Adelia LP CKB [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA BERAT (CKB) Tugas ini disusun sebagai salah satu bentuk penugasan dalam Praktik Profesi Ners Stase Keperawatan Gadar dan Kritis Dosen Pembimbing: Filia Icha Sukamto, S.Kep,Ns.,M.Kep



Disusun Oleh : Adelia Septi Wigatama (20650200)



PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO 2021



LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING



Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan Gadar dan Kritis Oleh : Nama



: Adelia Septi Wigatama



NIM



: 20650200



Institusi



: Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Ponorogo Untuk memenuhi tugas praktik Profesi Ners Departemen Keperawatan



Medikal Bedah mulai tanggal 22 – 28 Maret 2021.



Ponorogo, 22 Maret 2021



Pembimbing Institusi,



Penyusun,



(Filia Icha Sukamto)



(Adelia Septi Wigatama)



KONSEP TEORI CEDERA KEPALA BERAT (CKB) A. Definisi Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma. Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad, 2012). Menurut Brain Injury Assosiation of America (2012), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. B. Anatomi Fisiologi 1. Anatomi Kepala a. Kulit kapala Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi. b. Tulang kepala Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur – alur artesia



meningia anterior, indra dan prosterion. Perdarahan pada arteria – arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural. c. Lapisan Pelindung otak / Meninges Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan diameter. 1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek,



tidak



dapat



diperbaiki



dengan



sempurna.



Fungsi



durameter : a) Melindungi otak b) Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ) c) Membentuk periosteum tabula interna. 2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdapat ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan subdural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural mempunyasedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala. 3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system vena. d. Otak



Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran : 1) Efek langsung trauma pada fungsi otak, 2) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otakyang bereaksi terhadap trauma. Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak. Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial). e. Tekanan Intra Kranial (TIK). Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang otak (Herniasi batang otak) yang berakibat kematian. C. Etiologi Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku, dan



faktor lainnya.



Kejadian-kejadian



dan prevalensi



dalam



studi



epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan, apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang



dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian (NINDS, 2013). Penyebab cedera kepala berat adalah: 1. Trauma tajam Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia. 2. Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya. Akibat trauma tergantung pada : a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan). b. Akselerasi dan Deselerasi c. Cup dan kontra cup Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur. Sedangkan cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan. 1) Lokasi benturan 2) Rotasi Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan robekan substansia alba dan batang otak. 3) Depresi fraktur Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir keluar ke hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan CSS → infeksi →kejang. D. Klasifikasi Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut: 1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut



kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar 55% ). 2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ). 3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema. Selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut : a. Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang tengkorak. b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema cerebra. 1) Glasgow Coma Seale (GCS) : Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata. Skala GCS : Membuka mata : Spontan : 4 Dengan perintah : 3 Dengan Nyeri : 2 Tidak berespon : 1 Motorik : Dengan Perintah : 6 Melokalisasi nyeri :5 Menarik area yang nyeri : 4 Fleksi abnormal : 3 Ekstensi : 2 Tidak berespon : 1 Verbal : Berorientasi : 5



Bicara membingungkan : 4 Kata-kata tidak tepat : 3 Suara tidak dapat dimengerti :2 Tidak ada respons : 1



E. Manifestasi Klinis 1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih 2. Kebingungan 3. Iritabel 4. Pucat 5. Mual dan muntah 6. Pusing kepala 7. Terdapat hematoma 8. Kecemasan 9. Sukar untuk dibangunkan 10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. 11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan. F. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri di kepakla dan bola mata, tampak berkeringat, bisa muntah, dan terjadi kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat muncul



masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebakan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuuh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. G. Komplikasi 1. Infeksi Otak Kondisi ini rentan terjadi jika cedera kepala menyebabkan patah tulang tengkorak. Hal ini karena patahan tulang tengkorak bisa merobek lapisan tipis pelindung otak, sehingga bakteri bisa masuk ke dalam luka dan menyebabkan infeksi. Infeksi pada selaput otak (meningitis) bisa menyebar ke seluruh sistem saraf dan berdampak negatif pada kondisi tubuh jika tidak segera diobati. 2. Gangguan Kesadaran Misalnya koma atau vegetative state, yakni kondisi ketika pengidap trauma kepala berat tidak responsif meskipun dalam keadaan sadar. Ketidaksadaran ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas dalam otak. 3. Geger Otak Gegar otak adalah trauma kepala tanpa kerusakan jaringan, tapi menyebabkan pingsan selama tidak lebih dari 10 menit. Pengidap gegar otak akan mengeluh pusing dan muntah setelah sadar, serta mengalami



vertigo atau amnesia retrograde. Gejala gegar otak yang mungkin dirasakan adalah sakit kepala terus-menerus, gangguan tidur, gangguan memori, menurunnya konsentrasi dan tinnitus. Gejala ini bisa berlangsung sekitar 3 bulan, dan kamu dianjurkan untuk segera berbicara pada dokter jika mengalami hal tersebut setelah cedera kepala. 4. Cedera Otak Kondisi



ini



ditandai



dengan



meningkatnya



risiko epilepsi,



terganggunya keseimbangan dan koordinasi tubuh, berkurangnya produksi hormon, disfungsi indra pengecap dan penciuman, perubahan perilaku dan emosional, serta kesulitan berpikir, memproses informasi, dan memecahkan masalah.



H. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran. 2. CT – Scan Indikasi CT Scan adalah : a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah. b. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general. c. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok, febris, dll). d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai. e. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.f. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS (Sthavira, 2012).



3. MRI Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal. 4. EEG Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik. 5. X – Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).



I.



Penatalaksanaan 1. Cedera kepala sedang (GCS 9 -12) Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat Darurat (UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan tersebut maka pemeriksaan neurologi secara berkala diharuskan dalam mengelola pasien ini.



Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah saraf. Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam direkomendasikan bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat penurunan status neurologis pasien (ATLS, 2008). 2. Cedera kepala berat (GCS < 8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena



itu



disamping



kelainan



serebral



juga



disertai



kelainan



sistemik.Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: a. Resusitasi jantung paru ( airway, breathing, circulation =ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: 1) Jalan nafas (Air way) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan. 2) Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainansentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator. 3) Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor



ekstrakranial, yakni berupa hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tempo nadi jantung atau



peumotoraks



dan



syok



septik.



Tindakannya



adalah



menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma. b. Pemeriksaan fisik Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya. c. Tekanan Intrakranial (TIK) Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0 -15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut: 1) Hiperventilasi Setelah resusitasi ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27 -30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24 -48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom. 2) Drainase Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus. 3) Terapi diuretik



a) Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi



diuresis



pemberiannya



harus



dihentikan.Cara



pemberiannya : Bolus 0,5 -1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24 -48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm. b) Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan



menarik



cairan



interstisial



pada



edema



sebri.



Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/IV. 4) Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak responsif terhadap



semua



jenis



terapi



yang



tersebut



diatas.



Cara



pemberiannya adalah bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg dengan dosis sekitar 1 mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol 20 mmHg selama 24-48 jam dosis diturunkan bertahap selama 3 hari. 5) Steroid Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala. 6) Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau laterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar. d. Keseimbangan cairan elektrolit



Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urine normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretichormone (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum,kreatinin dan osmolalitas darah. e. Nutrisi Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000 -3000 kalori/hari. f. Epilepsi atau kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik.



Terkena peluru Benda tajam



Trauma tajam



Breath



Penekanan saraf system pernapasan Perubahan pola nafas RR , hiperpneu, hiperventilasi Pola nafas tdk efektif



P kesadaran Bed rest lama Anemia Hipoksia Gangguan pertukaran gas



Perdarahan Kompensasi tubuh yaitu: vasodilatasi & bradikardi



P kemampuan Aliran darah batuk ke otak Akumulasi mukus Batuk tdk efektif, ronchi, RR Bersihan jalan nafas tdk efektif



Intra Kranial / Jaringan otak



Tulang Kranial



Blood



Perdarahan, hematoma, kerusakan jaringan



Trauma tumpul



Trauma Kepala



Ekstra Kranial / kulit kepala



Hipoksia jaringan Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif



Robeknya arteri meningen Hematoma epidural Perubahan sirkulasi CSS



Brain



Bowel



Penumpukan darah di otak



P kesadaran & P TIK



P kesadaran sensori P kemampuan mengenali stimulus



PK: P TIK Kesalahan interpretasi Gangguan persepsi sensori



Kecelakaan, terjatuh, trauma persalinan, penyalahgunaan obat/alkohol



P nafsu makan, mual, munta P intake makanan dan cairan



Resiko Ketidakse imbangan Cairan



Bladder Perdarahan P



Sirkulasi volume darah ke ginjal



Bone



P kesadaran



P produksi urine



Gangguan keseimbangan



Oligouria



Resiko cedera



Gg. Eliminasi Urine



Defisit Nutrisi



Fraktur tulang tengkorak



Gg. Saraf motorik



Gangguan koordinasi gerak ekstremitas



Terputusnya kontinuitas tulang



Hemiparase / hemiplegi



Nyeri akut



Gangguan mobilitas fisik



Resiko infeksi



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA BERAT (CKB) A. Pengkajian Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat trauma pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai. 1. Identitas pasien 2. Riwayat Penyakit a. Keluhan Utama Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas maupun bawah. b. Riwayat Penyakit Saat Ini Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologik. Medulla spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak. c. Riwayat Penyakit Dahulu Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh beberapa penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis, Osteoporosis maupun tumor ganas. d. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera medulla spinalis. 3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat. Keadaan umum (Arif muttaqin 2008) pada keadaan cedera kepala berat umumnya mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.



a. B1 (BREATHING) Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas. b. B2 (BLOOD) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan



jantung



berdebar-debar.



Pada



keadaan



lainnya



dapat



meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh. c. B3 (BRAIN) Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan. d. B4 (BLADDER) Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. e. B5 (BOWEL)



Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. f. B6 (BONE) Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. 4. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan diagnostik 1) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan intracranial, fraktur tulang tengkorak 2) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras 3) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral 4) EEG



:



memperlihatkan



keberadaan



atau



berkembangnya



gelombang patologis 5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak 6) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak b. Pemeriksaan laboratorium 1) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK 2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa



hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit. 3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum 4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid (warna, komposisi, tekanan) 5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan kesadaran. 6) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif mengatasi kejang.



