Analisis Kasus Hukum Perdata Internasional Pengadilan Indonesia - LMVH Fragrances [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PILIHAN HUKUM DALAM PERJANJIAN DAGANG MULTINASIONAL: SUATU TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (PT. Fega Indotama melawan LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd; Putusan PN Jakarta Pusat No. 410/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst)



Disusun sebagai tugas untuk mata kuliah: Hukum Perdata Internasional



Oleh: Ailsa Namira Imani



(1606872306)



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA PARALEL DEPOK DESEMBER 2018



A. PENGANTAR I.



Latar Belakang Globalisasi kehidupan manusia merupakan suatu fenomena yang tidak bisa



dielakkan lagi seiring dengan perkembangan zaman. Kehidupan masyarakat sudah meluas dari sebatas komunitas yang tersegregasi berdasarkan lokasi, topografi, dan kondisi geografis; berkat perkembangan teknologi yang cepat, hubungan interpersonal dan intrakomunitas telah menembus perbatasan negara, dan kehidupan manusia telah mengejawantah menjadi suatu komunitas internasional. Terdapat tantangan baru untuk memberlakukan ketertiban suatu masyarakat internasional yang jamak, dengan lingkungan, budaya, dan hukum yang berbeda-beda. Salah satu aspek yang sangat terpengaruh dengan fenomena globalisasi adalah perekonomian dan perdagangan. Perdagangan antar negara, baik dalam bentuk hubungan dagang bilateral, multinasional atau internasional, adalah kegiatan yang kini harus dilakukan oleh suatu negara agar dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan kesehariannya. Karena sebagian besar perekonomian nasional digerakkan oleh pihak swasta, maka banyak terjadi hubungan antar badan-badan usaha, baik secara individu, persekutuan, maupun dalam bentuk badan hukum, dari berbagai negara yang melakukan perdagangan. Hubungan-hubungan tersebut menghasilkan hubungan hukum. Terjadinya hubungan hukum antara dua badan usaha dari negara yang berbeda, dimana tiap negara mempunyai sistem hukum masing-masing yang berbeda, menandakan adanya aspek dan/atau persoalan hukum perdata internasional yang menjadi persoalan yang penting bukan hanya dalam aspek ilmu hukum, namun juga krusial dalam jalannya operasi suatu usaha. Pengusaha, termasuk para pengusaha dalam skala internasional, juga ingin memastikan efisiensi dan lancarnya jalannya usaha, dan untuk mencapai hal tersebut badan-badan usaha memperhatikan segala hukum, peraturan, dan ketentuan tiap daerah dimana suatu perusahaan melakukan bisnisnya. Hubungan-hubungan



tersebut



menggambarkan



aspek



hukum



perdata



internasional dalam perdagangan internasional. Hukum perdata internasional didefinisikan oleh Sudargo Gautama sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukka stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara pada suatu waktu tertentu yang memperlihatkan titik-titik pertalian



1



dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan, kuasa, tempat, (pribadi), dan soal-soal.1 Salah satu persoalan hukum yang umum terjadi dalam perdagangan adalah pembentukan perjanjian untuk melakukan perdagangan. Perjanjian ini dapat berupa perjanjian jual-beli, perjanjian pengangkutan, perjanjian distributor, perjanjian keagenan atau perjanjian lainnya. Muncul aspek hukum perdata internasional ketika dua pihak atau lebih yang terhadap tiap pihak berlaku hukum yang berbeda di antara mereka, membuat suatu perjanjian untuk melakukan bisnis bersama. Muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti hukum apa yang berlaku untuk perjanjian yang mereka buat, dan bila terjadi suatu sengketa, forum apa yang berwenang untuk mengadili perkara di antara mereka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh kaidah-kaidah hukum perdata internasional negara masingmasing. Paper ini akan mengupas mengenai aspek hukum perdata internasional dalam perjanjian antar badan usaha dengan sistem hukum yang berlainan terhadap kedua pihak tersebut. Dalam hal ini, juga terdapat faktor tambahan, yakni pemilihan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa alternatif. Objek analisis dalam paper ini adalah putusan tingkat pertama, terhadap perkara terhadap perjanjian distribusi ekslusif antara dua badan hukum dari dua negara dan sistem hukum yang berbeda. Dari pembahasan dan analisis putusan tersebut, dapat digambarkan kompleksitas hubungan hukum dalam suatu perjanjian dagang multinasional, aspek-aspek hukum perdata inernasional dalam perjanjian tersebut, dan bagaimana hukum Indonesia, dalam hal ini juga termasuk pengadilan Indonesia, mengadili sengketa perjanjian yang memiliki aspek pilihan hukum dalam konteks hukum perdata internasional.



