Antropologi Budaya Kasus Ndalem  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ILMIAH



Formasi Spasial Kompleks nDalem Bangsawan Surakarta: Studi Kasus nDalem Bangsawan Baluwarti



Makalah Penelitian ini disusun untuk memenuhi syarat capaian tugas pada mata kuliah Antropologi Budaya Disusun Oleh : Muhammad Widad Bayuadi 21020119410015



PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2019



1



ABSTRAK Dalam membentuk suatu hunian, masyarakat Jawa sangat mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan aturan-aturan dasar atau disebut dengan petung. Salah satu jenis unit hunian rumah jawa yang merupakan kelas tertinggi dari rumah jawa adalah nDalem, dimana nDalem ini pada mulanya merupakan tempat kediaman sosok yang sangat berpengaruh dengan kerajaan, pangerran kerajaan, maupun kerabat dekat dari raja kerajaan. Di Surakarta terdapat area yang disebut Baluwarti dimana pada masanya merupakan area kerajaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Terdapat banyak pula nDalem disekitar Baluwarti ini dengan posisi diluar kedhaton (area pusat kerajaan dengan dibatasi benteng) dan di dalam baluwarti (banteng kerajaan luar). Terdapat 9 nDalem yang memiliki keunikan sesuai konteks dari penghuninya, menjadikan nDalem di kawasan Baluwarti ini layak untuk menjadi cagar budaya. Namun dengan adanya banyak faktor pengubah bentuk sesuai konteks lingkungan, seluruh nDalem pada kawasan Baluwarti ini berubah sesuai konteks yang berlaku dan perkembangan masyarakat di sekitarnya. Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu untuk menjadi data sekunder sebagai bahan evaluasi pengembangan kawasan Baluwarti khususnya dalam menjaga kelestarian bangunan cagar budaya nDalem Bangsawan.



Kata kunci: Bangunan bersejarah, nDalem Bangsawan, nDalem Ngabean, Antropologi, Budaya, Baluwarti, Surakarta



2



DAFTAR ISI BAB I A. Latar Belakang .................................................................................................................... 4 B. Kajian Pustaka ..................................................................................................................... 5 C. Metode Pengambilan dan Analisa Data .............................................................................. 7 D. Penentuan Instrumen Penelitian .......................................................................................... 7 E. Penentuan Metode dan Strategi Penelitian .......................................................................... 8 F.



Tujuan Penelitian................................................................................................................. 8



G. Lingkup Penelitian .............................................................................................................. 8



BAB II A. Petungan ............................................................................................................................ 94 B. Kampung Baluwarti ........................................................................................................ 124 C. NDalem – nDalem di Baluwarti ...................................................................................... 124 D. NDalem Ngabean ............................................................................................................ 134



SIMPULAN... ......................................................................................................................... 214 SUMBER REFERENSI ......................................................................................................... 224



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan Jawa kental akan hal-hal berbau mistis dan metafisik. Hal-hal tersebut juga dapat ditemui pada bahasan Arsitektur Jawa, yang berupa ritual-ritual dan amalan yang dilakukan oleh penghuni dan masyarakat sekitar. Dalam membangun rumah jawa, biasanya sesuai harus sesuai dengan petungan yang ada. Akan tetapi jika ada salah satu petungan tidak dapat dipenuhi maka dilakukan upacara penolak bala yang dilakukan sebelum pembangunan atau sesudah pembangunan. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa jika melakukan ritual sebelum membangun sebuah bangunan maka dalam proses pembangunan tersebut diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari hal buruk. Dan ritual yang dilakukan sesudah proses pembangunan rumah jawa selesai karena ada beberapa petungan yang belum terpenuhi maka dari itu ritual dilakukan sebagai penolak bala agar menghindari dari hal hal buruk yang tidak diinginkan. Pada pembangunan nDalem yang masih ada hubungan dengan raja dari Kraton Surakarta dalam pembangunan atau dalam taham renovasi ndalem, tetap melaksanakan ritual-ritual pembangunan, hal itu dilakukan untuk melestarikan budaya dan dipercaya menghindari bala yang ada. Hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan penelitian dalam nDalem sendiri sendiri adalah rancangan penelitian, metode penelitian, dan masalah penelitian. Pada dasarnya metode penelitian sendiri dibagi menjadi penelitian kualitatif, kuantitatif, dan campuran. Ketiga metode tersebut mempunyai kriteria yang seharusnya tidak dianggap bertentangan, karena masih dalam satu rangkaian yang sama (Newman & Benz, 1998). Dalam studi kasus nDalem Kalitan dan nDalem Ngabean metode yang digunakan adalah metode campuran, karena data yang didapat tidak bisa condong pada salah satu metode. Lebih dalam lagi, strategi campuran yang digunakan adalah Metode Campuran Paralel Konvergen dimana aspek dan indikator parallel pada beberapa aspek menggunakan metode kualitatif dan beberapa aspek sisanya menggunakan metode kuantitatif namun dalam prosesnya berjalan beriringan.



