron diistilahkan sebagai neurogenik, contohnya kolestasis dan pemakaian opioid eksogen. Pada nyeri neurogenik, dijumpai peningkatan tonus opioidergik akibat akumulasi opioid endogen. h) Teori imunitas Gangguan sistem imun dengan proinflamatori turut berperan dalam patogenesis pruritus uremik, faktor IL-2 yang disekresi oleh limfosit Th-1 teraktivasi turut berperan. Telah dilaporkan bahwa pemberian IL-2 intradermal menimbulkan efek pruritogenik yang cepat tetapi lemah, IL-2 mempunyai kaitan kausal dengan sitokin pruritus uremik dan diferensiasi sel T.



5. Manifestasi klinis pruritus uremik Gambaran klinis dari pruritus uremikum adalah bersifat simetris, dimana daerah yang paling sering terlibat adalah punggung, lengan, dada dan kepala. Pruritus yang bersifat generalisata jarang dijumpai. Eksaserbasi pruritus dapat dipicu oleh adanya panas dari eksternal, keringat, stres dan kulit kering. Sementara mandi dengan air hangat atau dingin, suhu yang dingin dan aktivitas dapat mengurangi pruritus. Pada kulit dapat terlihat ekskoriasi akibat garukan, dengan atau tanpa adanya lesi impetigo, prurigo maupun likenifikasi yang merupakan suatu fenomena sekunder. Agitasi atau depresi dapat ditemukan pada separuh



20



pasien pruritus uremikum. Durasi, derajat keparahan dan karakteristik pruritus bervariasi, dapat berubah sepanjang waktu dan berbeda-beda pada tiap pasien. Pruritus biasanya lebih berat dirasakan pada malam hari sehingga sering menyebabkan gangguan tidur. Sebagian pasien mengalami pruritus dalam jangka waktu yang singkat sementara sebagian lainnya merasakannya sepanjang hari dan sepanjang malam (Mettang et al., 2012). Kriteria spesifik yang digunakan untuk mendiagnosis pruritus uremik adalah apabila didapatkan salah satu dari gejala-gejala yang berikut ini (Mettang et al., 2012): a.



Pruritus timbul segera sebelum dialisis, atau kapan saja, tanpa adanya bukti penyakit aktif lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya pruritus.



b.



Lebih dari atau sama dengan tiga episode gatal selama suatu periode 2 minggu, dengan gejala yang timbul beberapa kali sehari, terjadi paling tidak beberapa menit, dan mengganggu pasien.



c.



Timbulnya suatu keadaan gatal dalam pola yang teratur selama periode 6 bulan, tetapi frekuensinya lebih sedikit daripada yang disebutkan diatas.



6. Penilian/Pengukuran Derajat Skala Pruritus Uremik Derajat keparahan pruritus sulit untuk dinilai oleh sebab sifat-sifat alaminya dan lokalisasinya yang tidak jelas. Secara umum, penilaian pruritus dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu evaluasi subyektif dari rasa gatal dan penilaian garukan. Untuk mengevaluasi rasa gatal secara subyektif dapat dilakukan penilaian sederhana terhadap derajat keparahan rasa gatal [seperti VAS,numeric rating scale (NRS), verbal rating scale (VRS)], kuesioner gatal yang menyediakan data kualitas gatal, sistem analisis terkomputerisasi, dan penilaian ambang persepsi pruritus. Untuk menilai garukan dapat dilakukan dengan bantuan pengamatan adanya ekskoriasi dan derajat likenifikasi, rekaman video inframerah, limb meter (monitor aktivitas pergelangan tangan, sensor tekanan), transduser vibrasi kuku jari-jari tangan (sensor piezo film, pruritometer) dan sistem



