Abses Septum Nasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



Lab/SMF Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman



ABSES SEPTUM NASI



Oleh Eka Mulianingsih



NIM. 1810029025



Izzaty Firdawati



NIM. 1810029005



Pembimbing dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL



Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2019



1



KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Abses Septum Nasi”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Moriko Pratiningrum, Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.



Samarinda, Mei 2019 Penulis



2



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Abses septum nasi didefinisikan sebagai pus atau nanah yang terkumpul antara kartilago septum nasi dengan mukoperikondrium atau osseus septum dengan mukoperiosteum yang melapisinya (Debnam, 2007). Abses septum merupakan kasus yang jarang ditemukan. Dikutip dari Jalaludin (1993),



Eavei mendapatkan 3 kasus abses septum nasi dalam waktu 10 tahun



terakhir di Children’s hospital Los Angeles dan Ambrus menyatakan pada dekade terakhir ini didapatkan hanya 14 kasus abses septum nasi, termasuk 16 kasus yang terjadi lebih dari periode 10 tahun di Massachusetts Eye and Ear Infirmary. Di Rumah Sakit M.DJamil Padang didapatkan 3 kasus abses septum nasi dalam waktu 2 tahun terakhir (Jalaludin, 1993). Usia yang paling sering terkena adalah di bawah 15 tahun diikuti usia 16-31 tahun dan jarang pada usia lanjut. Laki-laki lebih sering dibandingkan wanita. Hal ini dihubungkan dengan agresivitas dan aktivitas mereka sehingga insidens trauma mudah terjadi (Valencia & Castillo, 2008). Abses septum biasanya didahului oleh trauma hidung yang kadang-kadang sangat ringan sehingga tidak dirasakan oleh penderita, akibatnya timbul hematoma septum yang bila terinfeksi akan menjadi abses. Pada umumnya, abses septum nasi yang besar, terasa nyeri dan mukosa mengalami inflamasi dan ditutupi oleh eksudat. Abses septum nasi dapat berakibat serius pada hidung karena dapat menyebabkan (Budiman & Prijadi, 2013). Abses septum nasi harus segera didiagnosis dan diobati karena dapat berakibat serius pada hidung mulai dari nekrosis pada kartilago septum yang kemudian menjadi destruksi dan lama-kelamaan menjadi hidung pelana atau saddle nose hingga infeksi intrakranial. Setiap abses septum nasi harus dianggap sebagai kasus emergensi sehingga penting bagi tenaga medis untuk mengetahui tanda dan gejala dari abses septum nasi beserta penanganannya sehingga abses septum nasi dapat segera tertangani dan tidak sampai menyebabkan komplikasi (Pang, 2002).



3



1.2



Tujuan Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang “Abses septum nasi” meliputi anatomi, definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding serta diharapkan dokter muda dapat mengetahui penatalaksanaan abses septum nasi sehingga dapat tertangani segera dan tidak menimbulkan kecacatan.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Anatomi Septum Nasi Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi membagi kavum nasi menjadi dua rongga kiri dan kanan. Septum dibentuk oleh kartilago dan osteum. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian kartilago dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian osseus adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela (Soetjipto, Mangunkusumo,& Wardani 2009). Bagian anterior septum terdiri dari lamina kuadrangularis dan premaksila; bagian posterior terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid dan sphenoidal crest; dan bagian inferior terdiri dari os vomer, os maksilla dan os palatine. Bagian anterior dan superior berhubungan dengan os frontalis dan os nasal, di posterior berhubungan dengan os sphenoid, di postero-inferior dengan os vomer dan antero-inferior dengan kartilago septum. Vomer terletak di septum nasi bagian posterior. Bagian superior vomer membentuk sendi os sphenoid dan lamina prependikularis os etmoid, dan dibagian inferior dengan Krista nasalis os maksila dan os palatina. Kartilago septum bagian posterior mempunyai pinggir yang tipis dan masuk ke dalam alur lamina prependikularis os etmoid, dan pinggir posterior juga masuk celah Krista nasalis. Periostium dan perikondrium dari tulang rawan septum dihubungkan oleh jaringan konektif yang dibentuk oleh ligamentum yang memungkinkan terjadinya gerakan dari tulang tersebut. Apabila jaringan konektif itu tidak ditemukan atau salah satu sisi alur atau celah dari Krista nasal tidak tumbuh dengan baik maka dislokasi kartilago septum mudah terjadi (Snell, 2006).