II.



Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan



masalah (research questions) sebagai berikut: 1.



Bagaimanakah aspek-aspek hukum perdata internasional yang dapat ditemukan di perkara PT. Fega Indotama melawan LMVH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd?



1



Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Jilid 1 Buku ke-1, Alumni, 2008.



2



2.



Bagaimana hakim mengadili perkara dan menerapkan konsep-konsep hukum perdata internasional (bila ada)?



III.



Metode Penelitian Bentuk penelitian dalam paper ini adalah penelitian yuridis-normatif, dimana



penelitian ini menggunakan pendekatan identifikasi, dan analisis terhadap prinsipprinsip dan konsep-konsep hukum perdata internasional, peraturan perundangundangan, dan putusan pengadilan. Data yang digunakan dalam paper ini adalah data hukum sekunder, dengan sumber hukum primer, di antaranya adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 410/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst yang merupakan objek analisis paper ini, dan peraturan perundang-undangan seperti Algemeene Bepalingen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan sebagainya. Selain itu, digunakan juga sumber hukum sekunder, yang mecakup buku dan artikel jurnal, di antaranya adalah seri buku Hukum Perdata Internasional Indonesia oleh Sudargo Gautama.



IV.



Struktur Penulisan



Paper ini mempunyai tiga bagian. Bagian pertama (Pengantar) membahas tentang latar belakang, rumusan permasalahan, dan metode penelitian dalam makalah ini. Bagian kedua (Pembahasan Putusan) membahas tentang kasus posisi dari putusan, lalu analisis terhadap perkara tersebut dengan mengaplikasikan teori dan konsep dalam hukum perdata internasional. Bagian terakhir (Kesimpulan) berisi kesimpulan dan saran.



3



B. PEMBAHASAN PUTUSAN I.



Kasus Posisi Putusan yang dianalisis adalah putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat



dengan nomor registrasi perkara 410/Pdt/G/2011/PN.Jkt.Pst, yang diputus pada tanggal 19 Desember 2012. Objek perkara dari rangkaian perkara ini adalah gugatan perbuatan melawan hukum (onrechmatige gedaad) terhadap sebuah perjanjian distribusi ekslusif (“Perjanjian Distribusi Ekslusif”) antara PT. Fega Indotama (“Penggugat”), badan hukum beralamat di Jakarta yang mengajukan gugatan dalam perkara ini, melawan LVMH Fragrances & Cosmetics (“Tergugat”), badan hukum perusahaan yang beralamat dan didirikan berdasarkan undang-undang Republik Singapura. Dalam surat gugatan, Penggugat menguraikan bahwa Perjanjian Distribusi Ekslusif memberikan kepada Penggugat hak yang sah sebagai distributor tunggal dan ekslusif untuk mengimpor, mendistribusikan dan menjual produk-roduk parfum, make-up dan perawatan kulit dengan merek LVMH Fragrances & Cosmetics da Christian Dior untuk seluruh wilayah Indonesia. Penggugat juga menyatakan telah menjalankan semua kewajiban yang tertera dalam Perjanjian Distribusi Ekslusif, yang mencakup: 1) Secara aktif beriklan mempromosikan pendistribusian produk-pruduk; 2) Memelihara reputasi dan wibawa merek-merek dagang yang bersangkutan; 3) Meningkatkan pangsa pasar Parfums Christian Dior di seluruh wilayah Indonesia selama dalam jangka waktu perjanjian; dan 4) Mengembangkan / meningkatkan volume penjualan produk-pruduk Parfums Christian Dior dengan cara- cara yang secara lebih lengkap diuraikan dalam surat gugatan. Lalu, dengan surat dari Tergugat tertanggal 31 Mei 2011, Tergugat secara sepihak memutuskan Perjanjian Distribusi Ekslusif. Penggugat menyatkaan bhawa pemutusan