B. Diagnosa/Masalah Keperawatan Yang Muncul 1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b.d Hipersekresi Jalan Nafas 2. Pola Nafas Tidak Efektif b.d Adanya Hiperventilasi 3. Gangguan Pertukaran Gas b.d Hipoksia 4. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif b.d Cedera Kepala 5. Nyeri Akut b.d Agen Pencedera Fisik 6. Gangguan Persepsi Sensori b.d Hipoksia Serebral 7. Gangguan Eliminasi Urine b.d Oliguria 8. Gangguan Mobilitas Fisik b.d Hemiparase 9. Defisit Nutrisi b.d Ketidakmampuan Menelan Makanan 10. Resiko Ketidakseimbangan Cairan Elektrolit b.d Trauma/Perdarahan 11. Resiko Infeksi b.d Terputusnya kontinuitas tulang 12. Resiko Cedera b.d Gangguan Keseimbangan



C. Rencana Asuhan Keperawatan No.Dx 1.



Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil D.0001 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam oksigenasi Bersihan jalan nafas dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler Normal Kriteria Hasil : tidak efektif Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat Pengertian: menurun meningkat ketidakmampuan Batuk 1 2 3 4 5 membersihkan secret efektif atau obstruksi jalan napas Produksi 1 2 3 4 5 untuk mempertahankan sputup Mengi 1 2 3 4 5 jalan napas tetap paten Sianosi 1 2 3 4 5 Penyebab : Gelisah 1 2 3 4 5 Fisiologi 1. Spasme jalan nafas Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik 2. Hiperereksi jalan memburuk membaik nafas Pola nafas 1 2 3 4 5 3. Disfungsi neuromuskuler 4. Benda asing dalam jalan nafas 5. Adanya jalan nafas buatan 6. Sekresi yang tertahan 7. Hyperplasia dinding jalan nafas 8. Proses infeksi 9. Respon alergi 10. Efek agen



Intervensi Manajemen Jalan Napas Observasi: 1. Monitor pola napas 2. Monitor bunyi napas tambahan 3. Monitor sputum (jumlah,warna,aroma) Terapeutik 1. Pertahankan kepatenan jalan napas 2. Posisikan semi fowler atau fowler 3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu 4. Lakukan penghisapan factor kurang dari 15 detik 5. Berikan oksigen, jika perlu Edukasi 1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu



farmakologis (mis, anastesi) Situasional 1. Merokok aktif 2. Merokok pasif Gejala dan Tanda mayor : Subjektif : (tidak tersedia) Objektif : 1. Batuk tidak efektif 2. Tidak mampu batuk 3. Sputum berlebih 4. Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering 5. Meconium dijalan napas (pada neunatus) Gejala dan Tanda mayor : Subjektif : 1. Dipsnea 2. Sulit bicara 3. Ortopnea Objektif : 1. Gelisah 2. Sianosis 3. Bunyi napas menurun 4. Frekuensi napas



Pemantauan Respirasi Observasi: 1. Monitor pola nafas 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas 3. Monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD 4. Monitor adanya sumbatan jalan nafas 5. Monitor produksi sputum Terapeutik 1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi ps Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu



2.



berubah 5. Pola napas berubah Kondisi Klinis Terkait : 1. Gullian barre syndrome 2. Sclerosis multiple 3. Myasthenia gravis 4. Prosedur diagnostic (mis; bronkoskopi, transesoplageal, achocarduografy TTE) 5. Depresi system saraf pusat 6. Cedera kepala 7. Sroke 8. Kuariplegia 9. Sindrom aspirasi meconium 10. Infeksi slauran napas D.0005 Pola nafas tidak efektif Pengertian : Inspirasi dan/atau ekspirisasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat



L.01004 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat membaik. Kriteria Hasil :



Dipsnea



Meningkat



Cukup Meningkat



1



2



Sedang 3



Cukup Menuru n 4



Menurun 5



I.01014 Pemantauan Respirasi Observasi: 1. Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas



Gejala dan tanda Mayor Subjektif : 1. Dipsnea Objektif : 1. Penggunaan otot bantu pernafasan 2. Fase ekspirasi memanjang 3. Pola nafas abnormal Minor Subjektif : 1. Ortopnea. Objektif : 1. Diameter thorak anterior posterior meningkat. 2. Kapsaitas vital menurun. 3. Tekanan ekspirasi menurun. 4. Tekanan inspirasi menurun. Kondisi terkait : 1. Depresi system saraf pusat 2. Trauma thoraks 3. Multiple sclerosis 4. Cidera kepala 5. Mysthenia Gravis



Penggunaan otot bantu nafas Pemanjangan fase ekspirasi Ortopnea Pernafasan Cuping Hidung



Frekuensi nafas Kedalaman nafas Ekskursi dada



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



1 1



2 2



3 3



4 4



5 5



Memburuk



Cukup Memburuk



Sedang



Membaik



1 1



2 2



3 3



Cukup Membai k 4 4



1



2



3



4



5



5 5



3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas Terapeutik : 1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien 2. Edukasi 3. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 4. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu Terapi Oksigen Observasi: 1. Monitor kecepatan aliran oksigen 2. Monitor posisi alat terapi oksigen 3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi 4. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen



Terapeutik: 1. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu 2. Pertahankan



6. Gullian barre syndrome 7. Stroke 8. Kuadriplegia 9. Intoksikasi alkohol



3.



D.0003 Gangguan pertukaran gas Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada membrane alveolus – kapiler Penyebab : 1. ketidakseimbangan ventilasi perfusi 2. perubahan membrane alveoluskapiler. Gejala dan Tanda Mayor : subjektif :



kepatenan jalan napas Berikan oksigen jika perlu Edukasi: 1. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di rumah Kolaborasi: 1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen I.01014 Pemantauan Respirasi Definisi : Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan nafas dan keefektifan pertukaran gas Observasi: 1. Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas 3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas 4. Monitor kemampuan batuk efektif 5. Monitor adanya 3.