21



evaluasi akustik dari garukan. Selain itu, untuk menganalisis aktivitas otak selama episode gatal, telah dilakukan teknik-teknik pencitraan fungsional (functional magnetic resonance, positron emission tomography) (Mettang et al., 2012). Untuk menilai pruritus direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi paling sedikit dua metode penilaian rasa gatal yang independen. Namun, rekomendasi ini dapat terlalu menghabiskan waktu pada pengunaan klinis sehari-hari, oleh karena itu untuk penilaian intensitas gatal tersebut dibutuhkan suatu metode yang sederhana dan dapat dipercaya. a. Visual analogue scale (VAS) VAS merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan untuk penilaian pruritus karena dapat memberikan estimasi rasa gatal yang mudah dan cepat. VAS dinilai dengan meminta pasien menandai skala 1-10 pada kertas baik horizontal maupun vertikal, untuk menunjukkan derajat keparahan pruritus yang dirasakan pasien. b. Penilaian pruritus modifikasi Duo dan Mettang Derajat keparahan pruritus dapat dinilai dengan suatu metode yang didasarkan pada metode yang diusulkan oleh Duo (1987) dan dimodifikasi oleh Mettang. Metode ini didasarkan pada kriteria yang mencakup scratching, keparahan, frekuensi, distribusi pruritus, dan gangguan tidur yang berkaitan dengan pruritus, yaitu sebagai berikut (Mettang et al., 2012) : 1) Scratching: Pruritus yang dilaporkan dengan periode waktu: pagi, sore, dan malam, dan masing-masing memiliki 1 skor. 2) Keparahan: 1 skor : sensasi gatal ringan tanpa perlu menggaruk 2 skor : beberapa kali menggaruk 3 skor : sering menggaruk 4 skor : menggaruk tanpa ada rasa berkurang



5 skor : pruritus yang dirasakan terus menerus



22



3) Distribusi: Setiap lokasi misalnya lengan, tungkai bawah, dan batang tubuh mendapatkan masing-masing 1 skor, dengan skor maksimal adalah 5, untuk pruritus generalisata. 4) Frekuensi: Yang dinilai adalah jumlah episode pruritus dan durasinya. Setiap dua episode singkat (< 10 menit) atau satu episode panjang (> 10 menit)mendapatkan 1 skor. Skor maksimal adalah 5, yaitu dengan > 10 episode singkat atau > 5 episode panjang 5) Gangguan tidur: Keadaan yang dinilai adalah jumlah jam tidur dan frekuensi gangguan tidur oleh karena rasa gatal. Skor 0 jika memiliki > 7 jam tidur pada malam hari dan skor 10 jika tidak dapat tidur sama sekali. Gangguan tidur juga dinilai dari jumlah berapa kali pasien terbangun pada malam hari oleh karena rasa gatal. 1 skor : untuk 1 kali terbangun 2 skor : untuk 2 kali terbangun 3 skor : untuk 3 kali terbangun 4 skor : untuk 4 kali terbangun 5 skor : untuk > 5 kali terbangun Untuk keparahan, distribusi dan frekuensi, penilaian skor dilakukan pagi dan siang. Sehingga skor paling tinggi selama 24 jam adalah 48. Pada penelitian yang menggunakan penilaian derajat pruritus, evaluasi dalam 4 minggu terakhir pernah dilakukan untuk menentukan skor pruritus. Skor pruritus dibagi menjadi skor 0 untuk yang tidak pruritus, dan pada subyek yang pruritus derajat keparahannya dapat dibagi gradasinya menjadi 1-16 untuk pruritus ringan, 17-32 pruritus sedang dan 33-48 pruritus berat. Metode 5-D Itch Scale (Skala Gatal) yang ditemukan oleh (Elman et al., 2010) terdiri dari 5 pertanyaan dalam skala likert yang terdiri dari 5 dimensi pertanyaan yaitu degree (derajat), duration (durasi), direction (perkembangan rasa gatal), disability (gangguan beraktifitas akibat gatal) dan distribution (lokasi rasa gatal) dengan penilaian 0-5 (tidak ada), 6-14 (ringan), 15-24 (sedang), 25-35 (berat).



23



7. Penatalaksanaan pruritus uremik Penatalaksanaan uremic pruritus (Mettang, 2012): a. Topical treatment 1) Emolien Emolien efektif pada pruritus uremik. Terapi bath oil yang mengandung polidokanol, suatu campuran komponen monoeter laurilalkohol dan makrogol, nampaknya bermanfaat bagi beberapa pasien. 2) Capsaicin topical Capsaicin(trans-8-metil-N-vanili l6 nonenamida), suatu alkaloid alami yang terdapat di berbagai spesies Solanacea, diekstraksi dari red chili pepper dan telah banyak digunakan untuk terapi pruritus. b. Physical treatment 1) Phototherapy (Ultraviolet) Sinar ultraviolet mengurangi keluhan pruritus melalui mekanisme yang belum jelas. Durasi efek antipruritus terapi UVB 3 kali seminggu bervariasi, namun dapat bertahan selama beberapa bulan. 2) Acupuncture c. Systemic treatment 1) Low-protein diet 2) Primrose oil Suplemen oral dari γ-linoleic acid (GLA)–rich primrose oil dilaporkan bermanfaat. Efek yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan minyak ikan, minyak zaitun, dan minyak safflower. 3) Lidocaine and mexiletine 4) Opioid antagonists Nalfurafine efektif menghilangkan keluhan pruritus. Setelah pemberian nalfurafi ne selama 2-4 minggu, memberikan hasil keluhan gatal, intensitas gatal dan gangguan tidur menjadi berkurang. d. Dyalisis-related treatment 1) Efficient dialysis