itu



dilakukan



tanpa



alasan-alasan



yang



jelas



yangdapat



dipertanggungjawabkan, Atas dasr itu, Penggugat mengutip Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Pasal 1266 KUH Perdata mengatur tentang syarat batal dalam suatu perjanjian, yang dianggap selalu ada dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbang balik; untuk pembatalan seperti itu tidak dianggap batal demi hukum, namun pembatalan harus dimintakan kepada Hakim. Pasal 1267 KUH Perdata memberikan kesempatan bagi pihak yang 4



perikatannya tidak dipenuhi untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian, atau menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga. Atas dasar kedua pasal tersebut, Penggugat menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, pada intinya karena Tergugat telah memutuskan Perjanjian Distribusi Ekslusif secara sepihak yang melawan hukum, dan atas dasar itu telah menimbulkan kerugian yang besar kepada Penggugat. Dalam petitum surat gugatan, Penggugat memohon, antara lain, agar Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar USD 10.000.000 (sepuluh juta dolar AS), agar Penggugat dinyatakan sebagai satu-satunya pemegang hak yang sah sebagai Distributor yang menerima hak tunggal dan ekslusif untuk mengimpor produk dari LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, dan melarang Tergugat dan/atau orang lain yang mendapat kuasa darinya dari membuat perjanjian distribusi ekslusif lain dengan pihak manapun. Dalam eksepsi yang diajukan oleh Tergugat, Tergugat mengajukan beberapa poin posita, yang dibagi atas eksepsi kompetensi absolut dan eksepsi pokok perkara. Dalam eksepsi kompetensi absolut, salah satu poin yang diajukan oleh Tergugat bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa perkara berdasarkan pasal XX Perjanjian Distribusi Ekslusif, UU Arbitrase dan New York Convention yang telah diratifikasi melalui Keppres 34 Tahun 1981. Tergugat mengajukan fakta bahwa dalam Perjanjian Distribusi Eksekutif terdapat Pasal XX, yang mengatur mengenai sengketa pemutusan Perjanjian Distribusi. Pasal tersebut berbunyi: “Any disputes or differences arising out of or in connection with this contract, including any question regarding its existence, validity, or Termination, shall be referred to and finally resolved by arbitration in Singapore in accordance with the Arbitration rules of Singapore International Centre (“SIAC Rules”) for the time being in force, which rules are deemed to be incorporated by reference to this clause” (“Segala sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul dari atau sehubungan dengan perjanjian ini, termasuk segala persoalan menyangkut keberadaan, keabsahan atau Berakhirnya perjanjian, wajib diajukan dan diselesaikan secara final melalui arbitrase di Singapura sesuai dengan Aturan Arbitrase dari Singapore International Centre (“SIAC Rules”) yang berlaku pada saat itu aturan mana dianggap sebagai bagian dari Perjanjian ini berdasarkan Pasal ini”) 5