5



Gambar 1. Anatomi Septum Nasi (Hwang & Abdalkhani, 2009)



2.1.1 Vaskularisasi Kavum nasi mendapat suplai darah dari arteri etmoidalis



anterior dan



posterior dan arteri sfenopalatina. Bagian anterosuperior septum nasi dan dinding lateral memperoleh perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan posterior, sedangkan bagian posteroinferior septum nasi memperoleh perdarahan dari arteri sfenopalatina dan arteri maksilaris interna. Arteri etmodialis anterior dan posterior adalah cabang dari oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Arteri etmoidalis anterior adalah pembuluh darah kedua terbesar yang memperdarahi hidung bagian dalam, yang memperdarahi kedua bagian antero-superior dari septum dan dinding lateral hidung. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri (Hwang & Abdalkhani, 2009; Snell, 2006). Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut dengan pleksus Kiesselbach (Damayanti, Endang, Retno 2009).



Gambar 2. Vaskularisasi Hidung (Hwang & Abdalkhani, 2009)



6



2.1.2 Inervasi Persarafan sensoris hidung dipersarafi oleh nervus oftalmikus dan nervus maksilaris yang merupakan bagian nervus kranialis V. Bagian oftalmikus terbagi ke etmoid anterior dan posterior dan cabang infratrochlear. Nervus etmoid anterior melewati lamina kribiformis dan masuk bersamaan dengan arteri etmoid anterior melalui foramen etmoid anterior, yang setelah itu terbagi ke cabang medial dan lateral. Cabang medial mempersarafi septum nasi dan cabang lateral ke dinding lateral hidung. Nervus etmoid posterior melewati lamina kribiformis masuk ke hidung bersamaan dengan arteri etmoid posterior melalui foramen etmoid posterior mempersarafi septum nasi. Nervus maksilaris memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina dan melewati bagian anterior dari tulang sfenoid untuk mencapai septum nasi sebagai nervus nasopalatina dan kemudian menuju kanal insisivus (Hwang & Abdalkhani, 2009). Bagian anterosuperior hidung bagian dalam dipersarafi oleh nervus etmoidalis anterior dan posterior, sedangkan cabang dari nervus maksilaris dan ganglion pterigopalatina mempersarafi bagian posterior dan sensasi pada bagian anteroinferior septum nasi dan dinding lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari nervus maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari nervus Petrosus profundus. Disamping mensarafi hidung, ganglion sfenopalatina mempersarafi kelenjar lakrimalis dan palatum (Snell, 2006).



Gambar 3. Persarafan Hidung(Budiman & Prijadi 2013)



7



2.2



Etiologi dan Patogenesis Penyebab abses septum nasi tersering adalah trauma hidung (75%) akibat kecelakaan, perkelahian, olah raga ataupun trauma yang sangat ringan sehingga tidak dirasakan penderita seperti mengorek kotoran hidung atau mencabut bulu hidung. Dispenza, memberikan istilah pada supurasi septum akibat trauma sebagai abses septum primer, sedangkan penyebab lainnya dianggap sebagai abses septum nasi sekunder. Abses septum nasi dapat terjadi secara spontan pada pasien sindrom imunodefisiensi yang didapat (Budiman, 2013). Abses septum nasi juga sering terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang menurun. Shah melaporkan adanya kasus abses septum nasi yang tidak disebabkan trauma pada pasien dengan daya tahan tubuh yang menurun seperti pada pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan pasien dengan diabetes melitus (Shah, Murr & Lee, 2000). Penyebab lain yang dapat menyebabkan abses septum nasi adalah pembedahan, benda asing, penyebaran dari sinusitis etmoid dan sinusitis sfenoid, infeksi gigi atau furunkel nasal. Lo (2004), melaporkan sekitar 7% abses septal nasi merupakan komplikasi dari septomeatoplasti (Haryono, 2006). Infeksi yang luas dan invasif dari kelenjar sebasea atau folikel rambut, yang melibatkan jaringan subkutan membentuk furunkulosis dan vestibulitis dapat menyebabkan abses septum (Bestari, 2016). George melaporkan abses septum nasi sekunder yang disebabkan pansinusitis tanpa ada nya riwayat trauma atau pun daya tahan tubuh yang menurun (George, et al, 2007) . Bakteri yang sering dijumpai dari hasil kultur abses septum nasi adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Ada juga yang melaporkan Group A beta hemolytic streptococcus dan Haemophilus Influenza terkadang juga didapati dari hasil kultur (Lopez, 2000). Haemophilus Influenza lebih sering terjadi pada pasien anak. Patogen yang jarang seperti Pseudomonas