4



B. Kajian Pustaka 1. Ciri Bangunan Heritage Menurut Synder dan Catanse dalam Budiharjo (1997), terdapat enam ciri-ciri heritage, antara lain : 1) Kelangkaan , karya merupakan sesuatu yang langka. 2) Kesejarahan, yaitu memuat lokasi peristiwa bersejarah yang penting. 3) Estetika, yaitu mempunyai keindahan bentuk struktur atau ornament. 4) Superlativitas, yaitu tertua, tertinggi, atau terpanjang. 5) Kejamakan, yaitu karya yang mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu. 6) Pengaruh, yaitu keberadaanya akan meningkatkan citra lingkungan sekitarnya. 2. Nilai Bangunan Heritage pada Masyarakat Menurut Kerr (1983), tiga ciri-ciri heritage yang berkaitan dengan penilaian bangunan oleh masyarakat, yaitu : 1) Nilai Sosial, yaitu mempunyai makna bagi masyarakat. 2) Nilai Komersial, yaitu berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai kegiatan ekonomis. 3) Nilai Ilmiah, yaitu berperan dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. 3. Konsep Kontekstualitas Bangunan Heritage Penilaian masyarakat mengenai bangunan heritage berkaitan dengan suatu daerah maupun tingkah laku spesifik yang sering disebut dengan faktor kontekstual. Kontekstual dalam kaitannya dengan pemaknaan bangunan heritage sendiri merupakan suatu perencanaan dan perancangan arsitektur, yang memperhatikan permasalahan kontinuitas visual antar bangunan baru dengan nuansa lingkungan yang ada di sekitarnya, dan melakukan studi terhadap kesulitan-kesulitan yang timbul dalam menciptakan keserasian antar bangunan yang berbeda jaman dan gaya, dalam suatu lokasi yang berdekatan (Brolin, 1980). 4. Faktor kontekstual Suatu bangunan heritage disusun oleh beberapa unsur yang mempengaruhi baik dari segi fisik maupun non fisik bangunan. Kontekstualitas ekologi dan konteks wilayah menurut (Hadi Sabari Yunus, 2010) terbagi menjadi: 1) Man-environment analysis, fokus kajian pada manusia dengan lingkungan. 2) Human activityenvironment analysis, fokus kajiannya terletak pada kegiatan manusia hubungnnya dengan lingkungan sekitar kehidupan manusia. 3) Phsyco natural featuresenvironment analysis, analisis ini menekankan pada keterkaitan antara kenampakankenampakanfisikal alami dengan elemen-elemen lingkungannya. 4) Phsyco artificial features-environment analysis, tema analisis ini menekankan pada 5



lingkungan fisikal yang terjadi sebagai akibat dari 12 aktivitas manusia (hasil budaya manusia) dengan lingkungannya (Hadi Sabari Yunus, 2010: 94-95). 5. Manajemen Pengembangan Wilayah Menurut Mulyanto (2008: 54-62) manajemen yang baik diseluruh tahapan dan tataran pelaksanaan pengembangan wilayah dituntut sebagai prasyarat bagi keberhasilan suatu program pengembangan, dan ini harus meliputi segi-segi: 25 a. Planning Kesempurnaan dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu, harus dicapai untuk membuat suatu perencanaan yang baik sesuai dengan apa yang ditentukan dalam strategi pengembangan wilayah. Planning yang tersusun rapi dan terpadu atau integrated, menyeluruh atau comprehensive menjadikan seluruh proses manajemen pengembangan wilayah menjadi mudah. b. Organizing 1) Pembuatan rencanarencana komprehensif dari tahapan-tahapan pengembangan wilayah. 2) Penyusunan rencana pengadaan dana yang akan diperlukan dalam melaksanakan programprogram pengembangan wilayah, alokasi bagi setiap program dan jadwal penyediaan dana itu. 3) Penyusunan organisasi/team pelaksana program yang efektif, efisien, maupun bekerja sama dan mempunyai integritas yang baik. Pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Damandiri, 2009: 16). Dalam kehidupan sebuah keluarga, manusia berkewajiban untuk mengusahakan dan memiliki sandang yang wajar yang sesuai dengan kedudukannya, dapat memberikan pangan yang layak dan memenuhi standar kesehatan kepada anggota keluarganya (Dakung, 1982 : 25). 6. Rumah dalam Konteks Rumah Jawa Dalam masyarakat Jawa, rumah dipandang memiliki arti penting bagi kehidupan, selain sebagai tempat berlindung, tempat memenuhi kebutuhan hidup, juga sebagai tempat sosialisasi, dimana seorang individu diperkenalkan pada tata nilai dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakatnya. Sehingga sebagai tempat tinggal, rumah harus memberikan rasa aman dan tentram bagi penghuninya (F.X. Haryanto dalam Bambang, 2002), Tata bangunan rumah tradisional Jawa, tampak selaras dan logis, perpaduan antara dimensi-dimensi religius dengan pandangan yang realistis dan teknis, segi-segi roh dan materinya (Mangunwijaya, 1988:106). Masyarakat Jawa selalu mempertimbangkan tiga masalah, 6



