Abses Perianal  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Abses adalah kumpulan nanah setempat yang terkubur dalam jaringan, organ atau rongga yang tertutup. Abses anorektal merupakan abses yang terdapat dalam jaringan anorektum. Sedangkan abses perianal merupakan abses anorektal superficial tepat dibawah kulit sekitar anus. Abses perianal merupakan infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan abses rongga diskrit. Abses anorektal disebabkan oleh radang ruang pararektum akibat infeksi kuman usus. Umunya, pintu infeksi terdapat dikelenjar rectum di kripta antar kolumna rectum. Penyebab lain ialah infeksi dari kulit anus, hematom, fisura anus, dan skleroterapi Tingkat keparahan dan kedalaman dari abses cukup variable, dan rongga abses dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous.1,2,3 Abses dinamai sesuai dengan letak anatomic seperti pelvirektal, iskiorektal, antarsfingter, marginal, yaitu di saluran anus dibawah epitel, dan perianal. Dalam praktik sehari-hari, abses perianal paling sering ditemukan. Lokasi klasik abses anorectal tercantum dalam urutan penurunan frekuensi adalah sebagai berikut: perianal 60%, ischiorectal 20%, intershincteric 5%, supralevator 4%, dan submukosa 1%.2,3 Kejadian puncak dari abses anorektal adalah didekade ketiga dan keempat kehidupan. Pria lebih sering terkena daripada wanita, dengan dominasi lakilaki:perempuan 2:01-3:01. Sekitar 30% dari pasien dengan abses anorektal laporan riwayat abses serupa yang baik diselesaikan secara spontan atau intervensi bedah diperlukan.3 Sebuah insiden yang lebih tinggi dari pembentukan abses tampaknya sesuai dengan musim semi dan panas. Sementara demografi menunjukan disparitas yang jelas dalam terjadinya abses sehubungan dengan usia dan jenis 1



kelamin, tidak ada pola yang jelas ada di antara berbagai Negara atau wilayah di dunia. Meskipun menyarankan, hubungan langsung antara pembentukan abses anorektal dan kebiasaan buang air besar, diare sering, dan kebersihan pribadi yang buruk tetap tidak terbukti.3



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Definisi Abses anorektal merupakan abses yang terdapat dalam jaringan anorektum. Sedangkan abses perianal merupakan abses anorektal superficial tepat dibawah kulit sekitar anus. Abses perianal merupakan infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan abses rongga diskrit. Sebuah abses anorektal merupakan akumulasi nanah di sekitar anus dan rectum.1,2,3



II. Etiologi Abses anorektal merupakan gangguan sekitar anus dan rectum, dimana sebagian besar timbul dari obstruksi kripta anal. Infeksi dan stasis dari kelenjar dan sekresi kelenjar menghasilkan supurasi dan pembentukan abses dalam kelenjar anal. Biasanya, abses terbentuk awal – awal dalam ruang intersfingterik dan kemudian keruang potensial yang berdekatan.2,4 III. Anatomi Mayoritas penyakit supuratif anorektal adalah hasil dari infeksi kelenjar anal (cryptoglandular infection) yang ditemukan pada “intersphincteric plane”. Duktus dari kelenjar – kelenjar tersebut melintasi sfingter internal dan bermuara di kripta anal pada tingkat linea dentata. Infeksi dari kelenjar anal membentuk abses yang membesar dan menyebar sepanjang salah satu rongga pada ruang perianal dan perirektal. Ruang perianal mengelilingi anus dan bagian lateralnya bersatu menjadi lemak bokong. Ruang intersfingterik memisahkan sfingter ani internal dan eksternal.2



3



Gambar 1 Anatomi Anus dan Rectal (diambil dari F.Netter)



