Analisis Sistem Tenaga PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Saluran Transmisi



Sudaryatno Sudirham



Analisis



Sistem Tenaga



Darpublic – Edisi Juli 2012



Analisis



Sistem Tenaga oleh



Sudaryatno Sudirham



i



Hak cipta pada penulis SUDIRHAM, SUDARYATNO Analisis Sistem Tenaga Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.



ii



Pengantar Buku ini berisi bahasan analisis sistem tenaga, yang merupakan suatu analisis pada tingkat transmisi (tidak termasuk sistem distribusi); pembahasan disajikan dalam lima bab. Bab pertama berisi tinjauan umum pada sistem tenaga, mencakup ketersediaan sumber energi sampai dengan sistem polifasa, pada pembebanan seimbang dan tak seimbang; di sini diberikan penjelasan mengenai perhitungan dalam per-unit serta komponen simetris yang akan dimanfaatkan pada pembahasan di bab-bab selanjutnya. Tiga bab berikutnya berisi bahasan mengenai piranti utama sistem tenaga, mencakup saluran transmisi, transformator, dan mesin sinkron; di tiga bab ini dibahas rangkaian ekivalen serta kondisi pembebanan yang mungkin terjadi. Bab terakhir berisi bahasan mengenai permasalahan aliran daya, dengan salah satu metoda silusi yaitu metoda Newton-Raphson. Pada dasarnya kondisi operasional sistem yang dibahas adalah kondisi mantap; hanya sedikit disinggung situasi transien pada saluran transmisi dan mesin sinkron. Stabilitas transien dan analisis keadaan hubung singkat belum dibahas dalam buku ini. Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat penulis harapkan.



Bandung, Juli 2012 Wassalam, Penulis.



iii



Darpublic Kanayakan D-30, Bandung, 40135



Dalam format .pdf buku ini dapat diunduh bebas di www.buku-e.lipi.go.id dan www.ee-cafe.org Selain Buku-e, di www.ee-cafe.org tersedia juga open course dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf



iv



Daftar Isi Kata Pengantar



iii



Daftar Isi



v



Bab 1: Tinjauan Pada Sistem Tenaga



1



Energi yang Tersedia. Struktur Sistem Tenaga Listrik. Penyaluran Energi Listrik. Sumber Energi Primer. Beban. Sistem Polifasa. Sistem Tiga-fasa Seimbang. Sistem Tiga-fasa Tak Seimbang. Pernyataan Sistem Tenaga. Bab 2: Saluran Transmisi



47



Impedansi dan Admitansi. Rangkaian Ekivalen. Perubahan Pembebanan. Perubahan Panjang Saluran. Lossless Line. Analisis Pembebanan Saluran Transmisi. Transien Pada Saluran Transmisi. Bab 3: Transformator



113



Transformator Satu –fasa. Transformator Pada Sistem Tiga-fasa. Transformator Tiga Belitan. Transformator Tiga-fasa Dibangaun Dari Transformator Satu-fasa. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-∆. Sistem Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator. Transformator Polifasa. Bab 4: Mesin Sinkron



157



Mesin Sinkron Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris. Kopling Turbin-Generator. Daya Mesin Sinkron. Batas Operasi Mesin Sinkron. Transien Pada Mesin Sinkron. Lebih Lanjut Tentang Mesin Sinkron Kutub Menonjol.



v



Bab 5: Analisis Aliran Daya 197 Analisis Aliran Daya. Persamaan Arus-Tegangan. Persamaan Aliran Daya. Metoda Newton-Raphson. Contoh Sistem Dua Bus. Contoh Sistem Tiga Bus. Daftar Pustaka



225



Biodata Penulis



226



Indeks



227



vi



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



BAB 1



Tinjauan Umum Pada Sistem



Tenaga 1.1 Energi Yang Tersedia dan Energi Listrik Energi tersedia di alam dalam berbagai bentuk, dan manusia mengubahnya ke dalam bentuk energi listrik untuk memenuhi kebutuhannya. Pengubahan atau konversi ini memberikan keuntungan namun konversi tersebut juga memerlukan biaya yang tidak kecil. Berbagai bentuk energi yang mungkin dikonversikan ke dalam energi listrik: • Energi radiasi (sinar matahari). • Energi panas bumi. • Energi kimia (batubara, minyak bumi). • Energi kinetik gelombang laut. • Energi kinetic arus laut. • Energi potensial air terjun. • Energi nuklir. Bentuk energi listrik memberikan beberapa keuntungan: • • •



Lebih mudah diatur/dikendalikan. Dapat ditransmisikan dengan kecepatan cahaya. Dapat dikonversikan ke bentuk energi lain dengan efisiensi tinggi. • Bebas polusi, walaupun dalam konversinya dari bentuk aslinya menimbulkan juga masalah polusi. • Konversi ke bentuk lain biasanya mudah dan sederhana. Kelemahan energi listrik terutama adalah bahwa proses penyediaannya memerlukan pendanaan cukup besar. Kita sadari bahwa sistem tenaga listrik adalah besar baik dilihat dari ukurannya, investasinya, jumlah energi yang dikelola, besaran fisisnya (tegangan, arus) sampai kepada piranti-pirantinya. Oleh karena itu pembangunan sistem biasanya dilakukan tidak selalu dari nol melainkan mengembangakan sistem yang sudah ada; kebutuhan energi listrik yang terus tumbuh, memaksa sistem tenaga listrik 1



Tinjauan Pada Sistem Tenaga selalu di-modifikasi dengan mengambil manfaat dari perkembangan teknologi yang terjadi. Dalam Tinjauan Sistem Tenaga Listrik ini, kita banyak menoleh ke PLN. Energi listrik diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1897 (masih zaman penjajahan) dengan didirikannya perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia (sekarang Jakarta) dengan kantor pusat di Gambir. Dua belas tahun setelah itu di Surabaya didirikan Algemeene Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) pada tahun 1909 oleh perusahaan gas NIGM [Ensiklopedi Blora, 2011]. Frekuensi yang digunakan pada sistem tenaga yang dibangun adalah 50 Hz, standar Eropa. Yang menarik dalam kaitan perkembangan kelistrikan di Indonesia adalah bahwa pengenalan energi listrik di Indonesia tidaklah jauh dari perkembangan kelistrikan di Amerika. Kita baca misalnya dalam buku Charles A Gross [1] bahwa pada tahun 1890-an perusahaan Westinghouse baru bereksperimen dengan apa yang disebut “alternating current”. Persaingan berkembang antara General Electric dan Westinghouse dalam menentukan apakah dc atau ac yang sebaiknya digunakan oleh industri. Pada akhirnya bentuk ac dapat diterima, antara lain oleh alasan-alasan berikut: • Transformator (ac) memberikan kemungkinan untuk mengubah tegangan maupun arus secara mudah. • Generator ac jauh lebih sederhana dibandingkan dengan generator dc. • Motor-motor ac juga lebih sederhana dan lebih murah dari motor dc. Pada sekitar 1900 masih diperdebatkan mengenai frekuensi yang harus digunakan dalam mencatu daya ac, apakah 25, 50, 60, 125, dan 133 Hz. Jika tidak di-standarkan akan diperlukan beaya untuk peralatan konversi agar antar sistem dapat dihubungkan. Pada waktu itu pembangkit hidro cenderung menggunakan 25 Hz karena turbin air dapat dirancang untuk mencapai efisiensi yang lebih baik pada kecepatan yang sesuai dengan pembangkitan 25 Hz. Masalah yang timbul pada penggunaan frekuensi ini adalah terjadinya flicker pada lampu pijar. Pada akhirnya diterimalah frekuensi 60 Hz sebagai frekuensi standar karena pada frekuensi ini flicker tidak lagi terasa dan turbin uap berkinerja baik pada kecepatan perputaran yang



2



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga berkaitan yaitu 3600 dan 1800 rpm. Sementara itu di Eropa ditetapkan frekuensi 50 Hz sebagai frekuensi standar. Pemanfaatan energi listrik yang pertama kali adalah untuk keperluan penerangan. Lampu listrik terus dikembangkan untuk memperoleh lumen per watt semakin tinggi. Kebutuhan energi listrik kemudian berkembang, tidak hanya untuk memenuhi keperluan penerangan tetapi juga keperluan akan energi untuk mengoperasikan berbagai alat rumah tanggga, alat kantor, pabrik-pabrik, gedung-gedung, sampai ke arena hiburan. Kebutuhan yang terus meningkat tersebut memerlukan penyaluran energi dengan tegangan yang lebih tinggi. Dibuatlah transformator penaik tegangan untuk mengirimkan energi dan transformator penurun tegangan untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. 1.2 Struktur Sistem Tenaga Listrik An electrical power system can be defined as follows: An electrical power system is a network of interconnected components designed to convert nonelectrical energy continuously into the electrical form; transport the electrical energy over potentially great distances; transform the electrical energy into a specific form subject to close tolerances; and convert the electrical energy into a usable nonelectrical form. [1]. Agar dapat diimplementasikan, sistem ini harus aman, dapat diandalkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan secara sosial dapat diterima. Sistem tenaga dapat dipandang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu Pembangkitan (Generation) Transmisi (Transmission) Subtransmission Distribusi: primer, sekunder Beban 1.2.1 Pembangkitan Piranti utama di sub-sistem pembangkitan adalah generator yang merupakan sumber energi listrik. Istilah “sumber energi” di sini agaknya kurang tepat, mengingat bahwa sesungguhnya generator hanyalah mengubah energi non-listrik menjadi energi listrik. Generator ini, di pusat pembangkit tenaga air misalnya, digerakkan (diputar) oleh turbin air dan turbin sendiri digerakkan 3



Tinjauan Pada Sistem Tenaga oleh air terjun. Air terjunlah yang sesungguhnya sumber energi. Namun demikian pembahasan kita hanya menyangkut sistem tenaga listrik, sehingga peralatan-peralatan “di depan generator” tidak kita bicarakan dan kita menganggap generator sebagai sumber energi. Pada umumnya generator merupakan mesin berputar, yang membangkitkan daya mulai dari puluhan kW hingga lebih dari 1000 MW, dengan tegangan mulai dari 380 V sampai 25 kV. Sisi keluaran generator merupakan sistem tiga-fasa. 1.2.2 Transmisi Daya listrik dari pusat pembangkit disalurkan ke berbagai tempat melalui saluran transmisi. Tegangan saluran transmisi di sistem PLN adalah 150 kV, yang disebut Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan 275 – 500 kV yang disebut Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Di Amerika digunakan tegangan mulai 115 kV sampai 765 kV. Sesungguhnya ada dua kemungkinan pembangunan saluran transmisi yaitu bawah tanah (underground) dan diatas tanah (overhead) yang kita sebut saluran udara. Saluran udaralah yang umum digunakan. Saluran udara ini biasanya panjang sampai ratusan kilometer. Konduktor yang digunakan adalah konduktor telanjang (tanpa isolasi padat) sehingga ia harus didukung oleh isolator yang terpasang pada menara. Saluran ini berhubungan langsung dengan udara sekitarnya sehingga sangat terpengaruh oleh kondisi alam seperti polusi dan petir. Jaringan transmisi harus memiliki fleksibilitas untuk menyalurkan daya besar melalui sejumlah route. Ia harus dirancang sedemikian rupa sehingga gagalnya sejumlah kecil saluran tidak menyebabkan kegagalan seluruh sistem. Saluran ini juga harus mampu berfungsi sebagai penghubung yang mampu menyalurkan energi ke kedua arah. Piranti yang menghubungkan generator dan saluran transmisi adalah transformator, yang berfungsi untuk mengubah tegangan keluaran generator ke tegangan transmisi yang lebih tinggi. 1.2.3 Subtransmissi Di Indonesia (jaringan PLN), istilah “subtransmisi” tidak digunakan. Di PLN pernah digunakan saluran dengan tegangan 30 4



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga kV dan 70 kV, namun telah mulai ditinggalkan. Saluran subtransmisi biasanya tidak panjang (kurang dari beberapa puluh kilometer), kapasitas rendah (kurang dari 100 MVA) dan banyak cabang untuk mencatu pusat-pusat beban. 1.2.4 Distribusi Saluran transmisi mencatu gardu-gardu induk, di mana tegangan diturunkan menjadi tegangan distribusi primer. Jaringan distribusi primer mencatu pelanggan tegangan menengah 20 kV. Pernah pula digunakan tegangan 6 dan 12 kV namun telah ditinggalkan. Jaringan distribusi primer bisa dirancang sebagai jaringan radial ataupun loop. (lihat Gb.1.1) Pada jaringan radial Beban 1 Beban 2 daya mengalir satu GI arah yaitu dari sumber (gardu) ke Beban 3 Beban 4 beban Radial (pengguna/pelang gan). Pada jaringan loop, Beban 1 Beban 2 beban dapat menerima daya GI lebih dari satu Beban 3 Beban 4 arah. Selain radial dan loop, Loop dikembangkan Gb.1.1 Jaringan radial dan loop. pula struktur jaringan spindle. Pada tahap terakhir, tegangan diturunkan lagi menjadi 380/220 V. Jaringan yang melayani pengguna pada tegangan rendah ini merupakan jaringan distribusi sekunder. Jaringan ini bisa sangat rumit, terutama di lokasi padat pengguna. 1.2.5 Beban Beban (pengguna/pelanggan) mengambil energi listrik dari jaringan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi dalam melayani beban ini. 1. Tegangan harus konstan, tidak naik-turun. 5



Tinjauan Pada Sistem Tenaga 2. Frekuensi harus konstan. 3. Bentuk gelombang tegangan sedapat mungkin sinusoidal. Untuk menentukan apakah ketentuan ini terpenuhi atau tidak, digunakan indeks kinerja. 1. Regulasi Tegangan: Deviasi nilai tegangan pada waktu beban berubah dalam batas-batasnya. Biasanya diambil sekitar 5%. 2. Regulasi Frekuensi: Pada keadaan normal, variasi frekuensi biasanya cukup kecil, ±0.1 Hz , dan tidak terasa oleh beban. 3. Kandungan Harmonisa: (Lihat: Analisis Rangkaian Listrik Jilid3). 1.3 Penyaluran Energi Listrik Kita mengenal dua cara penyaluran energi listrik yaitu penyaluran menggunakan arus searah (selanjutnya kita sebut sistem arus searah, disingkat sistem AS) dan menggunakan arus bolak-balik sinusoidal (selanjutnya kita sebut sistem arus bolak-balik, disingkat sistem ABB). Berikut ini kita akan melihat perbandingan daya maksimum yang mampu disalurkan melalui beberapa konfigurasi saluran. 1.3.1. Daya Perhatikan situasi i penyaluran + Jaringan Jaringan daya antar v dua jaringan A B − seperti diperlihatkan pada Gb.1.2. Gb.1.2. Penyaluran daya antara dua jaringan. Hubungan antara A dan B digambarkan hanya dengan dua garis. Namun penyaluran daya dari A ke B biasanya dilakukan dengan sejumlah konduktor (2, 3, 4 konduktor) dengan susunan tertentu, yang kita sebut konfigurasi saluran. Daya (laju aliran energi) dari A ke B adalah (1.1) p = vi p = daya, v = tegangan, i = arus (yang ditulis dengan huruf kecil untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan fungsi waktu). 6



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Untuk memperbesar aliran daya, v dan/atau i harus diperbesar. Akan tetapi upaya memperbesar kedua besaran ini dibatasi oleh kemampuan teknologi. Arus dibatasi oleh kemampuan hantar arus dari konduktor, sedangkan tegangan dibatasi oleh kekuatan isolasi. Konduktor dibuat dari material yang memiliki konduktivitas listrik yang tinggi, memiliki kekuatan mekanis yang sesuai, serta ekonomis. Untuk itu banyak digunakan aluminum untuk saluran transmisi, dan tembaga untuk saluran distribusi serta bagianbagian tertentu sistem tenaga. Kemampuan hantar arus dari suatu konduktor terkait erat dengan kerapatan arus dan luas penampangnya.



I max = J max A



(1.2)



I max = arus maksimum, J max = kerapatan arus maksimum, A = luas penampang konduktor. Kerapatan arus maksimum, J max , ditentukan oleh pembatasan temperatur maksimum konduktor agar tidak terjadi kerusakan konduktor serta isolasinya. 1.3.2. Konfigurasi Saluran Berikut ini kita akan memperbandingkan daya maksimum yang mampu disalurkan melalui suatu konfigurasi saluran tertentu.[1]. Ada enam konfigurasi yang akan kita lihat yaitu sistem AS 2 kawat, sisten AS 3 kawat, sistem ABB 1 fasa 2 kawat, sistem ABB 2 fasa 3 kawat, dan sistem ABB 3 fasa 4 kawat. Pada setiap konfigurasi, salah satu kawat di-tanah-kan, dan disebut kawat netral; kawat yang tidak ditanahkan disebut kawat fasa. Dalam memperbandingkan kemampuan penyaluran setiap konfigurasi ini kita tetapkan bahwa 1. Luas penampang konduktor total, yaitu total jumlah luas penampang kawat fasa dan kawat netral, adalah sama yaitu A. Karena salah satu saluran adalah saluran balik (netral) maka luas penampang konduktor yang sesungguhnya digunakan untuk mengirim daya adalah lebih kecil dari A. 2. Kerapatan arus yang mengalir tidak melebihi batas kerapatan arus maksimum yang di tentukan, yaitu J0. Pembatasan ini diperlukan karena kita akan memperbandingkan kemampuan penyaluran daya pada berbagai konfigurasi. Bukan arus yang kita tetapkan mempunyai batas maksimum karena setiap konfigurasi 7



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



3.



4.



memiliki luas penampang konduktor kirim yang berbeda. Dengan membatasi kerapatan arus maksimum, maka setiap konfigurasi memiliki arus maksimum yang berbeda. Tegangan setiap konduktor ke ground (tegangan fasa ke netral) tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan yaitu V0. Tegangan antara kawat fasa dan kawat netral, berbeda antara satu konfigurasi dengan konfigurasi yang lain. Tegangan maksimum ini kita batasi untuk melihat berapakah daya yang dapat disalurkan pada tegangan fasanetral maksimum dengan kerapatan arus yang juga maksimum. Kawat netral (yang ditanahkan) merupakan saluran balik.



Konfigurasi (a): Sistem AS, 2 kawat, salah satu kawat adalah kawat netral yang merupakan saluran balik. 0,5A V0



0,5A



n



Total luas konduktor adalah A, koduktor yang ditanahkan merupakan penghantar balik. Jadi sistem ini menyalurkan daya melalui konduktor dengan luas penampang 0,5A. Daya yang mampu disalurkan paling tinggi adalah



Pa = (0.5 A) J 0V0 = 0.5P0 dengan P0 = AJ 0V0



(1.3)



Selanjutnya kita menggunakan P0 = AJ 0V0 sebagai referensi untuk melihat kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi yang lain; yaitu berapa kali P0 kemampuan penyaluran dayanya. Konfigurasi (b): Sistem AS, 3 kawat; dua kawat merupakan saluran kirim, satu bertegangan positif dan yang satu lagi bertegangan negatif. Kawat ke-tiga adalah saluran balik yang ditanahkan. 0,5A



0,5A +V0



n −V0



Konduktor pertama bertegangan positif sedangkan konduktor kedua bertegangan negatif, konduktor ketiga ditanahkan. Karena tegangan berlawanan, arus di konduktor pertama dan kedua juga berlawanan 8



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga arah. Konduktor ketiga merupakan konduktor netral sebagai penghamtar balik sehingga di konduktor ini arus balik dari konduktor pertama dan kedua berlawanan arah; jika pembebanan seimbang kedua arus balik ini saling meniadakan. Hal ini memungkinkan penampang konduktor netral dibuat kecil saja sehingga total penampang konduktor dapat dikatakan tetap sama dengan A. Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah



Pb = 2 × (0.5 A) J 0V0 = P0



(1.4)



Dari persamaan (1.4) terlihat bahwa kemampuan menyalurkan daya pada konfigurasi (b) ini dua kali lipat dari konfigurasi (a). Konfigurasi (c): Sistem ABB satu fasa, dua kawat; satu kawat fasa dan yang lain kawat netral. 0,5A



0,5A



n



0,707V0 Misalkan gelombang tegangan sefasa dengan arusnya,



v = Vm cos ωt



i = I m cos ωt



(1.5)



Daya sesaat adalah



Vm I m (1 + cos 2ωt ) (1.6) 2 Daya ini berfluktuasi dengan frekuensi 2ω. Nilai rata-rata bagian yang berada dalam tanda kurung adalah 1, sehingga daya rata-rata (atau daya nyata) adalah pc = vi = Vm I m cos 2 ωt =



P=



Vm I m Vm I m = = VI 2 2 2



(1.7)



dengan V dan I adalah nilai efektif (rms). Arus efektif maksimum yang bisa disalurkan adalah



I = 0.5 AJ 0



(1.8)



(di sini kita menganggap bahwa arus bolak-balik yang menglir di konduktor terdistribusi secara merata di seluruh penampang walaupun kenyataannya tidak demikian karena terjadi efek kulit. Namun anggapan ini cukup layak untuk keperluan diskusi.)



9



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Karena kita telah menetapkan bahwa tegangan konduktor tidak lebih dari nilai batas V0 maka tegangan efektif maksimum adalah



V=



V0 2



= 0,707V0



(1.9)



Nilai ini yang dicantumkan pada gambar konfigurasi. Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah



Pc = IV = 0.5 AJ 0



V0 2



= 0.354 AJ 0V0 = 0.354 P0



(1.10)



Persamaan (1.10) menunjukkan bahwa kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi ini hanya sekitar 35% dari kemampuan sistem AS 3 kawat. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan oleh (1.6) penyaluran daya berfluktuasi, berarti laju penyaluran energi tidaklah konstan. Penyaluran energi semacam ini akan memaksa turbin penggerak generator juga memasok energi dengan laju yang berfluktuasi. Hal demikian tentu tidak dikehendaki. Oleh karena itu konfigurasi ini tidak digunakan untuk keluaran generator di pusat pembangkit. Konfigurasi (d): sistem ABB satu fasa tiga kawat. 0,5A



n



0,5A 0,707V0



0,707V0



Sistem ini memiliki keuntungan seperti halnya untuk arus searah; oleh karena itu daya maksimum yang mampu disalurkan adalah dua kali lipat kemampuan penyaluran daya pada sistem ABB satu fasa dua kawat (konfigurasi (c)).



Pd = 2 Pc = 0,707 P0



(1.11)



Nilai daya sesaat diperlihatkan pada Gb.1.3, bersama dengan nilai sesaat daya pada konfigurasi (c). Perhatikan bahwa daya berfluktuasi dengan nilai rata-rata yang positif. Walaupun daya rata-rata bernilai positif, fluktuasi daya yang terjadi merupakan kelemahan dari konfigurasi (d) dan (c). Penyaluran energi tidak terjadi secara mantap; aliran energi berfluktuasi. Konfigurasi (e): Sistem ABB, 2 fasa, 3 kawat; dua kawat fasa dan satu kawat netral.



10



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



y



x 0,293A



0,414A 0,707V0



0,293A 0,707V0



n



Jika tegangan dan arus di fasa x adalah



vx = Vm cos ωt



ix = I m cos ωt



(1.12.a)



i y = I m sin ωt



(1.12.b)



o



dan di fasa y berbeda 90 ,



v y = Vm sin ωt maka daya sesaat menjadi



(



)



pe = v xix + v y i y = Vm I m cos 2 ωt + sin 2 ωt = Vm I m



(1.13)



Persamaan (1.13) ini cukup mengejutkan. Perhatikan bahwa daya sesaat bernilai konstan. Daya rata-rata sama dengan daya sesaat.



Pe = pe = Vm I m



(l5.14)



Karena tegangan tidak boleh melebihi batas V0 maka tegangan maksimum adalah



Vm = V0



(1.15.a) o



Arus di kedua fasa berbeda 90 , sehingga penghantar netral mengalirkan arus dibuat



2 kali arus fasa; luas penampangnya juga harus



2 kali sehingga perbandingan luas penampang konduktor



fasa dan netral adalah 1:1:



2 . Luas penampang konduktor fasa



menjadi ( 1 /( 2 + 2 ) = 0,293 kali A. Arus maksimum konduktor fasa adalah



I m = J 0 (0.293 A) 2



(1.15.b)



Sehingga daya rata-rata adalah



V I V J (0,293 A) 2 Pe = m m = 0 0 = 0.414 P0 2 2



(1.16)



11



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Perhatikan bahwa konduktor netral berpenampang lebih besar dari konduktor fasa sebab ia harus mengalirkan arus 2 kali dari arus fasa, jika sistem beroperasi dalam keadaan seimbang. Hal ini dapat dimengerti karena arus balik dari kedua fasa berbeda 90o dan bukan 180o sehingga tidak saling meniadakan. Akan tetapi di konfigurasi ini aliran daya tidak berfluktuasi seperti dinyatakan oleh persamaan (1.13). Konfigurasi (f): Sistem ABB 3 fasa, 4 kawat; tiga kawat fasa dan satu kawat netral. 0,333A



0,333A



0,707V0



0,707V0



0,333A 0,707V0



n



Tegangan dan arus fasa berbeda 120o. Dengan urutan fasa positif, tegangan dan arus tersebut adalah:



va = Vm cos ωt ; vb = Vm (cos ωt − 120o ); vc = Vm (cos ωt + 120o ). ia = I m cos ωt ; ib = I m (cos ωt − 120o 0; ic = I m (cos ωt + 120o ).



(1.17)



Daya sesaat adalah



p f = va ia + vbib + vcic



(



= Vm I m cos 2 ωt + cos 2 (ωt − 120o ) + cos 2 (ωt + 120o )



) (1.18)



Dengan memanfaatkan relasi trigonometri



cos 2 θ =



1 + cos 2θ 2



persamaan (1.18) menjadi



(



(1.19)



)



V I p f = m m 3 + cos 2ωt + cos(2ωt − 240o ) + cos(2ωt + 240o ) 2 (1.20) 3Vm I m = 2 Sekali lagi kita lihat di sini bahwa daya sesaat sama dengan daya rata-rata, yaitu



Pf = p f =



12



3Vm I m = 3VI 2



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(1.21)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Tegangan dan arus efektif yang diperkenankan adalah



V=



V0 2



dan I = 0.333 AJ 0



(1.22)



sehingga



Pf =



3V0 2



0.333 AJ 0 = 0.707 P0



(1.23)



1,141P0 1,000P0



Konfig.(b)



0,707P0



Konfig. (d), (f)



0,500P0



Konfig. (a)



0,354P0



Konfig. (e) Konfig. (c) t



Gb.1.3. Kurva daya terhadap waktu pada enam konfigurasi saluran. Hasil perhitungan untuk enam konfigurasi di atas, dimuatkan dalam Tabel-1.1. Tabel-1.1: Daya maksimum yang mampu ditransmisikan pada enam kofigurasi Konfigurasi a) Dua kawat



Modus operasi AS



Daya maksimum 0.500P0



b) Tiga kawat



AS



1,000P0



c) Dua kawat



ABB, 1 fasa



0,354P0



d) Tiga kawat



ABB, 1fasa



0,707P0



e) Tiga kawat



ABB, 2fasa



0,414P0



f) Empat kawat



ABB, 3 fasa



0,707P0



Bagaimana memilih konfigurasi yang akan digunakan untuk menyalurkan energi? Misalkan kita memilih sisem ABB. Konfigurasi c) dan d) kelihatannya terpaksa kita tolak karena 13



Tinjauan Pada Sistem Tenaga terjadinya fluktuasi aliran daya pada konfigurasi ini. Di antara konfigurasi e) dan f) kita lebih memilih f) karena konfigurasi ini memiliki kemampuan penyaluran daya lebih tinggi. Bagaimanakah sistem penyaluran energi dengan jumlah fasa lebih banyak? Sistem multifasa dengan konfigurasi N fasa, N+1 kawat akan memiliki kemampuan penyaluran daya sebesar 0,707P0. Jadi sistem 3 fasa 4 kawat merupakan sistem multi fasa yang paling sederhana ditinjau dari kemampuan penyaluran daya. Perhitungan-perhitungan di atas ditujukan hanya untuk melihat kemampuan penyaluran daya di setiap konfigurasi. Dalam pembangunan saluran transmisi masih harus diperhitungkan banyak faktor, misalnya keperluan akan isolator, menara, susut energi. Makin banyak kita gunakan saluran fasa, makin bayak diperlukan isolator dan perancangan menara pun harus disesuaikan. Jika kita perhatikan Tabel-1.1 di atas, transmisi AS tiga kawat, memiliki kemampuan penyaluran daya paling tinggi untuk total luas penampang konduktor yang sama. Kemajuan teknologi telah memungkinkan digunakannya sistem transmisi AS dan mengatasi kendala yang selama ini dihadapi. Mulai dari suatu jarak transmisi tertentu, biaya pembanguan sistem transmisi AS sudah menjadi lebih rendah dari sistem ABB. PLN merencanakan pembangunan transmisi AS untuk menghubungkan Sumatra dan Jawa. 1.4 Sumber Energi Primer Sebagaimana telah disinggung, generator yang kita sebut sebagai sumber, tidak lain adalah piranti pengubah (konversi) energi dari energi non-listrik ke energi listrik. Dalam hal konversi elektromekanik, energi non-listrik berupa energi mekanik yang diberikan oleh turbin, dan turbin sendiri menerima energi masukan berupa energi thermal yang diubah olehnya menjadi gerak putar untuk memutar generator. Masukan energi thermal ke turbin berasal dari sumber energi primer, yang dapat berupa energi thermal maupun non-thermal. 1.4.1. Sumber Energi Primer pada Pusat Pembangkit Thermal Batubara. Cadangan batubara Indonesia terlihat pada gambar berikut.



14



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Data: Pusat Informasi & Statistik Batubara dan Mineral, Ditjen GSM, DESDM. / RUKN.



Untuk pembangkitan, batubara harus diangkut dari lokasi tambang ke pusat pembangkit. Untuk pusat pembangkit di Jawa, biaya angkut ini tidak sedikit dan dapat terganggu bila cuaca buruk. Hasil tambang batubara ada dua kategori yaitu batubara dengan kandungan kalori tinggi dan kandungan kalori rendah. Minyak Bumi. Gambar berikut menginformasikan cadangan minyak Indonesia.



Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.



Penggunaan minyak sebagai sumber energi primer untuk pembangkitan energi listrik terus diusahakan untuk dikurangi proporsinya karena harga yang terlalu tinggi. Gas Alam. Cadangan gas bumi Indonesia terbaca pada gambar berikut. Penggunaan gas alam sebagai sumber energi primer untuk pembangkitan energi listrik diperbesar proporsinya untuk 15



Tinjauan Pada Sistem Tenaga menggantikan minyak. Pengangkutan gas dari sumber gas ke pusat pembangkit dilakukan melalui pipa gas.



Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.



Panas Bumi..Energi panas bumi cukup banyak tersedia di Indonesia. Penggunaan energi ini masih perlu dikembangkan. Gambar dan daftar berikut ini memperlihatkan distribusi lokasi sumber energi panas bumi.



16



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Biomassa. Sumber energi ini belum berkembang walaupun dalam skala rumah tangga telah mulai dirintis.



17



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Sampah. Sampah sebagai sumber pembangkit energi listrik masih diwacanakan terutama untuk mengatasi masalah sampah di kota Bandung. Energi Nuklir. Penggunaan energi nuklir di Indonesia masih dalam tingkat wacana. Sementara itu Jerman sudah mulai meninggalkan penggunaan energi nuklir untuk pembangkitan energi listrik. 1.4.2. Sumber Energi Primer Pusat Pembangkit Nonthermal Tenaga Air (Hydro). Tenaga air merupakan sumber energi yang paling murah dan kelangsungannya dapat dipercaya. Namun pembangunannya memerlukan waktu lama dibandingkan dengan pembangkit thermal. Dibandingkan dengan pembangkit thermal, pembangkit tenaga air dapat di-start dengan sangat cepat; sementara untuk men-start pembangkit thermal diperlukan waktu untuk pemanasan. Oleh karena itu pembangkit tenaga air biasanya digunakan sebagai pembangkit untuk memenuhi beban puncak, sementara pembangkit thermal menanggung beban dasar.



18



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



19



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Pusat Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)



Angin. Di Eropa energi angin telah banyak dimanfaatkan namun di Indonesia masih belum berkembang walaupun telah ada.



Tenaga Surya. Di Indonesia Sumber energi ini telah mulai dimanfaatkan baik sebagai sumber tenaga listrik “stand alone” maupun sebagai pusat pembangkit walaupun masih dalam skala yang tidak besar.



20



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Listrik Tenaga Surya



Gelombang Laut. Sumber energi ini belum termanfaatkan di Indonesia. Arus laut. Di Indonesia sumber energi ini masih menjadi wacana. 21



Tinjauan Pada Sistem Tenaga 1.5. Beban 1.5.1. Pengelompokan Beban Tujuan dibangunnya suatu sistem tenaga adalah untuk mencatu energi ke beban yang berupa peralatan-peralatan yang mengubah energi listrik menjadi bentuk energi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Jenis peralatan sangat beragam, ada yang statis, ada yang berputar, ada pula yang merupakan gabungan statis dan berputar. Dalam pengusahaan tenaga listrik beban tidak diklasifikasikan berdasarkan peralatan yang dicatu akan tetapi berdasarkan sifat-sifat umum pengguna akhir. PLN melakukan klasifikasi beban (pelanggan) sebagai berikut. Beban Rumah Tangga. Energi di jenis beban ini digunakan untuk mencatu peralatan rumah tangga yang sangat beragam. Beban ini biasanya tersebar dalam area yang luas. Beban Industri. Beban ini membutuhkan sejumlah besar energi untuk keperluan manufaktur dan proses-proses produksi. Beban demikian biasanya terlokalisasi pada titik-titik beban di area tertentu. Beban Komersial. Jenis beban ini bisa sekumpulan peralatan kecil seperti di rumah tangga, akan tetapi memerlukan daya agak besar untuk penerangan, pemanasan dan pendinginan. Beban ini lebih tersebar dibandingkan dengan beban industri tetapi tidak se-tersebar beban rumah tangga; misalnya pusat perbelanjaan, bandara, hotel. Beban Lain. Beban lain yang dimaksud di sini adalah bebanbeban yang terkait dengan pentarifan ataupun pelayanan tertentu. Termasuk di dalamnya adalah beban kantor pemerintah, sosial, dan penerangan jalan umum. Di PLN jumlah pelanggan Rumah Tangga sangat dominan; sementara jumlah pelanggan Industri dan pelanggan Komersial sangat sedikit dibanding dengan jumlah pelanggan Rumah Tangga. Namun demikian daya tersambung ke pelanggan tidaklah proporsional dengan jumlah pelanggan. Dan sudah barang tentu demikian juga dengan penggunaan energi per kelompok pelanggan. 22



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga 1.5.2. Model Beban Untuk keperluan analisis, kita perlu “mengombinasikan” berbagai karakteristik piranti listrik yang jumlahnya ribuan ke satu titik beban tertentu. Melakukan kombinasi secara harfiah tentulah tidak mungkin. Oleh karena itu kita membangun model beban; beban dapat kita modelkan sebagai sumber tegangan, atau sumber arus, atau impedansi. Z



+ −



E



Beban



+ −



Z



+ −



E



Beban



Z



+ −



Beban



E



Model sumber tegangan Model sumber arus Model impedansi Gb.1.4. Model-model beban Model yang kita pilih tentulah yang mewakili sifat-sifat yang menonjol dari beban. Beban yang pasif misalnya, kita modelkan sebagai suatu impedansi. Beban yang karakter arusnya menonjol, kita modelkan sebagai sumber arus; hal ini misalnya digunakan pada beban nonlinier. 1.5.3. Pengaruh Perubahan Tegangan dan Perubahan Frekuensi Daya yang mengalir ke beban tergantung dari tegangan maupun frekuensi. Apabila terjadi perubahan tegangan dan/atau perubahan frekuensi, daya yang mengalir ke beban akan berubah pula. Sesungguhnya, beban mengharapkan tegangan dan frekuensi tidak berubah-ubah. Namun situasi operasional sering memaksa terjadinya perubahan-perubahan besaran tersebut. Masuknya beban besar yang tiba-tiba ke jaringan akan diikuti oleh penurunan tegangan; keluarnya beban besar yang tiba-tiba akan menyebabkan kenaikan tegangan. Di jaringan sistem tenaga, dipasang peralatan untuk membatasi lama terjadinya suatu perubahan tegangan. Pada umumnya, jika perubahan tegangan tidak besar (karena tegangan seharusnya tidak berubah-ubah, sesuai standar) pasokan daya ke beban dapat didekati dengan hubungan linier



P = P0 +



∂P ∂P ∂Q ∂Q ∆V + ∆f ; Q = P0 + ∆V + ∆f ∂V ∂f ∂V ∂f



(1.24) 23



Tinjauan Pada Sistem Tenaga dengan ∆V = V − V0 = perubahan tegangan sekitar titik referensi V0, ∆f = f − f 0 = perubahan frekuensi sekitar titik referensi f0.



∂P ∂P ∂Q ∂Q , , , dapat diturunkan melalui ∂V ∂f ∂V ∂f rangkaian dengan model beban. Mereka juga dapat diturunkan dari data-data yang dikumpulkan dari pengukuran praktis yang kemudian dihitung menggunakan computer.