L.02008 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan pertukaran gas membaik. Kriteria Hasil : Meningkat Dispnea Bunyi napas tambahan Gelisah Pernafasan cuping hidung



Takikardia Sianosis Pola nafas Sianosis Warna kulit PCO2 PO2



Sedang



1 1



Cukup Meningkat 2 2



1 1



2 2



Memburuk



Cukup memburuk 2 2 2 2 2 2 2



1 1 1 1 1 1 1



Meningkat



3 3



Cukup meningkat 4 4



3 3



4 4



5 5



Sedang 3 3 3 3 3 3 3



Cukup menurun 4 4 4 4 4 4 4



5 5



Menurun 5 5 5 5 5 5 5



1. dipsnea objektif : 1. PCO2 meningkat/menurun 2. Po2 menurun 3. Takikardi 4. Ph arteri meningkat/menurun 5. Bunyi napas tambahan Gejala dan Tanda minor : Subjektif : 1. Pusing 2. Penglihatan kabur Objektif : 1. Sianosis 2. Diaphoresis 3. Gelisah 4. Napas cuping hidung 5. Pola napas abnormal (cepat/lambat, regular/ireguler, dalam/dangkal) 6. Warna kulit abnormal (mis,



sumbatan jalan nafas Auskultasi bunyi nafas 7. Monitor saturasi oksigen 8. Monitor nilai AGD 9. Monitor hasil x-ray thorax Terapeutik 1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien 2. Dokumentasi hasil pemantauan Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu Terapi Oksigen Observasi: 1. Monitor kecepatan aliran oksigen 2. Monitor posisi alat terapi oksigen 3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi 4. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen 6.



4.



pucat, kebiruan) 7. Kesadaran menurun Kondisi Klinis Terkait : 1. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) 2. Gagal jantung kongesi 3. Asma 4. Pneumonia 5. Tuberculosis paru 6. Penyakit membrane hialin 7. Asfiksia 8. Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN) 9. Prematuritas 10. Infeksi saluran napas D.0017 Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif Definisi : Beresiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak



Terapeutik: 1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu 2. Pertahankan kepatenan jalan napas 3. Berikan oksigen jika perlu Edukasi 1. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di rumah Kolaborasi 1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen



L.02014 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapkan masalah resiko perfusi serebral tidak efektif dapat teratasi Kriteria Hasil : Menurun Tingkat kesadaran



1



Cukup menurun 2



Sedang 3



Cukup meningkat 4



Meningkat 5



I.06198 Pemantauan Tekanan Intrakranial Definisi : Mengumpulkan dan menganalisis data terkait regulasi tekanan didalam ruang intracranial



Faktor Resiko : 1. Kebanormalan masa protrombin dan/atau masa tromboplastin parsial 2. Penurunan kinerja ventrikel kiri 3. Aterosklerosis aorta 4. Diseksi arteri 5. Fibrilasi atrium 6. Tumor otak 7. Stenosis karotis 8. Miksoma atrium 9. Aneurisma serebri 10. Koagulopati (mis.anemia sel sabit) 11. Dilatasi kardiopati 12. Koagulasi intravskular diseminata 13. Embolisme 14. Cedera kepala 15. Hiperkolesteronemia 16. Hipertensi 17. Endocarditis infektif 18. Katup prostetik mekanis 19. Stenosis mitral 20. Neoplasma otak



Kognitif Tekanan intrakrani al Sakit kepala Gelisah Kecemasa n Agitasi Demam Nilai rata – rata tekanan darah kesadaran Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik Reflex saraf



1 Meningk at 1



2 Cukup Meningkat 2



3 Sedang



5 Menurun



3



4 Cukup Menurun 4



1



2



3



4



5



1 1



2 2



3 3



4 4



5 5



1 1 Membur uk 1



2 2 Cukup Memburuk 2



3 3 Sedang



5 5 Membaik



3



4 4 Cukup Membaik 4



1 1



2 2



3 3



4 4



5 5



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



5



5



Tindakan : Observasi 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi menempati ruang, gangguan metabolisme, edema serebral, peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran cairan serebrospinal, hipertensi intracranial idiopatik) 2. Monitor peningkatan TD 3. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS dan TDD) 4. Monitor penurunan frekuensi jantung 5. Monitor ireguleritas irama nafas 6. Monitor penurunan tingkat kesadaran 7. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil 8. Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam rentang yang



21. 22. 23. 24. 25.



Infark miokard akut Sindrom sick sinus Penyalahgunaan zat Terapi trombolitik Efek samping tindakan (mis.tindakan operasi bypass) Kondisi Klinis Terkait : 1. Stroke 2. Cedera kepala 3. Aterosklerotik aortic 4. Infark miokard akut 5. Diseksi arteri 6. Embolisme 7. Endocarditis infektif 8. Fibrilasi atrium 9. Hiperkolesterolemia 10. Hipertensi 11. Dilatasi kariopati 12. Koagulasi intravaskuler desiminata 13. Miksoma atrium 14. Neoplasma otak 15. Segmen ventrikel kiri akinetik 16. Sindrom sick sinus 17. Stenosis carotid 18. Stenosis mitral



diindikasikan Monitor tekanan perfusi serebral 10. Monitor jumlah, kecepatan, dan karakteristik drainase cairan serebrospinal 11. Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK Terapeutik 1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal 2. Kalibrasi transduser 3. Pertahankan sterilitas system pamantauan 4. Pertahankan posisi kepala dan leher netral 5. Bilas system pamantauan, jika perlu 6. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien 7. Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan 9.