24



Terapi dialisis yang optimal akan memperbaiki efikasi dialisis dan status nutrisi pasien yang selanjutnya akan mengurangi prevalensi dan derajat keparahan pruritus uremik. 2) Erythropoietin Mengobati anemia penyakit kronik. 3) Kidney transplantation



8. Dampak pruritus uremik Pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik sering terjadi pada punggung, perut, lengan dan kulit kepala (Azimi et al., 2015). Intensitas gatal pada pasien gagal ginjal kronik lebih intens di malam hari dan mengganggu tidur, hal yang memperparah gatal pada keadaan kulit kering, keringat dan panas (Azimi et al., 2015). Gagal ginjal kronik dengan pruritus memberikan dampak yang signifikan kepada fisik dan psikologis klien sehinggan menjadi masalah kepada kualitas hidup klien (Mettang, 2010), sebagai berikut: a. Fisik Rasa gatal dan garukan yang kronis berakibat kepada kulit klien seperti: eksoriasi dengan atau tanpa impetigo (infeksi kulit), jaringanparut (deep scars), dan prurigo (papula) (Azimi et al., 2015). b. Fatigue Pruritus pada pasien gagal ginjal kronik memiliki dampak signifikan terhadap fatigue pada siang hari, hal ini dikarenakan dampak dari kualitas tidur klien pada malam harinya (Patel et al., 2007). Selain fatigue diakibatkan dampak kualitas tidur klien, juga diakibatkan manajemen terapi menggunakan gabapentin. Berdasarkan penelitian 100-300 mg gababentin peroral mempunyai efek kepada fatigue dan nausea (Tarikci et al., 2015). c. Kualitas tidur Di Jepang, Studi longitudinal kepada 1.773 klien hemodialisis untuk mengevaluasi keparahan derajat pruritus yang juga di hubungankan dengan kualitas hidup dalam domain mood, hubungan sosial dan tidur.



25



Didapatkan 453 klien mengalami pruritus dan 70% klien mengeluh gangguan tidur (Narita et al., 2006). d. Psikologi Pruritus pada pasien gagal ginjal kronik berdampak psikologi klien hingga kepada tingkat depresi. Penelitian cross-sectional kepada 980 klien dialisis di Brazil menunjukan hubungan yang kuat kejadian pruritus dengan kejadian depresi, sehingga menjadi perhatian khusus klien pruritus uremik gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dalam menghadapi beban psikologi yang tinggi (Lopes et al., 2012). Hasil penelitian yang sama kepada 200 klien hemodialisis di Polandia kejadian pruritus uremik klien gagal ginjal kronik mempunyai hubungan dengan kejadian depresi klien (Suseł et al., 2014). e. Mortalitas Dalam studi International Dialysis Outcomes and Practice Patterns, mengevaluasi lebih dari 18.000 klien pada terapi hemodialisis, pruritus dikaitkan dengan risiko kematian lebih besar (17%), dibanding klien hemodialisis yang tidak mengalami pruritus (Pisoni et al., 2006). Sebuah studi prospektif yang melibatkan 321 klien HD kronis menunjukkan menunjukkan bahwa peradangan dapat menyebabkan peningkatan angka kematian pada klien yang paling parah terkena dampak gatal (Chen et al., 2010).



D. Pengertian Terapi Komplementer Menurut WHO (World Health Organization), pengobatan komplementer adalah pengobatan nonkonvensional yang bukan berasal dari negara yang bersangkutan. Jadi untuk Indonesia, jamu misalnya, bukan termasuk pengobatan



komplementer



tetapi



merupakan



pengobatan



tradisional.



Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu negara. Tapi di Philipina misalnya, jamu Indonesia bisa dikategorikan sebagai pengobatan komplementer. Terapi komplementer adalah cara Penanggulangan Penyakit yang dilakukan sebagai pendukung kepada Pengobatan Medis



26



Konvensional atau sebagai Pengobatan Pilihan lain diluar Pengobatan Medis yang Konvensional.



E. Macam-Macam Terapi Komplementer Menurut (Hitchcock et al., 1999) Terapi komplementer ada 2 macam yaitu invasif dan non-invasif. Contoh terapi komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis terapi non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi biologis, herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin, aromatherapi, hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan terapi lainnya. Menurut National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat klasifikasi dari berbagai terapi komplementer dan sistem pelayanan dalam lima kategori. Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni. Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan). Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002).



27



F. Kerangka Teori Gambar 2.2 Kerangka teori Klien GGK dengan hemodialisa



Komplikasi pada dermatologi



Faktor resiko: Usia, gender, dan dialisis



Pruritus Manajemen terapi 1. Terapi dialisis efektif 2. Terapi farmakologi 3. Terapi fisik



Fisik



eksoriasi dengan atau tanpa impetigo (infeksi kulit), jaringan parut (deep scars), dan prurigo (papula)



Faktor penyebab: hiperparatiroidisme sekunder, kelainan divalention, histamin, sensitisasi alergi, proliferasi sel mast kulit, anemia defisiensi besi, hypervitaminosis A, xerosis, neuropati dan perubahan neurologis, keterlibatan sistem opioid (understimulation dari reseptor κ atau reseptor μ). sitokin, asam empedu serum, oksida nitrat



psikologis



Gangguan Tidur



Depresi



Kualitas hidup Fatigue



28



BAB III METODE LITERATURE REVIEW



A. Desain penulisan literature Desain penulisan ini adalah Literature Review atau tinjauan pustaka. Studi literature review adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan data atau sumber yang berhubungan pada sebuah topik tertentu yang bisa didapat dari berbagai sumber seperti jurnal, buku, internet, dan pustaka lain.



B. Strategi Penulisan Literature 1. Database Elektronik Metode yang akan digunakan dalam penyusunan literature review ini menggunakan database elektronik. Database elektronik yang digunakan mencari jurnal terkait baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris yang dapat dimengerti oleh penulis. Pencarian jurnal yang dilakukan menggunakan Pubmed, Science direct, Proquest, Ebsco dan Willey. Kata kunci yang digunakan dan dipakai, Complementary therapy, Uremic pruritus, Chronic kidney disease, Hemodialysis. Penyusunan literature review ini penulis hanya menggunakan 8 jurnal yang sesuai dengan kriteria inklusi, yaitu dengan tahun terbit 5 tahun terakhir dari tahun 20152020 dengan judul yang berhubungan dengan terapi komplementer, pruritus uremik, gagal ginjal dan hemodialisa.



2. Kata Kunci Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan boolean operator (AND,OR NOT or AND NOT) yang digunakan untuk memeperluas atau menspesifikasikan pencarian, sehingga mempermudah dalam penemuan artikel atau jurnal yang digunakan. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian, yaitu: Tabel 3.1 Kata Kunci Literature Review Complementary



Uremic pruritus



Chronic kidney



therapy



disease



29



Hemodialysis



OR



OR



OR



Complementary



Pruritus



Chronic kidney failure



OR



OR



Alternative



Uremic



therapy



C. Strategi penelusuran literature Penelusuran artikel publikasi menggunakan kata kunci yang dipilih yaitu, pruritus uremik, gagal ginjal dan hemodialisa. Artikel atau jurmal yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi diambil untuk selanjutnya dianalisis. Literature Review ini menggunakan literatue terbitan tahun 2015-2020 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Kriteria jurnal yang dipilih untuk review adalah jurnal yang didalamnya terdapat tema terapi komplementer dalam menurunkan derajat pruritus uremik pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.



D. Kriteria Inklusi dan ekslusi Jurnal yang akan dilakukan review memiliki kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut. Tabel 3.2 Format PICOS dalam Literature Review Kriteria



Inklusi



Eksklusi



Population/Problem Pasien penyakit ginjal kronik Pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisa kronik yang menjalani dan mengalami komplikasi hemodialisa yang tidak pruritus uremik.



mengalami



komplikasi



pruritus uremik. Intervention



Terapi



komplementer Artikel yang membahas



alternatif.



di



luar



terapi



komplementer alternatif. Comparator Outcome



-



-



Menurunkan pruritus uremik.