Pasal tersebut menunjukkan bahwa para pihak dalam Perjanjian Distribusi Ekslusif telah memperjanjikan di antara mereka, sebagaimana diatur dalam Pasal XX ini, bahwa dalam hal terjadinya suatu sengketa, sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura. Tergugat menyatakan hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, yang mengatur bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, dan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para Pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Tergugat juga merujuk kepada beberapa putusan Mahkamah Agung, yakni putusan dengan nomor 1034K/Pdt/2009 dan 790K/Pdt/2006, yang menegakkan ketentuan UU Arbitrase tersebut. Selain itu, Tergugat juga merujuk kepada ketentuan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, yang lebih kerap dikenal sebagai Konvensi New York, yang mengatur bahwa pengadilan negeri tidak mempunyai kewenangan atau yurisdiksi untuk memeriksa perkara ketika para pihak telah sepakat menyelesaikan sengketa ini melalui arbitrase. Tergugat juga menambahkan dalam eksepsinya, bahwa dalam Pasal XX Perjanjian Distribusi Eksekutif juga terdapat klausula sebagai berikut: “This Agreement shall be governed by and construed in accordance with the laws of Singapore” (“Perjanjian ini diatur dan harus ditafsirkan menurut ketentuan hukum Singapura”) Ketentuan ini menunjukkan bahwa para pihak telah memilih hukum Singapura sebagai hukum yang berlaku terhadap perikatan di antara mereka. Hal ini menegasikan posita dari Penggugat yang mendasari klaim mereka atas dasar pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata; karena hukum yang berlaku terhadap Perjanjian Distribusi Ekslusif adalah hukum Singapura, maka kaidah-kaidah hukum Indonesia, termasuk KUH Perdata, tidak dapat berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan Perjanjian Distribusi Ekslusif. Alasan yang diajukan pada posita terhadap kewenangan absolut sebagaimana telah diuraikan di atas kembali diulang pada bagian jawaban dan eksepsi terhadap



6



pokok perkara, untuk membuktikan salah satu poin yang diajukan, bahwa tergugat tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum apapun dalam perkara a quo. Majelis Hakim yang mengadili perkara setuju dengan posita terhadap kompentensi absolut Pengadilan Negeri yang diajukan Tergugat. Dalam amar putusan, Majelis Hakim menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara, dan menghukum Penggugat untuk membayar ongkos perkara.



II.



Analisa Teori yang Dipakai Setelah menguraikan kasus posisi dari putusan yang bersangkutan, selanjutnya



akan dianalisis gugatan, eksepsi dan jawaban, pertimbangan Majelise Hakim dan putusan Majelis Hakim terhadap konsep dan teori Hukum Perdata Internasional. Analisis akan distruktur pada dua segmen inti, yakni pengidentifikasian titik pertalian primer (TPP) dan titik pertalian sekunder. Dalam tiap bagian, akan diinkorporasikan konsep-konsep hukum perdata internasional lain yang terkait, seperti status personal dan pilihan hukum. a. Titik Pertalian Primer (TPP) Untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya persoalan hukum perdata internasional dalam suatu perkara, perlu diidentifikasi ada atau tidaknya titik pertalian primer (TPP). Kata “titik pertalian” sendiri didefinisikan sebagai hal-hal dan keadaankeadaan yang menyebabkan berlakunya suatu setlsel hukum. 2 Sejalan dengan pengertian titik pertalian itu, Sudargo Gautama mendefinisikan TPP sebagai “hal-hal dan keadaan keadaan yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI” .3 TPP, juga kerap disebut sebagai titik pembeda, adalah unsur-unsur yang menunjukkan adanya pertemuan antara dua stelsel hukum atau lebih. Hal-hal dan keadaan-keadaan yang dapat disebut sebagai TPP antara lain adalah: kewarganegaraan, bendera dari kapal, domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan, dan pilihan hukum dalam hubungan intern.4



2



Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid 2 Bagian 1, Kinta Djakarta, 1972 3 Ibid. 4 Ibid.



7



Bila teori ini diterapkan untuk menganalisis perkara antara PT. Fega Indotama dan LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, penulis mengidentifikasi beberapa TPP, yakni sebagai berikut: 



Status personal badan hukum. Dalam putusan ini, diketahui bahwa Penggugat adalah perusahaan Indonesia, dan Tergugat adalah badan hukum perusahaan yang teregistrasi berdasarkan undang-undang Singapura. Dapat dilihat bahwa kedua pihak merupakan perusahaan yang terdaftar dan beralamat di dua negara yang berbeda. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan antara status personal badan hukum. Status personal didefinisikan sebagai kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang kemanapun ia pergi. Dalam ilmu hukum perdata internasional, terdapat empat teori status personal badan hukum yang dikenal: 1. Teori Inkorporasi. Menurut teori ini, suatu badan hukum tunduk pada hukum di tempat badan hukum tersebut diciptakan, didirikan, dibentuk, yakni negara yang hukumnya telah diikuti pada waktu mengadakan pembentukannya. 2. Teori Statutair. Menurut teori ini, suatu badan hukum tunduk pada hukum dari tempat yang dalam akta pendirian (statute) badan hukum tersebut dinyatakan sebagai tempat kedudukannya. 3. Teori Manajemen Efektif. Menurut teori ini, suatu badan hukum tunduk pada hukum dimana operasional bisnis tersebut dijalankan. Yang perlu diperhatikan adalah perusahaan bisa saja memiliki organ-organ di luar domisili yang dicantumkan dalam akta pendiriannya, yang dapat menjadi tempat inti atau titik tumpu operasional bisnisnya (‘manajemen efektif’). Dalam kondisi tersebut, menurut teori ini tempat operasional bisnis utamanya yang menjadi hukum yang berlaku terhadap badan hukum tersebut 4. Teori Kontrol Asing (Foreign Control/Remote Control Theory). Menurut teori ini, meski suatu badan hukum didirikan dan/atau dijalankan dari suatu negara, namun bila putusan-puutsan untuk jalannya operasional usaha dari badan hukum tersebut diputuskan dari negara lain, maka tempat kedudukan dari badan hukum



8



tersebut merupakan negara dimana keputusan-keputusan tersebut dibuat. Dari keempat teori di atas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara implisit melalui diksi menerapkan dua dari empat teori tersebut, yakni teori statutair (dalam Pasal 5 dan 7) dan teori manajemen efektif (dalam Pasal 17). Karena forum sengketa dalam putusan ini adalah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim sebagai penganut lex fori dapat merujuk ke ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan menentukan status personal badan hukum dalam perkara ini dari ketentuan Undang-Undang tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa status personal dari kedua pihak dalam perkara ini dapat ditentukan menurut teori statutair, dimana dalam uraian identifikasi para pihak, khusunya untuk LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, ditentukan berdasarkan dasar hukum pendiriannya. 



Tempat kedudukan. Dari alamat yang tertera dalam bagian awal putusan, diketahui bahwa Penggugat beralamat di Jakarta, sedangkan Tergugat beralamat di Singapura. Dapat dilihat bahwa kedua badan hukum tersebut memiliki tempat kedudukan yang berbeda, di negara yang berbeda, dengan sistem hukum yang berbeda.







Pilihan hukum dalam hubungan intern. Terkait pilihan hukum akan dibahas di bagian tentang Titik Pertalian Sekunder. b. Titik Pertalian Sekunder (TPS)



Penentuan hukum yang berlaku dalam suatu perkara Hukum Perdata Internasional ditentuak ndengan mengidentifikasi Titik Pertalian Sekunder (TPS). Sudargo Gautama mendefinisikan TPS sebagai faktor-faktor yang menentukan hukum manakah yang harus dipilih daripada stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan. Karena fungsinya untuk mengidentifikasi hukum mana yang berlaku, TPS juga kerap disebut sebagai titik taut penentu. Dalam kasus PT. Fega Indotama melawan LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, dapat diidentifikasi bahwa TPS dalam kasus ini adalah pilihan hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya Perjanjian Distribusi Ekslusif, yang mengikat antara Penggugat dan Tergugat, dimana di dalamnya terdapat klausula pilihan hukum



9



dalam Pasal XX, yang secara tegas telah menyatakan bahwa hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut adalah hukum Singapura, dan segala sengketa dan perbedaan pendapat akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura sesuai dengan SIAC Rules. Selanjutnya akan dikupas lebih lanjut tentang pilihan hukum: 



Pilihan Hukum Pilihan hukum adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak dalam bidang perjanjian untuk memeilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan di dalam perjanjian itu. Kewenangan pilihan hukum terbatas pada bidang hukum kontrak saja. Persoalan pemilihan hukum ini muncul pada situasi dimana terdapat dua pihak atau lebih yang melakukan perjanjian yang bersifat internasional. Dalam ilmu hukum perdata internasional dikenal empat macam pilihan hukum: 1. Pilihan hukum secara tegas. Pilihan hukum ini terjadi ketika pilihan hukum dilakukan oleh para pihak yang melangsungkan kontrak secara jelas, dengan sedemikian banyak perkataan, mencantumkan bahwa para pihak telah memilih suatu hukum beserta ketentuan lainnya. Dalam hal ini, pilihan hukum tertera secara jelas dalam kontrak; tidak ada keraguan tentang maksud para pihak. 2. Pilihan hukum secara diam-diam. Pilihan hukum ini terjadi bila maksud para pihak dapat disimpulkan dari tingkah laku atau perbuatan-perbuatan yang menunjuk kearah hukum yang dimaksud. 3. Pilihan hukum secara dianggap. Menurut teori ini, pilihan hukum ini ditarik oleh hakim yang mengadili, dengan dasar dugaan hukum, yang dijadikan pegangan bahwa para pihak, meskipun sebenarnya tidak berfikir untuk mengarah ke sistem hukum tersebut, telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum tertentu. Contoh dari pilihan hukum secara dianggap ini adalah penundukan sukarela kepada hukum perdata Eropa yang diatur dalam Staatsblad 1917 No. 12. 4. Pilihan hukum hipotesis. Pilihan hukum ini tidak jauh berbeda dengan pilihan hukum secara dianggap. Namun, dalam pilihan 10



hukum hipotesis, para pihak yang terlibat sama sekali tidak ada kemauan untuk memilih sendiri hukum yang sepatutnya diperlakukan, sehingga hakim harus berhipotesis untuk memilih suatu pilihan hukum yang berlaku untuk kontrak yang mengikat di antara para pihak yang berperkara. Dalam hal ini, pilihan hukum yang telah disepakati oleh kedua belah pihak adalah pilihan hukum secara tegas. Hal ini dapat dilihat dari konstruksi Pasal XX yang tidak menimbulkan keraguan lagi, dengan diksi yang sangat jelas, bahwa hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut adalah hukum Singapura, dan segala sengketa dan perbedaan pendapat akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura sesuai dengan SIAC Rules.



11



C. KESIMPULAN Penulis setuju dengan putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara antara PT. Fega Indotama dengan LVMH Fragances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd. Perjanjian Distribusi Ekslusif yang menjadi objek perkara sangat jelas, bahwa pilihan hukum secara tegas. Hal ini dapat dilihat dari konstruksi Pasal XX yang tidak menimbulkan keraguan lagi, dengan diksi yang sangat jelas, bahwa hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut adalah hukum Singapura, dan segala sengketa dan perbedaan pendapat akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura sesuai dengan SIAC Rules. LVMH Fragances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, yang dalam perkara ini bertindak sebagai Tergugat, membawa jawaban dan eksepsi yang rapih dan mengupas hukum, khususnya aspekaspek hukum perdata internasional, dengan sangat jelas. Berdasarkan surat gugatan yang dibentuk oleh PT. Fega Indotama sebagai Penggugat, Penggugat kurang memerhatikan perjanjian yang dibuat di antara mereka, dan tidak memerhatikan dampak klausula Pasal XX terhadap kedua belah pihak. Saran penulis untuk semua pihak yang terlibat dalam kontrak untuk kedepannya, agar tiap pihak memerhatikan dan mempertimbangkan setiap klausula dalam perjanjian untuk kedepannya, termasuk hukum perdata internasional, agar meminimalisir terjadinya permasalahan di antara para pihak yang melakukan perjanjian.



12



DAFTAR PUSTAKA



Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. ________. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.



Buku Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Alumni, 2008 _______________. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Alumni, 2012. Tan, Cheng Han dan Walter Woon. Walter Woon oon Company Law. Sweet and Maxwell, 2009.



13