Administrasi Pemerintahan Daerah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DEFINISI ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH Administrasi pemerintah daerah, terdiri dari 3 kata yaitu administrasi, pemerintah dan daerah. Administrasi dapat diartikan dalam 2 hal yaitu administrasi dalam arti sempit dan administrasi dalam arti luas. Secara sempit administrasi diartikan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi, jadi kegiatan yang dimaksud tidak lebih dari kegiatan tata usaha. Seperti mengetik, mengirim surat, mencatat keluar dan masuk surat, penyimpanan arsip dan yang termasuk pada proses pelayanan lainnya. Sedangkan administrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Dalam pengertian luas ini, pengertian tata usaha termasuk didalamnya. Administrasi yang dimaksud tidak hanya pada badan-badan pemerintah saja, tetapi juga terdapat pada badan-badan swasta. Kemudian, kita masuk dalam pengertian administrasi pemerintah. Pada hakekatnya administrasi pemerintah adalah administrasi Negara dalam arti sempit. Administrasi Negara dalam arti luas sebagai obyeknya adalah Negara lengkap dengan badan-badan Negara baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit yang menjadi obyek adalah pemerintah (eksekutif). Administrasi pemerintah berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang dapat dikelompokkan dalam 3 fungsi/kegiatan dasar yaitu: perumusan kebijakan, pelaksanaan tugas administrasi , pengunaan dinamika administrasi. 1. Perumusan Kebijakan



Perumusan kebijakan politik pemerintah dalam system pemerintahan kita didasarkan pada kebijakan politik yang lebih tinggi. Sebagai ilustrasi presiden dan para menteri yang bersangkutan menetapkan kebijakan pemerintah dibidang ideology, politik, ekonomi, social budaya dan hankam dengan berpedoman pada UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR dan berbagai UU yang berlaku. Adapun langkah-langkah dalam perumusan kebijakan adalah sebagai berikut: • Analisis yang baik terhadap keadaan-keadaan yang nyata • Melakukan perkiraan (forecast) keadaan-keadaan yang akan dating dan menyusun alternativealternatif langkah kegiatan yang harus ditempuh. • Menyusun strategi • Pengambilan keputusan. 2. Pelaksanaan Tugas Administrasi Pelaksanaan tugas administrasi adalah merumuskan kebijakan pelaksanaan dari kebijakan politik pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya. Para pejabat yang bertugas merumuskan kebijakan pelaksanaan/operasional adalah para pejabat professional yang pada umumnya bekerjan pada kantor-kantor menteri negara/ departemen teknis/ lembaga-lembaga pemerintah yang secara fungsional mempunyai keahlian dalam bidangnya masing-masing. Pelaksanaan tugas administrasi ini meliputi kegiatan-kegiatan pengaturan/ pengendalian dibidang: • Struktur organisasi • Keuangan • Kepegawaian



• Sarana/peralatan 3. Penggunaan Dinamika Administrasi Semua kebijakan yang telah ditetapkan perlu dilaksanakan secara operasional agartercapai tujuan yang dimaksud dalam kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini peranan unsure dinamika administrasi adalah sangat besar yakni dalam rangka proses pencapaian tujuan secara berdaya guna dan berhasil guna. Unsur dinamika penggerak administrasi ini meliputi:  Pimpinan  Koordinasi  Pengawasan  Komunikasi dan kondisi yang menunjang Kemudian, dalam penyelenggaraannya, administrasi pemerintah menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Administrasi pemerintah dalam kegiatannya berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah termasuk didalamnya badan-badan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Artinya setiap tindakan pemerintah harus mempertimbangkan dua kepentingan yakni tujuan dan landasan hukumnya. 2. Administrasi pemerintah dalam kegiatannya berdasarkan keputusan politik yang dibuat oleh badan yang berwenang. Dalam menjalankan kewenangannya administrasi pemerintah di Indonesia berdasarkan atas ketetapan-ketetapan MPR yang bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun. 3. Administrasi pemerintah dalam pengaturan organisasinya bersifat birokrasi. Birokrasi dalam arti yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan harus dilakukan oleh orang banyak. Di negara kita pengaturan organisasi pemerintah berdasarkan atas struktur birokrasi yang mengatur segala kegiatan pemerintah baik kedalam maupun keluar dan tata cara pengambilan keputusan yang kompleks. 4. Administrasi pemerintah dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan pada prosedur kerja yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan misalnya peraturan perijinan, peraturan tentang pedagang kaki lima, dan sebagainya. Setelah mengetahui pengertian dan ciri-ciri administrasi pemerintah, kemudian satu hal yang menjadi inti mata kuliah ini adalah pengertian administrasi pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan administrasi pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan berdasarkan prinsip desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom (propinsi, kabupaten dan kota). Sementara itu otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Pendelegasian kewenangan ditinjau dari visi implementasi praktis di daerah dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu pendelegasian kewenangan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah dan pendelegasian kewenangan pengelolaan keuangan. Sementara itu substansi kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan kecuali dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, peradilan (yustisi) moneter dan fiskal nasional, serta agama ( UU no 32 pasal 10:3). B. Landasan Pembentukan Pemerintah Daerah



Sumber utama kebijaksanaan umum yang mendasari pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah Pasal 18:1-7 UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, yang antara lain menyatakan bahwa: 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. 5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. 6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat” maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungan yang bersifat “staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah Provinsi dan daerah Provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil yaitu kabupaten dan kota. Di daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi saja semuanya menurut aturan akan ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah otonom akan diadakan Dewan Perwakilan Rakyat daerah. Oleh karena itu di daerah pun penyelenggaraan pemerintahannya akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari perlunya pemerintahan di daerah (Supriatna, 1996:58-60) yaitu: a) Pertimbangan Kondusif Situasional Secara nyata dan obyektif wilayah negara kita merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dipisahkan oleh selat, laut dan dikelilingi lautan. Keadaan penduduk dengan beragam adat istiadat dan budaya, potensi permasalahan yang dihadapi serta kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah. Kesemuanya akan lebih efisien dan efektif bila pengelolaannya adalah ditangani oleh perangkat pemerintahan yang perlu diwujudkan di masing-masing wilayah. b) Pertimbangan Sejarah dan Pengalaman Berpemerintahan Dalam rangka menyusun sistem pemerintahan memperhatikan pula tata pemerintahan yang telah ada mulai dari jauh sebelum datangnya penjajahan kemudian adanya sistem pemerintahan pada jaman raja-raja. Begitu pula sistem kemasyarakatan dan susunan pemerintahan yang berlaku di negara lain. c) Pertimbangan Politis dan Psikologis Wawasan dan semangat hidup yang menonjol dalam perumusan UUD 1945 adalah wawasan integralistik dan demokrasi serta semangat persatuan dan kesatuan nasional sehingga untuk tetap menjaga kekompakan semua tokoh dan keutuhan masyarakat serta wilayahnya, kepada daerahdaerah perlu diberi pemerintahan sendiri dalam kerangka negara kesatuan. Di samping itu untuk memberikan rasa tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dan sekaligus memberi kesempatan kepada daerah untuk berperan serta dalam pemerintahan, sebagai perwujudan semangat dan jiwa demokrasi. d) Pertimbangan Teknis Pemerintahan



Dengan telah disepakatinya prinsip-prinsip Indonesia merdeka dan tujuan serta arah mana Indonesia akan dibawa maka diperlukan perangkat pemerintahan di daerah karena disadari bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintahan di daerah itu tidak memisahkan diri dari pemerintah pusat maka dinyatakan bahwa disamping ada daerah otonom ada daerah yang bersifat administrasi saja, yang kesemuanya merupakan wilayah administrasi pemerintahan negara Indonesia. 3. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan adanya sistem delegasi atau pelimpahan kekuasaan pemerintahan sebagai penjelmaan kedaulatan negara yang terpusat di tangan pemegang kekuasaan konstitusional. Yang dimaksud dengan pemegang kekuasaan konstitusional adalah dapat berwujud lembaga yang dipersonifikasikan dalam bentuk lembaga negara atau pemerintah. Pelimpahan wewenang yang dimaksudkan mencakup pelimpahan wewenang pemerintahan: a) Dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara b) Dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah c) Dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya yang ada di daerah d) Dari Pemerintah Daerah kepada pemerintahan di bawahnya. Tujuan dari pelimpahan wewenang antar pemerintahan atau antar lembaga-lembaga negara dimaksudkan antara lain: a) Menghindari pemusatan kekuasaan oleh sebuah lembaga atau penguasa di semua tingkatan pemerintahan. b) Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan c) Mencapai kelancaran tujuan pemerintah. Prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No.32/2004 adalah: 1. Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan a) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. b) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu. c) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 2. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di Kabupaten dan Kota. 3. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Propinsi, Kabupaten, Kota dan Desa. Dengan adanya pelimpahan wewenang ini timbul hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dimana hubungan tersebut merupakan jalinan sebagai landasan bagi penyelenggaraan fungsi-fungsi: a) Perimbangan kekuasaan dan kewenangan pusat dan daerah b) Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah



c) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan d) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam penyusunan kebijakan, penyusunan peraturan daerah serta operasi pembangunan daerah e) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Daerah tingkat atas kepada Pemerintah Daerah setingkat di bawahnya



PERMASALAHAN PEMERINTAH DAERAH Kepemimpinan Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia melalui Otonomi Daerah, membawa banyak perubahan dalam sistem pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan ini, daerah diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Dalam hal ini, tentunya pemimpin daerah yaitu kepala daerah memiliki peran dan tugas dalam mengatur daerahnya. Kepala daerah mempunyai andil besar dalam menggerakan dan mengembangkan daerah yang dipimpinnya.