5.



19. Hidrosefalus 20. Infeksi otak (mis.meningitis, ensefalitis, abses serebri) D.0077 Nyeri akut Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan Penyebab : 1. Agen pencedera fisiologis (mis.inflamasi, iskemia, neoplasma) 2. Agen pencedera kimiawi (mis.terbakar, bahan kimia iritan) 3. Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong,



2.



L.08066 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri akut pasien cukup menurun. Kriteria Hasil: Menurun



Cukup menurun 2



Sedang



Sedang



1



Cukup meningkat 2



1 1 1



2 2 2



Kemampuan menuntaskan aktivitas



1



Meningkat Keluhan nyeri meringis Gelisah Anoreksia



Cukup meningkat 4



Meningkat



Menurun



3



Cukup menurun 4



3 3 3



4 4 4



5 5 5



3



5



5



prosedur pemantauan Informasikan hasil pemantauan



I.08238 Manajemen nyeri Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat berintensitas ringan hingga berat dan konstan Observasi : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuansi, kualitas, intensitas nyeri 2. Identifikasi sekala nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non verbal 4. Identifikasi faktor yang memperberat nyeri Terapeutik : 1. Berikan teknik non farmakologis untuk



mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) Gejala Mayor Subjektif : a. Mengeluh nyeri Objektif : a. Tampak meringis b. Bersikap protektif c. Gelisah d. Frekuensi nadi meningkat e. Sulit tidur Gejala Minor Subjektif : Gejala Minor Objektif : a. Tekanan darah meningkat b. Nafsu makan berubah c. Berfokus pada diri sendiri Kondisi Klinis Terkait : 1. Kondisi pembedahan 2. Cedera traumatis 3. Infeksi 4. Sindrom coroner akut 5. Glaucoma



mengurangi rasa nyeri (misalnya terapi music, nafas dalam,aroma terapi dan imajinasi terbimbing) Edukasi : 1. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi : 1. Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu



6.



D.0085 Gangguan Persepsi Sensori Pengertian : Perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau terdistorsi. Penyebab : 1. Gangguan penglihatan 2. Gangguan pendengaran 3. Gangguan penghiduan 4. Gangguan perabaan 5. Hipoksia serebral 6. Penyalahgunaan zat 7. Usia lanjut 8. Pemajanan toksin lingkungan Gejala dan Tanda Mayor : Subjektif 1. Mendengar suara bisikan atau melihat



L.09083 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam masalah gangguan persepsi sensori dapat teratasi Kriteria Hasil : Menurun Verbalisasi mendengar Verbalisasi melihat bayangan Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera penciuman Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra peraba Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra pengecapan Distorsi sensori Menarik diri Melamun Curiga Mondar – mandir



Sedang



1



Cukup Menurun 2



3



Cukup Meningkat 4



1



2



3



4



1



2



3



4



1



2



3



4



1



2



3



4



1



2



3



4



1 1 1 1



2 2 2 2



3 3 3 3



4 4 4 4



Memburuk



Cukup Memburuk



Sedang



Cukup Membaik



I.09288 Manajemen Halusinasi Definisi : Mengidentifikasi dan Meningkat mengelola peningkatan keamanan, kenyamanan, 5 dan orientasi realita. Tindakan : 5 Observasi 1. Monitor perilaku yang 5 mengidentifikasi halusinasi 2. Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulasi lingkungan 5 3. Monitor isi halusinasi (mis.kekerasan atau membahayakan diri) 5 Terapeutik 1. Pertahankan lingkungan yang aman 2. Lakukan tindakan 5 keselamatan ketika tidak dapat mengontrol 5 perilaku (mis.limit 5 setting, pembatasan 5 wilayah,pengekangan 5 fisik,seklusi) Membaik Edukasi



bayangan 2. Merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, perasaan, atau pengecapan Objketif 1. Distorsi sensori 2. Respons tidak sesuai 3. Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau mencium sesuatu Gejala dan Tanda Minor : Subjektif 1. Menyatakan kesal Objektif 1. Menyendiri 2. Melamun 3. Konsentrasi buruk 4. Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi 5. Curiga 6. Melihat ke satu arah 7. Mondar – mandir



Response sesuai stimulus Konsentrasi Orientasi



1



2



3



4



5



1 1



2 2



3 3



4 4



5 5



1. Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi 2. Anjurkan bicara pada orang yang dipercaya untuk memberi dukungan dan umpan balik korektif terhadap halusinasi 3. Anjurkan melakukan distraksi (mis.mendengarkan music,melakukan aktivitas dan teknik relaksasi) 4. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol halusinasi Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan antiansietas, jika perlu.



7.