IV. Patofisiologi . Kebanyakan abses anorektal bersifat sekunder terhadap proses supuratif yang dimulai pada kelenjar anal. Teori ini menunjukan bahwa obstruksi dari saluran kelenjar tersebut oleh tinja, corpus alienum atau trauma akan menghasilkan stasis dan infeksi sekunder yang terletak di ruang intersfingterik. Dari sini proses infeksi dapat menyebar secara distal sepanjang otot longitudinal dan kemudian muncul di subkutis sebagai abses perianal, atau dapat menyebar secara lateral melewati otot longitudinal dan sfingter eksternal sehingga menjadi abses ischiorektal. Meskipun kebanyakan abses yang berasal dari kelenjar anal adalah perianal dan ischiorektal, ruang lain dapat terinfeksi. Pergerakan infeksi ke atas dapat menyebabkan abses intersfingterik tinggi. Ini kemudian dapat menerobos otot longitudinal ke ruang supralevator sehingga menyebabkan sebuah abses supralevator. Setelah abses terdrainase, secara spontan maupun secara bedah, komunikasi abnormal antara lubang anus dan kulit perianal disebut fistula ani.5



4



Gambar 2 Patofisiologi menurut Teori Cryptoglandular



Selain pergerakan ke atas, ke bawah, dan lateral, proses supuratif dapat menyebar melingkari



anus. Jenis penyebaran dapat terjadi pada tiga



lapangan; ruang ischiorektal, ruang intersfingterik, dan ruang supralevator. Penyebaran ini dikenal sebagai Horseshoeing.



Ruang Supralevator Ruang Ischiorektal Ruang Intersfingterik



Gambar 3 Penyebaran Abses (Horseshoeing) Organisme tersering yang dihubungkan dengan pembentukkan abses antara lain ialah Escherichia coli, Enterococcus spesies, dan Bacteroides spesies; tetapi, belum ada bakterium spesifik yang diidentifikasi sebagai penyebab tunggal terjadinya abses. Penyebab abses anorektal yang harus juga diperhatikan sebagai diagnosis



banding



ialah



tuberculosis,



karsinoma



sel



skuamosa,



adenokarsinoma, aktinomikosis, limfogranuloma venereum, penyakit Crohn’s, trauma, leukemia dan limfoma. Kelainan ini sering menyebabkan



5



fistula-in-ano atipikal atau fistula yang sulit yang tidak berespon terhadap pengobatan konvensional.3 Klasifikasi dan persentase abses perirektal adalah: 1. Perianal 40–50% 2. Ischiorektal 20–25% 3. Intersfingterik 2–5% 4. Supralevator 2.5%.6 V. Gambaran Klinis Awalnya, pasien bisa merasakan nyeri yang tumpul, berdenyut yang memburuk sesaat sebelum defekasi yang membaik setelah defekasi tetapi pasien tetap tidak merasa nyaman. Rasa nyeri diperburuk oleh pergerakan dan pada saat menduduk. Nyeri timbul bila abses terletak pada atau disekitar anus atau kulit perianal. Gejala dan tanda sistemik radang biasanya cukup jelas seperti demam, leukositosis, dan mungkin keadaan toksik. Tanda dan gejala local bergantung pada letaknya. Pada colok dubur atau pemeriksaan vaginal, dapat dicapai gejala dalam seperti abses iskiorektal atau pelvirektal. Umumnya, tidak ada gangguan defekasi.2 Abses perianal biasanya jelas karena tampak pembengkakan yang mungkin berwarna biru, nyeri, panas, dan akhirnya berfluktuasi. Penderita demam dan tak dapat duduk disisi pantat yang sakit. komplikasi terdiri dari perluasan ke ruang lain dan perforasi ke dalam, ke anorektum, atau ke luar melalui kulit perianal.2



6



Gambar 4 Letak-letak Abses



V.1 Abses Perianal Abses perianal mudah diraba pada batas anus dengan kulit perianal, sebaliknya abses anorektal yang terletak lebih dalam dapat diraba melewati dinding rectum atau lebih lateral yaitu di bokong. Abses perianal biasanya tidak disertai demam, lekositosis atau sepsis pada pasien dengan imunitas yang baik. Dengan penyebaran dan pembesaran abses yang mengakibatkan abses mendekati permukaan kulit, nyeri yang dirasakan memburuk. Nyeri memburuk dengan mengedan, batuk atau bersin, terutama pada abses intersfingter. Dengan perjalanan abses, nyeri dapat mengganggu aktivitas seperti berjalan atau duduk. V.2 Abses Ischiorectal