Kepala daerah yaitu para gubernur dan bupati/walikota merupakan pemimpin formal di daerahnya yang bertugas untuk membangun dan memajukan kehidupan masyarakat di daerahnya masing-masing. Hal ini pula yang merupakan tugas utama kepala daerah. Oleh karena itu, peran pemimpin daerah menjadi sangat penting dan strategis terutama dalam proses pembangunan di era otonomi daerah ini. Di tengah gencarnya pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi, pembahasan mengenai kepala daerah juga menjadi fokus utama yang mewarnai proses reformasi tersebut. Banyaknya kasus mengenai kepala daerah yang tersandung masalah hukum, dapat menghambat pelaksanaan pembangunan dalam otonomi daerah. Hal ini disebabkan, mereka akan banyak mencurahkan waktu dan perhatian pada masalah hukum yang sedang mereka hadapi. Hingga saat ini, Kementerian dalam Negeri mencatat ada 278 kepala daerah di seluruh Indonesia yang tersandung hukum, baik gubernur maupun bupati/walikota. Data dari KPK juga menunjukan, sudah 8 orang gubernur dan 31 orang bupati/walikota tersandung perkara korupsi dan sudah dihukum selama periode 2004-2012 (www.hukumonline.com, 2012). Banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi, dapat ditengarai karena mahalnya ongkos politik. Hal ini dipaparkan pula oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, bahwa dalam pilkada langsung dan untuk memenangkan kontestasi politik, tidak dapat dipungkiri biaya politik pilkada langsung sangat mahal, sehingga berbagai cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ongkos politik juga dikeluarkan bukan saja saat pencalonan dan kampanye saja. Setelah berhasil mendapat jabatannya, kepala daerah harus mengeluarkan biaya untuk memelihara konstituen dan balas jasa terhadap partai politk pengusung. Apabila dilihat dari gaji kepala daerah yang hanya sebesar Rp 7 – 8 juta, tentunya belum memenuhi biaya yang dibutuhkan (www.fajar.co.id, 2012). Modus korupsi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui penyalahgunaan wewenang terutama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Bukan hanya itu, menurut KPK, modus lain dapat melalui perizinan yang dikeluarkan kepala daerah menjelang pemilihan kepala daerah. Seperti kasus yang menjerat salah satu kepala daerah yakni terkait dengan adanya pengusaha yang menyumbang dana kampanye secara ilegal dan penerbitan izin usaha perkebunan dan hak guna Usaha PT tertentu. Modus lain juga terjadi dalam hal penyelahgunaan dana APBD, dengan menyuap anggota DPRD terkait pembahasan APBD. Selian itu masih banyak lagi kasus korupsi yang menimpa kepala daerah, misalnya penyalahgunaan dana bantuan sosial dan hibah, dll (Rifki, 2012). Hasilnya kemudian digunakan untuk membiayai konstituen



dan parpol pendukung, mengembalikan modal politik atau untuk memperoleh keuntungan secara pribadi. Tidak jarang pula, baik kepala daerah maupun wakilnya kurang memiliki kepemimpinan politik yang memadai. Kepemimpinan seharusnya diarahkan untuk mewujudkan visi, misi dan program pengembangan daerah yang sudah dijanjikan oleh para pemilih. Namun demikian, kepala daerah di Indonesia cenderung memahami dan mempraktekan kepemimpinan sebagai konsentrasi dan akumulasi kekuasaan pada dirinya (bappeda.jatimprov.go.id, 2012). Ditengah maraknya kepala daerah yang tersandung kasus hukum, kondisi yang sedikit berbeda menunjukan fenomena lain. Disamping banyak modus yang dilakuakn oleh kepala daerah dalam melakukan korupsi lalu kemudian terjerat masalah hukum, beberapa kepala daerah terjerat kasus hukum karena inovasi yang mereka lakukan. Hal ini dinilai, bukan kepala daerah yang melakukan penyelahgunaan wewenang melainkan, hukum di Indonesia yang belum memiliki kepastian. Ketua umum asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor mengatakan, bukan hanya pengusaha yang dikriminalisasi, melainkan kepala daerah juga menjadi korban akibat ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan disaat kepala daerah berinovasi, maka hal itu justru dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan (Putro, 2013). Menurut Isran, dalam sejumlah kasus, kepala daerah menjadi sasaran proses viktimisasi, menjadi korban karena dinilai melakukan penyelahagunaan kekuasaan dan wewenang. Padahal kebijakan itu diambil untuk memperlancar investasi. Dia juga mengatakan inovasi kebijakan jangan lantas dimaksudkan penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan karena kerap kali dilakukan untuk mempermudah masuknya investasi. Dalam melakukan investasi pengusaha butuh intensif, salah satunya dengan memberikan kemudahan dalam perizinan. Sayangnya, yang terjadi saat ini perizinan inilah yang sering dianggap kriminal (Wirakusuma, 2013). Menurut pengamat hukum Universitas Indonesia, Indiarto Senoaji, dalam undang-undang terkait kebijakan kepala daerah memang tidak ada kepastian hukum. Hukumnya mungkin sudah jelas, namun implementasinya yang tidak jelas, sehingga banyak yang dimasukan ke dalam ranah pidana sehingga menjadi kriminalisasi kebijakan (Wirakusuma, 2013). Namun demikian, realitas kondisi kepala daerah yang terjadi saat ini, tidak boleh ditanggapi secara pesimistis, karena bukan tidak ada kepala daerah yang juga sukses dalam menjalankan perannya di daerah. Jumlahnya memang tidak banyak, namun demikian hal ini dapat menunjukan bahwa otonomi daerah memberikan peluang bagi setiap daerah berkembang dan maju dengan inovasinya yang tentunya tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kepala



daerah. Masing-masing daerah tersebut mulai bermunculan dengan inovasi mereka masingmasing sesuai dengan kebutuhan di daerah yang bersangkutan. Munculnya kepala daerah yang berkarakter dan inovatif ini turut mewarnai proses otonomi daerah di Indonesia. Mungkin tidak semua daerah-daerah ini dikenal oleh publik seperti inovasi yang diselenggarakan oleh Solo, Yogyakarta, dan sebagain daerah lain, namun demikian daerah-daerah ini juga mulai mngembangkan reformasi di daerahnya. Kepala daerah mereka memiliki fokus yang berbeda-beda dan cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah yang ada di daerah. Sebagian kepala daerah fokus pada peningkatan kemampuan ekonomi melalui insentif dan pengembangan usaha ekonomi kecil dan mikro yang di jalankan oleh masyarakat maupun dengan membuka kesempatan bagi investor. Sebagian fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Beberapa daerah mereformasi daerahnya melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Metode-metode yang mereka gunakan hingga saat ini mulai mampu menunjukan perubahan di daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepala daerah memiliki kontribusi besar dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah dalam lingkup otonomi daerah. Dapat dikatakan pula, berkembang dan majunya suatu daerah bergantung pula pada political will dari Kepala daerah. Kesadaran kepala daerah dalam menjalankan tugasnya sangat dibutuhkan untuk mewujudkan reformasi birokrasi di tingkat daerah serta memenuhi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan cita-cita awal otonomi daerah. Dalam menyongsong grand design reformasi birokrasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hal yang perlu dipersiapkan pula oleh daerah adalah mengenai kepemimpinan. Tren kepala daerah yang saat ini terjadi perlu menjadi cerminan untuk melakukan perbaikan dan koreksi agar Kepala daerah yang ada mampu menjadi motor penggerak mewujudkan kesuksesan reformasi birokrasi di tingkat daerah. Dikatakan pula oleh Guru Besar Ilmu Politik UI, Prof. Iberamsyah, bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah ditentukan kepemimpinan kepala daerah baik bupati, walikota maupun gubernur (www.antarakalsel.com,2012) Oleh karena itu, daerah perlu mempersiapkan pemimpin yang visioner, berkarakter, inovatif dan yang terutama memiliki kesadaran yang tinggi akan tugas dan kewajibannya untuk memajukan dan mengembangkan daerah serta menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah. Memilih kepala daerah seperti yang dibutuhkan bukan pekerjaan yang mudah. Kondisi ini mengingat bahwa kepala daerah diusung oleh parpol dan dipilih langsung oleh masyarakat.



Dalam hal ini, tidak ada analisis yang tepat untuk mengetahui tingkat kemampuan calon kepala daerah dalam memimpin daerah. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses tersebut, misalnya kuatnya partai yang mengusung, ongkos politik, dan juga pengetahuan dan pendidikan masyarakat. Diperlukan kaderisasi yang tepat oleh Partai Politik sehingga calon yang diusung benar-benar orang yang mumpuni untuk memimpin suatu daerah. Partai politik harus diimbau melakukan kaderisasi secara selektif. Jangan asalcomot kader yang belum jelas ideologi politiknya. Apalagi hanya mengandalkan popularitas untuk dicalonkan sebagai kepala daerah yang kemudian akan muncul kepala daerah instan yang belum paham terhadap masalah daerah. Dalam menyelenggarakan road map reformasi birokrasi, kepala daerah yang menjabat harus memiliki kualitas dan mampu mewujudkan keinginan masyarakatnya (www.fajar.com, 2012). Rencana Strategis Daerah Rencana strategis suatu daerah dalam merencanakan pembangunan daerahnya berperan penting dalam menyukseskan tujuan otonomi daerah. Semangat reformasi birokrasi dapat tercermin dari rencana strategis yang disusun. Rencana strategis adalah suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun samapai dengan 5 (lima) tahun dan disusun berdasarkan pemahaman terhadap lingkungan baik dalam skala nasional, regional maupun lokal dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau yang timbul serta memuat visi dan misi sebagai penjabaran dalam membina unit kerja serta



kebijaksanaan



sasaran



dan



prioritas



sasaran



sampai



tahun



yang



ditentukan



(skpd.batamkota.go.id, 2011). Berdasarkan undang-undang nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan perencanaan pembangunan bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah menjadi lebih memiliki legitimasi. Rencana startegis yang disusun oleh suatu daerah dimaksudkan untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Menilik kembali maksud otonomi daerah yang ingin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan ruang bagi masyarakat daerah untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangun daerah, nampaknya hal ini tidak sepenuhnya terwujud. Fenomena yang terjadi saat ini, partispasi masyarakat yang diharapkan sulit terwujud, terutama dalam menyusun perencanaan strategis pembangunan daerah yang kemudian akan tertuang melalui program-program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk masyarakat. Dalam hal ini dapat dianalogikan, apabila partisipasi masyarakat masih kurang dalam proses



