Antivascular Endothelial Growth Factor in DR [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

JURNAL READING ANTI-VEGF PADA DIABETIC REINOPATHY



Oleh : Aditya Mahendra Putra (201920401011180) Pembimbing : Dr. dr. Bambang W. Widodo, Sp.M



KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT GAMBIRAN KEIDIR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2020



Antivascular Endothelial Growth Factor in Diabetic Retinopathy Pierluigi Iaconoa _ Maurizio Battaglia Parodib _ Francesco Bandellob aFondazione



G.B. Bietti per l’Oftalmologia, IRCCS (Istituto di Ricovero e Cura a Carattere Scientifico),



Rome, and bDepartment of Ophthalmology, University Vita-Salute, Scientific Institute San Raffaele, Milan, Italy



Abstract



Diabetic macular edema (DME) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR) menjadi penyebab utama kehilangan penglihatan pada pasien diabetes mellitus. Diabetic retinopathy (DR) membutuhkan perhatian khusus karena memberikan dampak terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas hidup pasien. Sebenarnya, laser retinal photocoagulation menjadi pengobatan dari DR. Akan tetapi, pengobatan dengan menggunakan laser hanya mengurangi faktor risiko kehilangan penglihatan sebesar 50%, tanpa menjamin pemulihan penglihatan yang baik. Penelitian terbaru mengenai pengobatan DR telah diperhitungkan dan lebih dispesifikasikan, mengenai pemberian antivascular endothelial growth factor (anti-VEGF) yang memegang peranan penting. VEGF merupakan faktor pertumbuhan yang pluripotent yang berfungsi mitogen spesifik dari EC dan faktor vasopermeability. Melalui mekanisme tersebut VEGF menjalankan peran penting dalam angiogenesis dan kebocoran vascular. Kadar VEGF yang tinggi telah dideteksi pada mata dengan DME dan PDR, oleh karena itu VEGF menjadi pilihan sebagai terapi farmakologi dalam tatalaksana DR. Pada bab ini, akan ditampilkan mengenai konsep dan hasil dari terapi anti VEGF pada DME dan PDR. Diabetic retinopathy (DR) menjadi kelainan pembuluh darah yang paling sering terjadi dan ditemukan pada 40% diabetes yang berusia 40 tahun atau lebih [1]. Sekarang, DR menjadi penyebab kebutaan pada usia dewasa muda di negara berkembang. Studi epidemiologi berdasarkan populasi memperkirakan 20 tahun ke depan, DR masih ditemukan dalam kurun waktu tersebut, dan setelah 30 tahun proliferatif DR ditemukan pada 70% pasien dengan diabetes melitus tipe 1. World



2



Health Organization memperkirakan sekitar 171 juta orang akan terkena diabetes dengan tingkat prevalensi dua kali lipat pada 20 tahun ke depan. Role of the Vascular Endothelial Growth Factor in Diabetic Retinopathy Hiperglikemi menjadi faktor utama yang terlibat dalam patogenesis DR. Hal tersebut menyebabkan produksi dari hasil akhir glycation, aktivasi dari jalur polyol dan perubahan transduksi dari sinyal seluler [5-7]. Kerusakan terhadap EC dan pericyte, melalui aktivasi mekanisme oksidasi dan inflamasi, menghasilkan diabetic microangiopathy yang memengaruhi pembuluh darah retina [8]. Perubahan tersebut mengakibatkan deregulasi dalam mekanisme aliran dengan keadaan hipoksia dan penumpukan cairan di jaringan retina. Hipoksia menjadi penginduksi utama proses transkripsi gen VEGF, tetapi VEGF yang berlebihan juga diregulasi pada saat merespon keadaan glukosa tinggi, aktivasi protein kinase C, dan hasil akhir glycation, semua komponen yang bersifat menurunkan kontrol glycometabolic [5-7, 9]. VEGF merupakan faktor pertumbuhan yang pluripotent yang berfungsi mitogen spesifik dari EC dan faktor vasopermeability. Melalui mekanisme tersebut VEGF menjalankan peran penting dalam angiogenesis dan kebocoran vascular [10-13]. Pada DR, gangguan pembatas pembuluh darah retina dan peningkatan permeabilitas bertanggung jawab terhadap terjadinya DME dan beberapa penelitian menggaris bawahi tentang peran VEGF. Dengan memutuskan ikatan ketat antar sel endotel retina, VEGF meningkatkan akumulasi cairan ekstraseluler dari bagian intravaskular [8]. Bahkan, VEGF menunjukkan perannya dalm mengaktivasi neovaskularisasi intraoukuli. Peningkatan VEGF dalam cairan okuli pada pasien manusia dengan jaringan yang hipoksia dan neovaskularisasi sekunder yang aktif terhadap DR telah didokumentasikan. Peningkatan VEGF ditolak pada pengobatan dengan panretinal photocoagulation yang menginduksi regresi neovaskularisasi. Jadi, studi tersebut menjelaskan korelasi antara peningkatan VEGF dan proliferasi yang aktif membuktikan bahwa VEGF menjadi kunci utama sebagai mediator



