Age Related Cataract [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SARI PUSTAKA JUNI 2016



AGE-RELATED CATARACT



Oleh :



Riska Pembimbing : dr. Hamzah, Sp.M(K) dr. Muh. Abrar Ismail, Sp.M, M.Kes



KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU ( COMBINED DEGREE ) BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS MAKASSAR 2016 1



AGE RELATED CATARACT



A. PENDAHULUAN



Katarak merupakan penyebab kebutaan di dunia, diperkirakan 17 juta individu buta pada kedua mata. Jumlah ini akan bertambah dengan meningkatnya usia harapan hidup dunia saat ini. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1%/tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Angka penderita katarak di Indonesia sebesar 1,5%. 1,2 Katarak adalah kekeruhan dan perubahan warna lensa. Istilah katarak secara klinis biasanya diberikan untuk kekeruhan yang mempengaruhi ketajaman penglihatan karena kebanyakan lensa yang normal mempunyai kekeruhan yang tidak bermakna secara visual. Umumnya penyebab katarak adalah proses degeneratif yang berhubungan dengan umur, faktor penyebab lain meliputi metabolik, trauma, inflamasi, kurang gizi serta pengaruh kortikosteroid.3 Age related cataract atau katarak senil menjadi penyebab utama penurunan penglihatan pada usia lanjut, patogenesisnya multifaktorial dan belum diketahui pasti. Terbagi 3 tipe yaitu tipe nuklear, kortikal, dan subkapsular posterior.4 Dalam sari pustaka ini akan dibahas lebih mendalam mengenai anatomi, epidemiologi, faktor resiko, patogenesis, klasifikasi, terapi dan prognosis.



B. ANATOMI Lensa berbentuk bikonveks, transparans, avaskuler dan non innervasi, terletak di posterior iris dan anterior korpus vitreus. Lensa bergantung pada posisinya oleh zonula zinnii, yang terdiri dari serat lembut sampai kuat untuk menyokong lensa dan melekat pada korpus siliaris. 3,4 2



Permukaan posterior lensa lebih cembung dari permukaan anterior, dimana titik pusat pada permukaan anterior dan posterior disebut sebagai polus anterior dan polus posterior. Polus anterior dan posterior dari lensa dihubungkan oleh sebuah garis khayal disebut Aksis. Meridian adalah garis-garis yang melewati tengah permukaan lensa baik pada permukaan anterior maupun permukaan posterior lensa. Garis yang mengelilingi lensa dan tegak lurus terhadap aksis dinamakan ekuator. 3,4 Lensa terdiri dari kapsul lensa, epitel lensa, korteks lensa dan nukleus lensa. Kapsul lensa adalah suatu membrane yang membungkus seluruh lensa bersifat transparan dan halus. Kapsul lensa sangat elastik dan bentuknya dapat menjadi lebih bulat ketika tidak dipengaruhi tegangan dari zonula zinnii. Lapisan paling luar kapsul lensa adalah lamella zonula yang menjadi tempat perlekatan untuk zonular fibers. Ketebalan kapsul berkisar 2-28 mikrometer dimana paling tebal pada permukaan anterior dan posterior dekat equator, paling tipis pada polus posterior, mungkin setipis 2-4 mm. 3,4



Gambar 1. Struktur lensa dewasa. 4



Epitel lensa terletak di bagian anterior lensa sampai ekuator antara kapsul lensa dan serat lensa tetapi tidak terdapat pada kapsul posterior. Epitel lensa terdiri atas satu lapis sel epitel dimana apikal sel menghadap ke dalam lensa dan bagian basal sel berbatasan dengan kapsul 3



lensa tanpa tempat perlekatan yang khusus, batas lateral berinterdigitasi dengan hampir tidak ada ruang interseluler dan setiap sel



mengandung sebuah penonjolan nukleus tapi relatif sedikit



organel sitoplasmik.3,4 Nukleus dan korteks lensa terbentuk dari lamellae konsentris yang panjang. Masingmasing serat lamelar mengandung sebuah inti gepeng. Pada pemeriksaan mikroskop, inti ini jelas di bagian perifer lensa di dekat ekuator dan bersambung dengan lapisan epitel subkapsul. Garisgaris persambungan yang terbentuk dengan persambungan lamellae ini ujung-ke-ujung berbentuk Y, bentuk Y ini tegak di anterior dan terbalik di posterior.3, 4 Serat lensa yang terbentuk paling awal dan terletak di sentral disebut nukleus dan serat lensa yang terbentuk selanjutnya dan terletak dilapisan luar dinamakan korteks. Di dalam lensa terdapat beberapa jenis nukleus yang dibedakan berdasarkan usia dari serat-serat lensa yang membentuknya. Nukleus lensa terdiri dari nukleus embrional, fetal, infantil dan dewasa. 3 Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula zinnii yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan lamina basal epitel non pigmen pars plana dan pars plikata korpus siliaris yang menyisip ke dalam ekuator lensa. Serabut-serabut zonula ini diinsersikan pada kapsul lensa di daerah ekuator secara kontinyu di anterior 1,5 mm pada kapsul lensa anterior dan di posterior 1,25 pada kapsul lensa posterior. 3,4 Jumlah protein lensa manusia sekitar 33% dari beratnya. Konsentrasi protein yang tinggi diperlukan untuk memperoleh indeks bias dimana berguna dalam pembiasan sinar dan transparansi lensa.Protein lensa dibagi menjadi dua bagian yaitu yang larut dalam air dan yang tidak larut dalam air. Protein yang larut dalam air jumlahnya sekitar 80% dari protein lensa yang disebut crystallin. 4