Diferensial parsial



CONTOH-1.1: Kita akan R + + memperbandingkan v pengaruh perubahan v L − tegangan dan perubahan − frekuesi pada rangkaian R-L seri dan rangkaian R-L parallel dengan melihat



R



∂P / ∂V , ∂P / ∂f , ∂Q / ∂V , dan ∂P / ∂V . Solusi untuk rangkaian seri: ∗



S seri



2  V∠0 o  V2  = V = VI = V∠0 = ( R + jωL)  R + jω L  R − jωL R 2 + ω 2 L2   ∗



o



=



Pseri = Q seri =



24



RV 2 R 2 + ω 2 L2



RV 2 R +ω L 2



2 2



ωLV 2 R 2 + ω 2 L2



⇒ ⇒



+j



ωLV 2 R 2 + ω 2 L2



∂Pseri 2 RV 2 ωL2 = ; ∂ω ( R 2 + ω 2 L2 ) 2



∂Pseri 2 RV = 2 ∂V R + ω 2 L2



∂Q seri ( R 2 + ω 2 L2 ) LV 2 − 2ω 2 L3V 2 = ; ∂ω ( R 2 + ω 2 L2 ) 2 ∂Q seri 2ωLV = 2 ∂V R + ω 2 L2



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



L



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Solusi untuk rangkaian parallel: ∗



V V  V2 V2  = S paralel = VI ∗ = V + +j R ωL  R jωL  2 ∂Pparalel ∂Pparalel 2V V Pparalel = ⇒ =0 ; = R ∂ω ∂V R 2 2 ∂Q paralel − V L ∂Q paralel 2V V Q paralel = ⇒ = = ; 2 ωL ∂ω ∂V ωL (ωL)



Perhatikan: ketergantungan terhadap tegangan kedua rangkaian ini sama, yaitu sebanding dengan tegangan. Akan tetapi ketergantungan terhadap frekuensi sangat berbeda. Polinom pangkat 4 dari penyebut pada ∂Pseri / ∂ω membuat penyebut hampir tak berubah bila terjadi perubahan ω hanya 10% misalnya; Oleh karena itu ∂Pseri / ∂ω dapat dikatakan berbanding lurus dengan ω. Sebaliknya ∂Pparalel / ∂ω bernilai nol; perubahan frekuensi tidak mempengaruhi besarnya daya nyata. 1.6. Sistem Polifasa Kita telah mempelajari salah satu sistem polifasa yaitu sistem tigafasa. Di sub-bab ini kita akan melihat secara lebih umum, dan juga akan melihat bagaimana perhitungan-perhitungan dilakukan baik pada kondisi pembebanan seimbang maupun tidak seimbang. 1.6.1. Sistem Polifasa Secara Umum Kita lihat secara umum suatu sistem polifasa. Gb.1.5. berikut ini memperlihatkan hubungan dua jaringan secara umum yaitu jaringan A dan B yang dihubungkan dengan (N+1) konduktor. Salah satu konduktor adalah konduktor netral; jadi sistem ini adalah sistem N fasa.



25



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Jaringan A



a



Ia



b



Ib



. . .



Iz



z



Van



Vbn



Jaringan B



Vzn



.... n



In



Gb.1.5. Dua jaringan dihubungkan dengan (N+1) konduktor. Tegangan konduktor fasa terhadap netral adalah sebagai berikut



Van = Va = Va ∠α a = tegangan fasa a.



Vbn = Vb = Vb ∠α b = tegangan fasa b. ………………



Vzn = Vz = V z ∠α z = tegangan fasa z. Arus di setiap penghantar fasa adalah



I a = I a ∠β a = arus fasa a.



I b = I b ∠β b = arus fasa b. ……………… I z = I z ∠β z = arus fasa z.



I n = I n ∠β n = arus penghantar netral. Menurut hukum arus Kirchhoff



I a + I b + I c + ....... + I z + I n = 0



(1.25)



Daya kompleks total (sejumlah N fasa) yang mengalir ke B adalah: 26



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



S Nf = Va I a∗ + Vb I b∗ + ...... + V z I ∗z =



z



∑ Si



(1.26.a)



i =a



dengan



S i = Vi I ∗i i = a, b, c,....... z



(1.26.b)



Dapat dimengerti pula bahwa z



PNf =



∑ Pi ,



Pi = Vi I i cos ψ i



(1.27.a)



i =a z



Q Nf =



∑ Qi ,



Qi = Vi I i sin ψ i



(1.28.b)



i =a



Dalam kondisi pembebanan seimbang



Va = Vb = ...... = V z = V f



(1.29.a)



dan, dengan mengambil fasa a sebagai referensi,



α a = 0; α b = −θ; α c = −2θ; ..... α n = −nθ dan θ =



(1.29.b)



360o N



Dalam pembebanan seimbang ini, arus fasa dan sudut ψ adalah:



I a = I b = ...... = I z = I f = arus fasa



(1.30.a)



ψ a = ψ b = ψ c = ....... = ψ z = ψ = sudut faktor daya (1.30.b) Urutan penamaan fasa abc. . . z kita sebut urutan positif. Jika seandainya urutan penamaan ini kita balik, z . . cba maka kita mempunyai urutan negatif. Sementara itu tegangan fasa-fasa adalah



Vij = Vi − V j



i, j = a, b, c....... z



= Vi ∠α i − V j ∠α j



(1.31)



yang dalam kondisi seimbang akan menjadi



Vi = V j = V f



= tegangan fasa-netral



(1.32)



dan 27



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Vij = V f 2[1 − cos(α i − α j )]



(1.33)



Perhatikan Gb.1.6. Gambar ini memperlihatkan hubungan tegangan fasa-netral Van , Vbn , .........V zn serta tegangan fasa-fasa



Vab dan Vaz . Diperlihatkan pula arus fasa I a yang lagging terhadap Van . Vab



Vzn



θ



θ=



360 N



ψ



o



Ia



Van



θ



Vaz



Vbn



Gb.1.6 Fasor tegangan sistem N-fasa seimbang. Perbandingan tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral untuk N dari 2 sampai 12 (dinormalisasi terhadap Va) diberikan pada Tabel -1.1. Daya sesaat total untuk N ≥ 3 adalah z



p Nf =



∑ i =a



z



v i ii =



∑ (V



2 )( I 2 ) cos(ωt − α i ) cos(ωt − βi )



i =a



(1.34)



= NV f I f cos ψ Persamaan (1.26) menunjukkan bahwa sistem ABB multifasa memberikan transfer daya yang konstan seperti pada sistem AS. Itulah sebabnya sistem tenaga dibangun sebagai sistem multifasa yang beroperasi seimbang. Jika kita lanjutkan perhitungan kita akan memperoleh relasi



28



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



S Nf = NV f I f PNf = NV f I f cos ψ Q Nf = NV f I f sin ψ



(1.35)



Table 1.1. Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa untuk sistem 2 ÷ 12 fasa, dinormalisir terhadap Va [1] N: Vab/Va Vac/Va Vad/Va Vae/Va Vaf/Va N: Vab/Va Vac/Va Vad/Va Vae/Va Vaf/Va Vag/Va Vah/Va Vai/Va Vaj/Va Vak/Va Val/Va



1



7 0,868 1,564 1,950 1,950 1,564 0,868



2 2,000



8 0,765 1,414 1,848 2,000 1,848 1,414 0,765



3 1,732 1,732



9 0,684 1,286 1,732 1,970 1,970 1,732 0,286 0,684



4 1,414 2,000 1,414



10 0,618 1,176 1,618 1,902 2,000 1,902 1,618 1,176 0,618



5 1,176 1,902 1,902 1,176



11 0,563 1,081 1,511 1,819 1,980 1,980 1,819 1,511 1,081 0,563



6 1,000 1,732 2,000 1,732 1,000 12 0,518 1,000 1,414 1,732 1,932 2,000 1,932 1,732 1,414 1,000 0,518



1.6.2. Hubungan Bintang dan Hubungan Mesh Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dinyatakan dengan model impedansi. Impedansi pada sistem multifasa dapat dihubungkan bintang ataupun mesh; rangkaian ini diperlihatkan pada Gb.1.7.



29



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



IaY



a



ZY



b



ZY



c



ZY . . .



z



ZY



a



Ia∆ Z



b Z



Z



c Z



z



Bintang



Mesh



Gb.1.7 Hubungan bintang dan hubungan mesh. Transformasi dari rangkaian bintang ke mesh diturunkan sebagai berikut. Rangkaian bintang :



I aY =



o Van V f ∠ 0 = ZY ZY



(1.36)



Rangkaian mesh:



I a∆ = =



Vab Vaz 1 (Van − Vbn + Van − Vzn ) + = Z∆ Z∆ Z∆ Vf Z∆



(1∠ 0 o − 1∠ − θ + 1∠0 o − 1∠θ) =



2V f Z∆



(1.37)



(1 − cos θ)



Jika kedua rangkaian ini harus sama maka



I a∆ = I aY ⇒ Z ∆ = 2(1 − cos θ) Z Y



(1.38)



CONTOH-1.2: Sumber 6 fasa seimbang dengan Va = 1000∠0o V , urutan fasa abc, mencatu beban 6 fasa seimbang S6f = 900 kVA, faktor daya = 0.8 lagging. (a) Hitunglah arus fasa; (b) Hitung



30



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga tegangan fasa-fasa ac; (c) Hitung impedansi ekivalen Y, ZY ; (d) Hitung impedansi ekivalen ∆, Z∆. Solusi:



Va = 1000∠0o V = 1∠0o kV (a) I fasa =



S 6φ / 6 V fasa



=



900 / 6 = 150 A 1



(b) Vac = Va − Vc = 1000∠0o − 1000∠ − 120o = 1732∠ − 30o V (c)



ZY =



V fasa I fasa



=



1000 = 6.67 Ω; ψ = cos −1 (0.8) = ±36.9 o 150



ZY = 6.67∠ + 36.9o Z ∆ = 2(1 − cos 60o ) ZY = 2(1 / 2) ZY = ZY = 6.67∠ + 36.9o 1.7. Sistem Tiga-fasa Seimbang Sistem tiga-fasa adalah sistem multifasa yang paling sederhana. Lihat Gb.1.8. Dengan urutan positif abc, tegangan-tegangan fasa adalah



Van = Va = V f ∠0 o Vbn = Vb = V f ∠ − 120 o



(1.39)



Vcn = Vc = V f ∠ − 240 o = V f ∠ + 120 o Tegangan fasa-fasa adalah



Vab = Va − Va = V f



3∠30 o



Vbc = Vb − Vc = V f



3∠ − 90 o



Vca = Vc − Va = V f



3∠ + 150 o



(1.40)



31



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Jaringan A



a



Ia



b



Ib Jaringan B



Ic



c



Vb Vc



Va



In



n



Gb.1.8. Sistem tiga-fasa. Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dimodelkan dengan impedansi dan impedansi ini dapat terhubung Y atau ∆, seperti diperlihatkan oleh Gb.1.9. a



Z∆ b



Z∆



a



ZY



b



ZY



c



ZY



Z∆ c



Y







Gb.1.9. Beban terhubung ∆ dan terhubung Y. Dalam kondisi seimbang, arus-arus fasa pada hubungan Y adalah



Ia =



Va V f = ∠(0 o − ψ ) = I f ∠ − ψ ZY ZY



I b = I f ∠(−120 o − ψ ) I c = I f ∠(−240 − ψ ) o



In = 0



32



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(1.41)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Gb. 1.8. memperlihatkan diagram fasor tegangan dan arus pada sistem tiga-fasa seimbang dengan beban induktif; arus lagging terhadap tegangan.



Vca



Vc



ψ



− Vb Ic



Vab ψ



− Va



Ia



Ib ψ



Va



− Vc



Vb



Vbc



Gb.1.10. Diagram fasor sistem tiga fasa seimbang; urutan fasa abc. Transformasi hubungan Y ke ∆ diberikan oleh (1.30), yang untuk sistem tiga-fasa θ = 120o .



Z ∆ = 2(1 − cos θ) ZY = 3ZY



(1.42)



Jika diperlukan, arus pada cabang-cabang hubungan ∆ dapat dihitung, dengan relasi



Iab =



Vab V V ; Ibc = bc ; Ica = ca Z∆ Z∆ Z∆



(1.43)



Hubungan arus fasa I a pada Gb.1.8, yang juga disebut arus saluran (line current) I L , dengan arus pada cabang ∆ adalah



Ia = Iab − Ica;



Ib = Ibc − Iab;



Ic = Ica − Ibc



(1.44)



1.8. Sistem Tiga-fasa Tak-seimbang Dalam sistem tiga-fasa seimbang, besar tegangan adalah sama di semua fasa dan antara fasa yang berurutan terdapat beda fasa 120o. Demikian pula halnya dengan arus; keadaan ini membuat arus di 33



Tinjauan Pada Sistem Tenaga penghantar netral bernilai nol. Tidak demikian halnya dengan keadaan tak-seimbang; tegangan dan arus di setiap fasa tidak sama dan beda fasa antar tegangan fasa-netral tidak 120o. 1.8.1. Komponen Simetris Tegangan di setiap fasa (fasa-netral) sistem tak-seimbang dapat kita tuliskan sebagai



Va = V a ∠α a ;



Vb = Vb ∠α b ;



Vc = Vc ∠α c



Satu kesatuan tiga fasor tak-seimbang ini, dipandang sebagai terdiri dari tiga komponen fasor seimbang yaitu: komponen urutan positif komponen urutan negatif komponen urutan nol Komponen urutan positif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa 120o, dengan urutan abc. Komponen urutan negatif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa 120o dengan urutan cba, dan komponen urutan nol adalah fasor tiga-fasa tanpa selisih sudut fasa. Tiga set fasor seimbang ini digambarkan pada Gb.1.9. Perhatikanlah bahwa baik komponen urutan positif maupun negatif, memiliki selisih sudut fasa 120o; artinya kemunculan tegangan berselisih 120o secara berurutan, sedangkan komponen urutan nol tidak memiliki selisih sudut fasa, yang berarti gelombang tegangan di ketiga-fasa muncul dan bervariasi secara bersamaan. Oleh karena itu jumlah fasor arus urutan nol di titik penghatar netral tidaklah nol melainkan 3 kali arus urutan nol. Komponen urutan nol diberi tambahan indeks 0, urutan positif diberi tambahan indeks 1, urutan negatif dengan tambahan indeks 2. Komponen-komponen ini disebut komponen simetris. Dengan komponen simetris ini maka pernyataan tegangan semula (yang tidak seimbang) menjadi Va = Va0 + Va1 + Va 2 ; Vb = Vb 0 + Vb1 + Vb 2 ; Vc = Vc 0 + Vc1 + Vc 2



34



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(1.45)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Vc1 V a1



Va 0 , Vb 0 , Vc 0



Urutan nol



Vb 2 Va 2



Vb1 Urutan positif



negatif VcUrutan 2 Gb.1.11. Komponen seimbang dari fasor tegangantiga-fasa tak-seimbang. 1.8.2. Operator a Penulisan komponen urutan dilakukan dengan memanfaatkan operator a, yang sesungguhnya adalah fasor satuan yang berbentuk



a = 1∠ ∠120o



(1.46)



Suatu fasor, apabila kita kalikan dengan a akan menjadi fasor lain yang terputar ke arah positif sebesar 120o; dan jika kita kalikan dengan a2 akan terputar ke arah posistif 240o (operator semacam ini telah pernah kita kenal yaitu operator j = 1∠90o ). Kita manfaatkan operator a ini untuk menuliskan komponen urutan positif dan negatif. Dengan operator a ini, indeks a,b,c dapat kita hilangkan karena arah fasor sudah dinyatakan oleh operator a, sehingga kita dapat menuliskan



Va 0 = Vb 0 = Vc 0 = V0 Va1 = V1 ; Vb1 = aV1 ; Vc1 = a 2 Va 0 Va 2 = V2 ; Vb 2 = a 2 V2 ; Vc 2 = aV2 sehingga



Va = V0 + V1 + V2 Vb = V0 + a 2 V1 + aV2



(1.47)



Vc = V0 + aV1 + a V2 2



Agar lebih jelas, perhatikan Gb.1.10 berikut ini. 35



Tinjauan Pada Sistem Tenaga a V1 = Vc1 V0



a V2 = Vb 2 V1 = Va1



V2 = V a 2



a 2 V 2 = Vc 2



a 2 V1 = Vb1



Urutan nol Urutan positif Urutan negatif Gb.1.12. Penulisan komponen urutan dengan menggunakan operator a. Persamaan (1.47) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks menjadi



Va  1 1    2  Vb  = 1 a  Vc  1 a   



1   V0    a   V1  a 2   V2 



(1.48)



1.8.3. Mencari Komponen Simetris Komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik; ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur adalah besaranbesaran yang tak-seimbang yaitu Va , Vb , Vc . Komponen simetris dapat kita cari dari (1.47.a) dengan menjumlahkan fasor-fasor dan dengan mengingat bahwa (1 + a + a2) = 0, yaitu



Va = V0 + V1 + V2 Vb = V0 + a 2 V1 + aV2 Vc = V0 + aV1 + a 2 V2 ⇒ Va + Vb + Vc = 3V0 + (1 + a 2 + a) V1 + (1 + a + a 2 ) V2 = 3V0 ⇒ V0 =



(



1 Va + Vb + Vc 3



)



(1.49.a)



Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:



36



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Va = V0 + V1 + V2 aVb = aV0 + a 3 V1 + a 2 V2 a 2 Vc = a 2 V0 + a 3 V1 + a 4 V2 ⇒ Va + aVb + a 2 Vc = (1 + a + a 2 )V0 + 3V1 + (1 + a 2 + a) V2 = 3V1 ⇒ V1 =



(



1 Va + aVb + a 2 Vc 3



)



(1.49.b)



Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:



Va = V0 + V1 + V2 a 2 Vb = a 2 V0 + a 4 V1 + a 3 V2 aVc = aV0 + a 2 V1 + a 3 V2 ⇒ Va + aVb + a 2 Vc = (1 + a 2 + a )V0 + (1 + a + a 2 ) V1 + 3V2 = 3V2 ⇒ V1 =



(



1 Va + a 2 Vb + aVc 3



)



(1.49.c)



Relasi (1.49.a,b,c) kita kumpulkan dalam satu penulisan matriks:  V0  1 1   1 V =  1  3 1 a  V2  1 a 2  



1  VA    a 2   VB  a   VC 



(1.50)



Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran fasa dan komponen simetrisnya yaitu (1.48) dan (1.50) yang masingmasing dapat kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut: ~ ~ Vabc = [T] V012 (1.51.a) ~ ~ V012 = [T] −1 Vabc dengan



1 1 [T] = 1 a 2 1 a



1 a  a 2 



dan



[T]



−1



1 1 1 = 1 a 3 1 a 2



1 a 2  a 



(1.51.b)



Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk arus 37



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



~ ~ I abc = [T] I 012 ~ ~ I 012 = [T] −1 I abc



(1.51.c)



1.8.4. Relasi Transformasi Relasi (1.51) inilah pasangan relasi untuk menghitung komponen urutan jika diketahui besaran fasanya, dan sebaliknya menghitung besaran fasa jika diketahui komponen urutannya; mereka kita sebut relasi transformasi fasor tak-seimbang. Perhatikan sekali lagi bahwa masing-masing komponen urutan membentuk fasor seimbang; komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik, tidak diukur dalam praktek; yang terukur adalah besaran-besaran yang tak-seimbang yaitu V a , Vb , Vc . CONTOH-1.3: Diketahui I a = 1∠60 o , I b = 1∠ − 60 o , and I c = 0 , hitunglah komponen-komponen simetrisnya . Solusi:



(



) (



1 1 I a + aIb + a 2 I c = 1∠60o + 1∠60o + 0 3 3 1 = ((0,5 + j 0,866) + (0,5 + j 0,866) + 0 ) 3 1 1 = (1 + j1,732) = 2∠60o 3 3



I1 =



(



(



)



)



) (



1 1 I a + a 2 Ib + aI c = 1∠60o + 1∠180o + 0 3 3 1 = ((0,5 + j 0,866) − 1 + 0) 3 1 = (− 0,5 + j 0,866) = 0,333∠120o 3



I2 =



38



)



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



(



) (



1 1 I a + Ib + I c = 1∠60o + 1∠60o + 0 3 3 1 = ((0,5 + j 0,866) + (0,5 − j 0,866) + 0) 3 1 = (1 + j 0) = 0,333∠0o 3



I0 =



)



Perhatikan: perhitungan dalam soal ini memberikan



2 2 I c1 = aI1 = 1∠120o × ∠60o = ∠(120o + 60o ) = 0,667∠180o 3 3 I c 2 = a 2 I 2 = 1∠240o × 0,333∠120o = 0,333∠360o I c 0 = I 0 = 0,333∠0o sedangkan diketahui I c = 0 Kita yakinkan:



I c = I c1 + I c 2 + I c0 = −0,667 + 0,333 + 0,333 ≈ 0 1.8.3. Impedansi Urutan Jika impedansi Z A , Z B , Z C merupakan impedansi-impedansi dengan tegangan antar terminal masing-masing Vaa ' , Vbb' , Vcc' maka Vaa '  I a       Vbb'  = [ Z ABC ] I b   Vcc'  I c      atau lebih kompak ~ ~ V( abc)' = [ Z ABC ] I abc (1.52)



~ ~ V( abc)' adalah tegangan antar terminal impedansi dan I abc



adalah arus yang melalui impedansi. [Z ABC ] adalah matriks 3 × 3, yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Kita akan melihat sebuah contoh saluran transmisi yang mendapat pembebanan tidak seimbang. 39



Tinjauan Pada Sistem Tenaga CONTOH-1.4: Suatu saluran tiga-fasa masing reaktansi sediri Xs sedangkan antar fasa terdapat Xm. Resistansi konduktor diabaikan. Tentukanlah Perhatikan bahwa Xs adalah reaktansi sendiri reaktansi bersama antar konduktor. Xs I a



.



Va



Xm



Xm Xm



Vb



. .



masing memiliki reaktansi bersama impedansi urutan. dan Xm adalah



Xs



Ib



Xs



Ic



Va′ Vb′



I a + Ib + Ic



Vc



Vc′



Solusi:



Vaa ' = Va − Va ' = jX s I a + jX m I b + jX m I c Vbb' = Vb − Vb' = jX m I a + jX s I b + jX m I c Vcc' = Vc − Vc ' = jX m I a + jX m I b + jX s I c yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks



Va   Va '       Vb  −  Vb '  =  Vc   Vc '     



Xs j  X m  X m



Xm Xs Xm



X m  I a    X m   I b  X s   I c 



dan dapat dituliskan dengan lebih kompak ~ ~ ~ ′ = [ Z ABC ] I abc Vabc − Vabc Karena ~ ~ ~ ~ ~ ~ Vabc = [T] V012 , V012 = [T] −1 Vabc , dan I abc = [T] I012 maka relasi diatas menjadi ~ ~ ~ ′ = [ Z ABC ] [T] I 012 atau [T]V012 − [T]V012



~ ~ ~ ′ = [T] −1 [ Z ABC ] [T] I 012 V012 − V012 40



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Pada relasi terakhir ini terdapat faktor



[T]−1[Z ABC ][T] yang dapat kita hitung sebagai berikut:



1



1 1   X s X m X m  1 1 a a 2  j  X m X s X m  1 a 2 3 1 a 2 a   X m X m X s  1 a Xs + 2Xm Xs + 2Xm Xs + 2Xm  1 j =  X s − X m aX s + (1 + a 2 ) X m a 2 X s + (1 + a) X m  1 3  X s − X m a 2 X s + (1 + a) X m aX s + (1 + a 2 ) X m  1 0 0 X s + 2X m    = j 0 Xs − Xm 0   0 0 X s − X m 



[T]-1 [Z ABC ][T] = 1 1



1 a  a 2  1 a2 a



1 a  a 2 



Hasil perhitungan ini memberikan relasi berikut



0 0 X s + 2X m  ~ ~  ~ ′ = j V012 − V012 0 Xs − Xm 0   I 012 =  0 0 X s − X m  0 Z 0 0 ~ ~  =  0 Z 1 0  I012 = [ Z 012 ] I012  0 0 Z 2  Jika didefinisikan: Impedansi urutan nol Z 0 = j ( X s + 2 X m ) Impedeansi urutan positif Z 1 = j ( X s − X m ) Impedansi urutan negatif Z 2 = j ( X s − X m ) Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam relasi ini digambarkan sebagai berikut:



Z0 V0 Urutan nol



V 0′



Z1 V1



V1′



Urutan positif



Z2 V2



V 2′



Urutan negatif 41



Tinjauan Pada Sistem Tenaga 1.9.4. Daya Pada Sistem Tak-seimbang Daya pada sistem tiga-fasa adalah jumlah daya setiap fasa.



S 3 f = Va I ∗a + Vb I ∗b + Vc I ∗c atau dalam bentuk matriks I ∗a    ~ ~∗ S 3 f = Va Vb Vc I ∗b  = VabcT I abc (1.53) I ∗   c  ~ ~ ( VabcT adalah transposisi dari Vabc ) ~ ~ ~ ~ Karena Vabc = [T] V012 dan I abc = [T] I 012 , maka relasi diatas menjadi ~ ~∗ S 3 f = V012 [T] T [T]∗ I012 (1.54)



[



]



~ ~ ~ ~ Catatan: Vabc = [T] V012 ⇒ VabcT = V012T [T]T ~ ~ ~∗ ~∗ I abc = [T] I012 ⇒ I abc = [T]∗ I 012 Pada (1.54) terdapat faktor [T ]T [T ]∗ yang dapat kita hitung



[T]T [T ]







1 1 = 1 a 2 1 a



1  1 1 a  1 a a 2  1 a 2



1  3 0 0  1 0 0  2  a  = 0 3 0 = 30 1 0 0 0 1 a  0 0 3



Dengan demikian (1.54) dapat dituliskan



~ ~∗ S 3 f = 3V012T I 012



(



atau



S 3 f = 3 V0 I 0∗ + V1 I1∗ + V2 I ∗2



)



(1.55)



CONTOH-1.5: Hitunglah daya tiga-fasa pada kondisi tidak seimbang seperti berikut:



 10   j10    V ABC = − 10 kV dan I ABC = − 10 A  0  − 10 42



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Solusi (1):



− j10 V ABCT = [10 − 10 0] dan I ∗ABC =  − 10   − 10  Kita akan menghitung daya tiga-fasa langsung dengan mengalikan kedua matriks kolom ini



− j10 S 3 f = [10 − 10 0]  − 10  = − j100 + 100 + 0 = (100 − j100) kVA  − 10  Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan arus yang tidak simetris. Berikut ini kita akan menyelesaikan soal ini melalui komponen simetris. Solusi (2): Tegangan urutan adalah: 1 1 ~ ~ 1 V012 = [T ]−1 V ABC = 1 a 3 1 a 2 ~ Dari sini kita hitung V012T



1   10  0   1 a 2  − 10 =  10 − a10 + 0  3 10 − a 2 10 + 0 a   0 



[



1 ~ ⇒ V012T = 0 10 − a10 10 − a 2 10 3 Arus urutan adalah:



1 1 ~ 1 −1 ~ I 012 = [T ] I ABC = 1 a 3 1 a 2 =



]



1   j10  a 2  − 10 a  − 10



0    0  1  2  1 j 10 − a 10 − a 10 =  3  j10 + 10 3  j10 − a 2 10 − a10  j10 + 10



0   ~∗ 1  ⇒ I012 = − j10 + 10 3 − j10 + 10 43



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Daya tiga-fasa adalah ~ ∗ S3 f = 3V012T I012 0   1 1  2 = 3 × × 0 10 - a10 10 − a 10 − j10 + 10 3 3 − j10 + 10 1 = 0 + (10 − a10)(− j10 + 10) + (10 − a 210)(− j10 + 10) 3 1 = (300 − j 300) = (100 − j100) kVA 3



[



]



[



]



(catatan: a + a 2 = −1 ) Komentar: Hasil perhitungan dengan perkalian langsung tegangan dan arus tak-seimbang sama dengan hasil perkalian melalui komponen simetris. Jika hasilnya sama, mengapa kita harus bersusah payah mencari komponen simetris terlebih dulu? Persoalan pada pembebanan takseimbang tidak hanya menghitung daya, tetapi juga arus dan tegangan; misalnya menghitung arus hubung singkat yang tidak simetris, yang tetap memerlukan perhitungan komponen simetris. 1.9. Pernyataan Sistem Tenaga Sistem tenaga merupakan rangkaian listrik yang rumit. Disamping banyaknya macam piranti yang ada di dalamnya, sistem ini juga sistem multifasa (umumnya tiga-fasa), dan ia beroperasi pada banyak tingkat tegangan. Agar analisis dapat dilakukan, maka sistem tenaga harus dapat dinyatakan secara mudah. 1.9.1. Diagram Satu Garis Langkah pertama dalam analisis adalah memindahkan rangkaian sistem tenaga ke atas kertas dalam bentuk diagram rangkaian. Diagram rangkaian untuk sistem tenaga berupa diagram satu garis (single line diagram). Diagram ini sederhana namun menunjukkan secara lengkap interkoneksi berbagai piranti. Walaupun hanya satu garis, ia menggambarkan sistem multifasa. Berikut ini contoh dari diagram satu garis. 44



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



Generator



1 ∆



Y G



2



Saluran transmisi



4



Y∆



Z beban Y-ditanahkan melalui impedansi



3∆ Y



Nomer bus



Circuit Breaker



5



Trafo 2 belitan



6



beban



Trafo 3 belitan



Gb.1.11. Diagram satu garis. Gb.1.11. memperlihatkan sebuah generator terhubung Y, dengan titik netral yang ditanahkan melalui sebuah impedansi. Generator ini dihubungkan ke trasformator tiga belitan melalui bus-1. Belitan primer trafo terhubung ∆, belitan sekunder terhubung Y dengan titik netral ditanahkan langsung dan terhubung ke bus-2, sedangkan belitan tertier dihubungkan ∆ masuk ke bus-3 untuk mencatu beban. Dari bus-2 melalui circuit breaker masuk ke saluran transmisi melalui bus-4. Ujung saluran transmisi melalui bus-5 terhubung ke transformator 2 belitan; transformator ini terhubung Y-∆ dengan titik netral primernya ditanahkan langsung. Sekunder transformator terhubung ke bus-6 untuk mencatu beban. Dalam diagram satu garis, impedansi-impedansi tidak digambarkan. Untuk analisis, diagram satu garis perlu “diterjemahkan” menjadi diagram rangkaian listrik model satu fasa seperti terlihat pada Gb. 1.12.



1



Transformator



Generator



beban



5



4



Circuit breaker



3



∼+



2



Rangkaian ekivalen π saluran transmisi



6



Transformator beban



Gb.1.12. Model satu fasa dari diagram satu garis Gb.1.11.



45



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Dengan model satu fasa inilah analisis dilakukan. Dalam Gb.1.12. ini saluran transmisi dinyatakan dengan rangkaian ekivalennya, yaitu rangkaian ekivalen π, yang akan kita pelajari lebih lanjut. 1.9.2. Sistem Per-Unit Sistem per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing, tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm, ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit (disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu sudah kurang berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa keuntungan yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan kita lihat kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan pelajari. Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit besaran itu menjadi tidak berdimensi



Nilai per - unit =



nilai sesungguhnya nilai basis



Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa sesungguhnya. Sebagai contoh kita ambil daya kompleks



S = V I ∗ = VI∠(α − β)



(1.56)



di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus. Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan Sbasis yang berupa bilangan nyata, sehingga



S pu =



S∠(α − β) = S pu ∠(α − β) Sbasis



Didefinisikan pula bahwa 46



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(1.57)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga



S basis = Vbasis × I basis



(1.58)



Nilai Sbasis dipilih secara bebas dan biasanya dipilih angka yang memberi kemudahan seperti puluhan, ratusan dan ribuan. Jika Sbasis sudah ditentukan kita harus memilih salah satu Vbasis atau Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi tidak kedua-duanya bisa dipilih bebas. Jika kita hitung Spu dari (1.56) dan (1.57) kita peroleh



S pu =



S



=



S basis



V∠αI∠ − β = V pu I ∗pu Vbasis I basis



(1.59)



Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi



Z basis



2 Vbasis Vbasis = = I basis S basis



(1.60)



Dengan Zbasis ini relasi arus dan tegangan V = Z I atau Z =



V I



akan memberikan



Z Z basis



=



V/I Vbasis / I basis



Z pu =



atau



V pu I pu



(1.61)



Karena Z = R + jX maka



Z Z basis



=



R + jX R X = + j atau Z basis Z basis Z basis



Z pu = R pu + jX pu



(1.62)



Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri pula.



P + jQ S = S basis S basis



S pu = Ppu + jQ pu



atau (1.63)



47



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Contoh-1.6: Nyatakanlah besaran-besaran pada rangkaian satu fasa berikut ini dalam per-unit dengan mengambil Sbasis 4Ω − j4 Ω o = 1000 VA dan V = 200 ∠0 V j8 Ω Vbasis = 200 V.







Solusi:



S basis = 1000 VA;



Vbasis = 200 V



I basis =



S basis 1000 = =5 A Vbasis 200



Z basis =



Vbasis 200 = = 40 Ω I basis 5



Maka: V pu =



200∠0 o = 1∠0 o pu 200



4 = 0,1 pu 40 4 X Cpu = = 0,1 pu 40 8 = 0,2 pu X Lpu = 40



R pu =



Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi seperti gambar di bawah ini. Z pu = 0,1 − j 0,1 + j 0,2 = 0,1 + j 0,1 = 0,1 2∠45 o pu



I pu =



V pu Z pu



=



1∠0 o 0,1 2∠45 o



= 5 2∠ − 45 o pu



S pu = V pu I ∗pu = 1∠0 o × 5 2∠45 o = 5 2∠45 o pu



1∠0 o pu



48







0,1 pu − j 0,1 pu j 0,2 pu



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Tinjauan Pada Sistem Tenaga 1.9.3. Sistem Per-Unit Dalam Sistem Tiga-fasa Di sub-bab sebelumnya, kita lihat aplikasi sistem per-unit pada sistem satu fasa. Untuk sistem tiga-fasa (yang kita ketahui bahwa sistem tiga-fasa ini sangat luas dipakai dalam penyediaan energi listrik) dikembangkan pengertian nilai basis tambahan sebagai berikut. S 3 f basis = 3S basis



V ff



basis



= Vbasis 3



Z Ybasis = Z basis Z ∆basis = 3Z basis If



asis



(1.64)



= I basis



I Ybasis = I basis I ∆basis = I basis / 3 Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat pada contoh berikut ini. Contoh-1.5: Sebuah sumber tiga-fasa dengan tegangan fasa-fasa 6 kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel: bebanA: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging, beban-B: 300 kVA, faktor daya 0,6 leading. Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus saluran dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A. Solusi: Penentuan nilai basis adalah sembarang. Kita pilih S3f basis = 600 kVA dan Vff basis = 6 kV, sehingga



600 = 200kVA 3 6 Vbasis = = 3464 V 3 S 200 I basis = basis = = 57,74 A Vbasis 6 / 3 Sbasis =



V 3464 Z basis = basis = = 60 Ω I basis 57,74 Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan positif. Besaran per fasa adalah: 49



Tinjauan Pada Sistem Tenaga Beban-A: 600 SA = = 200 kVA; ϕ A = cos −1 (0,8) = +36,9o (f.d. lag ) 3



S A = 200∠36,9o kVA → S Apu = V Apu =



SA Sbasis



6/ 3



=



200∠ + 36,9o = 1∠36,9o 200



= 1∠0 o ;



6/ 3 S 1∠36,9 o Apu I ∗Apu = = = 1∠36,9 o ⇒ I Apu = 1∠ − 36,9 = 0,8 − j 0,6 o V Apu 1∠0



Beban-B: 300 SB = = 100 kVA; ϕ B = cos(0,6) = −53,1o (f.d. lead ) 3



S B = 100∠ − 53,1o kVA ⇒ S Bpu =



SB Sbasis



=



100∠ − 53,1o = 0.5∠ − 53,1o 200



VBpu = V Apu = 1∠0o ∗ I Bpu =



S Bpu VBpu



=



0,5∠ − 53,1o 1∠0



o



= 0,5∠ − 53,1o



⇒ I Bpu = 0,5∠53,1o = 0,3 + j 0,4 Arus saluran: I pu = I Apu + I Bpu = 0.8 − j 0,6 + 0,3 + j 0,4 = 1,1 − j 0,2



I = (1,1 − j 0,2) × 57,74 = 63,51 − j11,55 = 64,55∠ − 10,3o A Impedansi beban-A: V Apu 1∠0 o Z Apu = = = 1∠36,9 o I Apu 1∠ − 36 o ⇒ Z A = 60∠36,9 o = (48 + j 36) Ω



50



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi



BAB 2



Saluran Transmisi



Saluran transmisi merupakan koridor yang harus dilalui dalam penyaluran energi listrik. Saluran transmisi biasanya dinyatakan menggunakan rangkaian ekivalen. Hal ini telah kita lihat secara selintas pada pembahasan diagram satu garis, Gb.1.9. Walaupun rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana, ada empat hal yang perlu kita perhatikan yaitu: • Resistansi konduktor, • Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir di konduktor yang lain, • Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar konduktor, • Arus bocor pada isolator. Dalam analisis sistem tenaga, arus bocor pada isolator biasanya diabaikan karena cukup kecil dibandingkan dengan arus konduktor. Namun masalah arus bocor menjadi sangat penting jika kita membahas isolator karena arus bocor ini mengawali terjadinya kerusakan pada permukaan isolator yang dapat mengakibatkan flashover dan kegagalan sistem. Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi, perlu kita lihat besaran-besaran fisis udara yang akan masuk dalam perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu: Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama dengan permeabilitas ruang hampa:



µ = µ 0 µ r ≈ µ 0 = 4π × 10 −7 H/m Permitivitas: permitivitas listrik udara dianggap sama dengan permitivitas ruang hampa:



ε = εr ε0 ≈ ε0 =



10 −9 F/m 36π



51



Saluran Transmisi 2.1. Impedansi dan Admitansi 2.1.1. Resistansi Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga dan aluminum. Untuk saluran transmisi banyak digunakan aluminum dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminum, seperti: • Aluminum: AAL (all aluminum coductor) • Aloy aluminum: AAAL (all aluminum alloy conductor) • Aluminum dengan penguatan kawat baja: ACSR (aluminum conductor steel reinforced) Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km], radius [cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta kemampuan mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar / spesifikasi; untuk sementara kita tidak membahasnya. Relasi resistansi untuk arus searah adalah ρl R AS = Ω (2.1) A dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor [m2], dan ρ adalah resistivitas bahan.



ρ Al = 2,83 × 10−8 Ω.m [20o C] ρ Al = 1,77 × 10−8 Ω.m [20o C] Resistansi tergantung dari temperature,



T + T0 ρT 2 = ρ T 1 2 T1 + T0



(2.2)



Untuk aluminum T0 = 228o C ; untuk tembaga T0 = 241o C Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolakbalik untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang konduktor.



52



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari panjang lateral yang kita ukur. 2.1.2. Induktansi Arus di suatu konduktor menimbulkan medan magnit di sekelilingnya dan juga di dalam konduktor itu sendiri walaupun yang di dalam konduktor tidak merata di seluruh penampang. Menurut hukum Ampere, jika arus yang mengalir pada konduktor adalah i maka medan magnet H di sekitar konduktor diperoleh



∫ Hdl = i . Di titik berjarak x di luar konduktor



dengan relasi



l



relasi ini menjadi



Hx =



i 2πx



(2.3)



Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu segmen dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi segmen ini sampai jarak Dx dari konduktor adalah



λ=



Dx



∫r



µHldx =



Dx



∫r



µil µil D x dx = ln 2πx 2π r



(2.4)



dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (2.4) ini adalah fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di dalam konduktor tersebut, didefinisikan suatu radius ekivalen yang disebut Geometric Mean Radius (GMR), r′, sehingga (2.4) menjadi



λ′ =



µil D x ln 2π r′



(2.5)



GMR adalah suatu radius fiktif yang lebih kecil dari radius fisik konduktor. Radius fiktif (GMR) ini kita anggap sebagai radius konduktor manakala kita berbicara tentang fluksi magnet sekitar konduktor. Dengan r ′ yang lebih kecil dari r ini, kita telah memperhitungkan adanya fluksi magnet di dalam konduktor.



53



Saluran Transmisi 2.1.2.1. Sistem Dua Konduktor



A



iA



A′



D AN : jarak A ke N ′ v A r A′ : GMR konduktor A rN′ : GMR konduktor N



vA N



N′ iA Gb.2.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.



Kita perhatikan suatu saluran daya listrik yang terdiri dari dua konduktor, satu adalah saluran kirim dan satu lagi saluran balik. Saluran kirim dialiri arus i sedangkan saluran balik juga dialiri arus i tetapi dengan arah yang berlawanan; hal ini digambarkan pada Gb.2.1. Kita pandang sistem dua konduktor ini sebagai satu segmen dari loop yang sangat panjang. Pada ujung-ujung segmen loop ini terdapat tegangan di antara kedua konduktor, yaitu v A dan v ′A . Jika panjang segmen ini adalah l maka arus iA di saluran A memberikan fluksi lingkup menembus bidang segmen loop ini sebesar



λ AN1 =



µi A l D AN ln 2π r A′



(2.6.a)



Arus iA di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar



λ AN 2 = D AN



µi A l D AN ln 2π rN′



(2.6.b)



Di ruang antara A dan N, fluksi λ AN 1 dan λ AN 2 saling menguatkan sehingga fluksi lingkup total menjadi



A



N Fluksi saling menguatkan



54



λ AN = λ A1 + λ A2 =



2 µi A l D AN (2.6.c) ln 2π r A′ rN′



λ AN adalah fluksi lingkup konduktor A-N yang ditimbulkan oleh iA, dan



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi sendiri LAA. 2.1.2.2. Sistem Tiga Konduktor Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor, saluran kirim A dan B serta saluran balik N, seperti terlihat pada Gb.2.2. Arus iA dan iB masing-masing mengalir di A dan B sedang di N mengalir arus balik (i A + i B ) . Kita akan menghitung fluksi lingkup segmen loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi lingkup pada segmen loop yang dibentuk oleh saluran A dan saluran balik N. iA A A′ iB B′ B



i A + iB



N N′ Gb.2.2. Saluran kirim A dan B, dan saluran balik N Dalam situasi ini arus iA di konduktor A dan arus balik (iA+iB) di N memberikan fluksi lingkup sebesar



λ ANB1 =



µi A l D AN µ(i A + i B )l D AN ln + ln 2π r A′ 2π rN′



(2.7.a)



Sementara itu arus iB di konduktor B juga memberikan fluksi



λ ANB 2 =



µi B l D AB µi B l D BN ln + ln 2π rB′ 2π rB′



(2.7.b)



Karena arus iB searah dengan iA maka suku pertama (2.7.b) memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan N dengan kehadiran B menjadi λ ANB = λ ANB1 + λ ANB 2 µi l  D D = A  ln AN + ln AN 2π  rA′ rN′



 µiBl +  2π 



 DAN D D   ln − ln AB + ln BN   rN′ rB′ rB′  



55



Saluran Transmisi atau



λ ANB =



2 µi Al D AN µi l  D D ln + B  ln AN BN 2π rA′ rN′ 2π  rN′ D AB



   



(2.7.c)



λ ANB adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (2.6.c) terlihat bahwa suku ke-dua (2.7.c) adalah tambahan yang disebabkan oleh adanya arus iB. Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus di B dan arus di N adalah



λ BNA1 =



µi B l D BN µ(i B + i A )l D BN ln + ln 2π rB′ 2π rN′



(2.8.a)



dan fluksi yang ditimbulkan oleh iA yang memperkuat fluksi λ BNA1 adalah



λ BNA2 =



µi A l  D AN D  µi l D  ln − ln AB  = A ln AN 2π  r A′ r A′  2π D AB



(2.8.b)



sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi



λ BNA = λ BNA1 + λ BNA2 =



2 µi B l D BN µi l D D ln + A ln BN AN 2π rB′ rN′ 2π D AB rN′



(2.8.c)



Kita lihat bahwa formulasi (2.8.c) mirip dengan (2.7.c); suku pertama adalah fluksi yang ditimbulkan oleh arus iB sedangkan suku kedua adalah tambahan yang disebabkan oleh arus iA. 2.2.1.3. Sistem Empat Konduktor Dengan cara yang sama, kita menghitung fluksi-fluksi lingkup pada sistem empat konduktor dengan tiga konduktor A, B, dan C masing-masing dengan arus iA, iB, dan iC, dan konduktor balik N dengan arus (i A + iB + iC ) seperti terlihat pada Gb.2.3.



56



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi



A B



v BN



C



v ′AN



iB



v AN



v ′BN



iC



v CN



i A + i B + iC



′ v CN



A′ B′



C′ N′



N



Dij : jarak konduktor i dan j ; ri′ = GMR konduktor i; i, j : A, B, C, N



Gb.2.3. Sistem empat konduktor. Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N adalah: λ AN =



µl  D D  i A ln AN + (i A + iB + iC ) ln AN 2π  rA′ rN′ +



=



D D µ   iC ln CN − iC ln AC 2π  rC′ rC′



 µ  DBN DAB  +    2π  iB ln r′ − iB ln r ′  B B   



   



D2 D D D D µl  i A ln AN + iB ln AN BN + iC ln AN CN 2π  rA′ rN′ rN′ DAB rN′ DAC



   



(2.9.a) D D µl   i B ln BN + (i A + i B + i C ) ln BN 2π  rB′ rN′



λ BN =



+ =



D D µ   iC ln CN − i C ln BC 2π  rC′ rC′



 µ  D AN D AB  +    2π  i A ln r ′ − i A ln r ′  A A   



   



D D D2 D D µl  i A ln BN AN + i B ln BN + +iC ln BN CN  2π  rN′ D AB rB′ rN′ rN′ D BC



   



(2.9.b) λ CN =



D D µl   iC ln CN + (i A + i B + iC ) ln CN 2π  r A′ rN′ +



=



D D µ   i B ln BN − i B ln BC ′ rB rB′ 2π 



 µ  D AN D AC +   2π  i A ln r ′ − i A ln r ′ A A  



  



D D D D D2 µl  i A ln CN AN + i B ln CN BN + iC ln CN 2π  rN′ D AC rN′ D BC rC′ rN′



   



(2.9.c) 57



  



Saluran Transmisi Penurunan relasi (2.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya untuk empat konduktor. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita mengaitkannya dengan keperluan kita untuk meninjau sistem tigafasa. Oleh karena itu kita batasi tinjauan pada sistem empat konduktor. Dalam bentuk matriks, (2.9) dapat kita tuliskan sebagai  µ D2 ln AN   2π rA′ rN′ λ AN  λ  = l  µ ln DBN D AN  BN  rN′ D AB  2π λCN  µ D D  ln CN AN rN′ DAC  2π



µ D AN DBN ln 2π rN′ D AB µ D2 ln BN 2π rB′ rN′ µ D D ln CN BN 2π rN′ DBC



µ D AN DCN ln 2π rN′ DAC µ DBN DCN ln 2π rN′ DBC µ D2 ln CN 2π rC′ rN′



   i    A   iB     iC   



(2.10) Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan imbas  µ D2  ln AN  2π r A′ rN′  v AA′   D D 1 µ v BB′  =  ln BN AN  l rN′ D AB  2π v CC ′   D µ  ln CN D AN  2π rN′ D AC 



D D µ ln AN BN 2π rN′ D AB D2 µ ln BN 2π rB′ rN′ D D µ ln CN BN 2π rN′ D BC



D D µ ln AN CN 2π rN′ D AC D D µ ln BN CN 2π rN′ D BC D2 µ ln CN 2π rC′ rN′



   di A    dt    di   B   dt    diC    dt    



(2.11) Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas dapat kita tuliskan dalam fasor  µ D2 ln AN   2π r A′ rN′  V AA′  µ D D 1  V BB′  = jω ln BN AN  l 2 rN′ D AB π    VCC ′   µ ln DCN D AN  2π rN′ D AC 



D D µ ln AN BN 2π rN′ D AB D2 µ ln BN 2π rB′ rN′ D D µ ln CN BN 2π rN′ D BC



D D µ ln AN CN 2π rN′ D AC D D µ ln BN CN 2π rN′ D BC D2 µ ln CN 2π rC′ rN′



     I A   I B     I C    



(2.12) Persamaan ini menunjukkan tegangan imbas pada setiap konduktor, sepanjang segmen l (jika faktor l pindah ke ruas kanan). 58



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi 2.1.3. Impedansi Resistansi dan tegangan imbas (baik oleh fluksinya sendiri maupun oleh fluksi yang timbul karena arus di konduktor lain) pada setiap konduktor membentuk impedansi di setiap konduktor. Dalam memperhitungkan resistansi, kita amati hal berikut: Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa, sedangkan arus balik melalui konduktor netral secara bersamasama. Oleh karena itu impedansi sendiri suatu fasa akan mengandung resistansi konduktor fasa dan resistansi konduktor netral, sedangkan impedansi bersama akan mengandung resistansi konduktor netral saja. Persamaan (2.12) dapat kita tuliskan menjadi:



 VAA′   Z AA 1  VBB ′  =  Z BA  l VCC ′   Z CA  



Z AB Z BB Z CB



Z AC   I A    Z BC   I B  Z CC  I C 



(2.13.a)



dengan ZXX adalah impedansi sendiri konduktor X dan ZXY adalah impedansi konduktor X karena adanya imbas dari konduktor Y; impedansi ini adalah per satuan panjang. (Perhatikan adanya faktor 1/l di ruas kiri (2.13.a)) Z AA = R A + R N + j



Z BB = R B + R N + j



Z CC = RC + R N + j



2 ωµ D AN ln ; 2π rA′ rN′



2 ωµ D BN ln ; 2π rB′ rN′



2 ωµ DCN ln ; 2π rC′ rN′



Z AB = R N + j



ωµ D AN D BN ln 2π rN′ D AB



Z AC = R N + j



ωµ D AN DCN ln rN′ D AC 2π



Z BA = R N + j



ωµ D BN D AN ln 2π rN′ D AB



Z BC = R N + j



ωµ D BN DCN ln 2π rN′ D BC



Z CA = R N + j



ωµ DCN D AN ln 2π rN′ D AC



Z CB = R N + j



ωµ DCN D BN ln 2π rN′ D AC (2.13.b)



59



Saluran Transmisi Walaupun matriks impedansi pada (2.13.a) terlihat simetris namun tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi, seperti yang akan kita lihat berikut ini. 2.1.3.1. Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-Sisi) Konfigurasi ini adalah konfigurasi segitiga sama-sisi di mana konduktor fasa berposisi di puncak-puncak segitiga.



D AB = DBC = D AC = D Konduktor netral berposisi di titik berat segitiga, sehingga



D AN = DBN = DCN = D / 3 Gb.2.4. memperlihatkan konfigurasi ini.



D



D D/ 3



D Gb.2.4 Konfigurasi ∆ (equilateral). Jika kita anggap resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R dan GMR-nya pun sama yaitu r ′ , maka jika kita masukkan besaran-besaran ini ke (2.13.b) kita peroleh persamaan (2.14) di bawah ini. Perhatikan impedansi sendiri ZXX yang akan kita sebut Zs dan impedansi bersama ZXY yang akan kita sebut Zm dalam persamaan yang diperoleh ini.



60



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Z AA = R + RN + j



ωµ D2 ln ; 2π 3r ′rN′



Z AB = RN + j



ωµ D ln 2π 3rN′



Z AC = RN + j Z BB = R + RN + j



2 ωµ DBN ln ; 2π 3r ′rN′



Z BA = RN + j Z BC



Z CC = R + RN + j



2 ωµ DCN ln ; 2π 3r ′rN′



ωµ D ln 2π 3rN′



ωµ D ln 2π 3rN′



(2.14)



ωµ D = RN + j ln 2π 3rN′



Z CA = RN + j



ωµ D ln 2π 3rN′



Z CB = R N + j



ωµ D ln 2π 3rN′



Pada (2.14) ini terlihat bahwa



Z AB = Z BC = Z CA = Z m dan Z AA = Z BB = Z CC = Z s sehingga (2.13.a) dapat dituliskan:



 V AA′   Z s 1  VBB′  =  Z m l  VCC ′   Z m   



Z m  I A    Z m  I B  Z s  I C 



(2.15.a)



ωµ D2 ln Ω/m 2π 3r ′rN′



(2.15.b)



Zm Zs Zm



dengan



Z s = R + RN + j Z s = RN + j



ωµ D ln Ω/m 2π 3rN′



jika R dan RN dinyatakan dalam Ω/m, dan µ dalam H/m. D, r ′ , dan rN′ dinyatakan dengan satuan yang sama (biasanya dalam meter disesuaikan dengan D yang juga diukur dalam meter). Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti yang kita pelajari di bab sebelumnya, yaitu



61



Saluran Transmisi



[Z 012 ] = [T]−1[Z ABC ][T] 1 1 1   Z s Z m Z m  1 1 1  1 1 a a 2   Z m Z s Z m  1 a 2 a  3 1 a 2 a   Z m Z m Z s  1 a a 2  Z s + 2Z m Z s + 2Z m Z s + 2Z m  1 1 1 2 2 =  Z s − Z m aZ s + (1 + a ) Z m a Z s + (1 + a ) Z m  1 a 2 3  Z s − Z m a 2 Z s + (1 + a ) Z m aZ s + (1 + a 2 ) Z m  1 a 0 0  Z s + 2Z m  = 0 Zs − Zm 0   0 0 Z s − Z m 



=



1 a  a 2 



(2.16.a) Dengan memasukkan (2.15.b) ke (2.16.a) kita peroleh



ωµ D4 ln Ω/km 2π 27r ′(rN′ )3 (2.16.b) ωµ D = R+ j ln Ω/km 2π r ′



Z 0 = Z s + 2 Z m = R + 3R N + j Z1 = Z 2 = Z s − Z m



CONTOH-2.1: Penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz, panjang 20 km. Konduktor penyulang berpenampang 95 mm2 dan memiliki radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah 0,0286 Ω.mm2/m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆ dengan jarak antar konduktor 1 m. Hitunglah impedansi sendiri dan impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan mengabaikan kapasitansi. Solusi: Resistansi konduktor: ρl 0,0286 RA = = = 0,00031 Ω/m A 95 Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi bersama fasa A dihitung menggunakan formulasi (2.14) dengan panjang saluran l = 20 km = 20000 m:



62



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi



Z AAl



 0,00031 + 0,00031    − 7 2 =  × 20000 100π × 4π × 10 1 ln + j  2π 3 × 0,006 × 0,006  



= 12,04 + j12,85 = 17,61∠46,86o Ω   100π × 4π × 10− 7 12  × 20000 Z ABl =  0,00031 + j ln   2 π 3 × 0 , 006   = 6,02 + j 5,05 = 7,68∠39,96o Ω Z ACl = Z ABl Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (2.16.b)



Z1 = Z s − Z m = Z AAl − Z ABl = 12,04 + j12,85 − 6,02 − j 5,05 = 6,02 + j 7,8 = 9,86∠52,35 CONTOH-2.2: Beban 5000 kW dengan faktor daya 0,8 dicatu melalui penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz, sepanjang 20 km dengan konfigurasi seperti yang diberikan pada Contoh-2.1. Dengan mengabaikan kapasitansi antar konduktor, hitunglah tegangan di ujung kirim apabila tegangan di ujung terima (beban) ditetapkan 20 kV dengan cara: a) menggunakan besaranbesaran fasa; b) menggunakan besaran urutan. Solusi: a)



Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang, perhitungan dilakukan menggunakan model satu-fasa. Kita amati fasa A. Impedansi sendiri total dan impedansi bersama total fasa A telah dihitung pada contoh-2.1:



Z AAl = 12,04 + j12,85 = 17,61∠46,86o Ω Z ABl = Z ACl = 6 ,02 + j 5,05 = 7,68∠39,96o Ω 63



Saluran Transmisi Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima fasa A sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung terima fasa A, B, dan C adalah



VrA =



20 3



∠0 o = 11,55∠0 o kV



VrB = 11,55∠ − 120 o kV VrC = 11,55∠ − 240 o kV Arus fasa A, B, dan C adalah



IA =



5000 / 3 = 180,4 A → I A = 180,4∠ − 36,87 o A 11,55 × 0,8 I B = 180,4∠ − 156,87 o A IC = 180,4∠ − 276,87 o A



Tegangan jatuh di fasa A adalah: V AA′ = Z AA I A + Z AB I B + Z AC I C = 17,61∠46,86 o × 180,4∠ − 36,87 o + 7,86∠39,96 o × 180,4∠ − 156,87 o + 7,86∠39,96 o × 180,4∠ − 276,87 o = 3129,33 + j551,34 − 641,39 − j1263,93 − 773,90 + j1187,43 = 1714,04 + j 474,84



Tegangan fasa-netral di ujung kirim:



VsA = VrA + V AA′ = 11,55 + 1,71 + j 0,48 = 13,2∠2 o kV Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:



Vsff = 13,2 3 = 22,8 kV b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada hanyalah urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung pada contoh-2.1.



Z1 = 6,02 + j 7,8 = 9,86∠52,35 o Ω Tegangan jatuh di fasa A adalah: 64



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi



V AA′ = Z1 × I A = 9,86∠52,35 o × 180,4∠ − 36,87 o = 1778,59∠15,48 o = 1,71 + j 0,48 V Tegangan fasa-netral di ujung kirim



VsA = VrA + V AA′ = 11,55 + 1,71 + j 0,48 = 13,2∠2 o kV Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:



Vsff = 13,2 3 = 22,8 kV 2.1.3.2. Transposisi Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi simetris adalah melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi konduktor sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris. Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga seksi dan posisi konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan, seperti diperlihatkan secara skematis oleh Gb.2.5.



D AN = D1



D AN = D 2



D AN = D3



D BN = D 2



D BN = D3



D BN = D1



DCN = D3



DCN = D1



DCN = D2



Gb.2.5. Transposisi. Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.2.5 memiliki resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jarijari serta GMR-nya; R A = R B = RC = R , rA = rB = rC = r , dan r A′ = rB′ = rC′ = r ′ . 65



Saluran Transmisi Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan impedansi urutan dengan melihat seksi per seksi. Jika panjang keseluruhan saluran adalah d, maka untuk konduktor A: seksi pertama: Z AA =



D2 ωµ d  R + RN + j ln 1 3  2π r ′rN′



 ;  



Z AB =



D D D D ωµ ωµ d 1 RN + j ln 1 2 ; Z AC =  R N + j ln 1 3 3 2π D AB rN′ 3 2π D AC rN′



   



(2.17.a) seksi ke-dua:  ;   d 1 ωµ DD ωµ D2 D3  ; Z AC =  RN + j ln ln 2 1 =  RN + j   3 2π DAB rN′  3 2π DAC rN′



Z AA = Z AB



d  ωµ D22 R + RN + j ln 3  2π r′rN′



   



(2.17.b) seksi ke-tiga Z AA =



d  D2 ωµ R + RN + j ln 3 3  2π rA′ rN′



Z AB =



d ωµ DD  RN + j ln 3 1 3  2π DAB rN′



 ;  



 1 ωµ DD ; Z AC =  RN + j ln 3 2  3  2π DAC rN′ 



   



(2.17.c) Impedansi per satuan panjang konduktor A menjadi: ωµ  D12 ln 2π  r ′rN′



   



Z AB = R N + j



ωµ  D1 D 2 ln 2π  D AB rN′



   



Z AC = R N + j



ωµ  D1 D3 ln 2π  D AC rN′



   



Z AA = R + R N + j



66



1/ 3



1/ 3



 D 22   r ′rN′ 



   



1/ 3



 D 2 D3   D r′  AB N



1/ 3



 D 2 D1   D r′  AC N



   



 D32   r ′rN′ 



1/ 3



   



   



1/ 3



 D3 D1   D r′  AB N



1/ 3



 D3 D 2   D r′  AC N



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



   



1/ 3



   



1/ 3



(2.18)



Saluran Transmisi Jika didefinisikan:



Dh = 3 D1 D2 D3



dan D f = 3 D AB D BC D AC



(2.19)



maka formulasi (2.18) menjadi



Z AA = R + RN + j



ωµ  Dh2 ln 2π  r ′rN′



ωµ  Dh2 Z AB = RN + j ln 2π  D f rN′



 ;  



2    ; Z AC = RN + j ωµ ln Dh  2π  D f rN′ 



   



(2.20)



Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A. Relasi lengkap untuk ketiga fasa adalah:



 V AA′   Z s 1  VBB′  =  Z m  l  VCC ′   Z m    dengan Z s = R + RN + j



Zm Zs Zm



Z m  I A    Z m  I B  Z s  I C 



ωµ  Dh2 ln 2π  r ′rN′



2 ωµ  Dh Z m = RN + j ln 2π  D f rN′ Impedansi urutan



  Ω/m  



  Ω/m  



(2.21.a)



(2.21.b)



[Z 012 ] = [T]−1 [Z ABC ][T ]



dan dengan (2.21.b) kita peroleh:



Z 0 = Z s + 2 Z m = R + 3R N + j Z1 = Z 2 = Z s − Z m



D h6 ωµ ln 2π D 2 r ′(rN′ ) 3 f



(2.22)



ωµ D f = R+ j ln 2π r′



67



Saluran Transmisi CONTOH-2.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi 50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi sebagai berikut: 8, 4 m



R A = RB = RC = 0.088 Ω / km



4,2 m



A



rA = rB = rC = r = 1,350 cm rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm



4,2 m



C



B



Kapasitas arus : 900 A



Solusi: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km; µ juga harus dinyatakan sebagai H/km = 1000 × H/m) Untuk menggunakan relasi (2.22), kita hitung lebih dulu Df dengan menggunakan relasi (2.19): D f = 3 4 × 4 × 8 = 5,29 m



Jadi:



2π × 50 × 4π × 10 −7 × 1000 5,29 ln 2π 0,01073 = 0,088 + j 0,3896 Ω/km



Z1 = 0,088 + j



2.1.4. Admitansi Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga dan mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satuan panjang. Pada konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk menghitung displacement D menjadi sederhana.



∫ Dds = ρl S



dengan S adalah luas dinding silinder sepanjang l dengan sumbu yang berimpit pada konduktor. Bidang equipotensial di sekitar konduktor akan berbentuk silindris. Kuat medan listrik di suatu titik berjarak x dari konduktor adalah: D ρl ρ Ex = = = ε ε × 2πx × l 2πεx 1 Untuk udara, ε = ε 0 = × 10 −9 F/m 36π 68



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan potensial antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan pada Gb.2.6. A B xA xB Gb.2.6. Dua titik di luar konduktor.



v AB =



xB



∫x



Edx =



A



xB



∫x



A



x ρ ρ dx = ln B 2πεx 2πε x A



(2.23)



v AB adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai positif jika xB > xA. Jika ρ adalah muatan negatif maka v AB adalah kenaikan potensial. 2.1.4.1. Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan Kita lihat sekarang satu konduktor k dengan jari-jari rk dan bermuatan ρk. Dua konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j, berjarak Dik dan Djk dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.2.7.



k , rk , ρ k



i



Dik



j



D jk



Gb.2.7. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor tak bermuatan. Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial antara konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara konduktor i dan j adalah selisih antara keduanya. D jk  ρ  D  vij = vkj − vki ρ = k  ln ik − ln ρk ρk k 2πε  rk rk  (2.24) ρ D = k ln ik 2πε Dij 69



Saluran Transmisi 2.1.4.2. Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan Tiga konduktor bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.2.8. Setiap muatan di setiap konduktor akan menyebabkan beda potensial di dua konduktor yang lain. D AC



D AB



D BC



A, r A , ρ A B, rB , ρ B C, rC , ρ C Gb.2.8. Tiga konduktor bermuatan. v BC = v BC v BC



ρA



Jadi



+ v BC



ρB



+ v BC



D ρ = A ln AC ; v BC 2πε D AB



v BC ρ = c



ρA



ρC



ρB



=



D ρB ln BC ; rB 2πε



r ρC ln C 2πε DBC



v BC =



D D r 1   ρ A ln AC + ρ B ln BC + ρ C ln C  2πε  D AB rB D BC



  (2.25)  



2.1.4.3. Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan Empat konduktor bermuatan terlihat pada Gb.2.9:



A , rA , ρ A



B, rB , ρ B



C, rC , ρ C



N , rN , ρ N Gb. 2.9. Sistem empat konduktor.



Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu



ρA + ρA + ρA + ρA = 0



70



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(2.26)



Saluran Transmisi



v AN =



D D D r 1   ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln N 2πε  rA D AB D AC D AN



   



v BN =



D D D r 1   ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln N  2πε  D AB rB D BC D BN



   



vCN =



D D D r 1   ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln N  2πε  D AC D BC rC DCN



   



v NN =



D D D D 1   ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln NN  2πε  D AN D BN DCN D NN



 =0   (2.27)



Jika kita terapkan relasi konservasi muatan yaitu



ρ a + ρ b + ρ c + ρ n = 0 atau ρ n = −(ρ a + ρ b + ρ c ) maka ρN akan ter-eliminasi dari persamaan (2.27). v AN =



1  D2 D D D D ρ A ln AN + ρ B ln AN BN + ρC ln AN CN 2πε  rArN D AB rN DAC rN



    2 D D D  + ρ B ln BN + ρC ln BN CN  (2.28.a) rB rN DBC rN  D D D2  + ρ B ln CN BN + ρC ln CN  DBC rN rC rN 



vBN =



1  D D ρ A ln AN BN  2πε  DAB rN



vCN =



1  D D ρ A ln CN AN  2πε  DAC rN



yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:  1 D2 ln AN  2πε ra rn v A    1 D v  = BN D AN  B   2πε ln D r AB n vC    1 DCN DAN  ln DAC rn  2πε



1 D D ln AN BN 2πε DAB rn 1 D2 ln BN 2πε rb rn 1 D D ln CN BN 2πε DBCB rn



1 D D  ln AN CN  DAC rn  2πε ρ A  1 DBN DCN    (2.28.b) ln  ρB 2πε DBC rn       ρC  1 D2 ln CN  2πε rc rn 



atau secara singkat



71



Saluran Transmisi



v A   f AA v  =  f  B   AB vC   f CA



f AB f BB f CB



f AC  ρ A  f BC  ρ A  f CC  ρ C 



(2.28.c)



atau lebih ringkas



~ ~v ABC = [F ABC ] ρ ABC dengan



f ij =



(2.28.d)



Din D jn 1 ln ; i, j = A, B, C 2πε Dij rn



(2.28.e)



Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, (2.28.c) dapat kita tuliskan:  V A   f AA     VB  =  f BA VC   f CA   



f AB



ρ A   f AA ρ  =  f  B   BA ρ C   f CA



f AB



f BB f CB



f AC  ρ A  f BC  ρ B  f CC  ρ C 



(2.29.a)



atau



f BB f CB



f AC  f BC  f CC 



−1



V A     VB  VC   



(2.29.b)



Atau



~ -1 ~ ~ ρ ABC = [F ABC ] V ABC = [C ABC ] V ABC



(2.29.c)



Kita ingat relasi kapasitor Q = CV . Dari (2.29.c) kita turunkan



[C ABC ] = [F ABC ]-1



F/m



(2.30)



[Y ABC ] = jω[C ABC ] Ω/m



(2.31)



dan kita peroleh admitansi



72



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Namun kita tidak menghitung [YABC] dengan menggunakan (2.31) melainkan dari (2.30) dengan menghitung [F ABC ] dan sini menghitung [F012 ] sehingga diperoleh [C 012 ] dan [Y012 ] .



 f AA [F ABC ] =  f BA  f CA



f AC  f BC  f CC 



f AB f BB f CB



(2.32)



nilai urutannya adalah



[F012 ] = [T]−1 [F ABC ][T]



(2.33)



dan akan kita peroleh



[C 012 ] = [F012 ]−1



sehingga



[Y012 ] = jω[C 012 ]



(2.35)



2.1.4.4. Konfigurasi ∆ Pada konfigurasi ∆,



D AB = D BC = D AC = D  1 D2 ln   2πε 3rrn  [F ABC ] =  1 ln D  2πε 3rn  1 D  ln  2πε 3rn  fs



fm



 f m



fs fm



[F012 ] = [T]−1  f m



;



1 D ln 2πε 3rn 1 D2 ln 2πε 3rrn 1 D ln 2πε 3rn



D AN = D BN = DCN = D / 3 1 D  ln  2πε 3rn   fs 1 D   ln  =  fm 2πε 3rn   fm 1 D2    ln 2πε 3rrn 



fm   fs + 2 fm f m  [T ] =  0  f s  0



F0 = f s + 2 f m =



0 fs − fm 0



fm fs fm



fm  f m  f s 



(2.35)  0  f s − f m  0



(2.36)



1 D4 ln 2πε 27r (rn ) 3



F1 = F2 = f s − f m =



1 D ln 2πε r



(2.37)



73



Saluran Transmisi Kapasitansi



C0 =



1 2πε = 4 F0 ln[ D / 27r (rN )3 ]



C1 =



1 2πε = C2 = F1 ln( D / r )



(2.38)



Admitansi



Y0 = jωC 0 = j



2πεω ln[ D / 27r (rN ) 3 ]



Y1 = jωC1 = Y2 = j



4



2πεω ln( D / r )



(2.39)



2.1.4.5. Transposisi Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan, maka impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks [FABC] berbentuk



 fs [F ABC ] =  f m  f m



fm fs fm



fm  f m  f s 



(2.40)



Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun dalam analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi, impedansi, serta admitansi difahami sebagai konstanta proporsiaonalitas rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka adalah besaran-besaran dimensional. Mereka merupakan besaran yang tergantung dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat fisis material yang membentuknya. Oleh karena itu, selama dimensinya sama, pengolahan aritmatika dapat dilakukan. Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana ditunjukkan oleh matriks [FABC] di atas, konduktor-konduktor memiliki nilai sama jika dilihat dalam selang saluran yang ditransposisikan yaitu yang terdiri dari tiga seksi. Dengan



74



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi demikian maka admitansi dapat kita peroleh dengan mengambil nilai rata-rata dari admitansi per seksi.



(



1 f ij seksi-1 + f ij seksi-2 + f ij seksi-3 3 dengan f ij = f s jika i = j f ij =



f if = f m jika i ≠ j



) (2.41)



Kita memperoleh



fs =



D2D2D2 1 ln 1 2 3 6πε r 3 rN3



fm =



DD D D D D 1 ln 1 2 2 3 3 1 6πε D AB D BC D AC rN3



(2.42)



Dengan definisi:



Dh = 3 D1 D2 D3



D f = 3 D AB DBC D AC



kita peroleh



fs =



D2 1 ln h 2πε rrN



fm =



Dh2 1 ln 2πε D f rN



(2.43)



sehingga



F0 = f s + 2 f m =



D h6 1 ln 2πε D 2 r (rn ) 3 f



F1 = F2 = f s − f m = Kapasitansi adalah



Df 1 ln 2πε r



C0 =



1 2πε = F/m 6 F0 ln[ Dh / D 2f r (rN )3 ]



C1 =



1 2πε = C2 = F/m ln( D f / r ) F1



(2.44)



(2.45)



75



Saluran Transmisi Admitansi adalah



Y0 = jωC 0 = jω Y1 = Y2 = jω



2πε ln( Dh6



/ D 2f rrN3 )



S/m



2πε S/m ln( D f / r )



(2.46)



CONTOH-2.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi 50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi seperti berikut: 8, 4 m



4,2 m



A



R A = RB = RC = 0.088 Ω / km rA = rB = rC = r = 1,350 cm rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm



4,2 m



C



B



Kapasitas arus : 900 A



Solusi: Dengan menggunakan relasi (2.46), di mana Df sudah dihitung pada Contoh-2.3. Dengan



ε = (1 / 36π) × 10 −9 F/m maka:



Y1 = jω



2π × 50 × 2π × (1 / 36π) × 10 −9 2πε = j ln( D f / r ) ln(5,29 / 0,01350)



= j 2,923 × 10 −9 S/m = j 2,923 µS/km 2.2. Rangkaian Ekivalen Di sub-bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi dan admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu kita telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang diagonal. Dengan menggunakan model satu-fasa, kita akan melihat bagaimana perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis. 76



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Rangkaian ekivalen ini diperlukan karena saluran transmisi terhubung dengan peralatan lain, transformator misalnya. 2.2.1. Persamaan Saluran Transmisi Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Karena impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran maka dalam penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara setiap posisi yang berbeda. Kita lihat model satu fasa saluran transmisi seperti pada Gb.2.10. ∆x



I s + ∆x



Vs



V s + ∆x



Z∆x I x



Y∆ x V x



Ix



Vx



Ir



Vr



x Gb.2.10 Model satu-fasa saluran transmisi.



Saluran transmisi ini bertegangan Vs di ujung kirim dan Vr di ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan kita perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut: • Di posisi x terdapat tegangan Vx . • Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan Vx +∆x karena terjadi tegangan jatuh ∆Vx = Z∆xI x (Z adalah impedansi per satuan panjang). • Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima. • Arus ∆I x = Y∆xVx mengalir di segmen ∆x (Y adalah admitansi per satuan panjang). • Arus I x+∆x mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung kirim. 77



Saluran Transmisi



V x + ∆x − V x = ZI x ∆x I − Ix atau x + ∆x = YV x ∆x



V x + ∆x − V x = Z∆xI x atau I x + ∆x − I x = Y∆xVx Jika ∆x mendekati nol, maka



dV x = ZI x dx



dI x = YV x dx



dan



(2.47)



Jika (2.47) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh



d 2 Vx dx



2



=Z



dI x dx



d 2I x



dan



dx



2



=Y



dV x dx



(2.48)



Substitusi (2.47) ke (2.48) memberikan



d 2 Vx dx 2



= ZYVx



dan



d 2I x dx 2



= ZYI x



(2.49)



2.2.2. Konstanta Propagasi Persamaan (2.49) ini telah menjadi sebuah persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi tersebut didefinisikan



γ 2 = ZY



atau γ =



ZY



(2.50)



γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m dan Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter. Selain itu karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ juga merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai γ = α + jβ



(2.51)



α disebut konstanta redaman, yang akan mengubah amplitudo tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain. β disebut konstanta fasa, yang akan mengubah sudut fasa tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain.