juga pernah



dilaporkan. Lo melaporkan sebuah kasus abses septum nasal yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae akibat komplikasi operasi (Lo, 2004). Abses septum nasi hampir selalu didahului oleh hematoma septum nasi yang terinfeksi. Hematoma septum nasi terjadi akibat trauma pada septum nasi yang merobek pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum nasi. Jika mukosa tetap intak, ini akan menjadi terbentuknya hematoma. Jika cedera cukup berat sampai menyebabkan fraktur kartilago septum, darah sering melewati bagian 8



sisi lain dan menyebabkan hematoma bilateral. Hematoma yang cukup besar dapat menyebabkan sumbatan pada kedua nares. Hematoma ini akan memisahkan kartilago dari mukoperikondrium, sehingga aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan tulang rawan terputus, maka dapat menyebabkan terjadinya nekrosis tulang rawan. (Brain, 1997; Lo & Wang 2004).



Gambar 4. Nasal Septal hematoma (Ngo, 2012)



Darah yang terkumpul dalam lapisan subperikondrium dan ini biasanya akan mengganggu kehidupan tulang rawan. Tulang rawan septum yang tidak mendapatkan aliran darah masih dapat hidup selama 3 hari, setelah itu kondrosit akan mati dan absorbsi tulang rawan akan terjadi. Absorbosi kartilago dapat terjadi dengan kecepatan yang menguatirkan dan Fry (1969) menduga proses ini dipercepat dengan aksi enzim, kemungkinan dalam pembentukan jaringan kolagen. Hematoma yang berukuran kecil tidak akan menyebabkan nekrosis tulang rawan, tapi dapat menyebabkan absorbsi lambat sehingga terjadi penebalan permanen dari septum dengan fibrosis yang besar (Brain, 1997). Pada keadaan yang relatif kurang steril di bagian anterior hidung, hematoma septum nasi dapat terinfeksi dan akan cepat berubah menjadi abses septum nasi yang mempercepat resorpsi tulang rawan yang nekrotik. Hematoma yang terjadi merupakan media yang ideal untuk kolonisasi dan pertumbuhan bakteri, sehingga terbentuknya abses. Tidak semua hematom septum nasi berkembang menjadi abses, dan bila sembuh dengan terapi antibiotik akan terbentuk jaringan ikat, sehingga akan terjadi penebalan jaringan septum nasi yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan retraksi yang menimbulkan kontraktur septum nasi (Dirk et al, 2008; Lo & Wang 2004; Debnam, Gillenwater & Ginsberg 2007). 9



Tulang septum nasi dan triangular kartilago dapat ikut terlibat dan perforasi pada septum nasi dapat terjadi apabila gejala tidak segera ditangani dengan baik. Pada akhirnya sedikit atau banyaknya akan terjadi parut dan hilangnya penyangga pada 2/3 kaudal septum, ini akan menghasilkan hidung pelana, retraksi kolumella, dan pelebaran dasar hidung (Budiman & Prijadi 2013). Bila keadaan ini terjadi pada saat anak-anak, dapat mempengaruhi perkembangan 2/3 dari wajah yang dapat menyebabkan hipoplasia maksila. Infeksi pada septum nasi dapat masuk ke dalam sinus kavernosus sehingga akan terjadi thromboflebitis atau meningitis (Brain, 1997).



2.3 Manifestasi Klinis Gejala yang dominan dari abses septum nasi adalah hidung tersumbat yang progresif yang awalnya dimulai dengan rasa tidak nyaman dan disertai rasa nyeri. Rasa nyeri dirasakan terutama di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala (Brain, 1997; Lo & Wang, 2004).



Gambar 5. Abses Septum Nasi (Sowerby & Wright, 2013) Obstruksi umumnya satu sisi setelah beberapa hari karena nekrosis kartilago pus mengalir ke sisi lain menyebabkan obstruksi nasi bilateral dan total. Dengan adanya proses supurasi tersebut akan terjadi penumpukan pus yang semakin lama semakin bertambah banyak sehingga mengakibatkan terjadinya pembengkakan septum yang bertambah besar. Biasanya pasien mengeluh hidungnya bertambah besar. 2.4 Diagnosis Abses septum nasi dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sebagian besar abses septum nasi biasanya mempunyai riwayat trauma, dimana kadang-kadang penderita tidak menyadari terjadinya trauma. Trauma pada septum nasi dan mukosa dapat terjadi tanpa adanya cedera hidung luar. Abses septum nasi