penyususnan perencanan strategis, maka program-program yang nantinya diciptakan dan diselenggarakan oleh SKPD-SKPD terkait jauh dari kebutuhan dan harapan masyarakat daerah. Bentuk partisipasi masyarakat daerah yang menjadi tradisi di beberapa daerah dalam penyususnan perencanaan strategis disebut dengan musyawarah pembangunan daerah (musrenbangda). Musrenbangda diharapkan mampu menjadi sarana akumulasi penyampaian aspirasi pembangunan daerah dari masyarakat. Namun demikian, di beberpa daerah di Indonesia, musrenbangfa tidak berjalan efektif. Musrenbangda masih belum bisa menjadi sarana akumulasi penyampaian aspirasi pembangunan daerah dari masyarakat, hanya menjadi penampung yang tidak selamanya dan juga hanya sebagain kecil yang ditindaklanjuti sebagai basis perencanaan pembangunan di daerah (Holidin dan Hariyati, 2012). Fenomena perencanaan pembangunan daerah secara nasional dikemukan pula oleh Soedjito (2002) yaitu sebagai berikut : (1) kegiatan-kegiatan dalam perencanaan pembangunan daerah masih didominasi oleh kebijakan lembaga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan masyarakat; (2) para perencana pembangunan daerah masih lebih mengedepankan kepentingan isntansi atasan daripada aspirasi masyarakat; (3) lemahnya para perencana pembangunan daerah maupun instansi yang lebih tinggi dalam menyerap aspirasi untuk kemudian diakomodasikan dalam berbagai kegiatan atau program pembangunan daerah ; (4) lemahnya posisi masyarakat dalam berhadapan dengan pemda pada saat proses penyusunan rencana yang mengakibatkan kurang terakomodasinya seluruh kepentingan masyarakat dalam program-program pembangunan. Sesusi dengan tujuan dilaksanakannya reformasi birokrasi yaitu perbaikan secara menyeluruh yang menghasilkan peningkatkan manfaat yang besar untuk masyarakat, maka sudah mejadi keharusan, masyarakat dilibatkan dalam proses penyusunan rencana startegis pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan cita-cita otonomi daerah menjadikan masyarakat daerah sebagai central pembangunan (Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, 2012). Namun demikian, tidak seluruhnya aspirasi masyarakat dapat diterima dan dijalankan. Di beberapa daerah di Indonesia, aspirasi yang akan dijalankan adalah yang memiliki kesesuaian dengan prioritas pembangunan dan anggaran yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, hambatan dari musrenbangda ini adalah keluhan beberapa masyarakat yang aspirasinya tidak dikabulkan (Holidin dan Hariyati, 2012). Disamping itu, terkait dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang kemudian diejawantahkan pada level daerah juga menganut rezim perencanaan strategis yang



lama. Sistematika penyusunan RPJMD mengatur bahwa musrenbangda dilakukan sebagai langkah pendahuluan sebelum didiskusikan dalam forum SKPD kemudian di negosiasikan oleh Pemda dengan DPRD. Pada praktiknya hasil musrenbangda di suatu daerah, berdasarkan infomrasi yang diperoleh, tidak serta merta didiskusikan feasibilitasnya kemudian diadopsi sebagian atau seluruhnya dalam forum SKPD. Hal ini ditengarai bahwa kepentingan politik, tuntutan atasan suatu SKPD, serta analisis SKPD secara mandiri merupakan tiga hal yang dianggap menjadi penghambat penyaluran aspirasi melalui musrenbangda di duatu daerah tidak efektif, bahkan hasil-hasil musrenbangda tersebut, diakui tidak tersampaikan ke SKPD (Holidin dan Hariyati, 2012). Selain permasalahan partisipasi masyarakat, masalah lain juga turut mempengaruhi penyusunan rencana strategis pembangunan daerah. Realitas perencanaan pembangunan yang ditemui di daerah menunjukan bahwa (1) perencanaan ditetapkan kurang rasional karena usulan prioritas pembangunan tidak sebanding dengan pagu indikatif sehingga banyak program yang belum terealisasi; (2) kurangnya kualitas SDM dan rendahnya kompetensi dalam bidang perencanaan di Bappeda dan setiap SKPD serta forum delegasi Musrenbangda tingkat kecamatan; (3) pemanfaatan biaya operasional perencanaan tidak sesuai dengan jadwal waktu pelaksanaan perencanaan. Pelaksanaan perencanaan (Musrenbang) misalnya, dilaksanakan pada bulan Januari sedangkan biaya untuk kegiatan tersebut baru cair bulan April; (5) fasilitas perencanaan yang kurang memadai; (6) kurangnya kemampuan para pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan Musrenbangda (Akadun, 2011). Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki kedudukan dan sebagai elemen yang penting dalam suatu organisasi. Berdasar hal tersebut, manajemen SDM diperlukan untuk mengelola secara sistematis, terencana, dan terpola agar tujuan organisasi saat ini maupun untuk masa mendatang dapat tercapai secara optimal. Keberhasilan suatu organisasi turut ditentukan dengan SDM yang bekerja di dalamnya. Demikian halnya dengan organisasi pemerintah daerah, yang membutuhkan SDM yang berkualitas agar tujuan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah dapat tercapai secara optimal. SDM yang dimaksud dalam lingkup organisasi pemerintah daerah adalah pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah. Secara khusus sumber daya manusia menyangkut penyelenggara pemerintahan di daerah, termasuk lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, atau dengan kata lain, sumber daya manusia adalah para aparatur daerah. Dalam perspektif demikian, kebutuhan tersedianya



sumber daya aparatur daerah yang berkualitas menjadi dasar pertimbangan utama yang memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram secara sistematis. Aparatur pemerintah daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mempunyai tugas, fungsi, hak dan wewenang di areal administrasi. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan persyaratan kualitas yang memadai bagi sumber daya manusia aparatur daerah, dan kualitas tersebut dapat diamati dari kemampuan profesionalitas sesuai bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya (Bambang Yudoyono, 2002:61 dalam Effendi, 2012). Pembahasan mengenai SDM di tingkat daerah, tidak dapat terlepaskan dari beberapa masalah yang menyertai pelaksanaan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah. Kapasitas dan kualitas PNS daerah merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat mereka berperan sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pelayanan bagi masyarakat, diperlukan aparatur pemerintah daerah yang berkompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan maupun sebagai elemen dalam merumuskan ide-ide untuk melaksanakan pembangunan daerah. Aparatur yang ada di daerah akan mempengaruhi kinerja bahkan performa penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan aparatur yang benar-benar memahami dan memaknai keadaan dan potensi yang dimiliki daerahnya. Sikap berpikir aparatur harus didasarkan pada kepentingan dan pengembangan daerah dengan mengutamakan potensi yang ada di daerah. Realitas yang terjadi pada kondisi aparatur daerah saat ini adalah kurangnya SDM yang berkualitas dan berkompeten dalam menjalankan pembangunan serta masih rendahnya kesadaran aparatur sebagai pelayan masyarakat. Hal ini dapat diperkuat dengan masih adanya keluhan masyarakat, atas pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Meminjam istilah lama, bahwa aparatur bukan lagi melayani masyarakat melainkan dilayani oleh masyarakat. Realitas ini tentunya berbanding terbalik dengan konsep yang ada. Masih rendahnya kompetensi aparatur daerah dalam menjalankan pembangunan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dikaji melalui sistem rekrutmen pegawai daerah. Fenomena yang ada di daerah, masih banyaknya penyelewengan dalam sistem perekrutannya. Hal ini bahkan sudah menjadi rahasia umum, apabila seseorang ingin menjadi pegawai daerah, harus melalui “jalan belakang” dengan menyuap pihak-pihak tertentu. Kegiatan penerimaan CPNS seakan tidak bisa lepas dari beberapa penyimpangan. Hal ini terungkap dalam



laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menerima 60 pengaduan terkait penyelenggaraan CPNS tahun 2012 (informasibumncpns.com, 2012). Selain itu, masih maraknya perekrutan CPNS dengan cara spoiled system. Realitas ini tentunya akan semakin memperburuk mekanisme perekrutan CPNS di daerah. Sistem ini akan memperkecil peluang atau bahkan menutup peluang bagi peserta seleksi pegawai daerah yang sebenernya memiliki kualifikasi sesuai dengan kebutuhan dalam pemerintahan. Seleksi awal atau perekrutan merupakan proses yang turut menetukan kualitas dan kompetensi aparatur pemerintah daerah yang nantinya akan menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan dalam peraturan. Apabila realitas yang ada di daerah masih demikian adanya, tentunya kapabilitas para pegawai daerah akan diragukan. Kondisi ini berdampak pada terhambatnya mewujudkan kesuksesan penyelenggaran reformasi birokrasi di level daerah serta penyediaan layanan yang berkualitas kepada masyarakat. Selain seleksi CPNS yang tidak akuntabel dan transparan, di beberapa daerah diketahui bahwa penempatan pegawai tidak berdasarkan pada penilaian kompetensi pegawai, bahkan ketiadaan analisis jabatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masih belum dilakukan. Sebagai contoh, di instansi salah satu daerah, para pegawainya merupakan limpahan dari SKPD lain. Berdasarkan informasi yang ada, pelimpahan ini merupakan sumber daya sisa yang tidak digunakan atau tidak memiliki kompetensi spesifik di SKPD lain. Selain itu, juga terjadinya defisiensi sumberdaya aparatur pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan potensi pertambahan jumlah PNS menurut rasionalitas sebelumnya tidak terjadi ketika dihadapkan pada kebutuhan kinerja di Pemerintah kabupaten/kota (Holidin dan Hariyati, 2012). Dibeberapa daerah, kualitas SDM yang diakui secara umum masih relatif rendah menjadi hambatan yang signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani menjadi permasalahan dalam penyusunan dan pelaksanaan program kerja. Kuantitas pegawai daerah juga memunculkan masalah baru, ditambah lagi dengan distribusi yang tidak merata di daerah yang bersangkutan, terutama di daerah kepulauan yang beberapa wilayahnya masih pelosok. Masalah yang timbulkan akibat kuantitas pegawai ini adalah membengkaknya pos anggaran untuk belanja pegawai dalam APBD. Pos anggaran tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan untuk belanja modal, pembangunan infrastruktur maupun belanja pelayanan publik. Kondisi yang hampir sama juga ditunjukan di suatu daerah di Indonesia. Pemerintah daerah melalui Kepala daerah membuat kebijakan untuk mengurangi jumlah pengangguran