-



30



Desain



dan



jenis Jenis publikasi:



publikasi



Jenis publikasi:



Fulltext



Artikel yang berbayar



Desain penelitian:



dan



Studi Deskriptif,



struktur lengkap.



Literature Review,



Desain penelitian:



Systematic Review.



Studi Quasi-experiment,



tidak



memiliki



studi cross sectional. Tahun Publikasi



2015-2020



sebelum 2015



Bahasa



Indonesia dan Inggris



Bahasa selain Bahasa Indonesia dan Inggris.



E. Proses seleksi literature Pencarian literature dengan metode literature review tidak memiliki sistematik seperti metode review lainnya, akan tetapi sistematika pencarian digunakan untuk mempermudah penulis menentukan jurnal yang sesuai dengan tujuan dan pertanyaan penelitian.



31



Gambar 3.1 Diagram Alur Jurnal Database



Search Strategy



Pubmed, Science direct, Proquest, Ebsco, wiley



(Complementary therapy, Uremic pruritus, Chronic kidney disease, Hemodialysis)



Pencarian artikel melalui database (n=147) (Pubmed:5;Science direct:8;Proquest:50;Ebsco:1;Wiley:83)



STEP 1



Duplikat dihapus (n=6)



Judul/Abstrak yang ditinjau Artikel yang dikecualikan (n=141) (n=127) • • • • •



STEP 2



Artikel teks lengkap yang ditinjau (n=14)



pembahasan umum Kecemasan Hemodialisa Perawatan kulit Terapi lain



Artikel fulltext yang dikecualikan (n=6) - tidak menjawab pertanyaan penelitian - literature review,editorial,systematic review



Artikel yang di review (n=8)



32



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Berdasarkan hasil dari pencarian artikel menggunakan kata kunci yang telah disusun dalam proses pencarian jurnal di database elektronik. Artikel yang masuk kriteria inklusi kemudian akan di analisis dari abstrak, metode penelitian, hasil dan tujuan dari pernyataan awal peneliti mengenai terapi komplementer dalam menurunkan derajat pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa. Berikut merupakan intisari yang diambil dari penelitian: judul penelitian, negara asal, nama peneliti, tahun publikasi, metode, sampel, hasil penelitian. Intisari yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tabel agar hasilnya mudah di baca. Untuk mencari artikel, penulis melakukan pencarian menggunakan kata kunci yang sudah disusun. Setelah dilakukan seleki berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi didapatkan 8 artikel yang kemudian artikel tersebut di analisis. Di bawah ini merupakan 8 artikel yang dipilih dalam bentuk tabel, sebagai berikut:



33



Tabel 4.1 Ekstraksi Data No



Nama/ Tahun



Negara



Judul



Tujuan



Desain



1.



(Fatma et al., 2018)



Turki



Complementary methods use for pruritus uremic



Bertujuan untuk mengetahui metode komplementer yang digunakan untuk menurunkan pruritus uremik pada pasien.



Deskriptif



2.



(Cui-na Yan et al., 2015)



Cina



Effect of Auricular Acupressure on Uremic Pruritus in Patients Receiving Hemodialysis Treatment



Untuk mengetahui kemanjuran klinis terapi akupresur aurikuler pada pasien pruritus uremik yang menjalani



A randomized controlled trial



34



Sampel



Hasil



Dalam penelitian ini dari 200 pasien yang menjalani hemodialisa 151 pasien menerima untuk dijadikan sampel, 49 pasien menolak untuk dijadikan sampel karena mereka baru memulai hemodialisan dan tidak mengalami pruritus uremik. 62 pasien dibagi 2 kelompok secara acak



Artikel ini memberikan atau menunjukkan hasil dengan penggunaan terapi komplementer di antara yaitu 1.menggunakan cologne 2.mengompres dengan air hangat 3.krim pelembab 4.mencuci dengan air dingin 5.menggaruk menggunakan kaos kaki 6.perasan lemon. Terapi komplementer yang paling banyak digunakan oleh pasien yaitu penggunaan kompres dengan air hangat, terapi ini efektif dapat menurunkan pruritus uremik pada pasien. Terapi komplementer lebih banyak digunakan oleh pasien yang tidak bekerja atau pendapatan rendah karena di anggap lebih murah dan alami dalam proses penyembuhan. (p=0.003;p