Kondisi Klinis Terkait : 1. Glaucoma 2. Katarak 3. Gangguan refraksi (miopa, heperopia, astigmatisma, presbyopia) 4. Trauma okuler 5. Trauma pada saraf kranialis II, III, IV, dan VI akibat stroke, aneurisma, intracranial, trauma/tumor otak D.0149 Gangguan Eliminasi Urine Definisi : Disfunsi eliminasi urine Penyebab : 1. Penurunan kapasitas kandung kemih 2. Iritasi kandung kemih 3. Penurunan kemampuan menyadari tanda – tanda gangguan kandung kemih



L.04034 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapkan masalah gangguan eliminasi urine dapat teratasi Kriteria Hasil : Menurun Sensasi berkemih



Cukup Menurun 2



Sedang



Sedang



1



Cukup meningkat 2



1



2



1



Meningkat Desakan berkemih (urgensi) Distensi kandung kemih



3



Cukup Meningkat 4



Meningkat 5



Menurun



3



Cukup menurun 4



3



4



5



5



I.04152 Manajemen Eliminasi Urine Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola gangguan pola eliminasi Tindakan : Observasi 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urine 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi urine atau



4.



Efek tindakan medis dan diagnostic (mis.operasi ginjal, operasi saluran kemih, anestesi, dan obat – obatan) 5. Kelemahan otot pelvis 6. Ketidakmampuan mengakses toilet (mis.imobilisasi) 7. Hambatan lingkungan 8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi 9. Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis.anomali saluran kemih kongenital) 10. Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun) Gejala dan Tanda Mayor : Subjektif 1. Desakan berkemih (urgensi) 2. Urin menetes (dribbling) 3. Sering buang air



Berkemih tidak tuntas (hesitancy) Volume residu urine Urine menetes (dribbling) Nokturia Mengompo l Enuresis Dysuria Anuna



1



2



3



4



5



inkontinensia urine Monitor eliminasi urine (mis.frekuensi, konsistensi, aroma, volume, dan warna) Terapeutik 1. Catat waktu – waktu dan haluaran berkemih 2. Batas asupan cairan, jika perlu 3. Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur Edukasi 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran berkemih 2. Ajarkan mengkur asupan cairan dan haluaran urine 3. Ajarkan cara mengambil specimen urine midstream 4. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih 5. Ajarkan terapi modalitas penguatan 3.



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



1 1



2 2



3 3



4 4



5 5



1 1 1



2 2 2



3 3 3



4 4 4



5 5 5



kecil 4. Nokturia 5. Mengompol 6. Enuresis Objektif 1. Distensi kandung kemih 2. Berkemih tidak tuntas (hesitancy) 3. Volume residu urin meningkat Gejala dan Tanda Minor : Subjektif (tidak tersedia) Objektif (tidak tersedia) Kondisi Klinis Terkait : 1. Infeksi ginjal dan saluran kemih 2. Hiperglikemi 3. Trauma 4. Kanker 5. Cedera/tumor/infeks i medulla spinalis 6. Neuropati diabetikum 7. Neuropati alkoholik 8. Stroke 9. Parkinson



otot – otot panggul/berkemih 6. Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi 7. Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian obat suposituria uretra, jika perlu



8.



10. Sclerosis multiple 11. Obat alpha adrenergik D.0054 Gangguan mobilitas fisik Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri. Penyebab : 1. Kerusakan integritas struktur tulang 2. Perubahan metabolisme 3. Ketidakbugaran fisik 4. Penurunan kendali otot 5. Penurunan massa otot 6. Penurunan kekuatan otot 7. Keterlambatan perkembangan 8. Kekakuan sendi 9. Kontraktur 10. Malnutrisi 11. Gangguan musculoskeletal



L.05042 I.05173 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien Dukungan mobilisasi dapat mobilisasi dengan baik. Definisi : Kriteria Hasil: Memfasilitasi pasien untuk Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat meningkatkan aktivitas menurun meningkat pergerakan fisik Pergerakan 1 2 3 4 5 Observasi : ekstermitas 1. Identifikasi adanya Kekuatan 1 2 3 4 5 nyeri atau keluhan otot fisik lainnya Rentang 1 2 3 4 5 gerak 2. Identifikasi toleransi (ROM) fisik melakukan pergerakan Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun 3. Monitor frekuensi Meningkat Menurun jantung dan tekanan Nyeri 1 2 3 4 5 darah sebelum Gerakan 1 2 3 4 5 mobilisasi terbatas Kelemaha 1 2 3 4 5 4. Monitor kosndisi n fisik umum selama melakukan mobilisasi Terapeutik : 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu 3. Libatkan keluarga



12. Gangguan neuromuscular 13. Indeks masa tubuh diatas presentil ke75 sesuai usia 14. Efek agen farmakologis 15. Program pembatasan gerak 16. Nyeri 17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik 18. Kecemasan 19. Gangguan kognitif 20. Keengganan melakukan pergerakan 21. Gangguan persepsi sensori Gejala dan tanda Mayor Subjektif : 1. Menegluh sulit menggerakan ekstermitas Objektif : 1. Kekuatan otot menurun 2. Rentang gerak



untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini 3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan



(ROM) menurun Minor Subjektif : 1. Nyeri saat bergerak 2. Enggan melakukan pergerakan 3. Merasa cemas saat bergerak Objektif : 1. Sendi kaku 2. Gerakan tidak terkoordinasi 3. Gerakan terbatas 4. Fisik lemah Kondisi Klinis Terkait : 1. Stroke 2. Cedera medulla spinalis 3. Trauma 4. Fraktur 5. Osteoarthritis 6. Ostemalasia 7. Keganasan 9.