melalui perekrutan pegawai honorer maupun pegawai negeri sipil. Kebijakan ini malah menimbulkan masalah baru yakni membengkaknya pos anggaran untuk belanja pegawai. Gaji atau penghasilan yang diterima oleh pegawai yang bersangkutan masih dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan sehingga mereka harus mencari tambahan lain di luar tugasnya sebagai pegawai pemerintahan. Hal ini tentunya akan membuat kinerja mereka di pemerintahan tidak optimal. Beberapa dari mereka mangkir dari pekerjaaannya di kantor karena ada pekerjaan lain di luar yang harus diselesaikan. Ketika masyarakat datang untuk meminta pelayanan, tentu saja mereka tidak tertangani dengan baik. Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan SDM atau pegawai tersebut, tidak dapat dibiarkan terus berlangsung yang semakin memperburuk kondisi pelayanan pemerintahan daerah sehingga harus dicari solusi terbaiknya. Hal ini mengingat, urgensi pelaksanaan reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah memerlukan kesiapan dari pihak pemerintah daerah melalui penyelesaian masalah-masalah utama yang masih menggelayuti, salah satunya adalah mengenai SDM (pegawai daerah). Dalam mendukung terwujudnya reformasi birokrasi, diperlukan SDM yang handal, berkualitas, berkompeten dan mumpuni dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kondisi ini mengharuskan setiap daerah memiliki formula yang jelas, transparan dan akuntabel dalam memanajemen SDM daerah, mulai dari proses perekrutan hingga evaluasi kinerja pegawai. Mekanisme yang dibuat harus sedapat mungkin menutup celah terjadinya penyelewengan, terutama dalam proses awal yaitu perekrutan. Harus ada kejelasan tugas pokok dan fungsi serta jobdesk masing-masing dibarengi dengan distribusi pegawai yang efektif. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapabilitas pegawai melalui pengembangan dan pelatihan pegawai. Kemitraan Membangun hubungan kemitraan, bagi pemerintah daerah merupakan langkah dan program strategis yang penting dilakukan sebab tidak mungkin seluruh permasalahan dan pekerjaan pembangunan masyarakat dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah daerah. Hubungan kemitraan tersebut dapat terbangun dengan kerjasama baik dengan pemerintah daerah lain, pemerintah pusat, pihak swasta, masyarakat maupun stakeholder lain. Mengingat momen otonomi daerah yang sudah dikembangkan lebih dari satu dasawarsa ini, sudah selayaknya segala urusan di daerah dapat segera diselesaikan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Berbagai masalah daerah berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, sosial dan



kemasyarakatan, sarana dan prasarana dan sebagainya, tidaklah mampu diatasi melalui APBD saja. Oleh karena itu perlu dikembangkan kemitraan antara pemerintah daerah dengan berbagai pihak, baik sektor swasta dan sektor ketiga melalui skema kemitraan pemerintah daerah (Mahmudi, 2007:54). Hal yang perlu menjadi fokus bagi pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu mendorong partisipasi masyarakat, mengembangkan sektor swasta serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investor untuk berinvestasi di daerah. Kondisi tersebut membutuhkan kemampuan daerah untuk menciptakan inovasi serta kemampuan dalam menjalin hubungan kemitraan yang baik agar dapat mendatangkan manfaat antara kedua belah pihak, baik itu pemerintah daerah sendiri maupun mitra kerjasama. Bentuk kerjasama yang dilakukan dapat meliputi berbagai sektor di pemerintah daerah, tergantung pada kebutuhan daerah untuk memberikan pelayanan dan menjalankan pembangunan di daerahnya. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menarik investor maupun pihak lain menjalin kemitraan dengan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengembangkan potensi di daerahnya atau dengan kata lain , pemerintah daerah mampu membranding daerahnya sehingga dilirik oleh investor-investor swasta untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut. Pemerintah daerah juga dapat membuka peluang berinvestasi dengan memudahkan urusan perizinan untuk membuka usaha. Hal ini mengingat masih ada atau bahakan masih banyak keluhan dari pengusaha-pengusaha dalam berinvestasi di daerah karena prosedur perizinan yang sulit serta birokrasi yang panjang bahkan terjadi pemerasan terhadap pengusaha oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Bukan hanya itu, kemitraan juga dapat terjalin dengan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan. Dalam hal ini, biasanya letak daerah tersebut berdekatan atau adanya perbedaaan kebutuhan antar daerah sehingga dapat saling memenuhi. Adanya urgensi untuk melaksanakan reformasi birokrasi, termasuk oleh daerah-daerah, diperlukan kesiapan dari pihak daerah dalam melaksanakan reformasi tersebut. Kondisi ini menuntut pemerintah daerah untuk dapat mengatasi dan memperbaiki masalah-masalah yang masih dihadapi oleh daerah hingga saat ini, termasuk permasalahan utama dalam hal kemitraan. Bukan tidak ada, atau bahkan saat ini sudah mulai banyak daerah-daerah yang dapat membuka diri untuk menjalin kemitraan dengan para stakeholder melalui suatu kebijakan tertentu, pun demikian tidak dapat dipungkiri pula, masih terdapat daerah-daerah yang belum efektif dan optimal dalam menfaatkan pentingnya menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lain. Kondisi



tersebut apabila tidak segera diperbaiki tentunya akan menghambat pelaksanaan road map reformasi birokrasi yang saat ini sedang gencar dicanangkan oleh pemerintah. Penilaian juga sering muncul dari kalangan masyarakat terkait kemitraan yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Mereka menilai, kemitraan dengan pihak luar daerah masih belum memadai. Dalam pelaksanaan program pelatihan misalnya, masih perlu ditingkatkan kemitraan dengan pihak luar daerah dalam rangka penyaluran alumni dari program pelatihan serta dalam pengadaan sarana dan penyelenggaraan pelatihan yang memadai. Begitu pula dalam pelaksanaan program dana bergulir bagi masyarakat, diperlukan adanya kerjasama dengan pihak lain guna meningkatkan kinerja dari inovasi program tersebut. Diharapkan melalui kerjasama dengan pihak lain seperti akademisi dan pihak-pihak lainnya bisa meningkatkan kinerja program di masa akan datang bagi daerah (Prasojo, Kurniawan, dan Holidin, 2007:188-189) Dalam rangka mengoptimalkan pembangunan infrstruktur, secara pembiayaan perlu ada kerjasama bersama swasta. Sinergi yang ada antara Pmeerintah pusat,pemerintah daerah dan swasta menjadi penting untuk kesuksesan. Hal tersebut dinilai baik mengingat dukungan dari semua kalangan memicu suksesnya pembangunan infrastruktur dari waktu-waktu mendatang. Idealnya, layak secara ekonomi dan finansial diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Untuk kontribusi pemerintah sendiri adalah dukungan pemerintah yang bisa melalui pendanaan pembebasan lahan, pembiayaan sebagian konstruksi, dan pemberian Viability Gap Fund (www.infobanknews.com, 2012). Kegagalan dalam menjalin kemitraan dengan pihak swasta pernah dialami oleh salah satu daerah otonom di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur transportasi. Ada persoalan mendasar yang kemudian berimplikasi pada kegagalan kerjasama, antara lain (1) Skema kerjasama yang timpang. Hal ini misalnya dapat ditilik dari ketimpangan hak dan kewajiban antara kedua pihak; (2) Kegagalan mitra pemkot dalam menyediakan fasilitas pendukung, padahal fasilitas tersebut dibayangkan menjadi jangkar perekonomian dan diproyeksikan memberikan keuntungan ekonomi yang besar sehingga bisa segera menutup biaya pembangunan. Selain itu, lemahnya kontrol pemkot terhadap kinerja mitra kerjasama. Hal ini berimplikasi pada (1) keleluasaan pihak kedua dalam memodifikasi layout bangunan infrastruktur sehingga menghasilkan bentuk bangunan yang tidak efektif dan kemudian menyebabkan kesulitan akses transaksi ekonomi dan penjagaan keamanan, dll; (2) pemanfaatan bangunan infrastruktur yang tidak maksimal sehingga mengganggu sektor-sektor lain dan tidak menimbulkan multiplier effect; (3) Fungsi pemerintah sebagai pelindung kepentingan pedagang



dan pengusaha kecil yang tidak berjalan baik. (4) lemahnya kontrol pemkot dalam mengawasi kerjsama karena keterbatasan pegawai . Hal ini merupakan efek dari perubahan kedudukan bagian kerjasama menjadi sub bagian ditengah banyaknya pekerjaan kerjasama, dan belum ditemukannya mekanisme pengawasan lintas dinas-badan yang efektif. (5) Lemahnya manajemen infrastruktur yang dibangun sebagai akibat dari lemahnya pembagian tugas dan koordinasi dari kedua belah pihak. Kegagalan



kerjasama



ini



pada



gilirannya



juga



menghasilkan sejumlah konsekuensi bagi pemkot, seperti beralihnya kewajiban penggajian pegawai dan pembayaran hutang kepada pemkot. Persoalan-persoalam kelembagaan dan pengelolaan juga bermuara pada ketidakefektifan penyelenggaraan fungsi pelayanan publik dan fungsi komersil. Pun demikian, menjalin kemitraan di beberapa daerah sudah berjalan dengan cukup baik dengan melibatkan berbagai pihak dari berbagai sektor. Misalnya seperti dalam memenuhi kebutuhan terhadap penyediaan pelayanan yang optimal dalam bidang kesehatan, pemerintah daerah bekerja sama dengan agensi yang konsen terhadap pemenuhan gizi anak dan balita, selain itu pemda bekerjasama juga dengan organisasi kesehatan dan kemanusiaan yang lain (Mano Deby, 2012). Dipaparkan pula oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Suryo Bambang Sulistyo, bahwa pemerintah daerah diharpkan dapat menjalin hubungan strategis dengan pengusaha untuk mendayagunakan secara maksimal potensi yang dimiliki daerah bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hambatan-hambatan yang kerap muncul di daerah, seperti hambatan struktural, perizinan, birokrasi dan lain sebagainya dapat dikurangi sehingga pengusaha lebih mudah dalam berinvestasi. Sejak pemberlakuan otonomi daerah lebih dari satu dekade lalu, dunia usaha kerap mengeluhkan tentang panjangnya jalur birokrasi pengurusan izin usaha, minimnya daya saing infrastruktur dan ketidakpastian hukum (Ihsan, 2013). Kondisi ini tentunya akan turut mempengaruhi iklim usaha di Indonesia. Tidak dipungkiri pula, kondisi yang tidak kondusif seperti demikian, akan menyebabkan pengusaha-pengusaha melirik negara lain. Selain berperan untuk menyokong pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan serta menyediakan pelayanan bagi masyarakatnya, kemitraan penting guna mendorong terciptanya lapangan pekerjaan dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah. Dikatakan pula oleh Suryo, lambannya pengurusan izin investasi di daerah karena birokrasi yang panjang dan berbelit-belit menyebabkan banyak kalangan pengusaha mengaku terjebak dalam lilitan