4



Crystallin adalah protein intraseluler yang berada di epitel dan membran plasma sel serat lensa. Terdapat tiga protein utama, yaitu alfa,beta dan gamma crystallin. Alfa crystallin sekitar 32%, Beta crystallin 55% dan gamma crystallin 1,5%,alfa crystallin merupakan protein lensa yang paling besar, dengan berat molekul bervariasi dari 600 sampai 4000 kDa. Alfa crystalin terlibat secara spesifik pada transformasi sel epitel menjadi serat lensa dan sintesis alfa crystalin tujuh kali lebih tinggi pada sel epitel dibandingkan pada serat-serat korteks lensa. Gamma crystallin adalah crystallin yang paling kecil dengan berat molekul 20 kDa. 4



Gambar 2. Protein Lensa (4) Fraksi protein yang tidak larut dalam air dibagi menjadi dua yaitu yang larut dalam urea dan yang tidak larut dalam urea. Protein yang larut dalam urea mengandung protein sitoskeletal yang memberikan bentuk struktural pada sel-sel lensa, sedangkan yang tidak larut dalam urea mengandung protein membran plasma yang disebut mayor intrinsic protein (MIP). MIP berjumlah sekitar 50% dari total protein serat lensa. Protein ini berat molekulnya 28 kDa, menurun dengan pertambahan umur menjadi 20kDa, MIP pertama kali kelihatan pada lensa



5



hanya sebagai serat yang mulai memanjang dan dapat di deteksi pada seluruh membran lensa. MIP ditemukan juga terkonsentrasi di gap junction. 3,4 Perubahan protein yang larut dalam air menjadi tidak larut merupakan proses alami pada maturasi serat lensa. Pada lensa yang transparan protein larut dalam air sekitar 81% sedangkan pada lensa katarak 51,4%. Hilangnya protein ini mungkin dikarenakan keluarnya crystalin utuh melalui kapsul lensa. Pada katarak peningkatan sejumlah protein yang tidak larut dalam air berhubungan dengan derajat kekeruhan lensa. 3 Dalam menjalankan fungsinya lensa memerlukan energi yang cukup, energi yang diproduksi dalam lensa sangat besar tergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa masuk ke lensa melalui humor akuous baik secara difusi sederhana maupun melalui suatu proses transport yang disebut sebagai facilitated diffution. Paling banyak glukosa diangkut ke dalam lensa difosforilasi menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) oleh enzim hexokinase. G6P ini kemudian akan memasuki dua jalur metabolisme yaitu glikolisis anaerob dan hexose mono phosphate (HMP) shunt. 3,4



Gambar 17. Metabolisme glukosa pada lensa



(1)



6



Gambar 3. Metabolisme glukosa pada lensa (4) Jalur glikolisis anaerob lebih aktif (kurang lebih 80% metabolisme glukosa melalui jalur ini), dimana hasil akhir metabolismenya adalah asam laktat, karbohidrat dan air. Jalur yang kurang aktif yaitu HMP shunt yang dikenal juga sebagai pentose phosphate pathway, kira-kira 5% metabolisme glukosa melalui jalur tersebut. Jalur ini menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak, aktifitas gluthation reduktase dan aldose reduktase serta ribose untuk biosintesis nukleotida. Produk karbohidrat dari jalur HMP akan masuk di jalur glikolitik dan kemudian di metabolisme menjadi laktat. 3,4 Jalur lain yaitu melalui jalur sorbitol yang mengubah glukosa menjadi fruktosa. Jalur ini secara normal hanya 5% metabolisme glukosa. Enzim yang berperan disini yaitu aldose reduktase. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. 4 C. EPIDEMIOLOGI Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak Indonesia maupun di dunia. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1%/tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun. Prevalensi katarak hasil pemeriksaan petugas enumerator dalam Riskesdas 2013 adalah sebesar 1,8%, tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara dan terendah di DKI Jakarta. 2 Masih banyak penderita katarak yang tidak mengetahui jika menderita katarak. Hal ini terlihat dari tiga terbanyak alasan penderita katarak belum operasi. Hasil Riskesdas 2013 yaitu



7



51,6% karena tidak mengetahui menderita katarak, 11,6% karena tidak mampu membiayai dan 8,1% karena takut operasi.2 Menurut National Health and Nutrion Examination Survey (NHANES), prevalensi katarak senilis menunjukkan hasil 60 % pada usia 65-74 tahun. Prevalensi kekeruhan lensa penyebab visus menurun 6/7,5 atau lebih buruk sekitar 28% terjadi usia 65-74 tahun. 5 D. FAKTOR RESIKO Penyebab katarak senil belum diketahui dengan pasti dan bersifat multifaktorial. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya katarak senil antara lain : 1. Umur Proses normal penuaan mengakibatkan lensa menjadi keras dan keruh yang sering terjadi mulai usia 50 tahun ke atas. Dengan meningkatnya umur maka ukuran lensa akan bertambah dengan timbulnya serat-serat lensa yang baru. Serat – serat yang terbentuk lebih dahulu akan terdorong kearah tengah membentuk nukleus. Nukleus ini akan memadat dan mengalami dehidrasi sehingga terjadi sklerosis. Sklerosis ini menyebabkan lensa tidak elastis, sehingga kemampuan akomodasi menjadi turun. Seiring bertambahnya usia, lensa berkurang kejernihannya, keadaan ini akan berkembang dengan bertambah beratnya katarak. Pada golongan usia 60 tahun hampir 2/3 mengalami katarak.5 2. Jenis kelamin Ada indikasi bahwa penderita katarak wanita lebih meningkat dibanding laki-laki terutama usia di atas 65 tahun, seperti hasil survey yang dilakukan NHANES, Framingham Eye Study, penelitian di Punjab semuanya menunjukkan bahwa wanita prevalensinya lebih meningkat. Tetapi belum ada penjelasan yang mendasari. Mungkin karena umur harapan hidup wanita lebih lama dibanding kaum pria.5