7 Gambar 5 Gambaran Klinis Dari Abses Perianal



Abses ischiorektal biasanya sangat nyeri tetapi hanya memberikan beberapa gejala pada pemeriksaan fisik, namun dengan bertambah besarnya abses, abses menjadi merah dan menonjol lebih lateral dibandingkan dengan abses perianal. Pasien biasanya terlihat sangat tidak nyaman dan disertai demam. Pada pemeriksaan colok dubur, akan teraba masa yang nyeri, dengan dasar eritematosa serta fluktuatif atau tidak. Pada pemeriksaan penunjang, dapat disertai leukositosis. V.3 Abses Intersfingterik Abses intersfingter menyebabkan nyeri pada defekasi, dapat disertai dengan keluarnya duh tubuh dan demam. Pada pemeriksaan colok dubur, dapat teraba massa yang nyeri pada kanalis rectal, yang sering pada bagian tengah belakang.



V.4 Abses Supralevator Abses supralevator, pada sisi yang lain, biasa memberikan gejala yang nyata karena keluhan pasien pada bokong atau nyeri pada sekitar 8



rectum. Demam, leukositosis, dan retensi urin jarang terjadi. Terjadinya limfadenopati inguinalis seringkali menjadi gejala yang khas pada abses supralevator, yang biasanya tidak terdapa pada abses maupun fisura perianal. Abses supralevator seringkali teraba pada pemeriksaan color dubur maupun colok vagina.7 VI. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang VI.1 Diagnosis Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membanru dalam kasus-kasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap asbeb ischiorektal yang optimal dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya obat anestesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida untuk memfasilitasi visualisasi pembukaan fistula internal.Bukti menunjukkan bahwa penggunaan visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan fistula. Dengan teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula dapat jelas divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya seperti



fistulografi. Jika ditangani



dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan juga efektif untuk memeriksa respon pasien terhadap terapi.3



VI.2 Pemeriksaan Laboratorium Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali 9



pada pasien tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia yang dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi laboratorium lengkap adalah penting.3 VI.3 Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi jarang diperlukan pada evaluasi pasien dengan abses anorektal, namun pada pasien dengan gejala klinis abses intersfingter atau supralevator mungkin memerlukan pemeriksaan konfirmasi dengan CT scan, MRI, atau ultrasonografi dubur. Namun pemeriksaan radiologi adalah modalitas terakhir yang harus dilakukan karena terbatasnya kegunaannya. USG juga dapat digunakan secara intraoperatif untuk membantu mengidentifikasi abses atau fistula dengan lokasi yang sulit.3



Gambar 6 MRI Abses Ischiorectal VII.



Penatalaksanaan Penanganan abses terdiri dari penyaliran. Umumnya, sudah terjadi pernanahan sewaktu penderita datang. Pemberian antibiotik kurang 10



berguna karena efeknya hanya untuk waktu terbatas dan menimbulkan risiko penyamaran keluhan dan tanda. Rendam duduk dan analgesic merupakan terapi paliatif. Umumnya setelah perforasi spontan atau insisi abses untuk disalirkan, akan terbentuk fistel.2 Pada



kebanyakan



pasien



dengan



abses



anorektal,



terapi



medikamentosa dengan antibiotik biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien dengan peradangan sistemik, diabetes, atau imunitas rendah, antibiotik wajib diberikan. Abses anorektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah anestesi sering merupakan cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi diagnosis serta mengobati. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai terkadang dapat menyebabkan perluasan abses dan dapat mengancam nyawa apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septikemia. Antibiotik hanya diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apabila pasien immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit katub jantung.