kebijakan yang dibuat oleh oknum penguasa setempat untuk mengeruk keuntungan pribadi (Ihsan, 2013). Peran pihak swasta lebih ekspansif dalam mempercepat pembangunan. Misalnya lewat pengembangan dan pemanfaatan potensi alam. Mulai dari penambangan batubara atau perluasan lahan perkebunan sawit. Hal ini otomatis menaikan jumlah angkatan kerja di daerah, sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing daerah. Aspek percepatan pembangunan daerah ini tergantung pada potensi daerah itu sendiri. Menjalin hubungan dan mengundang pihak swasta untuk bekerjasama dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan seyogyanya tetap sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku (otdanews.com, 2012). Sumber Daya dan Prospek Pengembangan wilayah pada hakekatnya adalah pengembangan di daerah yang bersifat menyeluruh. Artinya pembangunan tidak hanya menyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi yang lebih prinsip adalah upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar dapat mengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak. Kondisi sumber daya manusia yang berkualitas merupakan prasyarat utama dalam melakukan perbaikan dan pembangunan di banyak sektor. Terlebih lagi pada masa pelaksanaan Otonomi daerah dimana partisipasi dan kompetesi masyarakat sangat dibutuhkan dalam merancang, menentukan kebijakan dan melaksanakan pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak (Chalid, Peni, 2005: 82-83). Selain SDM, Sumber Daya Alam (SDA) dalam berbagai sektor merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan dan masing-masing memiliki prospek yang menjanjikan selama daerah mampu mengeksplornya. Sektor yang paling menjanjikan misalnya sektor pertambangan, namun banyak yang perlu diperhatikan dalam mengeksplornya. Hal krusial yang harus dilakukan dalam kegiatan pertambangan adalah harus berdasarkan ketersediaan SDA. Diperlukan wawasan jangka panjang atau pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatan potensi sektor pertambangan perlu memperhatikan AMDAL (Analisis mengenai dampak lingkungan), agar kelestariaannya tetap terjaga. Dalam hal ini, diperlukan kemampuan pemerintah daerah untuk dapat merencanakan pengelolaan serta pemnafaatan sumber daya tambang secara efektif dan efisien. Dapat dilihat dari tren yang terjadi di beberapa daerah masih memanfaatkan sumber daya tambang secara besar-besaran atau tidak terkendali dan dijadikan prospek utama dalam mendongkrak perekonomian daerah dan meningkatkan PAD. Namun demikian kegiatan ini tidak memperhatikan pemanfaatan untuk masa depan. Ketergantungan masyarakat yang melulu



terhadap hasil tambang dikawatirkan akan menimbulkan masalah di kemudian hari apabila hasil tambang di daerah tersebut sudah habis dan tidak dapat dieksplor lagi. Bahkan dapat dipastikan hal ini akan menganggu kestabilan ekonomi karena beberapa masyarakat akan kehilangan pekerjaan utama mereka sebagai penambang dan juga dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat pasca aktivitas pertambangan. Kondisi ini juga akan semakin memperburuk dan menambah permasalahan di daerah. Saat ini, beberapa pemerintah daerah memutuskan memenfaatkan cadangan tambang sebagai motor untuk menggerakan ekonomi. Dapat disadari, cara ini merupakan kebijakan pemerintah daerah sebagai solusi prgamatis jangka pendek untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD). Namun kadang kala kebijakan ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah lupa bahwa barang tambang adalah komoditas yang tidak terbarukan, akan habis suatu waktu. Ditambah lagi, kebanyakan pemerintah daerah mengartikan kemajuan ekonomi dengan memanfaatkan hasil eksploitasi pertambangan membiayai keperluan belanja pemerintah yang kebermanfaatannya tidak untuk jangka panjang, misalnya mendirikan gedung perkantoran atau untuk belanja pegawai. Poin utama yang perlu dipertimbangkan adalah hasil kegiatan pertambangan tersebut perlu dimanfaatkan untuk membangun komoditas lain yang dapat dijadikan penggerak perekonomian jangka panjang, misalnya untuk pertanian, perkebunann maupun pengembangan, permodalan dan pelatihan UMKM masyarakat daerah. Melalui hasil tersebut, seharusnya pemerintah mulai dapat menyiapkan infrastruktur untuk mendukung pengembangan pertanian, perkebunan dan UMKM masyarakat daerah, tentunya akan lebih bijak apabila sesuai dengan kearifan lokal masyarakat daerah. Ada pula hambatan yang dialami daerah, dalam hal pengelolaan dan pengembangan potensi SDA khususnya pertambangan adalah masih rendahnya kualitas SDM serta kualitas teknologi yang kurang memadai. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan informasi wilayah tentang potensi sumber daya mineral yang akurat bagi kepentingan investasi, yang selama ini belum dapat diwujudkan secara baik (www.bakorsurtanal). Masalah rendahnya kualitas SDM pemerintah salah satunya akan menyebabkan pemerintah tidak mampu memetakan potensi daerah yang dimiliki. Mereka kurang mampu melakukan analisis terhadap potensi yang ada dan tidak dapat melihat prospek jangka panjang dari potensi yang dimiliki. Upaya tersebut misalnya pembentukan instansi pemerintah (dinas/badan) yang mengurus dan bertugas mengkoordinasi pengelolaan potensi daerah. Dengan



demikian, potensi yang ada tidak dapat tergali dan dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan PAD maupun untuk menggerakan perekonomian masyarakat. Permasalahan lain yang juga muncul di daerah adalah sinergitas antara pemerintah daerah, masyarakat dan swasta/investor dalam pengelolaan sumber daya. Pemanfataan sumber daya alam pada skala tertentu dapat menyebabkan/ memicu konflik antar kepentingan sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan. (Kusdinar, 2011). Dalam pengelolaan dan eksplorasi sumber daya alam masih ada kelonggaran pengawasan, sehingga antara kedua belah pihak yakni investor dan pemerintah daerah tidak terjalin hubungan “simbiosis mutualisme” namun lebih menguntungkan pihak swasta. Hal ini juga dipengaruhi masih kurangnya kemampuan sumber daya manusia di pemerintahan dalam merencanakan pembangunan termasuk pengelolaan anggaran pada pos pendapatan daerah. Ketidakmampuan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam sendiri berimbas pula pada masyarakat daerah asli. Investasi yang seharusnya diharapkan dapat menggerakan kegiatan perekonomian daerah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat daerah ternyata tidak demikian adanya. Hal ini dapat didasari karena juga masih rendahnya kualitas sumber daya manusianya sehingga tidak dapat memenuhi standar minimum kemampuan yang dibutuhkan oleh investor dalam mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, para investor ini lebih banyak merekrut SDM dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Kondisi ini pula yang ditenggarai menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat asli. Potensi daerah yang kaya tidak serta merta menjadikan masyarakatnya sejahtera namun menunjukan kondisi yang sebaliknya. Masyarakat daerah tetap ada dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan bahkan semakin terpuruk dengan banyaknya pendatang ke daerah mereka yang dari segi kapabilitas dan keahlian yang dimiliki lebih unggul dibanding mereka. Hal inilah yang hingga saat ini menimbulkan konflik di daerah dan menjadi dasar alasan munculkan potensi disintegrasi. Dapat diambil contoh yang dialami papua. Meskipun wilayah papua memiliki sumber daya mineral logam yang penting utnuk negara, tidaka ada kebijakan khsuus yang disiapkan pemerintah pusat terkait rencana pengelolaan pertambangan di sana. Secara umum, pengelolaan pertambangan Papua dilaksanakan mengacu pada ketentuan yang ada dalam undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan aturan pelaskanaan terkait. Undang-undang yang terbit Januari 2009 itu memberi keleluasaan lebih besar kepada pemerintah daerah mengeluarkan izin



pertambangan. Kewenangan ini yang kemudian oleh pengamat bahkan pejabat pemerintah Kementerian ESDM dinilai perlu untuk tetap diawasai (energytoday.com, 2013). Kecenderungan pemerintah daerah khususnya dalam memperoleh sumber PAD terlalu fokus pada SDA yang memberikan keuntungan langsung misalnya pertambangan logam dan mineral. Ditambah lagi, hasil tambang tersebut langsung dijual dalam bentuk mentah tanpa pengolahan lebih dulu untuk meningkatkan nilai guna sehingga nilai jualnya juga lebih tinggi. Selain



itu



masih



rendahnya



kepedulian



pemerintah



daerah



dalam



mengelola



dan



mengembangkan SDA lain yang dapat terus diperbaharui dalam jangka panjang misalnya perikanan, pertanian dan perkebunan. Masih jarang daerah,khususnya yang memilki sumber daya tambang, melirik potensi pertanian, perikanan maupun perkebunan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah sendiri masih kesulitan merancang kebijakan yang tepat untuk mendongkrak komoditas sektor ini. Selain itu, komoditas ini dipengaruhi pula oleh kondisi alam, misalnya di sektor pertanian dan perkebunan. Pada musin kemarau tentunya akan terjadi penurunan produksi, hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Dalam hal pengembangannya, juga diperlukan modal yang besar. Terkadang, dalam pemberian bantuan kepada masyarakat pun, tidak disertai dengan analisis kebutuhan masyarakat, sehingga bantuan yang diberikan pun tidak memberikan kebermanfaatan yang optimal bagi masyarakat. Meskipun sudah ada inovasi yang muncul dalam pengelolaan sektor pertanian, perkebunan maupun perikanan di beberapa daerah, namun jumlahnya cenderung masih sedikit. Bahkan beberapa pemerintah daerah mengakui, mereka masih kesulitan dalam membantu memasarkan atau mendistribusikan produk daerah, terutama untuk ke luar daerah. Sektor lain yang sebenarnya juga mempunyai prospek yang menjanjikan bagi daerah adalah sektor pariwisata. Setiap daerah di Indonesia, memiliki budaya lokal dan kekayaan alam yang berbeda-beda. Namun apabila diamati, sebagian daerah belum mampu mengeksplor prospek pariwisata di daerahnya dengan alasan kurangnya dana untuk pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana yang menunjang. Selain itu, promosi kekayaan pariwisata juga masih kurang. Dalam hal ini, pemerintah daerah sebenarnya dapat menjalin kerjsama dengan swasta.