8



3. Penyakit Diabetes Mellitus Katarak umumnya merupakan masalah bagi orang usia lanjut, tetapi pada penderita Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol dengan baik, katarak dapat terjadi pada usia yang lebih muda. Diperkirakan bahwa proses terjadinya katarak akibat penumpukan zat-zat sisa metabolisme gula oleh sel-sel lensa mata. Dalam keadaan kadar gula normal, penumpukan zat-zat sisa ini tidak terjdi. Bila kadar gula darah meningkat, maka perubahan glukosa oleh aldose reduktase menjadi sorbitol meningkat. Selain itu perubahan sorbitol menjadi fruktose relatif lambat dan tidak seimbang sehingga kadar sarbitol dalam lensa mata meningkat. Disusun suatu hipotesa bahwa sarbitol menaikkan tekanan osmosis intraseluler dengan akibat meningkatnya water uptake dan selanjutnya secara langsung maupun tidak langsung terbentuk katarak. Pengaruh klinis yang lama akan mengakibatkan terjadinya katarak lebih dini pada pasien diabetes dibandingkan dengan pasien non diabetes.5 4. Sinar Ultraviolet Sinar ultraviolet dari matahari dapat mempercepat kekeruhan pada lensa mata. Seseorang dengan pekerjaan sehari-hari sering terpapar sinar ultraviolet meningkatkan faktor resiko katarak. Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa paparan dengan waktu yang lama radiasi ultraviolet, dihubungkan dengan peningkatan resiko dari katarak subkapsular. Berbagai penelitian telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara radiasi ultraviolet yang berasal dari matahari dan kejadian katarak. Hasil penelitian ilmu dasar seperti biokimia, fotokimia dan histologi sangat menunjang konsep bahwa radiasi ultraviolet dapat mempercepat proses terjadinya katarak. Sinar ultraviolet akan diserap oleh protein lensa terutama asam amino aromatik, yaitu triptofan, fenil alanin dan tirosin



9



sehingga menimbulkan reaksi foto kimia dan menghasilkan fragmen molekul yang disebut radikal bebas seperti,anion superoksida, hidroksil dan spesies oksigen reaktif seperti hidrogen peroksida yang semuanya bersifat toksin. Selanjutnya radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi patologis dalam jaringan lensa dan senyawa toksis lainnya sehingga terjadi reaksi oksidatif pada gugus sulfhidril protein. Reaksi oksidatif akan mengganggu struktur protein lensa sehingga terjadi cross link antar dan intra protein dan menambah jumlah high molecular weight protein sehingga terjadi agregasi protein tersebut, kemudian akan menimbulkan katarak.5 5. Obat-obatan Obat-obatan jenis tertentu dapat menstimulasi pembentukan katarak, diantaranya : Amiodarone, Chlorpromazide, kortikosteroid, Lovastatin, Phenytoin. Penggunaan obat kortikosteroid sebagai faktor resiko perkembangan katarak subkapsular posterior.5 6. Merokok Individu yang merokok 20 batang atau lebih dalam sehari beresiko 2 kali lipat mengalamai katarak. John J. Harding dalam penelitiannya bersama Ruth van Heyningen di Oxford berkesimpulan terdapat hubungan antara perokok berat dengan katarak.5 7. Nutrisi Faktor nutrisi merupakan salah satu resiko terjadinya katarak. Diet kaya laktosa atau galaktosa dapat menyebabkan katarak. Begitu juga diet rendah riboflavin, triptofan dan berbagai asam amino lain. Penyelidikan di Punjab India memperlihatkan hubungan katarak dengan tingkat gizi dimana katarak lebih umum terjadi pada tingkat gizi dan status ekonomi yang rendah dengan konsumsi rendah protein dapat terlihat prevalensi kataraknya meningkat. Beberapa penelitian mengatakan diet tinggi vitamin C, E, Karoten



10



yang berefek antioksidan dapat mengurangi resiko katarak akibat pengaruh radikal bebas.5



E. PATOGENESIS Patogenesis katarak senil multifaktorial dan belum diketahui secara pasti. Seiring bertambahnya usia, terjadi peningkatan massa, dan ketebalan lensa, serta penurunan kemampuan akomodasi. Lapisan serat korteks berbentuk konsentris, akibatnya nukleus dari lensa mengalami penekanan dan pergeseran (nuclear sclerosis). Kristalisasi (protein lensa) adalah perubahan yang terjadi akibat modifikasi kimia dan agregasi protein menjadi high-molecular-weight-protein. Hasil dari agregasi protein secara tiba tiba mengalami fluktuasi index refraktif pada lensa, cahaya yang menyebar, penurunan kejernihan lensa. Modifikasi kimia dari protein nukleus lensa juga menghasilkan progresif pigmentasi. Perubahan lain pada katarak terkait usia pada lensa termasuk menggambarkan konsentrasi glutatin dan potassium dan meningkatnya konsentrasi sodium dan kalsium pada sel sitoplasma lensa. 4 Beberapa penelitian laboratorium mengatakan bahwa protein lensa kristalin α berperan sebagai molekul anti katarak, dan mencegah agregasi protein lensa yang lain yang dapat menyebabkan lensa menjadi keruh 6. Kristalin β dan γ perlahan-lahan rusak dan terakumulasi seumur hidup, mereka akan kehilangan kemampuan berpartisipasi dalam interaksi antar molekul, dan kristalin ini terikat oleh kristalin α. Keterikatan dengan kristalin α mempertahankan kelarutan kristalin βγ dan mengurangi hamburan cahaya. Dalam keadaan larut (soluble), peningkatan ukuran akibat kerusakan protein dari waktu ke waktu akan mendekati ukuran yang cukup untuk



menghamburkan cahaya. Akhirnya kristalin α akan kewalahan karena



meningkatnya jumlah modifikasi kristalin βγ dan kompleks endapan dalam sel lensa.,



11



membentuk fraksi protein insoluble yang diketahui meningkat seiring usia dan di lensa yang katarak.7,8 F. KLASIFIKASI 1. Katarak Nuklear Sklerosis nukleus dan kekuningan pada lensa normal bagi pasien usia diatas 50 tahun. Secara umum kejadian ini biasanya terdapat gangguan minimal pada penglihatan. Hamburan cahaya yang berlebih dan kekuningan lensa disebut katarak nuklear, menyebabkan kekeruhan sentral. Derajat kekeruhan dan warna lensa diperiksa dengan slit-lamp biomikroskop dan memeriksa red refleks dengan pupil dilatasi.4 Progresivitas katarak nuklear cenderung lambat. Biasa terjadi bilateral, namun bisa asimetrik. Tipikal katarak nuklear berupa penurunan penglihatan jauh lebih buruk dibanding penglihatan dekat.