D.0019 Defisit Nutrisi Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi



L.03030 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan status nutrisi dapat adekuat Kriteria Hasil : Menurun



Cukup



Sedang



Cukup



Meningkat



I.12394 Edukasi nutrisi Definisi : Memberikan informasi untuk meningkatkan



kebutuhan metabolisme Penyebab : 1. Ketidakmampuan menelan makanan 2. Ketidakmampuan mencerna makanan 3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient 4. Peningkatan kebutuhan metabolisme 5. Faktor ekonomi (mis.finansial tidak cukup) 6. Faktor psikologis (mis.keengganan untuk makan) Gejala dan Tanda Mayor : Subjektif Objektif 1. Berat badan menurun minimal 10 % dibawah rentang ideal Gejala dan Tanda Minor : Subjektif



Pengetahuan tentang pilihan makanan yg sehat Pengetahuan tentang pilihan minuman yg sehat Pengetahuan tentang asupan nutrisi yg tepat Berat badan IMT Bising usus



1



Menurun 2



3



Meningkat 4



5



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



Membur uk 1 1 1



Cukup Memburuk 2 2 2



Sedang



Cukup Membaik 4 4 4



Membaik



3 3 3



5 5 5



kemampuan pemenuhan kebutuhan nutrisi. Tindakan : Observasi 1. Periksa status gizi, status alergi, program diet, kebutuhan dan kemampuan pemenuhan kebutuhan gizi 2. Identifikasi kemampuan dan waktu yang tepat menerima informasi Terapeutik 1. Persiapkan materi dan media seperti jenis – jenis nutrisi, table makanan penukar, cara mengelola, dan cara menakar makanan 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan 3. Berikan kesempatan untuk bertanya Edukasi 1. Jelaskan pada pasien dan keluarga alergi makanan, makanan



1.



Cepat kenyang setelah makan 2. Kram/nyeri abdomen 3. Nafsu makan menurun Objektif 1. Bising usus hioeraktif 2. Otot pengunyah lemah 3. Otot menelan lemah 4. Membran mukosa pucat 5. Sariawan 6. Serum albumin turun 7. Rambut rontok berlebihan 8. Diare Kondisi Klinis Terkait : 1. Stroke 2. Parkinson 3. Mobius syndrome 4. Cerebral palsy 5. Cleft lip 6. Cleft palate 7. Amyotropic lateral sclerosis



2.



3.



4. 5. 6.



yang harus dihindari, kebutuhan jumlah kalori, jenis makanan yang dibutuhkan pasien Ajarkan cara melaksanakan diet sesuai program (mis.makanan tinggi protein, rendah garam, rendah kalori) Jelaskan hal – hal yang dilakukan sebelum memberikan makan (mis.perawatan mulut, penggunaan gigi palsu, obat – obat yang harus diberikan sebelum makan) Demonstrasikan cara membersihkan mulut Demonstrasikan cara mengatur posisi saat makan Ajarkan pasien/keluarga memonitor asupan kalori makanan (mis.menggunakan buku harian)



8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 10.



Kerusakan neuromuscular Luka bakar Kanker Infeksi AIDS Penyakit Crohn’s Enterokolitis Fibrosis kistik



D.0036 Resiko Ketidakseimbangan Cairan Definisi : Beresiko mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan perpindahan cairan dari intravascular, interstisial atau intraselular. Faktor Resiko : 1. Prosedur pembedahan mayor 2. Trauma/perdarahan 3. Luka bakar 4. Apheresis 5. Asites 6. Obstruksi intestinal 7. Peradangan pancreas



L.03020 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapkan masalah resiko ketidakseimbangan cairan dapat teratasi Kriteria Hasil : Menurun Asupan Cairan Haluaran urine Kelembapan membrane mukosa Asupan makanan Edema Dehidrasi Asites Konfusi



Sedang



1



Cukup Menurun 2



Meningkat



3



Cukup Meningkat 4



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



Meningk at 1 1 1 1 Membur uk



Cukup Meningkat 2 2 2 2 Cukup Memburuk



Sedang



Cukup menurun 4 4 4 4 Cukup Membaik



Menurun



3 3 3 3 Sedang



5



5 5 5 5 Membaik



7. Ajarkan pasien dan keluarga memantau kondisi kekurangan nutrisi 8. Anjurkan mendemonstrasikan cara memberi makan, menghitung kalori, menyiapkan makanan sesuai program diet I.03121 Pemantauan Cairan Definisi : Mengumpulkan dan menganalisis data terkait pengaturan cairan Tindakan : Observasi 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi 2. Monitor frekuen nafas 3. Monitor tekanan darah 4. Monitor berat badan 5. Monitor waktu pengisian kapiler 6. Monitor elastisitas atau turgor kulit 7. Monitor jumlah, warna dan berat jenis



8.



Penyakit ginjal dan kelenjar 9. Disfungsi intestinal Kondisi Klinis Terkait : 1. Prosedur pembedahan mayor 2. Penyakit ginjal dan kelenjar 3. Perdarahan 4. Luka bakar



Tekanan darah Denyut nadi radial Tekanan arteri rata – rata Membrane mukosa Mata cekung Turgor kulit Berat badan



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



1



2



3



4



5



1 1 1



2 2 2



3 3 3



4 4 4



5 5 5



urine Monitor kadar albumin dan protein total 9. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN) 10. Monitor intake dan output cairan 11. Identifikasi tanda – tanda hypovolemia (mis.frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urin menurun, hametokrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat) 12. Identifikasi tanda – 8.



tanda hypervolemia (mis.dispnea, edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, reflex hepatojugular positif, berat badan menurun dalam wkatu singkat) 13. Identifikasi faktor resiko ketidakseimbangan cairan (mis.prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal) Terapeutik 1. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien 2. Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan



2.