yaitu masalah tempat dimana bangunan itu akan didirikan, bahan atau material yang digunakan dan waktu mendirikannya (Dakung, 1982: 76). C. Metode Pengambilan Dan Analisa Data Untuk mencapai hasil dan menentukan hasil dari metode penelitian dengan optimal dan seefesien mungkin, diperlukan adanya strategi penelitian. Dalam perjalanan penelitiannya, arsitek yang menggunakan meode penelitian seringkali sudah menentukan indikator dan strategi yang telah dirancangnya sebelum terjun pada lokasi perancangan. Pada penelitian kuantitatif sendiri dibagi menjadi eksperimental dan noneksperimental, pada mode eksperimental hal terpenting yang harus dilakukan adalah penentuan hasil akhir dengan melakukan suatu perlakuan sesuai indikator pada kondisi tertentu dengan instrument penelitian (Keppel, 1991). Beda halnya dengan penelitian noneksperimental yang seringkali menggunakan skor pada variabel tertentu sehingga dapat membuat peta hubungan antar variabel. Berikut merupakan tabel dari strategi penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran.



Tabel 1. Tabel Strategi Penelitian dalam Metode Penelitian KUANTITATIF  



Rancangan Eksperimental Rancangan NonEksperimental (Survei)



KUALITATIF



CAMPURAN







Naratif







Konvergen







Fenomenologi







Eksplanatori



 



Grounded Theory Etnografi



 



Eksploratory Transformatif, embedded, atau multifase







Studi Kasus



Sumber: Lane L. Marshall (1981)



D. Penentuan Instrumen Penelitian Instrumen penelitian sendiri biasa disebut sebagai alat penelitian. alat tersebut digunakan dalam mengumpulkan data dalam bentuk khusus dan spesifik untuk dianalisa. Dalam menekan biaya pengumpulan data, perlu dilakukan kombinasi alat dan metoda sehingga efesian dan menekan biaya.



7



Alat penelitian yang dapat digunakan meliputi angket-angket, daftar pengamatan, peta perilaku, gambar, buku kegiatan harian, mesin rekaman, kamera, alat ukur lingkungan (suara, suhu, cahaya, kelembaban, dsb), model skala bangunan, dll. Dalam Penelitian ini, penulis sebagai peneliti menggunakan instrument daftar pengamatan, alat wawancara, gambar, dan buku. E. Penentuan Metode dan Strategi Penelitian Dalam studi kasus nDalem Kalitan dan nDalem Ngabean metode yang digunakan adalah metode campuran, karena data yang didapat tidak bisa condong pada salah satu metode. Lebih dalam lagi, strategi campuran yang digunakan adalah Metode Campuran Paralel Konvergen dimana aspek dan indikator parallel pada beberapa aspek menggunakan metode kualitatif dan beberapa aspek sisanya menggunakan metode kuantitatif namun dalam prosesnya berjalan beriringan. F. Tujuan Penelitian Mendapatkan data dan simpulan dalam penelitian arsitektur pada bangunan vernakuler jawa khususnya nDalem di kawasan Kampung Baluwarti dan bagaimana dampaknya terhadap eksistensi bangunan tersebut setelah tidak terdapat keturunan raja kraton Surakarta. G. Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada aspek pola struktur spasial, massa bangunan, dan sejarah dari nDalem Ngabean di kawasan Baluwarti Keraton Kasunanan Surakarta Hardiningrat.



8



BAB II DISKUSI DAN BAHASAN PENELITIAN Dalam bangunan jawa, banyak terdapat aturan-aturan yang berkaitan dengan terbentuknya suatu bangunan termasuk rumah tinggal. Aturan-aturan yang disusun bagi masyarakat jawa disebut dengan petungan, dimana menjadi landasan bagi setiap masyarakat yang tinggal di suatu daerah dan masih berada dalam lingkup suatu sistem kekuasaan. Tidak hanya pada masyarakat umum, bangunan kediaman para raja maupun keturunan raja pun juga terikat dengaan adanya aturan-aturan tersebut. Tipe bangunan rumah tinggal bagi bangsa kelas atas dalam masyarakat jawa tersebut disebut nDalem. Setiap nDalem memiliki karakteristik yang unik beradasar kontekstualitasnya terhadap lingkungan dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena nDalem ini merupakan suatu objek tumah tinggal yang lebih dari hanya sekedar menjadi hunian bagi petinggi kerajaan maupun keturunannya tapi lebih sebagai tempat untuk berinteraksi antar lapisan masyarakat khususnya pada ruang pendopo. A. Petungan Petungan dapat digunakan untuk dapat menetapkan dan mendapatkan banyak hal, mulai dari mengawali suatu kegiatan yang berkaitan dengan membangun rumah jawa, jumlah usuk yang diperlukan , pengukuran panjang lebar tapak, hingga bagianbagian structural dari bangunan jawa. Petungan dapat diartikan juga sebagai patokan perhitungan yang digunakan dalam Arsitektur Jawa. Sumber petungan berasal dari naskah-naskah lama yang diciptakan oleh nenek moyang orang Jawa. Petungan dijelaskan secara rinci dalam bentuk narasi, puisi dan tembang jawa. Berikut ini adalah naskah utama sumber petungan : 1. Primbon a Pandita Sabda Nata Primbon ini memiliki 21 perhitungan yang mencakup tentang (1) panjang lebar bangunan, (2) panjang blandar, (3) panjang saka atau tiang utama, (4) perhitungan usuk kayu maupun usuk bamboo. b