Pada stadium awal, progresifitas pengerasan nukleus lensa akan



menyebabkan peningkatan indeks refraksi lensa dan terjadi gangguan refraksi berupa miop (miop lentikular). Pada hiperopia, terjadinya miop lentikular menyebabkan kondisi second sight (membaca tanpa kacamata presbiop). Perubahan indeks refraksi antara sklerosis nuklear dan korteks lensa menyebabkan diplopian monokular. Pada kasus yang berat, nukleus lensa menjadi keruh dan coklat disebut katarak nuklear brunescent.4,9 Investigasi dengan mikroskop elektron untuk identifikasi peningkatan jumlah memran lamellar pada beberapa katarak nuklear. Derajat agregasi protein atau modifikasi membran berhubungan pada peningkatan hamburan cahaya pada katarak nuklear masih belum jelas.4 Ada beberapa penelitian mengatakan bahwa katarak nuklear berkaitan dengan peningkatan oksidatif protein lensa dan lipid. Pembentukan ikatan sulfida antara subunit protein dapat menyebabkan



12



agregasi dan peningkatan hamburan cahaya, meskipun bentukan dari interaksi proin satu dengan protein lain juga terjadi.3



Gambar 4. Skematik katarak nuklear (4) 2. Katarak kortikal Berbeda dengan katarak nuklear, katarak kortikal berhubungan dengan gangguan lokal struktur sel serat lensa yang matur. Setelah integritas membran terganggu, metabolik penting hilang dari sel-sel yang terkena. Kehilangan ini menyebabkan oksidasi protein yang besar dan pengendapan. Katarak kortikal biasanya bilateral tetapi sering juga asimetrik. Efek pada fungsi penglihatan sangat bervariasi, tergantung pada lokasi kekeruhan yang relatif pada axis visual. Gejala umum dari katarak kortikal adalah silau dari sumber cahaya, seperti lampu mobil. Diplopia monokuler juga dapat terjadi. Progresifitas katarak kortikal sangat bervariasi, beberapa kekeruhan korteks tidak berubah sepanjang waktu dan lainnya dapat berlangsung cepat.4 13



Tanda awal dari pembentukan katarak kortikal adalah vakuola yang terlihat pada slit-lamp biomikroskopi dan celah air (water cleft) di anterior dan posterior korteks. Lamella kortikal dapat dipisahkan dengan cairan. Kekeruhan wedge-shaped (sering disebut spoke kortikal atau kekeruhan cuneiform/runcing) terbentuk di dekat perifer lensa, dengan ujung runcing dan kekeruhan di sentral lensa. Kekeruhan perifer terjadi pada sel serat lensa yang membentang dari posterior ke anterior, hal ini hanya berefek pada daerah ekuator sel serat lensa. Pada tahap awal, sel serat yang terkena tetap jernih pada anterior dan ujung posterior. Jari-jari kortikal muncul sebagai kekeruhan berwarna putih yang terlihat pada slit-lamp biomikroskop dan banyangan gelap pada retroiluminasi. Kekeruhan wedge-shaped dapat menyebar ke sel-sel serat yang berdekatan menyebabkan tingkat kekeruhan meningkat dan meluas ke axis visual. Ketika seluruh korteks dari kapsul hingga nukleus menjadi putih dan keruh, disebut katarak matur. Pada kekeruhan yang matur, lensa menyerap air, pembengkakan untuk menjadi katarak kortikal intumescent.4,9 Ketika kortikal berdegenerasi, material korteks akan bocor ke kaprsul lensa, meninggalkan kapsul yang mengkerut dan meyusut, katarak ini disebut hipermatur. Ketika pencairan dari korteks berlanjut memungkinkan pergerakan nukleus dalam kapsular bag, disebut katarak Morgagni. Secara histologi, katarak kortikal ditandai dengan pembengkakan lokal dan gangguan sel serat lensa. Tetesan eosinofolik (morgagnian globules) diamati tampak ruang antara serat lensa.4



14



Gambar 5. A.Katarak kortikal, tanda panah menunjukkan spoke opacity di midperifer lensa. B. katarak nuklear- slitlamp tampak kekeruhan di nukleus lensa (10)



Gambar 6. Skematik katarak kortikal imatur(4)



A



B



15



C



D



Gambar 7. (A) stadium awal katarak kortikal, tampak vacuole, water cleft, dan pemisahan lamellar. (B) stadium moderate, tampak Wedgw-shaped (cuneiform) atau spoke-like di perifer. (C) Kekeruhan kortikal sentral. (D) advance katarak kortikal.(10)



Gambar 8. Katarak kortikal matur (4)



16



Gambar 9. Katarak kortikal hipermatur (4)



Gambar 10. Katarak Morgagni (4)



3. Katarak Subkapsular Posterior 17



Katarak subkapsular posterior lebih sering pada pasien usia lebih muda dibanding katarak nuklear dan kortikal. Berlokasi di lapisan posterior korteks dan biasanya di axial. Formasi awal dari katarak ini adalah adanya kilau halus di lapisan kortikal posterior pada silt-lamp. Pada stadium lanjut, kekeruhan granular dan plaquelike opacity pada subkapsular korteks posterior.4 Pasien sering mengeluh silau dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan yang terang karena katarak subkapsular posterior mengaburkan lebih dari celah pupil ketika miosis yang diinduksi oleh cahaya terang, akomodasi atau miotikum. Penglihatan dekat cenderung berkurang dibanding penglihatan jauuh. Beberapa pasien mengalami diplopia monokuler. Untuk mendeteksi katarak ini sebaiknya dalam keadaan pupil dilatasi dan pemeriksaan retroiluminasi.4,9 Secara histologi, katarak subkapsular posterior terkait dengan migrasi posterior dari sel epitel lensa dari ekuator ke axis visual pada permukaan kapsul posterior. Selama migrasi mereka ke atau setelah sampai di axis poaterior, sel mengalami aberan ppembesaran. Sel yang bengkak disebut Wedl, atau sel bladder.4