11.



Informasikan hasil pemantauan jika perlu D.0142 L.14137 I.14137 Resiko Infeksi Tingkat infeksi Pencegahan infeksi Definisi : Tujuan: Observasi : Beresiko mengalami Setelah dilakukan tindakan selama 2x 24 jam diharapkan resiko infeksi 1. Monitor tanda dan peningkatan terserang pada pasien menurun. gejala infeksi local dan organisme patogenik Kriteria Hasil: sistemik Menurun Cukup Sedang Cukup Meningka Faktor Resiko : Terapiutik : menurun meningkat t 1. Penyakit kronis 1. Batasi jumlah Kebersihan tangan 1 2 3 4 5 (mis.diabetes pengunjung Kebersihan badan 1 2 3 4 5 mellitus) 2. Cuci tangan sebeum dan 2. Efek prosedur sesudah tindakan ke Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun invasive pasien Meningkat Menurun 3. Malnutrisi Edukasi : Demam 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 4. Peningkatan paparan Kemerahan 1. Jelaskan tanda dan Bengkak 1 2 3 4 5 organisme gejala infeksi lingkungan 2. Ajarkan cara merawat 5. Ketidakadekuatan pasien pertahan tubuh 3. Anjurkan meningkatkan primer : asupan nutrisi a. Gangguan Kolaborasi : peristaltic 1. Pemberian obat b. Kerusakan antibiotic integritas kulit c. Perubahan sekresi pH d. Penurunan kerja siliaris e. Ketuban pecah



lama Ketuban pecah sebelumnya g. Merokok h. Statis cairan tubuh 6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder : a. Penurunan hemoglobin b. Imunosupresi c. Leukopenia d. Supresi respon inflamasi e. Vaksinasi tidak adekuat Kondisi Klinis Terkait : 1. AIDS 2. Luka bakar 3. Penyakit paru obstruktif kronis 4. Diabetes mellitus 5. Tindakan invansif 6. Kondisi penggunaan terapi steroid 7. Penyalahgunaan obat 8. Ketuban pecah sebelum waktunya f.



(KPSW) Kanker Gagal ginjal Imunosupresi Lymphedema Leukositopenia Gangguan fungsi hati D.0136 Resiko Cedera Definisi : Beresiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik Faktor Resiko : Eksternal 1. Terpapar pathogen 2. Terpapar zat kimia toksik 3. Terpapar agen nosocomial 4. Ketidakamanan transportasi Internal 1. Ketidaknormalan profil darah 2. Perubahan orientasi 9. 10. 11. 12. 13. 14.



12.



L.14136 I.14537 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam Pencegahan Cidera diharapkan masalah resiko cedera dapat teratasi Definisi : Kriteria Hasil Mengidentifikasi dan Meningkat Cukup Sedan Cukup Menurun menurunkan resiko Meningkat g Menurun mengalami cedera bahaya Kejadian 1 2 3 4 5 atau kerusakan fisik cedera Tindakan : Luka/lecet 1 2 3 4 5 Observasi Keteganga 1 2 3 4 5 1. Identifikasi obat n otot Fraktur 1 2 3 4 5 yang berpotensi Ekspresi 1 2 3 4 5 menyebabkan cidera wajah 2. Identifikasi kesakitan kesesuaian alas kaki Agitasi 1 2 3 4 5 atau stoking elastis Iritabilitas 1 2 3 4 5 pada ekstremitas Gangguan 1 2 4 5 mobilitas bawah Gangguan 1 2 4 5 Terapeutik kognitif 1. Sediakan pencahayaan yang memadai 2. Sosialisasikan



afektif Perubahan sensasi Disfungsi autoimun Disfungsi biokimia Hipoksia jaringan Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh 8. Malnutrisi 9. Perubahan fungsi psikomotor 10. Perubahan fungsi kognitif Kondisi Klinis Terkait : 1. Kejang 2. Sinkop 3. Vertigo 4. Gangguan penglihatan 5. Gangguan pendengaran 6. Penyakit Parkinson 7. Hipotensi 8. Kelainan nervus vestibularis 9. Retardasi mental 3. 4. 5. 6. 7.



3. 4.



5. 6.



pasien dan keluarga dengan lingkungan rawat inap Sediakan alas kaki antislip Sediakan urinal atau urinal untk eliminasi di dekat tempat tidur, Jika perlu Pastikan barangbarang pribadi mudah dijangkau Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan



Edukasi 1. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga 2. Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk beberapa menit sebelum berdiri



DAFTAR PUSTAKA Arif Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika Jakarta Corwin, Elizabeth, J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Contoh Askep Dengan Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta : Nuha Medika Morton, Patricia, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume 2 Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta : EGC NANDA. 2016. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015 – 2017 edisi 10.Jakarta : EGC PPNI DPP SDKI Pokja Tim. 2018. Standar Diagnosia Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Jakarta : DPP PPNI PPNI DPP SIKI Pokja Tim. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Jakarta : DPP PPNI PPNI DPP SLKI Pokja Tim. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Jakarta : DPP PPNI Price, Sylvia dan Lorraine Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne, dan Brenda Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC Stillwell, Susan. B. 2012. Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika