Analisis Kritis Berbagai Problema Pendidikan Islam Di Sekolah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS KRITIS BERBAGAI PROBLEMA PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH OLEH IBRAHIM A. Pendahuluan Pendidikan Islam di sekolah menjadi bahagian dari sub sistem pendidikan nasional, menjadi garda terdepan untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional terutama pada tiga bahagian awal tujuan yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa dan berakhlak mulia. Dengan begitu pendidikan Islam di sekolah diharapkan mampu melahirkan peserta yang taat menjalankan perintah agama dan menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Beratnya tugas dan tingginya tuntutan yang disandangkan pada pendidikan Islam di sekolah tentu menimbulkan multi-problem di tengah praktek pendidikan yang sekulerisdikotomik. Karena besarnya tanggung jawab yang diberikan, tidak sebanding dengan besarnya dukungan yang diberikan, baik dari unsur sekolah maupun dari unsur pemerintahan dan kementrian terkait, baik yang bersifat normative maupun teknis. Dan multi-problem itu menghendaki sebuah solusi yang sistemik, mendalam dan tepat sasaran. Atas dasar problematika di atas, maka tulisan ini mencoba mengidentifikasi secara hati-hati berbagai persoalan pendidikan Islam di sekolah. Proses pengidentifikasian problematika ini menggunakan dua sumber yaitu pertama, problematika yang didapatkan dari berbagai referensi baik dalam bentuk buku, laporan maupun artikel di media masa dan kedua, didasarkan pengalaman penulis sebagai guru PAI dan pembina KKG dan MGMP PAI serta curah pendapat dengan teman sejawat yang ada di berbagai kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat-sumber kedua ini bersifat penguatan sumber pertama. Uraian tentang problematika pendidikan Islam di sekolah ini menggunakan pendekatan filosofis, sistemik dan analisis kontektektualis, sementara solusi yang diberikan bersifat sistemik didasarkan pada analisis terhadap berbagai referensi dan pengalaman pribadi penulis dengan tetap menjaga tingkat objektifitas berdasarkan pada fakta yang dialami yang kemudian dihubungkan dengan pandangan para pemerhati sehingga menghasilkan interprestasi dan konklusi yang bisa dinilai objektif. B. Analisis Kritis Berbagai Problema Pendidikan Islam di Sekolah. 1



Menilik pada tujuan pendidikan nasional yang telah digariskan dalam undangundang nomor 20 tahun 2013 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 1 Maka eksistensi pendidikan Islam merupakan garda terdepan untuk secara sinergis menjawab dan mengenjawantahkan tujuan tersebut. Harapan dan tanggung jawab besar yang diemban setiap bidang studi terutama pendidikan agama Islam dalam hal menyiapkan peserta didik sebagai generasi bangsa yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, ternyata menghasilkan problematika yang sangat luas dan multi penyebab. Sebelum masuk pada problematika pendidikan Islam di sekolah, penulis akan mendeskripsikan konsep pendidikan Islam terlebih dahulu agar tidak muncul perluasan makna atau tanpa batas, sehingga menjadikan tulisan ini tidak terarah. Muhaimin menawarkan tiga perspektif makna pendidikan Islam yaitu:2 1. Bermakna pendidikan menurut Islam atau pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami. Yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Maka eksesnya adalah mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan yang bersumber pada ajaran al-Qur’an dan Hadis. 2. Bermakna pendidikan keIslaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam agar menjadi way of life seseorang (peserta didik). Ini wujudnya dalam bentuk mata pelajaran pendidikan agama Islam dan kegiatan-kegiatan yang menumbuh kembangkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. 3. Bermakna pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Pengertian ini lebih menitik beratkan pada konteks sejarah praktik dan pengembangan pendidikan Islam dari masa rasul hingga sekarang dan tentunya kedua pengertian sebelum include di dalamnya. 1



Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 2 pasal 3 Muhaimin, Nunsa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 4-6 2



2



Adapun pengertian pendidikan Islam dalam tulisan ini, mengambil pengertian kedua dari pendidikan Islam di atas, yaitu sebagai mata pelajaran -pendidikan agama Islam dan kegiatan-kegiatan untuk menumbuh kembangkan



nilai-nilai ajaran Islam dalam



kehidupan sehari-sehari. Dengan demikian pendidikan Islam di sekolah di arahkan pada terbentuknya peserta didik yang mampu mengamalkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam di dalam kehidupan sehari-hari, bukan untuk menjadikan ilmuwan Islam dibidang ilmu-ilmu Qur’an dan hadis. Menelusuri problematika pendidikan Islam di sekolah, penulis menggunakan dua cara: 1) menelusuri problematika-problematika yang tertuang dalam berbagai buku atau laporan dan 2) mengidentifikasi berbagai problematika tersebut berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru PAI, Guru Inti dan pembina MGMP dan KKG PAI kabupaten Dharmasraya serta curah pendapat antar guru PAI di kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Adapun problematika pendidikan Islam di sekolah yang ditemukan berdasarkan referensi –buku/laporan-adalah sebagai berikut; 1. Menurut Muhaimin, Problematikaya adalah: a) guru PAI gagal menggarap sikap dan perilaku peserta didik, dengan indikator ketidakmampuan guru mengubah pengetahun agama yang bersifat kognitif menjadi makna atau nilai, b) Guru PAI tidak bisa bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan non keagamaan, c) Guru PAI kurang mampu merelevansikan nilai-nilai agama Islam dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. d) kurikulum PAI yang tidak sinkron, tidak mempertimbangkan aspek waktu dan sebagainya, e) muatan pendidikan agama cendrung bersifat keagamaan, dan f) tugas agama di sekolah dianggap sebagai tugas guru PAI semata.3 Di buku yang lain ia menyebutkan tentang Pola manajemen fiktif dengan pemolesan laporan-laporan dan profesi guru hanya dianggap sebagai profesi ilmiah saja sementara kemanusiaannya seperti kesejahteraan, penghargaan, dan perlakuan yang baik justru terabaikan 4, tentu tidak bisa dengan dalil ikhlas beramal saja.. Hal memunculkan gaya kepemimpinan yang korup dan tentunya memberikan dampak pada kondusifitas pendidikan Islam. Karena program-program pembinaan akan melibatkan anggaran, sementara anggaran sudah dipangkas bahkan dimaling. 3



Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 30-31 dan 181-237 4 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Op.cit, h. 96



3



2. Baharudin melihat problematika pendidikan Islam terasa sulit dalam pelaksanaannya dan tanggung jawab yang besar, sebagai akibat dikotomi ilmu yang berdampak pada dikotomi cara pandang terhadap penanggung jawab pendidikan dan pembinaan akhlak/budi pekerti yang hanya terbebankan pada guru PAI semata.5 sementara guru bidang studi lain kecuali PKN tidak merasa bahagian dari tanggungg jawabnya. 3. H.A.R. Tilaar justru menyinggung tentang sikap guru yang sudah puas dengan status yang ada, tanpa mau mengembangkan profesinya, begitu juga dengan lembaga LPTK yang dianggap lembaga pendidikan kelas dua terkesan mundur.6 4. Menurut Sam dan Tuti menemukan dalam analisis SWOT nya bahwa Para guru merasa enggan menegur anak yang berlaku tidak sopan di sekolah, bahkan ada sekolah yang tidak berani mengeluarkan anak dari sekolah karena perilaku menyimpang seperti pelecehan sesame teman, berpacaran, narkoba dan berperilaku tidak sopan terhadap guru. Pada sisi lain, kebijakan pejabat pendidikan yang tidak edukatif, sistem evaluasi nasional yang cendrung konsen pada penilaian kognitif, serta kuntitas dan kulaitas guru yang dipertanyakan.7 Kondisi ini dirasakan di sebahagian besar sekolah, ditambah lagi kebijakan tetang perlindungan anak dari kekerasan yang terkesan berlebihan dalam praktiknya di dunia pendidikan. 5. Menurut Dede Rosyada, salah satu bentuk problematika guru-termasuk guru PAI-adalah Paradigma guru dalam melaksanakan tugas profesi cendrung “mengajar” bukan pembelajaran dan demokrasi pendidikan.8 Sehingga kecendrungn guru dalah menggurui dengan metode pembelajaran ceramah, bukan pada pengembangan potensi peserta didik dalam arena pembelajaran yang menyenangkan. 6. Menurut Syaiful Sagala, Problematika pendidikan yaitu kebijakan pendidikan hanya sebagai alat kekuasaan bukan prioritas pembangunan, pendidikan hanya sesuai harapan penguasan bukan tuntutan perubahan dan kebutuhan masyarakat yang kompetitif serta



5



Baharuddin dkk, Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan Implikasinya pada Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2011), h. 234 6 H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 105 7 Sam M Chan dan Tuti T Sam, Analisis SWOT; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 20-24, 39-50, 62. 8 Dede Rasyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebagai Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 110-111



4



kebijakan dalam kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan di lapangan.



9



persoalan



kebijakan pendidikan yang tidak edukatif tentu juga menjadi persoalan yang tidak sepele bagi pendidikan Islam dalam rangka membentuk peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertawa kepada Tuhan yang maha esa serta berakhlak mulia. 7. Menurut Kunandar, Problematika pendidikan diantaranya tentang krisis moral sebagai sumbangan atau pengaruh IPTEK dan globalisasi, sehingga mengundang perilaku yang menjurus pornografi, porno aksi, asusila, dan pergaulan bebas serta krisis sosial.10 Persoalan ini jelas dirasakan oleh dunia pendidikan umumnya, dan pendidikan Islam khususnya sehingga problematika tersendiri dalam pendidikan keIslaman di sekolah. 8. Menurut Hasbulah adalaah persoalan pembinaan dan koordinasi sikap akademik guru, kepala sekolah dan jajaran dinas pendidikan sebagai atasan belum sikron.11 Ini terlihat antara kepentingan visi sekolah sering pupus karena sikap dan kebijakan pimpinan yang tidak edukatif seperti budaya korup, sementara guru harus menyiapkan generasi yang beriman dan bertaqwa terutama guru PAI. 9. Menurut Syahidin, problematika pendidikan Islam di sekolah terlihat pada perilaku peserta didik yang amoral, kurangnya peranan keluarga dalam pendidikan moral anak serta rendahnya kemampuan professional dan personal guru untuk menjadi uswah di sekolah.12 10. Ibrahim dalam sebuah artikel menyebutkan problematika dunia pendidikan-tentu eksesnya juga dirasakan oleh pendidikan Islam-terletak pada 6 lokus yaitu a) kaum eksekutif dan legislative tentang keseriusan aplikatif dalam membenahi pendidikan, b) kaum pejabat lembaga pendidikan mulai dari tingkat kepala sekolah di kabupaten dan kota hingga level atas di kementrian pendidikan dan kebudayaan tentang penempatan yang tidak the righ man and the righ place, budaya kerja korup, kerja asal jadi, rusak dan belum tepatnya sistem rekruitmen tenaga pendidik dan kependidikan, kurangnya pembinaan kompetensi pendidik yang berkesinambungan, c) kaum sekolah, persoalan tentang rendahnya mutu guru dan tenaga kependidikan sebagai akibat sistem rekruitmen 9



Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat; Strategi Memenangkan Persaingan Mutu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) 10 Kunandar, Guru Profesional; KTSP dan Persiapan Mengh\adapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 38-39 11 Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 32 12 Syahidin, Menelusuri Metode Pedidikan dalam al-Qur’an, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 4-5



5



dan output perguruan tinggi yang tidak kompeten, d) kaum masyarakat yaitu rendahnya kepedulian dan perhatiannya terhadap sekolah-pendidikan, e) kaum perguruan tinggi sebagai jurusan pendidikan bukanlah pilihan utama, rendahnya mutu lulusan, rendahnya perhatian PT terhadap kompetensi personal dan sosial mahasiswa calon guru, dan f) kaum pebisnis dibidang saluran media komunikasi dan informasi. Yaitu tentang rendahnya perhatian terhadap nilai-nilai edukasi, tetapi mengedepankan nilai material dan kebebasan sehingga memunculkan perilaku asusila berkembang pesat.13 Pandangan para pemerhati di atas, ada yang bersifat umum pada dunia pendidikan, meskipun demikian-menurut penulis- problematika itu juga dirasakan oleh guru PAI yang berdampak pada pelaksanaan pendidikan keIslaman di sekolah. Selanjutnya problematika yang ditemukan berdasarkan pengalaman menjadi guru, Pembina KKG-PAI dan MGMP-PAI di Kabupaten Dharmasraya serta curah pendapat dengan rekan-rekan guru di beberapa Kabupaten dan kota di Sumatera Barat adalah14 1. Kompetensi guru agama terutama profesionalitas dan personal di rasa sangat kurang, meskipun tidak seluruhnya. 2. Cara pandang rekan kerja dan pimpinan yang cendrung dikotomik terkait tentang pembinaan moral/akhlak peserta yang tertumpu pada guru PAI semata. 3. Rendahnya jiwa beragama rekan kerja termasuk pimpinan sekolah dan dinas pendidikan beserta perangkatnya dibidang pendidikan, sehingga kurang memiliki perhatian yang intes terhadap pembinaan keIslaman peserta didik. 4. Rendahnya kemampuan manajemen sekolah, terutama dalam menganulir programprogram kegiatan pengembangan jiwa keberagamaan serta pelaksanaan programprogram keagamaan yang cendrung bersifat serimonial. 5. Kondisi peserta didik, keluarga dan lingkungan yang kurang mendukung terhadap aktualisasi nilai-nilai keIslaman dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terjadi diskoneksi tujuan pendidikan antar peserta didik, guru, orang tua dan lingkungan. 13



Ibrahim, Lingkaran Setan Dunia Pendidikan Indonesia; Sebuah Refleksi Hari Pendidikan Nasional, (Padang: Rakyat Sumber, 2015), terbit pada hari sabtu 2 Mei 2015. 14 Curah pendapat dilakukan melalui via Handphone dengan Rizki Renaldo, M.A, seorang guru PAI di SMP 1 Kapuah-kec. Batipuah Kab. Tanah Datar, Ronal, M.A. guru PAI di SD , Irsyad, S.Pd.I guruSMA 16 kec. Kuranji kota Padang, Fauzi, S.Ag guru PAI di SMA 2 kota Bukittinggi, Hasbi Asidiqie, S.Pd.I guru PAI SMP 1 bukit Sundi kab. Solok dan Zulkifli, M.A guru PAI di SD kota Padang Panjang. Wawancara curah pendapat ini dilakukan dengan menawarkan persoalan pendidikan Islam di sekolah terhadap sumber data serta menerima pandangan dan persoalan dari sumber data sendiri. ini dilakukan pada tanggal 2 dan 3 Januari 2016.



6



6. Tingginya pengaruh dunia maya terhadap pandangan dan perilaku peserta didik terutama dalam hal perilaku menyimpang baik dari sisi agama, sosial budaya, susila dan hukum. 7. Ketidak adaan kesamaan visi dan sikap dalam membangun pendidikan keIslaman di sekolah, sehingga sering terjadi kotradiksi aturan dan sikap dalam mendidik perilaku peserta didik. 8. Budaya cuek, malaisme, anti pati, korup dan berkerja menjalankan tugas mengajar memunculkan sikap tidak serius dan menyatu dalam mendidik perilaku peserta didik. 9. Beban kerja guru yang cukup tinggi dengan standard mengajar 24 jam karena kebijakan perundangan-undangan serta hubungannya dengan setifikasi, menyebabkan guru tidak memiliki cukup waktu untuk membina perilaku peserta didik, dan sibuk dengan tugas mengajar bukan mendidik dan masih banyak yang lainnya. 10. Model pembinaan akhlak/karakter yang tidak jelas pada kurikulum 2013 dengan konsep indirect dalam pembelajaran, pada kenyataannya berakhir dengan proses mengajar saja, mendidiknya menjadi terlupakan. 11. Sistem evaluasi yang tidak berimbang pada kurikulum KTSP, sementara kurikulum 2013 mendapat penguatan akan tetapi terkendala dalam sistem penilaian yang rumit dan berakhir dengan pemalsuan nilai-asal-asalan. Melihat banyaknya problematika yang telah ditawarkan di atas, maka penulis akan memfilter dan mengklasifikasikannya menurut komponen pendidikan, yaitu: 1. Problematika Guru PAI dan rekan kerja. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dan Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 15 Itulah guru, yang memberikan indikasi bahwa untuk menjadi guru bukanlah mudah. Kepadanya diberikan mekanisme, tuntutan dan pengorbanan besar untuk 15



Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, bab 1 pasal 1



7



menjadi seorang guru. Dengan begitu, tidak semua orang bisa dan boleh menjadi guru akan tetapi di sisi lain setiap orang boleh menjadi guru, asal memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Tuntutan besar kepada guru menurut landasan yuridis dan filosofis didaktis, pada kenyataanya akan menimbulkan problematika yang beragam sebagai bentuk ketidaksesuaian antara kenyataan dan harapan yang diinginkan. Adapun problematika tersebut adalah Pertama, Kompetensi guru-guru termasuk guru PAI yang masih rendah dalam melaksanakan tugas pembelajarannya-tentu tidak semuanya. Rendahnya kompetensi ini bisa dilihat dari empat kompetensi guru yang wajib dipenuhi menurut perundang-undang yaitu kompetensi pedagogik, profesional, personal dan sosial. Kompetensi profesional dan pedagogik, ini memberikan arah tentang bagaimana guru mengemas proses pembelajaran dan pendidikan, menguasai materi, memahami peserta didik dan sebagainya. Sementara kompetensi personal dan sosial memberikan arah tentang bagaimana guru bersikap menjadi guru dan uswah di tengah-tengah peserta didiknya serta masyarakat. Pada sisi yang lain kompetensi professional dan pedagogik masuk pada ranah hard skil seorang guru, adapun kompetensi personal dan sosial masuk pada ranah soft skill seorang guru. Banyak indikator untuk menentukan rendahnya kompetensi guru, secara regulasi dan mekanismenya bisa dilihat dalam permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kompetensi guru, turunannya dalam bentuk penilaian kompetensi guru berdasarkan 4 komptensi dengan rincian: Pedagogik dengan 7 rincian, Profesionalnya dengan 2 rincian, Sosialnya dengan 2 rincian dan Kepribadian/personalnya dengan 3 rincian. Semuanya berjumlah 14 rincian dengan indikator keseluruhan berjumlah 56 indikator. Akan tetapi secara praktis, apabila guru tidak mampu membedakan sifat materi baik konsep, prinsip, prosedural maupun fakta, tidak mampu merancang instrumen penilaian, banyak memarahi dari pada menyadarkan dan menyenangkan, tidak memahami peserta didik, selalu menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran, maka semua ini mengidikasikan seorang guru memiliki kompetensi pedagogik dan professional yang rendah. Guru memang dituntut luar biasa pada perkembangan ICT era globalisasi seperti sekarang ini. Seperti kata Azyumardi Azra, dengan teknologi 8



informasi dan komunikasi yang berkembang luas dan pesat sekarang ini, memungkinkan peserta didik untuk mendapatkan informasi/sumber belajar yang lain yang jauh lebih hebat dibanding gurunya, sehingga guru tidak bisa menjadi peran sentral dalam proses pembelajaran. Jika tidak, maka guru harus melakukan perubahan-atau sedikit penyesuaian-dalam paradigma, strategi, pendekatan dan teknologi pembelajaran.16 Pandangan Azyumardi Azra tersebut memberikan indikasi bahwa guru-PAI- harus memiliki dan mengembangkan kompetensinya dalam hubungan arus globalisasi yang ditandai dengan percepatan perkembangan sistem ICT, sehingga guru harus menjadi pribadi yang cepat tanggap, penyesuaian, mengembangkan dan merumuskan sendiri perubahan itu. Baik dalam tataran paradigma pembelajaran, pendekatan, strategi, metode serta teknik dan taktik pembelajaran. Sehingga pembelajaran yang dikemasnya mampu menghantarkan peserta didiknya yang siap memasuki dan menghadang kemungkinan terburuk dalam era globalisasi ini. Begitu pula sejatinya dengan kompetensi personal dan sosial, apabila guru selalu terlambat datang kesekolah, mengajar apa adanya, bekerja dengan paksaan, pakaian, perkataan dan perbuatan tidak bernilai edukatif , dimasyarakat juga tidak mampu membaur dan berkerja sama, maka sudah dapat dipastikan bahwa seorang guru memiliki kompetensi personal dan sosial yang rendah. Kesemua kompetensi pendidik di atas sejatinya melekat pada guru-begitu juga guru PAI-, kapan dan dimana saja guru itu berada, baik dikelas, di kantor, ditengah anakanak, di tengah lingkungan masyarakat dan sebagainya. Jika keempat kompetensi atau salah satunya saja lemah, maka guru PAI tidak mampu melaksanakan fungsi pendidikan agama Islam. Dimana fungsi pendidikan agama Islam itu adalah 1) mengembangkan pengetahuan teoritis, praktis dan fungsional bagi peserta didik, 2) menumbuh kembangkan kreativitas, potensi-potensi peserta didik, 3) meningkatkan kualitas akhlak dan kepribadian insani-illahi, 4) mewariskan nilai-nilai illahi dan insan kepada peserta didik.17 Maka dalam rangka menjalankan fungsi pendidikan agama Islam tersebut, guru harus memiliki empat kompetensi pokok yaitu professional, pedagogik, personal dan sosial.



16



Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium ke III, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 52 17 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Ibid, h. 15



9



Rendahnya kompetensi guru PAI disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah 1) sebagai output perguruan tinggi yang kurang bermutu-karena perguruan tinggi juga kurang bermutu, 2) sistem rekruitmen guru yang tidak tepat karena mengandalkan sistem tes kemampuan dasar, bidang, wawancara atau tes with money, 3) rendahnya kesadaran guru untuk melakukan perubahan dan perbaikan komptensi, 4) rendahnya pembinaan dan pengembangan mutu guru oleh pemerintah, dan 5) sebagai akibat budaya korup pimpinan dan teman sejawat dalam kerja sehingga memunculkan sikap malaisme, tidak percaya diri, tidak progresif dan sebagainya. Solusi: Banyak solusi yang bisa ditawarkan dan diiplementasikan akan tetapi solusi yang diberika harus bersifat sistemik (kepala pemerintah dan pejabat pendidikan, guru dan PT LPTK serta organisasi profesi/masyarakat yang bergerak di dunia pendidikan, diantaranya yang dapat dilakukan adalah 1. Oleh kepala pemerintah dan pejabat pemerintah dibidang pendidikan, maka solusi yang bisa diberikan di lihat dari 3 sisi persoalan yaitu pertama, dari sisi penerimaan guru yang akan datang maka yang harus dilakukan adalah menyusun sistem rekruitman CPNS yang bermutu dan menggambarkan kualitas kompetensi -4 kompetensi guru-sesungguhnya dan transparan, bukan berdasarkan pada pendekatan politis, kekeluargaan dan sogokkan. Kedua, dari sisi PNS yang telah menjadi guru maka yang harus dilakukan adalah a) mengalokasikan dana dan pelaksanaan pembinaan kompetensi guru secara utuh dan berkelanjutan berbasis nilai-nilai pancasila-agama. b) menjalankan fungsi pengawasan secara efektif terhadap kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan tugasnya secara klinis bukan menindas, c) mengidentifikasi berbagai persoalan guru sehubungan dengan kompetensinya dan mempetaan program pembinaan selanjutnya. Ketiga, dari sisi pejabat sendiri harus mampu menjalankan fungsi manajemen sekaligus membudayakan budaya kerja yang berkualitas, bersih, terprogram dan membangun, bukan meregenerasikan budaya korup, asal jadi dan prinsip asal bapak senang (ABS) dan melahirkan kebijakan tentang guru yang memacu mutu bukan menindas guru, mendorong guru untuk mendidik bukan mengajar dan sebagainya. Kunandar menambahkan gaji guru yang



10



memadai, sehingga menimbulkan rasa aman dan kondisi kerja yang kondusif serta kepastian karier masa depan.18 2. Oleh guru yang bersangkutan, maka ada beberapa yang harus dilakukan yaitu a) membangun niat yang lurus untuk membangun pendidikan, b) senantiasa berusaha untuk meningkatkan mutu kompetensinya melalui kegiatan sharing, seminar, workshop, menulis, membacadan sebagainya, c) membangun kepribadian yang memiliki nilai-nilai integritas, visioner, kreatif, ulet serta menjadi uswah berbasis religi, d) melakukan upaya-upaya pengembangan diri dan pembelajaran yang bermutu serta e) menjadi personal yang saling menguatkan antar guru dalam melaksanakan tugas profesi ditengah carut marutnya manajemen pendidikan. 3. Oleh perguruan tinggi dan LPMP, maka ada upaya yang dilakukan seperti membangun kerja sama dengan dinas pendidikan terkait untuk upaya memberikan pembinaan dalam rangka meningkatkan kompetensi guru serta meningkatkan kualitas lulusan keguruan-calon guru-karena PT LPTK adalah penanggung jawab utama dalam penyedian tenaga guru di sekolah-sekolah. 4. Oleh organisasi profesi dan organisasi yang menyoroti dunia pendidikan juga dapat memberikan solusi dalam bentuk memperjuangkan kepentingan guru dan pendidikan serta memberikan pelatihan dan pembinaan kepada guru melalui kerja sama dengan pemerintah daerah/dinas pendidikan terkait. Ketiga pelaku di atas, penulis anggap bahagian dari sistem pendidikan yang berhubungan dengan pendidik. Maka peran keempat tersebut dalam menjalankan solusi secara sinergis menjadi kunci penyelesaian persoalan pendidikan secara sistemik. Jika tidak, maka persoalan kompetensi guru tidak kunjung terselesaikan sehingga tetap berputar pada persoalan klasik dari masa ke masa. Kedua, Cara pandang dikotomis rekan kerja tentang tanggung jawab akhlak dan keberagamaan peserta didik. Problematika ini sering muncul di sekolah, dalam bentuk memberikan tanggung jawab dan beban sepenuhnya pada guru PAI dalam hal kegiatankegiatan PHBI, pembinaan moral dan etik, serta menjadi manusia malaikat. Problematika ini memunculkan sikap pendidik dalam mendidik yang sering tidak sinergis dan cendrung kontradiktif seperti guru PAI mengajarkan anak-anak memakai 18



Kunandar, Guru Profesional…., Op.Cit, h. 36



11



busana muslim yang baik sementara guru-guru yang lain justru berpenampilan modis dan tidak Islami bahkan tidak menutup kemungkinan guru PAI juga tidak menampilkan uswah, atau guru olah raga yang mengajarkan praktek renang seluruh siswa-siswinya sementara guru olah raganya seorang laki-laki, tentu ia melihat seluruh gerakan badan anak-anak saat berenang dan tidak luput juga anak perempuan. Hal ini tentu menimbulkan kontradiksi penanaman nilai-nilai Islami. Adanya dikotomi cara pandang, bahwa guru agama hanya berhubungan dengan ibadah mahdhah dan akhlak saja. Sementara guru bidang studi lainnya hanya berbicara semata-mata tentang ilmu (materi ajarnya saja)-pada kurikulum 2013pun juga begitu.19 Sesungguhnya bermula dari dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, sehingga pada wilayah ontologi, epistemologi dan aksiologinya berbeda. Guru agama untuk ontologi berbicara tentang iman, Islam, shalat, puasa, akhlak dan lain-lain dan tidak hubungannya dengan ilmu eksakta lainnya begitu seterusnya. Sementara guru umum ontologi sesuai bidangnya masing-masing baik eksakta maupun sosial. Hal ini sudah terjadi sejak diperguruan tinggi, yang memang perkuliahan di perguruan tinggi umum begitu juga perguruan tinggi Islam era awal hingga awal abad 20 cendrung dikotomis. Dan perguruan tinggi tersebut-baik LPTK maupun yang lain-telah menghasilkan jutaan sarjana dan guru, sehingga dikotomi ilmu dan cara pandang dalam praktiknya begitu berurat berakar dalam sanubarinya. Ini tentu menimbulkan problematika besar dunia pendidikan dan sulit untuk di ubah. Sehingga seolah-olah pendidikan umum atau mata pelajaran umum berbicara hanya untuk ilmu atau free value, Pada hal sejati dunia pendidikan itu bukan free value melainkan full value. Hal ini seperti pernyataan Thomas dalam Muhaimin bahwa “schools can never be free of values. Transmiting values to



19 Pada kurikulum 2013 komptensi inti di bagi atas 4 yaitu kompetensi religious, sosial, kognitif dan keterampilan. Pembelajaran karakter yang terkandung pada KI 1 dan 2 berlangsung secara indirect dalam seluruh bidang study pembelajaran. Pada kenyataannya, memunculkan problematika yang luar biasa dan berakhir penyerahan urusan pembinaan KI 1 dan 2 kepada guru Agama dan PKN. Ini menandakan betapa sulitnya merubah cara pandang dikotomis menjadi monotomis tentang pendidikan-disisi lain tidak ingin terbebankan dengan tugas tambahan baru. Walaupun sejatinya pada kata “mendidik” sebagai tugas utama guru telah mengandung pembinaan budi pekerti/akhlak mulia. Mendidik itu bernuansa merubah, membina, mengarahkan dari perilaku buruk peserta didik menjadi baik, sehingga tumbuh dan muncul generasi yang berbudi pekerti yang luhur, berakhlak yang agung, punya karakter positif sebagai generasi masa depan negeri ini. Sementara yang telah dilakukan oleh guru bidang study selama ini cendrung pada mengajar di kelas, pembinaan budi anak cendrung terlupakan. Sehingga wajar ada istilah pekerjaan saya mengajar bukan mendidik. Pada hal guru sesuai dengan UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, menyebutkan tugas guru itu dimulai dari mendidik, membina, melatih mengajar hingga menilai dan sebagainya. Jadi bukan mengajar saja.



12



students occur implicity throght the content and the materials to which students are exposed as a part of the formal curriculum as well astrough the hidden curriculum”.20 Ini memberikan makna bahwa pendidikan itu full value, bahkan pada materi atau kurikulum yang diberikan kepada peserta didik-sebatas ilmu- sekalipun secara implisit melakukan transfer of value. Dengan begitu, tepatlah apa yang dikatakan oleh undangundang nomor 14 tahun 2005 tantang guru dan dosen yang menyebutkan tugas utama guru



-yang



pertama-mendidik.



Karena



muatan



ini



menjadi



centre



untuk



mengenjawantahkan dalam tujuan pendidikan nasional yang tinggi yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Dengan demikian jika pandangan dikotomis ini atau penyerahan tugas pembinaan keagamaan Islam dan akhlak mulia pada guru PAI semata, maka yang ditemui adalah kegagalan sekolah menggarap pendidikan keagamaan Islam dan akhlak mulia. Karena sekolah adalah suatu sistem, yang dalam prakteknya harus sinergis dan saling membantu serta bergantung antara sub sistem atau komponen pendidikan di sekolah satu sama lainnya. Solusi: Menyikapi tentang pandangan dikotomis ini maka alaternatif solusi yang bisa dilakukan adalah: 1. Dari sisi pemerintah (kementerian dan dinas pendidikan), maka usaha yang harus dilakukan adalah a) melakukan kajian secara intens tentang pendidikan holistic, terpadu antara ilmu dan nilai sehingga pendidikan bukan free value melainkan full value yang dimainkan oleh setiap guru dan kepala sekolah yang kemudian ditelurkan ke kurikulum nasional, b) melakukan pembinaan dan bimbingan teknis pelaksanaan pendidikan budi pekerti yang jelas untuk guru-guru, sehingga pembinaan budi pekerti adalah tanggung jawab setiap bukan guru PAI dan PKN semata, c) melakukan upaya perubahan maind shett guru-guru tentang tanggung jawab pendidikan budi pekerta serta maind shett pejabat pendidikan tentang urgensinya pendidikan budi pekerti-karakter-sebagai upaya menyiapkan generasi bangsa dan negara yang intelektual sekaligus berbudi pekerti tinggi, menguasai iptek dan memilki imtak dan sebagainya. 20



Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam….Op.Cit, h. 55-56



13



2. Dari sisi guru, harus memperkaya bacaan sehingga menimbulkan konklusi yang tepat tentang pendidikan atau tentang ilmu dan nilai atau ilmu dan agama, merenungkan kompetensi personal dan sosial yang syarat dengan nilai kepribadian sebagai uswah bagi peserta didik serta membaca dan merenungkan tugas utama pendidik sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentng guru dan dosen dengan tugas utamanya adalah mendidik (transfer of value) baru kemudian mengajar (transfer of knowledgee). 3. Dari sisi PT baik LPTK-terutama- maupun yang murni (sains), maka harus dirkursus intesif tentang membangun ilmu yang terpadu anatara ilmu dan nilai atau antara ilmu dan agama-paling tidak Islam bukan melanjutkan ilmu dengan pendekatan sekuleris atau dikotomik karena realitas telah membuktikan hasil pendidikan yang dikotomik atau sekuleris. Kemudian menyiapkan calon pendidik baik untuk sekolah maupun perguruan tinggi yang berbasis kesatuan ilmu dan agama atau ilmu dan nilai, bukan sebaliknya. Dan usaha-usaha lain yang dilakukan seperti memperbanyak seminarseminar tentang ilmu menurut Islam atau ilmu perspektif agama-agama, sehingga menghasilkan konklusi yang tepat tentang bagaimana memperlakukan ilmu dan pendidikan. Solusi di atas sedikit banyaknya sesuai dengan saran yang dikemukakan oleh Baharuddin dkk, menurutnya pemerintah dan pengelola/penyelenggara institusi pendidikan, apalagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hendaknya membuat sistem pendidikan Islam yang terpadu dan professional-dengan melibatkan seluruh komponen yang terkait, sehingga tercipta generasi muslim yang berkualitas tinggi dalam imtak dan professional dalam iptek.21



2. Problematika Peserta didik, orang tua dan lingkungan:



21



Baharuddin dkk, Dikotomi Pendidikan Islam…Op.Cit, h. 250. Buku membahas historical dikotomi ilmu dalam lintasan sejarah hingga Indonesia. Kajiannya menggonakan pendekatan filosofis, analitis dan solutif.



14



Sering sekali persoalan dalam dunia pendidikan muncul dari komponen peserta, keluarga dan lingkungan peserta didik. Sehingga menjadikan tabir penghambat kelangsungan pendidikan yang berkualitas di sekolah. Untuk lebih jelasnya problematika tersebut adalah: Pertama, Pola asuh yang salah dalam rumah tangga serta tidak sinergisnya (matching) pola pendidikan di sekolah dan rumah tangga keluarga. Kemampuan peserta didik sangatlah beragam dan berbeda satu sama lainnya, baik kemampuan IQ, EQ maupun SQ. Hal ini disebabkan oleh latar belakang keturunan dan pola binaan orang tua yang juga berbeda. Begitu juga dengan kepribadian seorang peserta didik, sangatlah beragam dan menjadi miniatur kondisi rumah tangganya. Maka orang tua peserta didik bertanggung jawab untuk membentuk kepribadian anak-anak mereka.22 Rumah tangga merupakan lembaga pendidikan pertama yang di lalui oleh seorang anak, Ramayulis menyebutnya sebagai lembaga pendidikan in formal. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, disinilah kepribadian seorang anak tumbuh.23 Keluarga adalah sumber utama pendidikan moral bagi anak-anak.24 Ia dibimbing dan diajar oleh dua orang tuanya sebagai guru pertama barulah sanak familinya. Problematika menjadi muncul, ketika kepribadian anak yang muncul sangat buruk sebagai bentuk akibat pola asuh yang salah, sehingga berdampak pada proses pendidikan di sekolah. Pada posisi ini, kesesuaian program pendidikan di sekolah dengan orang tua atau keluarga sangat diharapkan. Karena orang tua merupakan bahagian sub sistem dari sekolah, yang secara langsung berdampak pada keberhasilan pendidikan anak-anaknya di sekolah. Maka sekolah tidak berjalan sendiri dalam melaksanakan tugas mendidiknya, dibutuhkan sinergisitas antara orang tua atau keluarga dengan sekolah. Menurut Sjarkawi, jika sinergisitas pola pendidikan kepribadian antara sekolah dan orang tua serta lingkungan tidak terjadi, maka yang terjadi adalah merusak cara berpikir tentang moral dan rusaknya moralitas anak.25



22 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 5 23 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), h. 319 24 Thomas Lickona, Education For Character; Mendidik Untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 48 25 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak….Op.Cit, Ih. 8



15



Problematika tentang pola asuh yang salah disebabkan oleh banyak hal diantaranya a) tingkat pendidikan dan cara berpikir dalam mendidik yang rendah, b) pola asuh mengandalkan gaya orang tua sebelumnya, jika orang tuanya dibesarkan dengan kekerasan atau kemanjaan, maka anaknya juga akan dididik dengan cara yang samakecuali memiliki pendidikan dan pemahaman yang tinggi, c) tidak sinergis antara bapak dan ibuk serta famili (kakek, nenek, paman, bibik) dalam mendidik anak seperti si ayah memarahi, si ibu membela atau si ayah mengajarkan kemandirian sementara si kakek memanjakannya dan sebagainya, d) membiarkan anaknya bertindak, berbuat bergaul dengan siapa saja tanpa filterisasi, serta e) orang tua tidak menjadi bahagian dari anaknya, sehingga ia tahu tentang anak, kebutuhan, perilaku dan keinginan anaknya serta tidak memiliki hubungan dekat secara emosional deduktif dengan anaknya.26 Sementara penyebab terjadi ketidakmatchingan pola pendidikan antara sekolah dan orang tua di sebakan oleh banyak hal diantaranya: a) kemampuan orang tua dan keluarga yang terbatas, b) tingkat pendidikan dan cara pandang orang tua dan keluarga yang rendah, c) kurangnya usaha konslidasi atau kerjasama antara sekolah dan orang tua, d) kekecewaan orang tua dan keluarga terhadap sekolah atau sebaliknya. Solusi: Solusi yang bisa dilakukan dalam menghadapi pola asuh yang salah serta ketidaksesuain cara mendidik anak diantaranya adalah 1) melaksanakan manajemen hubungan masyarakat dan orang tua dengan baik yang dilakukan dengan menerapkan fungsi manajemen yang baik, 2) memberikan pembinaan parenting/mengarahkan cara mendidik anak yang tepat melalui kegiatan rapat komite atau mewadahi kegiatan seminar parenting tersebut oleh sekolah, sehingga menjadi petunjuk teknis bagi orang tua untuk menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah tangga. Yang di dalamnya peserta didik atau anak mendapat pengetahuan moral (meliputi kesadaran, pengetahuan, penentuan perspektif, pemikiran, pengembilan keputusan moral dan pengetahuan pribadi) , perasaan moral (meliputi hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal baik, kendali diri dan kerendahan hati) dan tindakan moral (meliputi kompetensi, keinginan dan kebiasaan),27 3) menyiapkan instrument sebagai penghubung antara guru/sekolah



26 27



Thomas Lickona, Education For Character… Op.Cit, h. 54 Thomas Lickona, Education For Character….,ibid, h. 84



16



dengan orng tua terkait pendidikan anak seperti buku penghubung orang tua, dan atau menyiapkan saluran komunikasi dengan orang tua dalam hal pendidikan baik via telephone atau handphone atau internet jika memungkinkan, sehingga komunikasi antara orang tua dan sekolah tetap terjaga,4) membangun budaya karakter yang bisa disematkan sebagai visi dan misi sekolah serta 5) menggunakan pendekatan pembiasaan dan uswah dalam membetuk perilaku anak di rumah maupun di sekolah dan sebagainya. Kedua, Kondisi lingkungan sekolah dan tokoh masyarakat yang masa bodoh dengan pendidikan di sekolah. Ini sering terjadi diberbagai sekolah baik dipelosok maupun di kota. Pada hal kesesuain sekolah dan lingkungan beserta tokoh masyarakat sangat menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Sebab jika lingkungan sekolahnya tidak nyaman, tentu akan mengganggu proses pendidikan. Begitu juga dengan aktivitas ekonomi lingkungan sekolah yang menjadikan permainan yang tidak edukatif seperti judi dengan ragam bentuk sebagai mata pencarian atau menjual barang dagangan yang tidak edukatif seperti rokok dan sebagainya. Hal ini tentu menjadi problema yang sangat serius terhadap proses pembentukan kepribadian dan keberhasilan peserta didik di sekolah, terutama dalam pembentukan kepribadian yang Islami, guru PAI mengajarkan shalat sementara lingkungan menyediakan tempat perjuadian, gurunya melarang merokok karena bahayanya yang luar biasa, sementara lingkungan menjual rokok pada anak sekolah. Karena pihak sekolah, sudah tidak memiliki wewenang untuk mendidik, membina, melarang saat peserta didik sudah pulang dan kembali kerumah tangga dan lingkungannya. Sekolah memang cendrung menerima beban berat dalam menjawab krisis moral tetapi miskin dukungan-bisa saja karena fungsi manajemen kemasyarakat tidak jalandari masyarakat. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Thomas bahwa sekolah semakin sering diminta untuk memberikan pendidikan yang lebih, dengan persoalan pendidikan moral yang berat, tetapi hanya mendapat dukungan yang tidak terlalu berarti.



28



Padahal



sekolah dan keluarga dan lingkungan adalah pendamping utama dalam pendidikan anakanak di sekolah. Kondisi seperti muncul karena banyak hal, diantara: a) cara pandang materialistis dan himpitan ekonomi, sehingga memunculkan sikap untuk berusaha apa 28



Thomas Lickona, Education For Character,…Op.Cit, h. 57



17



saja yang dapat uang dan tidak mencari tanpa harus berpikir panjang, b) wujud ketidakpuasan terhadap sekolah yang disebabkan oleh gagasan dan ide, permintaan dan harapan dan sebagainya, c) tingkat pendidikan dan cara pandang masyarakat yang rendah, d) pengamalan agama dan norma susila yang rendah, e) tidak jalannya dengan baik sistem manajemen hubungan masyarakat di sekolah dan lain-lain Solusi: Peran orang tua dan lingkungan dalam menciptakan sekolah yang berkualitas sangtlah tinggi, karena untuk menciptakan itu tidak bisa diserahkan kepada sekolah tetapi pihak orang tua dan lingkungan juga menentukan andil yang besar. Ketika masyarakat dan orang tua, sudah bersifat materialistis, masa bodoh serta tidak hubungan dan kerjasama yang erat. Maka sekolah akan selalu mengalami dilematika berkepanjangan dari segala sisi. Oleh karena itu, diperlukan solusi-solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini, diantaranya adalah a. Memfungsikan dengan baik manajemen hubungan masyarakat. manajemen hubungan masyarakat ini menurut Sutisna -dalam E Mulyasa- memiliki maksud yaitu 1) mengembangkan pemahaman tentang maksud-maksud dan saran-saran dari sekolah, 2) untuk menilai program sekolah, 3) untuk mempersatukan orang tua dan murid dan guru dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan peserta didik, 4) mengembangkan kesadaran pentingnya pendidikan di era modern, 5) membangun dan memelihara kepercaya sekolah terhadap masyarakat, 6) upaya mengekspose pekerjaan sekolah kepada masyarakat, dan 7) untuk mengerahkan dukungan dan bantuan dari masyarakat untuk peningkatan mutu sekolah di bidangan pemelihaaran serta pembangunan.29 b. Sekolah harus mampu melobi dan mesugesti human key (tokoh kunci/utama) masyarakat dan orang tua seperti kepala suku, kepala desa/nagari, ulama, tokoh pemuda, cendikiawan kampung dan komite sekolah. Ini adalah sisi utama yang harus didapatkan dukungannya terhadap sekolah sehingga proses pembentukan kerjasama dan kesepakatan dengan masyarakat dan orang tua dapat berjalan dengan lancar. c. Sekolah harus menyiapkan settingan yang jitu untuk mencerahkan masyarakat dalam hal kesesuaian pola pendidikan di sekolah dan peran orang tua dan masyarakat diluar 29



E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional, (Rosyda Karya: Bandung, 2007), h. 164



18



sekolah sekaligus upaya pencerahan pendidikan terhadap orang tua dan kepedulian masyarakat terhadap kelangsungan pendidikan dalam rapat sekolah dengan komite dan orang tua peserta didik serta tokoh-tokoh masyarakat d. Sekolah harus mampu menjaga kepercayaan masyarakat dan orang tua dalam pengelolaan pendidikan anak-anaknya. e. Kepala sekolah memenej dengan pendekatan sistem, pendekatan sistem adalah pendekatan yang memandang bahwa organisasi –sekolah- sebagai sistem yang dipersatukan dan diarahkan dari bagian-bagian/unsur-unsur yang saling berkaitan.30 Serta menggunakan berbagai pendekatan yang saling dalam membangun hubungan baik sekolah dengan masyarakat dan orang tua. 3. Problematika kurikulum. Kurikulum merupakan sejumlah kekuatan, faktor-faktor pada alam dalam hubungan dengan pengajaran dan pendidikan yang disediakan sekolah bagi muridmuridnya di dalam dan luar sekolah serta sejumlah pengalaman yang lahir dari interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor tersebut.31 Bagi Oemar Hamalik kurikulum sebagai seperangkat mata pelajaran yang harus ditempuh –pandangan tradisonalis- atau semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah-konsep kontemporer32. Semua defenisi membarikan arah secara eksplisit bahwa kurikulum mempunyai



kedudukan



sentral



dalam



seluruh



proses



pendidikan.



Kurikulum



mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan.33 Ini bermakna kurikulum sebagai kompas dalam proses pendidikan yang memberi arah bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu maka penyusunan dan pengembangan kurikulum harus berdasarkan prinsip-prinsip dan mempertimbangkan beberapa hal yaitu prinsip filosofis, psikologis, dan sosiologisteknologis,34 hakikat pengetahuan,35 budaya,36religi, falsafah, organisatoris,37 berpusat 30 31



Aan Komariah dan Tim Dosen UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 99 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.



32



Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja RosydaKarya, 2008),



485-486 h.3 33 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2000), h. 4 34 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran;Teori dan Praktek Pengembangan KTSP, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 42 35 S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 14



19



pada potensi (psikologis), beragam dan terpadu (psikologis, geografis, budaya, ekonomi dan agama), sains dan teknologi (ilmu pengetahuan), relevan deng kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat (filosofis) dan seimbang antar daerah dan pusat.38 Barulah kemudian menjadi sebuah dokumen kurikulum (written curriculum), akan tetapi kurikulum ini tidak memberikan makna apa-apa selama ia tidak dijadikan acuan dalam pelaksanaan atau tidak dilaksanaan (action curriculum). Kurikulum yang telah disusun pada perjalanannya mengalami problematika yang beragam diantaranya adalah: Pertama, Kurikulum sebatas rencana, actionnya berbeda dari apa yang di rumuskan. Dilematika ini sering muncul dalam pendidikan di sekolah-sekolah, capaian pelaksanaan kurikulum cendrung tidak maksimal di sekolah yang disebabkan oleh berbagai persoalan. Problematika ini memberikan makna bahwa eksistensi kurikulum sebagai pemberi arah tidak berfungsi dengan baik. Ketidak berfungsiannya kurikulum sebagaimana mestinya disebabkan oleh banyak hal seperti a) kurikulum disusun dengan copy paste, sehingga tidak jelas landasannya, maksud, karakteristiknya, dan cara pelaksanaannya, b) guru tidak memahami dengan baik tentang kurikulum, sebab guru adalah orang pertama yang akan melaksanakan kurikulum, c) kurang berfungsi manajemen sekolah dalam hal manajemen kurikulum baik pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi oleh kepala sekolah, d) sikap terhadap kurikulum yang tidak tepat, e) adanya tekanan dari luar-dinas pendidikan-untuk kejar target hasil/rangking ujian sekolah, akibatnya pelaksanaan kurikulum harus berputar haluan dari dokumennya dan lain sebagainya. Pelaksanaan pembelajaran dan pendidikan yang tidak sesuai dengan kurikulum, berakibat adalah pelaksanaan pendidikan berada di luar yang direncanakan sehingga tujuan pendidikan yang diwujudkan dan visi-misi sekolah tidak tercapai. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan keislaman dan budi pekerti yang telah dirancang dalam kurikulum menjadi tidak terlaksana sebagaimana yang



36



Omar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Op.Cit, h. 83 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Op.Cit, h.523-532 38 Muhaimin dkk, Pengembangan Model KTSP Pada Sekolah dan Madrasyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 21-23 37



20



diharapkan, sehingga tujuan pendidikan keIslaman dan budi pekerti menjadi tidak tercapai. Solusi: Menghadapi dilematika yang seperti ini, maka ada banyak solusi yang harus di tawarkan, diantaranya: 1. Kurikulum harus disusun oleh warga sekolah-penyusunan program intra dan ekstra, perumusan indikator,metode, penilaian dan lain-lain, bukan menyusun sendiri SK/KD atau KI/KD, karena ini telah ditetapkan pemerintah- yang mengerti dengan kondisi dan arah tujuan yang diinginkan. Maka pengetahuan dan pemahaman guru terhadap kurikulum harus sama, dapat dimengerti dan siap untuk diimplementasikan. 2. Memfungsikan peran manajemen kurikulum oleh kepala sekolah yang dibantu oleh wakil kurikulumnya, sehingga proses pembelajaran dan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan kurikulum yang dirumuskan. 3. Adanya pengetahuan guru yang memadai terhadap kurikulum serta sikap terhadap kurikulum-keinginan melaksanakannya-, dan dukungan penuh dari guru dan kepala sekolah serta masyarakat39 dan pemerintah/dinas pendidikan sehingga warga sekolah bisa focus untuk pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan sebagaimana yang dikehendaki kurikulum. Kedua, penyusunan dan pengembangan kurikulum yang berbasis value dan integral ke dalam setiap mata pelajaran dalam bentuk perumusan indikator sangat tidak menjadi perhatian terutama dalam kurikulum KTSP serta kurikulum lebih bersifat transfer of knowledge dan information. Kalupun ada penekanan aspek nilai, hanya pada tataran PHBI dan ekstra-itupun serimonial belaka. Hal ini terjadi hampir diseluruh sekolah, terutama yang menggunakan kurikulum KTSP. Karena memang tidak ditemui adanya nuansa nilai (value) pada indikator dari KD mata pelajaran eksak seperti matematika, IPA, kimia, fisika dan sebagainya, muatan value hanya ada pada pembelajaran bahasa Indonesia, IPS, PKN, PAI dan muatan local seperti budaya alam Minang Kabau. Kurikulumnya cendrung bersifat transfer of knowledge, miskin transfer



39



Rusman, Manajemen Kurikulum; Seri Manajemen Sekolah bermutu, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.



74



21



of value-untuk tidak menyatakan tidak ada nuansa nilai-, maka pendekatan yang digunakan cendrung pendekatan mata pelajaran dikotomik. Begitu juga dengan muatan pendidikan nilai dan nilai, integrative dan non integrative cendrung disain kurikulumnya bersifat transfer of knowledge dan information, bukan makna aplikatif dan kontekstual. Sehingga pendidikan nilai tidak lebih dari sekedar memberi pengetahuan tentang nilai yang bersifat kognitif, bukan afektif. Pada hal yang dikehendaki adalah pendidikan nilai dalam makna kontekstual dengan kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dilihat perubahan perilaku peserta didik terhadap penerapannya. Hal ini juga terjadi dalam kurikulum dan pembelajaran PAI dan PKN. Dua problematika ini terjadi hampir sama dengan pandangan yang dikotomis terhadap pendidikan keislaman dan budi pekerti, penyebab munculnya kurikulum yang terpisah dari value pada setiap mata pelajaran serta pendidikan nilai yang tidak kontekstual disebabkan oleh beberapa hal yaitu a) cara pandang yang dikotomik sebagai akibat panjang dari pendidikan guru di PT yang sekuleris-dikotomik, sehingga indikator KD aspek afektif adalah gawenya guru PAI dan PKN, b) cara pandang yang kaku para guru, karena kurikulum yang ditetapkan oleh kemendiknas (dalam bentuk SK-KD) secara eksplisit memang tidak mendeskripsikan atau menarasikan nuasa nilai, c) ketidak mengertiannya seorang guru tentang aspek-aspek yang harus menjadi arah perumusan indikator dan sebagainya, d) ketidak mampuan guru PAI dan PKN serta bidang studi lain mengubah pengetahuan nilai menjadi makna yang kontekstual dan bisa diterapkan langsung sehingga menjadi pengalaman bagi peserta didik, e) rendahnya perhatian pejabat pendidikan terhadap pendidikan nilai, karena evaluasi akhirnya juga tetap menggunakan tes tulis tanpa memandang aspek kognitif atau afektif sehingga hal ini berdampak pada sikap apatis guru dan menyusun-menerapkan kurikulum pendidikan nilai yang ideal dan sebagainya. Problematika penyusunan kurikulum di atas akan memberikan pekerjaan bagi guru PAI dan PKN, karena diberikan beban-pandangan dikotomik kurikulum-menggarap pembelajaran dan pendidikan nilai sepenuhnya. Sementara kurikulum mata pelajaran lain, tidak mendapatkan beban tersebut. Pada sisi lain guru PAI dan PKN kurang mampu mendisain pendidikan nilai yang kontekstual-atau sikap apatis-di sekolah. Akibatnya 22



pelaksanaan pendidikan keIslaman dan budi pekerti menjadi tidak efektif dan efisien karena beban berat dan rintangan yang cukup besar serta tidak mengenai sasaran. Solusi: Maka solusi atas persoalan ini yang bisa ditawarkan adalah 1) pendekatan penyusunan kurikulum harus integral dengan nuansa afektif pada setiap mata pelajaran, 2) memberikan pembinaan dan pemahaman tentang penyusunan kurikulum serta pemaduan antara ilmua eksak dan nilai terhadap tim pengembang kurikulum (TPK), 3) kepala sekolah diberikan pembekalan tentang penyusunan kurikulum integrative, sehingga ia mampu melaksanakan pengawasan penyusunan kurikulum, 4) penyusunan kurikulum integrative nilai harus memberi arah pada pengubahan pendidikan nilai sebagai pengetahuan nilai menjadi makna yang bisa diaplikasikan langsung, sehingga pendidikan nilai tidak bersifat transfer of knowledge dan information. Begitu juga dengan pendidikan PAI dan PKN yang langsung bermuatan pendidikan nilai, 5) sistem penilaian pendidikan nilai harus tepat dengan menggunakan instrument yang sesuai speerti observasi, wawancara atau skala likert, 6) pemerintah (kemendiknas dan dinas pendidikan) beserta kepala sekolah mendorong penyusunan kurikulum berbasis nilai (integrative ilmu dan nilai), 7) melakukan kegiatan-kegiatan yang mendorong perubahan maindsett guru terhadap pendidikan yang dikotomik menjadi integral serta dilengkapi dengan buku-buku petunjuk teknis. 4. Problematika manajemen sekolah. Manajemen sekolah berada sepenuh pada kepala sekolah, kemana sekolah akan di arahkan tergantung kepada kepala sekolah, maka kepala sekolah adalah seorang yang full power, full competency, full actor dan sebagainya. Maka untuk menjadi kepala sekolah harusnya orang yang memang melengkapi persyaratan dan ketentuan. Sehingga ia mampu menjalankan peran dan fungsi sebagai kepala sekolah. Akan tetapi di lapangan sering terjadi problematika sebagai jurang pemisah antara desain and dassolen. Problematika tersebut adalah Pertama, Kompetensi kepemimpinan kepala sekolah yang rendah. Rendahnya kepemimpinan kepala sekolah tentu akan berdampak pada kualitas pendidikan di sekolah. Karena kepala sekolah adalah seorang pemimpin yang bagi Wahyudi adalah motor penggerak dalam kehidupan organisasi, betapapun tingginya tingkat keterampilan 23



dan kinerja yang dimiliki oleh pelaksana kegiatan operasinal-guru dan tenaga kependidikan-tetap memerlukan arahan, bimbingan dan pengembangan. Kemudian seorang pemimpin dihadapkan pada persaingan antara sekolah dan antara lembaga pendidikan lainnya.40 Dan pada kepala sekolahlah peran besar –multi peran- itu dimiliki, ia adalah seorang manajer, supervisor, leader, innovator, educator, administrator, innovator dan motivator.41 Dengan begitu kepemimpinan kepala sangat menentukan kualitas sekolah, bagaimana sekolah di rancang, visi apa yang akan dibawa, bangunan dan kesoliddan organisasi seperti apa yang akan dibangun, semunya ada di tangan kepala sekolah. Dia adalah eksekutor di lembaga pendidikan-sekolah. Besarnya peran, pengaruh dan tanggung jawab kepala sekolah terhadap pendidikan, maka pemerintah memberikan kualifikasi kompetensi yang standar untuk menjadi kepala sekolah yaitu berdasarkan pada Permendiknas nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala sekolah/madrasyah harus memiliki 5 kompetensi yaitu a) kompetensi keperibadian, dengan 6 rincian, b) kompetensi manajerial dengan 16 rincian, c) kompetensi kewirausahaan dengan 5 rincian, d) kompetensi supervisi dengan 3 rincian dan e) kompetensi sosial dengan 3 rincian.42 Maka mengukur rendahnya kompetensi kepala sekolah, secara langsung dapat diketahui dari kompetensi yang dimiliki dan korelasinya dengan permendiknas nomor 13 tahu 2007 di atas. Teramat panjang untuk dideskripsikan tentang bagaimana lemahnya kompetensi kepala sekolah, dari sisi kepribadian saja sudah terlalu banyak problematikaya seperti rendahnya integritas, sulit menjadi teladan, minim pengembangan budaya, tidak terbuka dalam keuangan dan kinerja. Pada wilayah manajerial, tidak paham secara keseluruhan pola kerja dan tanggung jawab sebagai manajer di sekolah serta lain-lain sebagainya. Problematika ini muncul disebabkan oleh banyak hal, yang bersifat mekanis dan kausalis. Adapun penyebab rendahnya kompetensi kepala sekolah dan cara pandang dikotomis diantaranya: a. Sistem rekruitmen kepala sekolah yang tidak tepat dan formalitas, lebih mengedepankan sistem kolusi, korupsi dan politis.



40



Wahyudi, Manajemen Konflik dalam Organisasi; Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 2 41 E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah ….,Op.Cit, h. 98-120 42 Permendiknas nomor 13 tahun 2007 tentang Standard Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasyah.



24



b. Rendahnya kesadaran kepala sekolah untuk melakukan perubahan dan perbaikan komptensi. c. Rendahnya tunjangan kepala sekolah sementara beban berat dipundang luar biasa. Seperti pepatah minang “baban barek sanggulung batu” atau beban berat landsan batau. Beban yang di angkat sangat berat yang harus diletakkan di kepala, tapi alas kepala hanya batu tentu bertambah berat-tanggung jawabnya besar tapi gaji sedikit. d. Rendahnya pembinaan dan pengembangan mutu kepala sekolah oleh pemerintah. e. Sebagai akibat budaya korup pimpinan dan teman sejawat dalam kerja sehingga memunculkan sikap malaisme, tidak percaya diri, tidak progresif sebaliknya memunculkan sikap korup, formalis, prestice, asal bapak senang, hipokrit dan sebagainya f. Sebagai buah pendidikan yang dikotomis selama mengenyam perkuliahan dan praktek dikotomis yang membudaya. Rendahnya kompetensi kepala sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan keIslaman dan budi pekerti tentu menimbulkan problematika yang tidak sederhana terhadap guru PAI dan guru lain sebagai pelaksana. Dan problematika tersebut menciptakan kondisi yang tidak nyaman dan berdampak pada efektivitas pencapaian tujuan. Hal ini sesuai dengan pandangan Cepi Triatna, bahwa iklim sekolah dapat memberikan kondisi yang mendukung atau tidak mendukung terhadap efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Kondisi sekolah yang kondusif akan memudahkan pencapaian tujuan organisasi.43 Maka konflik ini, sejatinya harus dijadikan kekuatan posistif dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan keIslaman dan budi pekerti berupa solusi-solusi yang tepat.



Solusi: Menilik pada problematika di atas, maka solusi sistemik yang bisa di tawarkan adalah: a. Sisi pejabat yang menyeleksi dan mengangkat kepala sekolah harus melakukan halhal yang sangat prinsip yaitu 1) sistem rekruitmen kepala sekolah yang tepat dan objektif, sehingga bisa menghasilkan kepala sekolah yang kompeten. Bukan 43



Cepi Triatna, Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2015), h. 74



25



berdasarkan kepentingan politis, sistem korup serta sistem nepotisme, 2) memberikan pembinaan kompetensi dan peran kepala sekolah sebagai manajer, leader, supervisor, innovator, administrator, edukator dan motivator serta pengawasan secara berkelanjutan dan berkualitas, 3) melakukan penilaian kinerja yang objektif sehingga menghasilkan gambaran tentang bagaimana kepala sekolah bekerja dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, produktivitas sekolah, kelebihan dan kelemahan, serta mengidentifikasi kebutuhan program pembinaan kepala sekolah,44 4) ikut serta mendorong dan menciptakan budaya kerja yang profesional, bersih dan berdidikasi tinggi, bukan sebaliknya justru pejabatnya (Bupati/wakil bupati, Kadis dan seperangkatnya) membudayakan pola kerja yang korup, kerja asal jadi, tuntutan mutu formalitas dan sebagainya, 5) tidak membebankan pekerjaan di luar logika sehat



serta



membantu



melengkapi



standar



nasional



pendidikan



dan



6)



mengalokasikan tunjangan kepalasa sekolah yang memadahi sesuai beban berat yang diberikan sehingga tidak memunculkan budaya korup ditengah-tengah kepala sekolah serta penindakan secara tegas terhadap segala bentuk pelanggaran etik dan hukum. b. Sisi kepala sekolah harus mampu menjadi pribadi dan mengembangkan perannya sebagai manajer, supervisor, leader, innovator, educator, administrator, innovator dan motivator.45 Pengembangan itu dapat dilakukan dengan beragam cara diantara membangun minat dan niat lurus melakukan perubahan, mengikuti kegiatan pembinaan dan seminar tentang manajemen sekolah, banyak membaca buku tentang cara membangun sekolah dan menjadi kepala professional, membangun koneksi dengan pimpinan, bawahan, masyrakat, mitra kerja dan stakeholders lainnya. c. Sisi guru sebagai bawahan, maka solusi yang dapat dilakukan adalah memberikan masukkan dengan elegant dan pendekatan yang beragam, baik individu dan musyawarah atau melakukan sharing tentang pengorganisasi dan pelaksanaan kegiatan kepada kepala sekolah, dapat di motori secara individu atau bersama-sama majlis guru. Kedua, Mentalitas beragama kepala sekolah yang rendah dan dikotomis.



44 45



Karna Husni, Manajemen Perubahan Sekolah, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.264 E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah …Op.Cit, (Rosyda Karya: Bandung, 2007), h. 98-120



26



Seorang teman penulis pernah berucap dan bertanya, beliau bernama Hendri seorang guru bahasa Inggris sekaligus bendahara di salah SMA di dharmasraya “saya heran melihat kepala sekolah saya. Shalat dhuha rajin, tapi makan uang sekolah juga rajin, penampilan super alim tapi perilakunya seperti itu, bagaimana mana menurut pak Ibrahim, tapi diluar dikenal sebagai kepala sekolah sukses….”. Begitu juga dengan curah pengalaman pembinaan kegiatan keagamaan guru-guru PAI di KKG dan MGMP seperti ungkapan berikut ini “kalau datang jadwal kegiatan shalat berjamah, pesantren dan PHBI semuanya diserahkan pada guru PAI, teman-teman sejawat sedikit sekali yang berkenan membantu dan muncul celoteh “itu gawenya guru agama”, kepala sekolah juga begitu, membebankan seluruhnya kepada guru agama, bukan sekedar koordinator.”46 Dua buah contoh statement dan kasus di atas menggambarkan tentang cara pandang pimpinan sekolah terhadap pembinaan keIslaman dan sikap hipokrit untuk memoles perilaku korupnya di tangah-tengah masyarakat, guru, peserta didik dan sebagainya. Kondisi seperti ini tentu berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan keIslaman dan budi pekerti, karena sikap dan cara pandangnya tersebut mempengaruhi motivasi dan dedikasi guru-gurunya termasuk guru PAI. Sehingga dalam pendidikan keIslaman dan budi pekerti menjadi sesuatu problematis. Apalagi jika sekolah tidak memiliki sistem kontrol perilaku peserta didik yang mengikat dalam bentuk kegiatan pembinaan dan aturan berperilaku di sekolah yang sistematis dan sinergis serta terencana denga baik. Maka yang terjadi adalah sekolah tidak mampu menciptakan perilaku peserta didik yang mulia-akhlakul karimah. Jika alasannya, adalah pembagian tugas. Maka sejatinya dalam pembagian tugas atau pengorganisasian harus di dasarkan pada kekuatan, kemampuan dan kelemahan.47 Pada sisi yang lain, pembagian tugas dalam makna perorganisasian harus mempertimbangkan pada sifat dan beban tugas yang diberikan, analisis SDM yang dibutuhkan dalam pekerjaan, kemampuan SDM yang ada, serta bekerja secara sistemik dan menciptakan kondisi yang nyaman. Sehingga menurut Syafaruddin, dengan



46



Dua pernyataan di atas, benar adanya dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Hanya saja penulis lupa tanggal berapa pastinya statement itu, karena memang hal yang seperti itu sesuatu yang lumrah terjadi di sekolah-sekolah umum negeri, walaupun tidak seluruhnya.. 47 Dachnel Kamars, Administrasi Pendidikan; Teori dan Praktik, (Padang: UPI Press, 2004), h. 52



27



pengorganisasian memungkinkan seseorang dapat bekerja dengan baik. 48 Tetapi cara pandang yang dikotomis dalam pendidikan keIslaman dan budi pekerti, justru menciptakan iklim yang tidak sehat karena pekerjaan yang tidak sistemik sinergis, menciptakan konflik internal serta baik secara gagasan maupun emosional majelis guru dan pimpinan serta terganggunya pencapaian tujuan pendidikan keislaman dan budi pekerti serta visi sekolah. Sejatinya, setiap guru dan kepala sekolah mengemban tugas mendidik disebabkan profesi profesional mereka sebagai guru atau pendidik dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.49 Maka, setiap guru memiliki tanggung jawab dalam membina budi pekerti setiap peserta didik serta tampil sebagai teladan bagi peserta didiknya. Adapun sistem yang dipakai tentu merujuk pada agama masing-masing, jika mereka beragama Islam maka yang dikembangkan tentu nilai-nilai budi pekerti yang sesuai Islam-mesti tidak elergi dengan nilai Islam. Dan nilai-nilai budi pekerti pada Islam-akhlak- tidak akan mencederai agama lain atau bangsa ini, karena ia bersifat rahmatalil ‘alamin. Perilaku hipokrit, korup, serta cara pandang pembinaan keIslaman yang dikotomik tidak akan pernah menghantarkan suatu sekolah menjadi berkualitas, berkarakter, bersaing dan berdedikasi tinggi. Sebaliknya, justru menjadikan sekolah selalu terpuruk dari sisi kualitas akademik dan moral apalagi beragama. Kepala sekolah seperti ini muncul dari: a. Sistem rekruitmen kepala sekolah yang tidak tepat dan formalitas, lebih mengedepankan sistem kolusi, korupsi dan politis, tidak mempertimbangkan kompetensi yang dipersyaratkan. b. Rendahnya kesadaran kepala sekolah untuk melakukan perubahan dan perbaikan beragama dan sikap beragama serta sikap puas dengan ilmu yang ada tanpa mau menambah dengan membaca. c. Rendahnya pembinaan dan pengembangan mutu kepala sekolah oleh pemerintah yang berbasis religius, kecuali formalitas belaka.



48 49



Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 71 Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab 1 padal 1



28



d. Sebagai akibat budaya korup di level pimpinan dan teman sejawat dalam kerja, sehingga memunculkan sikap hipokrit, yang penting “berpandai-pandai” serta anggapan sekolah adalah ladang subur untuk mengais rezki dari iuran dan uang sekolah. Akan tetapi hal ini sulit diungkap karena bersifat massif dan terencana. e. Sebagai buah pendidikan yang dikotomis selama mengenyam perkuliahan dan praktek dikotomis yang membudaya. Sehingga pendidikan keagamaan adalah urusan dan sepenuhnya diserahkan pada guru PAI, akhirnya tidak terjadi sinergisitas dalam kerja dan cara pandang. Solusi: Menilik pada problematika di atas, maka solusi sistemik yang bisa di tawarkan memiliki kesamaan dengan problematika rendahnya kompetensi pendidikan adalah: a. Sisi pejabat yang menyeleksi dan mengangkat kepala sekolah harus melakukan halhal yang sangat prinsip yaitu 1) sistem rekruitmen kepala sekolah yang tepat dan objektif, sehingga bisa menghasilkan kepala sekolah yang kompeten. Bukan berdasarkan kepentingan politis, sistem korup serta sistem nepotisme, 2) memberikan pembinaan kompetensi dan peran serta mentalitas spritualitas kepala sekolah secara berkesinambungan, 3) melakukan penilaian kinerja yang objektif sehingga menghasilkan gambaran tentang bagaimana kepala sekolah bekerja dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, produktivitas sekolah, kelebihan dan kelemahan, serta mengidentifikasi kebutuhan program pembinaan kepala sekolah, 4) ikut serta mendorong dan menciptakan budaya kerja yang profesional, bersih dan berdidikasi tinggi, bukan sebaliknya justru pejabatnya (Bupati/wakil bupati, Kadis dan seperangkatnya) membudayakan pola kerja yang korup, kerja asal jadi, tuntutan mutu formalitas dan sebagainya, 5) tidak membebankan pekerjaan di luar logika sehat serta membantu melengkapi standar nasional pendidikan, 6) mengalokasikan tunjangan kepala sekolah yang memadahi sesuai beban berat yang diberikan sehingga tidak memunculkan budaya korup di tengah-tengah kepala sekolah serta penindakkan secara tegas terhadap segala bentuk pelanggaran etik dan hukum, 7) melakukan kerjasama dengan lembaga perguruan tinggi Islam untuk memberikan pencerahan tentang konsep Islam dalam ilmu-tidak ada pemisahan ilmu umum dan agama-serta pandangan Islam pendidikan yang full value bukan free value. 8) serta 29



memberikan pembinaan dan pengarahan secara terencana dan sistematis untuk mengarahkan kepala sekolah melakukan kegiatan-kegiatan dan ritual keagamaansesuai agamanya masing-dengan tujuan memperbaiki dan menumbuhkan perilaku bersih dalam bekerja, sehingga keimanannya menjadi dasar dan pengawas dalam pekerjaannya sebagai pendidik dan kepala sekolah. b. Sisi kepala sekolah harus mampu menjadi pribadi dan mengembangkan perannya sebagai manajer, supervisor, leader, innovator, educator, administrator, innovator dan motivator serta melihat sekolah sebagai sebuah organisasi yang sistemik. Pengembangan itu dapat dilakukan dengan beragam cara diantara membangun minat dan niat lurus melakukan perubahan, mengikuti kegiatan pembinaan dan seminar tentang manajemen sekolah, banyak membaca buku tentang cara membangun sekolah dan menjadi kepala professional, membangun koneksi dengan pimpinan, bawahan, masyrakat, mitra kerja dan stakeholders lainnya. c. Sisi guru sebagai bawahan, maka solusi yang dapat dilakukan adalah memberikan masukkan dengan elegant dan pendekatan yang beragam, baik individu dan musyawarah atau melakukan sharing tentang pengorganisasi dan pelaksanaan kegiatan kepada kepala sekolah, dapat di motori secara individu atau bersama-sama majelis guru. 5. Problematika sarana dan prasarana sekolah. Sarana dan prasarana sekolah merupakan semua fasilitas yang mendukung kegiatan pendidikan di sekolah. Bagi Asnawir, sarana merupakan fasilitas sekolah yang langsung mendukung atau digunakan untuk kegiatan pembelajaran atau pendidikan di sekolah. Sementara prasarana adalah segala fasilitas yang berguna bagi pendidikan dan digunakan secara tidak langsung.50 Dengan begitu, keberadaan sarana dan prasarana di sekolah sangat membantu pelaksanaan pembelajaran guna memudahkan pencapaian tujua pendidikan dan pembelajaran. Melihat eksistensi sarana dan prasarana sekolah yang urgen, maka kekurangan dan ketiadaannya menjadi persoalan atau problematika dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, begitu juga dengan pendidikan Islam dan budi pekerti. Problematika tersebut adalah minimnya sarana dan prasarana sekolah dalam hubungan pendidikan keislaman 50



Asnawir, Admistrasi Pendidikan, (Padang: IAIN IB Press, 2004), h. 285



30



dan budi pekerti seperti kondisi atau tidak adanya mushalla/masjid di sekolah, kondisi yang kurang atau tidak adanya labor PAI, begitu juga dengan prasarana sekolah seperti tidak adanya atau kurangnya manajemen kantin kejujuran untuk pendidikan budi pekerti anak, kurangnya tong sampah, buruknya atau kurangnya jumlah WC peserta didik di sekolah, ketersediaan air yang kurang dan sebagainya. Tanpa adanya mushalla dan WC serta air, maka pendidikan keIslaman seperti gerakan shalat zhuhur berjamaah menjadi terkendali. Sehingga efektivitas dan efisiensinya pelaksanaanya menjadi tidak optimal, begitu juga dengan pendidikan budi pekerti tentang kebersihan, sulit rasa menerapkan tanpa dibarengi dengan seperangkat alat kebersihan seperti sapu, tempat sampah dan sebagainya begitu seterus. Problematika ini muncul di sekolah disebabkan oleh banyak hal, diantaranya a) fungsi perencanaan (planning), pembagian kerja (organizing), pelaksanaan (actuanting), arahan (directing), pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluating) tidak berjalan dengan baik di tangan kepala sekolah seperti ada direncanakan tapi anggarannya dibelokkan pada yang lain dan lain sebaginya, b) Budaya korup warga sekolah dan pendidikan (baik panitia, pimpinan sekolah maupun pimpinan di atasnya), terlihat saat mendapatkan bantuan (proyek) pembangunan di sekolah, sehingga hasil proyeknya tidak tahan lama karena anggaran dan spesifikasi bangunannya yang dikurangi, c) tidak ada iniasiatif yang kreatif dan inovatif dari guru PAI dan PKN sebagai guru dengan bidang studi paling banyak dan langsung membicarakan tentang keIslaman dan budi pekerti untuk mencanangkan labor PAI atau labor budi pekerti. Sehingga terkesan bidang studi PAI dan budi pekerti tidak membutuhkan labor, d) minimnya peran serta masyarakat sebagai akibat tidak berfungsi dengan baik manajemen hubungan masyarakat di sekolah, dan e) perhatian pemerintah dan dinas terkait yang tidak merata dan korup, karena tidak bisa dipungkiri ada sekolah yang setiap tahun mendapat perhatian penuh berupa beragam bantuan dana, sementara sekolah lain sudah belasan tahun tidak mendapatkan kucuran dana pembangunan. Kondisi yang seperti ini, tentu tidak boleh di biarkan dan didiamkan. Harus dilakukan berbagai upaya untuk mengentaskan segala problematika ini. Jika tidak tentu pendidikan keIslaman dan budi pekerti pada sekolah akan mengalami banyak kendala dan rintangan sehingga tujuan pendidikan dibidang agama dan budi pekerti sulit tercapai 31



dengan baik. Maka tidak heran, jika anak nilai PAInya 90 sementara ia tidak pernah shalat atau nilai PKN atau MTK anak 90 sementara ia selalu mencuri uang teman atau tidak membayar belanjanya di kantin sekolah dan sebagainya. Akan tetapi tentu keberadaan sarana dan prasarana adalah penyebab mutlak kebaikan atau ketidakbaikkan perilaku anak. Melainkan sebagai faktor yang sangat mempengaruhi di samping faktor lain dalam keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan keIslaman dan budi pekerti di sekolah. Solusi: Sarana merupakan harga mati untuk sebuah pendidikan di sekolah, begitu pula peran prasarana yang memiliki arti penting. Maka minimnya sarana dan prasarana yang berhubungan dengan pendidikan keIslaman dan budi pekerti harus dituntaskan melalui beberapa cara yaitu: a. Mengefektifkan fungsi manajemen sarana dan prasarana sekolah, dimana perannya menurut E. Mulyasa adalah mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan manajemen sarana dan prasarana ini dimulai dengan kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan, iventarisasi, penghapusan serta penataan51, termasuk penggunaanya. b. Sumber dananya bisa berasal dari uang bos untuk hal-hal yang bersifat bahan habis pakai, iuran komite untuk hal-hal yang bersifat pembangunan serta bantuan dana bantuan dari pemerintah seperti DAK atau dari bantuan desa dan nagari. c. Membangun sarana dan prasarana yang memnuhi ketentuan seperti 1) lengkap, siap dipakai, kuat dan tahan lama, 2) rapi, indah, bersih, anggun dan asri, 3) kreatif. Inovatif, responsive dan variatif sehingga mampu merespen imajinatif peserta didik dan 4) pembangunan mushalla yang sesuai dengan perkiraan masa depan dan dilengkapi dengan labor PAI.52 d. Membangun semangat majelis guru dan masyarakat dalam membangun kantin sekolah berbasis kejujuran.