Gambar 11. Katarak subkapsular posterior, tampak permukaan granular irreguler di depan kapsul posterior.(10)



Selain itu, sekarang lebih cenderung menggunakan Lens Opacities Classification System (LOCS) dimana lensa dinilai dari warna nuclear (NC) dan opasitas nuclear (NO), katarak kortikal, dan katarak subkapsular posterior (P). Klasifikasi katarak berdasarkan maturitas dari katarak, tingkat kekeruhan atau perkembangan tidak cukup dalam 18



epidemiologi katarak atau terapeutik studi. Sistem Klasifikasi Kekeruhan Lensa III (LOCS III) adalah sistem standar yang digunakan untuk grading dan perbandingan keparahan katarak. Itu berasal dari LOCS II classification 3, dan terdiri dari tiga set foto standar. Klasifikasi ini mengevaluasi empat fitur: opalescence nuklear (NO), warna nuklear (NC), katarak kortikal (C), katarak posterior subcapsular (P). Nuclear opalesecence (NO) dan warna nuklir (NC) yang dinilai pada skala desimal 0,1 sampai 6,9, didasarkan pada seperangkat enam foto standar. Katarak kortikal (C) dan posterior subcapsular cataract (P) yang dinilai pada skala desimal dari 0,1 sampai 5,9, berdasarkan satu set lima foto standar masing-masing. Tidak seperti klasifikasi LOCS II, klasifikasi LOCS III mempersempit skala interval, memungkinkan perubahan kecil dalam keparahan katarak untuk diamati. Batas toleransi 95% untuk reproduktifitas dalam-kelas dan antara-kelas juga menyempit dalam klasifikasi LOCS III. 11,12



Gambar 12. Lens Opacities Classification System (LOCS) III(11)



Tabel klasifikasi Emery-Litlle’s 18 Emery-Little’s Classification 19



Hardness Soft Semisoft Medium Hard Rock-hard



Color Clear, milky-white Yellowish, white Yellow (no brown) Brownish yellow Brown, black



G. GEJALA KLINIS



1. Penurunan visus Perbedaan tipe katarak mempunyai efek perbedaan pada visus, tergantung pada cahaya, ukuran pupil, dan derajat miopia (tabel). Pada katarak subkapsular posterior sangat mengganggu penglihatan dekat (membaca), meskipun penglihatan jauh tidak berefek. Sebaliknya, induksi miopia dari katarak “oil droplet” dapat menganggu penglihatan jauh. Gngguan penglihatan warna dapat terjadi ketika nukleus lensa berubah menjadi kuning atau brunescent.4



2. Silau dan perubahan sensitivitas kontras Pasien katarak sering melaporkan peningkatan silau, yang bervariasi dari peningkatan fotosensitivitas terang pada siang hari atau dengan sorotan lampu mobil. Panjang gelombang cahaya yang pendek menyebabkan lebih berpendar; warna, intensitas, dan arah pencahayaan juga mempengaruhi sensitivitas terutama pada katarak subkapsular posterior dan kadang-kadang dengan perubahan korteks anterior lensa.4,13 3. Miopia Perkembangan katarak dapat meningkatkan kekuatan dioptri lensa, umumnya menyebabkan miopia derajat ringan sampai sedang. Pada pasien hiperopia presbiop terjadi 20



fenomena “second sight” pada katarak sklerotik nuklear dan akan menghilang ketika lensa kristalina semakin keruh. 4 4. Monokular diplopia atau polyopia Kadang-kadang perubahan nuklear yang berlokasi di lapisan dalam dari nukleus lensa, menghasilkan beberapa daerah refraktil di pusat lensa. Daerah tersebut terlihat sebagai irregularitas pada red refleks pada retinoskopi atau oftalmoskop direct. Diplopia monokular dapat juga terjadi pada kekeruhan media refrakta dan gangguan mata lainnya. 4 5. Penurunan fungsi penglihatan Menilai efek katarak pada fungsi penglihatan lebih baik untuk menetukan visual disability dari pada tes ketajaman penglihatan. Pasien harus ditanyakan apakah visus mereka (dekat, jauh, kondisis pencahayaan yang berbeda) cukup untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan hobby. Meskipun tidak ada tes komprehensif dapat menilai efek tersebut, kuesioner untuk mengukur fungsi penglihatan mungkin berguna. Ini termasuk Activities of Daily Visison Scale (ADVS), the Visual Function Index (VF-14), the National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEIVFQ), dan Visual Disability Assessment (VDA).4 H. EVALUASI PRE OPERASI 1. Kesehatan umum pasien Riwayat kesehatan penting untuk evaluasi pre operasi katarak seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, PPOK, gangguan perdarahan atau supresi adrenal karena penggunaan kortikosteroid sistemik. Misalnya immunosupresan dan antikoagulan memberikan resiko terhadap perdarahan ketika anastesi lokal dan insisi kornea, penggunaan obat sistemik simpatetik alfa adrenergik antagonis (prazosin,terazosin, doxazosin, dan tamsulosin) dapat menyebabkan IFIS (intraoperative floppy iris syndrome).4



21



2. Riwayat penyakit mata Hal ini penting untuk prognosis visus. Trauma, inflamasi, ambliopia, glaukoma, gangguan nervus optik atau retina dapat memberi efek hasil visus setelah operasi katarak. Uveitis yang masih aktif harus dikontrol sebelum operasi katarak sehingga komplikasi inflamasi post operasi seperti edema makula dan perlengketan iris pada IOL dpat diminimalisir. Pada pasien glaukoma, kontrol tekanan intraokuler optimal harus tercapai sebelum operasi katarak. 4 3. Pengukuran fungsi penglihatan 