3



neovaskularisasi intraokuler pada DR. Intinya, VEGF menjadi kandidat sebagai target terapi pengobatan farmakologis dalam tatalaksana DR. Anti-VEGF Therapy in the Treatment of Diabetic Macular Edema and Proliferative Diabetic Retinopathy Terdapat lima anggota keluarga molekuler VEGF : placental growth factor, VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C and VEGF-D [15]. Setiap anggota dapat berikatan dengan satu atau lebih dari tiga reseptor VEGF. Bahkan, diantara perbedaan faktor tersebut, VEGF A memegang peranan penting dalam angiogenesis dan permeabilitas kapiler. Penyambungan alternatif VEGF menghasilkan sembilan gen isoform VEGF-A (VEGF121, VEGF145, VEGF148, VEGF162, VEGF165, VEGF165b, VEGF183, VEGF189, VEGF206) dan diantara kesembilan isoform tersebut, VEGF165 yang paling banyak dan paling bertanggunga jawab dalam DR. Jalur tertutup antara transkripsi gen VEGF dengan aktivasi reseptor VEGF menjadi sasaran dalam pendekatan terapi baru berdasarkan penggunaan Antagonis VEGF. Pegaptanib, ranibizumab, bevacizumab dan VEGF Trap merupakan molekul yang dapat mengikat protein VEGF secara langsung. Pendekatan terapi yang menarik dan terbaru adalah dengan penggunaan bevasiranib. Bevasiranib dapat mengganggu RNA dan sintesis protein VEGF. Terkahir, rapamycin, umumnya bekerja sebagai immunosuppresive, anti-inflamasi atau anti jamur, mengurangi aktivitas molekul VEGF yang mengganggu sinyal promotor, sintesis aktif dari VEGF, dan mengurangi respon sel endotel terhadap VEGF Ranibizumab Ranibizumab merupakan fragmen antigen-binding (Fab) yang merupakan turunan dari antibodi anti VEGF dan Fab akan mengahambat secarabiologis semua isoform aktif dan fragmen proteolitic VEGF-A. Sekarang, ranibizumab diakui oleh BPOM sebagai pengobatan neovaskularisasi pada AMD Chun et al [16] melaporkan hasil studi terhadap efek dari dua dosis ranibizumab pada mata yang mengalami DME yang signifikan secara klinis. Dari 10 pasien yang terpilih, 5 pasien diberikan 0.3 mg dan 5 pasien diberikan 0.5mg di awal dan pada bulan pertama dan kedua. Pada bulan ketiga, 40% pasien dapat membaca lebih dari 15 huruf, 50% dapat membaca lebih dari 10 huruf, dan 80%



4



setidaknya mendapatkan peningkatan 1 huruf pada best corrected visual acuicity (BCVA). Pada bulan ketiga, rata-rata penipisan dinding reitna sebanyak 45.3 dan 197.8 μm pada masing-masing kelompok dengan pemberian dosis rendah dan tinggi. Injeksi intravena ranibizumab dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan efek samping sistemik lebih lanjut. Nguyen et. Al [17] meneliti tentang peran ranibizumab pada DME dengan menggunakan studi READ-1 (Ranibizumab for Edema of the Macula in Diabetes: Phase 1). 10 pasien dengan DME kronik menerima injeksi ranibizimab intraokuli sebanyak 0.5 mg pada saat pertama, bulan 1,2,4 dan 6. Hasil utama adalah perubahan pada BCVA, ketebalan retina sentral diukur dengan OCT pada bulan ke 7. Nilai rata rata dan median sebanyak 12.3 dan 11. Rata-rata ketebalan fovea menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan pada keadaan awal dengan skor 503 menjadi 257μm dengan pengurangan penebalan fovea sebanyak 85%. Injeksi tersebut dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan efek samping. Hasil READ-2 juga telah dilaporkan. READ-2 merupakan metode prospective,



randomized,



interbentional,



multicenter



clinical



trial



untuk



membandingkan ranibizumab dengan focal/grid laser,tunggal atau kombinasi pada DME [18]. 126 pasien dipilih secara acak dan mendapatkan 0.5 ranibizumab, focal/grid laser photocoagulation atau kombinasi 0.5 ranibizumab dan focal/grid laser. Kelompok 1, 42 pasien menerima 0.5 mg ranibizumab pada saat pertama, bulan 1,3, dan 5. Kelompok 2, 42 pasien menerima fokal/grid laser photocoagulation pada saat pertama dan bulan ketiga jika dibutuhkan (ketebalan >250 μm). Kelompok 3, 42 pasien menerima kombinasi 0.5 mg ranibizumab dan fokal/grid laser pada saat pertama dan bulan ketiga. Hasil utama adalah perubahan di BCVA pada bulan ke 6 dan dibandingkan pada saat pertama. Pada bulan ke 6, kelompok yang hanya diberikan ranibizumab menunjukkan perubahan yang signifikan pada BCVA dan sejalan dengan pasien yang menerima fokal/grid laser. Kelompok yang menerima terapi kombinasi tidak terlalu berbeda secara statistik dengan kelompok 1 atau 2. Hasil ketebalan fovea sebanyak 50,33,45% pada masing-masing kelompok 1,2,3. Studi RESOLVE dirancang khusus untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan ranibizumab 0.5 mg pada pasien yang



5



mengalami gangguan penglihatan akibat DME. RESOLVE trial (a randomized, double-masked, multicenter, phase 2, menilai keamanan dan efikasi dari dua dosis ranibizumab dibandingkan dengan non treatment control untuk pengobatan DME) mengevaluasi efek ranibizumab pada edema retina dan visual acuity (VA) pada 151 pasien yang mengalami DME. Pasien dengan ketebalan makula sentral ≥300 μm dipilih secara acak untuk menerima injeksi setiap 3 bulan dengan 0.3 atau 0.5 mg ranibizuzmab atau plasebo. Setelah injekasi intravitreal selama setiap 3 bulan sekali, pengobatan diubah menjadi pro re nata selama 9 bulan. Hasil akhir utama selama 1 tahun studi adalah fungsi penglihatan pada bulan ke 6. Desain dari studi tersebut dirancang supaya peneliti dapat menggandakan efek ranibizumab apabila resolusi dari edema makula tidak selesai setelah satu bulan. Bahkan, retinal photocoagulation bisa diberikan jika diperlukan. Hasil penelitian terdahulu disajikan sebagian pada saat pertemuan ARVo di tahun 2009 [19]. Pada saat follow up bulan ke-12, rata-rata BCVA meningkat dan rata-rata CRT menurun seiring berjalannya waktu. Rata-rata perubahan BCVA dari awal hingga pemeriksaan bulan ke-12 sebanyak 1.4. Kelompok tersebut menerima 0.3 dan 0.5, masing-masing kelompok dapat membaca 11.8 dan 8.8 huruf. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai keefektifan pengobatan berdasarkan pemberian steroid atau anti VEGF dalam perbandingan terhadap pengobatan laser konvensional, DRCR telah mendesain tes yang bersifat randomized, multicenter clinical yang ditujukan untuk melihat efek pada tajam penglihatan dan ketebalan retina central pada 4 kelompok yang masing masing menerima intravitreal ranibizumab tunggal atau didampingi dengan laser photocoagulation atau traimcinolone dengan laser atau pemberian laser saja. Penelitian tersebut merekrut 691 pasien dan diperiksa dengan jumlah 854 mata yang difollow up selama 2 tahun. 293 mata secara acak diberikan laser saja, 187 mata diberikan 0.5 mg ranibizumab + prompt laser, 188 mata menerima 0.5 mg ranibizumab + deferred laser (setidaknya selama 24 minggu), dan 86 mata diberikan 4 mg intravitreal triamnicolone + prompt laser. Pada tahun pertama pemeriksaan, kelompok dengan ranibizumab + prompt laser (+9•}11 letters) dan ranibizumab + deferred laser (+9•}12 letters) akan



6



tetapi tidak signifikan pada kelompok triamnicolone + prompt laser (+4•}13) dan laser saja (+3•}13). Selama 2 tahun follow up terdapat perbedaan korelasi antara tajam penglihatan dan ketebalan retina di masing-masing kelompok. Pengurangan ketebalan retina yang progresif ditemukan pada kelompok laser ketika difollow up pada tahun ke2, akan tetapi, perbaikan tajam penglihatan tidak berlanjut. Pada kelompok triamnicolone + laser, pada saat tahun pertama follow up menunjukkan perbaikan fungsi penglihatan dan penurunan CST yang signifikan sedangkan dari tahun pertama ke tahun kedua pemeriksaan, nilai rata-rata CST meningkat dan penurunan tajam penglihatan Kelompok ranibizumab menunjukkan peningkatan ketajaman penglihatan yang berkaitan dengan penurunan CST dari awal hingga kunjungan bulan ke 12 dan hasil dari OCT relatif stabil hingga bulan ke 12 pemeriksaan dan begitu pula dengan tajam penglihatan. Intraocular hypertension dan operasi katarak sering terjadi pada kelompok triamnicolone + prompt laser dibandingkan dengan kelompok yang menerima rnibizumab + laser atau laser saja Penelitian klinis prospektif secara acak memastikan bahwa hasil pengobatan DME sebelumnya menjanjikan dan menyarankan sebagai terapi kombinasi yang memiliki efikasi lebih tinggi dimana terjadi proses multi factorial pathogenesis. Sebenarnya,



beberapa



penelitian



internasional



multisenter



(RESTORE,RIDE and RISE) sedang mengevaluasi menegnai efikasi dan keamanan ranibizumab 0,5 mg sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan laser photocoagulation pada mata yang terkena DME. Mengenai efek ranibizumab terhadap PDR, masih belum ada studi mengenai literatur yang mengevaluasi topik tersebut. Akan tetapi, DRCR telah mendesain penelitian secara prospective, randomized dan comparative untuk mengevaluasi peran ranibizumab atau triamnicolone injeksi intravitreal sebagai terapi adjuvan untuk panretinal photocoagulation terhadap PDR PEGAPTANIB



7



Pegaptanib merupakan pegylated 28=nucleotide RNA aptamer yang mengikat VEGF164/165 isoform dengan afinitas tinggi. Kadar VEGF 165 dipengaruhi oleh DR dengan meningkatkan kadarnya dan memegang peran penting dalam proses angiogenesis dan meningkatnkan permeabilitas vaskular. Awalnya, pegaptanib hanya digunakan pada pengobatan neovaskularisasi AMD, yang sudah diakui oleh BPOM. Mengingat peran VEGF165 pada DR dan keamanan beserta toleransi jumlah pegaptanib melalui intraviteral, terdapat penelitian fase 2 yang secara khusus menginvestigasi efek pegaptanib pada penanganan DME. Macugen Diabetic Reinopathy Study merupakan fase 2 yang randomized, sham controlled,double-masked, dose finding untuk mengevaluasi efek dari tiga dosis intravitreal pegaptanib vs sham injeksi pada pasien yang terkenda DME. Pasien secara acak menerima 0.3, 1.0 atau 3.0 mg pepgatanib atau sham injection pada awal, minggu ke 6 atau minggu ke 12. Jika dibutuhkan, injeksi akan ditambahkan setiap 6 minggu sekali sampai dosis maksimum tiap injeksi. Retinal photocoagulation



bisa



diberikan



apabila



peneliti



perlu



menilai



dosis



maksimumnya. Hasil utama adalah perubahan skorBCVA, ketebalan retina sentral yang diukur dengan OCT, dan tambahan terapi dengan photocoagulation antara minggu ke 12 dan 36. Pada kunjungan akhir di minggu ke 36, kelompok pasien dengan pemberian pgaptanib 0.3 lebih unggul daripada sham injection, dengan perubahan rata rata VA (+4.7 vs. –0.4 letters; p = 0.04), jumlah pasien yang mendapatkan >10 huruf pada VA (34 vs.10%; p = 0.003), perubahan ketebalan central retinal (68 μm reduction vs. 3.7 μm increase; p = 0.02). Bahkan, 25% pasien yang menerima pegaptanib dengan retinal photocoagulation dibandingkan dengan 40% pasien yang menerima sham injection (p = 0.04). Penting untuk ditandai, pasien yang menerima 1 atau 3 mg tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan yang diberikan 0.3 mg berkenaan dengan perubahan skor BCVA atau CRT. Pada umumnya, pepgatanib ditoleransi dengan baik pada berbagai konsentrasi, endoftalmitis terjadi pada 1 dari 652 injeksi dan bisa disembuhkan tanpa kehilangan tajam penglihatan.



8



Macugen Diabetic Reinopathy Study juga menyediakan informasi terbaru mengenai



kemampuan



pagaptanib



sodium



untuk



mengurangi



retinal



neovascularization pada PDR. Pada awal penelitian terdapat 16 pasien yang mengalami retinal neovascularization, 13 pasien menerima pegaptanib dan 3 sisanya diberikan sham injection. Pada minggu ke 36, 8 dari 13 pasien (62%) pada kelompok yang menerima pepgatanib menunjukkan regresi neovascularization, dengan pengukuran



menggunakan fundus photography atau fluorescein



angiography, sedangkan pada kelompok sham injection tidak mengalami regresi pada 3 pasiennya.. 3 dari 8 regresi, neovascularization terjadi pada minggu ke 52 setelah pemberian pepgatanib pada minggu ke 30, disarankan untuk pengulangan pemberian pepgatanib untuk mengontrol retinal neovascularization. Baru-baru ini, Gonzales et al [23] melaporkan hasil studi dengan desain prospective,



randomized,



membandingkan



efikasi



controlled, intravitreal



open-label, pepgatanib



exploratory vs



pnretinal



untuk laser



photocoagulation (PRP) pada pengobatan PDR. 20 subyek dengan PDR dengan rasio 1:1 untuk menerima pepgatanib pada satu mata setiap 6 minggu atau 30 minggu atau diberikan PRP. Pada 90% mata yang secara acak diberikan pepgatanib, menunjukkan regresi retinal neovascularization seluruhnya pada minggu ke 3. Pada minggu ke 12, pada semua mata yang menerima pegaptanib menunjukkan regresi retinal proliferation pada minggu ke 36. Pada kelompok PRp, pada bulan ke 9 pemeriksaan, 25% mengalami regresi seluruhnya, 25% mengalami regresi sebagian, 50% masih menunjukkan PDR. Berkenaan dengan BCVA dan walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.22) mata yang diberikan pepgatanib menunjukkan peningkatan 5.8 BCA pada minggu ke 36, sedangkan kelompok PRP 6. Bevacizumab Bevacizumab adalah antibodi manusia rekombinan penuh yang aktif terhadap semua isoform VEGF dan saat ini digunakan untuk pengobatan kanker kolon metastasis. Terapi anti-VEGF yang disetujui untuk AMD basah yaitu ranibizumab dan pegaptanib dibatasi di banyak negara; situasi ini menyebabkan banyak spesialis retina menggunakan bevacizumab off-label. Pada saat yang sama hal ini menunjukkan peran penting antagonis VEGF ini dalam banyak gangguan



9



retina termasuk AMD neovaskular, edema makula pada oklusi vena retina sentral non-iskemik, pseudofakia sistoid makular edema dan DR. Efek jangka pendek bevacizumab untuk DME dalam uji klinis fase II besar acak dilaporkan oleh Diabetic Retinopathy Clinical Research Network [24]. Subjek adalah 109 pasien DME dengan visus Snellen 20/32 hingga 20/320 yang terdaftar secara prospektif dan diacak menjadi 5 kelompok: (a) fotokoagulasi fokal di awal, (b) injeksi bevacizumab 1,25 mg intravitreal di awal dan 6 minggu, (c) injeksi bevacizumab 2,5 mg intravitreal di awal dan minggu ke-6, (d) injeksi bevacizumab 1,25 mg intravitreal di awal dan injeksi placebo di minggu ke-6, atau (e) injeksi bevacizumab intravitreal 1,25 mg di awal dan 6 minggu berikutnya dengan fotokoagulasi pada minggu ke-3. BCVA pada kelompok yang menerima bevacizumab saja menunjukkan peningkatan median satu garis pada kunjungan minggu ke-3 yang dipertahankan hingga 12 minggu. Perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang hanya menerima fotokoagulasi fokal di awal. Tren yang sama juga diamati pada ketebalan retina sentral. Pengurangan ketebalan retina sentral lebih besar pada kunjungan minggu ke-3 kelompok yang mendapat bevacizumab saja dibandingkan dengan kelompok yang hanya menerima fotokoagulasi fokal di awal. Selanjutnya, hanya tren penurunan yang lebih besar pada minggu ke 6, 9, dan 12 yang terdeteksi. Hasil penlitian menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok yang menerima bevacizumab 1,25 vs 2,5 mg dalam hal perubahan BCVA atau ketebalan retina sentral. Selain itu, tidak ada perbedaan bermakna dalam pengurangan ketebalan bidang sentral atau peningkatan VA pada kelompok bevacizumab dan kelompok yang menerima pengobatan kombinasi. Lam et al. [25] juga mengevaluasi efikasi dua rejimen dosis bevacizumab pada follow-up 6 bulan. Sebanyak 48 pasien menerima tiga injeksi bevacizumab 1,25 atau 2,5 mg intravitreal bulanan secara acak. Pada setiap kunjungan terjadwal bulanan, terdapat pengurangan ketebalan foveal sentral rata-rata pada kedua kelompok. Selain itu, logMAR BCVA rata-rata menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik dari kunjungan awal hingga terakhir di bulan ke-6 (dari 0,63 menjadi 0,52 pada kelompok 1,25 mg dan dari 0,60 menjadi 0,47 pada kelompok



10



2,5 mg). Tidak ada perbedaan BCVA yang signifikan pada kedua kelompok. Selain itu, penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa efek injeksi bevacizumab intravitreal mencapai puncak aksi pada minggu ke-3 dan selanjutnya mengalami penurunan, sehingga diperlukan injeksi berulang untuk mempertahankan efek awal. Baru-baru ini, Arevalo et al. [26] melaporkan hasil seri kasus retrospektif, multisenter, intervensi, komparatif dengan tindak lanjut jangka panjang yang diperpanjang hingga 24 bulan. Studi ini mengevaluasi 139 mata yang menjalani injeksi bevacizumab intravitreal 1,25 atau 2,5 mg. Tolok ukur utama adalah ketebalan foveal sentral yang diukur dengan OCT dan perubahan BCVA. Injeksi tambahan diberikan jika terdeteksi kekambuhan edema makula pada OCT terkait dengan kehilangan VA. Kedua kelompok menunjukkan peningkatan BCVA yang signifikan secara statisti pada bulan pertama dan selanjutnya dipertahankan hingga 24 bulan. BCVA kelompok 1,25 mg meningkat dari 20/150 menjadi 20/107 pada bulan ke1, dan menjadi 20/75 pada bulan ke-4. Pada kelompok 2,5 mg, BCVA meningkat dari 20/168 menjadi 20/118 pada bulan ke-1, dan menjadi 20/114 pada kunjungan terakhir. Pemeriksaan OCT membuktikan respons anatomi yang baik pada kedua kelompok. Ketebalan makula sentral rata-rata menurun secara signifikan pada bulan ke-1, dari 446 menjadi 333 μm; selama periode berikutnya tren yang sama diamati hingga 24 bulan dengan nilai rata-rata akhir 279,7 μm. Hasil serupa diamati pada kelompok 2,5 mg. Dilakukan 807 injeksi selama 24 bulan masa tindak lanjut dan jumlah rata-rata injeksi per mata adalah 5,8 (kisaran 1–15) pada interval rata-rata 12,2 ± 10,4 minggu. Efikasi jangka panjang dari injeksi berulang bevacizumab 1,25 mg intravitreal untuk pengobatan DME difus kronis juga dilaporkan oleh Kook et al. [27] Penelitian ini melibatkan 126 pasien DME difus kronis yang signifikan secara klinis, sebagian tidak responsif terhadap perawatan sebelumnya yaitu fotokoagulasi laser (62% perawatan laser fokus, 38% perawatan laser panretinal), injeksi intravitreal triamcinolone (41%) atau vitrektomi (11%) ). Sebanyak 67 pasien menyelesaikan kunjungan yang dijadwalkan selama 6 bulan dan 59 pasien selama 12 bulan. logMAR BCVA semua pasien berkisar dari nilai awal 0,82



11



hingga 0,74 pada pemeriksaan bulan ke-6. Rata-rata BCVA pasien yang menyelesaikan follow-up 12 bulan meningkat serupa dari 0,82 menjadi 0,74. Ketebalan retina sentral menurun dari 463 menjadi 374 μm setelah 6 bulan, dan menjadi 357 μm setelah 12 bulan dengan perbedaan yang signifikan secara statistik. Para penulis menyimpulkan bahwa bahkan dalam kasus DME iskemik difus kronis yang tidak menanggapi terapi lain, pengobatan dengan injeksi bevacizumab intravitreal berulang berhasil diamati dalam tindak lanjut jangka panjang. Studi lain membandingkan pengobatan bevacizumab intravitreal dengan triamcinolone intravitreal atau fotokoagulasi retina fokal pada DME refraktori atau sebagai pengobatan primer. Paccola et al. [28] merancang penelitian prospektif acak untuk mengevaluasi respon anatomi dan hasil VA setelah injeksi tunggal triamcinolone acetonide 4 mg intravitreal atau bevacizumab 1,25 mg pada DME difusi refraktori. Studi ini mengikutsertakan 26 pasien; logMAR BCVA awal masing-masing 0,936 dan 0,937 pada kelompok triamcinolone dan bevacizumab. Pada bulan ke-6, BCVA meningkat menjadi 0,91 dan 0,92 tanpa mencapai perbedaan yang signifikan; Namun, analisis sementara pada pemeriksaan bulan ke-1, 2 dan 3 membuktikan peningkatan yang signifikan pada kelompok triamcinolone dibandingkan dengan kelompok bevacizumab. Ketebalan makula sentral berkurang secara signifikan pada kelompok triamcinolone intravitreal dibandingkan dengan kelompok bevacizumab pada minggu ke 4, 8, 12 dan 24. Analisis perubahan CMT selama masa tindak lanjut menunjukkan perubahan signifikan dari pemeriksaan awal yaitu pada minggu ke 4, 8 dan 12 di kelompok triamcinolone dan pada minggu ke 4 dan 8 pada kelompok bevacizumab. Serangkaian kasus prospektif dan komparatif yang serupa dilaporkan oleh Shimura et al. [29] Studi ini mengikutsertakan 14 pasien DME bilateral lama; pada setiap pasien, 1 mata menerima injeksi triamcinolone intravitreal tunggal (4 mg) dan yang lainnya menerima injeksi bevacizumab intravitreal tunggal (1,25 mg). logMAR BCVA pada kelompok triamcinolone meningkat secara signifikan dari 0,64 menjadi 0,33 pada 1 minggu, yang kemudian dipertahankan hingga 12 minggu. Pada periode pengamatan akhir 24 minggu, BCVA menurun menjadi



12



0,47 tetapi masih berbeda secara signifikan dari nilai awal. BCVA pada kelompok bevacizumab meningkat dari 0,61 menjadi 0,39 pada 1 minggu dan dipertahankan hingga 4 minggu. BCVA kembali ke level awal pada minggu ke-12,. Tidak ada penurunan atau perbaikan lebih lanjut yang diamati dalam 3 bulan berikutnya. Di antara kedua kelompok, perbedaan BCVA yang signifikan secara statistik diamati pada kelompok triamcinolone pada bulan ke-3 dan 6. Analisis morfologis menunjukkan penurunan ketebalan foveal yang signifikan dari 522 menjadi 342,6 μm pada kelompok triamcinolone minggu ke-1. Pada minggu ke-12 ketebalan foveal masih mengalami perbaikan, tetapi pada bulan ke-6 menjadi 410,4 μm. Kelompok bevacizumab menunjukkan pengurangan ketebalan foveal yang signifikan pada minggu ke-1 dari 527 menjadi 397 μm dan perbaikan ini dipertahankan pada minggu ke-4. Pada minggu-minggu berikutnya, ketebalan foveal menunjukkan perburukan progresif dan mencapai level awal pada 12 minggu; tidak ada pemburukan atau perbaikan lebih lanjut yang diamati dalam 12 minggu berikutnya. Antara kedua kelompok, tampak perbedaan ketebalan foveal yang signifikan secara statistik dari kelompok triamcinolone pada bulan ke-1, 3 dan 6. Percobaan klinis three-arm acak yang terbaru membandingkan injeksi bevacizumab intravitreal (1,25 mg) saja atau dalam kombinasi dengan triamcinolone acetonide intravitreal (2 mg) dibandingkan fotokoagulasi laser makula sebagai pengobatan primer DME, penelitian ini diterbitkan oleh Soheilian et al. [30]. Setiap kelompok terdiri atas 50 pasien yang menerima pengobatan pada awal pemeriksaan dan pada minggu ke-12 sesuai kebutuhan. Tolok ukur utama adalah perubahan BCVA pada pemeriksaan bulan ke-4, tetapi penelitian ini juga memberikan hasil pemeriksaan minggu ke-36. Kelompok bevacizumab menunjukkan peningkatan BCVA yang signifikan dari 0,71 menjadi 0,54 pada minggu ke-6; hal ini dipertahankan pada setiap kunjungan berikut yaitu minggu ke-12, 24 dan 36. Para pasien yang menjalani pengobatan kombinasi menunjukkan peningkatan BCVA yang signifikan dari 0,73 menjadi 0,60 pada minggu ke-6. Kelompok ini juga mempertahankan perbaikan BCVA pada minggu ke-12, tetapi kehilangan peningkatan yang signifikan secara statistik pada bulan ke-6 dan 9. Pada kelompok fotokoagulasi makula, BCVA menunjukkan stabilisasi



13



pada minggu ke-6 dibandingkan dengan awal (0,60 vs 0,55) dan nilai yang sama diamati



pada



semua



kunjungan



tindak



lanjut;



Namun,



kami



harus



mempertimbangkan bahwa ketiga kelompok memilik nilai-nilai VA awal yang berbeda. Nilai rata-rata ketebalan makula sentral menurun secara signifikan pada semua kelompok hanya pada minggu ke-6 dibandingkan dan meskipun kelompok bevacizumab menunjukkan pengurangan lebih besar dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada tindak lanjut ketiga kelompok. Perawatan ulang diberikan pada 27 mata hingga 6 bulan dan 14 mata menerima injeksi bevacizumab tambahan secara khusus, 10 mata menerima pengobatan kombinasi, dan fotokoagulasi makula dilakukan pada 3 mata. Elemen



lain



yang



menarik



dari



penelitian



ini



adalah



regresi



neovaskularisasi retina yang awalnya tampak pada 9 pasien. Setelah pengobatan bevacizumab pertama, neovaskularisasi mengalami resolusi pada semua subjek. Pengobatan neovaskularisasi retina terkait dengan DR telah menjadi objek penelitian



dalam



beberapa



publikasi



yang



mengeksplorasi



penggunaan



bevacizumab sebagai obat antiangiogenik. Dalam studi retrospektif, Avery et al. [31] meneliti efek biologis bevacizumab intravitreal pada pasien dengan neovaskularisasi retina dan iris akibat diabetes mellitus pada 45 mata. Para pasien menerima bevacizumab intravitreal dengan eskalasi dosis (6,2 g hingga 1,25 mg). Outcome primer yang dinilai berupa perubahan kebocoran angiografi fluoresein dan outcome sekunder adalah



BCVA.



Pada



pemeriksaan



1



minggu,



angiografi



fluorescein



memperlihatkan pengurangan kebocoran neovaskularisasi lengkap atau setidaknya sebagian. Rekurensi terjadi dalam waktu yang bervariasi: dalam 1 kasus rekurensi neovaskularisasi retina terdeteksi setelah 2 minggu sedangkan dalam kasus lain tidak ada kebocoran berulang yang terlihat hingga tindak lanjut terakhir dari 11 minggu. Dalam sebuah studi open label prospektif non-acak, Jorge et al. [32] mengevaluasi efek bevacizumab pada pasien DR proliferatif aktif yang resisten terhadap perawatan laser dan dengan nilai BCVA lebih rendah dari 20/40. Setiap



14



pasien menerima injeksi bevacizumab intravitreal tunggal 1,5 mg. Sebanyak 15 pasien menyelesaikan kunjungan yang dijadwalkan hingga 12 minggu masa tindak lanjut. Rerata logMAR BCVA meningkat secara signifikan dari 0,90 menjadi 0,76 pada minggu ke-1; selanjutnya perbaikan dipertahankan hingga pemeriksaan minggu ke-12. Pada pemeriksaan awal, rata-rata area kebocoran neovaskularisasi adalah 27,79 mm2. Pada pemeriksaan minggu ke-1 dan 12, ratarata area kebocoran neovaskularisasi menurun secara signifikan menjadi 5,43 dan 5,50. Moradian et al. [33] menyajikan data tambahan tentang penggunaan bevacizumab pada pasien DR proliferatif dengan komplikasi perdarahan vitreous. Sebanyak 38 pasien diikutsertakan dan ditindaklanjuti secara prospektif hingga 20 minggu. Mean logMAR BCVA meningkat dari 1,13 menjadi 0,86 pada 1 minggu setelah injeksi; peningkatan lebih lanjut diamati pada minggu ke-6, 12 dan 20, dengan nilai rata-rata akhir 0,53. Perdarahan vitreous sembuh secara signifikan pada pemeriksaan 1 dan 12 minggu dan sekitar 50% pasien menunjukkan resolusi lengkap. Pada 20 minggu, hanya 23% mata yang menunjukkan sedikit perdarahan vitreous. Penelitian terbaru menguatkan hasil ini. Huang et al. [34] mengevaluasi efikasi bevacizumab intravitreal dikombinasikan dengan fotokoagulasi panretinal dalam pengobatan PDR dengan perdarahan vitreous. Dalam studi prospektif mereka, 40 pasien menjalani injeksi bevacizumab intravitreal (1,25 mg) diikuti oleh PRP. Injeksi tambahan diberikan jika tidak ada tanda-tanda penurunan perdarahan vitreous. Jika terjadi perdarahan vitreous persisten selama 12 minggu maka dilakukan vitrektomi. Waktu pembersihan vitreous dan angka vitrektomi dicatat dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diobati menggunakan metode konvensional. Waktu pembersihan vitreous pada kelompok bevacizumab lebih rendah secara signifikan daripada kelompok kontrol (11,9 vs 18,1 minggu). Kelompok bevacizumab memerlukan vitrektomi pada 10% pasien dibandingkan dengan 45% pada kelompok kontrol. Sebanyak 31 pasien masing-masing menerima 1 injeksi dan 9 pasien menerima 2 injeksi.



VEGF Trap



15



VEGF Trap-Eye (Regeneron Inc.) adalah protein fusi rekombinan berukuran 115-kDa dari bagian reseptor VEGF 1 dan 2, dan IgG manusia regio Fc yang mengikat semua isoform VEGF-A dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anti- VEGF lainnya, seperti bevacizumab dan ranibizumab [35]. Selain itu, VEGF Trap-Eye memiliki waktu paruh lebih lama di mata setelah injeksi intraokular dan mengikat anggota VEGF lainnya seperti faktor pertumbuhan plasenta 1 dan 2, yang telah terbukti berkontribusi terhadap permeabilitas pembuluh darah berlebih. Afinitas tinggi ini memungkinkan dosis yang le bih rendah dan mempertahankan durasi aksi yang lebih lama [36, 37]. Sebuah studi fase I yang mengeksplorasi keamanan dan bioaktivitas injeksi tunggal VEGF Trap-Eye 4,0-mg pada subjek DME telah dilaporkan oleh Do et al. [38]. Pada minggu ke-4, lima dari lima subjek menunjukkan respon anatomi yang baik dengan pengurangan ketebalan foveal retina berlebih yang bermakna. Semua kecuali satu subjek mempertahankan pengurangan hinggaa 6 minggu setelah injeksi. Tampak peningkatan median BCVA yaitu 9 huruf pada grafik ETDRS pada bulan ke-1 dan 3 huruf pada minggu ke-6. Secara umum, injeksi intravitreal tunggal VEGF Trap-Eye 4,0 mg ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek samping okular serius yang dilaporkan. Diperlukan adanya penelitian fase II yang diperluas pada sampel pasien yang lebih besar dan dengan tindak lanjut yang lebih lama.



Bevasiranib Molekul-molekul small interfering RNA (siRNA) mampu menonaktifkan messenger RNA dan menekan translasi RNA. Bevasiranib adalah siRNA spesifik yang dirancang untuk mengurangi tingkat dan aktivitas mRNA VEGF. Dalam hal ini, bevasiranib mungkin memiliki peran dalam pengobatan DR [39-41]. Percobaan RACE yaitu studi double-masked, acak, fase 2, dirancang untuk menyelidiki keamanan dan efikasi bevasiranib pada pasien DME [42]. Sebanyak 48 pasien telah menyelesaikan jadwal kunjungan pada akhir masa tindak lanjut. Setiap pasien ditugaskan ke salah satu dari tiga kelompok yang masing-masing menerima bevasiranib 0,2, 1,5 atau 3,0 mg. Bevasiranib diberikan setiap bulan selama 3 bulan. Ukuran outcome primer dan sekunder adalah perubahan pada



16



edema makula yang diukur dengan OCT dan BCVA. Dalam studi percontohan ini, tren menunjukkan penurunan ketebalan makula antara minggu 8 dan 12, di mana dosis yang lebih tinggi menghasilkan pengurangan ketebalan yang lebih besar dibandingkan dengan dosis terendah. Sebanyak 91% pasien menunjukkan stabilisasi BCVA. Tidak ada efek samping yang berat, namun 4 pasien mengalami uveitis ringan



Rapamycin Rapamycin adalah antibiotik makrosiklik yang diproduksi oleh bakteri Streptomyces hygroscopicus dan ditemukan di tanah Easter Island dan awalnya diklasifikasikan sebagai fungisida makrolida; Namun, ia menunjukkan berbagai efek seperti imunosupresif, antitumor dan sifat antiangiogenik. Rapamycin mengikat FKBP12 secara khusus; kompleks mammalian target of rapamycin (mTOR), yaitu suatu kinase yang mengintegrasikan sinyal-sinyal yang diaktifkan oleh



faktor



pertumbuhan



termasuk



sinyal-sinyal



yang



mempromosikan



angiogenesis yang dimediasi oleh VEGF. Selain itu, mTOR adalah aktivator hypoxia-inducible factor 1a yang meningkatkan transkripsi VEGF. Rapamycin dapat mengganggu aktivasi HIF-1a dalam sel hipoksik dengan meningkatkan laju degradasinya [43-45]. Pada dasarnya, sifat antiangiogenik rapamycin brhubungan dengan penurunan produksi VEGF dan penurunan respons sel endotel vaskular terhadap stimulasi oleh VEGF. Oleh karena itu Rapamycin memiliki peran yang bermakna sebagai terapi gangguan retina yang ditandai oleh permeabilitas dan proliferasi pembuluh darah patologis. Hasil awal penerapan rapamycin untuk DME dipresentasikan pada Pertemuan ARVO 2008 oleh Blumenkranz et al. [46]. Studi multisenter open label fase 1 dengan eskalasi dosis dirancang dengan tujuan mengevaluasi keamanan dan aktivitas farmakologis dari rapamycin. Subjek adalah 50 pasien yang menerima injeksi rapamycin intravitreal tunggal secara acak (44, 110, 176, 264, atau 352 μg) atau injeksi tunggal subkonjungtival (220, 440, 880, 1.320, atau 1.760 μg). Outcome utama adalah perubahan BCVA yang dievaluasi pada grafik ETDRS dan perubahan ketebalan retina sentral dievaluasi oleh OCT pada hari ke-14, 45, 90 dan 180. Peningkatan BCVA yang signifikan



17



diamati pada kedua kelompok yang menerima injeksi subconjunctival 440 μg dan kelompok yang menerima injeksi intravitreal 352-μg pada hari ke-14, 45 dan 90 pada. Kelompok injeksi intravitreal menunjukkan perbaikan rata-rata sebanyak 11,6, 6,4, dan 7,8 huruf pada hari ke-14, 45 dan 90. Kelompok injeksi subkonjungtiva menunjukkan perbaikan 8,8, 11,4, dan 7,4 huruf. Penurunan ketebalan makula sentral yang signifikan diamati pada kedua kelompok dengan pengurangan OCT rata-rata 33, 78, dan 54 μm pada pasien yang menerima injeksi subkonjungtiva dan 72, 42, dan 61 μm pada pasien yang menerima injeksi intravitreal. Tidak ada toksisitas terkait dosis yang diamati dan tidak ada efek samping okular serius yang tercatat.



Kesimpulan Terapi anti-VEGF telah membuka perspektif baru dalam pengobatan DME dan retinopati proliferative, namun patogenesis DR menuntut pendekatan yang lebih kompleks. Saat ini fotokoagulasi laser retina adalah satu-satunya pengobatan yang direkomendasikan untuk PDR dan edema makula yang signifikan secara klinis. Pernyataan-pernyataan ini berasal dari uji klinis acak terkontrol besar yang tidak tersedia untuk kelas farmakologis yang dianalisis di atas [47]. Anti-VEGF memerlukan skema yang lebih efektif sehubungan dengan karakteristik molekul tunggal, dosis, dan juga rute pemberian; selain itu, penggunaan molekul selektif vs non-selektif juga harus didefinisikan dengan lebih baik. Diperlukan definisi yang lebih baik tentang pengobatan anti-VEGF terkait dengan karakteristik dan stadium DR; diperlukan kriteria inklusi dan eksklusi yang lebih spesifik termasuk klasifikasi DR dini atau lanjut, durasi gejala dan tanda, fungsi visual, adanya edema dan proliferasi retina bersamaan, dan perawatan sebelumnya. Dibutuhkan perbandingan head-to-head antara anti-VEGF dan terapi laser konvensional, dan diperlukan pertimbangan terkait patogenesis multifaktor, verifikasi keefektifan perawatan kombinasi, seperti perawatan laser dan terapi kortikosteroid,. Pendekatan bedah merupakan dukungan tambahan dalam penatalaksanaan komplikasi dari DR lanjut, glaukoma neovaskular dan dalam perkembangan edema makula terkait dengan operasi katarak.



18