51



E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja RosydaKarya, 2007), h. 49-50 52 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 171



32



e. Membangun kerjasama dan koneksitas yang baik dengan dinas pendidikan dan instansi terkait, guna mendapatkan bantuan yang berhubungan dengan pengadaan dan pembangunan sarana dan prasarana yang berhubungan dengan pendidikan keIslaman dan budhi pekerti. 6. Problematika Pengkatan dan Kebijakan Pejabat Pemerintah serta IT dalam hubungan dunia pendidikan-PAI. Rekruitmen pejabat dikalangan pemerintahan khususnya di bidang pendidikan sering tidak memenuhi harapan idealnya. Sehingga berdampak pada kebijakan yang dihasilkan tentang pendidikan yang cendrung tidak menyelesaikan persoalan, kalau tidak justru menambah persoalan, begitu juga tentang sistem informasi dan komunikasi yang semakin maju dan bebas tanpa mengenal norma susila dan agama. semua ini menimbulkan beraga persoalan. Berikut ini akan dijelaskan beberapa persoalan tersebut, diantaranya adalah Pertama, perekrutan dan penetapan pejabat dari level sekolah hingga kementrian cendrung tidak berdasarkan prinsip the right man and the right place (kepada yang ahlinya) melainkan pendekatan politis praktis dan money politik. Hal ini bukan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan politis dalam pendidikan merupakan sesuatu yang harus akan tetapi bukan pendekatan politik praktis. Politik pendidikan memiliki tujuan untuk merebut kekuasaan guna menyelamatkan pendidikan dan nilai luhurnya dan tentunya berdasarkan ideologi pancasila yang misi tergambar dalam lima sila. Politik dan pendidikan menurut Syfaruddin, dua hal yang saling membutuhkan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat, adil, maju, sejahtera dan cerdas.



53



Pendidikan



memberikan kontribusi dalam bentuk penyiapan actor politik yang integritas, loyal serta menyiapkan massa politik, sementara politik memiliki kekuatan untuk menata pendidikan. Lebih jelas M. Rozi menyebutkan bahwa Negara memiliki kekuatan untuk mengontrol pendidikan melalui empat cara yaitu 1) sistem pendidikan diatur secara legal, 2) dijalankan dengan mekanisme birokrasi, 3) penerapan wajib pendidikan, dan 4) reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah dalam konteks politik



53



Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidika;Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 57



33



tertentu.54 Artinya kekuatan politik sangat berpengaruh besar dalam Negara yang berbasis hukum ini. Karena hukum, baik dalam bentuk undang-undang, PP, permen sampai dengan perda keluar dari pemegang kekuatan politik baik di eksekutif dan legislatif. Persoalannya adalah orang yang menduduki jabatan politik itu terutama yang berhubungan dengan pendidikan, diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan prinsip yang benar serta ambisius kekuasaan semata. Sehingga hal ini berdampak pada kebijakan dan aturan pendidikan yang terkadang tidak edukatif dan menyelesaikan persoalan pendidikan-justru memperparah dunia pendidikan. Kompetensi yang tidak mumpuni, serta beramai-ramai membangun budaya hipokrit, korup, kerja asal jadi serta untung rugi terhadap finasialnya sendiri-sendiri. ini mulai dari kepala sekolah hingga kementrian pendidikan-meskipun tidak semuanya. Menurut hemat penulis, problematika ini sudah dapat dimaklumi, sebagai penyebab terbesar kehancuran pendidikan. Dampak dari pejabat seperti ini sudah dijelaskan sebahagiannya dalam uraian tentang rendahnya kompetensi kepala sekolah beserta solusinya Kedua, kebijakan nilai kuantitatif sebagai target keberhasilan sekolah cedrung mendapat perhatian penuh ketimbang sisi afektif. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Rivai dan Sylviana bahwa pradigma materialistikpun menjadi indikator keberhasil belajar murid hal ini tergambar pada kebijakan UN –kognitif semata-sebagai penentu kelulusan atau pemetaan, sementara aspek pembentukan kepribadian yang utuh dalam diri murid tidak pernah menjadi keberhasilan murid,55 atau- lebih tepatnyapelaksanaannya terkesan acak-acakan dan diserahkan kepada sekolah yang sudah dibalut oleh perilaku kebohongan, sehingga gema penilaian kepribadian tidak seperti UN yang menghabiskan anggaran pemerintah dalam jumlah yang sangat fantastis-hanya sekedar melihat kemampuan kognitif semata, sementara prosesnyapun penuh dengan praktek kebohongan. Persoalan ini tentu tidak terlepas dari sejarah panjang dikotomi ilmu dengan praktek sekulerisme pendidikan di Indonesia di negeri lain, sehingga agama dan nilai



54



M. Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 63-64 55 Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 39



34



sesuatu yang harus dipisah dengan sains. Pada perjalanannya, mereka yang mengenyam pendidikan yang sekuleris baik dinegara ini atau negara lain kemudian punya kesempatan menjadi menteri pendidikan-belum lagi latar belakang pendidikannya non kependidikan-, dan mengeluarkan kebijakan pendidikan yang juga sekuleris bahkan miskin nilai dan action.56 Pada sisi lain, tingginya pengaruh ideology materialistic sekulerisitik dalam dunia pendidikan yang mendapat tempat dalam pendidikan yang sekuleris menjadi penyebab persoalan ini . Ini terbukti adanya sistem evaluasi nasional-UN-sebagai pemetaan mutu pendidikan yang menekankan pada angka dan aspek kognitif, sementara aspek kepribadian, budi pekerti, akhlak atau karakter tidak mendapat tempat yang terhormat dalam sistem evaluasi pendidikan nasional. Meskipun isyarat ini telah di atur dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan undang-undang nomor 14 tahu 2005 tentang guru dan dosen. Secara nasional saja, mekanisme penilaian keberhasilan belajar peserta didik saja sudah sangat materialistis dan kognitifisme (mengedepan aspek kognitif) apalagi di berbagai kabupaten dan kota, tentu tidak jauh berbeda, jika tidak lebih hancur. Tingginya perhatian pemerintah sistem penilaian yang menitik beratkan pada aspek kognitif dan materialis, menimbulkan problematika lain dalam pembelajarn yaitu 1) menghilangkan makna paradigm baru pendidikan yaitu pembelajaran dan pendidikan menjadi kegiatan mengajar –paradigma lama-sebagai upaya mengisi kognisi peserta didik sebanyak-banyak, sehingga peserta didik menjadi banking cognition yang harus di isi penuh, 2) mengubah materi pembelajaran yang bersifat afektif (nilai) menjadi pengetahuan afektif yang miskin action-pemerkosaan terhadap pembelajaran afektif, 3) menggunakan prinsip kejar target untuk menghadapi ujian nasional-ujian kognitif-, sehingga pembelajaran cendrung menggunakan pendekatan dan metode tradisonal yaitu metode ceramah. Solusi: 56 Meskipun sekarang sedang digalakkan tentang kurikulum 2013 yang mengedepan aspek nilai (karakter) dalam pendidikan, akan tetapi sistem evaluasinya masih dibalut dengan ketidak jelasan dan kerumitan. Sebagai akibat rancangan dan pelatihan yang tidak berhasil, sehingga pada akhirnya juga melahirkan nilai karakter bohongasal-asaln. Perilaku kebohongan nilai ini, juga tidak terlepas dari dikotomik atau sekulerisme pendidikan yang kemudian menimbulkan tambahan kerja bagi guru bidang studi sains saat berlakunya kurikulum 2013 sehingga menambah pekerjaan mereka.



35



Solusi yang bisa ditawarkan dalam menyikapi persoalan ini adalah 1) menyusun secara intens tentang sistem penilaian afketif, karena memang sistem penilaian ini sulit akan tetapi bisa dilakukan dengan syarat instrument yang digunakan harus dapat dipahami oleh peserta didik, objektif dalam penilaian-instrumen indenpenden dari korektor, valid dengan cara instrument harus memberikan informasi tentang karakteristik yang didesain dan diukur, reliabilitas-instrumen bisa konsisten dlam berbagai situasi dan interpretabilitas-instrumen harus memberikan informasi yang dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,57 2) mengalokasikan dana dalam APBN dan APBDdana yang dibtuhkan sangat besar-, karena pendidikan termasuk salah satu aspek yang diotonomikan menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, 3) mengubah maindset pejabat pemerintah tentang pentingnya dan mendesaknya untuk memprioritaskan keberhasilan pendidikan nilai yang sinergis dengan aspek kognitif dan psikomotor, 4) melakukan pembinaan mentalitas dan menyiapkan generasi aparatur yang punya integritas dan bersih, bukan korup atau upaya lain yang dapat memutus mata rantai regenerasi budaya korupsi, 5) dan merekrut dan meletakkan pejabat dibidang pendidikan dari sekolah hingga kementrian dengan prinsip meristokrasi-the right man and tha right place, dan 6) melakukan konslidasi, koordinasi dan evaluasi secara intes dan keterbukaan terhadap sistem penilaian afektif. Ketiga, kebijakan mengajar 24 jam dalam hubungan jam wajib dan sertifikasi menimbulkan boomerang bagi guru dan kekacauan dunia pendidikan. Kebijakan pemerintah jam wajib mengajar guru setifikasi ini di atur dalam Permendiknas nomor18 tahun 2007 tentang sertifikasi lebih terang disebutkan “Guru Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Pemerintah yang telah memiliki sertifikat pendidik, nomor registrasi guru dari Departemen Pendidikan Nasional, dan melaksanakan beban kerja guru sekurangkurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam satu minggu berhak atas tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok yang dibayarkan melalui APBN terhitung mulai bulan Januari pada tahun berikutnya setelah memperoleh sertifikat pendidik.58



Muntholi’ah dkk, Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Islam, (Semarang: Rasail Media Group, 2010), h. 233-234 58 Permendiknas no 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru, pasal 6 57



36



Jika diamati praktek dilapangan tetap kebijakan pemerintah terkait jam wajib mengajar guru-guru sertifikasi-termasuk guru PNS yang 24 jam, justru menjadikan guruguru tidak menjalankan tugas utama sebagai guru yaitu mendidik, melainkan sebatas mengajar itupun tidak tergaransi keprofesionalannya. Hal ini disebabkan oleh terkurasnya energy guru dalam perjalanan antara sekolah tempat tugas dengan sekolah lain sebagai tempat mencari tambahan jam-karena disekolah induk tidak mendapatkan jam yang cukup-belum lagi beban pikiran menyikapi tuntutan administrasi yang beragam sebanyak sekolah yang dijelajahi beserta tingkat hiperaktif peserta didik yang luar biasa dan lain sebagainya. Maka sesungguhnya, kebijakan mengajar 24 wajib bagi guru sertifikasi menjadikan persoalan baru dunia pendidikan, yang sejatinya untuk meningkatkan mutu pendidikan akan tetapi yang terjadi sebaliknya. Belum lagi pendidikan nilai yang harus terbunuh-sebagai tugas utama guru-karena mengejar jumlah jam mengajar. Hal ini terjadi pada semua guru termasuk guru PAI dan PKN, ini tentu mencederai pendidikan nilai yang sesungguhnya serta menimbulkan problematika pendidikan keIslaman dan budi pekerti, belum lagi kegiatan ekstra keIslaman. Kebijakan mengajar 24 jam-wajib, jika menginginkan tunjangan professionalmemunculkan sebuah selogan “tunjangan setifikasi tunjangan malang”. Karena ini kenyataannya, berapa banyak guru yang mengalami kecelakaan karena membawa kendaraan dalam keadaan stress dan tergesa-gesa disebabkan dua sekolah yang memiliki jarak yang jauh-upaya untuk tidak terlambat, bahkan berakhir di mobil ambulan. Atas segala kenyataan ini, maka pemerintah sudah seharusnya berpikir jernih bukan berpikir menindas dengan dalih meningkat mutu pendidikan dan kesejahteraan guru Solusi: Persoalan ini menuntut adanya solusi yang cepat dan tepat, berpihak pada guru dan pendidikan. Banyak solusi yang bisa dilakukan menurut kedudukan setiap unsur, diantaranya: 1. Dari sisi kemendiknas, segera merubah atau mengganti permendiknas no 18 tahun 2007 dengan mengurangi beban jam mengajar guru dari 24 jam atau menetapkan jam minimal di bawah 24 seperti 18 jam kemudian sisa yang 6 dikonversikan pada kegiatan pembinaan budi pekerti dan keagamaan di sekolah dalam bentuk kegiatan