78



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi 2.2.3. Impedansi Karakteristik Dengan menggunakan pengertian konstanta propagasi maka persamaan tegangan dan arus, (2.49) dapat dituliskan menjadi



d 2 Vx dx



2



= γ 2 Vx



dan



d 2I x dx



2



= γ 2I x



(2.52.a)



atau



d 2 Vx dx



2



− γ 2 Vx = 0



dan



d 2I x dx



2



− γ2I x = 0



(2.52.b)



Solusi persamaan (2.52.b) adalah :



V x = k v1e γx + k v 2 e − γx dan I x = k i1e γx + k i 2 e − γx



(2.52.c)



Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (2.52.c) yaitu



V x = k v1e γx + k v1e − γx



(2.53.a)



Turunan (2.53.a) terhadap x memberikan dV x = k v1 γe γx − k v 2 γe γx dx sedangkan persamaan pertama (2.47) memberikan



(2.53.b)



dV x = ZI x dx sehingga (2.53.b) dan (2.47) memberikan



k v1 γe γx − k v 2 γe γx = Z I x



(2.53.c)



Konstanta propagasi γ didefinisikan pada (2.50) yaitu



γ = ZY Kita masukkan γ ke (2.53c) dan kita peroleh



(



)



ZY k v1e γx − k v 2 e γx = ZI x atau 79



Saluran Transmisi



k v1e γx − k v 2 e γx =



Z ZY



Ix =



Z Ix Y



(2.53.d)



Perhatikan bahwa ruas paling kiri (2.53.d) adalah ruas kanan persamaan (2.53a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas



Z di Y ruas paling kanan (2.53.c) haruslah berdimensi impedansi; impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Zc. paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh karena itu



Zc =



Z Y



(2.54)



Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu besaran impedansi yaitu impedansi karakteristik, Zc. Kita dapat menduga bahwa impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen saluran transmisi dan oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu saluran transmisi. Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (2.53.d) kita tulis menjadi



k v1e γx − k v 2 e γx = Z c I x



(2.55)



Kita lihat sekarang situasi di ujung terima, dimana x = 0. Persamaan pertama (2.53.c) memberikan tegangan di setiap poisi x, yaitu



V x = k v1e γx + k v1e − γx Dengan memberikan x = 0 pada (2.53.c) ini kita dapatkan tegangan di ujung terima



k v1 + k v 2 = Vr



(2.56.a)



sedangkan pada x = 0 persamaan (2.55) memberikan arus di ujung terima yaitu



k v1 − k v 2 = Z c I r Dari (2.56.a) dan (2.56.b) kita peroleh



80



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(2.56.b)



Saluran Transmisi



k v1 =



Z c I r + Vr 2



kv2 =



Vr − Z c I r 2



(2.56.c)



Dengan (2.56.c) ini maka persamaan tegangan di setiap posisi x, yaitu persamaan pertama (2.52.c) menjadi



V x = k v1e γx + k v 2 e − γx =



Z c I r + Vr γx Vr − Z c I r − γx e + e 2 2



e γx + e − γx e γx − e − γx = Vr + ZcIr 2 2 = Vr cosh( γx) + Z c I r sinh(λx)



(2.57)



Inilah persamaan tegangan di setiap posisi x apabila tegangan dan arus di ujung terima adalah Vr dan I r . Selanjutnya persamaan arus di setiap posisi x yaitu persamaa ke-dua (2.52.c) dapat kita olah dengan cara yang sama. dI I x = k i1e γx + k i 2 e − γx → x = k i1 γe γx − k i 2 γe − γx = YV x dx (2.58.a) 1 γx − γx → k i1e − k i 2 e = Vx Zc Untuk x = 0, 1 k i1 + k i 2 = I r k i1 − k i 2 = Vr Zc sehingga diperoleh



I + Vr / Z c k i1 = r 2



I − Vr / Z c ki2 = r 2



(2.58.b)



Dengan (2.58.b) ini kita peroleh



I + Vr / Z c γx I r − Vr / Z c − γx Ix = r e + e 2 2 =



Vr e γx − e − γx e γx + e − γx + Ir Zc 2 2



=



Vr sinh( λx) + I r cosh( γx) Zc



(2.58.c)



81



Saluran Transmisi Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan



Vx = Vr cosh( γx ) + Z c I r sinh( γx) V I x = r sinh( γx) + I r cosh( γx) Zc



(2.59)



Persamaan (2.59) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi karakteristik Zc. Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter yang ditunjukkan oleh persamaan (2.50); impedansi karakteristik mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan oleh (2.54). 2.2.4. Rangkaian Ekivalen π Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim adalah Vs dan I s maka dari (2.59) kita peroleh



Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd ) V I s = r sinh( γd ) + I r cosh( γd ) Zc



(2.60)



Rangkaian ekivalen diperlukan dalam analisis jika saluran transmisi terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu rangkaian ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti terlihat pada Gb.2.11. Is



Ir



Zt Vs



Yt 2



Yt 2



Gb.2.11. Rangkaian ekivalen π



82



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Vr



Saluran Transmisi Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan admitansi tergumpal. Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian ini memberikan:



Y    Z Y Vs = Vr + Z t  I r + t Vr  = 1 + t t 2 2    Y Y I s = Ir + t Vr + t Vs 2 2  Y Y  Z Y  = Ir + t Vr + t 1 + t t Vr + Zt Ir  2 2  2    ZY = 2 + t t 2 



  Vr + Z t I r 



(2.61.a)



(2.61.b)



 Yt  ZY   Vr + 1 + t t Ir 2  2 



Kita ringkaskan (2.61.a dan b) menjadi :



ZY   Vs = 1 + t t Vr + Z t I r 2   Z Y Y ZY    I s =  2 + t t  t Vr + 1 + t t  I r 2 2 2   



(2.62)



Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan tegangan dan arus pada (2.60) yaitu



Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd ) Is =



Vr sinh( γd ) + I r cosh( γd ) Zc



kita dapatkan Z t Yt = cosh( γd ) 2 Z t = Z c sinh( γd )



1+



(2.63)



Z Y Y  1  2 + t t  t = sinh( γd ) 2 2 Z   c



Substitusi persamaan pertama (2.63) ke persamaan ke-tiga (2.63) memberikan 83



Saluran Transmisi



Yt sinh( γd ) (e γd − e − γd ) / 2 = = 2 Z c (cosh( γd ) + 1) Z c (e γd + e − γd + 2) / 2 = =



(e γd / 2 − e − γd / 2 ) × (e γd / 2 + e − γd / 2 ) Z c (e γd / 2 + e − γd / 2 ) 2 (e γd / 2 − e − γd / 2 ) Z c (e



γd / 2



+e



− γd / 2



)



=



1  γd  tanh   Zc  2 



Jadi dalam rangkaian ekivalen π



Z t = Z c sinh( γd )



dan



Yt 1  γd  = tanh   2 Zc  2 



(2.64)



dengan d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Zc = impedansi karakteristik. Rangkaian ekivalen π diturunkan dari model satu-fasa rangkaian tiga-fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga-fasa tak-seimbang, fasor-fasor tak seimbang kita uraikan menjadi komponenkomponen simetris. Masing-masing komponen simetris merupakan fasa-fasa seimbang sehingga masing-masing komponen dapat di analisis menggunakan rangkaian ekivalen satufasa. Dengan kata lain masing-masing komponen memiliki rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen urutan positif, urutan negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada Gb.2.12. Besaran rangkaian ekivalen adalah: Konstanta propagasi urutan:



γ 0 = Z 0Y0 ;



γ1 = Z1Y1 ;



γ 2 = Z 2Y2



(2.65)



Impedansi karakteristik urutan:



Z c 0 = Z 0 / Y0 Z c1 = Z1 / Y1 Z c 2 = Z 2 / Y2 Impedansi urutan:



84



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(2.66)



Saluran Transmisi



Z 0 = Z c 0 sinh γ 0 d Z1 = Z c1 sinh γ1d



(2.67)



Z 2 = Z c 2 sinh γ 2 d Admitansi urutan:



Y0 γ d 1 = tanh 0 2 Z c0 2 γd Y1 1 = tanh 1 2 Z c1 2



(2.68)



Y2 1 γ d = tanh 2 2 Z c2 2



I s0



I r0



Zt0 Vs 0



Yt 0 2



Yt 0 Vr 0 2



Rangkaian Urutan Nol I s1



I r1



Z t1 V s1



Yt1 2



Yt1 2



Vr1



Rangkaian Urutan Positif Is2



Ir2



Zt 2 Vs 2



Yt 2 2



Yt 2 2



Vr 2



Rangkaian Urutan Negatif Gb.2.12. Rangkaian ekivalen urutan. 85



Saluran Transmisi CONTOH-2.5: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, tentukan (a) impedansi karakteristik; (b) konstanta propagasi; (c) rangkaian ekivalen π. 8, 4 m



4,2 m



A



R A = RB = RC = 0.088 Ω / km rA = rB = rC = r = 1,350 cm rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm



4,2 m



C



B



Kapasitas arus : 900 A



Solusi: Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah dihitung pada dua contoh sebelumnya.



Z1 = 0,088 + j 0,3896 Ω/km a)



Y1 = j 2,923 µS/km



Impedansi karakteristik adalah:



Zc =



Z = Y



= 103 ×



0,088 + j 0,3896 j 2,923 × 10− 6 0,088 + j 0,3896 = 369,67∠ - 6,4o Ω j 2,923



b) Konstanta propagasi



γ = ZY = (0,088 + j 0,3896)( j 2,923 × 10 −6 ) = (0,1198 + j1,074) × 10 −3 per km c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km, elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah



Z t = Z c sinh( γd ) = (369,67∠ − 6,4 o ) sinh[(0,1198 + j1,074) × 10 −1 ] = 8,77 + j 38,89 = 39.87∠77.3o Ω



86



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Yt 1  γd  = tanh  2 Zc  2  =



 (0,1207 + j1,074) × 10 − 3 × 100   tanh   2 369,67∠ − 6,4 o   1



= 3,14 × 10 − 8 + j 0,1463 × 10 − 3 ≈ j 0,1463 mS



Is



V s j 0,1463



8.77 + j38,89



j 0,1463



Ir



Vr



16.2.5. Rangkaian Ekivalen Pendekatan Apabila kita melakukan perhitungan dengan menggunakan computer, pendekatan ini sebenarnya tidak diperlukan. Namun untuk saluran pendek, perhitungan secara manual kadang-kadang diperlukan sehingga diperlukan besaran pendekatan. Pada saluran yang pendek, γd Vr > SIL V (x) SIL Vr



< SIL d



x Gb.2.18. Pembebanan >SIL atau < SIL. CONTOH-2.12: Dari saluran transmisi 50 Hz, 275kV, dengan panjang saluran 100 km seperti pada Contoh-2.8, tentukan SIL. Bandingkanlah dengan contoh-2.8 dimana saluran dibebani 250 MVA. 8, 4 m



4,2 m



A



R A = RB = RC = 0.088 Ω / km rA = rB = rC = r = 1,350 cm rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm



4,2 m



B



C



Kapasitas arus : 900 A



103



Saluran Transmisi Solusi: Zc telah dihitung pada sebelumnya, yaitu



Z c = 369,67∠ - 6,4 o Ω SIL =



V2 2752 = = 205 MVA Z c 369,67



Jika saluran dibebani lebih besar dari SIL, maka tegangan di ujung kirim akan lebih besar dari 275 kV. Hal ini terlihat pada contoh-2.8, dimana pada pembebanan 250 MVA, tegangan ujung kirim adalah Vs = 169,1∠5,7 o yang berarti tegangan fasafasa adalah



Vs = 169,1 3 = 293 kV lebih besar dari tegangan penunjuk 275 kV. 2.7. Transien Pada Saluran Transmisi 2.7.1. Isolasi Saluran Transmisi Udara adalah isolasi utama pada saluran udara. Namun konduktor saluran transmisi harus ditopang oleh menara untuk mencapai ketinggian tertentu terhadap permukaan tanah. Untuk mendukung konduktor ini, diperlukan isolator yang memisahkan konduktor dari menara. Untuk memilih isolator, ada tiga hal utama yang perlu dipertimbangkan, yaitu: Tegangan kerja sistem itu sendiri. Tegangan surja yang mungkin timbul oleh sambaran petir. Tegangan surja yang timbul pada waktu penutupan/pembukaan circuit breaker. Tegangan yang paling menentukan adalah tegangan surja karena kalau isolator mampu menahan tegangan uji surja tertentu, biasanya ia juga mampu menahan tegangan kerja sistem. Untuk uji surja, bentuk gelombang tegangan uji didefinisikan. Bentuk 104



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi gelombang surja dinyatakan sebagai T1 × T2 dimana keduanya dinyatakan dalam mikrodetik (µs). Jika tegangan puncaknya adalah V0 maka T1 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak sedangkan T2 adalah waktu untuk turun mencapai 0,5V0. Bentuk gelombang surja, secara matematis dinyatakan menggunakan fungsi eksponensial ganda



[



v(t ) = V1 e −t / τ 2 − e −t / τ1



]



(2.89.a)



dengan



τ2 =



T2 = 1,443T 2 ; ln( 2)



V1 = V 0 e



T τ1 = 1 = 0, 2T1 5



(2.89.b)



(T1 / 1, 443T2 )



Pengujian isolator dilakukan pada suatu kondisi yang ditentukan, dengan bentuk gelombang uji yang terdefinisi secara baik. Beberapa pengertian perlu kita fahami, yaitu: Critical Flashover Voltage (CFO): adalah tegangan maksimum dimana probabilitas terjadinya flashover adalah 0,50. Withstand Voltage: Tegangan maksimum 3 × standar deviasi dibawah CFO. Basic (lightning) Impulse Insulation Level (BIL): Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01 pada surja uji 1,2/50 µs. Basic (switching) Surge Impulse Insulation Level (BSL): Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01 pada surja uji 250/2500 µs. 2.7.2. Surja Petir Petir (lightning) sangat berbahaya bagi saluran transmisi. Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan petir. Arus petir yang pernah teramati di Jawa ini berkisar dari 7 sampai 130 A dengan rata-rata 30 kA, tapi di daerah Sumatra bisa sampai di atas 200 kA. Saluran transmisi dilengkapi dengan kawat tanah yang dipasang di puncak menara dan berfungsi sebagai pelindung kawat fasa 105



Saluran Transmisi terhadap sambaran petir. Berdasar pengalaman, kawat-kawat fasa yang berada dalam sektor 60o di bawah kawat tanah ini “aman” terhadap sambaran petir langsung. Walaupun kawat fasa terlindungi, sambaran petir langsung ke kawat tanah dapat terjadi. Pada sambaran ini akan mengalir arus sangat tinggi ke tanah melalui badan menara. Aliran arus yang sangat tinggi ini dapat mengakibatkan kenaikan tegangan (beberapa saat) yang melebihi tegangan flshover isolator. Terjadilah apa yang disebut backflash yaitu tembus udara antara kawat tanah dengan konduktor fasa. Sekali hal ini terjadi, flashover ini akan dipertahamkan oleh tegangan sistem; ia akan dapat dihilangkan dengan cara mematikan sistem. Hal yang sama juga bisa terjadi jika kawat fasa terkena sambaran langsung. Tegangan dan arus tinggi pada saluran transmisi juga bisa terjadi jika ada sambaran petir tidak jauh dari saluran; peristiwa ini disebut sambaran tak langsung. Salah satu upaya yang paling sederhana untuk menghindari kerusakan akibat sambaran petir adalah pemasangan rod gap. Rod gap berupa suatu sela udara yang dibangun antara kawat fasa dan menara dengan perantaraan dua batang logam. Sela udara dibuat sedemikian rupa sehingga ia akan tembus bila terjadi kenaikan tegangan yang tidak diinginkan. Kelemahan alat sederhana ini adalah bahwa tembus yang terjadi tidak dapat hilang dengan sendirinya; di samping itu terjadi pula kerusakan pada batang logam. Gangguan petir terhadap saluran transmisi bisa berupa sambaran langsung seperti disinggung di atas, ataupun sambaran tidak langsung. Sambaran tidak langsung akan menimbulkan tegangan imbas pada saluran transmisi. Lonjakan tegangan di saluran transmisi, baik oleh sambaran langsung maupun sambaran tak langsung, yang berlangsung hanya beberapa saat, akan merambat sepanjang saluran transmisi. Lonjakan tegangan ini merupakan peristiwa transien. 2.7.3. Transien Pada Saluran Transmisi Dalam pelajaran analisis rangkaian listrik kita telah mempelajari gejala transien. Penutupan saklar S pada rangkaian RLC Gb.2.19. memberikan persamaan orde dua pada t ≥ 0 + sebagai berikut



106



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi



Ri + L



di + v = vin dt



Persamaan ini diperoleh dengan pandangan bahwa begitu saklar ditutup, seluruh tegangan S v R = iR v L = L di / dt vin terterapkan pada + seluruh rangkaian RLC i vC = v dan hukum Kirchhoff ∪∩ vin dapat kita terapkan pada − rangkaian ini. Pandangan Gb.2.19. Rangkaian RLC seri. ini tidak dapat kita aplikasikan begitu saja pada saluran transmisi. Panjang saluran transmisi adalah ratusan kilometer. Jika kita menutup circuit breaker di ujung kirim, tegangan tidak serta merta terasakan di ujung terima; artinya tegangan masuk di ujung kirim tidak segera mencakup seluruh rangkaian. Tegangan di ujung kirim harus merambat dan memerlukan waktu untuk sampai ke ujung terima, walaupun waktu yang diperlukan itu sangat pendek. Oleh karena itu kita harus hati-hati menerapkan hukum Kirchhoff. Kita akan melihat kasus tegangan durasi terbatas yang muncul pada t = 0 di ujung kirim, sementara saluran transmisi tidak memiliki simpanan energi sebelum t = 0. Tegangan dengan durasi terbatas ini ditunjukkan pada Gb.2.20.



v



vin = v(t )u(t )



0



t



Gb.2.20. Tegangan dengan durasi terbatas diterapkan di ujung kirim.



Tegangan ini merupakan fungsi waktu dan muncul pada t = 0 di ujung kirim; persamaannya adalah



v in = v in (t )u (t ) Di posisi lain di saluran transmisi, misalkan pada posisi x dari ujung kirim, tegangan ini belum muncul; ia akan muncul beberapa waktu kemudian, misalnya baru terasa pada t = Tx. Jadi terdapat pergeseran waktu kemunculan tegangan ini di posisi x. Tegangan 107



Saluran Transmisi di posisi x ini ditunjukkan pada Gb.2.21 dengan persamaan yang dapat kita tuliskan sebagai



v x = v x (t )u (t − T x ) (2.90) Sesungguhnya bentuk gelombang tegangan di posisi x tidak sama dengan bentuk tegangan di ujung kirim (x = 0) karena ada faktor redaman di saluran transmisi. Namun untuk analisis gejala transien ini, kita menganggap saluran transmisi sebagai v vx = v(t )u(t − Tx ) lossless line). Dengan anggapan ini maka kita boleh menganggap pula bentuk gelombang tidak berubah sepanjang t 0 Tx saluran. Gb.2.21. Tegangan di posisi x. Dengan demikian kita mengerti bahwa bentuk gelombang yang merambat di saluran transmisi, yang disebut gelombang berjalan (travelling wave), tidak hanya merupakan fungsi t tetapi juga merupakan fungsi x. Bentuk gelombang ini dapat kita tuliskan sebagai v( x, t ) = v(t )u (t − t x )



(2.91)



Kita tinjau satu segmen saluran transmisi sepanjang ∆x yang kecil, seperti ditunjukkan oleh Gb.2.22. ∆x i( x, t ) − ∆i( x, t )



i ( x, t )



∆ xL



v ( x, t )



∆ xC



v ( x, t ) − ∆ v ( x, t )



x



Gb.2.22. Situasi di satu segmen kecil saluran transmisi, ∆x. Perhatikan bahwa kita menghitung jarak x dari ujung kiri (ujung kirim), bukan dari ujung kanan (ujung terima) karena kita sedang 108



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi membicarakan gelombang yang merambat dari ujung kirim, atau lebih tepatnya dari ujung sumber masuknya gelombang tegangan. Pada segmen kecil terdapat induktansi seri ∆xL dan kapasitansi ∆xC dengan L dan C adalah induktansi dan kapasitansi per satuan panjang, sedangkan resistansi diabaikan karena kita menganggap saluran transmisi adalah lossless. Pada segmen kecil inilah kita dapat menerapkan hukum Kirchhoff. ∂i ∂v − ∆v( x, t ) = ∆xL dan − ∆i ( x, t ) = ∆xC (2.92) ∂t ∂t Jika ∆x cukup kecil maka kita dapatkan formulasi diferensial



∂v( x, t ) ∂i =L ∂x ∂t (2.93) ∂i ( x, t ) ∂v − =C ∂x ∂t Persamaan (2.93) kita tuliskan sebagai ∂ ∂ v ( x, t ) = − L i ( x, t ) ∂x ∂t (2.94) ∂ ∂ i ( x , t ) = −C v ( x , t ) ∂x ∂t Perhatikan persamaan pertama (2.94). Ruas kiri adalah turunan parsial terhadap x dari v( x, t ) , ruas kanan adalah turunan parsial terhadap t dari i ( x, t ) . Transformasi Laplace ruas kiri ∂ memberikan V ( x, s ) sedangkan transformasi Laplace ruas ∂x kanan adalah − L{sI ( x, s ) − i ( x,0)} dengan i ( x,0) adalah nilai awal dari i; jika tidak ada simpanan energi awal pada saluran transmisi maka nilai awal i adalah nol sehingga transformasi Laplace ruas kanan menjadi − sLI ( x, s ) . Argumen yang sama berlaku untuk persamaan kedua dari (2.94). Dengan demikian maka transformasi Laplace dari (2.94) adalah ∂ V ( x, s ) = − sLI ( x, s ) ∂x (2.95) ∂ I ( x, s ) = − sCV ( x, s ) ∂x −



Diferensiasi terhadap x persamaan (2.95) memberikan 109



Saluran Transmisi



∂2 ∂x 2



V ( x, s ) = − sL



∂ I ( x, s ) ∂x



(2.96) ∂ I ( x, s ) = − sC V ( x, s ) ∂x ∂x 2 Ruas kanan persamaan (2.96) ini memiliki nilai seperti ditunjukkan oleh (2.95); jika kita substitusikan, akan kita peroleh



∂2



∂2 ∂x 2 ∂2



V ( x, s ) = s 2 LCV ( x, s ) (2.97)



I ( x, s ) = s LCI ( x, s ) ∂x 2 Pada persamaan (2.97) ini turunan kedua suatu fungsi sama bentuknya dengan fungsi itu sendiri. Fungsi yang demikian adalah fungsi eksponensial. Kita duga bentuk fungsi itu adalah 2



V ( x, s ) = V ( s )e px dan I ( x, s ) = I ( s )e qx ; jika fungsi dugaan ini kita masukkan ke (2.97) kita peroleh



p 2V ( s )e px − s 2 LCV ( s )e px = 0 q 2 I ( s )e qx − s 2 LCI ( s )e qx = 0



(2.98)



Dari sini kita peroleh



p 2 − s 2 LC = 0 ⇒ p = ± s LC q 2 − s 2 LC = 0 ⇒ q = ± s LC



(2.99)



Kita masukkan hasil ini ke fungsi dugaan, kita peroleh



V ( x, s ) = V ( s )e ± s LC x I ( x, s ) = I ( s )e ± s LC x



(2.100)



Untuk menafsirkan persamaan di kawasan s ini, kita lakukan transformasi balik guna melihat bentuk persamaannya di kawasan t. Kita gunakan salah satu sifat transformasi Laplace yaitu pergeseran di kawasan t,



L [ f (t − a)]u (t − a) = e −as F (s) Kita terapkan sifat ini pada (2.100), dan kita peroleh 110



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(2.101)



Saluran Transmisi v( x, t ) = v(t ± LC x)u (t ± LC x)



(2.102.a)



i( x, t ) = i (t ± LC x )u (t ± LC x )



Kita lihat persamaan pertama (2.102.a) dengan mengambil tanda minus v( x, t ) = v (t − LC x)u (t − LC x)



(2.102.b)



Faktor u (t − LC x) menunjukkan pergeseran waktu tibanya gelombang di posisi x sedangkan bentuk gelombang itu sendiri adalah v( x, t ) = v(t − LC x)



(2.102.c)



Untuk suatu nilai konstan v( x, t ) = A , ruas kanan juga harus konstan. Jika t bertambah besar harus diimbangi dengan x yang bertambah besar pula. Artinya jika waktu makin bertambah posisi A makin menjauh dari ujung kirim; gelombang ini bergerak kekanan yang disebut gelombang maju. Kita simpulkan pula bahwa jika kita mengambil tanda plus, gelombang ini akan bergerak ke kiri dan disebut gelombang mundur. Penafsiran yang sama berlaku pula untuk persamaan kedua (2.102.a). Jika gelombang maju kita beri indeks atas “+” dan gelombang mundur kita beri indeks atas “−”, maka bentuk persamaan (2.102.a) menjadi v( x, t ) = v + (t − LC x)u (t − LC x) + v − (t + LC x)u (t + LC x) i( x, t ) = i + (t − LC x )u (t − LC x) + i − (t + LC x)u (t + LC x)



Pada persamaan (2.102.c) , v( x, t ) = v(t − LC x) ,



(2.103)



LC x haruslah



berdimensi waktu, t. Karena x adalah jarak, maka 1 / LC haruslah berdimensi jarak/waktu; dan inilah kecepatan perambatan gelombang maju maupun gelombang mundur. Persamaan (2.103) ini adalah persamaan di kawasan waktu. Persamaan di kawasan s telah kita peroleh yang kita tulis ulang menjadi



V ( x, s ) = V + ( s )e − s I ( x, s ) = I + ( s )e − s



LC x LC x



+ V − ( s )e + s



+ I − ( s )e + s



LC x



(2.104) LC x



111



Saluran Transmisi 2.7.4. Pernyataan I(x,s) dalam Tegangan Pemahaman gejala transien akan lebih mudah difahami jika kita melakukan analisis pada gelombang tegangan. Oleh karena itu kita akan menyatakan arus pada persamaan (2.104) dalam tegangan. Hal ini dapat kita lakukan melalui persamaan



∂ V ( x, s ) = − sLI ( x, s ) ∂x ∂ I ( x, s ) = − sCV ( x, s ) ∂x Apabila V ( x, s ) dari persamaan pertama ini dimasukkan ke persamaan pertama (2.104) kita dapatkan ∂ ∂  + −s V ( x, s ) = V ( s )e ∂x ∂x  +



= − s LCV ( s)e



+ V − ( s )e + s



LC x



− s LC x



LC x 







+ s LCV ( s)e



 



(2.105.a)



+ s LC x



Dengan (2.105.a) ini, persamaan pertama (2.104) menjadi



∂ V ( x, s ) = − sLI ( x, s ) ∂x +



= − s LCV ( s )e



(2.105.b)



− s LC x







+ s LCV ( s )e



+ s LC x



dan dari sini diperoleh I ( x, s ) = =



− s LC + V ( s )e − s − sL C + V ( s )e − s L



LC x



LC x



+



s LC − V ( s )e + s − sL



C − − V ( s )e + s L



LC x



(2.105.c)



LC x



Dalam persamaan (2.105.c) ini, ruas kiri adalah pernyataan arus di kawasan s sedangkan di ruas kanan merupakan C / L kali pernyataan tegangan yang juga di kawasan s. Kita dapat berharap bahwa C / L adalah admitansi atau 1 / C / L = L / C adalah impedansi yang juga merupakan pernyataan impedansi di kawasan s. Kita lihat hal ini sebagai berikut.



112



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Saluran Transmisi Pada lossless line impedansi seri adalah Z = jX L karena R = 0. Impedansi ini adalah besaran kompleks dan bukan merupakan fungsi waktu sehingga tidak dapat melakukan transformasi Laplace. Namun kita mengetahui bahwa peubah s dalam analisis di kawasan s adalah peubah kompleks. Kita dapat mendefinisikan pernyataan impedansi di kawasan s yaitu Z = sL dengan s adalah operator Laplace. Dengan argument yang sama, pernyatan admitansi Y = jX C di kawasan s adalah Y = sC . Dengan pengertian impedansi karakteristik yang sudah kita kenal, impedansi karekteristik di kawasan s adalah



Zc =



Z = Y



sL L = sC C



(2.106)



Dengan (2.106) ini maka arus pada (2.105.c) menjadi



I ( x, s ) =



V + ( s )e − s Zc



LC x







V − ( s )e + s Zc



LC x



(2.107)



Dengan (2.107) ini maka persamaan tegangan dan arus



V ( x, s ) = V + ( s )e − s LC x + V − ( s )e + s LC x I ( x, s ) =



V + ( s )e − s LC x V − ( s )e + s LC x − Zc Zc



(2.108)



Persamaan (2.108) inilah persamaan gelombang berjalan di saluran transmisi dengan arus yang juga dinyatakan dalam tegangan. 2.7.5. Situasi di Ujung Saluran Kita lihat sekarang situasi di ujung saluran (ujung terima). Di posisi ini, x = d. Jadi persamaan tegangan dan arus (2.108) menjadi



V (d , s ) = V + ( s )e − s LC d + V − ( s )e + s LC d I (d , s ) =



V + ( s )e − s LC d V − ( s )e + s LC d − Zc Zc



(2.109)



113



Saluran Transmisi



Rasio antara tegangan dan arus di ujung terima adalah impedansi di ujung terima. Kita bagi persamaan pertama pada (2.109) dengan persamaan yang kedua untuk mendapatkan impedansi di ujung terima Zr.



Zr =



V (d , s ) V + ( s )e − s LC d + V − ( s )e + s LC d = I (d , s ) V + ( s )e − s LC d V − ( s )e + s LC d − Zc Zc



= Zc



(2.110.a)



V + ( s )e − s LC d + V − ( s )e + s LC d V + ( s )e − s LC d − V − ( s )e + s LC d



atau



Z r V + ( s)e − s LC x − V − ( s )e + s LC x    = Z c V + ( s )e − s LC x + V − ( s )e + s 



(2.110.b)



LC x 



 



atau ( Z r − Z c )V + ( s )e − s



LC x



= ( Z c + Z r )V − ( s)e + s



LC x



(2.110.c)



sehingga V − ( s )e + s



LC x



=



(Zr − Zc ) + V ( s )e − s (Zc + Zr )



LC x



(2.110.d)



Persamaan (2.23.d) memperlihatkan bahwa di ujung saluran terdapat gelombang mundur yang merambat balik menuju ujung kirim. Inilah gelombang pantulan yang terjadi di ujung saluran. Besar gelombang pantulan ini adalah suatu faktor kr dikalikan besar gelombang maju. Faktor kr itu adalah kr =



114



(Z r − Zc ) (Zc + Z r )



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(2.110.e)



Saluran Transmisi 2.7.6. Superposisi Gelombang Maju Dan Gelombang Pantulan Dalam perjalanannya menuju ujung kirim, gelombang pantulan akan ter-superposisi dengan gelombang maju yang masih akan datang dari ujung kirim. Jadi persamaan pertama (2.18) yang memberikan persamaan tegangan sebagai fungsi x di kawasan s menjadi



V ( x, s ) = V + ( s )e − s



LC x



+ V − ( s )e + s



= V + ( s )e − s



LC x



+



LC x



(Zr − Zc ) + V ( s )e − s ( Zc + Z r )



LC x



(2.111)



Persamaan (2.111) ini menunjukkan bahwa gelombang tegangan di setiap posisi saluran transmisi merupakan superposisi dari gelombang maju dan gelombang pantulan. Besar gelombang pantulan sama dengan besar gelombang maju dengan faktor skala k kr =



(Z r − Z c ) (Zc + Z r )



yang disebut koefisien pantulan. Koefisien pantulan ini bisa bernilai nol, positif, atau negatif. Jika k = 0, yaitu jika Z r = Z c , tidak terjadi pantulan di ujung saluran; hanya ada gelombang maju. Seandainya gelombang maju ini adalah gelombang sinusoidal, yaitu gelombang yang ter-injeksi ke saluran transmisi pada waktu penutupan circuit breaker di ujung kirim, maka hanya gelombang inilah yang ada di semua posisi pada saluran transmisi. Hal ini berarti bahwa tegangan di semua posisi sama besar; inilah situasi yang kita ulas pada surge impedance loading di sub-bab-2.6.6 2.7.7 Pantulan di Ujung Kirim Gelombng patulan di ujung terima, setibanya di ujung kirim akan dipantulkan oleh ujung kirim karena ada perbedaan impedansi karakteristirk saluran dengan impedansi sumber. Gelombang yang dipantulkan di ujung kirim akanmerambat ke ujung terima dan sesampai di ujung terima akan dipantulkan lagi menuju ujung 115



Saluran Transmisi kirim. Di saluran akan terjadi superposisi gelombang gelombang pantul ini. Koefisien pantulan di ujung kirim adalah ks =



(Z s − Zc ) (Zc + Z s )



Zs adalah impedansi ujung kirim.



116



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(2.112)



Transformator



BAB 3



Transformator



3.1. Transformator Satu-fasa Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi agar tercapai transfer daya maksimum. Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada umumnya merupakan transformator tiga-fasa. Dalam pembahasan ini kita akan melihat transformator satu-fasa lebih dulu. Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesinmesin listrik. Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik



117



Transformator 3.1.1. Teori Operasi Transformator 3.1.1.1. Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Diagram transformator dua belitan tak berbeban diperlihatkan pada Gb.3.1. Belitan pertama kita sebut belitan primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.



If



Vs







φ + E1 −



N1



N2



+ E2 −



Gb.3.1. Transformator dua belitan. Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt , maka fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar



e1 = N1



dφ = N1Φ maks ω cos ωt dt



(3.1)



atau dalam bentuk fasor :



E1 = E1∠0 o =



N1ωΦ maks 2



∠0 o ;



E1 = nilai efektif (3.2)



Karena ω = 2π f maka:



E1 =



2π f N 1 2



Φ maks = 4.44 f N1Φ maks (3.3)



Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar



E 2 = 4.44 f N 2 Φ maks



(3.4)



Dari (3.3) dan (3.4) kita peroleh:



E1 N1 = ≡ a = rasio transformasi E2 N 2



118



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(3.5)



Transformator Perhatikan bahwa E1



sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan oleh fluksi yang sama. Karena E1 mendahului φ dengan sudut 90o maka E 2 juga mendahului φ dengan sudut 90o. Jika rasio transformasi a = 1, dan resistansi belitan primer adalah R1 , diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.3.2.a. Arus I1 adalah arus magnetisasi, yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ (90o dibelakang E1 ) yang menimbulkan φ dan I c (sefasa dengan E1 ) guna mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R1 dalam diagram fasor ini muncul sebagai tegangan jatuh I f R1 .



Ic



E1 = E 2 I f R1



Iφ φ



If



V1



Ic Iφ φ



V1



φl E1 = E 2 I f R1 If



jI f X l



b). ada fluksi bocor a). tak ada fluksi bocor Gb.3.2. Diagram fasor transformator tak berbeban 3.1.1.2. Fluksi Bocor Fluksi di belitan primer If φ transformator dibangkitkan oleh E2 arus yang mengalir φl1 Vs ∼ di belitan primer. Dalam kenyataan, tidak semua fluksi magnit yang Gb.3.3. Transformator tak berbeban. dibangkitkan Fluksi bocor belitan primer. tersebut akan melingkupi baik belitan primer maupun sekunder. Selisih antara fluksi yang dibangkitkan oleh belitan primer dengan fluksi bersama (yaitu fluksi yang melingkupi kedua belitan) disebut fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya melingkupi belitan primer saja 119



Transformator dan tidak seluruhnya berada dalam inti transformator tetapi juga melalui udara. (Lihat Gb.3.3). Oleh karena itu reluktansi yang dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.16.2.b. Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E1 ). Tegangan induksi ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya E1 90o mendahului φ) dan dapat dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1 , di rangkaian primer dan dinyatakan sebagai



E l1 = jI f X 1



(3.6)



dengan X1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan dan arus di rangkaian primer menjadi



V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X 1



(3.7)



Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah Gb.3.2.b. 3.1.1.3. Transformator Berbeban. Rangkaian I1 φ I2 transformator berbeban resistif, ≈ RB, diperlihatkan V 2 RB φl1 φl2 Vs oleh Gb.3.4. Tegangan induksi E 2 (yang telah Gb.3.4. Transformator berbeban. timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).



120



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator Fluksi bocor ini, φl2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan tegangan E l 2 di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2. Seperti halnya untuk belitan primer, tegangan E l 2 ini diganti dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X2 di rangkaian sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R2 , maka untuk rangkaian sekunder kita peroleh hubungan



E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2



(3.8)



dengan V2 adalah tegangan pada beban RB. Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanyalah arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I1 setelah transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan E1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (3.7) tetap terpenuhi. Pertambahan arus primer dari I f menjadi I1 adalah untuk mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ dipertahankan. Jadi haruslah



(



)



( )



N 1 I1 − I f − N 2 I 2 = 0



(3.9)



Pertambahan arus primer ( I1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer. Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari (3.9) kita peroleh arus magnetisasi



I f = I1 −



( )



N2 I I 2 = I1 − 2 N1 a



(3.10) 121



Transformator 3.1.2. Diagram Fasor Transformator Dengan persamaan (3.7) dan (3.8) kita dapat menggambarkan secara lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita mulai dari belitan sekunder dengan langkahlangkah: Gambarkan V2 dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan V2 . Selain itu kita dapat gambarkan I ′2 = I 2 / a yaitu besarnya arus sekunder jika dilihat dari sisi primer. Dari V2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan persamaan (3.8) yaitu



E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2 Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian sekunder. Untuk rangkaian primer, karena E1 sefasa dengan E 2 maka E1 dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = a E 2 . Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan lebih dulu φ yang tertinggal 90o dari E1 . Kemudian kita gambarkan I f yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus belitan primer adalah I 1 = I f + I 2' . Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai dengan persamaan (3.7), yaitu



V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban. Gb.3.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan mengambil rasio transformasi N1/N2 = a > 1



122



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator



V1 E 2 jI 2 X 2



φ



If γ



I 2'



E1



jI1 X 1



I1 R1



I 2 V2 I 2 R 2 I1



Gb.3.5. Diagram fasor lengkap, transformator berbeban resistif . a > 1



CONTOH-3.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V (rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms) pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus tersebut di atas? Solusi : a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φm adalah Φm =



E1 2 V1 2 220 2 = = N 1ω N 1ω 160ω



Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka Φ′m =



Penurunan fluksi m



V1′ 2 110 2 = N 1ω 160ω



aksimum adalah 50 %, Φ′m = Φm / 2.



b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer, ′ = Φ ′m



V1′′ 2 55 2 110 2 = = (1 / 2) N 1ω 80ω 160ω



123



Transformator Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″m = Φm / 2. c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka ′′ = Φ ′m



V1′′′ 2 110 2 220 2 = = (1 / 2) N 1ω 80ω 160ω



Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″m =Φm. d). Dengan N1/N2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V, tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V, tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V. Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 55 V. CONTOH-3.2 : Sebuah transformator satu-fasa mempunyai belitan primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas penampang inti efektif adalah 60 cm2. Jika belitan primer dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz, tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di belitan sekunder. Solusi : Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka



V1 =



N1ωΦ m 2



= 500 → Φ m =



500 2 = 0.00563 weber 400 × 2π × 50



→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm =



0.00563 = 0.94 weber/m 2 0.006



Tegangan belitan sekunder adalah V2 =



1000 × 500 = 1250 V 400



CONTOH-3.3 : Dari sebuah transformator satu-fasa diinginkan suatu perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan jumlah lilitan primer dan sekunder. 124



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator Solusi : Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,



V1 =



N1ωΦ m



= 6000 → N1 =



2 250 ⇒ N2 = × 450 = 18.75 6000



6000 2 = 450 2π × 50 × 0.06



Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φm tidak akan terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan ⇒ N 2 = 20 lilitan



⇒ N1 =



6000 × 20 = 480 lilitan 250



3.1.3. Rangkaian Ekivalen Transformator Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (3.7), (3.8), dan (3.10), yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (3.11). V1 = E1 + I1R1 + jI1 X1 ; E2 = V2 + I 2 R2 + jI 2 X 2 ; I1 = I f + I 2'



(3.11) dengan I 2' =



N2 I I2 = 2 N1 a



Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan kedua dari (3.11) dapat ditulis sebagai



E1 = V2 + a I2′ R 2 + ja I2′ X 2 a ⇒ E1 = aV2 + I2′ (a 2 R 2 ) + j I2′ (a 2 X 2 ) = V2′ + I 2′ R 2′ + j I2′ X 2′ (3.12) dengan



V 2′ = aV 2 ; R 2′ = a 2 R 2 ; X 2′ = a 2 X 2 125



Transformator Dengan (3.12) maka (3.11) menjadi



V1 = E1 + I1 R1 + jI1 X 1 ; E1 = aV2 + I2′ R 2′ + j I2′ X 2′ ;



(3.13)



I1 = I f + I2′ I 2' , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (3.13) dibangunlah rangkaian ekivalen transformator seperti Gb.3.6. di bawah ini.



I 2'



I1







R1 jX1 E1



V1



If



Z



R′2



jX′2 B



V 2' = a V2



Gb.3.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (3.13). Arus magnetisasi dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu Ic dan Iφ . Ic sefasa dengan E1 sedangkan Iφ 90o dibelakang E1. Dengan demikian maka impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.3.6. dapat dinyatakan sebagai hubungan paralel antara suatu resistansi Rc dan impedansi induktif jXφ sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi seperti Gb.3.7.



I 2'



I1







R1 jX1



V1



E1



If Rc



Ic



R′2 Iφ jXc



jX′2 B



V 2′ = a V2



Gb.3.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil. Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti transformator dibangun dari material 126



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator dengan permeabilitas magnetik yang tinggi. Oleh karena itu, jika If diabaikan terhadap I1 kesalahan yang terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.3.8.



I1 = I 2' Re = R1+R′2 jXe =j(X1+ X′2)







B V 2′



V1 V1



j I 2' X e



V 2′



I 2' Gb.3.8. Rangkaian ekivalen transformator disederhanakan dan diagram fasornya. 3.1.4. Impedansi Masukan Transformator Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi tersebut menjadi



R B′ =



V 2′ aV 2 V = = a 2 2 = a 2 RB I 2′ I2 / a I2



Dengan melihat rangkaian ekivalen Gb.16.10, impedansi masukan adalah



Z in =



V1 I1



= Re + a 2 R B + jX e



yang



(3.14) disederhanakan



(3.15)



3.1.5. Penentuan Parameter Transformator Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.3.7. terlihat ada enam parameter transformator yang harus ditentukan, R1 , X1 , R′2 , X′2 , Rc , dan Xφ . Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini. 127



Transformator 3.1.5.1. Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol ) Uji beban nol ini biasanya dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan daya (aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan tegangan induksi Er. Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan kehilangan daya pada Rcr (Rc dilihat dari sisi tegangan rendah) saja. Pr P = r S r Vr I r



Daya kompleks masukan : S r = Vr I r ; cos θ =



→ sin θ =



Sr



2



− Pr 2



Sr



(3.16)



⇒ I cr = I r cos θ ; I φr = I r sin θ V Vr V Vr ⇒ Rcr = r = ; X φr = r = I cr I r cos θ I φr I r sin θ



3.1.5.2. Uji Hubung Singkat Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan. Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan Vt, arus masukan It, dan daya (aktif) masukan Pt. Tegangan masukan yang dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.3.9. Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk mengatasi rugi-rugi 128



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen yang dilihat dari sisi tegangan tinggi Ret.



Pt = I t2 Ret → Ret = Vt = I t Z et → Z et



Pt I t2



;



V = t → X e = Z et2 − Ret2 It



(3.17)



Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai Ret = R1 + R′2 . Nilai resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai Xet = X1 + X′2 . Kita tidak dapat memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masingmasing belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan kita dapat mengambil asumsi bahwa X1 = X′2 . Kondisi ini sesungguhnya benar adanya jika transformator dirancang dengan baik. CONTOH-3.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50 Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat. Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil Vr = 240 volt, Ir = 1.6 amper, Pr = 114 watt Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi tegangan tinggi Vt = 55 volt, It = 10.4 amper, Pt = 360 watt a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan tinggi. b). Hitung rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada beban penuh. Solusi : a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc dan Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan rendah, kita sebut Rcr dan Xφr. (240 × 1.6) 2 − 114 2 P 114 = = 0.3 ; sin θ = = 0.95 VI 240 × 1.6 240 × 1.6 V V 240 240 240 = = = = 500 Ω ; X φr = = = 158 Ω I c I cos θ 1.6 × 0.3 I φ 1.6 × 0.95



cos θ = Rcr



129



Transformator Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi : 2



 2400  Rct = a 2 Rcr =   × 500 = 50 kΩ  240  X φt = a 2 X φr = 15.8 kΩ Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan tinggi ini memberikan



Ret =



Pt It



Z et =



2



=



360 (10.4) 2



= 3.33 Ω ;



Vt 55 = = 5.29 Ω → I t 10.4



X et = 5.29 2 = 3.33 2 = 4.1 Ω



b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga tergantung dari besar arus. Besar arus primer pada beban penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan hubung singkat, yaitu



I1 =



S V1



=



25000 = 10.4 A → Pcu = I 1 2 Ret = (10.4) 2 × 3.33 = 360 W 2400



Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat. 3.1.6. Efisiensi dan Regulasi Tegangan Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai



η=



daya keluaran [watt] daya masukan [watt]



(3.18)



Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugirugi daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai



130



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator



η =1−



rugi - rugi daya [watt] daya masukan [watt]



(3.19)



Formulasi (3.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugi-rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga. Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi Regulasi Tegangan = =



V2 beban nol − V2 beban penuh



V1 / a − V2 V2



V2 beban penuh =



V1 − aV2 aV2



V − V2′ = 1 V2′



(3.25)



Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.16.9. maka (3.25) menjadi Regulasi Tegangan =



V2′ + I ′2 ( Re + jX e ) − V2′ V2′



(3.26)



CONTOH-3.6 : Transformator pada Contoh-16.5. mencatu beban 25 KVA pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah regulasi tegangannya. Solusi : Total rugi daya : Pc + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW a). Daya keluaran : Po = 25000 × 0.8 = 20 KW



Efisiensi : η = 1 −



0.474 = 0.976 atau 97.6 % 20



b). Mengambil V2 sebagai referensi : V′2 = 10×240 = 2400∠0o V. I ′2 = I 2 / a = (25000 / 240) / 10∠ − cos −1 0.8 = 10.4∠ − 36.8 o Reg. Tegangan =



2400∠0 o + 10.4∠ − 36.8 o (3.33 + j 4.1) − 2400 2400



0.022 atau 2.2 %



131



Transformator 3.1.7. Konstruksi Transformator Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih tinggi. NR / 2



NR / 2 NT / 2



NT / 2



a). tipe inti.



NR / 4 NT / 2 NR / 2 NT / 2 NR / 4 a). tipe sel.



Gb.3.9. Dua tipe konstruksi transformator. NT : jumlah lilitan tegangan tinggi; NR : jumlah lilitan tegangan rendah. Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satufasa adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.3.9.a. memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah ditangani. Gb.3.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.



132



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator 3.2. Transformator Pada Sistem Tiga-fasa Pada sistem tiga-fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (a) menggunakan tiga unit transformator satu-fasa, (b) menggunakan satu unit transformator tiga-fasa. Transformator tiga-fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang sama, penggunaan satu unit transformator tiga-fasa akan lebih ringan, lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit transformator satu-fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator satu-fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu unit transformator tiga-fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga-fasa melalui tiga unit transformator satu-fasa. 3.2.1. Hubungan ∆−∆ Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu-fasa untuk melayani sistem tiga-fasa, hubungan sekunder harus diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer kita sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa sekunder kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai tegangan saluran (tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut VLP dan VLS . Nilai arus saluran primer dan sekunder masingmasing kita sebut ILP dan ILS sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS . Rasio tegangan fasa primer terhadap sekunder VFP / VFS = a . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk hubungan ∆-∆ kita peroleh :



133



Transformator



V LP V FP I I 3 1 = = a ; LP = FP = V LS V FP I LS I FS 3 a U



(3.27)



X VUO



VXO



V



Y VVO



VYO



VWO



VZO



VUV = VUO



VXY = VXO



Gb.3.10. Hubungan ∆-∆. 3.2.2. Hubungan ∆-Y Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.11. Tegangan pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan kita peroleh



fasa-fasa tegangan sekunder rugi-rugi



VLP V a = FP = VLS VFS 3 3 I LP I FP 3 3 = = I LS I FS a Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.



134



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(3.28)



Transformator U V



X VUO



VXO Y



VVO



VYO



VWO



VZO



VUV = VUO



VXY



VZO



VXO VYO Gb.3.11. Hubungan ∆-Y



3.2.3. Hubungan Y-Y Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.12. Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut fasa 30o, tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30o. Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah



VLP VFP 3 = =a VLS VFS 3



(3.29)



I LP I FP 1 = = I LS I FS a Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat perbedaan sudut fasa.



135



Transformator U



X VUO



VXO



V



Y VVO



VYO



VWO



VZO



VWO VUV



VZO



VXY



VXO



VUO VYO



VVO



Gb.3.12. Hubungan Y-Y 3.2.4. Hubungan Y-∆ Hubungan ini terlihat pada Gb.3.13. Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut fasa 30o, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi diperoleh



VLP VFP 3 = =a 3 VLS VFS I LP I 1 = FP = I LS VFS 3 a 3 Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.



136



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(3.30)



Transformator U



X VUO



VXO Y



V VVO



VYO



VWO



VZO



VWO VUV VXY = VXO VZO VUO VYO VVO Gb.3.13. Hubungan Y-∆ CONTOH-3.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa, tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ; (d) Y-∆ . Solusi : a). Untuk hubungan ∆-∆ : V V 6600 V LS = V FS = FP = LP = = 550 V ; a a 12 I I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a LP 3 = 12 × 10 = 120 A. 3 b). Untuk hubungan Y-Y : V V 3 6600 V LS = V FS 3 = FP 3 = LP = = 550 V ; a 12 3 a



I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A. 137



Transformator c). Untuk hubungan ∆-Y : V V 6600 3 = 953 V ; V LS = V FS 3 = FP 3 = LP 3 = a a 12 I 10 I LS = I FS = aI FP = a LP = 12 = 69,3 A. 3 3 d) Untuk hubungan Y-∆ : V 1 V LP 1 6600 V LS = V FS = FP = = = 318 V ; a a 3 12 3



I LS = I FS 3 = aI FP 3 = aI LP 3 = 12 × 10 × 3 = 208 A . Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya masukan.



S keluaran = S masukan = V LP I LP 3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA. 3.3. Transformator Tiga Belitan 3.3.1. Transformator Ideal Tiga Belitan Hubungan belitan primer, sekunder, dan tertier tansformator satufasa tiga belitan terlihat pada Gb.3.14. Konvensi titik kita gunakan di sini. I2 + I1 N V2 2 + − V1 N1 I3 + − N 3 V3 − Gb.3.14. Hubungan belitan transformator tiga belitan. Indeks 1, 2, 3 menunjukkan primer, sekunder, tertier.



V1 , V2 , V3 : tegangan. I1 , I 2 , I3 : arus, digambarkan masuk pada ujung belitan yang bertanda titik. N1 , N 2 , N 3 : jumlah lilitan.



138



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator Untuk keperluan analisis ini kita menganggap resistansi belitan transformator nol, sehingga hubungan tegangan, arus dan jumlah lilitan adalah:



V1 N1 = ; V2 N 2



V2 N 2 = ; V3 N 3



V1 N1 = V3 N 3



(3.31)



Kita juga menganggap tidak terjadi fluksi bocor dan permeabilitas magnetik inti inti yang sempurna, sehingga



N 1 I1 + N 2 I 2 + N 3 I 3 = 0



(3.32)



Contoh-3.8: Sebuah transformator tiga belitan (Gb.3.14), memiliki jumlah lilitan N 1 = 1000, N 2 = 500, N 3 = 2000 .Belitan primer terhubung ke sumber tegangan ideal, V1 = 1000∠0o V . Belitan sekunder terhubung ke resistor 20 Ω. Belitan tertier terhubung ke induktor dengan reaktansi 100 Ω. Hitung arus dan daya di belitan primer, I1 dan S1. Solusi: Arus di belitan primer dapat dihitung setelah arus di belitan sekunder dan tertier diperoleh; arus-arus ini adalah arus beban.



V2 =



N2 500 V1 = × 1000∠0o = 500∠0o V N1 1000



V3 =



N3 2000 V1 = × 1000∠0o = 2000∠0o V N1 1000



Dengan referensi arah arus seperti tergambar pada Gb.16.1, kita dapatkan



− I2 =



V2 500∠0o = = 25∠0o = 25 + j 0 A Z2 20∠0o



− I3 =



V3 2000∠0o = = 20∠ − 90o = 0 − j 20 A Z 3 100∠90o



Arus di belitan primer dihitung dengan menggunakan formulasi (3.32) adalah



139



Transformator



N1I1 + N 2 I 2 + N 3I 3 = 0 ⇒ I1 =



− N 2 I 2 − N 3 I 3 500 × 25 + 2000 × (− j 20) = N1 1000



= 12,5 − j 40 = 41,9∠ − 72,6o A Daya kompleks yang masuk di belitan adalah



S1 = V1I1∗ = 1000∠0o × 41,9∠ + 72,6o = 41,9∠72,6o kVA Karena kita menganggap transformator ideal, tidak ada rugi-rugi daya pada transformator, daya masuk di belitan primer harus sama dengan jumlah daya keluar dari belitan sekunder dan tertier. Kita jakinkan hal itu sebagai berikut



S 2 = V2 (− I 2 )∗ = 500∠0o × 25 = 12500 VA S3 = V3 (− I3 )∗ = 2000∠0o × 20∠ + 90o = j 40000 VA ⇒ S 2 + S3 = 12500 + j 40000 = 41900 VA = 41,9 kVA Ternyata benar S 2 + S3 = S1 3.3.2. Transformator Nyata Tiga Belitan Dalam kenyataan belitan-belitan transformator mengandung impedansi; impedansi belitan primer, sekunder, tertier, dapat kita nyatakan sebagai Z1 = R1 + jX 1 , Z 2 = R2 + jX 2 , dan



Z 3 = R3 + jX 3 . Selain itu terdapat rugi-rugi inti yang dalam rangkaian dinyatakan dengan cabang parallel Rφ dan Xφ . Jika elemen-elemen ini tidak kita abaikan dan kita nyatakan juga dalam per-unit, maka rangkaian pada Gb.3.14. akan berbentuk seperti Gb.3.15.



140



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator 2 I1



1∠0 o



+ ∼ −



1



R1



R2



X2



R3



X3



X1











I2 3 I3



4 j1,25



Gb.3.15. Rangkaian transformator nyata satu-fasa tiga belitan. Contoh-3.9: [1] Hitunglah I1 pada contoh-3.8 jika diketahui pula



R1 = R2 = R3 = 0,01 pu X 1 = X 2 = X 3 = 0,03 pu Rφ = X φ = ∝ Solusi: Dengan Rφ = X φ = ∝ , jika kita melihat ke belitan primer, kita dapatkan



Z1 pu = R1 + jX 1 +



( R2 + jX 2 + 4) ( R3 + jX 3 + j1,25) ( R2 + jX 2 + 4) + ( R3 + jX 3 + j1,25)



= 0,01 + j 0,03 +



(4,01 + j 0,03) (0,01 + j1,28) (4,02 + j1,31)



= 0,38654 + j1,184 = 1,245∠71,92o



V 1∠0o Maka I1 pu = 1 = = 0,803∠ − 71,92o pu Z1 1,245∠71,92o Perbedaan segera dapat kita lihat dengan hasil perhitungan traformator ideal yang memberikan I1 = 0,838∠ − 72,6o pu . Perbedaan ini adalah sekitar 4%. Perbedaan arus 4% ini, jika kita tinjau dari sisi daya dimana S = V I ∗ berarti pula ada perbedaan daya sekitar 4%. Ditinjau dari kacamata bisnis, hal ini cukup besar.



141



Transformator 3.4 Transformator Tiga-fasa Dibangun dari Tiga Transformator Satu-fasa Untuk memperoleh transformator tiga-fasa tiga belitan kita dapat menggunakan tiga buah transformator satu-fasa tiga belitan. Masing-masing transformator satu-fasa tersebut sudah barang tentu memiliki tiga belitan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jadi dengan tiga buah transformator satu-fasa kita mempunyai 3 belitan primer, 3 sekunder, dan 3 tersier. Masing-masing kelompok belitan tersebut secara sendiri-sendiri dapat dihubungkan Y atau ∆. Pada diagram satu garis Gb.1.11. di bab-14, transformator tiga-fasa tiga belitan yang terhubung ke generator, mempunyai sisi primer terhubung ∆, sisi sekunder yang terhubung Y menuju CB kemudian ke saluran transmisi, dan sisi tertier yang terhubung ∆ mencatu beban. Gb.3.16. memperlihatkan penggalan diagram satu garis tersebut. Generator



G beban



1 3



∆ 2







Y



Saluran transmisi CB



Gb.3.16. Penggalan diagram satu garis Gb.1.11 untuk memperlihatkan hubungan transformator tiga-fasa tiga belitan. 3.4.1. Tinjauan Pada Sisi Primer Terhubung Y, dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi Kita akan melihat belitan primer terlebih dulu, dengan menganggap belitan sekunder dan belitan tertier terbuka. Pada Gb.3.16. belitan ini terhubung ∆. Namun dalam pembahasan transformator ini kita akan melihat sisi primer yang terhubung Y lebih dulu dengan titik netral yang dihubungkan ke tanah melalui sebuah impedansi. Karena sisi sekunder dan tersier terbuka, maka setiap transformator satu-fasa yang tersedia (untuk dibangun menjadi transformator tiga-fasa) mempunyai diagram rangkaian seperti pada Gb.3.17.



142



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator I1



2



1 + R1



X1



V1



3











Gb.3.17. Sisi primer transformator satu-fasa tiga belitan dengan sisi sekunder dan tersier terbuka. Dari terminal primer terlihat impedansi, yang kita sebut impedansi fasa primer Zf1, sebesar



Z f 1 = Z 1 + Z φ = R1 + jX 1 + Z φ



(3.33)



dengan



Zφ =



Rφ × jX φ



(3.34)



Rφ + jX φ



Impedansi Zf1 inilah kita hubungkan Y membentuk sisi primer transformator tiga-fasa. Dalam membentuk hubungan Y ini, di titik netral kita sambungkan satu impedansi Zn1 untuk pentanahan. Dengan demikian kita memperoleh rangkaian tigafasa abc seperti terliht pada Gb.3.18. a Va1



Z f1



b Vb1



Z f1



c



Z f1



Vc1 Z n1



n Gb.3.18. Hubungan Y sisi primer transformator tiga-fasa tiga belitan. Relasi tegangan-arus pada hubungan Y ini adalah



143



Transformator



 I a1  Va1  ( Z f 1 + Z n1 ) Z n1 Z n1      Z n1 ( Z f 1 + Z n1 ) Z n1   I b1  (3.35)  Vb1  =   Vc1   Z n1 Z n1 ( Z f 1 + Z n1 )  I c1     Matriks impedansi kita transformasikan ke impedansi urutan,



[Z 012 ]1 = [T]−1 [Z abc ]1 [T] kita peroleh



[Z 012 ] primer



( Z f 1 + 3Z n1 ) 0  = 0 Z f1  0 0 



0   0  Z f 1 )



(3.36.a)



Catatan: indeks 012 yang menunjukkan impedansi urutan, ditulis dengan huruf tebal untuk membedakan dengan indeks 1 yang menunjuk pada belitan primer. 3.4.2. Tinjauan Pada Sisi Sekunder dan Tersier Terhubung Y, dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi Persamaan (3.36.a) adalah impedansi urutan dilihat dari sisi primer. Jika kita memperlakukan sisi sekunder dan tersier sama seperti sisi primer, yaitu membuatnya terhubung Y dengan impedansi pada titik netralnya, kita akan mendapatkan rangkaian belitan sekunder dan tersier seperti terlihat pada Gb.3.19. Pada gambar ini Zf2 dan Zf3 adalah impedansi fasa sekunder dan impedansi fasa tersier. a



Zf2



Va2



b



Zf2



Vb2



Vcs Z n2



n Sekunder



Va3



b



Zf3



c



Zf2



a



Zf3



Vb3



c



Zf3



Vc3 Z n3



n



Tersier



Gb.3.19. Hubungan Y sisi sekunder dan tersier. 144



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator Dengan cara yang sama seperti mencari impedansi urutan pada sisi primer, kita peroleh impedansi urutan di sisi sekunder dan tertier yaitu Z f 2 + 3Z n 2



0



0



Zf2



0



0



[Z012 ]sekunder =   



0   0  Z f 2 



(3.36.b)



0   0  Z f 3 



(3.36.c)



dan



[Z012 ]tersier



 Z f 3 + 3Z n3  = 0  0 



0 Zf3 0



Persamaan (3.36.a), (3.36.b), dan (3.36.c) memberi jalan untuk menggambarkan rangkaian impedansi urutan taransformator. Kita kumpulkan impedansi urutan sebagai berikut:



Z 01 = Z f 1 + 3Z n1 ; Z 02 = Z f 2 + 3Z n 2 ; Z 03 = Z f 3 + 3Z n3 (3.37.a) Z 11 = Z f 1 ;



Z 12 = Z f 2 ;



Z 13 = Z f 3



(3.37.b)



Z 21 = Z f 1 ;



Z 22 = Z f 2 ;



Z 23 = Z f 3



(3.37.c)



Z f 3 = Z3 + Zφ



(3.37.d)



dan seperti (3.33)



Z f 1 = Z1 + Z φ ;



Z f 2 = Z2 + Zφ;



Persamaan pertama (3.37.a) dan (3.37.d) memberikan rangkaian urutan nol seperti pada Gb.3.20. Terminal 1, 2, 3 adalah terminal primer, sekunder, dan tersier. 1



3Z n1



Z2



3Z n 2



2



Z3



3Z n3



3



Z1 Zφ



Gb.3.20. Rangkaian urutan nol transformator tiga belitan. Persamaan pertama (3.37.b) dan (3.37.d) memberikan rangkaian urutan positif seperti pada Gb.3.21. 145



Transformator



1



Z2



2



Z3



3



Z1







Gb.3.21. Rangkaian urutan positif transformator tiga belitan. Persamaan pertama (3.37.c) dan (3.37.d) memberikan rangkaian urutan negatif seperti pada Gb.3.22. 1



Z2



2



Z3



3



Z1







Gb.3.22. Rangkaian urutan negatif transformator tiga belitan. 3.4.3. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan Terhubung Y Dengan Ketiga Titik Netral Ditanahkan Langsung Jika titik netral ditanahkan secara langsung (solidly grounded), baik di sisi primer maupun sekunder dan tersier, maka Z n1 = Z n 2 = N n3 = 0 . Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang berubah hanyalah rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi sama dengan rangkaian urutan yang lain. 3.4.4. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan Terhubung Y, dengan Ketiga Titik Netral Tidak Ditanahkan. Jika titik netral tidak di tanahkan maka Z n1 = Z n 2 = N n3 =∝ . Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang berubah juga hanya rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka baik di sisi primer, sekuder, maupun tersier.



146



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator 3.4.5. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan dengan Ketiga Sisi Terhubung Hubungan ∆ dapat kita cari ekivalennya dalam hubungan Y. Jika ini kita lakukan maka kita mendapatkan transformator terhubung Y dengan netral tidak ditanahkan. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka. Jadi belitan yang terhubung ∆ memiliki rangkaian urutan nol yang terbuka (kita menganggap impedansi di ketiga belitan identik). 3.4.6. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan dengan Sisi Primer, Sekunder, dan Tersier Memiliki Hubungan Berbeda. Contoh dari situasi ini adalah situasi yang diperlihatkan pada diagram satu garis Gb.15.9. Dalam gambar ini sisi pimer terhubung ∆, sisi sekunder terhubung Y dengan netral ditanahkan langsung, dan sisi tersier terhubung ∆. Rangkaian urutan nol sisi primer dan tersier terbuka, sedangkan rangkaian urutan nol sekunder tidak mengandung 3Z n 2 Demikianlah kita dapat membangun rangkaian urutan dari transformator tiga-fasa tiga belitan, dengan belitan terhubung Y maupun ∆. Namun ada sedikit catatan untuk belitan yang terhubung ∆: hubungan ini adalah hubungan yang membentuk loop tertutup; jika ketiga belitan yang membentuk ∆ ini tidak benar-benar idektik, ada kemungkinan terjadi arus sirkulasi di belitan ini. Contoh-3.10: [1] Tiga transformator 1 fasa identik pada contoh-3.9 dipakai untuk membangun transformator 3 fasa dengan hubunganhubungan belitan sebagai berikut: Belitan-1: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan melalui impedansi Z n = j 0,04 Belitan-2: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan langsung. Belitan-3: dihubungkan ∆ Gambarkanlah rangkaian urutan. Solusi: Resistansi dan reaktansi dalam per-unit belitan trafo adalah: 147



Transformator



R1 = R2 = R3 = 0,01 pu X 1 = X 2 = X 3 = 0,03 pu Rφ = X φ = ∝ Rangkaian urutan nol adalah (Gb.3.20) 1



3Z n1



Z2



3Z n2



2



Z3



3Z n3



3



Z1 Zφ



Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian urutan nol menjadi 1



j 0,12



0,01 + j 0,03



2



0,01 + j 0,03



3



0,01 + j 0,03



Rangkaian urutan positif adalah (Gb.3.21) 1



Z2



2



Z3



3



Z1







Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian urutan positif menjadi 1



0,01 + j 0,03



2



0,01 + j 0,03



3



0,01 + j 0,03



Rangkaian urutan negatif sama dengan rangkaian urutan positif.



148



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator 3.4. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y- , Transformator Tiga-fasa Dua Belitan Pada hubungan sisi primer-sekunder Y-Y ataupun ∆-∆, diagram fasor tegangan fasa-netral di kedua sisi transformator tidak berbeda fasa. Akan tetapi pada hubungan Y-∆ atau ∆-Y terjadi pergeseran fasa. Untuk melihat pergeseran fasa ini, kita tinjau transformator tiga-fasa dua belitan seperti terlihat pada Gb.3.23. Pada gambar ini terlihat Va1 sefasa Vab 2 , Vb1 sefasa Vbc 2 , Vc1 sefasa Vca 2 . Tegangan fasa-netral di sisi primer yang terhubung Y sefasa dengan tegangan fasa-fasa di sisi sekunder yang terhubung ∆. Kalau kita buat rangkaian ekivalen Y dari ∆, hal tersebtu berarti tegangan fasnetral di sisi sekunder berbeda fasa 30o dengan tegangan fasa-netral di sisi primer. a



a Vab2



Va1 Vb1 Vc1



b



b



c



c



Vbc2



Vca2



n Gb.3.23. Hubungan Y-∆ transformator tiga-fasa. Berkaitan dengan terjadinya pergeseran fasa pada hubungan Y-∆ ataupun ∆-Y, penamaan fasa pada suatu transformator diberi ketentuan sebagai berikut: Penamaan fasa baik pada hubugan Y-∆ ataupun ∆-Y haruslah sedemikian rupa sehngga urutasn positif di sisi tegangan tinggnya mendahului 30o dari pasangan di tegangan rendahnya. Ketentuan ini untuk urutan negatif berarti kebalikannya, yaitu bahwa tegangan urutan negatif tegangan di sisi tegangan tinggi tertinggal 30o dari tegangan di sisi tegangan rendahnya. Pergeseran fasa ini tidak berpengaruh pada urutan nol.



149



Transformator 3.5. Sistem Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator Adanya transformator dalam sistem tenaga membuat sistem tenaga terbagi-bagi dalam banyak segmen yang masing-masing segmen memiliki tegangan kerja sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan sistem per-unit, maka representasi suatu sistem tenaga menjadi lebih sederhana dan perhitungan-perhitungan menjadi lebih mudah dilakukan. Dalam uraian berikut ini kita memusatkan perhatian pada sistem tiga-fasa. Penetuan besaran basis untuk penggunaan sistem per-unit adalah sebagai berikut: a)



Tetapkan daya 3 fasa basis, kita sebut S 3 f basis . Penetapan daya basis ini biasanya mengambil angka-angka yang mudah, seperti 1, 10, 100, 1000. Karena untuk analisis sistem tiga-fasa kita menggunakan model satu-fasa maka harus kita hitung daya basis untuk satu-fasa, yaitu: S 3 f basis S f basis = 3



b) Tetapkan tegangan basis di bus tertentu sebagai referensi, yaitu tegangan nominal. Tegangan nominal adalah nilai tegangan yang dirancang untuk sistem bekerja pada pembebanan seimbang. Tegangan nominal fasa-fasa, Vff di Indonesia misalnya 20 kV, 150 kV, 500 kV. Karena kita melakukan analisis menggunakan model rangkaian satu-fasa maka kita tetapkan tegangan basis fasa-netral di bus ini yaitu



V fn basis = V ff c)



150



basis



/ 3.



Dalam menentukan besaran-besaran basis, kita menganggap semua saluran dan transformator adalah ideal. Dengan demikian maka bus-bus yang terhubung langsung oleh saluran transmisitanpa melalui transformator akan memiliki tegangan basis yang sama. Tegangan basis bus-bus yang dihubungkan oleh saluran transmisi melewati suatu transformator berbanding lurus dengan perbandingan jumlah lilitan di kedua sisi transformator. Dengan demikian maka nilai per-unit tegangan di kedua sisi transformator tidak lagi tergantung dari tegangan transformator. Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator d) Arus basis di setiap bagian sistem adalah daya basis di bagian tersebut dibagi dengan tegangan basisnya.



I basis = e)



Sf



basis



V fn basis



Impedansi basis di tiap bagian sistem adalah tegangan basis dibagi arus basis



Z basis =



V fn basis If



basis



Walaupun demikian, relasi ini dapat kita uraikan sebagai berikut:



Z basis =



V fn basis If



=



basis



V fn basis Sf



(V ff basis / 3 )



2



=



Sf



/ V fn basis



basis



basis



=



V ff2 3S f



basis basis



=



=



2 V fn basis



Sf



basis



V ff2



basis



S3 f



basis



Relasi terakhir ini yang biasa digunakan menentukan impedansi basis, yaitu



Z basis = f)



V ff2



basis



S3 f



basis



Besaran dalam per-unit adalah besaran sesungguhnya dibagi dengan besaran basis. Dengan besaran dalam per-unit kita gambarkan diagram rangkaian model satu-fasa.



Contoh-3.11: [1] Gambarkan rangkaian model satu-fasa dalam perunit dari sistem tiga-fasa yang diagram satu garisnya diberikan berikut ini. Gunakan daya basis tiga-fasa di bus-2



S3 f



basis



= 100 MVA



dan tegangan basis fasa-fasa



V ff



basis



= 345 kV 151



Transformator



1 ∆Y 2



3 Y∆



Z = 12,8 + j64 Ω



4



Y/2 = j280 mS Transformator T1 Transformator T2 1 trafo 3 fasa, 120 MVA 3 trafo 1 fasa, 30 MVA 35 kV ∆, 350 kV Y 200 kV / 20 kV Z=(1+j8%) pada ratingnya Z=(1+j7%) pada ratingnya



Solusi: a)



Kita harus membuat rangkaian ekivalen model 1 fasa dalam per-unit. Oleh karena itu besaran-besaran harus dinyatakan sebagai besaran fasa-netral. Daya basis 3 fasa telah ditentukan untuk bus-2 dengan memilih angka yang mudah yaitu



S3 f



basis



= 100 MVA



Dengan penetapan daya basis 3 fasa ini maka daya basis per fasa adalah



S fn basis =



100 = 33,3 MVA 3



Daya basis per fasa ini berlaku untuk semua bus. Tegangan nominal sistem ini adalah 345 kV fasa-fasa. Tegangan basis fasa-netral adalah



V fn basis =



V ff



nominal



3



=



345 3



= 199 kV



Rangkaian ekivalen model satu-fasa yang harus kita bangun harus menggunakan basis ini, artinya semua besaran akan dilihat dari sisi tegangan tinggi, termasuk impedansi-impedansi di sisi tegangan rendah transformator. Rangkaian ekivalen saluran transmisinya adalah rangkaian ekivalen π dengan ujung di bus 2 terhubunhg ke transformator T1 dan ujung di bus-3 terhubung ke transformator T2. Rangkaian ekivalen sistem ini akan berbentuk seperti berikut:



152



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator



1



2 ZT 1



3 Y 2



Zs



4 ZT 2



Y 2



1, 2, 3, 4: nomer bus Z T 1 : impedansi trafo T1; Z T 2 : impedansi trafo T2 Zs ; impedansi seri saluran transmisi;



Y : admitansi saluran transmisi 2



Kita lihat situasi di setiap bus sebagai berikut: Bus-2. Daya basis di bus ini adalah S fn basis = 33,3 MVA dan tegangan basis V fn basis.bus.2 = V fn basis = 199 kV Arus basis bus-2: I f basis.bus.2 =



Impedansi basis: Z basis.bus.2 =



Sf



basis



V fn basis



V fn basis If



=



basis



=



33,3 = 0,167 kA 199



199 = 1190 Ω 0,167



Bus-3. Daya basis di bus ini juga S fbasis = 33,3 MVA Bus ini terhubung ke bus-2 tanpa melalui transformator. Oleh karena itu tegangan basis bus ini sama dengan tegangan basis bus-2, yaitu



V fn basis.bus.3 = 199 kV Arus basis bus-3: I f basis.bus.3 =



Sf



basis



V fn basis



Impedansi basis bus-3: Z basis.bus.3 =



=



33,3 = 0,167 kA 199



V fn basis If



basis



=



199 = 1190 Ω 0,167



Bus-1. Daya basis di bus ini sama dengan daya basis yang telah ditetapkan yaitu S fn basis = 33,3 MVA . Bus ini terhubung pada transformator Y-∆ dengan perbadingan tegangan fasa-fasa 350 kV



153



Transformator : 35 kV atau tegangan fasa-netral 350 / 3 kV : 35 / 3 kV . Tegangan basis di bus-1 dapat kita hitung yaitu



V fn basis.bus.1 =



V fn bus.1 V fn bus.2



× V fn basis.bus.2 =



Arus basis di bus-1: I f basis.bus.1 =



Impedansi basis: Z basis bus.1 =



Sf



350 / 3



basis



V fn basis



V fn basis If



35 / 3



=



basis



=



× 199 = 19,9 kV



33,3 = 1,674 kA 19,9



19,9 = 11,9 Ω 1,674



Bus-4. Basis daya di bus ini sama dengan basis daya yang telah ditetapkan yaitu S fbasis = 33,3 MVA . Bus ini bertegangan fasafasa 20 kV yaitu tegangan sisi sekunder trafo yang terhubung ∆. Ini berarti tegangan fasa–netral adalah 20 / 3 kV , walaupun tak terlihat titik netral. Sisi primer transformator terhubung Y dengan tegangan fasa-fasa 350 kV atau tegangan fasa-netral 350 / 3 = 200 kV . Tegangan basis di bus-4 ini adalah



V fn basis.bus.4 =



V fn bus.4 V fn bus.3



× V fn basis.bus.3 =



Arus basis bus-4: I f basis.bus.4 =



Impedansi basis: Z basis bus − 4 =



Sf



basis



V fn basis



Vf



basis



If



basis



=



20 / 3 ×199 = 11,5 kV 200 =



33,3 = 2,889 kA 11,5



11,5 = 3,97 Ω 2,889



Untuk melihat dengan lebih jelas, hasil perhitungan di atas kita kumpulkan dalam satu tabel seperti di bawah ini.



154



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator



Sbasis MVA



Vbasis kV



Ibasis kA



Zbasis



1



33,3



19,9



1,674



11,9



2



33,3



199



0,167



1190



3



33,3



199



0,167



1190



4



33,3



11,5



2,889



3,97



Bus







b) Saluran Transmisi. Impedansi dan admitansi saluran dalam per-unit dihitung dengan menggunakan impedansi dan admitansi basis di bus-2 atau bus-3



Z sal pu =



Z sal 12,8 + j 64 = = 0,0108 + j 0,0538 pu Z basis 1190



Ysal basis pu 2 c)



=



j 0,0280 × 10 −3 = j 0,333 pu 1 / 1190



Impedansi transformator. Nilai dalam per-unit diberikan adalah:



impedansi



transformator



yang



T1: Z T 1 pu = 0,01 + j 0,08 pu ( pada ratingnya) T2: Z T 2 pu = 0,01 + j 0,07 pu ( pada ratingnya) Impedansi ini dinyatakan dalam per-unit dengan basis rating masing-masing transformator. Transformator T1. Transformator T1 adalah sebuah transformator tiga-fasa, dua belitan. Rating daya T1 adalah 120 MVA, dengan tegangan nominal (sisi tegangan tinggi) 345 kV (fasa-fasa). Hal ini berarti bahwa basis yang di gunakan untuk menghitung ZT1pu adalah Zbasis rating yaitu



Z basis rating =



V ff2



rating



S3 f



rating







155



Transformator Dengan basis inilah impedansi per-unit yang telah diberikan, yaitu Z T 1 = 0,01 + j 0,08 pu . Impedansi ini harus kita ubah menggunakan basis sistem yaitu S 3 f basis = 100 MVA dan tegangan nominal 345 kV dan Zbasis di bus-2 (tempat dihubungkannya T1) yang telah dihitung sebesar 1190 Ω. Perubahan nilai impedansi dari basis rating ke basis sistem kita lakukan sebagai berikut:



Z T 1 basis sistem =



(0,01 + j 0,08) × Z basis rating Z basis sistem



= (0,01 + j 0,08) ×



(V



2 ff rating



(345



/ S3 f



)



1190 2



/ 120 1190 = (0,0083 + j 0,0667) pu = (0,01 + j 0,08) ×



rating



)



Transformator T2. Transformator T2 adalah transformator 3 fasa yang dibangun dari 3 tansformator 1 fasa dua belitan. Rating daya trafo ini adalah 30 MVA dengan tegangan rating 200 kV. Sisi primer dihubungkan Y agar sesuai dengan tegangan sistem di sisi tegangan tinggi (345 kV), dan sisi sekunder dihubungkan ∆ dengan tegangan sekunder 20 kV. Impedansi yang diberikan adalah



Z T 2 = 0,01 + j 0,07 pu ( pada ratingnya) Impedansi ini harus kita ubah dengan menggunakan basis sistem.



(



(0,01 + j 0,07) × 200 2 / 30 1190 = (0,0112 + j 0,0784) pu



Z T 2 basis sistem =



)



Dengan hasil perhitungan ini, rangkaian ekivalen satu-fasa menjadi sebagai berikut:



156



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator



1



2



0,0108 + j 0,0538



0,0083 + j 0,0667 j 0,333



3



4



0,0112 + j 0,0784 j 0,333



3.6. Transformator Polifasa Dari transformator satu-fasa dapat pula dibangun transformator polifasa. Berikut ini kita lihat contoh transformator enam fasa yang dibangun dari enam transformator satu-fasa. Setiap transformator satu-fasa ini mempunyai rating masing-masing. Contoh-3.12: [1] Enam buah transformator satu-fasa dua belitan yang identik dihubungkan sebagai berikut: - dua-dua belitan primer di hubungkan paralel, - kemudian tiga set paralel tersebut dihubungkan membentuk sisi primer transformator 3 fasa yang terhubung Y. - enam belitan sekunder dari enam transformator dihubungkan membentuk sisi sekunder transformator 6 fasa. Rating setiap transformator adalah 13,8 kV / 138 kV, 15 MVA, X = 7% (pada ratingnya). Tegangan nominal fasa-netral dari sistem adalah 13,2 kV pada bus tegangan rendah yang terhubung Y. Dengan menggunakan daya 3 fasa basis S 3 f = S 6 f = 100 MVA . (a) Hitung semua besaran basis di kedua sisi transformator. (b) Jika sisi primer terhubung pada sumber seimbang dengan tegangan fasa-netral V an = 13,2 kV hitunglah tegangan fasa dan tegangan urutan di kedua sisi transfomator. (c) Gambarkan rangkaian urutan positif dengan X dalam per-unit. Solusi: Tranformator yang terbentuk terhubung Y- yang skema hubungan serta diagram fasor tegangannya terlihat pada gambar berikut.



157



Transformator a



A



D



c



b



E



C



A



D



a



b



F



F



c



C



B



E



B



(a) Besaran-besaran basis: Bus tegangan tinggi



Bus tegangan rendah



S f basis =



100 = 33,3 MVA 3



V fn basis = 13,2 kV I f basis =



Z basis =



S f basis 33,3 = = 2,52 A V fn basis 13,2



V fn basis If



basis



=



13,2 = 5,23 Ω 2,52



100 = 16,7 MVA 6 Jika sisi tegangan Van=13,2 kV: Sf



basis



 138  V AN = 13,2   = 132 kV  13,8  V fn basis = 132 kV If



basis



=



Z basis =



158



=



Sf



basis



V fn basis



V fn basis I f basis



=



=



16,7 = 0,126 A 132



132 = 1045 Ω 0,126



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Transformator (b) Dengan sumber 13,2 kV: Bus tegangan rendah Tegangan fasa-netral:



V an = Vbn = Vcn = 13,2 kV Dalam per-unit: 13,2 Van = = 1,0 pu 13,2 Tegangan urutan:



Bus tegangan tinggi Tegangan fasa-netral: V AN = V BN = VCN =



V DN = V FN = 132 kV Dalam per-unit: V AN =



132 = 1,0 pu 132



Tegangan urutan:



V0 = V 2 = 0 1 (3 V an ) = 13,2 kV 3 Dalam per-unit: 13,2 V1 = = 1,0 pu 13,2 V1 =



V0 = V 2 = V3 = V 4 = V5 = 0 1 (6 V AN ) = 132 kV 6 Dalam per-unit: 132 V1 = = 1,0 pu 132 V1 =



c) Rangkaian urutan positif. Rangkaian urutan positif dari transformator ini hanya berupa satu impedansi yang mengubungkan bus di sisi primer dan sisi sekunder. Kita dapat melihat trafo ini dari sisi tegangan rendah ataupun sisi tegangan tinggi. Dari sisi tegangan rendah: Reaktansi dalam per-unit X = 7% = 0,07 pu (pada rating trafo) . Rating trafo adalah 15 MVA, 13,8 kV sehingga impedansi basis menurut rating trafo adalah



Z basis rating =



2 V rating



S rating



=



13,8 2 15



159



Transformator Dalam membangun sisi tegangan rendah, dua belitan primer trafo satu-fasa diparalelkan menjadi salah satu-fasa hubungan Y, sehingga reaktansi menjadi setengahnya, yaitu



X =



1 1 13,8 2 × 0,07 × Z basis rating = × 0,07 × = 0,444 Ω 2 2 15



Impedansi basis sistem sudah dihitung sebesar 5,23 Ω. Impedansi basis ini memberikan reaktansi dalam per-unit: 0,0444 X = = 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif menjadi : 5,23



0,0850 pu Dari sisi tegangan tinggi:



X = 0,07 × Dalam per-unit: X =



138 2 = 88,8 Ω 15



88,8 = 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif 1045



menjadi :



0,0850 pu



160



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron



BAB 4



Mesin Sinkron



Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti konversi energi dari energi listrik ke energi listrik. Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis; cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari energi mekanis ke energi listrik atau disebut konversi energi elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari mekanis ke listrik tetapi juga dari listrik ke mekanis, dan dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini dinyatakan dalam dua persamaan berikut



e=−



dλ dφ = −N dt dt



dan



F = K B B i f (θ)



Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis ditimbulkan. Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat yaitu konstruksi kutub menonjol dan konstruksi rotor silindris. 4.1. Mesin Sinkron Kutub Menonjol Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.4.1.a. Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan a1a11 sampai c2c22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat 161



Mesin Sinkron kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar sudut 360o ini melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120o antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan belitan b1b11 berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi 120o, dan mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o. b1 c11 a1



a11



U



U



a2 c22



S c2



φ



b11



S



b22



180o mekanis = 360o



c1



b2



a22



a) konstruksi kutub menonjol



a1



a11



b) belitan



φ



φ



c) fluksi magnetik



Gb.4.1. Mesin sinkron kutub menonjol Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub (dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah



θ magnetik [derajat ] = 2 × θ mekanik [derajat ] atau secara umum



θ magnetik [derajat ] =



p × θ mekanik [derajat ] 2



dengan p adalah jumlah kutub.



162



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(4.1)



Mesin Sinkron Kecepatan sudut mekanik adalah



ω mekanik =



dθ mekanik = 2π f mekanik dt



(4.2)



Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik. Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n n n atau f mekanis = rpm, maka jumlah siklus per detik adalah 60 60 siklus per detik. Kecepatan sudut magnetik adalah



ω magnetik =



dθ magnetik dt



= 2π f magnetik



(4.3)



Dengan hubungan (4.1) maka (4.3) menjadi



ω magnetik =



p p p pn n ω mekanik = 2π f mekanik = 2π = 2π 2 2 2 60 120



yang berarti



f magnetik =



pn siklus per detik 120



(4.4)



Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi pn f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan 120 mempunyai frekuensi pn f tegangan = Hz (4.5) 120 Dengan (4.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n = 3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000 rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol seperti pada Gb.17.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis. 163



Mesin Sinkron Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi silindris. Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga-fasa untuk setiap pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan ec1 pada c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2 dan ec2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga-fasa pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan yang sefasa, misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk memperoleh arus yang lebih besar. Tegangan yang 180o mekanis = 360o magnetik terbangkit di belitan pada umumnya a11 diinginkan berbentuk gelombang sinus v = A cos ωt , dengan pergeseran 120o untuk φs θ belitan fasa-fasa yang a1 lain. Tegangan sebagai fungsi waktu ini pada transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder karena fluksinya merupakan Gb.4.2. Perhitungan fluksi. fungsi waktu. Pada mesin sinkron, fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi waktu agar persamaan (4.1) dapat diterapkan untuk memperoleh tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki celah udara antara rotor dan stator dengan nilai konstan maka, dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan fluksi yang ditangkap oleh belitan stator adalah d θ magnetik dφ s =φ = φ ω magnetik (4.6) dt dt 164



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron Karena ω magnetik = 2π f magnetik = 2π



pn , maka 120



dφ s pn (4.7) =φπ dt 60 Dari (4.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu dφ s pn (4.8) v = −N = −N φ π dt 60 Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (4.8) memberikan suatu tegangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda berikutnya. Maka (4.8) memberikan tegangan bolak-balik yang tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu terhadap θmaknetik . Jadi jika φ = φ m cos θ maknetik (4.9) maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah dθmagnetik dφs dφ d = = φm cos θmagnetik = −φm sin θmagnetik dt dt dt dt pn  = −φmωmagnetik sin θmmagnetik = −φm  2π  sin θmagnetik  120 



(



)



sehingga tegangan belitan dφ s pn e = −N = Nπ φ m sin θ magnetik dt 60 = 2π f N φ m sin θ magnetik = ω N φ m sin ωt



(4.10)



(4.11)



Persamaan (4.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini adalah E m = ωN φ m Volt (4.12) dan nilai efektifnya adalah E ωN φ m 2π f E rms = m = = N φm (4.13) 2 2 2



= 4,44 f N φ m Volt Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan perhitungan fluksi yang merupakan penyederhanaan dari konstruksi mesin a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu: 165



Mesin Sinkron 1.



2.



Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a1a11, yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan itu terdiri dari N lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan terpusat. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a1 dan a11 adalah 180o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut kisar penuh.



Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan, melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh (60o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180o akan tetapi hanya 80% sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan suatu faktor Kw yang kita sebut faktor belitan. Biasanya Kw mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor belitan ini formulasi tegangan (4.13) menjadi



E rms = 4,44 f N K w φ m Volt



(4.14)



Berikut ini beberapa contoh perhitungan tegangan jangkar. Untuk sementara pembahasan mesin sinkron kutub menonjol kita hentikan di sini. Kita akan melihat mesin jenis ini lagi setelah pembahasan mesin sinkron rotor silindris. CONTOH-4.1: Sebuah generator sinkron tiga-fasa, 4 kutub, belitan jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor 1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa. Solusi : Frekuensi tegangan jangkar adalah



f = 166



p n 4 ×1500 = = 50 Hz 120 120



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron



12 = 3 yang berarti setiap pasang 4 kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah Jumlah alur per kutub adalah



E ak = 4,44 f N φ m = 4,44 × 50 × 10 × 0,03 = 66,6 V Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2 × 66,6 = 133 V. Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V. CONTOH-4.2: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap. Solusi : Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh karena itu frekuensi tetap 50 Hz.



24 = 6 yang berarti setiap pasang 4 kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar untuk setiap belitan adalah Jumlah alur per kutub adalah



E a1 = 4,44 f N φ m V = 4,44 × 50 ×10 × 0,03 = 66,6 V . Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya. Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah



360 o = 15 o mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2 24 pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2o listrik. Jadi selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o listrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30o tersebut. E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 o + j sin 30 o ) = 124,8 + j 33,3 Karena ada 2 pasang kutub maka E a = 2 × (124,8) 2 + (33,3) 2 = 258 V 167



Mesin Sinkron Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V CONTOH-4.3: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8 pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm. Ketentuan yang lain tetap. Solusi : 16 × 375 Frekuensi tegangan jangkar : f = = 50 Hz 120 144 Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan 16 per pasang kutub yang membangun sistem tiga-fasa. Jadi tiap fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah E a1 = 4,44 × 50 × 10 × 0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan, dan fluksi maksimum tidak berubah. Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah



360 o = 2,5 o mekanik. Karena mesin memiliki 16 kutub (8 144 pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8o listrik, sehingga beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah



2,5 × 8 = 20 o listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing berselisih fasa 20o. E ak = 66,6 + 66,6∠20 o + 66,6∠40 o



(



= 66,6 1 + cos 20 o + cos 40 o + j (sin 20 o + sin 40 o ) = 180,2 + j 65,6 Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah



E a = 8 × (180,2) 2 + (65,6) 2 = 8 × 191,8 = 1534 V Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V



168



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



)



Mesin Sinkron 4.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris Sebagaimana telah disinggung di atas, a mesin kutub menonjol sesuai untuk perputaran U b1 c1 rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin rotor silindris yang skemanya c b S diperlihatkan ada Gb.4.3. Rotor mesin ini a1 berbentuk silinder dengan alur-alur untuk menempatkan belitan Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris. eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih merata dibandingkan dengan mesin kutub menonjol. Di samping itu kendala mekanis untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin kutub menonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa1 , bb1 dan cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh. Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol. Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000 rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.17.4 disebut karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan 169



Mesin Sinkron ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis mesin sinkron.



Arus fasa [A]



Tegangan Fasa-Netral [V]



Karakterik 12000 lain yang beban-nol 11000 penting adalah celah udara V=V(If )|I =0 V=kIf 10000 karakteritik hubung singkat 9000 yang dapat kita 8000 peroleh dari uji 7000 hubung singkat. Dalam 6000 hubung singkat uji hubung 5000 I = I (If ) |V=0 singkat ini 4000 mesin diputar pada kecepatan 3000 perputaran 2000 sinkron dan 1000 terminal 00 belitan jangkar 0 50 100 150 200 medan 250 300 350 400 450 500 dihubung Arus [A] Gb.4.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat. singkat (belitan Karakteristik celah udara (linier). jangkar terhubung Y). Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan jatuh di impedansi belitan jangkar. Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf (lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal



170



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor yang akan kita pelajari beikut ini. 4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar. Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat oleh belitan jangkar. Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar. θ a



a U



U sumbu emaks



S



S (a)



a1 sumbu magnet



sumbu imaks



(b)



a1



sumbu magnet



Gb.4.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.



171



Mesin Sinkron Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu arus di belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat pada Gb.4.5.b. Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan keluaran mesin dipertahankan. Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara khusus sehingga kita menunda pembahasannya. Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut 1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif. 2. Tegangan terminal Va dan arus jangkar I a adalah nominal. 3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang membangkitkannya. 4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi Ra. 5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen. Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai referensi, arus jangkar Ia tertinggal dengan sudut θ dari Va (beban induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah



E a = Va + I a (R a + jX l )



172



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(4.15)



Mesin Sinkron Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa yang 90o mendahului E a . Arus jangkar I a memberikan fluksi lawan dari jangkar yang



dinyatakan dengan arus ekivalen I φa . Jadi fluksi dalam celah udara merupakan jumlah dari fluksi rotor Φf yang dinyatakan dengan arus ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi



I fa = I f + I φa



atau



I f = I fa − I φa



Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor I f



(4.16)



haruslah cukup untuk



membangkitkan fluksi celah udara guna membangkitkan E a dan mengatasi fluksi lawan jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat dipertahankan. Perhatikan Gb.4.6: I f membangkitkan tegangan



E f yang 90o di belakang I f dan lebih besar dari E a . Ef



I f = I fa − I φa I fa γ



− I φa I φa



θ



Va Ia



Ea jI a X l I a Ra



Gb.4.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris. Hubungan antara nilai E a dan I fa diperoleh dari karakteristik celah udara, sedangkan antara nilai I a dan I φa diperoleh dari karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti terlihat pada Gb.17.4., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan



E a = k v I fa dan I a = k i I φa atau 173



Mesin Sinkron



I fa = E a / k v dan I φa = I a / k i



(4.17)



dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan kurva Gb.17.4. Dari (4.7) dan Gb.17.6. kita peroleh E I I f = I fa − I φa = a ∠(90 o + γ ) + a ∠(180 o − θ) kv ki (4.18) Ea Ia = j ∠γ − ∠−θ kv ki Dari (4.18) kita peroleh E f yaitu



 E  I E aa = − jk v I f = − jk v  j a ∠γ − a ∠ − θ  ki  kv  kv kv = E a ∠γ + j I a ∠ − θ = Ea + j Ia ki ki Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai jX φa I a dengan k X φa = v ki



(4.19)



(4.20)



yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis



E f = E a + jX φa I a = Va + I a (R a + jX l ) + jX φa I a = Va + I a (R a + jX a )



(4.21)



dengan X a = X l + X φa yang disebut reaktansi sinkron. Diagram fasor Gb.4.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.4.7. untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi sinkron. Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak jenuh.



174



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron



E aa



I f = I fa − I φa j I a X φa



I fa



γ



− I φa I φa



θ



Ea jI a X l



Va Ia



jI a X a



I a Ra



Gb.4.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa). 4.2.2. Rangkaian Ekivalen Mesin Sinkron Rotor Silindris Sumber tegangan cukup memadai untuk menggambarkan rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris. Kumparankumparan jangkar, tempat dibangkitkannya tegangan, mengandung resistansi dan reaktansi. Selain itu, antar kumparan juga terjadi kopling magnetic karena letak mereka yang saling berdekatan pada posisi yang simetris. Kita anggap bahwa ketiga kumparan jangkar adalah identik, masing-masing dengan resistansi Ra dan reaktansi Xa. Antar ketiga kumparan terjadi reaktansi bersama Xm. Jika tegangan terbangkit di kumparan jangkar adalah E a , E b , dan E c dan tegangan fasa-netral di terminal mesin adalah Van , Vbn , dan Vcn , maka digambarkan rangkaian ekivalen seperti pada Gb.4.8.



dapat



Pada Gb.4.8. ini I a , I b , dan I c adalah arus fasa a, b, dan c yang keluar dari terminal mesin dan ketiganya kembali melalui penghantar netral melalui impedansi Zn. Aplikasi hokum Kirchhoff pada rangkaian ini memberikan persamaan



175



Mesin Sinkron



E a = ( R a + jX a ) I a + Z n (I a + I b + I c ) + jX m (I b + I c ) + Van = ( R a + jX a + Z n ) I a + ( Z n + jX m )I b + ( Z n + jX m )I c + Van (4.20.a) E b = ( R a + jX a + Z n ) I b + ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) I c + Vbn



(4.20.b) E c = ( R a + jX a + Z n ) I c + ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) I b + Vcn



(4.20.c) Ra



∼ Eb



N



Ic



c



Ec



∼ +



jX a







Ra



jX a



jX m



+



Ea



Vcn



Ia



jX m a Ra



Zn



jX a



jX m



Ib



Van



b



I a + Ib + I c



Vbn



n



Gb.4.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron Jika kita tuliskan



Z s = R a + jX a + Z n Z m = Z n + jX m



(4.21)



Maka persamaan 4.20.a,b,c menjadi



E a = Z s I a + Z m I b + Z m I c + Van E b = Z s I b + Z m I a + Z m I c + Vbn



(4.22)



E c = Z s I c + Z m I a + Z m I b + Vcn Dalam bentuk matriks, persamaan (4.22) adalah



E a   Z s     Eb  = Z m  Ec  Z m    176



Zm Zs Zm



Z m   I a   Van      Z m   I b  +  Van  Z s   I c   Van 



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(4.23.a)



Mesin Sinkron atau secara lebih ringkas ~ ~ ~ E abc = [Z abc ]I abc + Vabc



(4.23.b)



Kita ingat bahwa ~ ~ ~ ~ I abc = [T] I012 dan Vabc = [T] V012 dan kita masukkan ke (4.23.b) serta kita kalikan kedua ruas



(4.23.b) dengan [T]−1 maka kita peroleh



[T]−1 E~ abc = [T]−1 [Z abc ][T]~I012 + [T]−1 [T]V~ 012 ~ ~ = [Z 012 ] I 012 + V012



(4.24.a)



Kita hitung ruas kiri (9.24.a)



[T]



−1 ~



E abc



1 1 1 = 1 a 3 1 a 2



1  Ef  a 2  a 2 E f a   a E f 



  0   0  1    = 3E f  =  E f 3   0   0 



  ( 4.24.b)  



[Z 012 ] pada (4.24.a) adalah [Z 012 ] = [T]



−1



Z s + 2Z m [Z abc ][T] =  0  0



0 Zs − Zm 0



  (4.24.c) 0  Z s − Z m  0



dengan Zs dan Zm diberikan oleh (4.21). Elemen-elemen matriks (4.24.c) menjadi



Z 00 = Z s + 2Z m = R a + jX a + Z n + 2 Z n + j 2 X m = R a + j ( X a + 2 X m ) + 3Z n Z 11 = Z s − Z m = R a + jX a + Z n − Z n − jX m = Ra + j( X a − X m ) Z 22 = Z s − Z m = R a + jX a + Z n − Z n − jX m = Ra + j( X a − X m )



(4.25.a)



4.25.b)



(4.25.c)



sehingga (4.24.c) menjadi 177



Mesin Sinkron



 Z 00 [Z 012 ] =  0  0



0 Z 11 0



0  0  Z 22 



(4.25.d)



Dengan (4.25.b) dan (4.25.d) maka (4.23.a) menjadi



 0   Z 00 E  =  0     0   0



0 Z 11 0



0   I 0   V0      0   I1  +  V1  Z 22  I 2  V2 



(4.26.a)



Persamaan (4.26.a) ini memberi jalan untuk menggambarkan rangkaian urutan dari mesin sinkron. Dengan mengingat bahwa Zn bukanlah komponen mesin, didefinisikan impedansi urutan mesin sebagai Z 0 = Z 00 − 3Z n ; Z1 = Z11 ; Z 2 = Z 22 (4.26.b) Berdasarkan (4.26.a) dan (4.26.b) kita gambarkan rangkaian urutan seperti terlihat pada Gb.4.9. I0 Z0 + 3Z n V0 − Rangkaian urutan nol. I1 Z1 + ∼ E V1 − Rangkaian urutan Positif I2 Z2 + V2 − Rangkaian urutan negatif. Gb.4.9. Rangkaian urutan mesin sinkron.



178



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron Penurunan rangkaian urutan di atas cukup sederhana dengan hasil yang sederhana pula dan kita akan menggunakannya dalam analisis. Namun sesungguhnya beberapa hal tidak kita pertimbangkan dalam penurunan tersebut. Misalnya keberadaan damper winding tidak kita singgung; dan demikian juga tegangan terbangkit di kumparan jangkar kita anggap ditimbulkan oleh arus eksitasi yang konstan padahal dalam kenyataannya tidak demikian; rangkaian magnetic mesin juga kita anggap memiliki karakteristik linier walaupun kenyataannya nonlinier. Hal-hal yang kita abaikan ini diperhitungkan oleh pembuat mesin. 4.2. Kopling Turbin-Generator Generatos sinkron diputar oleh turbin. Turbin memberikan daya mekanis. Jika generator tidak bebeban, torka mekanis yang dikeluarkan oleh turbin hanya digunakan untuk mengatasi gesekan dengan udara dari bagian-bagian yang berputar dan gesekan poros dengan bantalan. Gesekan ini memberikan torka yang melawan torka dari turbin; torka lawan akibat gesekan ini biasanya kecil dibandingkan dengan torka lawan dari generator, dan biasanya diabaikan. Torka lawan dari generator terjadi jika generator diberi beban. Arus yang mengalir di kumparan jangkar sebagai akibat pembebanan, menimbulkan medan magnet yang berinteraksi dengan medan magnet dari rotor. Interaksi ini menimbulkan torka lawan terhadap torka turbin. Jika torka turbin kita sebut Tm (torka mekanis) dan torka lawan dari generator kita sebut Te (torka listrik) maka kita mendapat persamaan



dω rm (4.27) dt dengan J adalah inersia seluruh massa yang berputar, dan ωrm adalah kecepatan perputaran rotor (kecepatan putar mekanis). Persamaan (4.27) ini sudah barang tentu merupakan persamaan umum yaitu jika memang ωrm berubah terhadap waktu; hal demikian terjadi pada peristiwa transien. Untuk sementara kita tidak melihat kondisi transien, tetapi hanya kondisi mantap. Oleh karena itu dω rm / dt = 0 sehingga (4.27) menjadi T m − Te = J



Tm − Te = 0 atau



T m = Te



(4.28)



179



Mesin Sinkron Dalam kondisi mantap, kecepatan perputaran mekanis rotor, ωrm, sama dengan kecepatan perputar sinkron, ω rm = ω s . Jika persamaan (4.28) kita kalikan dengan ωrm maka kita peroleh



Tm ω rm = Te ω rm = Te ω s atau



(4.29)



Pm = Pe Persamaan (4.29) menunjukkan bahwa dengan mengabaikan rugirugi gesekan dengan udara dan bantalan poros, seluruh daya mekanik diubah menjadi daya listrik. 4.4. Daya Mesin Sinkron Dalam model satu-fasa, tegangan terbangkit di kumparan jangkar per fasa adalah E f , tegangan di terminal generator adalah V . Adanya impedansi belitan jangkar membuat E f dan V berbeda fasa. Jika kita ambil tegangan terminal generator sebagai referensi dan beda sudut fasa antara tegangan terminal dan tegangan terbangkit adalah δ, maka



V = V∠0 o



dan



E f = E f ∠δ



(4.30)



dan δ disebut sudut daya (power angle) Impedansi belitan jangkar tiap fasa adalah



Z = Ra + jX a



(4.31.a)



Karena Xa >> Ra maka



Z ≈ jX a = jX d



(4.31.b)



Xd adalah reaktansi jangkar yang disebut direct axis reactance.



180



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron Kita menganggap generator sinkron terbebani seimbang. Oleh karena itu rangkaian ekivalen yang kita perlukan hanyalah rangkaian urutan positif. Jika beban generator sinkron kita modelkan sebagai sumber tegangan, kita memperoleh rangkaian ekivalen generator sinkron dengan bebannya seperti terlihat pada Gb.4.10.



I



jX d



+







Ef



+







V



Gb.4.10. Rangkaian ekivalen model satufasa generator sinkron dengan beban seimbang. Dengan (4.12.b) daya per fasa yang keluar dari terminal generator adalah



Sf



Ef −V  = V I = V  jX d   











(4.32.a)



Dengan memasukkan (4.30) maka (4.32.a) menjadi











2   = VE f ∠(90o − δ) − V ∠90o  Xd Xd  (4.32.b) 2   VE f VE f V  = sin δ + j  cos δ − = Pf + jQ f  Xd Xd X d  



E f ∠δ − V∠0 S f = V∠0o   X ∠90o d 



o



dengan Pf =



VE f Xd



 VE f V2 cos δ − sin δ dan Q f =   Xd Xd 



   



(4.33)



Pf adalah daya nyata dan Qf adalah daya reaktif (per fasa). Kita telah melihat pada (4.10) bahwa dengan mengabaikan rugi daya pada gesekan, seluruh daya mekanik dari turbin dikonversi menjadi daya listrik. Turbin hanya memberikan daya nyata, namun generator mengubahnya menjadi daya nyata dan daya reaktif. Hal 181



Mesin Sinkron ini berarti bahwa jika kita menambah daya turbin dengan menambah uap pada turbin uap atau menambah debit air pada turbin air, daya yang bertambah adalah daya nyata, P. Jika E f , V, X d tidak berubah maka peningkatan P berarti bertambahnya sudut daya δ. Pertambahan daya nyata ini ada batasnya, yaitu pada saat sin δ = 1 , dan inilah daya nyata maksimum yang bisa diberikan oleh generator, yang disebut batas stabilitas keadaan mantap. Apabila kita teruskan menambah daya turbin dengan menambah uap lagi, mesin akan keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu generator sinkron dioperasikan pada nilai yang cukup rendah dari daya maksimumnya, sekitar 20%. Kelebihan pasokan daya nyata mekanis tidak hanya terjadi jika kita menambah daya turbin. Kelebihan tersebut juga terjadi jika dalam operasi normal tiba-tiba beban hilang sebagian (beban keluar dari jaringan). Dalam hal demikian sudut δ meningkat untuk sementara, perputaran bertambah, sampai governor secara otomatis mengatur masukan uap untuk mengembalikan perputaran turbin ke perputaran semula, dan kondisi operasi kembali normal. Jika kita perhatikan persamaan untuk Qf pada (4.33), peningkatan δ yang meningkatkan Pf, justru menurunkan Qf. Daya reaktif Qf bisa meningkat jika Ef meningkat yaitu dengan menambah arus eksitasi. Dengan kata lain penambahan Qf dilakukan dengan menambah arus eksitasi. Sebagaimana telah kita pelajari, daya ini mengalir dari sumber ke beban dalam setengah perioda dan mengalir dari beban ke sumber dalam setengah perioda berikutnya. Nilai rata-ratanya adalah nol; daya reaktif tidak memberikan transfer energi. Kita lihat contoh persoalan berikut. CONTOH-4.4: [1] Beban seimbang generator sinkron memiliki faktor daya 0,8 lagging. Reaktansi X d = 0,7 pu (pada ratingnya) . +



Ef







jX d = 0,7 pu



I +







V



a). Hitung , Pf, Qf, Ef, dan δ, dan gambarkan fasor diagramnya.



182



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan δ, pada keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a). c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, Ef, dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a). Solusi: a). Kita tetapkan referensi V = 1∠0 o



ψ = cos −1 (0,8) = 36,9 o I = 1∠ − 36,9 o = 0,8 − j 0,6 E f = jX d I = j 0,7(0,8 − j 0,6) + 1 = 1,42 + j 0,56 = 1,53∠21,5 o



⇒ E f = 1,53 δ = 21,5 o VE f 1× 1,53 Pf = sin δ = sin( 21,5 o ) = 0,8 Xd 0,7



V12 1× 1,53 12 = cos(21,5 o ) − = 0,6 Xd Xd 0,7 0,7 Diagram fasornya terlihat pada gambar berikut. Qf =



VE f



cos δ −



Ef δ ψ



jX d I V



I b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan δ, pada keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a). Tetap gunakan referensi V = 1∠0 o 183



Mesin Sinkron P ′ = 1,2 P = 1,2 × 0,8 = 0,96 (meningkat 20% dari P pada soal a). E ′f = E f = 1,53 (tidak berubah, eksitasi tidak ditambah).  P ′X d   = sin −1  0,96 × 0,7  = 26,1o (meningkat 21%). δ′ = sin −1   1,53 × 1   E ′f V      E ′f V V 2 1,53 × 1 12 Q′ = = cos δ ′ − cos(26,1o ) − Xd Xd 0,7 0,7



= 0,535



(menurun 11%)



Diagram fasor adalah seperti gambar berikut



jX d I ′



E ′f δ ψ



I1



.



δ′



I1′



Ef



jX d I



V



c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, Ef, dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a). Tetap gunakan referensi V = 1∠0 o . P ′′ = P = 0,8 (tidak berubah) E ′f′ = 1,2 × E f = 1,2 × 1,53 = 1,84 (naik 20%)  P ′′X d δ′′ = sin −1   E ′f′ V 



Q ′′ =



E ′′f V Xd



= 1,07 184



  = sin −1  0,8 × 0,7  = 17,8 o  1,84 × 1     



cos δ′′ −



(menurun 17%)



V 2 1,84 × 1 12 = cos(17,8 o ) − Xd 0,7 0,7



(meningkat 44%)



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron Diagram fasor terlihat di bawah ini.



E ′′f



Ef jX d I



δ′′



I1′′



V



ψ′′



4.5. Batas Operasi Mesin Sinkron Menambah daya nyata ada batasnya karena menambah daya nyata berarti memperbesar arus jangkar yang berarti menaikkan temperatur kumparan jangkar. Demikian juga halnya dengan daya reaktif. Meningkatkan Ef , untuk menambah daya reaktif, ada batasnya karena meningkatkan Ef berarti menambah arus eksitasi. Kita lihat lebih dulu upaya menambah daya reaktif dengan menambah arus eksitasi. Makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan temperatur pada belitan eksitasi. Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, Ifmaks. Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit maksimum, Ef maks. Dengan Ef maks maka daya per fasa generator adalah:



Sf



E fmaks



=



VE fmaks Xd



 VE fmaks V2 sin δ + j  cos δ −  Xd Xd 



   



(4.34)



yaitu batas daya yang terkait dengan pembatasan Ef. Jika daya ini kita plot pada bidang P-Q, maka kurva S f



E fmaks



akan berbentuk



lingkaran dengan jari-jari rE =



VE f



maks



Xd



dan pusat di



 V2 O ′ =  0, −  Xd  seperti terrlihat pada Gb.4.11.



   



185



Mesin Sinkron



Q q



Sf



E fmaks



p −



V2 Xd



Gb.4.11. Kurva S f



O'



P



rE



E fmaks



pada bidang P-Q.



Akan tetapi tidak seluruh lingkaran merupakan tempat kedudukan



Sf



E fmaks



stabilitas



karena ada nilai maksimum daya nyata yaitu batas keadaan



mantap



yang



terjadi



pada



nilai



sin δ = 1 atau δ = 90 . Pada δ = 90 P mencapai nilai maksimum o



o



dan Q = 0; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik p. Pada δ = 0 o , P = 0 dan Q mencapai nilai maksimum; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik q. Inilah batas operasi generator sinkron yang terkait dengan pembatasan arus eksitasi. Sekarang kita lihat upaya menambah daya nyata. Penambahan daya nyata, dengasn menambah pasokan uap misalnya, akan menambah arus jangkar; arus jangkar juga harus dibatasi. Kumparan jangkar mengandung resistansi. Arus yang dikeluarkan oleh generator harus melalui resistansi ini dan menimbulkan panas di kumparan jangkar. Upaya pendinginan harus dilakukan agar panas yang timbul di kumparan jangkar tidak melewati batas yang bisa merusakkan isolasi. Perlu kita ingat bahwa suhu jangkar tidaklah merata, akan tetapi ada bagian-bagian tertentu yang lebih tinggi suhunya dari bagian lain. Suhu di titik terpanas inilah yang harus diperhatikan untuk menetapkan batas suhu dalam operasi. Bagaimanapun usaha pendinginan dilakukan, tetap ada batas teratas nilai arus yang harus



186



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron ditetapkan yang tak boleh dilampaui. Batas atas yang ditetapkan untuk arus itu disebut rated current, I rated . Selain ditetapkan batas atas nilai arus jangkar, ditetapkan juga batas atas nilai tegangan yang juga tak boleh dilampaui, yang disebut rated voltage, Vff rated. Batas arus dan batas tegangan memberikan batas nilai daya tiga-fasa |S3f rated|.



S3 f Daya



= V ff



rated



keluaran



S3 f ≤ S3 f



rated



rated



×If



mesin



rated



× 3



pada



waktu



(4.35.a) operasi



haruslah



atau daya per fasa



Sf ≤



S3 f



rated



(4.35.b)



3



Dari rangkaian ekivalen Gb.4.10, batas daya per fasa adalah



Sf



rated



= Vrated I ∗rated =



2 Vrated ∠ψ rated Xd



(4.36)



S f = Vrated I rated cos ψ rated Faktor daya juga memiliki nilai batas yang terkait dengan batas tegangan terbangkit yang ditetapkan, Ef maks. Kurva batas daya per fasa S f rated juga berbentuk lingkaran dengan pusat di O(0,0) 2 jari-jari rr = Vrated / Xd .



Gb.4.12. memperlihatkan kurva S f rated bersama dengan kurva



Sf



E fmaks



.



187



Mesin Sinkron



Q c



Sf



rated



q



ψ rated



a b −



V2 Xd



P



p



O



Sf



E fmaks



O'



Gb.4.12. Kurva S f dan S f rated . E fmaks Titik potong antara kurva S f rated dan kurva S f , yaitu titik a E fmaks pada Gb.4.12, harus berarti bahwa titik tersebut menunjukkan batas daya yang terkait dengan Vrated , I rated , mupun terkait dengan Ef maks; dan garis Oa membuat sudut faktor daya ψrated dengan sumbu P. Apabila ψ kita turunkan sampai bernilai nol, maka kurva S f rated mencapai titik b, dan cos ψ = 1 ; daya reaktif nol. Titik b inilah menunjukkan nilai maksimum daya nyata yang dapat diberikan oleh mesin dan bukan p karena daya nyata di b lebih rendah dari daya nyata di p. Apabila ψ kita naikkan sampai 90o maka kurva S f rated mencapai titik c, dan cos ψ = 0 ; daya nyata nol. Akan tetapi titik c tidak menjadi batas nilai daya reaktif maksimum, karena ada pembatasan lain yang lebih redah yang ditunjukkan oleh titik q yaitu batas daya reakti oleh adanya pembatasan Efmaks. Berikut ini kita lihat contoh mencari nilai Ef maks pada kedua kondisi limit tersebut.



188



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron CONTOH-4.5. [1] Sebuah generator memiliki Xd = 1,2 pu. Hitung Ef yang diperlukan, agar faktor daya menjadi (a) maksimum, f.d.=1, (b) minimum, f.d. = 0 (lagging), Solusi: Kita ambil referensi fasor



V = 1∠0 o pada rangkaian ekivalen di samping ini.



+



Ef



jX d



I







+







V



a) Agar faktor daya = 1:



I = 1∠0 o = 1 + j 0



E f = jX d I + V = j1,2 × 1 + 1 = 1,56∠50,2 o ⇒ E f = 1,56 b) Agar faktor daya = 0:



I = 1∠ − 90 o = 0 − j1 E f = jX d I + V = j1,2 × (− j1) + 1 = 2,20∠0 o ⇒ E f = 2,20 Contoh-4.5 menunjukkan bahwa pada faktor daya lagging mulai dari 1 sampai 0, Ef yang diperlukan cukup tinggi. Tingginya Ef berarti tingginya arus eksitasi. Sedangkan makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan temperature belitan eksitasi.yang makin tinggi pula. Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, If maks. Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit maksimum, Ef maks. Batas yang ditentukan ini tidaklah perlu sampai mencapai kondisi dimana faktor daya nol (Ef =2,20 pada contoh di atas) karena tak ada manfaatnya membuat generator yang dioperasikan untuk tidak memberikan daya nyata. Tugas generator adalah mencatu daya ke beban. Beban memiliki impedansi dan faktor dayanya sendiri. Jika generator harus menuruti permintaan beban, maka jika faktor daya beban terlalu rendah, 189



Mesin Sinkron generator akan menderita karena harus beroperasi pada faktor daya yang terlalu rendah tersebut. Oleh karena itu harus ada persyaratan faktor daya di beban; persyaratan itu misalnya faktor daya beban paling rendah 0,85 lagging. Kita amati sekarang bagian kurva S f rated yang berada di bawah sumbu P. Bagian kurva ini adalah tempat kedudukan S f rated dengan faktor daya leading, Q negatif. Makin negatif daya reaktif, makin kecil arus eksitasi karena batas Emaks kecil, namun makin besar sudut daya δ makin besar. Contoh berikut ini akan memberikan gambaran lebih jelas. CONTOH-4.6: [1] Pada rangkaian ekivalen contoh-4.5, tentukan Ef agar faktor daya menjadi 0,553. Solusi: Pada faktor daya 0,553, ψ = cos −1 (0,553) = 56,4 o → I = 1∠56,4 o



E f = jX d I + V = j1,2 × 1∠56,4 + 1 = 0,664∠90 o ⇒ E f = 0,664



δ = 90 o



Untuk pembebanan dengan faktor daya leading eksitasi yang diperlukan cukup rendah. Namun makin rendah Emaks, sudut δ makin besar dan mencapai 90o pada faktor daya 0,553. Inilah nilai δ yang tak dikehendaki karena generator berada pada titik batas stabilitas mantapnya; sedikit saja terjadi kenaikan δ, generator akan keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai maksimum δmaks untuk membatasi operasi. Penetapan nilai δmaks dapat dilakukan dengan menetapkan daya nyata minimum yang tetap harus masih ada jika terjadi pembebanan kapasitif; misalkan Pminimal = 10% Prated atau sin δ maks = 0,9 sehingga



δ maks = sin −1 0,9 = 64,2 o . Pada suatu δ maks yang ditetapkan, nilai P dan Q diberikan melalui relasi (4.14) yaitu



190



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron



P=



VE f Xd



 VE f V2 cos δmaks − sin δmaks dan Q =   Xd Xd 



   



(4.37)



 P V2 = −  tan δmaks X d 



(4.38)



Dari daya nyata diperoleh relasi



VE f Xd



=



P sin δmaks



jika ini kita pakai untuk menyatakan Q kita peroleh:



 P V2 Q= cos δmaks −  sin δmaks Xd 



Persamaan (4.38) membentuk kurva garis lurus di bidang P-Q. Garis ini memotong sumbu Q di −



V2 dan memotong sumbu P di Xd



V 2 tan δ maks . Gb.4.13. menunjukkan posisi garis lurus tersebut, Xd bersama dengan kurva S frated dan S f ; garis lurus itu Emaks berpotongan dengan kurva S frated di titk d.



Q c q



Sf



rated



ψ rated



a b d



O −



V2 Xd



p



P V 2 tan δ maks Xd



O'



Sf



E fmaks



Gb.4.13. Batas-batas operasi generator sinkron. 191



Mesin Sinkron Dengan demikian maka batas-batas operasi generator sinkron, baik karena pembatasan arus eksitasi maupun pembatasan arus jangkar dan tegangan terminal, adalah kurva qabdO’ pada Gb.4.13. Bagian kurva qa adalah batas operasi karena pembatasan arus eksitasi pada pembebanan induktif, kurva ab adalah batas operasi karena pembatasan arus dan tegangan jangkar pada pembebanan induktif, kurva bd adalah batas operasi karena pembatasan oleh arus jangkar dan tegangan jangkar pada pembebanan kapasitif., garis dO’ adalah batas operasi karena pembatasan δmaks. Di dalam batas-batas kurva inilah generator sinkron boleh beroperasi. Bagian kurva di sebelah kiri sumbu Q tidak diperlukan dan dihapus. Sesungguhnya batas operasi generator tidak hanya oleh pembatasan di rangkaian eksitasi dan rangkaian jangkar saja, tetapi juga pembatasan di rangkaian magnetik stator. Medan magnet bolakbalik di inti stator menimbulkan rugi-rugi inti seperti halnya pada transformator. Pengaruh ini tidak tergambarkan pada Gb.4.13. Perlu kita sadari pula bahwa kerapatan fluksi magnetik tidaklah merata. Pada gigi-gigi alur jangkar terdapat kerapatan medan magnetik yang tinggi dan di sini bisa terjadi kenaikan temperatur yang tinggi yang sudah pasti akan mempengaruhi kenaikan temperatur di kumparan jangkar. Di ujung-ujung stator arah fluksi magnet tegak lurus dengan laminasi jangkar dan kenaikan temperatur di daerah ini juga tinggi. Pembatasan di rangkaian magnetic sudah barang tentu akan memodifikasi bentuk kurva yang telah tergambarkan di Gb.4.13. Untuk sementara perihal rangkaian magnetik ini tidak kita bahas. 4.6. Transien Pada Mesin Sinkron Peristiwa transien terjadi jika ada pembebanan tiba-tiba pada mesin sinkron. Salah satu contoh yang akan kita uraikan di sini adalah terjadinya hubung singkat tiga-fasa pada terminal generator; hubung singkat tiga-fasa merupakan pembebanan seimbang. Oleh karena itu kita dapat I hs menyatakan R a + jX d + rangkaian ekivalen Ef ∼ model satu-fasa untuk situasi ini, seperti terlihat pada Gb.4.14. Rangkaian ekivalen model satuGb.4.14. fasa, gangguan hubung singkat tiga-fasa. 192



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron Peristiwa transien di sini adalah peristiwa transien pada rangkaian orde-2, seperti yang kita pelajari pada Analisis Rangkaian Listrik. Sinyal masukan adalah sinyal sinus. Hasil analisis di kawasan waktu akan memberikan arus hubung singkat yang berbentuk



i hs (t ) = iˆhs sin( ωt − α)(1 + e −t / τ )



(4.39.a)



ihs



t



Gb.4.15. Arus hubung singkat tak simetris terhadap sumbu waktu.



i hs iˆhs



t



Gb.4.16. Arus hubung singkat simetris terhadap sumbu waktu.



α ditentukan oleh saat terjadinya hubung singkat atau masuknya saklar pada rangkaian Gb.4.14. Sudah barang tentu nilainya sangat tidak menentu dan α ini membuat alur variasi arus hubung singkat tidak simetris terhadap sumbu waktu, seperti terlihat pada Gb.4.15. 193



Mesin Sinkron Untuk keperluan analisis sistem tenaga, α dianggap nol dan persamaan arus transien yang diperhitungkan berbentuk



i hs (t ) = iˆhs sin(ωt )(1 + e −t / τ )



(4.39.b)



Kurva arus hubung singkat akan simetris terhadap sumbu waktu seperti terlihat pada Gb.4.16, dan disebut arus hubung singkat simetris. Penurunan nilai arus hubung singkat ditentukan oleh konstanta waktu τ, yang besarnya tergantung dari proporsi Ra dan Xd. Namun bentuk gelombang arus ini hampir sinusoidal dan kita dapat mendekati nilai arus efektifnya dengan membagi nilai puncak dengan 2 . Nilai efektif ini dapat kita plot sebagai nilai efektif yang merupakan fungsi waktu seperti terlihat pada Gb.4.17. Kurva I hs (t ) = iˆhs (t ) / 2 dapat didekati dengan suatu nilai konstan dalam selang-selang waktu tertentu.



I ′′



I hs (t ) =



iˆhs (t ) 2



pendekatan



I′ I 0



t1



t2



t



Gb.4.17. Kurva arus hubung singkat efektif.



0 ≤ t ≤ t1 : I ′′ disebut arus hubung singkat subtransien t1 ≤ t ≤ t 2 : I ′ disebut arus hubung singkat transien t ≥ t2 : I



disebut arus hubung singkat mantap.



Analisis sistem tenaga dilakukan di kawasan fasor, bukan di kawasan waktu. Oleh karena itu pernyataan arus hubung singkat harus dilakukan dalam bentuk Ef Ef I hs = ≈ (4.40) Xd R a + jX d Perubahan Ihs terhadap waktu, di kawasan fasor dapat dinyatakan dengan memilih salah satu apakah tegangan sumber Ef konstan dan 194



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron Xd yang berubah terhadap waktu, atau Xd konstan dan Ef yang berubah terhadap waktu. Kita memilih Ef tetap dan Xd berubah terhadap waktu. Dengan demikian maka dalam selang



0 ≤ t ≤ t1 : X d′′ =



Ef



t1 ≤ t ≤ t 2 : X d′ =



Ef



t ≥ t2 : X d =



I ′′ I′



Ef I



disebut reaktansi subtransien disebut reaktansi transien



disebut reaktansi mantap.



Impedansi urutan positif menjadi



Z 1′′ = R a + jX d′′ ; Z 1′ = R a + jX d′ ; Z1 = R a + jX d Nilai-nilai X d′′ dan X d′ diberikan oleh pembuat generator. Mana yang akan kita gunakan tergantung dari persoalan yang kita hadapi. Untuk menghitung arus hubung singkat misalnya, kita akan memilih menggunakan reaktansi subtransien, X d′′ . 4.7. Mesin Sinkron Kutub Menonjol Rangkaian ekivalen satu-fasa mesin sinkron rotor silindris kita gambarkan sekali lagi pada Gb.4.18. I Xd adalah direct jX d + + axis reactance yang ∼ V Ef ∼ memberikan beda tegangan sebesar IXd antara tegangan Gb.4.18. Rangkaian ekivalen model satuterbangkit dan fasa generator sinkron rotor silindris. tegangan terminal generator; arus I adalah arus jangkar yang menimbulkan medan magnet berputar yang melawan medan magnet rotor. Medan magnet lawan dari stator ini berbeda fasa secara mekanis dengan magnet rotor. Hal demikian tidak menjadi masalah pada mesin sinkron rotor silindris karena lebar celah udara antara rotor dan stator sama di 195



Mesin Sinkron seluruh keliling rotor. Tidak demikian halnya dengan mesin kutub menonjol; celah udara di depan sepatu kutub lebih sempit disbanding dengan celah udara yang terletak di antara dua sepatu kutub. Lihat Gb.4.19. d



d



θ a



q



θ a



q



U



U



sumbu fluksi lawan jangkar



sumbu fluksi lawan jangkar



S



S a1



sumbu fluksi rotor



a1



sumbu fluksi rotor



Rotor silindris Kutub menonjol Gb.4.19. Mesin rotor silindris dan kutub menonjol. Sumbu fluksi magnet rotor adalah sumbu d (direct axis); sumbu yang tegak lurus pada d dan tertinggal 90o adalah sumbu q (quadrature axis). Fluksi lawan jangkar dapat dianggap terdiri dari dua komponen yaitu komponen sejajar sumbu d dan komponen sejajar sumbu q. Masing-masing komponen ini dinyatakan dengan tegangan jatuh ekivalen pada jangkar sebesar I d X d dan I q X q , dengan Id dan Iq adalah direct axis current dan quadrature axis current, sedangkan Xd dan Xq adalah direct axis reactance dan quadrature axis reactance. Jika tegangan terbangkit di kumparan fasa adalah E f dan tegangan di terminal generator adalah V maka dengan mengabaikan resistansi belitan jangkar,



E f = jI d X d + j I q X q + V



(4.41)



Gb.4.19 menggambarkan mesin sinkron dua kutub, sehingga sudut mekanis θ sama dengan sudut listrik. Pada umumnya generator dibangun dengan lebih dari dua kutub; oleh karena itu kita gunakan sudut listrik δ yang memiliki relasi tertentu dengan sudut mekanis. Jika V kita ambil sebagai referensi dengan sudut fasa nol, maka



196



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron V = V∠0 o , I = I∠ − ψ, E f = E f ∠δ, I d = I d ∠δ − 90o , I q = I q ∠δ



Untuk jelasnya kita gambarkan diagram fasor seperti pada Gb.4.20. Perhatikan bahwa beda fasa antara tegangan terbangkit dan tegangan terminal adalah δ; tegangan jatuh direct axis sefasa dengan tegangan terbangkit; tegangan jatuh quadrature axis berbeda fasa 90o dengan tegangan terbangkit. Ef jI q X q jI X q



Iq ψ



Id



Iq X q



δ



jI d X d



V



Id (X d − X q )



I



Gb.4.20. Diagram fasor mesin kutub menonjol. Kita perhatikan pula bahwa pada tegangan terminal yang ditetapkan (dalam operasi), sudut δ tergantung dari daya beban dan faktor daya beban (tergantung dari I dan ψ dalam diagram fasor). Nilai Xd dan Xq dapat diberikan oleh pembuat generator, maka menjadi pertanyaan berpakah daya maksimum yang dapat diberikan oleh generator. Daya per fasa adalah



(



S f = VI ∗ = V ( I q ∠δ + I d ∠(δ − 90 o )



(



= V I q ∠ − δ + I d ∠90 o − δ



( ( (



)



)



)







= V I q + jI d ∠ − δ = V I q (cos δ − j sin δ) + jI d (cos δ − j sin δ) = V I q (cos δ − j sin δ) + I d ( j cos δ + sin δ)



)



)



(4.42)



= V ( I q cos δ + I d sin δ) + jV ( I d cos δ − I q sin δ) = P f + jQ f



197



Mesin Sinkron Dari Gb.4.20 kita peroleh



E f − Id X d E f − V cos δ → Id = V Xd Iq X q V sin δ → Iq = sin δ = V Xq



cos δ =



(4.43)



sehingga kita peroleh daya nyata



P f = V ( I q cos δ + I d sin δ)  V sin δ  E f − V cos δ =V cos δ + sin δ   Xq  Xd   2 2 VE f V V = sin δ cos δ + sin δ − sin δ cos δ Xq Xd Xd



(4.44)



V 2 V 2   sin δ cos δ sin δ +  −  Xq Xd  Xd   2 VE f V = sin δ + X d − X q sin 2δ Xd 2X d X q



=



VE f



(



)



Jika kita bandingkan persamaan (4.44) ini dengan peramaan (4.33) untuk mesin rotor silindris, yaitu Pf =



VE f Xd



sin δ



terlihat bahwa daya maksimum mesin kutub menonjol lebih tinggi dan terjadi pada sudut δ yang lebih rendah. Lagipula pada Ef = 0 (kehilangan eksitasi) mesin kutub menonjol masih bisa memberikan daya. Persamaan (4.44) akan menjadi (4.33) bila Xd = Xq. Untuk daya reaktif mesin kutub menonjol, (4.42) memberikan



198



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Mesin Sinkron



 E f − V cos δ  V sin δ Q f = V ( I d cos δ − I q sin δ) = V  cos δ − sin δ    Xd Xq   2 2 2 2 VE f V cos δ V sin δ = − cos δ − Xd Xd Xq = =



=



VE f Xd



VE f Xd VE f Xd



cos δ − cos δ +



2 V 2  cos 2δ  V  cos 2δ  + sin 2 δ  + − cos 2 δ    Xd  2  Xq  2 



V 2 cos 2δ  1 1  V 2 sin 2 δ V 2 cos 2 δ − + − −  Xd Xq  2 Xd Xq  



2  V 2 (X d − X q )   cos 2δ − V ( X d + X q ) cos δ +   Xd Xq  2X d X q  



(4.45) Jika kita bandingkan relasi ini dengan relasi daya reaktif untuk mesin sinkron rotor silindris yang diberikan oleh persamaan (4.33) yaitu:  VE f V2 Qf =  cos δ −  Xd Xd 



   



terlihat bahwa (4.33) dapat diperoleh dari (4.45) jika Xd = Xq.



199



Mesin Sinkron



200



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya



BAB 5



Analisis Aliran Daya



Dalam analisis rangkaian listrik pada umumnya, suatu sumber dinyatakan sebagai sumber tegangan ideal atau sumber arus ideal, dan beban dinyatakan sebagai impedansi. Sumber tegangan ideal memberikan daya ke rangkaian pada tegangan tertentu, berapapun besar arus yang dibutuhkan oleh rangkaian; sumber arus ideal memberikan daya pada rangkaian pada arus tertentu, berapapun tegangan yang diperlukan oleh rangkaian. Oleh karena itu apabila rangkaian merupakan rangkaian linier, terdapat hubungan linier antara tegangan, arus dan impedansi; dan dalam analisis, misalnya dengan menggunakan metoda tegangan simpul, kita memperoleh persamaan linier. Dalam sistem tenaga, kita melihat situasi yang berbeda. Sumber, merupakan sumber daya yang hanya boleh beroperasi pada batas daya dan tegangan tertentu. Sementara itu beban dinyatakan sebagai besar daya yang diminta/diperlukan, pada tegangan yang juga ditentukan. Suatu permintaan daya hanya dapat dilayani selama pembebanan tidak melampaui batas daya yang mampu disediakan oleh sumber. Kita mengetahui bahwa walaupun rangkaian tetap rangkaian linier, relasi daya antara sumber dan beban tidaklah linier. Oleh karena itu jika kita menurunkan persamaan rangkaian, dengan daya sebagai parameter, persamaan rangkaian yang kita peroleh merupakan persamaan nonlinier. Dalam memecahkan persamaan nonlinier ini kita memerlukan cara khusus. 5.1. Analisis Aliran Daya Dalam analisis aliran daya, kita mengambil ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a). Sistem dalam keadaan seimbang; dengan demikian kita dapat melakukan perhitungan dengan menggunakan model satu-fasa. b). Semua besaran dinyatakan dalam per-unit; dengan demikian berbagai tingkat tegangan dalam sistem sebagai akibat digunakannya transformator, tidaklah menjadi persoalan.



201



Analisis Aliran Daya Bus-bus dalam rangkaian sistem tenaga merupakan simpul-simpul rangkaian yang biasa kita kenal dalam analisis rangkaian listrik. Bus-bus ini dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis: i)



Bus-generator (generator bus), adalah bus dimana generator dihubungkan melalui transformator. Daya yang masuk dari generator ke bus-generator ke-i (bus nomer i) adalah



SGi = PGi + jQGi



(5.1)



Dari bus ke-i ini mengalir daya ke dua jurusan; yang pertama adalah aliran daya langsung ke beban yang terhubung ke bus ini dan yang kedua adalah aliran daya menuju saluran transmisi. Daya yang langsung menuju beban adalah



S Bi = PBi + jQBi



(5.2)



dan daya yang menuju saluran transmisi menjadi



Si = Pi + jQi = SGi − S Bi ii)



(5.3)



Bus yang tidak terhubung ke generator tetapi terhubung hanya ke beban disebut bus-beban (load bus). Dari bus-beban ke-j (nomor bus j) mengalir daya menuju ke beban sebesar SBj atau kita katakan daya mengalir menuju saluran transmisi sebesar



S j = − S Bj



(5.4)



iii) Jika kita hanya memperhatikan daya sumber dan daya beban, teorema Tellegen tidak akan terpenuhi karena masih ada daya keluar dari rangkaian yang tidak diketahui yaitu daya yang diserap oleh saluran dan transformator. Oleh karena itu, untuk keperluan analisis, jika tegangan semua bus-beban diketahui, baik melalui dugaan maupun ditetapkan, tegangan busgenerator juga harus dapat ditetapkan kecuali satu di antaranya yang dibiarkan mengambang; bus mengambang ini disebut slack bus. Slack bus seolah berfungsi sebagai simpul sumber tegangan bebas dalam analisis rangkaian listrik yang biasa kita kenal. Dengan cara ini maka teorema Tellegen akan bisa dipenuhi.



202



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya 5.2. Persamaan Arus-Tegangan Karena relasi linier hanya ada pada tegangan dan arus, tidak pada daya, maka persamaan aliran daya harus diturunkan melalui persamaan arus dan tegangan terlebih dulu. Selain itu, karena kita menggunakan sistem per-unit, impedansi transformator dapat disatukan dengan impedansi generator sehingga transformator tak digambarkan lagi dalam diagram satu garis untuk analisis ini. Sistem Dengan Dua Bus. Kita tinjau bus-1 (bus-generator nomer-1) yang terhubung melalui saluran transmisi ke bus-2 (bus-generator nomer-2). Diagram satu garis dan model satu-fasa terlihat pada Gb.5.1.



SG1







V1 I1



bus - 1



saluran transmisi



I B1



SG 2 I 2 V2







I B2



bus - 2



diagram rangkaian



bus - 1



bus - 2 zs



I1 S G1



S B1



yp



I2 yp



S B2



SG2



rangkaian ekivalen Gb.5.1. Model satu-fasa. Diagram dan rangkaian ekivalen. S G1 , S G 2 : daya per fasa generator V1 , V1 : tegangan fasa - netral I1 , I 2 : arus ke saluran transmisi dari bus - 1 dan bus - 2 I B1 , I B 2 : arus beban (langsung) dari bus - 1 dan bus - 2. z12 : impedansi seri antar bus dalam rangkaian ekivalen π y p : admitansi paralel saluran transmisi pada rangkaian ekivalen π



Arus yang keluar dari bus-1 ke saluran transmisi adalah



I1 = y p V1 + y12 ( V1 − V2 ) = ( y p + y12 )V1 − y12 V2



(5.5.a)



dengan y12 = 1 / z12 adalah admitansi transfer antara bus-1 dan bus-2. 203



Analisis Aliran Daya Admitansi total yang dilihat oleh bus-1 didefinisikan sebagai



Y11 = y p + y12



(5.5.c)



Dengan pengertian ini maka relasi (5.5.a) dapat ditulis



I1 = Y11V1 − y12 V2



(5.6.a)



Dengan pengertian yang sama, kita peroleh relasi untuk bus-2 sebagai



I 2 = Y22 V2 − y12 V1



(5.6.b)



Dengan demikian kita memperoleh persamaan untuk sistem dengan dua bus (dengan mengubah urutan penulisan pada (5.6.b))



I1 = Y11V1 − y12 V2 I 2 = −Y12 V1 + y22 V1



(5.7)



Sistem Dengan Tiga Bus. Untuk sistem dengan tiga bus, relasi (5.7) dikembangkan menjadi



I1 = Y11V1 − y12 V2 − y13V3 I 2 = − y12 V1 + Y22 V1 − y23V3



(5.8.a)



I 3 = − y12 V2 − y23V + Y33V3 Secara formal, penulisan persamaan (5.8.a) adalah



I1 = Y11V1 + Y12 V2 + Y13V3 I 2 = Y12 V1 + Y22 V1 + Y23 V3



(5.8.b)



I 3 = Y12 V2 + Y23 V + Y33 V3 dengan Yij = − yij . Persamaan (5.8.b) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks sebagai



 I1  Y11 Y12 Y13   V1       I 2  = Y12 Y22 Y23   V2   I 3  Y13 Y23 Y33   V3     



(5.9)



Sistem Dengan n Bus. Persamaan untuk sistem dengan tiga bus (5.9) dikembangkan untuk sistem dengan n bus menjadi



204



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya



 I1  Y11 Y12 Y13     I 2  Y12 Y22 Y23  I3  = Y13 Y23 Y33    . . .  . I  Y  n   1n Y2 n Y3n



. Y1n   V1    . Y2 n   V2  . Y3n   V3    . .  .  . Ynn  Vn 



Persamaan (5.10.a) ini dapat kita tulis dengan ringkas: ~ ~ Ibus = [Ybus ]Vbus



(5.10.a)



(5.10.b)



5.3. Persamaan Aliran Daya Untuk menurunkan persamaan aliran daya kita perhatikan arus yang mengalir ke saluran transmisi (tidak termasuk arus ke beban langsung). Untuk bus ke-i dalam sistim dengan n bus, kita dapatkan n



Ii =



∑ Yij V j



(5.11)



j =1



j = 1, 2, ...i, ...n; Yij = Yij ∠θij ; V j = V j ∠ψ j Dengan (5.11) ini kita dapat menghitung daya dari bus-i yang menuju saluran transmisi, yaitu Si = Vi Ii∗ = Vi



n



∑ (Yij V j )∗ j =1



∑ ( Yij ∠ − θij V j ∠ − ψ j )= Pi + jQi



(5.12)



n



= Vi ∠ψ i



j =1



 n    Pi = Vi  Yij V j cos(ψ i − θij − ψ j )  dan  j =1     n    Qi = Vi  Yij V j sin(ψ i − θij − ψ j )   j =1   







(5.13)







205



Analisis Aliran Daya Perhatikan bahwa Si adalah daya yang mengalir ke saluran transmisi. Hubungan dengan daya generator bisa diperoleh melalui relasi (5.3) yaitu Si = Pi + jQi = SGi − S Bi sehingga  n    PGi − PBi = Vi  V j Yij cos(ψ i − ψ j − θij )  dan  j =1    (5.14)  n    QGi − QBi = Vi  V j Yij sin(ψ i − ψ j − θij )   j =1   











Persamaan (5.14) adalah dua persamaan yang kita peroleh untuk setiap bus-i. Dalam persamaan ini terdapat enam besaran peubah yang terkait dengan bus yang bersangkutan, yaitu



PGi , QGi , PBi , QBi , Vi , dan ψ i



(5.15)



Besaran yang lain adalah peubah di luar bus-i. Jika bus-i adalah bus-generator, maka sebagian besaran yang terdapat pada persamaan (5.14) merupakan besaran yang diketahui atau ditentukan: - PBi dan QBi adalah daya beban yang diketahui. - PGi merupakan besaran yang diketahui karena daya nyata ini bisa ditentukan dengan mengatur masukan uap di turbin misalnya. - Vi juga tertentu besarnya karena bisa di atur melalui arus eksitasi. - QGi walaupun tidak diketahui namun, akan tertentu besarnya jika tegangan dan sudut fasa di bus yang lain diketahui. - dengan demikian hanya tinggal satu peubah yang harus dihitung yaitu ψi. Jika bus-i adalah bus-beban, tak ada generator terhubung ke sini; PGi dan QGi bernilai nol, dan Pi = − PBi dan Qi = −QBi keduanya diketahui (tanda minus pda PBi dan QBi diberikan karena daya



206



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya dianggap mengalir ke saluran). Dengan demikian untuk bus-beban hanya ada dua besaran peubah yang harus dihitung yaitu Vi dan ψi. Jadi di setiap bus pada dasarnya hanya ada dua atau satu peubah yang harus dicari, yaitu Vi dan ψi di bus-beban dan ψi saja di busgenerator. Dalam satu jaringan transmisi yang terdiri dari total n bus, dengan nG bus-generator dan satu slack-bus, terdapat besaran yang harus dihitung sebanyak



besaran harus dihitung = 2(n − 1) − nG



(5.16)



Kebanyakan bus dalam sistem tenaga adalah bus-beban; hanya sebagian kecil dari total jumlah bus merupakan bus-generator. 5.4. Proses Pencarian Solusi Solusi suatu persamaan aliran daya adalah mencari profil tegangan di semua bus dalam suatu sistem tenaga. Karena persamaan daya merupakan persamaan non-linier, maka solusi dilakukan dengan cara iterasi. Proses pencarian solusi adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



7.



8.



Berdasarkan data teknis dari jaringan, tentukan elemenelemen dari matriks [Ybus]. Pada bus-beban tentukan PB dan QB. Pada bus-generator tentukan nilai tegangan bus V dan PG. Buat slack-bus (bus nomer-1) bertegangan V1 = 1∠0o . Asumsikan profil tegangan dan sudut fasanya, V dan ψ, bus yang lain. Masukkan data [Ybus] dan profil tegangan yang diasumsikan ke persamaan (5.14) untuk mencari Pi dan Qi. Setiap kali iterasi dilakukan, bandingkan hasil perhitungannya dengan besaran yang ditetapkan sesuai langkah-2 dan langkah-3 atau hasil perhitungan sebelumnya. Selisih yang diperoleh pada langkah-6, digunakan sebagai dasar untuk melakukan koreksi pada langkah iterasi berikutnya sedemikian rupa sehingga selisih tersebut menjadi semakin kecil. Ulangi langkah-langkah iterasi sampai selisih yang didapat mencapai nilai kecil yang dapat diterima. Profil tegangan pada situasi terakhir ini menjadi solusi yang dicari.



207



Analisis Aliran Daya 5.4. Metoda Newton-Raphson 5.4.1. Formula Iterasi – Persamaan Rekursi Dalam buku Vincent del Toro, [2], formula iterasi diturunkan melalui penguraian fungsi nonlinier menjadi deret Taylor dan mengabaikan suku-suku dengan orde tinggi. Di sini kita akan menurunkannya melalui pengamatan grafis. Persamaan dengan Peubah Tunggal. Kita misalkan sebuah persamaan nonlinier dengan peubah tunggal



p( x) = 0



(5.17)



dan kita akan mencari solusinya dengan cara iterasi. Ruas kiri persamaan ini dapat kita pandang sebagai sebuah fungsi, dan kita misalkan fungsi ini adalah kontinyu dalam domain yang ditinjau. Kita dapat menggambarkan kurva fungsi ini di bidang px; nilai x sebagai solusi adalah titik potong kurva dengan sumbu-x, yaitu



x sol , seperti terlihat pada Gb.5.2 di bawah ini. Indeks atas digunakan untuk menunjukkan langkah iterasi; misalnya x0 adalah iterasai ke-0 yaitu dugaan awal, x1 adalah iterasi ke-1, dan seterusnya. p



p (x ) 0



p( x )



p ( x1 )



dp dx



0



x sol p ( x 2 ) x0 x 2 x1 0 1 ∆x ∆x



x



Gb.5.2. Proses iterasi untuk persamaan p( x) = 0 . Kita tentukan dugaan awal solusi persamaan, yaitu x0. Jika kita masukkan solusi dugaan ini ke dalam persamaannya, kita memperoleh p( x 0 ) . Antara p( x 0 ) ini dengan nilai yang 208



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya ditentukan pada persamaan (5.17) yaitu 0, terdapat selisih sebesar



∆p( x 0 ) = 0 − p( x 0 ) ; perhatikan bahwa selisih ini bernilai negatif. Oleh karena itu kita melakukan dugaan solusi baru yaitu x1 yang mendekati xsol; dugaan baru ini kita masukkan ke persamaan, dan akan memberikan p( x1 ) . Jika p( x1 ) belum juga bernilai nol sebagaimana diminta, kita coba lagi nilai x2, dan demikian seterusnya sampai kita memperoleh suatu nilai x yang memberikan p( x) = 0 atau sangat dekat dengan 0. Menetukan x1 secara efektif dilakukan sebagai berikut. Setelah dugaan solusi x0 memberikan p(x0), kita buat garis singgung pada kurva di titik p(x0) yaitu dp / dx



0



; garis singgung ini akan



memotong sumbu-x di x1 yang berposisi tergeser sebesar ∆x 0 dari 0



posisi x0. Karena dp / dx = p( x 0 ) / ∆x 0 maka ∆x 0 =



∆p( x 0 ) (dp / dx)



0



dan karena ∆p( x 0 ) bernilai negatif maka kita dapat menentukan x1 yaitu



x1 = x 0 + ∆x 0 = x 0 +



∆p( x 0 ) (dy / dx)



0



x1 akan memberikan p( x1 ) yang memungkinkan kita menghitung 1



∆x1 = ∆p( x1 ) / (dp / dx) yang akan memberikan x2; dan demikian seterusnya sampai kita mendapatkan ∆x n yang akan memberikan



p( x n ) ≈ 0 . Secara umum formulasi dari proses iterasi ini dapat kita turunkan sebagai berikut: Jika xk adalah nilai x untuk iterasi ke-k maka



x k = x k −1 +



∆p( x k −1 ) (dp / dx)



k −1



(5.18)



Persamaan (5.18) inilah persamaan rekursi atau formula iterasi.



209



Analisis Aliran Daya Uraian di atas adalah untuk persamaan (5.17) dimana ruas kanan bernilai nol. Kita tinjau sekarang persamaan dengan ruas kanan tidak bernilai nol, yang kita tuliskan sebagai



p( x) = P (5.19) dengan P adalah tetapan. Ruas kiri (5.19) kita pandang sebagai fungsi x dengan kurva seperti pada Gb.5.2; akan tetapi solusi xsol yang dicari adalah nilai x pada titik potong antara p(x) dengan garis P sejajar sumbu-x . Situasi ini digambarkan pada Gb.5.3. p



p(x) 0



p( x )



dp / dx



0



p( x 0 ) − p( x1 )



p ( x1 ) P



x sol



x 2 x1 1



∆x



∆x



x



x0



0



Gb.5.3. Proses iterasi untuk persamaan p( x) = P . Untuk persamaan (5.19) ini ∆x 0 adalah



∆x 0 =



P + ∆p x0



(dp / dx) Kita



∆p 0x



coba



untuk



(5.20)



0



memahami



persamaan



terakhir



ini.



= P − p( x ) adalah perbedaan antara nilai fungsi yang seharusnya, yaitu P, dengan nilai fungsi jika dugaan awal peubah x0 kita terapkan; perbedaan ini bernilai negatif. Perbedaan ini harus dikoreksi dengan mengoreksi dugaan awal sebesar ∆x0 0



sehingga nilai peubah berubah dari x0 menjadi x1 = x 0 + ∆x 0 ; koreksi inilah koreksi terhadap dugaan awal. Setelah koreksi awal ini, perbedaan nilai fungsi terhadap nilai seharusnya adalah



∆p1 = P − p( x1 ) yang lebih kecil dari ∆p 0 yang berarti nilai fungsi mendekati P. Koreksi peubah kita lakukan lagi untuk lebih mendekat lagi ke P; langkah koreksi ini merupakan iterasi pertama. Pada iterasi pertama ini kita akan memperoleh 210



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya perbedaan ∆p x2 = P − p( x 2 ) yang mungkin masih harus di koreksi lagi pada itersi ke-dua. Demikian seterusnya sampai kita peroleh



( P − p( x n )) ≈ 0 . Dalam perjalanan menuju P tersebut alur yang kita lewati adalah kurva p(x). Secara umum, pada iterasi ke-k kita akan mempunyai persamaan yang memberikan perbedaan nilai fungsi dengan nilai seharusnya, yaitu k



∆p k = (dp / dx) ∆x k



(5.21)



Dengan pemahaman ini kita lanjutkan pengamatan pada persamaan dengan dua peubah. Persamaan Dengan Dua Peubah. Sepasang persamaan dengan dua peubah kita tuliskan sebagai



p ( x, y ) = P q ( x, y ) = Q



(5.22)



dengan P dan Q adalah tetapan. Kita harus melakukan iterasi untuk dua peubah x dan y. Dugaan solusi awal memberikan persamaan yang merupakan pengembangan dari (15.21) yaitu 0



0



0



0



∆p 0 = P − p( x 0 , y 0 ) = (∂p / ∂x) ∆x 0 + (∂p / ∂y ) ∆y 0 ∆q 0 = P − q( x 0 , y 0 ) = (∂q / ∂x) ∆x 0 + (∂q / ∂y ) ∆y 0



(5.23)



yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks 0



0



0



∆p  ∂p / ∂x ∂p / ∂y   ∆x  0  ∆x  ∆q  = ∂p / ∂x ∂p / ∂y  ∆y  = J ∆y         



0



(5.24)



Matriks 2×2 turunan parsial terhadap x dan y disebut jacobian dan dinyatakan dengan J. Apabila ∆p0 dan ∆q0 tidak bernilai nol maka 0



( )



∆x  −1 0 ∆p  ∆y  = J ∆q     



0



(5.25)



Inilah persamaan untuk menentukan besar koreksi. Dengan (5.25) ini dapat dihitung ∆x0 dan ∆y0 sehingga dapat diperoleh x1 dan y1 untuk iterasi selanjutnya. 211



Analisis Aliran Daya 1



 x   x + ∆x   y  =  y + ∆y     



0



(5.26)



Pada langkah ke-k kita mempunyai identitas dan persamaanpersamaan sebagai berikut: k



k



∆p   P − p( x)  1).   ≡   ; ∆ q    P − p( y ) k



∂p / ∂x  3). J k =   ; ∂p / ∂y 



k



k



∆p  ∆x  2).  = J k   ; ∆ q   ∆y  k



( )



k ∆p  ∆x  4).   = J −1   ∆ y   ∆q 



(5.27) k



Persamaan pertama (5.27) yang berupa identitas akan menentukan perlu tidaknya dilakukan koreksi (iterasi) lagi terhadap hasil perhitungan sebelumnya; oleh karena itu persamaan ini disebut corrective force. Identitas ini menjadi ruas kiri persamaan ke-dua, yang terkait dengan koreksi peubah yang harus dilakukan melalui jacobian Jk yang nilainya diberikan oleh persamaan ke-tiga. Besar koreksi yang harus dilakukan diberikan oleh persamaan ke-empat. Setelah koreksi dilakukan, kita kembali pada persamaan pertama untuk melihat perlu tidaknya iterasi dilanjutkan lagi. 5.4.2. Aplikasi Pada Analisis Aliran Daya Berapa banyak peubah yang harus ditentukan dalam satu jaringan transmisi diberikaan oleh (5.16). Namun dalam menuliskan persamaan aliran daya, kita memperlakukan semua bus sebagai bus-beban, agar penulisan lebih terstruktur; ini berarti bahwa semua bus megandung dua peubah yaitu tegangan dan sudut fasanya, walupun ada peubah yang sudah ditetapkan di beberapa bus-generator. Karena slack-bus ditetapkan sebagai bus nomer-1, dengan tegangan 1∠0 o pu , maka kita bekerja mulai dari bus-2, dan nilai peubah yang harus dicari agar persamaan aliran daya terpenuhi adalah tegangan serta sudut fasa di setiap bus yaitu (V2 , V3, Vi ,..., Vn) dan (ψ2, ψ3, …., ψi, … ψn). Pengembangan dari (5.28) untuk jaringan transmisi dengan n bus adalah sebagai berikut:



212



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya ∆p 2   P2 − p 2 (V2 k ,......., ψ nk )       ∆p3   P3 − p3 (V2 k ,......., ψ nk )   M    M ~ k = ∆p  ≡  P − p (V ,......., ψ )  1). ∆u n 2k nk   n  n ∆q  Q − q (V ,......., ψ )  2 2k nk  2  2  M  M    ∆q  Q − q (V ,......., ψ )  n 2k nk   n  n



k



(5.28.a)



~ k = J k ∆x k 2). ∆u  ∂p 2  ∂V  2  ∂p3  ∂V2  M  ∂p k 3). J =  n  ∂V2  ∂q  2  ∂V2  M  ∂q  n  ∂V2



(5.28.b)



∂p2 ∂V3 ∂p3 ∂V3 ∂p n ∂V3 ∂q2 ∂V3 ∂q n ∂V3



∂p2 ∂Vn ∂p3 L ∂Vn



∂p 2 ∂ψ 2 ∂p3 ∂ψ 2



∂p n ∂Vn ∂q2 L ∂Vn



∂pn ∂ψ 2 ∂q 2 ∂ψ 2



∂q n ∂Vn



∂qn ∂ψ 2



L



L



L



L L



L L



L



∂p2  ∂ψ n   ∂p3  ∂ψ n    ∂p n  ∂ψ n  ∂q2   ∂ψ n   ∂q2   ∂ψ n 



k



(5.28.c)



k



 ∆V 2   ∆V   3  M  k ~k   k ~ 4). ∆x ≡  ∆Vn  = J −1 ∆u  ∆ψ 2     M   ∆ψ   n



( )



(5.28.d)



Kiranya perlu kita fahami arti dari persamaan-persamaan (5.28) sebelum kita melangkah lebih lanjut.



~ k adalah vektor yang berisi perbedaan nilai daya di setiap ∆u bus terhadap nilai daya yang ditetapkan untuk setiap bus yang 213



Analisis Aliran Daya bersangkutan pada iterasi ke-k, baik daya nyata maupun daya reaktif.



∆~ x k adalah vektor yang berisi koreksi peubah di setiap bus, yaitu tegangan dan sudut fasanya, yang diperoleh pada iterasi ke-k untuk melakukan iterasi selanjutnya. Pada waktu x 0 untuk menetapkan dugaan awal misalnya, diperoleh ∆~ melakukan koreksi pada iterasi ke-1; pada itersai ke-1 diperoleh ∆~ x1 untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-2; dan seterusnya. Matriks jacobian adalah matriks yang berisi laju perubahan daya, baik daya nyata maupun reaktif, terhadap perubahan tegangan maupun sudut fasa di setiap bus. Perhatikan bahwa daya merupakan fungsi semua peubah di setiap bus. Oleh karena itu perbedaan nilai daya di setiap bus dengan daya yang ditetapkan pada bus yang bersangkutan pada iterasi ke-k, merupakan hasil kali matriks jacobian pada iterasi ke-k dengan vektor koreksi tegangan maupun sudut fasa pada iterasi ke-k. Jika matriks jacobian tidak bernilai nol, yang berarti bahwa dalam peninjauan secara grafis (pada persamaan dengan peubah tunggal misalnya), garis singgung pada kurva tidak sejajar dengan sumbu-x, besaran koreksi dapat dihitung dengan k ~k relasi (5.28.d), ∆~x k = J −1 ∆u . Inversi matriks jacobian



( )



dalam relasi ini, akan kita fahami dengan meninjau sistem dengan dua bus seperti dalam contoh berikut. 5.4.3. CONTOH Sistem Dua Bus Untuk melihat aplikasi dalam perhitungan kita akan melihat sistem dua bus seperti pada gambar berikut. Contoh ini diambil dari buku referensi [3], sedangkan perhitungan-perhitungan dilakukan secara manual dengan menggunakan “excel”. Cara ini akan membuat kita memahami langkah demi langkah proses perhitungan; hasil perhitungan yang kita lakukan ini sedikit berbeda dengan apa yang tercantum dalam buku referensi. Diagram rangkaian untuk contoh ini terlihat pada halaman berikut, dimana saluran transmisi digambarkan sebagai rangkaian ekivale π.



214



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya



P1 , Q1 bus - 1



bus - 2



z12 = 20 + j80



S B2 = 1 + j1 pu



V1 = 1∠0o pu y p = 0,27 × 10 −3 S



yp



V2 = V2 ∠ψ 2 pu



Bus-1 adalah bus-generator tanpa beban langsung. Bus-2 adalah bus-beban. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data jaringan; kemudian data jaringan ini kita nyatakan dalam per unit dengan memilih suatu nilai basis tertentu. Data jaringan adalah: z12 = 20 + j80 = 82,4621∠75,96o Ω y12 = 1 / 82,4621∠75,96o = 0,012127∠ − 75,96 o = 0,002941 − j 0,011765 S y p = j 0,27 × 10 − 3 S y11 = y22 = y12 + y p = 0,002942 − j 0,011495 = 0,011865∠ − 75,65o S



Besaran-besaran dinyatakan dalam per-unit setelah ditetapkan nilai basis.



Sbasis = 100 MVA ; Vbasis = 230 kV ⇒ Z basis = 100 / 2302 = 529 Ω;



Ybasis = 1 / 529 = 0,001890 S



→ Y12 = Y21 = − y12 Y12 = Y21 = 0,012127 / 0,00189 = 6,4151 θ12 = θ 21 = −75,96 + 180 = 104,04o → Y11 = Y22 = 6,2766; θ11 = θ 22 = −75,65o Peubah dan daya yang ditetapkan di bus adalah:



Bus - 1 : V1 = 1; ψ1 = 0o ( slack bus) Bus - 2 : P2 = −1; Q2 = −1; (bus - beban) V2 dan ψ 2 (harus dihitung) 215



Analisis Aliran Daya Matriks Y-bus. Dari perhitungan di atas kita peroleh matriks Ybus sebagai berikut Y11 Y12  6,2766∠ − 75,64 o = o Y21 Y22   6,4151∠104,04



[Ybus ] = 



6,4151∠104,04 o  (5.29)  6,2766∠ − 75,64 o 



Persamaan Aliran Daya dan Jacobian. Secara umum, persamaan aliran daya di bus-i adalah n



pi = Vi ∠ψ 2



∑YijV j cos(−θij − ψ j ) j =1 n



qi = Vi ∠ψ 2



∑YijV j sin(−θij − ψ j ) j =1



Untuk bus-2 persamaan ini menjadi p 2 = V2 [Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 cos(ψ 2 − θ 22 − ψ 2 )] = V2 [Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 cos( −θ 22 ] q 2 = V2 [Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 sin(ψ 2 − θ 22 − ψ 2 )]



(5.30)



= V2 [Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 sin( −θ 22 )]



Daya nyata maupun reaktif untuk bus-2, dituliskan dengan huruf kecil karena ia masih akan berubah menuju nilai yang ditetapkan yaitu P2 dan Q2. Nilai yang sudah tetap, yaitu V1 = 1 , ψ1 = 0 di slack bus, dan elemen-elemen matriks Ybus , dapat kita masukkan ke dalam persamaan daya untuk mendapatkan persamaan yang lebih sederhana. Namun karena kita akan menggunakan excel, kita biarkan persamaan aliran daya ini seperti apa adanya agar mudah ditelusuri dalam spreadsheet. Karena kita hanya menghadapi dua persamaan daya, yaitu persamaan p dan q dengan dua peubah yaitu V2 dan ψ2, maka matriks jacobian akan berukuran 2×2. ∂p / ∂ψ 2 J= 2 ∂q 2 / ∂ψ 2



∂p2 / ∂V2  ∂q2 / ∂V2 



dengan elemen-elemen:



216



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(5.31.a)



Analisis Aliran Daya ∂p 2 = −V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) ∂ψ 2 ∂p 2 = Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + 2Y22V2 cos( −θ 22 ] ∂V2



(5.31.b)



∂q 2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) ∂ψ 2 ∂q 2 = Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + 2Y22V2 sin( −θ 22 )] ∂V2



Dugaan Awal dan Iterasi. Kita buat dugaan awal yaitu nilai awal daya di bus-2. Seberapa dekat nilai dugaan yang kita buat ini ke nilai yang ditetapkan, akan menentukan seberapa cepat kita sampai ke iterasi terakhir. Kita coba dugaan awal ψ 0  0  ~ x 0 ≡  02  =   (5.32) V2  1 Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya (5.30) untuk mendapatkan nilai p20 dan q 20 . Darisini kita peroleh corrective force: 0 0 ~ 0 = ∆p2  == − 1 − p2  (5.33) ∆u  ∆q  0  2  − 1 − q2  Corrective force menentukan besar koreksi  ∆ψ 0  0 ~0 0 − 1 − p 0  2 (5.34) ∆~ x 0 ≡  20  = J −1 ∆u = J −1  0 ∆V2   − 1 − q2  Formulasi (5.29) sampai dengan (5.34) kita gunakan dalam perhitungan menggunakan excel. Semua besaran akan berubah setiap kali iterasi, kecuali besaran yang sudah ditetapkan, P2, Q2, dan elemen matriks Ybus.



( )



( )



Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada secara umum dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi data Ybus , persamaan aliran daya, kemudian diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.



[Ybus ] = 



Y11



Y21



Y12  6,2766∠ − 75,64 o = Y22   6,4151∠104,04 o



6,4151∠104,04 o   6,2766∠ − 75,64 o 



217



Analisis Aliran Daya p 2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22 (V2 ) 2 cos(− θ 22 ) q 2 = V2Y21V1 sin( ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22 (V2 ) 2 sin( −θ 22 )



~ ∆u



P2 Q2 ψ2 V2 p2 q2 ∆p2 ∆q2 Jk (J−1)k



∆~ x



~ ∆u



∆ψ2 ∆v2 P2 Q2 ψ2 V2 p2 q2 ∆p2 ∆q2 Jk (J−1)k



∆~ x



218



∆ψ2 ∆v2



-1 -1 0 1 5.29E-06 -0.14283 -1.0000 -0.8572 6.2235 -1.5559 0.1508 0.0395 -0.1169 -0.1750 -1 -1 -0.1506 0.7625 -0.9803 -0.9784 -0.0197 -0.0216 4.5137 -1.8849 0.2243 0.1261 -0.0046 -0.0090



(tetapan) (dugaan awal) (substitusi ke persamaan)



~0 ∆u 1.5559 5.9379 -0.0395 0.1581



∆~ x0



-0.1169 0.8250 -0.8149 -0.8109 -0.1851 -0.1891 4.9496 -1.8739 0.1966 0.0913 -0.0337 -0.0625



(iterasi ke-1) (substitusi ke persamaan)



~1 ∆u 0.2959 4.0337 -0.0144 0.2412



∆~ x1



(tetapan) (iterasi ke-2) (substitusi ke persamaan)



~2 ∆u -0.0993 3.3532 0.0066 0.3020



∆~ x2



-0.1552



(iterasi 0.7535 ke-3) -0.9996 (substitusi ke -0.9996 persamaan) -0.0004 ~3 ∆u -0.0004 4.4518 -0.1543 -1.8830 3.2551 0.2292 0.0109 0.1326 0.3135 -0.0001 ∆~ x3 -0.0002



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya



P2 Q2 ψ2 V2 p2 q2 ∆p2 ∆q2



~ ∆u Jk



(J−1)k



∆~ x



∆ψ2 ∆v2 P1 Q1



-1 -1 -0.1553 0.7533 -0.99999983 -0.99999981 -2.0000 -2.0000 4.4505 -1.8829 0.2293 0.1327 -0.4806 -0.8930 1.1229 1.2677



(tetapan) (iterasi ke-4) (substitusi ke persamaan)



~4 ∆u



Iterasi ke-5 tidak dilakukan.



p24 dan q24 sudah



dianggap sama dengan P2 dan Q2 yang ditetapkan



-0.1554 3.2531 0.0110 0.3137



∆~ x4



Sampai iterasi ke-3, nilai p23 ≈ −1 dan q23 ≈ −1 . Pada iterasi ke-4 nilai tersebut sudah dapat dikatakan sama dengan nilai P2 dan Q2 yang ditetapkan. Oleh karena itu iterasi ke-5 tidak perlu dilakukan lagi. Profil Tegangan Sistem dan Daya Pada Bus-Generator. Pada Iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem dua bus ini sebagai berikut



V1 = 1 pu;



ψ1 = 0 o



V 2 = 0,7533 pu ; ψ 2 = −0,1553 rad = -8.90 o dengan diagram fasor: V2 Pada kondisi ini, daya yang dialirkan ke saluran transmisi dari bus-1 dan bus-2 adalah P1 = 1,12 pu ; Q1 = 1,27 pu (bus - generator)



V1



P2 = −1 pu ; Q2 = −1 pu (bus - beban) Dalam contoh ini tegangan jatuh di saluran cukup besar, dan susut daya di saluran, yang diperlihatkan oleh selisih P1 dan P2 cukup besar pula yaitu Psal = 1,12 − 1 = 0,12 pu ≈ 12%. (P1 dan Q1 pada iterasi ke-4 dicantumkan dalam tabel pada dua baris terakhir). 219



Analisis Aliran Daya 5.6.4 CONTOH Sistem Tiga Bus Contoh ini juga diambil dari buku referensi [3]. Seperti pada contoh sebelumnya, perhitungan-perhitungan di sini dilakukan secara manual dengan menggunakan excel. Diagram rangkaian beserta data jaringan yang diketahui diberikan berikut ini. o SG1 V1 = 1∠0 pu bus - 1 G1



S B1 S = 2 pu B1



bus - 2



y12 = − j10 pu



y13 = − j15 pu y 23 = − j12 pu



V3 = 1.1 P3 = 2.0



G3



2,5 pu − j 2 pu



bus - 3 SG 3 S



B2



j1,2 pu



= 2.5 + j1,2 − j 2 = 2,5 − j 0,8



Sbasis = 100 MVA, Vbasis = 230 V Z basis = 230 2 / 100 = 529 Ω, Ybasis = 1 / 529 = 0,00189 S



G1 = 300 MVA, 15 kV G3 = 250 MVA, 15 kV Saluran transmisi dianggap sebagai lossless line. Admitansi saluran per fasa sudah dihitung dalam per unit: Y11 = y12 + y13 = 25∠ − 90o ; Y12 = − y12 = 10∠90o ; Y13 = − y13 = 15∠90o Y22 = y12 + y 23 = 22∠ − 90o ; Y21 = − y 21 = 10∠90o ; Y23 = − y 23 = 12∠90o Y33 = y31 + y32 = 27∠ − 90o ; Y31 = − y31 = 15∠90o ; Y32 = − y32 = 12∠90 o



Matriks Ybus. Dari perhitungan di atas kita dapatkan matriks sebagai berikut: o Y11 Y12 Y13   25∠ − 90    o Ybus = Y21 Y22 Y23  =  10∠90 Y31 Y32 Y33   15∠90o 



220



10∠90o 22∠ − 90o 12∠90o



15∠90o   12∠90o  (5.35) 27∠ − 90o  



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya Peubah-Peubah Dan Pembebanan Pada Bus. Bus-1: slack bus, V1 = 1 ψ1 = 0o . Daya di bus P1 dan Q1 ini tergantung dari profil tegangan di semua bus; jadi P1 dan Q1 merupakan peubah tak bebas. Bus-2: bus-beban. Beban di bus ini dinyatakan dengan resistor yang menyerap daya nyata PR = 2,5 pu , terhubung seri dengan ystem r yang menyerap daya reaktif QL = j1,2 pu . Sebuah kapasitor dihubungkan ke bus-2 dan menyerap daya reaktif sebesar QC = − j 2 . Total beban yang tersambung ke bus-2 menjadi S B 2 = 2,5 − j 0,8 . Beban di bus-2 yang mengalir ke saluran transmisi menjadi P2 = −2,5 dan Q2 = j 0,8 . Peubah di bus ini adalah tegangan dan sudut fasanya, V2 dan ψ 2 . Bus-3: bus-generator. Daya nyata dari generator di diberikan melalui pengaturan masukan uap (di turbin) sebesar P3 = 2,0 pu sedangkan tegangan diatur melalui arus eksitasi sebesar V3 = 1,1 pu ; oleh karena itu peubah di bus ini tinggallah sudut fasa tegangan ψ 3 . Jadi peubah yang ada pada



ystem ini adalah V2 , ψ 2 , dan ψ 3 .



Persamaan Aliran Daya. Bentuk umum persamaan aliran daya adalah  n    pi = Vi  Yij V j cos(ψi − θij − ψ j )   j =1     n    qi = Vi  Yij V j sin(ψi − θij − ψ j )   j =1   











Karena bus-1 adalah slack bus maka kita akan bekerja pada bus-2 dan bus-3. Di bus-2, daya yang harus dicapai pada akhir iterasi adalah P2 = −2,5 dan Q2 = 0,8 . Sedangkan di bus-3 daya nyata yang harus dicapai adalah P2 = 2,0 . Jadi dalam ystem ini diberikan tiga tetapan daya, dengan tiga peubah. Oleh karena itu persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan yaitu untuk p2, p3, dan q2. 221



Analisis Aliran Daya p2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ23 − ψ 3 ) + Y22 (V2 ) 2 cos(−θ22 )] p3 = V3Y31V1 cos(ψ 3 − θ31 − ψ1) + V3Y32V2 cos(ψ3 − θ32 − ψ 2 ) + Y33 (V3 ) 2 cos(−θ33 )]



(5.36)



q2 = V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ23 − ψ3 ) + Y22 (V2 ) 2 sin(−θ22 )]



Jacobian. Persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan seperti ditunjukkan oleh (5.36) dengan tiga peubah yaitu V2 , ψ 2 , dan ψ 3 . Matriks jacobian akan berukuran 3×3, yaitu



∂p 2 / ∂ψ 2 ∂p2 / ∂ψ 3 J = ∂p3 / ∂ψ 2 ∂p3 / ∂ψ 3 ∂q 2 / ∂ψ 2 ∂q2 / ∂ψ 3 Elemen-elemen matriks ini adalah



∂p 2 / ∂V2 ∂p3 / ∂V2 ∂q 2 / ∂V2



(5.37.a)



∂p 2 = −V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) − V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 ) ∂ψ 2 ∂p 2 = +V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 ) ∂ψ 3 ∂p 2 = Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y23V3 cos(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 ) ∂V2 + 2Y22V2 cos(−θ 22 )] ∂p3 = +V3Y32V2 sin(ψ 3 − θ32 − ψ 2 ) ∂ψ 2 ∂p3 = −V3Y31V1 sin(ψ 3 − θ31 − ψ1 ) − V3Y32V2 sin(ψ 3 − θ32 − ψ 2 ) ∂ψ 3 ∂p3 = +V3Y32 cos(ψ 3 − θ32 − ψ 2 ) ∂V2 ∂q 2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 ) ∂ψ 2 ∂q 2 = − V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 ) ∂ψ 3 ∂q 2 = Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y23V3 sin(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 ) ∂V2 + 2Y22V2 sin(−θ 22 )



222



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



(5.37.b)



Analisis Aliran Daya Dugaan Awal dan Iterasi. Kita coba dugaan awal



V20  1   ∆~ x 0 ≡ ψ 02  = 0 ψ 0  0   3   



(5.38)



Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya untuk mendapatkan corrective force: 0 0 ∆p2   P2 − p2  − 2,5 − p2     0  0  ∆u ≡  ∆p3  =  P3 − p3  =  2 − p3  ∆q2  Q2 − q20   0,8 − q20     



~0



(5.39)



Besar koreksi



( ) ∆u~ = (J )



∆~ x0 = J



−1 0



0



− 2,5 − p20  0   2 − p3   0,8 − q 0  2  



−1 0 



(5.40)



Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi data Ybus , persamaan aliran daya, formulsi jacobian, kemudian diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel. o Y11 Y12 Y13   25∠ − 90    o Ybus = Y21 Y22 Y23  =  10∠90 Y31 Y32 Y33   15∠90o 



10∠90o 22∠ − 90o 12∠90o



15∠90o   12∠90o  27∠ − 90o  



p2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ23 − ψ 3 ) + Y22 (V2 ) 2 cos(−θ22 )] p3 = V3Y31V1 cos(ψ 3 − θ31 − ψ1) + V3Y32V2 cos(ψ3 − θ32 − ψ 2 ) + Y33 (V3 ) 2 cos(−θ33 )] q2 = V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ23 − ψ3 ) + Y22 (V2 ) 2 sin(−θ22 )]



223



Analisis Aliran Daya



P2



p,q



~ ∆u



∂p 2 / ∂ψ 2 J = ∂p3 / ∂ψ 2



∂p2 / ∂ψ 3 ∂p3 / ∂ψ 3



∂p 2 / ∂V2 ∂p3 / ∂V2



∂q 2 / ∂ψ 2



∂q2 / ∂ψ 3



∂q 2 / ∂V2



-2.5



P3



2



Q2



0.8



(tetapan)



ψ1



0



V1



1



ψ2



0



V2



1



ψ3



0



0.0260



V3



1.1



(tetapan)



p2



0.0000



p3



3E-15



q2



-1.2000



∆p2



-2.5



∆p3



2



∆q2



-0.0929 (dugaan awal)



(substitusi ke persamaan aliran daya)



J



(J-1)k



∆~ x



224



-2.7349 2.2399 1.1530



(iterasi ke-1)



(substitusi ke persamaan aliran daya)



0.2349



~0 ∆u



-0.2399



2.0000



~1 ∆u



-0.3530



23.2000 -13.2000 k



1.0962



-13.2000



29.7000



0.0000



0.0000



0.0000



25.2812 -14.3669



0.0000 -14.3669 20.8000



-2.7349



-2.4950



30.8614



1.5668



1.7175



25.1673



0.0577



0.0256



0.0000



0.0542



0.0250



0.0038



0.0256



0.0451



0.0000



0.0250



0.0441



-0.0003



0.0000



0.0000



0.0481



0.0042



-0.0003



0.0402



ψ2



-0.0929



ψ3



0.0260



V2



0.0962



0.0054



∆~ x0



-0.0046



∆~ x1



-0.0131



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya



P2 P3 Q2 ψ1 V1 ψ2 V2 ψ3 V3 p2 p3 q2 ∆p2 ∆p3 ∆q2



p,q



~ ∆u Jk



(J-1)k



∆~ x



ψ2 ψ3 V2 P1 Q1 Q3 P12 Q12 P13 Q13 P31 Q31 P32 Q32 P21 Q21 P23 Q23



-2.5 2 0.8 0 1 -0.0876 1.0830 0.0214



(tetapan)



(iterasi ke-2)



-2.5023 (substitusi ke persamaan aliran 1.9963 daya) 0.8049 0.0023 ~2 ∆u 0.0037 -0.0049 24.9999 -14.2111 -2.3105 -14.2111 30.7073 1.4359 -2.5023 1.5551 24.5698 0.0546 0.0251 0.0037 0.0251 0.0442 -0.0002 0.0040 -0.0002 0.0411 0.0002 ∆~ x2 0.0002 -0.0002



-0.0874 1.0828 0.0217 (tetapan) -2.5000 1.9998 0.8000 0.0000 0.0002 0.0000



(iterasi ke-3)



(substitusi ke persamaan aliran daya)



~3 ∆u



Proses iterasi dihentikan; nilai p2, p3, dan q2 sudah dapat dianggap sama dengan nilai tetapan yang diberikan yaitu P2 = −2,5 P3 = 2 Q2 = 0,8



0.5876 -2.2832 1.9653 -0.9448 0.7870 0.3573 1.4961 -0.3573 -1.6539 -1.5552 -0.3115 -0.9448 0.9382 -1.5552 -0.1382



225



Analisis Aliran Daya Profil Tegangan Sistem. Pada iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem tiga bus ini yaitu



V1 = 1 pu;



ψ1 = 0 o



V2 = 1,08 pu ψ 2 = −0,0876 rad = −5,0 o V3 = 1,1 pu



ψ 3 = 0,0214 rad = 1,24 o



Diagram fasor tegangan di tiga bus tersebut kurang lebih adalah: V3 V2



V1



Aliran Daya Antar Bus. Kita akan melihat bagaimana aliran daya antar bus di saluran transmisi. Aliran daya ini kita hitung menggunakan relasi



(



S ij = Vi × I ij∗ = Vi Yij ( Vi − V j )



)∗ = Vi Yij∗ Vi∗ − Vi Yij∗ V ∗j



⇒ Pij = Yij Vi2 cos(−θ ij ) − Vi YijV j cos(ψ 1 − θ ij − ψ j ) ⇒ Qij = Yij Vi2 sin( −θ ij ) − Vi Yij V j sin(ψ 1 − θ ij − ψ j ) yang tidak lain adalah bentuk awal dari persamaan aliran daya sebelum cara penulisannya diubah untuk memperoleh bentuk pernyataan yang lebih terstruktur. Hasil perhitungan tercantum dalam bagian tabel yang diberi batas garis tebal. Dari bagian tabel tersebut kita peroleh daya kompleks antar bus dan daya kompleks di setiap bus. Bus-1:



S12 = −0,945 + j 0,787 pu S13 = 0,357 + j1,496 pu



⇒ S1 = −0,588 + j 2,283 pu Bus-3:



S 31 = −0,357 − j1,654 pu S 32 = −1,555 − j 0.311 pu



⇒ S 3 = − j1,912 − j1,965 pu 226



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Analisis Aliran Daya Bus-2:



S 21 = −0,945 + j 0.938 pu S 23 = −1,555 − j 0,138 pu ⇒ S 2 = −2,500 + j 0,800 pu Antara bus-1 dan bus-3 aliran daya hanya terjadi dari bus-3 ke bus-1; daya di bus-3 S 31 = −0,357 − j1,654 sedangkan daya di bus-1 S13 = 0,357 + j1,496 . Daya nyata yang dikirim oleh bus-3 tepat sama dengan daya nyata yang diterima bus-1; hal ini terjadi karena saluran transmisi merupakan lossless line. Perbedaan antara daya reaktif yang dikirim bus-3 dan yang diterima bus-1 adalah daya reaktif yang terserap di saluran yaitu sebesar j 0,158 pu . Aliran daya di bus-2 dari S 21 = −0,945 + j 0.938 sedang



S 23 = −1,555 − j 0,138



dengan



arah dari



jumlah



yang



bus-1 arah sesuai



adalah bus-3 yang



ditetapkan yaitu S 2 = −2.500 + j 0.800 . Penyerapan daya reaktif di saluran antara bus-1 dan bus-2 adalah j 0,151 pu sedangkan antara bus-3 dan bus-2 j 0,499 pu . Bus-Generator. Kita perhatikan sekarang dua bus-generator pada sistem ini yaitu bus-1 dan bus-3. Seperti kita pelajari di bab sebelumnya, mesin sinkron memiliki batas-batas maksimum dan minimum dalam mencatu daya reaktif agar tidak over-excited ataupun under-excited. Oleh karena itu pada setiap langkah iterasi perlu dicermati apakah batas-batas tersebut tidak dilampaui. Jika pada suatu tahap iterasi batas tersebut dicapai, maka batas tersebut dijadikan besaran tetapan untuk dipakai dalam melakukan iterasi selanjutnya. Persamaan aliran daya di bus generator adalah (5.14)  n    PGi − PBi = Vi  V j Yij cos(ψ i − ψ j − θ ij )  dan  j =1   







  QGi − Q Bi = Vi   



  V j Yij sin( ψ i − ψ j − θ ij )   j =1  n







227



Analisis Aliran Daya atau



PGi − PBi = Pi



dan QGi − Q Bi = Qi



Dengan demikian maka



PG1 = P1 + PB1 = −0,588 + 2 = 1,412 pu QG1 = Q1 + Q B1 = 2,283 + 0 = 2,283 pu ⇒ S G1 = 1,412 + j 2,283 = 2,684∠58,3 o pu dan



PG 3 = P3 + PB3 = −1,912 + 0 = −1,912 pu QG 3 = Q3 + Q B3 = −1,965 + 0 = −1,965 pu ⇒ S G 3 = 2,742∠45,8 o pu Karena daya basis adalah 100 MVA, maka



S G1 = 2684 MVA



dan



S G 3 = 2742 MVA



Ternyata SG1 masih dalam batas kapasitas G1 yaitu 300 MVA; akan tetapi SG3 melebihi kapasitas generator G3 yang 250 MVA. Kita dapat menurunkan pasokan daya nyata oleh G3; pasokan daya ini ditetapkan PG 3 = 2 pu pada awal iterasi. Jika tetapan ini kita kurangi dengan diimbangi tambahan daya nyata dari G1 agar kebutuhan daya di seluruh sistem terpenuhi, maka hasil iterasi ulang dari awal (tidak disajikan dalam tabel) memberikan: profil tegangan



V1 = 1 pu;



ψ1 = 0 o



V2 = 1,083 pu ψ 2 = −0,0977 rad = −5,60 o V3 = 1,1 pu



ψ 3 = 0,0035 rad = 0,21o



daya di setiap bus S1 = −0.9978 + j 2.2772 pu



S 2 = −2.5000 + j 0.8000 pu S 3 = −1.5022 − j1.9491 pu daya generator:



S G1 = 1,0022 − j 2,2772 = 2,488∠ − 66,25 o pu S G 3 = − 1,5022 − j1,9491 = 2,461∠52,38 pu



228



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Daftar Pustaka



1.



Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey & Son, 1986.



2.



Turan Gönen: ”Electric Power Transmission Engineering”, John Willey & Son, 1988.



3.



Vincent Del Toro, “Electric Power Systems”, Prentice-Hall International, Inc., 1992.



4.



Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB 2002.



5.



“Rencana Umum Kelistrikan Nasional”, 2005.



6.



Sudaryatno Sudirham, “Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral”, Darpublic, Bandung, , 2011.



7.



Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listik Jilid 1”, Darpublic, Bandung, , 2012.



8.



Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listik Jilid 2”, Darpublic, Bandung, , 2012.



9.



Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid 3”, Darpublic, Bandung, , 2012.



System



229



Biodata Penulis Nama: Sudaryatno Sudirham Lahir: 26 Juli 1943, di Blora. Istri: Ning Utari Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma. Pendidikan & Pekerjaan: 1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung. 1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis. 1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis. 1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB. Training & Pengalaman lain: 1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT, Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete, Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo, Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand; 2005 − 2009 : Tenaga Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero); 2006 − 2011 : Komisaris PT EU – ITB.



230



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)



Indeks a ABCD, konstanta 85 admitansi 48, 64 air, tenaga 17 aliran daya 199, 203, 210, 214 angin 17 arus laut 17 b batas operasi 183 batubara 14 beban 5, 17, 18 beban, model 18 bintang, hubungan 25 biomassa 17 bus beban 200, 205 bus-generator 200, 205, 225 d daya 6, 37, 199 daya mesin sinkron 178 diagram lingkaran 94 diagram satu garis 40 distribusi 5 e efisiensi 128 energi 1, 6 energi primer 14 f fluksi bocor 117 g gas alam 15 gelombang laut 17 i impedansi 48, 55 impedansi karakteristik 75 impedansi urutan 34 induktansi 49 iterasi 206, 215, 220



j jacobian 209, 214, 220 k komponen simetris 29, 31 konfigurai saluran 7 konfigurasi ∆ 56, 69 kutub menonjol 159, 193 l lossless line 90 m mesh, hubungan 25 mesin sinkron 159 minyak bumi 15 n Newton-Raphson 206 nuklir 17 o operator a 30 p panas bumi 16 pembangkitan 3 pergeseran fasa 147 permeabilitas 47 permitivitas 47 per-unit 41, 44, 148 polifasa 21 propagasi, konstanta 74 r rangkaian ekivalen 72, 123 rangkaian ekivalen π 78 reaktansi sinkron 169 regulasi tegangan 128 resistansi 48 rotor silindris 167, 173



231



s sampah 17 slack bus 200, 205 stabilitas, mantap 95 struktur 3 subtransmisi 4 surge impedance loading 98 surja 101 surya, tenaga 17 t tiga-fasa 26, 29 transformator 115, 116, 118, 120, 123, 125, 130, 131 transformator polifasa 155 transformator tiga belitan 136, 138, 140, 144 transien 100, 102, 190 transmisi 4, 47, 73 transposisi 61, 70 turbin 177



232



u uji beban nol 126 uji hubung singkat 126 urutan negatif 29 urutan nol 29 urutan positif 29 y Ybus 203, 205, 214



Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)