10



sering timbul 24-48 jam setelah trauma, terutama pada orang dewasa dan anak (Budiman & Prijadi, 2013). Gejala yang dominan dari abses septum nasi adalah hidung tersumbat yang progresif yang awalnya dimulai dengan rasa tidak nyaman dan disertai rasa nyeri. Rasa nyeri dirasakan terutama di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala (Brain, 1997; Lo & Wang, 2004). Perlu juga ditanyakan adanya riwayat operasi hidung sebelumnya, gejala peradangan di hidung dan sinus paranasal, furunkel intranasal, penyakit gigi dan penyakit sistemik. Akibat trauma hidung, terkadang pada inspeksi masih tampak kelainan berupa eksoriasi, laserasi kulit, epistaksis, deformitas hidung, edema dan ekimosis (Budiman & Prijadi,2013). Pemeriksaan sebaiknya tidak menggunakan spekulum hidung, dan akan terlihat pembengkakan septum bilateral yang berbentuk bulat dengan permukaan licin yang sering meluas sampai ke bagian lateral hidung sehingga menyebabkan obstruksi total (Brain, 1997). Identifikasi abses septum nasi sangat mudah bagi para ahli, tetapi tidak jarang dokter gagal dalam mengidentifikasi hal tersebut. Karena kegagalan dalam mengidentifikasi hematoma atau abses septum nasi cukup banyak, maka diperlukan pemeriksaan intra nasal yang teliti. Jika penderita tidak kooperatif, misalnya pada anak-anak, pemeriksaan dapat dilakukan dengan anestesi umum (Budiman & Prijadi,2013; Bailey 2006).



Gambar 6. Abses Septum Nasi Bilateral



Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, seluruh septum nasi harus diperiksa dari kaudal septum nasi sampai nasofaring. Tampak pembengkakan unilateral ataupun 11



bilateral, mulai tepat di belakang kolumella meluas ke posterior dengan jarak bervariasi. Perubahan warna menjadi kemerahan atau kebiruan pada daerah septum nasi yang membengkak menunjukkan suatu hematoma. Daerah yang dicurigai dipalpasi dengan forsep bayonet atau aplikator kapas untuk memeriksa adanya fluktuasi dan nyeri tekan. Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan (Dirk et al, 2008; Lo & Wang 2004). Untuk memastikan abses septum nasi dapat dengan aspirasi pada daerah yang paling fluktuasi. Pada aspirasi didapati darah pada hematoma septum sedangkan pada abses septum nasi akan didapati pus. Pus yang telah diperoleh sebaiknya diperiksakan ke laboratorium untuk mengetahui jenis kuman dan tes sensitifitas terhadap antibiotik. Selain bernilai diagnostik, aspirasi juga berguna untuk mengurangi ketegangan jaringan di daerah abses septum nasi dan mengurangi kemungkinan komplikasi ke intrakranial (Lo & Wang, 2004; Budiman & Prijadi,2013). Diagnosa banding untuk abses septum nasi adalah hematoma septum nasi, deviasi septum, furunkulosis dan vestibulitis. Infeksi yang luas dan invasif dari kelenjar sebasea atau folikel rambut, yang melibatkan jaringan subkutan membentuk furunkulosis dan vestibulitis dapat menyebabkan abses septum (Haryono, 2006). Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosa. Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan foto rontgen, sinus paranasal atau CT scan harus dilakukan untuk mencari etiologi, komplikasi ataupun untuk menyingkirkan diagnosa banding (Budiman & Prijadi,2013; Bailey 2006). Abses septum nasi mempunyai tampilan yang khas dalam pemeriksaan CT scan yaitu terkumpulnya cairan dengan peningkatan tipis di pinggir, terlokasi dalam kartilago septum nasal (Debnam, Gillenwater & Ginsberg, 2007).



12



Gambar 7 : (a) hematoma septum nasi pada CT scan Non-contrast. (b) hematoma septum nasi pada CT scan dengan Contrast. 2.5