37



yang terprogram dengan baik.59 Ini jauh lebih bermakna dilihat dari sisi kekuarangan jam dan tugas mendidik yang terkebiri. 2. Guru perlu menggalang dan memfungsikan kekuatan organisasi profesi sehingga menjadi suatu kelompok yang memiliki kekuatan yang melakukan pembelaan dan lobi serta tekanan (pressure group)60 kepada lembaga pemerintah dan DPR untuk guru dan pendidikan. 3. Presiden dan DPR sudah seharusnya mengevaluasi kebijakan kemendiknas terkait permendiknas nomor 18 tahun 2007, didasarkan pada fakta yang terjadi jika benarbenar pemerintah memperhatikan dunia pendidikan atau Presiden memilih mentri pendidikan yang memiliki perjuangan dan integritas tinggi untuk menyelamatkan pendidikan dan guru di Indonesia, jadi tidak sekedar komuflase belaka. Keempat, pemerintah tidak menetapkan kebijakan dan melakukan filterisasi yang serius terhadap penyiaran informasi dan hiburan, baik dunia televisi maupun dunia maya dalam hubungan dunia pendidikan. Filterisasi kemajuan dunia komunikasi dan informasi dirasa perlu karena akhir-akhir ini, kemajuan tampa batasan ini pada akhir cendrung terjadi penyalah gunaan digunakan oleh generasi muda dan pelaku bisnis untuk tujuan merusak moral, bertendensi kriminal dan sebagainya.61 Karena besarnya arus penyimpangan dan penyalahgunaan inilah, pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan dan filterisasi ketat, sehingga generasi muda selamat dari kerusakan moral di tengah negari yang berbasis agama ini. Dampak besar dari kebebasan penggunaan dunia komunikasi dan informasi bisa terlihat dengan mudah data dari hasil survei yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2010, dimana terdapat 51 % pelajar SMP dan SMA di Indonesia telah melakukan hubungan pranikah, misalnya saja di Bandung tercatat 54 %, di Medan sebanyak 52 % dan di Surabaya tercatat 54 % pelajar telah melakukan hubungan seksual pranikah.62 Dan pada tahun 2013 sesuai laporan Departemen Kesehatan dan Pusat Kajian Perlindungan anak yang 59



Ini menjadi salah satu solusi yang ditawarkan oleh Prof.Dr. H. Zulmuqim, M.A. dalam perkuliah filsafat pendidikan Islam ketika membicarakan tentang program sertifikasi guru beserta jam wajibnya dengan segenap persoalannya. 60 H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan…, Op.Cit, h. 105 61 Amiie Primarni dan Khairunas, Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter Paripurna, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2013), h. 16 62 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Quran (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2012) h.23.



38



menyebutkan ada sekitar 4 juta situs porno, dan telah diakses oleh 97, 2 % siswa SMU dan perilaku sek bebas dilakukan oleh 62,1 % bahkan yang paling mengerikan ada sekitar 45.000 anak yang menjadi pelacur berkisar 30 % dari total pelacur yang berjumlah 150.000 orang.63 –dua data di atascendrung mengalami peningkatan, belum lagi pada tahun 2020 jika persoalan tidak entaskan tentu menjadi malapetaka besar, lebih besar dari sekedar kasus pembunuhan dan narkoba. Semua ini tidak terlepas dari effect dari informasi teknologi indformasi baik dunia maya maupun elektronik /TV yang memberikan informasi yang tidak mendidik. Serta ditopang oleh budaya pergaulan bebas, materialistis dan hedonism yang semua ini diserukan melalui dunia informasi terutama media elektronik dan dunia maya (internet). Semua ini menandakan gagalnya dan tidak mampu pemerintah melakukan filterisasi secara ketat terkait dengan situs-situs porno dan penyiaran film atau sinetron atau tayangan lain seperti musik, yang merusak moral anak bangsa. Jika dilevel pemerintahan pusat saja, tidak mampu melakukan filterisasi secara ketat terhadap situs porno dalam internet dan siaran TV yang tidak educative ditambah majalah porno, bagaimana daerah mampu melakukan filterisasi karena memang bukan tanggung jawab dan wewenangnya. Sehingga hal ini menimbulkan persoalan yang tidak sepele terhadap pembinaan keIslaman dan budi pekerti peserta didik di sekolah. Sekolah hanya mampu menjegah peserta didik untuk tidak membawa handphone jenis smartphone atau handphone terkoneksi dengan internet di sekolah. Sementara di rumah tidak bisa lagi, kecuali pengawasan orang tua, ditambah lagi dengan siaran televisi terutama sinetron dan musik yang cendrung tidak mendidik. Maka menjadi kompletlah problematika pendidikan keIslaman dan budi pekerti di sekolah. Atas dasar rendahnya filterisasi dan kebijakan penggunakan handphone dikalangan anak sekolah, ini menandakan pemerintah tidak memiliki perhatian yang serius dan menyelesaikan persoalan pendidikan moral bangsa ini. Kecuali sebatas jargon politik semata atau pencitraan, kemudian berpura-pura terkejut dengan laporan perilaku pasarta didik dan anak remaja Indonesia di bidang pergaulan bebas, hamil diluar nikah, aborsi, pembunuhan dan sebagainya.



63



Data ini adalah hasil survei departemen kesehatan dan data Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), yang dimuat di harian singgalang, edisi 31 Maret 2013, halaman satu (depan).



39



Problematika ini sesungguhnya disebabkan atas beragam penyebab, diantaranya 1) ketidaksiapan pemerintah memasuki arena kekebasan dan kemajuan teknologi dan informasi dari sisi moral dan kebijakan, 2) ketidakmampuan pemerintah membangun konsep hak asasi manusia yang berbasiskan pancasila, 3) rentetan akibat panjang dari pandangan sekulerisme tentang nilai dan ilmu, 4) munculnya pejabat pemerintah yang bermental rusak dan mementingkan keuntungan materi belaka, 5) pelaksanaan hukum dan pendidikan yang gagal membentuk manusia yang bermoral dan beragam latar belakangnya. Solusi: Menyikapi persoalan filterisasi dan penyalahgunaan informasi dan komunikasi, maka dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu 1) membangun konstuksi dan menyiapkan perundang-undangan yang mapan dan tegas terkaitkan filterisasi informasi dan komunikasi, 2) menjalin kerjasama filterisasi informasi dan komunikasi situs porno dan tayangan yang tidak mendidik dengan produsennya dengan mengedepankan kedaulatan Negara dalam rangka menjaga dan menyiapkan generasi yang bersih bagi bangsa dan Negara, 3) mendorong dan membangun teknologi informasi dan komunikasi sendiri berbasis pada nilainilai pancasila, 4) penegakkan hukum dalam dunia komunikasi dan informasi serta perilaku amoral dan asusila, 5) membangun budaya dan hukum terkait kebebasan hak asasi manusia berbasis pancasila serta menolak cara pandang dan budaya barat yang mengarah pada pergaulan bebas serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama, 6) membangun kesatuan konsep dan sinergisitas dalam menangani persoalan ini dengan segena pemerintahan daerah, 7) membangun pendidikan yang holistic, serta menggerakkan pendidikan nilai berbasis agama dan budaya luhur bangsa sebagai upaya membentengi generasi bangsa terhadap pengaruh budaya barat yang luar biasa dan berpijak pada ideologi sekuler, 8) membangun konsep keilmuan yang holistic dan full value, sebagai bentuk upaya membangun bangsa dengan iptek dan imtak, 9) menurut Yusuf Hadi, perlu membangun televisi pendidikan yang memiliki prasyarat yaitu program siaran diusahakan sesuai dengan kebutuhan khalayak yang dituju, isi siaran harus sesuai dengan nilaia-nilai budaya bangsa Indonesia, memiliki program yang jelas dan terarah serta siaran harus serasi dengan pola tindak yang ada pada masyarakat,64 serta perlunya dibangun sistem informasi dan komunikasi khusus dibidang pendidikan yang full value berbasis pancasila, dan 10) menjadikan pendidikan agama Islam 64



Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 418



40



sebagai core pengembangan pendidikan di sekolah melaui dua bentuk yaitu nuansa vertical seperti puasa senin kamis, gerakan infak, gerakan shalat berjamaah dan sebagainya serta nuasa horizontal seperti hubungan baik antara atasan dan bawahan, guru sesama guru,65 peserta didik dengan teman dan guru, membangun gerakan kejujuran, gerakan peduli sosial dan sebagainya. C. Penutup Uraian panjang tentang analisis problematika pendidikan Islam ini, sesungguhnya memberikan sebuah kenyataan yang membuktikan problematika-problemtika besar dan massif yang dirasakan dan dihadapi oleh pendidikan Islam di sekolah-sekolah hingga saat ini. Problematika tersebut bersifat kausalitas dan sistemik dengan titik tekan sistem dan budaya korup, rendahnya kompetensi dan manajemen serta cara pandang yang dikotomis dan melibatkan unsur-unsur pendidikan baik di sekolah sebagai skala kecil maupun pemerintahan dalam skala besar serta sejarah kelam pendidikan nilai, kesemuanya tidak bisa dipisahkan karena menjadi mata rantai-historical education- pendidikan di Indonesia dan dunia Islam. Atas kondisi yang seperti ini, maka adalah kebutuhan yang sangat mendesak untuk dicarikan solusinya. Adapun solusi yang diketengahkan dalam tulisan ini, lahir dari semangat idealisme serta berdasarkan analisis filosofis, sistemik dan kontektual yang sulit untuk diterapkan pada masa kini-akan tetapi masih ada harapan-, ditengah keterpurukan moral pelaku pendidikan-human error-, baik dari sisi pendidik, pimpinan lembaga pendidikan dari sekolah hingga kementrian pendidikan termasuk para eksekutif negeri ini. Dunia pendidikan Indonesia dan Pendidikan Islam sebagai sub sistem, sesungguhnya



mengharapkan



munculnya



pahlawan-pahlawan



pendidikan



yang



memperjuang pendidikan dalam makna yang sesungguhnya. Mulai dari pendidik hingga dosen, maupun eksekutif pendidikan dari level daerah hingga nasional. Semoga harapan itu segara datang menyelamat pendidikan di Indonesia, setidaknya setiap pribadi sarjana pendidikan mengambil bahagian untuk ikut berusaha menuntaskan problematika ini sesuai kapasitasnya masing-masing.



65



Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam…, Op.Cit, h. 107-108



41



DAFTAR REFERENSI



Aan Komariah dan Tim Dosen UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009) Amie Primarni dan Khairunas, Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter Paripurna, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2013) Amri Syafri, Ulil, Pendidikan Karakter Berbasis al-Quran (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2012) A.R. Tilaar, H., Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) Asnawir, Admistrasi Pendidikan, (Padang: IAIN IB Press, 2004) Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium ke III, (Jakarta: Kencana, 2012) Baharuddin dkk, Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan Implikasinya pada Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2011) Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja RosydaKarya, 2008) Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2007) Husni, Karna, Manajemen Perubahan Sekolah, (Bandung: Pustaka Setia, 2015) Ibrahim, Lingkaran Setan Dunia Pendidikan Indonesia; Sebuah Refleksi Hari Pendidikan Nasional, (Padang: Rakyat Sumber, 2015), terbit pada hari sabtu 2 Mei 2015. Kamars, Dachnel, Administrasi Pendidikan; Teori dan Praktik, (Padang: UPI Press, 2004) Kunandar, Guru Profesional; KTSP dan Persiapan Mengh\adapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Press, 2007) Lickona, Thomas, Education For Character; Mendidik Untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006) Miarso, Yusufhadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2005) Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Omar, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) Muhaimin, Nunsa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) --------------------, Rekonstruksi Pendidikan Islam; dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) Muhaimin dkk, Pengembangan Model KTSP Pada Sekolah dan Madrasyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008) Mulyasa, E., Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional, (Rosyda Karya: Bandung, 2007) ---------------------, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja RosydaKarya, 2007) Muntholi’ah dkk, Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Islam, (Semarang: Rasail Media Group, 2010) Permendiknas nomor 13 tahun 2007 tentang Standard Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasyah. Permendiknas no 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Sagala, Syaiful, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat; Strategi Memenangkan Persaingan Mutu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) 42



Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran;Teori dan Praktek Pengembangan KTSP, (Jakarta: Kencana, 2008) Sam M Chan dan Tuti T Sam, Analisis SWOT; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) Sirozi, M., Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) Singgalang, Data ini adalah hasil survei departemen kesehatan dan data Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), , edisi 31 Maret 2013, halaman satu (depan). Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005) Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidika;Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) Syahidin, Menelusuri Metode Pedidikan dalam al-Qur’an, (Bandung: Alfabeta, 2009) Syaodih Sukmadinata, Nana, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2000) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013) Rasyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebagai Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2007) Rusman, Manajemen Kurikulum; Seri Manajemen Sekolah bermutu, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) Triatna, Cepi, Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosydakarya, 2015) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007) Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Wahyudi, Manajemen Konflik dalam Organisasi; Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner, (Bandung: Alfabeta, 2011)



43