MASALAH-MASALAH DALAM PEMBANGUNAN Permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang terletak pada hasil pembangunan masa lampau, dimana strategi pembangunan ekonomi yang menitikberatkan secara pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi yang pesat ternyata menghadapi kekecewaan. Banyak negara dunia ketiga yang sudah mengalami petumbuhan ekonomi, tapi sedikit sekali manfaatnya terutama dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Jurang si kaya dan si miskin semakin melebar. Penganggur dan setengah menganggur di desa maupun di kota semakin meningkat. Problem dari masalah kemiskinan, serta keadaan perumahan yang tidak memadai. Ketimpangan dan ketidakmerataan serta pengangguran tidak hanya dalam kontek nasional, tetapi dalam konteks internasional yang memandang negara-negara yang sedang berkembang sebagai bagian peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) yang sangat timpang dalam sistem ekonomi dunia. Di negara maju titik berat strategi pembangunan nampaknya ditekan untuk mengalihkan pertumbuhan menuju usaha-usaha yang menyangkut kualitas hidup. Usaha-usaha tersebut dimanifestasikan secara prinsip dalam perubahan keadaan lingkungan hidup. Pada prinsipnya problem-problem kemiskinan dan distribusi pendapatan menjadi samasama penting dalam pembangunan negara tersebut. Penghapusan kemiskinan yang meluas dan pertumbuhan ketimpangan pendapatan merupakan pusat dari semua problem pembangunan yang banyak mempengaruhi strategi dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu ahli ekonomi mengemukakan bahwa untuk perbaikan jurang pendapatan nasional hanya mungkin bila strategi pembangunan mengutamakan apa yang disebut keperluan mutlak, syarat minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok, serta yang dinamakan kebutuhan dasar. Pengalaman pembangunan di banyak negara dewasa ini menunjukkan, bahwa terdapat pertentangan antara gagasan dan praktek pembangunan ekonomi. Gagasan pembangunan kontemporer berpendirian, bahwa globalisasi akan selalu memberikan efek positif yang menguntungkan. Pada prakteknya itu tidak selalu terjadi. Krisis finansial yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan contoh ekses negatif globalisasi. Globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai tidak selalu diikuti pemerataan dan keadilan sosial. Hal ini selanjutnya membawa kita pada dilema pokok dalam gagasan pembangunan, yaitu adanya perdebatan di antara para pakar tentang strategi yang seharusnya didahulukan,



antara pertumbuhan dan pembangunan. Kelompok pertama menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi harus didahulukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam pembangunan. Kelompok lainnya berpendapat, bahwa bertolak dari tujuan yang sebenarnya ingin dicapai, maka aktivitas yang berkaitan langsung dengan masalah pembangunan itulah yang seharusnya didahulukan, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Perdebatan ini menarik untuk diikuti karena masing-masing kelompok berpendapat dengan argumen yang kuat. Profesor Mubyarto dan Profesor Bromley mempunyai gagasan baru dalam pembangunan, yaitu tentang pentingnya peran kelembagaan dalam pembangunan. Selama aspek kelembagaan belum diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan penting dalam meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Inovasi dalam kebijakan publik semacam ini akan senantiasa memberikan perhatian terhadap tiga hal penting, yaitu etika, hukum, dan ilmu ekonomi. Etika menekankan pada persepsi kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil, untuk masa kini maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif untuk melaksanakanethical consensus yang telah disepakati. Sementara itu, ilmu ekonomi menekankan pada perhitungan untung rugi yang didasarkan pada etika dan landasan hukum suatu negara. Masalah Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999) Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincolin Arsyad, 1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan distribusi di Negara Sedang Berkembang: 1. Pertumbuhan penduuduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita 2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang 3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah 4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan modal kerja tambahan besar dibandingkan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah 5. Rendahnya mobilitas sosial



6. Pelaksanaan kebijakan industry substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industry untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis 7. Memburuknya nilai tukar bagi NSB dalam perdagangan dengan Negara- Negara maju, sebagi akibat ketidak elastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor NSB 8. Hancurnya industry kerajinan rakyat seperti pertukangan, industry rumah tangga, dan lain-lain Michael P. Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi menjelaskan bahwa pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Masalah Kemiskinan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak



sebagai



warga



negara.



Kemiskinan



merupakan



masalah



global.



Berbagai sudut pandangan tentang masalah kemiskinan, pada dasarnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek statis dan dinamis 1. Dari Segi Statis Ø Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas Ø Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil. Ø Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Ø Miskin alamiah, kemiskinan yang timbul akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Sehingga dalam masyarakat ini tidak akan ada kelompok atau individu yang lebih miskin dari yang lain. Jika ada perbedaan kekayaan dalam masyarakat, dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional. Misalnya hubungan patron-klien, jiwa gotong royong, dan sejenisnya berfungsi untuk meredam timbulnya kecemburuan sosial.



Ø Kemiskinan struktural atau buatan, merupakan kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Bahkan Selo Soemardjan mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. 2. Dari Segi Dinamis Ø Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. Ø Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). Ø Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk. Ø Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi)



Masalah Pembangunan Dalam Negeri Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan. Masalah pokok pembangunan Indonesia Masalah pokok pembangunan Indonesia ada bermacam – macam , diantaranya adalah 1. Dualisme peraturan 2. Kependudukan dan kemiskinan 3. Iklim dan geografis 4. Pemerataan pembangunan



Macam-macam penyebab diatas sangat mempengaruhi pembangunan pada Negara, Negara Indonesia adalah termasuk dalam Negara berkembang, oleh karena itu masalah – masalah diatas harus segera diselesaikan. Dualisme pengaturan Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masingmasing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia. Dualisme pengaturan adalah pengaturan sistem pada Negara Indonesia yang bersifat dualism sehingga mengakibatkan keterhambatnya pembangunan di Indonesia. Kependudukan dan Kemiskinan Kependudukan di Indonesia tidak merata sehingga kepadatan di beberapa kota besar sangat mempengaruhi pembangunan. Dengan kepadatan penduduk tersebut maka persaingan untuk mencari lapangan kerja sangat sulit, dan mengakibatkan pengangguran dan Kemiskinan. Dampak Pengangguran Terhadap Pembangunan Nasional Pengangguran merupakan masalah pokok dalam suatu masyarakat modern. Jika tingkat pengangguran tinggi, sumber daya menjadi terbuang percuma dan tingkat pendapatan masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi yang berpengaruh pula pada emosi masyarakat dan kehidupan keluarga sehari-hari. Pengangguran berdampak besar terhadap pembangunan nasional. Dampak pengangguran terhadap pembangunan nasional dapat dilihat melalui hubungan antara pengangguran dan indikator-indikator berikut ini: 1. Pendapatan Nasional dan Pendapatan per Kapita Upah merupakan salah satu komponen dalam penghitungan pendapatan nasional. Apabila tingkat pengangguran semakin tinggi, maka nilai komponen upah akan semakin kecil. Dengan demikian, nilai pendapatan nasional pun akan semakin kecil. Pendapatan per kapita adalah pendapatan nasional dibagi jundah penduduk. Oleh karna itu, nilai pendapatan nasional yang semakin kecil akibat pengangguran akan menurunkan nilai pendapatan per kapita. 2. Beban Psikologi Semakin lama seseorang menganggur, semakin besar beban psikologis yang harus ditanggung. Secara psikologis, orang yang menganggur mempunyai perasaan tertekan, sehingga berpengaruh



terhadap berbagai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dampak psikologis ini mempunyai efek domino di mana secara sosial, orang menganggur akan merasa minder karena status sosial yang tidak atau belum jelas. 3. Biaya Sosial Dengan semakin besarnya jumlah penganggur, semakin besar pula biaya sosial yang harus dikeluarkan. Biaya sosial itu mencakup biaya atas peningkatan tugas-tugas medis, biaya keamanan, dan biaya proses peradilan sebagai akibat meningkatnya tindak kejahatan. 4. Penerimaan Negara Salah satu sumber penerimaan negara adalah pajak, khususnya pajak penghasilan. Pajak penghasilan diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki pekerjaan. Apabila tingkat pengangguran meningkat, maka jumlah orang yang membayar pajak penghasilan berkurang. Akibatnya penerimaan negara pun berkurang.



Dampak Pengangguran Terhadap Ekonomi Masyarakat Tingginya tingkat pengangguran dalam sebuah perekonomian akan mengakibatkan kelesuan ekonomi dan merosotnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai akibat penurunan pendapatan masyarakat. Dampak pengangguran terhadap ekonomi masyarakat meliputi hal-hal berikut ini: a. Pendapatan per kapita Orang yang menganggur berarti tidak memiliki penghasilan sehingga hidupnya akan membebani orang lain yang bekerja. Dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan per-kapita. Dengan kata lain, bila tingkat pengangguran tinggi maka pendapatan per kapita akan menurun dan sebaliknya bila tingkat pengangguran rendah pendapatan per kapita akan meningkat, dengan catatan pendapatan mereka yang masih bekerja tetap. b. Pendapatan Negara Orang yang bekerja mendapatkan balas jasa berupa upah/gaji, Upah/gaji tersebut sebelum sampai di tangan penerima dipotong pajak penghasilan terlebih dahulu. Pajak ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara sehingga bila tidak banyak orang yang bekerja maka pendapatan negara dari pemasukan pajak penghasilan cenderung berkurang. c. Beban Psikologis Semakin lama seseorang menganggur semakin besar beban psikologis yang ditanggungnya. Orang yang memiliki pekerjaan berarti ia memiliki status sosial di tengah-tengah masyarakat. Seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dalam jangka waktu lama akan merasa rendah diri (minder) karena statusnya yang tidak jelas.



d. Munculnya Biaya Sosial Tingginya tingkat pengangguran akan menimbulkan pengeluaran berupa biaya-biaya sosial seperti biaya pengadaan penyuluhan, biaya pelatihan, dan biaya keamanan sebagai akibat kecenderungan meningkatnya tindak kriminalitas.



Iklim dan Geografis Iklim di Indonesia adalah tropis dan geografisnya berupa kepulauan, sehingga sulit untuk pemerintah melakukan pemerataan pembangunan dan ditambah lokasi pulau – pulau berjarak cukup jauh. Negara Indonesia beriklim tropis sehingga sangat mudah untuk melakukan kegiatan pertanian, karena banyak penduduk Indonesia yang melakukan pertanian sehingga pembangunan menjadi sulit. Pemerataan pembangunan Pemerataan pembangunan di Indonesia masih cukup labil, karena banyak faktor yang mempengaruhinya sehingga pembangunan di Indonesia tidak merata. Akibatnya masih banyak beberapa daerah yang belum mendapatkan infrastruktur yang memadai, diantaranya : air bersih, lisrik, pendidikan ,dan lapangan pekerjaan. Akibat dari tidak meratanya pembangunan sangat banyaknya kemiskinan di Indonesia. Masalah Kependudukan 1. Permasalahan Kuantitas Penduduk di Indonesia Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kuantitas penduduk sebagai berikut : a. Jumlah Penduduk Indonesia Besarnya sumber daya manusia Indonesia dapat di lihat dari jumlah penduduk yang ada. Jumlah penduduk di Indonesia berada pada urutan keempat terbesar setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. b. Pertumbuhan Penduduk Indonesia Peningkatan penduduk dinamakan pertumbuhan penduduk. Angka pertumbuhan penduduk Indonesia Lebih kecil dibandingkan Laos, Brunei, dan Filipina. c. Kepadatan penduduk Indonesia Kepadatan penduduk merupakan perbandingan jumlah penduduk terhadap luas wilayah yang dihuni. Ukuran yang digunakan biasanya adalah jumlah penduduk setiap satu km 2 atau setiap 1mil2. permasalahan dalam kepadatan penduduk adalah persebarannya yang tidak merata. Kondisi demikian menimbulkan banyak permasalahan, misalnya pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, pemukiman kumuh dsb.



d. Susunan penduduk Indonesia Sejak sensesus penduduk tahun 1961, piramida penduduk Indonesia berbentuk limas atau ekspansif. Artinya pada periode tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada penduduk usia tua. Susunan penduduk yang seperti itu memberikan konsekuensi terhadap hal-hal berikut : o o o o



Penyediaan fasilitas kesehatan. Penyediaan fasilitas pendidikan bagi anak usia sekolah. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk kerja. Penyediaan fasilitas social lainnya yang mendukung perkembangan penduduk usia muda.



Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia 1.



Pengangguran dan pendidikan rendah Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam



pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja. Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain: perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll. Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang



bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah. Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal. Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi. Pemindahan lokasi industri ke negara yang menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah. Mereka diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose industries), karena kemudahan mereka melangkah dari satu negara ke negara lainnya. Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasisemua konvensi dasar ILO (a basic human rights conventions) yaitu; kebebasan berserikat dan berunding, larangan kerja paksa, penghapusan diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja anak, larangan bekerja di tempat terburuk. Ditambah dengan kebijakan demokratisasi baru dibidang politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi baru selalu diikuti dengan diperkenalkannya Undang-undang baru yang melindungi dan menambah kesejahteraan buruh. Bila ini yang terjadi maka konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun overheadcost). Bagi perusahaan yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini, mereka akan mencoba terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih buruk.



Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan buruh telah kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau re-lokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis indusri seperti ini sudah lama hilang dari negara-negara industri maju, karena sistem perlindungan hukum dan kuatnya serikat buruh telah membuat industri ini hengkang ke negara lain. Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang melimpah. Industri ini juga tidak mengenal re-Iokasi (kecuali kaJau sudah habis masa eksplorasi). Karena tidak di semua tempat ada tersedia sumber daya alam yang melimpah. Mengandalkan terus-menerus industri ke sektor padat karya manufaktur, akanhanya membuat buruh Indonesia seperti hidup seperti dalam ancaman bom waktu. Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah. PHK semenamena dan perlindungan hukum yang tidak memadai, sebenarnya adalah sebuah awal munculnya rasa ketidakadilan dan potensi munculnya kekerasan. Usaha keras dan pembenahan radikal harus dilakukan untuk menambah percepatan investor baru. Saya sangat sedih mendengar berita tentang minimnya atase perdagangan Indonesia yang mempromosikan potensi keunggulan ekonomi kita. Indonesia dengan penduduk 210 juta Singapura, dengan penduduk 4 juta memiliki 125 atase perdagangan, Thailand dengan penduduk 60 juta punya 75 atase, Malaysia 80, Philippine 45. Bagaimana mungkin negara lain tahu ada potensi kita bila tenaga yang mempromosikannya hanya 25 orang. Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat kita temukan di web-site khusus mereka, yang disediakan untuk menarik investor asing potensial. Di dalam situs itu bisa ditemukan (bahkan infofmasi setiap daerah) potensi bisnis apa yang layak dikembangkan. Indonesia sejauh yang saya ketahui tidak punya situs informasi secanggih itu. Selain itu, poIitik nasional kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang disepakati politisi dan pemerintah untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Indonesia untuk untuk pendidikan hanya 1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6. Singapura 2.3 dan India 3.3. Itu sebabnya banyak sekolah SD yang tidak mempunyai guru atau hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang mengajar semua kelas 1 sampai kelas 6.



2.



Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah



Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu; Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB ). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah – bukan melalui LSM ataupun partai politik – bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.



3.



Penurunan Pekerja Sektor Formal



Jumlah orang yang bekerja di sektor formal terus mengalami penurunan semenjak tahun 2000 dan terus turun hingga lebih dari 1 juta lapangan kerja yang hilang di tahun 2003. Kondisi ini terutama terlihat sekali pada kelompok pekerja kasar. Di lain pihak, pekerja di sektor informal menunjukkan gejala yang terus meningkat. Pada tahun 2003 terdapat peningkatan sekitar 400.000pekerja. Jumlah pekerja di sektor pertanian, dimana kebanyakan berada pada sektor informal, juga kembali meningkat dari 40 persen pada tahun 1997 menjadi sekitar 46,3 persen pada tahun 2003. Kecenderungan ini merupakan gambaran bahwa pekerjaan yang lebih produktif, dengan sistem jaminan socials yang memadai sedang mengalami penurunan, digantikan dengan pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa proteksi sosial. Penciptaan lapangan kerja yang mengecewakan saat ini amat berbeda jauh dengan pengalaman Indonesia di masa lalu. Sebelum krisis pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ekspor dengan investasi tinggi merupakan sumber utama penyerapan tenaga kerja. Antara tahun 1990 hingga 1995, industri berorientasi ekspor beserta berbagai industri pendukungnya diperkirakan telah menyediakan separuh dari total pekerjaan yang ada.



MENGANTISIPASI MASALAH PEMBANGUNAN



Dalam perkembangannya, pembangunan daerah tidak luput dari berbagai masalah. Masalah tersebut semakin kontras bila kita membandingkan antara masa pra-otonomi dan pascaotonomi. Mengapa otonomi daerah yang tujuannya baik yaitu memberikan kekuasaan pada tiap daerah untuk mengurus dirinya masing-masing justru malah menimbulkan masalah bagi beberapa daerah baik provinsi, kota ataupun kabupaten? Jawabannya adalah karena tidak semua daerah siap dalam menerima tanggung jawab tersebut. Sementara itu daerah-daerah yang sejak awal terlihat memiliki potensi yang tinggi untuk semakin maju setelah otonomi daerah dicanangkan semakin meninggalkan daerah yang tidak siap tadi jauh di belakang. Secara sistematis, kami membagi masalah pembangunan daerah menjadi empat (lihat Gambar 3 di bawah). Konsestrasi kegiatan ekonomi Alokasi investasi tidak merata



Masalah Pembangunan Daerah



Ketimpangan antar Daerah



Tingkat mobilitas faktor produksi atau barang dan jasa rendah



Kelemahan kinerja aparat daerah



Perbedaan SDA



Fenomena desentralisasi korupsi



Perbedaan Kondisi Demografis



Pemekaran Daerah yang Berlebihan



Gambar 10 : Masalah Pembangunan Daerah



a) Ketimpangan antar Daerah Ketimpangan daerah merupakan masalah utama dalam pembangunan daerah. Sudah banyak studi mengenai hal ini beserta faktor-faktor penyebabnya. Dari beberapa studi tersebut, kami mengelompokkan empat lima penyebab, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah,



alokasi investasi yang tidak merata, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah, perbedaan seumber daya alam (SDA) antarprovinsi, dan perbedaan kondisi demografis antarwilayah. Kelima faktor tersebut akan kami jabarkan satu persatu. (a) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Konsentrasi kegiatan ekonomi yang terlalu tinggi di suatu daerah tertentu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesar sedangkan daerah yang tingkat konsentrasi ekonominya rendah akan cederung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Teori : Jika tingkat konsentrasi ekonomi suatu daerah rendah, maka tingkat pembangunan dan pertumbuhannya juga akan rendah.



Tabel 11 : Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa



Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan besar dan sedang baik Jawa maupun Luar Jawa dalam jangka panjang cenderung menurun. Namun hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan adalah gap jumlah industri yang sangat tinggi antara Jawa dan Luar Jawa. Data ini merupakan bukti bahwa kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Solusi :



-



Mulai berikan perhatian lebih pada daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi (terutama di luar Jawa).



Langkah-langkah : -



Memperluas pasar lokal yang ada di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi. Keberadaan pasar menunjukkan kehidupan kegiatan ekonomi suatu daerah. Karena itu perluasan pasar di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi saat ini akan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah tersebut.



-



Peningkatan infrastruktur di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi. Infrastruktur yang buruk seperti jalan-jalan yang rusak, sarana komunikasi yang tidak menjangkau,dan fasilitas lain seperti pasokan air, listrik, rumah sakit, dan lain-lain akan membuat suatu daerah kurang menarik di mata investor. Hal tersebut pula yang menyebabkan kurang terkonsentrasinya suatu daerah.



-



Peningkatan SDM. Peningkatan SDM di daerah setempat juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan konsentrasi kegiatan ekonomi suatu daerah. SDM yang andal akan memberikan idea tau gagasan yang dapat mengakselerasi terjadinya pembangunan daerah yang baik.



(b) Alokasi Investasi yang Tidak Merata Indikator lain yang juga menunjukkan ketimpangan antardaerah adalah alokasi investasi yang tidak merata. Sub-indikator yang digunakan adalah Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah.



Teori Harrod Domar : , terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi investasi di suatu wilayah, semakin tinggi pula pendapatan perkapita masyarakat yang berarti semakin tinggi juga pertumbuhan ekonominya.



Tabel 12 : Realisasi Investasi PMDN Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (Lkpm) Menurut Lokasi



Tabel 13 : Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Lokasi



Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13 di atas, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai investasi dan total proyek tertinggi (baik PMDN maupu



PMA) bila dibandingkan dengan



provinsi lainnya. Statusnya sebagai ibukota dengan jumlah penduduk terpadat merupakan beberapa dari penyebabnya. Terlalu banyaknya proyek dan nilai investasi juga menjadikan Jakarta sebagai kota dengan konsentrasi ekonomi yang tinggi sekaligus menyebabkan



kesenjangan konsentrasi yang tinggi dengan daerah lainnya. Sementara itu Maluku tercatat sebagai provinsi yang paling jarang dijadikan tempat investor menanam dananya. Solusi : -



Memperluas investasi ke daerah-daerah yang belum terjamah.



Langkah-langkah : -



Promosi yang gencar untuk menarik investor di berbagai event dan workshop.



-



Birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit.



-



Adanya pemberian jaminan keamanan untuk investor.



(c) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antardaerah yang Rendah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan capital antarpropinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan dan pertumbuhan antarpropinsi dapat lebih jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Dasar teorinya adalah sebagai berikut, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antarpropinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan perkapita antar propinsi sejak perbedaan tersebut, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas (tanpa distorsi atau rekayasa). Sesuai teori dari A. Lewis, yang dikenal dengan unlimited supply of labor, jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antardaerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik . Teori Unlimited Supply of Labor by A. Lewis : Jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak mengalami hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi antardaerah yang optimal akan tercapai.