Jawa Makara Pengukuran dan penghitungan yang dimuat dalam Primbon ini adalah: (1) panjang lebar bangunan, (2) panjang blandar atau balok bangunan, (3) panjang saka guru atau tiang utama bangunan, (4) penghitungan jumlah usuk kayu dan bambu.



c Sabda Pandita Primbon ini memiliki 12 perhitungan dan yang bagian bangunan yang dapat dibuat pengukuran atau perhitungannya adalah: (1) panjang lebar bangunan, (2) ukuran panjang tiang bangunan, (3) penetapan jumlah usuk kayu, dan (4) penetapan jumlah usuk bambu.



9



d Bataljemur Adam Makna Primbon ini memuat perhitungan yang paling sedikit jumlahnya, yakni hanya panjang lebar bangunan dan perhitungan jumlah usuk. 2. Serat Centhini (12 Jilid) 3. Kawruh Kalang a Kawruh Kalang Mangoendarma (1906) ; kode MD06 b



Kawruh Kalang Soeparmo Kridosasono (1976) ; kode SK76



c



Kawruh Kalang Soetoprawiro (1907) ; kode SP07



d



Kawruh Kalang Kapatihan Surakarta (1882) ; kode KS82



Selain petungan yang bersifat matematis ada juga petungan yang mengatur tata ruang bangunan jawa. Contohnya tentang penempatan gerbang utama. Petungannya adalah keliling tapak dibagi menjadi beberapa bagian yang berjumlah ganjil. Sebagian tempat dianggap baik dan membawa keberuntungan, sedangkan sebagian lainnya dianggap membawa kesialan.



Gambar 1. Arah dan Titik Kebaikan Pola Rumah Jawa Sumber: Wibowo, 1998



Masyarakat Jawa juga percaya bahwa di tanah-tanah tersebut didiami kekuatan-kekuatan gaib, sehingga agar dapat dibangun rumah, kekuatan gaib tersebut harus dihilangkan atau dipindahkan. Orang Jawa yang ingin bertempat tinggal di tempat tertentu, selain mencari keamanan, juga rasa tentram. Lingkungan kemasyarakatan ini dianggap selaras dengan alam sekitarnya. Orang Jawa merasa keamanan dan keselarasan dengan lingkungan dalam arti mental spiritual yang dapat dipengaruhi secara positif dengan tingkah laku yang sungguh-sungguh. Cara tradisional dalam pemilihan tempat tinggal dibenarkan dengan membandingkan antara angka neptu dari nama tempat (desa, kota) dan angka neptu nama orang tersebut (Frick, 1997,94). 10