Tes tajam penglihatan dan status refraksi







Tes glare







Sensivitas kontras



4. Pemeriksaan segmen anterior dan posterior Vaskularisasi atau jaringan parut pada konjungtiva karena proses inflamasi sebelumnya, luka, atau operasi mata dapat menunjukkan gangguan pada penyembuhan. Proses infeksi harus diobati sebelum operasi katarak agar penyembuhan pasca operasi yang optimal. Ketebalan kornea, adanya distrofi kornea, kelainan tersebut dapat meningkatkan risiko penyembuhan. Mengetahun kedalamam anterior chamber dan ketebalan aksial lensa dapat membantu perencanaan operasi. Goniskopi penting jika yang akan diimplantasikan ada IOL anterior chamber.4 Pengukuran diameter pupil, khususnya untuk iluminasi skotopik, merupakan parameter penting pada bedah katarak refraktif. Gejala penglihatan post operasi (silau, halo, kesulitan berkendara pada malam hari) berhubungan penglihatan pada cahaya yang rendah karena pupil menjadi lebih lebar dibanding zona optikal dan cahaya mungkin dihamburkan melalui kornea dibawah iluminasi rendah. Oleh karena itu, pengukuran diameter pupil preoperatif yang akurat penting untuk menilai potensial gejala penglihatan malam setelah 22



operasi. Penggaris dengan lubang yang ukurannya semakin meningkat (Morton’s Pupillometer) dapat digunakan untuk menilai ukuran pupil. Pupillometer dengan teknologi infrared memungkinkan pengukuran kuatitatif ukuran pupil skotopik atau mesopik karena pupil tidak konstriksi saat terkena cahaya pada spektrum infrared. 12 Posisi lensa dan integritas dari sserat zonular dapat dievaluasi. Untuk pasien gangguan zonula, operator harus mempersiapkan teknik operasi, termasuk penggunaan capsular tension ring (CTR).4



Gambar 13. Pupillometer infrared NeurOptic.(12) Pemeriksaan funduskopi untuk mengevaluasi makula, nervus optik, vitreus, pembuluh darah dan retina perifer. Pada pasien dengan diabetes mellitus harus dipersiksa seksama untuk menilai adanya edema makula, iskemik retina, dan diabetik retinopati. Pemeriksaan ultrasound B-scan untuk menilai segmen posterior bila terdapat katarak yang dense sehingga visualisasi retina sulit dilakukan.4 5. Biometri Salah satu penyebab utama kesalahan perhitungan power IOL adalah pengukuran axial length (AL) yang tidak akurat. Kesalahan 100μm pada pengukuran AL dapat menyebabkan 23



kesalahan 0,28 D post operatif. Secara tradisional, AL diukur dengan ultrasound A-scan dengan teknik aplanasi. Dengan teknik emersi, probe berada 5,0 hingga 10,0 mm dari kornea, sehingga meningkatkan keakuratan pengukuran dan mengurangi variabilitas dari AL. Saat ini pengukuran AL yang paling akurat adalah dengan IOLMaster. Dengan biometri optikal, AL diukur melalui aksis visual dari vertex kornea ke fovea. Selain itu biometri optikal lebih baik pada pengukuran pseudofakia dan mata denga silicon oil. 12



Gambar 14. (A) kontak ultrasonografi A-scan. (B) Ultrasonografi Imersi menggunakan the Prager Shell (17)



Gambar 15. IOLMaster 500. (12) 6. Keratometri Keratometri yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan IOL adalah manual, automatik, IOLMaster, dan topografi. Keratometri manual menghitung 4 poin dipisahkan dengan 24



3-4mm di 2 meridian ortogonal di parasentral kornea. Astigmat irreguler berasal dari asferik atau bentuk kornea asimetrik tidak dapat diukur dengan manual keratometri standar. Keratometri automatik terfokus pada refleksi banyangan kornea (infrared illuminated mires) ke alat elektronik fotosensivitas (detektor infrared), secara otomatis akan merekam ukuran dan menghitung radius dari kurvatur. LENSTAR LS 900 juga akurat dan reproduksibiliti pada pengukuran keratometri.12



Gambar 16. (A) LENSTAR LS 900. (B) Topcon Kr 800 keratometri autorefraktor. 7. Topografi kornea



(12)



Topografi kornea alat yang penting untuk bedah refraktif katarak. Alat ini membantu operator untuk memahami keadaan preoperasi seperti astigmat irreguler, keratokonus, pellucid marginal deneration. Kondisi ini akan meningkatkan resiko post operasi seperti silau dan halo, penurunan penglihatan, dan kontraindikasi relatif untuk bedah refraktif lensa. 12 8. Optical Coherence Tomography (OCT) OCT merupakan teknik non invasif yang digunakan mendiagnosis beberapa penyakit di retina. Teknologi ini akurat dalam menghitung ketebalan makula secara kuantitatif yang akan membantu adanya disfungsi makula, sebagai salah satu alasan ketidakpuasan pasien setelah



25



implantasi IOL. Meskipun beberapa tipe gangguan makula dapat terlihat dengan funduskopi namun dengan adanya kekeruhan pada lensa sehingga sulit untuk visualisasi. 12 OCT untuk segmen anterior sesperti Visante OCT digunakan untuk mengukur kedalaman bilik mata depan, ketebalan kornea, ukuran pupil, jarak antara sudut ke sudut dan ketebalan lensa kristalin. 12