Namun, pemberian antibiotik



secara tunggal bukan merupakan pengobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal atauperirektal. A. Abses Perianal Kebanyakan abses perianal dapat didrainase di bawah anestesi lokal di kantor, klinik, atau unit gawat darurat. Pada kasus abses yang besar maupun pada lokasinya yang sulit mungkin memerlukan drainase di dalam ruang operasi. Insisi dilakukan sampai ke bagian subkutan pada bagian yang paling menonjol dari abses. “Dog ear" yang timbul setelah insisi dipotong untuk mencegah penutupan dini. Luka dibiarkan terbuka dan Sitz bath dapat dimulai pada hari berikutnya. B. Abses Ischiorectal



11



Abses ischiorektal dapat menyebabkan pembengkakan yang luas pada fossa ischiorektal yang melibatkan satu atau kedua sisi, membentuk abses horse shoe. Abses iskiorektalis sederhana didrainase melalui sayatan pada kulit di atasnya. Abses tapal kuda membutuhkan drainase sampai ke ruang postanal dalam dan sering membutuhkan insisi lebih dari satu atau pada kedua ruang iskiorektalis.



Gambar 7 Drainase Abses Ischiorectal



C. Abses Intersfingter Abses intersfingter sangat sulit untuk didiagnosa karena mereka hanya menghasilkansedikit pembengkakan dan tanda-tanda infeksi perianal.Nyeri



biasanya



digambarkan



sebagai



nyeri



yang



jauh



didalamlubang anus, dan biasanya diperburuk oleh batuk atau bersin. Rasa nyeri tersebut begitu hebat sehingga biasanya menghalangi pemeriksaan colok dubur. Diagnosis dibuat berdasarkan kecurigaan yang tinggi dan biasanya



membutuhkan



pemeriksaan



di



bawah



anestesi.



Setelah



teridentifikasi, abses intersfingerik dapat di drainase melalui sfingterotomi internal yang posterior. D. Abses Supralevator



12



Jenis abses ini jarang ditemui dan biasanya sulit didiagnosa. Karena kedekatannya dengan rongga peritoneal, abses supralevator dapat meniru kelainan pada intra-abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur bisa didapatkan massa yang menonjol diatas cincin anorektal. Asal dari sebuah abses mesti dipastikan sebelum memberikan pengobatan. Ini penting oleh karena apabila abses supralevatorterbentuk sekunder dari suatu abses intersfingerik yang bergerak ke atas, maka abses mesti di drainase melewati rektum. Bila abses di drainase melewati fossa ischiorektal maka fistula suprasfingterik dapat terbentuk. Bila suatu abses supralevator terbentuk sekunder dari suatu abses ischiorektal yang bergerak ke atas, maka abses mesti di drainase melewati fossa ischiorektal. Drainase dari abses in melewati rektum dapat membentuk fistula ekstrasfingterik. Apabila abses supralevator terbentuk sekunder dari suatu penyakit intra – abdomen , maka penyebab mesti diobati dan abses di drainase melewati rute paling langsung (transabdominal, rektal atau melalui fossa ischiorektal).8



Gambar 8 Teknik Insisi dan Drainase Abses 13



Gambar 9 Teknik Insisi dan Drainase Abses



VIII. Komplikasi Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal. Kelenjar intersfingterik terletak antara sfingter internal dan eksternal anus dan seringkali dikaitkan dengan pembentukan abses. Fistula anorektal timbul oleh karena obstruksi dari kelenjar dan/atau kripta anal, dimana ia dapat diidentifikasi dengan adanya sekresi purulen dari kanalis anal atau dari kulit perianal sekitarnya. Etiologi lain dari fistula anorektal adalah multifaktorial dan termasuk penyakit divertikular, IBD, keganasan, dan infeksi yang terkomplikasi, seperti tuberkulosis. Klasifikasi menurut Parks dan persentase fistula anorektal adalah: 1. Intersfingerik 70% 2. Transfingterik 23% 3. Ekstrasfingterik 5% 4. Suprasfingterik 2%



14



Gambar 10 Pembentukan Fistel 



Fistula intersfingterik ditemukan antara sfingter internal dan eksternal.







Fistula transfingterik memanjangdari sfingter eksternal ke fosa ischiorektalis.







Fistula extrasfingterik menghubungkan rektum ke kulit melalui m. levator ani.







Fistula suprasfingterik memanjang dari potongan intersphincteric melalui otot puborectalis, keluar kulit setelah melintasi m. levator ani.3



Gambar 11 Tipe-tipe Fistel 15



IX. Hasil dan Prognosis Sekitar dua pertiga pasien dengan abses anorektal yang diobati dengan insisi dan drainase atau dengan drainase spontan akan mendapat komplikasi sebuah fistula anorektalkronis. Tingkat kekambuhan fistula anorektal



setelah



fistulotomi,



fistulektomi, atau penggunaan seton adalah sekitar 1,5%. Tingkat keberhasilan pengobatan bedah primer dengan fistulotomy tampaknya cukup baik.3



BAB III LAPORAN KASUS 16



I. IDENTITAS PASIEN Nama



:



Tn. HD



Umur



:



30 tahun



Jenis kelamin



:



Laki-laki



Agama



:



Kristen Protestan



Status Pernikahan



:



Belum menikah



Pekerjaan



:



Wiraswasta



Alamat



:



Sentani



No. Rekam Medik



:



40 89 84



Tanggal masuk RS



:



08 Januari 2015



Keluhan Utama



:



nyeri bokong sebelah kiri



Riwayat penyakit sekarang



:



II. ANAMNESIS



Pasien datang ke IGD RSUD dok2 dengan keluhan utama nyeri pada pantat sebelah kiri, pasien merasakan nyeri sudah sejak 2minggu yang lalu, nyeri yang dirasakan disertai dengan demam, demam dirasakan terus menerus namun tidak terlalu tinggi, pasien sudah mencoba untuk meminum obat penghilang rasa sakit, namun nyeri masih dirasakan oleh pasien, akibat dari rasa nyeri tersebut pasien tidak dapat duduk dan tidur kearah sebelah kiri, pasien mengaku tahun lalu (2015) pernah terjatuh saat bermain bola (futsal), pasien jatuh terduduk dan bokong pasien mengenai batu, tidak terdapat luka setelah jatuh, namun pasien mengeluh sakit pada bagian bokong sebelah kiri, namun pasien tidak berobat atau memeriksakan diri ke dokter. Setelah dibiarkan lama, keluhan nyeri pada bokong pasien tidak kunjung hilang dan malah makin bertambah nyeri. Selain nyeri, pasien juga merasa bengkak pada sisi bokong sebelah kiri dan seperti menebal. Pasien susah untuk duduk atau tidur terlentang dan bahkan susah untuk buang air besar, sehingga pasien berinisiatif untuk berobat ke PKM di sentani dan akhirnya di rujuk ke RSUD dok2. Makan dan minum pasien baik, tidak terdapat mual ataupun muntah, BAB menurun akibat nyeri saat mengedan, BAK lancar.



17



Riwayat penyakit dahulu : Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama



(-)



Riwayat alergi obat



(-)



Riwayat Sakit Gula



(-)



Riwayat darah tinggi



(-)



Riwayat asma



(-)



Riwayat penyakit jantung



(-)



Riwayat terpapar radiasi



(-)



Riwayat kesehatan keluarga :



III.



Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama



(-)



Riwayat alergi obat



(-)



Riwayat Sakit Gula



(-)



Riwayat darah tinggi



(-)



Riwayat asma



(-)



Riwayat penyakit jantung



(-)



PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan Umum Kesadaraan



: Compos mentis



Kesan sakit



: Tampak sakit sedang



Status gizi



: Kesan gizi baik



Tanda-tanda Vital



:



Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi



: 80x/mnt



RR



: 20x/mnt



Suhu



: 37 °C



Status emosi



: tenang



Umur menurut tafsiran



: sesuai



18



Bentuk badan



: habitus atletikus



Cara berbaring dan mobilitas : berbaring hanya kearah kanan,mobilitas aktif. Kulit Warna



: coklat



Efloresensi



:(-)



Jaringan Parut



:(-)



Pigmentasi



: merata



Pertumbuhan rambut : merata Lembab/Kering



: lembab



Suhu Raba



: hangat



Turgor



: normal



Ikterus



:(-)



Lapisan Lemak



: merata



Kelenjar Getah Bening Submandibula



: tidak membesar



Leher



: tidak membesar



Supraklavikula



: tidak membesar



Ketiak



: tidak membesar



Lipat paha



: tidak membesar



Kepala Ekspresi wajah



: normal, biasa



Simetri muka



: simetris



Rambut



: hitam, lebat, distribusi merata



Mata Exophthalmus : tidak ada



Enopthalmus : tidak ada



Kelopak



: tidak ptosis,tidak edema



Lensa



Konjungtiva



: tidak anemis



Visus



: tidak dinilai



: jernih



19



Sklera



: tidak ikterik



Gerakan Mata : normal ke segala arah TIO



: normal per palpasi



Nistagmus



: tidak ada



Telinga Tuli



: - /-



Selaput pendengaran : utuh Lubang



: +/+ (lapang)



Penyumbatan



: - /-



Serumen



: - /-



Pendarahan



: - /-



Cairan



: - /-



Mulut Bibir



: tidak sianosis



Tonsil



: T1-T1 tenang



Bau pernapasan



: tidak khas



Gigi geligi



: tidak caries,



: tidak ada



Faring



:



: normal



Lidah



: tidak kotor



utuh Trismus



normal,



tidak hiperemis Selaput lendir Leher Pemeriksaan leher dalam batas normal. Thorax : Paru – Paru Depan Belakang Inspeksi



: simetris



Palpasi



: Fremitus kiri dan kanan sama, benjolan (-), nyeri tekan (-)



Perkusi



: Sonor di kedua lapang paru



Auskultasi



: Suara nafas vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)



Jantung Inspeksi



: Tidak tampak pulsasi iktus cordis.



20



Palpasi



: Teraba iktus cordis pada sela iga V di linea midklavikula



kiri Perkusi



:



Batas kanan



: sela iga V linea parasternalis kanan.



Batas kiri



: sela iga V, 1cm medial linea midklavikularis kiri.



Batas atas



: sela iga II linea parasternalis kiri.



Auskultasi



: Bunyi jantung I-II regular murni, Gallop (-), Murmur (-).



Abdomen Inspeksi



: simetris, datar, tidak membesar, benjolan (-), scar bekas operasi (-)



Palpasi



: supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas(-)



Hati



: tidak teraba



Limpa



: tidak teraba



Ginjal



: Ballotement (-), nyeri ketok CVA (-)



Perkusi



: timpani, shifting dullnes (-)



Auskultasi



: bising usus (+) normal, 2-3x per 15 detik



Extremitas Lengan



Kanan



Kiri



Tonus otot



:



normotonus



normotonus



Sendi



:



nyeri (-)



nyeri (-)



Gerakan



:



aktif



aktif



Kekuatan



:



+5



+5



Oedem



:



(-)



(-)



Lain-lain



:



(-)



(-)



Tungkai dan Kaki



Kanan



Kiri



Luka



tidak ada



tidak ada



:



21



Varises



:



tidak ada



tidak ada



Tonus otot



:



normotonus



normotonus



Sendi



:



nyeri (-)



nyeri (-)



Gerakan



:



aktif



aktif



Kekuatan



:



+5



+5



Edema



:



(-)



(-)



Lain-lain



:



(-)



(-)



B. Status Lokalis Regio anus : Tampak benjolan Ø 6 x 4 cm, kemerahan, nyeri (+), Fluktuasi (+)



Gambar 11 Abses Perianal, Regio Gluteus Sinistra



IV.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium (08 Januari 2016) Leukosit



: 18.53







Eritrosit



: 3.22 juta/mm3



Hemoglobin



: 11.5



g/dl



Hematokrit



: 28.4



%



Trombosit



: 201 ribu/mm3



22



GDS



:-



mg/dL



SGOT/SGPT



:-



U/L



Natrium



:-



mmol/L



Kalium



:-



mmol/L



Calcium



:-



mmol/L



Magnesium



:-



mmol/L



V. DIAGNOSIS BANDING  



VI.