Selain faktor tempat dan bahan untuk mendirikan bangunan, untuk perencanaan rumah dibutuhkan juga ramalan perbintangan sehingga sifat waktu/ bulan dan sebagainya dapat diperhatikan secukupnya. Perhatian terhadap waktuwaktu tersebut, diperlukan terutama pada saat mendirikan rumah, memasang genteng/ atap dan molo, pindah tempat dan boyong (Frick, 1997:99). Sebagai contoh, penentuan hari untuk mendirikan konstruksi atap dengan molonya (balok hubungan), terikat pada neptu si pemilik rumah yang akan dibangun. Pemeriksaan waktu/hari tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga akan terdapat sisa antara 0 sampai 4. sisa angka ini menjadi neptu yang bertuah untuk mendirikan rumah tersebut, seperti a. jatuh angka 1 = kerta artinya mendapat banyak rejeki; b. angka 2 = Jasa artinya kuat sentosa; c. angka 3 = Candi artinya selamat sejahtera; d. angka 4 = Rogoh artinya acapkali dimasuki pencuri; e. jatuh angka 0 = Sempoyong artinya kerapkali pindah jauh dan tidak tahan lama untuk didiami. Begitu pula penataan dalem yang sakral dan pendapa yang profan menunjukkan betapa serasi dialektik antara hubungan-hubungan vertikal ke Tuhan dengan yang immanen, yang mengatasi dengan yang mendalami (Mangunwijaya, 1988:111-113). Selain bentuk bangunan sendiri, terdapat ornamen tersertai oleh fakta mental (mentifact) maupun fakta sosial (socifact). Fakta mental yang tersimpan di balik ornamen tidak sekedar menyiratkan kemampuan artistik, pencapaian, dan penguasaan teknis saja, akan tetapi juga menyangkut kemampuan produksi, pendistribusian, dan pemanfaatannya dalam masyarakat (Guntur, 2004:54). Fakta sosial ragam hias tampak pada peranannya dalam praktik-praktik sosial dalam masyarakat. Sebagai artefak, ornamen tersertai oleh fakta mental (mentifact) maupun fakta sosial (socifact). Fakta mental yang tersimpan di balik ornamen tidak sekedar menyiratkan kemampuan artistik, pencapaian, dan penguasaan teknis saja, akan tetapi juga menyangkut kemampuan produksi, pendistribusian, dan pemanfaatannya dalam masyarakat (Guntur, 2004:54). ragam hias yang mempunyai fungsi sakral dan ragam hias yang berfungsi sekuler (estetis). Fungsi sakral ragam hias mencakup fungsi magis dan fungsi simbolis, sedangkan fungsi sekuler atau bersifat profan mencakup elemen estetik dan artistik. Sebagai contoh ornamen yang berfungsi sebagia simbol adalah motif “pohon hayat” atau pohon kehidupan, melambangkan kekuatan yang meliputi dunia bawah dan dunia atas (Soeharto, 1992: 7). Ornamen yang berfungsi sebagai fungsi estetis dan fungsi sakral, sebagai contoh adalah ornamen hias pada Saka Guru. Saka Guru merupakan ciri khas bangunan berbentuk joglo pada rumah tradisional Jawa. Saka Guru dibentuk oleh 4 buah tiang pokok sebagai penyangga pemidhangan yang terletak di tengahtengah. Saka Guru dibentuk oleh 3 komponen utama yaitu umpak yang terletak pada bagian bawah tiang, saka (tiang) yang merupakan badan dari saka tersebut dan bagian atas yang disebut kepala. Bagian atas saka guru disebut juga mayangkoro yang berfungsi sebagai penguat. Ragam hias pada saka guru dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, yaitu: umpak, saka (tiang) dan mayangkoro. Motif lung-lungan pada nDalem melambangkan hutan yang merupakan ciri utama dari negara agraris.



11



B. Kampung Baluwarti Kata Baluwarti berasal dari bahasa portugis (Baluarte) yang artinya benteng atau tembok istana, yang di dalamnya adalah tempat tinggal Raja bersama keluarga (Sentana Dalem), dan juga abdi dalem, yang menjaga budaya dan adat istiadat Jawa sekaligus melestarikan sebagai Khasanah kearifan lokal Kebudayaan di Indonesia. Sehingga menjadikan Kampung ini sebagai Kawasan Cagar budaya dengan peninggalan bernilai sejarah dan budaya di Kota Solo. Kampung Baluwarti terletak pada lingkungan dan rumah penduduknya yang berada didalam tembok keraton setebal 2 meter dan tinggi 6 meter, serta keindahan bentuk bangunan dilingkungan Baluwarti bercirikan arsitektur tradisional khas yang dipengaruhi arsitektur Jawa, Cina dan Eropa. C. NDalem di Baluwarti Pada umumnya nama-nama komplek hunian di kawasan Baluwarti sesuai dengan nama bangsawan yang bertempat tinggal di kawasan tersebut ditambah dengan akhiran "-an", misalnya: Ngabean, untuk perumahan di sekitar tempat tinggal Pangeran Hangabei; Mlayasuman, untuk Pangeran Mlayakusuma; Widaningratan untuk wilayah sekitar bupati Hurdenas Widaningrat; Purwadiningratan untuk bupati nayaka Purwadiningrat; Mangkuyudan untuk bupati arsitek Mangkuyuda; Suryaningratan untuk bupati Gedhong Tengen Suryaningrat; Sindusenan untuk Pangeran Sindusena, sentana atau cucu Pakubuwana IX; Prajamijayan untuk R.M.A Prajahamijaya, cucu Pakubuwana IX. Ndalem pangeranan sendiri merupakan semua rumah-rumah bangsawan (kagungan dalem) yang ada di dalam tembok baluwarti.



I F



H



A



D E C



G B



Gambar 2. Peta Kawasan Baluwarti Sumber gambar: USAID, 2010



Keterangan notasi nDalem pada Kelurahan Baluwarti, A=Ndalem Sasono Mulyo; B=Ndalem Ngabean; C=Ndalem Mloyosuman; D=Ndalem Suryohamijayan; E=Ndalem rotodiningratan/Mloyokusuman; F=Ndalem Mangkubumen; G=Ndalem Purwodiningratan; H=Ndalem Joyodiningratan; I=nDalem Suryohamijayan



12



NDalem ndalem yang berada di kampung baluwarti tepatnya di dalam benteng baluwarti ini berubah dalam bentuk aktivitas, pola masyarakat, tata dan bentuk bangunan, serta hubungan yang berkaitan dengan lingkungan. Perubahan-perubahan ini berkaitan dengan konsep behavior setting, dimana dalam skala area Baluwarti ini sistem yang ada saat keraton kasunanan Surakarta berbeda dengan setelah ditetapkannya perjanjian dengan VOC hingga saat ini. Barker (1968) mengungkapkan bahwa behavior setting dapat teridentifikasi jika telah ada: 1. Recurrent activity (standing pattern behavior), faktor yang menjadikan pola perilaku menjadi konstan dan kontinu 2. Particular layout of the environment (Milieu), pola tatanan pada lingkungan tertentu 3. Congruent relationship between activity and layout (synomorphy), adanya kesesuaian antara aktivitas dengan lingkungan yang ada 4. Specific time periode, perilaku pada lingkungan tertentu dapat berubah sesuai kondisi di waktu tertentu Aktivitas pada kawasan Baluwarti sendiri tercipta karena telah adanya sistem yang berulang dimana dulunya merupakan kerajaan sentris menjadi sekarang masyarakat sentris dengan munculnya berbagai inovasi dari masyarakat lokal untuk mempertahankan hidupnya dengan berbagai macam usaha seperti pembuatan blangkon, pembuatan jamu, makanan tradisional, pembuatan pembersih batik alami, dsb. D. NDalem Ngabean



Gambar 3. Emblem Cagar Budaya NDalem Ngabean



Ndalem Ngabean merupakan kediaman resmi putra lelaki tertua yang bukan berasal dari permaisuri. Nah, nama Ngabehi (Hangabehi) itu adalah nama yang biasa dipergunakan untuk putra mahkota yg bukan dari permaisuri, itulah kenapa Gusti Behi, merasa sudah ditunjuk jadi putra mahkota karena namanya. 13



Nama putra mahkota yg berasal dari permaisuri adalah Mangkubumi dan Purboyo. Kata dasar Ngabehi (Hangabehi) adalah nama yang biasa dipergunakan untuk putra mahkota yg bukan dari permaisuri, sedangkan ama putra mahkota yg berasal dari permaisuri adalah Mangkubumi dan Purboyo. Saat ini nDalem Ngabean berfungsi sebagai wadah dari Kelompok Bermain Mentari Ceria, lomba burung, jual pedagang di area pendopo dan rumah tinggal keturunan abdi dalem pada area sekelilih tanah lapangnya. NDalem Ngabean yang dahulunya merupakan rumah dari putra mahkota Kraton Surakarta memiliki sejarah panjang hingga menjadikannya saat ini sebagai salah satu objek cagar budaya di Surakarta, Jawa Tengah. Terpilihnya NDalem Ngabean ini dikarenakan nDalem ini merupakan salah satu Ndalem yang peruangannya paling lengkap diantara nDalem lain. Kelengkapan ruang nDalem ini mencapai 12 jenis ruang. Namun seiring berjalannya waktu, nDalem ini akhirnya sudah tidak dihuni lagi dan kepemilikannya saat ini adalah atas nama Ibu Tien Soeharto sehingga kepemilikannya saat ini dimiliki oleh keluarga Soeharto. Karena tidak setiap waktu bisa mengunjungi atau merawat, nDalem yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini kondisinya memprihatinkan. Kondisi buruk yang ada pada nDalem ini tidak terlepas dari mahalnya biaya perawatan dan tidak dimaksimalkannya fungsi-fungsi ruang dalam nDalem sehingga mangkrak dan tidak terawat. Banyak fungsi ruang yang berubah, bahkan ruang yang dahulunya bersifat sakral saat ini menjadi profan karena terdampak oleh adanya modifying factor dari perilaku masyarakat yang tinggal di sekitar nDalem Ngabean. Bab diskusi pada penelitian ini akan membahas mengenai modifying factor yang mempengaruhi bangunan secara langsung, socio-cultural factor yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan, dan kaitan keduanya dengan linglungan di Kampung Baluwarti. Modifying factor sendiri dibagi menjadi (1) Climate and the need for shelter; (2) Material, Construction and Technology that difined; (3) Site Existing; (4) Defence; (5) Economics; dan (6) Religion (Rapoport (1969). Selain modifying factor terdapat pula Socio-Cultural Factors yang membentuk dasar fisik bangunan nDalem Bangsawan khususnya nDalem Ngabean ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk dari bangunan ini dapat berupa (1) Meaning in house form; (2) Factors of Criticality and Choices; (3) Factors of Basic Needs; (4) Factors of the Sites and Choice; (5) Factors of Constancy and Changes (Rapoport (1969). 14



Aktivitas yang ada di kawasan Baluwarti tidak hanya berdampak pada lingkungan, namun juga spesifik pada nDalem nDalem dikawasan Baluwarti. Adanya perubahan ini bisa bernilai positif maupun negaif tergantung penilaian masyarakat yang terdampak secara langsung. Modifying factor sendiri menurut Rapoport (1976) terbagi menjadi : 1. Climate dnd The Need For Shelter Pada nDalem Ngabean ini seperti pada umumnya rumah bangsawan hal yang paling menonjol adalah bagian pendopo dimana dulunya saat sang pangeran kerajaan masih mendiami nDalem, bagian pendopo ini digunakan untuk berkumpul masyarakat sekitar biasa bertemu mengakrabkan diri dengan sang penghuni nDalem. Kebutuhan akan pelindung ini sekaligus membentuk ruang sosial yang sifatnya terbuka sehingga sering pula digunakan sebagai wadah berbagai acara kemasyarakatan dan kerajaan yang berhubungan dengan penghuni rumah. Saat ini bagian pendopo menjadi tempat untuk bersosialisasi masyarkat sekitar karena menaungi area yang cukup luas sehingga memberi keteduhan.



Gambar 4. Pendopo NDalem Ngabean



2. Material, Construction and Technology that difined Setelah ditinggalkan oleh pemilik tetapnya, nDalem Ngabean ini telah banyak mengalami perubahan dan pergantian material. Hal ini berkaitan dengan susahnya perawatan dan biaya perawatan material asli yang tidak murah. Salah satu material yang telah diganti adalah material sirap yang diganti dengan genting biasa karena mahal dan susahnya merawat sirap asli yang berbahan dasar lembaran kayu. Sedangkan untuk struktur, bagian utama dan jiwa dari nDalem ini masih menggunakan soko guru asli sehingga sistem lidah-alur dan sistem rong-rongan cathokan yang terkenal pada nDalem Bangsawan tetap terjaga. Sistem inilah yang dapat berfungsi sebagai mitigasi bangunan terhadap guncangan gempa. 15



Sistem struktur lain yang berfungsi setelah sistem yang meliputi kolom yang disalurkan langsung pada umpak adalah adanya pasir yang tidak statis, sehingga meredam guncangan pada dasar bangunan sebelum sistem diatasnya bekerja.



Gambar 5. Struktur Pendopo NDalem Ngabean



Gambar 6. Sistem Struktur Cathokan dan Phurus (Ismunandar, 2001)



3. Site Existing dan Defence; NDalem ngabean ini terletak di sisi selatan komplek kedhaton Keraton Kasunanan Surakarta. Berkaitan dengan existing, pada masa pangeran masih mendiami nDalem Ngabean, disekitar komplek nDalem Ngabean masih berupa perkebunan dan lahan kosong sehingga meskipun berada di dalam benteng Baluwarti tetap ada kekhawatiran penghuni nDalem bahwa penjahat mudah mengakses bangunan inti nDalem. Untuk mencegah penjahat yang bisa jadi berasal dari dalam benteng sendiri, diantisipasi dengan mengosongkan area sekitar bangunan inti nDalem sebagai massa utama dengna jarak minimal 8 meter dari massa bangunan skunder lain di komplek nDalem. Adanya jarak tersebut memberikan pandangan luas baik bagi penghuni nDalem maupun penjaga nDalem sehingga mudah dalam mengetahui jika terdapat tamu tidak diundang yang mendekati bangunan inti tanpa sepengetahuan penghuni nDalem Ngabean.



16



Gambar 7. Implementasi defence dalam Lansekap NDalem Ngabean



4. Economics Permasalahan utama yang terjadi pada nDalem Ngabean sesaat setelah di tinggal oleh penghuni tetapnya hingga saat ini adalah masalah perawatan bangunan. Hal ini menjadikan masyarakat sekitar berinisiatif untuk menggunakan beberapa titik bangunan menjadi area komersil seperti pada lahan nDalem yang bersebalahan dengan regol/gerbang nDalem yang digunakan sebagai area berjualan mie ayam dan bakso. Selain adanya transaksi jual beli, nDalem ini khususnya pada Pendopo bagian depan juga dimanfaatkan sebagai area Taman Kanak-kanak Ceria. Area Taman Kanak-kanak ini mengubah tata pendopo yang sebelumnya terbuka menjadi semi terbuka dengan menggunakan triplek sebagai pembataas visual dan fisik seluas seperempat area pendopo. Sedangkan area belakang pendopo yang berhubungan langsung dengan pringgitan digunakan sebagai area untuk lomba kicau burung perkutut yang rutin dilaksanakan tiap beberapa bulan sekali.