Tempat lahir 1. Sumater a 2. Jawa 3. Kalimant an 4. Sulawesi 5. Pulau lainnya 6. Jumlah 7. Migran masuk



Sumatera



Jawa



Pulau Lainnya 199 200 0 0



Kalimantan



Sulawesi 199 0



200 0 5.53 51.6 3



5.19 61.9



5.17 70.0 2



1.35 31.5 6



1.75 23.0 5



na 100 601, 103



na 100 703, 673



1990



2000



1990



2000



1990



2000



na



na



66.49



68.8



4.26



4.74



95.25



93.79



Na



na



74.66



72.05



5.16 59.6 5



0.63



0.69



12.31



10.15



na



na



3.41



3.44



2.5



3.2



11.04



9.38



16.84



17.49



1.62 100 3,699 ,393



2.33 100 3,588 ,945



10.16 100 1,608 ,136



11.68 100 2,267 ,873



4.24 100 1,127 ,938



5.72 100 1,644 ,690



na 31.7 8 100 528, 629



na 39.4 1 100 653, 389



Tabel 14 : Persentase Migran Masuk Seumur Hidup menurut Pulau Tempat Lahir dan Pulau Tempat Tinggal Sekarang Tahun 1990 dan 2000 (Sumber : http://www.datastatistikindonesia.com/, diolah)



Solusi : -



Mendorong kelancaran mobilitas faktor produksi antardaerah.



Langkah-langkah : -



Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan ke seluruh pelosok wilayah.



-



Pengembangan sarana komunikasi agar tidak ada daerah yang terisolasi.



-



Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan (faktor produksi tenaga kerja).



(d) Perbedaan SDA Antarpropinsi



Dasar pemikiran ‘klasik’ sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih maksmur dengan daerah yang miskin SDA. Hingga tingkat tertentu, anggapan ini masih bisa dibenarkan, dalam arti SDA harus dilihat hanya sebagai modal awal untuk pembangunan, yang selanjurnya harus dikembangkan terus. Dan untuk maksud ini, diperlukan faktor-faktor lain, di antaranya yang sangat penting adalah teknologi dan SDM. Propinsi-propinsi di Indonesia yang kaya akan SDA seperti Aceh, Riau,



Kalimantan Timur dan Papua memang lebih baik dibandingkan propinsi-propinsi di luar Jawa yang miskin SDA. Tetapi, tingkat pendapatan di propinsi-propinsi kaya tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan di Jawa yang relative kaya SDM dan teknologi. Jadi, dengan semakin pentingnya penguasaan teknologi dan peningkatan SDM, factor endowments lambat laun akan tidak relevan lagi. Bukti menunjukkan bahwa negara-negara maju di Asia tenggara dan Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura adalah negaranegara yang sangat miskin SDA. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar SDA jauh lebih penting dibandingkan SDA dalam menentukan maju tidaknya pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Teori Fisiokratis : Sumber daya alam adalah sumber kekayaan utama suatu negara.



Gambar 11 : Peta Persebaran Migas di Indonesia



Gambar 11 di atas memperlihatkan persebaran berbagai sumber daya alam (berupa pertambangan) di Indonesia. Daerah seperti Arun di Aceh yang kaya akan gas alam, Bontang di



Kalimantan Timur yang kaya akan minyak bumi dan batu bara, dan Sorong di Papua yang kaya akan minyak bumi adalah beberapa bukti dari teori fisiokratis. Solusi : -



Pengembangan potensi daerah selain SDA, terutama di wilayah-wilayah yang miskin SDA.



Langkah-langkah : -



Kenali lebih dalam semua potensi selain SDA yang dimiliki. Penguasaan teknologi dan sumber daya manusia. Peningkatan kedua hal ini sangat membantu dalam mengembangkan potensi yang ada.



(e) Perbedaan Kondisi Demografis Antarwilayah Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antarpropinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan antar penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi. Teori : Kondisi demografi seperti jumlah penduduk yang besar merupakan potensi yang besar pula bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi.



Tabel 15 : Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia)



Menurut Tabel 15, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah puskesmas tertinggi, sedangkan Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah rumah sakit terbanyak. Banyaknya jumlah rumah sakit dan puskesmas merupakan indikator kondisi demografis dalam hal kesehatan. Semakin banyak jumlah rumah sakit dan puskesmas di suatu daerah artinya semakin baik kondisi demografi daerah tersebut dan semakin maju pula pembangunan daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.



Tabel 16 : Rasio SDM Kesehatan (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia, 2011)



Masih bicara soal kesehatan, Tabel 16 menyajikan jumlah dokter, bidan, dan rasio keduanya terhadap jumlah penduduk. Semakin tinggi nilai rasionya, semakin baik kondisi demografi suatu daerah, dan semakin maju pula pembangunan daerah serta tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi dengan rasio dokter tertinggi adalah DKI Jakarta, sedangkan provinsi dengan rasio bidan tertinggi dipegang oleh Bengkulu. Yang menjadi unik di sini adalah, kebalikannya, DKI Jakarta justru adalah provinsi dengan rasio bidan terendah sedangkan provinsi dengan rasio bidan terendah dipegang oleh Jawa Barat. Populasi yang sangat tinggi di DKI Jakarta mungkin adalah salah satu penyebabnya.



Tabel 17 : Kepadatan Penduduk



Tabel 17 menunjukkan tingkat kepadatan penduduk dengan cara menghitung populasi suatu provinsi dibagi dengan luas wilayahnya. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, tingkat permintaan akan barang dan jasa juga akan meninggi. Hal tersebut pada akhirnya akan disusul oleh peningkatan pembangunan daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat. DKI Jakarta adalah provinsi dengan tingkat kepadatan tertinggi. Populasi yang membludak dan luas wilayah yang sempit adalah beberapa dari penyebabnya. Berlawanan dengan itu, Papua Barat yang memiliki wilayah yang amat luas dan penduduk sedikit tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kepadatan terendah. Langkah-langkah : -



Mendorong program transmigrasi.



-



Pengadaan program wajib belajar sebagai upaya peningkatan pendidikan masyarakat.



-



Pembangunan rumah sakit khusus orang miskin, dll.



b) Kelemahan Kinerja Aparat Daerah Gambar 12 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Kinerja Aparat Daerah



Fe n o m e n a Fenomena •



• •



P enyebab Penyebab



Dana bagi p e n in g k a t a n la y a n a n m a s y a r a k a t t id a k m e m a d a i. Te r ja d i d e fi s it APBN. P e m e r in ta h m e n ju a l s a h a m BUM N dan m e n a r ik u ta n g b a ru .



















P e n e r im a a n D A U b a n y a k d ih a b is k a n u n t u k m e m b ia y a i b e la n ja p e g a w a i p e m e r in ta h p ro v in s i d a n k a b u p a t e n /k o ta . Banyak pem da y a n g m e n y im p a n d a n a d i re k e n in g b a n k s e te m p a t a t a u re k e n in g s im p a n a n s e m e n t a r a d i B I. Pe m b u ku ka n p e n d a p a ta n b u n g a d e p o s ito d a n a A P B D se ca ra t e r p is a h . P e m d a la la i d a la m m e m b a y a r u ta n g p a d a p e m e rin t a h p u sa t.



C a ra M e n g a ta s i Cara Mengatasi •



D A U d ire fo rm a s i, m is a ln y a d a la m p e m b a g ia n p a ja k (P P n d a n p e n y e r a h a n p a ja k p e ru sa h a a n ) a g a r te rc ip ta m e k a n is m e p e m b a g ia n d a n a b e rd a s a rk a n u p a y a m a s in g m a s in g d a e r a h .



Grafik 4 : Komposisi Belanja Kabupaten TA 2013 Belanja Pegawai 23% 3%



Belanja Barang dan Jasa



1% 4%



25%



45%



Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah Transfer Belanja Lainnya



Grafik 5 : Komposisi Belanja Kota TA 2013



Belanja Pegawai



3%1%



Belanja Barang dan Jasa



26% 49%



Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah



21%



Transfer Belanja Lainnya



Grafik 4 dan Grafik 5 di atas menggambarkan belanja pegawai yang sangat besar untuk kota dan kabupaten, yaitu di atas 40%. Jauh lebih besar daripada belanja lainnya. Hal tersebut mengindikasikan jeleknya kinerja aparat daerah. Alangkah baiknya bila dana yang terlalu besar untuk belanja pegawai tersebut dialokasikan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan defisitnya APBN karena utang pemerintah daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk menutupi defisit tidak dibayar. Perbandingan pendapatan dan belanja nasional bisa dilihat pada Grafik 6.



Grafik 6 : Pendapatan dan Belanja Nasional tahun 2012



c) Fenomena Desentralisasi Korupsi



Fenomena



Penyebab



Cara Mengatasi



• Tingkat korupsi setelah otonomi daerah jauh lebih tinggi.



• Sebelum era otonomi, dana yang bisa dikorupsi jauh lebih sedikit.



• Maksimalisasi peran LSM dan media yang peka terhadap korupsi.



Gambar 13 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Desentralisasi Korupsi



Tabel 18 : Data Penyerahan Gratifikasi ke Kas Negara



Tabel 18 di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan instansi yang melakukan penyerahan gratifikasi terbesar. Artinya, kasus gratifikasi yang berhasil dibongkar oleh KPK paling banyak adalah pemerintah daerah. Data ini memperkuat anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena korupsi setelah era otonomi justru semakin marak. d) Politisasi Ekonomi Daerah : Pemekaran Daerah yang Berlebihan



F enom ena Fenomena • Te r ja d i p e m e ka ra n w ila y a h b e s a rb e s a ra n . • N e g a ra te rb e b a n i k a re n a tra n s fe r ke d a e ra h y a n g m e n g a la m i p e m e ka ra n w ila y a h s a n g a t b e s a r. • D a e ra h y a n g m e m e k a rk a n d ir i m e n g a la m i p e n u ru n a n .



P enyebab Penyebab • B a n y a k e lit e d a e ra h y a n g m e m a n ip u la s i sem ang at ke d a e ra h a n m a s y a ra ka t u n tu k m e m b e n tu k u n it a d m in is t r a s i b a ru . • Te r ja d i p e r g o la k a n d i b e b e ra p a d a e ra h . • Pe rs y a ra ta n p e n d ir ia n y a n g t e r la lu m udah.



C a ra M e n g a ta s i Cara Mengatasi • O p t im a lis a s i PP NO. 7 8 /2 0 0 7 d a n P P N o . 6 /2 0 0 8 te n ta n g e v a lu a s i d a e ra h b a ru .



Gambar 14 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Pemekaran Daerah yang Berlebihan



Grafik 7 : Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Otonomi Baru



Grafik 7 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah yang melepaskan diri (DOB) anjlok jauh di bawah daerah mekarnya. Grafik tersebut memperkuat anggapan bahwa daerah yang melepaskan diri akan cenderung mengalami penurunan dari segala aspek, termasuk pertumbuhan ekonomi, PDRB Perkapita, tingkat kemiskinan, dan indikator lainnya.