Penatalaksanaan Untuk mencegah komplikasi, hematoma atau abses septum nasi harus dianggap sebagai kasus darurat dalam bidang THT dan tindakan penanggulanganya harus segera dilakukan. Penatalaksanaan abses septum nasi yang dianjurkan yaitu drainase, antibiotik parenteral dan dapat dilakukan rekonstruksi defek septum. Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk menyangga dorsum nasi, memelihara keutuhan dan ketebalan septum, mencegah perforasi septum yang lebih besar dan mencegah obstruksi nasal akibat deformitas. Pada abses bilateral atau nekrosis dari tulang rawan septum nasi dianjurkan untuk segera melakukan eksplorasi dan rekonstruksi septum nasi dengan pemasangan implan tulang rawan (Budiman & Prijadi,2013). Sangat direkomendasikan, sebelum insisi sebaiknya dilakukan aspirasi abses untuk pemeriksaan pewarnaan Gram, kultur dan tes sensitifitas. Hasil dari pewarnaan Gram, kultur dan tes sensitifitas dari aspirasi abses, menentukan antibiotik sistemik yang sesuai. Jenis-jenis antibiotik termasuk metronidazole, chloramphenicol, clindamycin, cefoxitin, dan kombinasi dari penicilin dan penghambat β-lactamase (Debham et al 2007,Brook,1998; Cain & Roy, 2011). Insisi dapat dilakukan 2 mm dari kaudal kartilago kira-kira perbatasan antara kulit dan mukosa (hemitransfiksi) atau caudal septal incision (CSI) pada daerah sisi kiri septum nasi. Jaringan granulasi, debris dan kartilago yang nekrosis diangkat dengan menggunakan kuret dan suction. Sebaiknya semua jaringan kartilago yang patologis diangkat. Dilakukan pemasangan drain dan pemasangan tampon anterior untuk menekan permukaan periosteum dan perikondrium. Drain dipasang 2-3 hari



13



untuk jalan keluar pus serta serpihan kartilago yang nekrosis (Budiman & Prijadi,2013; Haryono, 2006).



A.



B.



C.



Gambar 8 : Teknik Insisi hematom / abses septum nasi Langkah-langkah drainase abses septum nasi : A. Sebelum dilakukan insisi, dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitifitas. Dilakukan insisi dari mukosa di bagian yang berfluktuasi tanpa melakukan insisi pada kartilago. B. Dengan bantuan suction, nanah yang bercampur darah di evakuasi dan kemudian dapat diirigasi dengan normal saline steril. C. Dilakukan pemasangan penrose drain melalui tempat insisi lalu dijahit untuk fiksasi, kemudian dipasang tampon anterior pada kedua kavum nasi. Drainase dan tampon dipertahankan hingga drainase berhenti dalam 24 jam atau bisa hingga 2-3 hari. Sebaiknya diberikan antibiotik spektrum luas, sampai menunggu hasil kultur (Ngo, 2012). 2.6



Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi adalah destruksi tulang rawan septum yang dapat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (saddle nose). Keterlambatan penanganan dari hematoma septum nasi dapat menyebabkan terganggunya suplai aliran darah ke tulang rawan septum nasi, sehingga dapat menyebabkan nekrosis dari tulang rawan sehingga menjadi deformitas berupa hidung pelana, retraksi kolumella dan pelebaran dasar hidung (Nizar & Mangunkusumo, 2009; Brain, 1997). Komplikasi lain yang berat dan berbahaya jika terjadi keterlambatan dari diagnosa dan penanganan dari abses septum nasi yaitu sepsis, bakteremia, meningitis, abses otak, trombosis sinus kavernosus dan hipoplasia maksilaris (Cheng & Kang, 2010; Debnam et al, 2007).



14



Gambar 9. Penampakan hidung pelana (saddle nose) 2.7



Pencegahan Abses septum dapat dicegah dengan mengenali dan menangani hematoma septum awal. Ini merupakan alas an dilakukannya inspeksi dan palpasi septum nasi (setelah dekongesti dan anastesi mukosa) pada pasien yang baru saja mengalami trauma, terutama pada anak-anak. Hal yang sama juga digunakan pada pasien yang telah menjalani operasi septal dan tidak dapat bernafas melalui hidung setelah pelepasan perban dibagian dalam hidung (Huizing E, et al, 2003).



15



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Abses septum nasi didefinisikan sebagai pus atau nanah yang terkumpul antara tulang rawan septum nasi dengan mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang melapisinya. Penyebab abses septum nasi tersering adalah trauma hidung (75%) akibat kecelakaan, perkelahian, olah raga ataupun trauma yang sangat ringan sehingga tidak dirasakan penderita seperti mengorek kotoran hidung atau mencabut bulu hidung. Hematoma ini akan memisahkan tulang rawan dari mukoperikondrium, sehingga aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan tulang rawan terputus, maka dapat menyebabkan terjadinya nekrosis tulang rawan. Gejala yang dominan dari abses septum nasi adalah hidung tersumbat yang progresif yang awalnya dimulai dengan rasa tidak nyaman dan disertai rasa nyeri. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan leukositosis, pemeriksaan foto rontgen, sinus paranasal atau CT scan untuk mencari etiologi, komplikasi ataupun untuk menyingkirkan diagnosa banding. Diharapkan dengan diagnosis yang tepat, abses septum nasi dapat ditatalaksana secara cepat untuk mencegah komplikasi dan memberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi.



16



Daftar Pustaka Brain, D. “The Nasal Septum.” Scott-Bown’s Otolaryngology. Ed. Alan G. Oxford: Butterworth-Heinemann. 2008. 1-2. Budiman, B. Prijadi, J. “Diagnosis dan Penatalaksanakan Abses Septum Nasi”. Jurnal Kesehatan Andalas (2013): 51-56. Brook, I. ”Recovery of Anaerobic Bacteria from a Post-Traumatic Nasal Septal Abscess”. The Annals of Otology, Rhinology & Laryngology. 107(1998); 959960. Cain, J., Roy, S. “Nasal Septal Abscess”. ENT-Ear, Nose & Throat Journal. 90(2011): 144-147. Cheng, L., Kang, B. “Nasal Septal Abscess and Facial Cellulitis Caused by Community-Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. The Journal of Laryngology & Otology. 124(2010); 1014-1016. Debnam, J., Gillenwater, A., Ginsberg, L. ”Nasal Septal Abscess in Patients with Immunosuppression”. 28(2007): 1878-1879. Dhingra, P. Disease of Ear, Nose and Throat. India: Elvesier Company, 2007. George, A., Smith, W., Kumar, S., et al. “Posterior Nasal Septal Abscess in a Healthy Adult Patient”. The Journal of Laryngology & Otology. 122(2008): 1386-1388. Haryono, Y. “Abses Septum dan Sinusitis Maksila”. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006: 359-361. Hwang, P., Abdalkhani, A. “Embriologi, Anatomy and Physiologi of the Nose and Paranasal Sinuses”. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Eds. James Snow and P. Ashley Wackym. USA: BC Decker. 2009. 458-460. Huizing E, et al. Functional reconstructive Nasal Surgery. New york : George Thieme Verlag; 2003;177-78.



17



Jalaludin MAB, Nasal Septal AbscessRetrospective Analysis Of 14 cases from University Hospital, Kuala lumpur. Singapore Med J.1993:34:435-437 Lo, S., Wang, P. “Nasal Septal Abscess as a Complication of Laser Inferior Turbinectomy”. Haematoma and Abscess of Nasal Septum, Clinical Features and Surgical Treatment Outcomes. 27. Lopez, M., Liu, J., Hartley, B., et al. “Septal Hematoma and Abscess After Nasal Trauma”. Clinical Pediatrics. 39(2000): 609-610. Maria P.Valencia, Mauricio Castillo. Congenital and Acquired Lesions of the Nasal Septum: A Practical Guide for Differential Diagnosis. Radiographics 2008;28;205-23. Naik, Sudhir, Naik, Sarika. “ Nasal Septal Abscess: A Retrospective Study of 20 cases in KVG Medical College and Hospital, Sullia”. Clinical Rhinology: An International Journal. 3(2010): 135-140. Ngo,



J.







Nasal



Septal



Hematoma



Drainage”.



2010.



Diakses



dari



:



http://emedicine.medscape.com/article/149280-overviews#showall Nizar, N., Mangunkusumo, E.. “ Kelainan Septum”. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Eds. Efiaty A. Soepardi, Nurbaiti Iskandar, Jenny Burhanuddin, Ratna D. Astuti. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. 126-127. Pang, K., Seth, D. “Nasal Septal Abscess: an unusual Complication of Acute Spheno-Ethmoiditis”. The Journal of Laryngology & Otology. 116(2002):543545. Shah, Saurabh B, Andrew H. Murr, and Kelvin C. Lee. “Nontraumatic Nasal Septal Abscess in the Immunocompromised: Etiology, Recognition, Treatment, and Sequelae”. American Journal of Rhinology. 14(2000): 39-43 Snell, R. Anatomi Klinik. Jakarta : EGC, 2006. 803-871. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R. “ Hidung”. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Eds. Efiaty A. 18



Soepardi, Nurbaiti Iskandar, Jenny Burhanuddin, Ratna D. Astuti. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. 118- 120. Valencia, M., Castillo, M. “Congenital and Acquired Lesions of the Nasal Septum: A Pratical Guide for Differential Diagnosis”. 28(2008): 205-223.



19