Gambar 17. Visante OCT (12) 9. Informed consent Ketika merencanakan operasi katarak, dokter harus mengevaluasi kemampuan pasien dalam mematuhi perawatan pascaoperasi. Memberikan informasi ke pasien tentang pentingnya menggunakan obat yang diresepkan, mempertahankan kebersihan mata, ddan kontrol. Pasien harus memiliki pemahaman yang jelas tentang indikasi operasi, risiko, dan manfaat, operasi alternatif, teknik operasi, dan pilihan IOL. Mengidentifikasi faktor risiko yang berpotensi penurunan penglihatan pasca operasi harus didiskusikan. Biaya yang terkait dengan operai (misalnya berkaitan dengan obat-obatan atau penggunaan premium IOL) juga harus diuraikan sebelum operasi. Selain itu, comanagemen dengan dokter mata lain, pasien harus secara eksplisit diberitahu dan harus memberikan persetujuan secara tertulis.4 26



Menanyakan ekspektasi pasien penting untuk suksesnya bedah katarak refraktif. Dengan peningkatan teknologi semakin tinggi pula ekspektasi pasien terhaap keberhasilan operasi katarak refraktif. 12 10. Spesial tes preoperasi Beberapa metode untuk memperkirakan hasil visus post operasi katarak telah berkembang yang terdiri dari Super Pinhole Test (SPH), potensial acuity meter (PAM), Retina acuity meter (RAM), laser interferometer (LI). Tes potensial pinhole adalah metode yang sederhana namun akurat untuk pasien yang tidak memiliki gangguan mata lain dan dengan visus lebih baik dari 20/200. Untuk tes ini, pasien diminta membaca dekat dengan pencahayaan terang melalui pinhole. Prosedur pada pemeriksaa RAM sama dengan tes potensial pinhole. PAM adalah alat yang memproyeksikan numerik atau Snellen chart melalui lubang kecil pupil. Gambar dapat diproyeksikan ke retina, sekitar kekeruhan lentikular, memungkinkan untuk perkiraan ketajaman visus terbaik bila tidak ada kelainan media refrakta lainnya.



Gambar 18. (A) potential Acuity Meter (PAM). (B) Retinal Acuity Meter (RAM) (12) I. TERAPI Pada saat ini tidak ada medical traetment yang efektif untuk katarak dan pada umumnya ditangani dengan surgical treatment. 1. Intracapsular cataract extraction (ICCE)



27



Merupakan teknik operasi dimana seluruh lensa beserta kapsulnya di angkat. Degenerasi dan zonula yang lemah merupakan prasyarat untuk teknik ini. Namun operasi ini sudah jarang dilakukan dan hanya dilakukan pada kasus subluksaasi atau dislokasi lensa. Tingkat post operatif retinal detachment dan cystoid macular edema lebih tinggi pada teknik operasi ini dibandingkan dengan bedah extracapsular.13 2. Extracapsular cataract extraction (ECCE) Pada teknik operasi ini, kapsul anterior dibuka (capsulorrhexis) kemudian hanya korteks dan nukleus yang dikeluarkan (extracapsular extraction) sedangkan kapsul posterior dan zonula tetap intak. Hal ini kemudian memungkinkan untuk diakukan implantasi posterior chamber intraocular lens. Extracapsular cataract extraction dengan implantasi posterior chamber intraocular lens merupakan pilihan operasi saat ini.13 3. Phakoemulsifikasi Dari semua teknik ekstrakapsular, teknik ini paling popular saat ini. Phacoemulsifikasi menggunakan tip ultrasonik untuk membelah nukleus dan mengemulsifikasi fragmen tersebut. Teknik ini menggunakan sistem aspirasi otomatis untuk menghilangkan material korteks dengan insisi yang sangat kecil. Hasil teknik ini dalam insiden komplikasi luka lebih rendah, penyembuhan, dan rehabilitasi visus yang lebih cepat dari prosedur yang membutuhkan insisi besar. 4,14 4. Small Incision Cataract Surgery (SICS) Teknik operasi Small Incision Cataract Surgery (SICS)



yang merupakan teknik



yang biasanya digunakan pada negara berkembang. Teknik ini dipandang lebih menguntungkan karena hasil visus yang baik dan murah.15 I. KOMPLIKASI



28



Komplikasi kehilangan penglihatan secara permanen jarang terjadi pada teknik operasi modern. Komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi pada phacoemulsifikasi adalah ruptur kapsul posterior dari 1,5 menjadi 3,5% kasus. Komplikasi post operasi termasuk posterior kapsul opacification (PCO), udem kornea (0.03% menjadi 5,18% kasus), CME (cystoid macular edema) 1,2% menjadi 3,5% kasus. Prevalensi ablasi retina sekitar 0,14% menjadi 0,90%, endoftalmitis 0,10% mejadi 0,20%, dan dislokasi Intra Ocular Lens (IOL) 0,19% menjadi 1.10%.4



J. KATARAK DENGAN KELAINAN SEGMEN POSTERIOR Hasil ketajaman penglihatan pascaoperasi tergantung dari pemeriksaan objektif sebelumnya, hasil yang dicapai merupakan komponen antara lain visus setelah koreksi terbaik, sensivitas kontras, keluhan silau (glare), lapang pandangan, serta penglihatan warna. Sedangkan secara subjektif dapat diperoleh dengan anamnesa yang cermat, sehingga baik operator maupun pasien harus memiliki prediksi hasil operasi yang realistis, misalnya operasi katarak pada pasien dengan Age-related Macular Degeration (AMD).16 Kecurigaan adanya permasalahan di segmen posterior bermula dari ketidaksesuaian antara ketebalan katarak dengan visus pada skrining pra-operasi. Beberapa kelainan pada segmen posterior yang perlu diwaspadai di sini adalah kondisi miopia patologis, kelainan okuler yang terjadi akibat diabetes mellitus, oklusi vena retina, degenerasi makula, retinitis pigmentosa, uveitis, dan juga mata yang telah dilakukan tindakan vitrektomi.16 Pada penderita miopia tinggi, degenerasi vitreus terjadi pada usia yang lebih muda. Terjadinya Posterior Vitreus Detachment (PVD) dengan adanya degenerasi retina perifer akan lebih memungkinkan terjadinya retinal tears, retinal hemmorhage, dan rhegmatogenous retinal detachment. Pada katarak dengan miopia, penurunan visus pascaoperasi perlu diwaspadai