Abses Perianal Fistula abses perianal



DIAGNOSIS KERJA Abses Perianal



VII.



PENATALAKSANAAN IVFD RL 20 tpm Inj Ceftriaxone 1 x 1gr iv Inj. Metronidazole 3 x 500mg drip Inj. Ranitidin 2 x 50mg iv Inj. Antrain 3 x 1mg iv Pro Insisi drainase



23



BAB IV PEMBAHASAN



Abses perianal merupakan infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan rongga abses. Tingkat keparahan dan kedalaman dari abses cukup variable, dan rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan:    



Benjolan disekitar anus ± 2 minggu Demam Rasa menebal, kemerahan, bengkak, nyeri. Tidak nyaman saat duduk, pasien juga sembelit dan ketika BAB







terasa sakit Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada Status Lokalis didapatkan di Regio anus : Tampak benjolan Ø 6 x 4 cm, kemerahan, nyeri (+),







fluktuasi (+), Rectal Toucher : TSA cekat, Nyeri (+). Leukositosis



Pada pasien ini, sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang abses perianal :



   



Nyeri yang biasanya konstan, sakit ketika duduk Demam leukositosis Iritasi kulit di sekitar anus, termasuk pembengkakan, kemerahan,







dan nyeri Adanya nanah, dan sembelit.



Dalam mendiagnosis suatu kasus abses perianal, selain dilakukan anamnesis perlu dilakukan pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan colok dubur yang dilakukan harus dibawah anestesi yang dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada pasien ini didapatkan tampak benjolan didalam sekitar anus. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pasti. Namun dalam kasus ini 24



pasien tetap dilakukan pemeriksaan darah dan didapatkan leukositosis, sehingga berdasarkan anamnesis, pemriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini didiagnosis sebagai abses perianal. Fistula (fistel) perianal merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis kanal dan epidemis dari kulit perianal. Fitula perianal ini merupakan bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh sehingga membentuk traktur akibat inflamasi. Hampir semua fistel perianal disebabkan oleh perforasi atau penyaliran abese anorektum, sehingga kebanyakan fistel mempunyai muara di kripta di pembatasan anus dan rectum dan lubang lain di perineum di kulit perianal. Gambaran klinis yang sering dijumpai biasanya kekambuhan abses perianal dengan selang waktu diantaranya, disertai pengeluaran nanah sedikit-sedikit. Pada colok dubur pada umumnya fistel dapat diraba antara telunjuk di anus dan bukan di rektum dan ibu jari di kulit perineum sebagai tali setebal kira-kira 3 mm (colok dubur bidigital) Pada kasus ini, untuk tatalaksana dalam menangani abses perianal adalah dengan cara dilakukannya insisi drainase, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa abses perianal harus diobati dengan insisi drainase segera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai terkadang dapat menyebabkan peluasan abses dan dapat mengancam nyawa apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septicemia. Antibiotik hanya diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apa bila pasien immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit katub jantung. Namun pemberian antibiotik secara tunggal bukan merupakan pengobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal.



25



Pada pasien ini, prognosisnya dapat timbul kembali atau muncul lagi bila hiegene pasien tidak diperhatikan. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa sekitar dua per tiga dengan abses perianal atau anorectal yang diobati dengan drainase spontan akan mendapat komplikasi “fistula in ano“ atau fistula anorectal kronis.



26



Fistula terbagi berdasarkan hukum Goodsall. Goodsall Rule adalah garis imajiner transversal yang melewati anus membagi perineum menjadi area anterior dan posterior. Goodsall’s rule menyatakan bahwa pembukaan eksternal dan saluran fistula terletak anterior dengan garis melintang yang ditarik diujung anal dikaitkan dengan saluran radial lurus fistula kedalam kanal anal/dubur. Sebaliknya, sebuah posterior membuka eksternal untuk garis melintang mengikuti saluran, fistula melengkung kebelakang garis tengah lumen rectum. Aturan ini penting untuk perencanaan pengobatan bedah fistula dan diilustrasikan pada gambar dibawah ini.



Fistula terbagi berdasarkan Klasifikasi Park’s : A. Intersphincteric fistula : temukan antara sfigter internal dan external



27



B. Transsphincteric fistula : memanjang dari sfingter external ke fossa ischiorectalis C. Suprasphincteric fistula : memanjang dari potongan intersfingteric melalui otot puborectalis, keluar kulit setelah melintasi m.levatoranii D. Extrasphincteric fistula : menghubungkan rectum ke kulit melalui musculus levatoranii



28



BAB V KESIMPULAN Walaupun sebuah abses perianal atau anorectal dapat terlihat sebagai sesuatu hal yang tidak berbahaya, namun tatalaksana dari abses tersebut mempunyai dampak terhadap perjalanan penyakit dan prognosis. Dari data anamnesis yang diperoleh, sesuai dengan kepustakaan yaitu pasien datang dengan keluhan nyeri yang biasanya konstan, sakit ketika duduk, demam, iritasi kulit di sekitar anus, termasuk pembengkakan, kemerahan, dan nyeri. Dari pemeriksaan fisik data yang didapatkan Regio Anus: Tampak benjolan Ø 6 x 4 cm, kemerahan, nyeri (+), Fluktuasi (+). Rectal Toucher : TSA cekat, Nyeri (+) dan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit (leukosit 18.3 103/ Ul). Hal ini sesuai dengan kepustakaan. Dalam kasus ini, pasien didiagnosis sebagai abses perianal yang berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Sehingga tatalaksana pasien ini dilakukan insisi drainase, namun prognosis dan komplikasi pada pasien ini dapat terjadi kembali bila hiegene tidak diperhatikan dan komplikasi pada pasien ini akan terjadi “fistula in ano “ atau fistula anorectal kronis. Berdasarakan hokum Goodsall’s rule, kasus ini menunjukkan muara eksterna terletak posterior dari anal transversal line maka saluran akan melengkung menuju posterior midline.



29



DAFTAR PUSTAKA 1. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC. 2. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC. Jakarta. 1998. 3. Perianal Abscess, oleh Andre Hebra, MD; Chief editor: John Geibel, MD, Medscape



Reference.



Dapat



ditinjau



di:



http://emedicine.medscape.com/article/191975-overview 4. Stamos MJ. Anorectal, Abscess, Fistula And Pilonidal Disease. Diunduh dari:



http://web.squ.edu.om/med-



Lib/MED_CD/E_CDs/Surgery/CHAPTERS/CH35.PDF 5. Perianal abscess.pdf 6. Chapter 297. Diverticular Disease and Common Anorectal Disorders, oleh Susan



L.



Gearheart,



Harrison’s



online.



Dapat



ditinjau



di:



http://ezproxy.library.uph.ac.id:2076/content.aspx? aID=9132775&searchStr=perianal+abscess#9132775 7. Chapter 88. Anorectal Disorders, oleh Brian E. Burgess. Tintinalli’s Emergency Medicine. Dapat di tinjau di:http://ezproxy.library.uph.ac.id:2076/content.aspx? aID=6361634&searchStr=perianal+abscess#6361634 8. Chapter 29. Colon, Rectum, and Anus, oleh Kelli M. Bullard Dunn and David



A.



Rothenberger.



Dapat



di



tinjau



di:



http://ezproxy.library.uph.ac.id:2076/content.aspx? aID=5015605&searchStr=perianal+abscess#5015605



30



31