29



karenan miopia patologis dapat diduga pada waktu dilakukan pemeriksaan biometri berupa pemanjangan sumbu aksialnya.16 Bedah katarak pada penderita diabetes mellitus memiliki risiko komplikasi lebih tinggi baik pada segmen anterior maupun segmen posterior. Pada segmen posterior dapat terjadi edema dan iskemik makula, Proliferative Diabetic Retinopathy, perdarahan vitreus, Tractional Retinal Detachment, atau bila pada awalnya sudah ditemukan retinopati, kondisinya dapat memburuk. Oleh sebab itu, pada penderita diabetes, setiap bagian dari mata dan keseluruhan sistem penglihatannya membutuhkan perhatian dan pertimbangan yang matang saat merencanakan operasi katarak.16 Oklusi vena retina adalah salah satu kelainan vaskular retina yang sering terjadi pada individu lanjut usia. Kelainan ini akan mengakibatkan penurunan tajam penglihatan dalam berbagai derajat. Adanya katarak yang timbul terpisah dapat menutupi gambaran klinis dari kelainan ini, seshingga bila dilakukan tindakan bedah di kemudian hari seringkali memberikan hasil tajam penglihatan yang tidak memuaskan bagi penderita. 16 Penyebab progresivitas AMD setelah dilakukan bedah katarak, sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan menjadi perhatian. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa bedah katarak mempercepat progresivitas AMD. Demikian pula halnya dengan Retinitis Pigmentosa (RP), dimana salah satu komplikasi yang paling sering dari semua varian RP adalah katarak subkapsular posterior.16 Komplikasi terbentuknya katarak akibat tindakan vitrektomi pars plana (VPP) merupakan komplikasi tersering dari VPP. Yang perlu diperhatikan juga adalah kondisi mata yang telah dilakukan VVP sangatlah berbeda dengan kondisi sebelum operasi VVP, sehingga hal ini memperbesar risiko terjadinya komplikasi baik intraoperasi maupun sesudah operasi.



30



Sementara itu, operasi katarak pada penderita uveitis sering menimbulkan komplikasi intraoperasi dan pascaoperasi di mana membutuhkan penangan inflamasi preoperasi dan pascaoperasi yang optimal. 16 K. PROGNOSIS Dengan tehnik bedah yang mutakhir, komplikasi atau penyulit menjadi sangat jarang. Hasil pembedahan yang baik dapat mencapai 95%. Pada bedah katarak resiko ini kecil dan jarang terjadi. Keberhasilan tanpa komplikasi pada pembedahan dengan ECCE atau fakoemulsifikasi menjanjikan prognosis dalam penglihatan dapat meningkat hingga 2 garis pada pemeriksaan dengan menggunakan snellen chart.



PENUTUP Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Katarak senil menyebabkan penurunan penglihatan pada usia lanjut, patogenesis multifaktorial dan belum diketahui pasti. Beberapa faktor resiko terjadi katarak senil adalah



31



umur, sinar ultraviolet, nutrisi, obat-obatan, penyakit sistemik dan lain-lain. Dengan perkembangan teknik operasi, dan IOL memberikan hasil visus yang lebih baik dengan komplikasi yang minimal.



DAFTAR PUSTAKA



1. Congdong NG. Prevention stategies for age related cataract : present limitations and future possibilities. British Journal. 9 february 2001;85:516-520. 2. Kementerian Kesehatan RI. Situasi gangguan penglihatan dan kebutaan. Infodatin pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. 9 oktober 2014: 9 32



3. Levin AL, Nilsson EFS, Hoeve VJ, Wu MS. Adler’s physiology of the eye. Eleventh edition. New york. Elsevier, 2011. 146-151p 4. The eye MD Association. Lens and cataract. Basic and clinical science course. Section 11. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco. 2014-2015. 39-47,69-71,143p. 5. Pujiyanto IT. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian katarak senilis. Program pasca sarjana unoversitas diponegoro. Semarang, 2004. 6. Datiles BM. Age related cataract: pathogenesis and possible therapy. J. Clin Exp ophthalmology. 2015,6:3 7. Hejtmancik FJ and Kantorow M. Molecular genetics of age-related cataract. Exp Eye Res. 2004 july; 79(1): 3-9 8. Janey LW et al. Myron Yanoff & Jay S Duker Ophthalmology. Third edition. British. Elsevier, 2009. 503-5p 9. Kanski J. Jack. Clinical Ophthalmology. Third edition. New York. ButterwarthHeinemann, 1994. 286p 10. Kincaid MC. Duane’s Ophthalmology. edisi 2006. New York. Lippincott williams & wilkins, 2006. Chapter 73 11. Chylack LT, Wolfe JK, Singer DM, Leske MC, Bullimore MA, Bailey IL, et al. The Lens Opacities Classification System III. Arch Ophthalmol. 1993;111(June 1993):831-6. 12. Olson JR, Jin JCG et al. Cataract surgery from routine to complex a practical guide. New York. SLACK coorporation, 2011. 25-6p 13. Khurana A.K. Disease of the lens in Comprehensive ophthalmology. Fourth ed. New age international. New delhi. 2007: 178p 14. Ang LC et al. Clinical Ophthalmology an Asian Perspective. Singapore. Elsevier. 2005. 37p 15. Reeta G and Albrecht H. Small Incision Cataract Surgery : tips for avoiding surgical complications. Community Eye Health. March 2008;21(65): 4-5 16. PERDAMI. Perspektif segmen posterior pada operasi katarak. Jakarta. Seminat Vitroretina PERDAMI. 2015.xiii-xv p 17. Malhotra Raman. Cataract. New york. Butterworth Heinemann Elsevier. 2008. 50p 18. Splinter Robert. Handbook of physic in medicine and biology. New york. CRC Press Taylor & Francis group. 2010. Chapter 10-1.



33