17



Gambar 8. Pendopo Adaptif TK NDalem Ngabean



Gambar 8. Pendopo Adaptif TK NDalem Ngabean



5. Religion nDalem Ngabean yang telah di tinggalkan pemilik asli dan sudah tidak di huni ini mengubah banyak fungsi asli ruangan pada bangunan. Berubahnya fungsifungsi ruangan ini juga berdampak pada salah satu ruang yang dulunya bersifat sakral yaitu senthong tengah yang kini menjadi profan dimana terdapat pengaruh dari masyarakat sekitar atas kekhawatiran atas tindakan yang tidak dilazimkan terjadi jika ruang tersebut tetap seperti aslinya. Atas dasar kekhawatiran tersebut, diputuskanlah senthong tengah untuk dilakukan perobohan salah satu dinding dan atap sehingga lebih terbuka secara fisik dan visual dan meminimalisir adanya tindakan yang tidak lazim digunakan oleh oknum masyarakat saat malam hari. Selain itu, struktur dari nDalem Ngabean pun juga mengikuti tatanan dari pethung rumah jawa dan terdapat ritual yang rutin dilakukan pada ruang ndalem tengah. 18



Dalam perubahan bentuknya sendiri, baik dulu dan sekarang terdapat perbedaan yang signifikan dikarenakan adanya perubahan budaya dan lingkungan, Rapoport membagi hal tersebut menjadi: 1. Meaning in House Form; NDalem bangsawan ini dibentuk dan dinilaikan bagi masyarakat sebagai citra dari seorang pejabat keraton dalam lingkup ini adalah nDalem Ngabean sebagai hunian salah satu pangeran keraton Surakarta dan kini citra bentuk yang ditampilkan sebagai fungsi masyarakat bersosialisasi dan melakukan kegiatan meskipun tidak secara aktif. 2. Factors of Criticality and Choices; Pemberian nilai yang didapatkan oleh masyarakat pada tampilan bangunan ini khususnya, dapat memberikan pandangan bahwa pemilik nDalem dengan segala fasilitasnya seperti pendopo, sumur, tanah halaman lapang, dan lainnya menunjukkan keramahan dan menyambut baik secara terbuka bagi rakyatnya yang ini berkomunikasi dan berinteraksi lebih dalam dengan pangeran keraton. 3. Factors of Basic Needs; Berbagai fasilitas fisik bangunan dan tempat terbuka menjadi alasan utama bagi masyarakat untuk tetap secara kontinu mengunjungi nDalem ini, hal ini dikarenakan secara tidak langsung memberikan wadah interaksi sosial baik sesama masyarakat maupun penghuni nDalem Ngabean. 4.



Factors of the Sites and Choice; Pada nDalem ngabean sendiri terpengaruh oleh adanya sistem pada pola tatanan rumah jawa yaitu petungan. Petungan ini yang mempengaruhi baik dari sisi jumlah usuk yang diperlukan , pengukuran panjang lebar tapak, hingga bagian-bagian struktural. Naskah sumber utama petungan adalah dari primbon (Pandita Sabda 19



Nata, Jawa Makara, Sabda Pandita, dan Bataljemur Adam Makna), Serat Centhini (12 Jilid), dan Kawruh Kalang (Mangoendarma, Soeparmo Kridosasono, Soetoprawiro, Kapatihan Surakarta). 5. Factors of Constancy and Changes Adanya perubahan dan yang tidak berubah pada nDalem Ngabean terkait dengan adanya pola perilaku masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbedanya kebutuhan masyarakat pada suatu masa. Seperti halnya pada nDalem Ngabean yang kini memiliki Taman Ceria Kanak-kanak, menjadi area lomba kicau burung, dan tempat berjualan makanan. Dengan adanya perilaku tersebut, secara langsung mempengaruhi bentuk dasar bangunan dengan berbagai penambahan maupun pengurangan.



Perubahan-perubahan pada nDalem terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara manusia dan alam yang telah berubah dari masa ke masa dan dari individu hingga kelompok. Perilaku-perilaku tersebut terjadi secara bersamaan hingga menimbulkan kesesuaian dan persetujuan sosial. Barker (1968) mengungkapkan bahwa perilaku berbeda pada lingkungan spesifik dapat didasari oleh: 1. Perilaku emosional nyata (overt emotional behavior) 2. Perilaku pemecahan masalah (problem) 3. Aktivitas pergerakan (gross motor activity) 4. Interaksi antar-personal (interpersonal interaction) 5. Manipulasi obyek-obyek (manipulation of objects) Dengan adanya perilaku lingkungan yang berbeda ini, menajdikan adanya perubahan yang berbeda dan pengaruh yang berbeda pula dari masyarakat tertentu, pada waktu tertentu, dan di nDalem tertentu yang berkaitan dengan adanya hubungan antar masyarakat baik sejarah, latar belakang, kesamaan visi misi, dsb.



20



SIMPULAN Surakarta memiliki sebuah kampong yang diberi nama Baluwarti dimana pada masanya merupakan area kerajaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Terdapat 9 nDalem yang memiliki keunikan sesuai konteks dari penghuninya, menjadikan nDalem di kawasan Baluwarti ini layak untuk menjadi cagar budaya. NDalem-nDalem yang ada di Kampung Baluwarti ini dalam pembuatannya memperhitungkan segala hal yang berkaitan dengan tata peraturan Jawa atau biasa disebut petung. Namun dengan adanya banyak faktor pengubah bentuk sesuai konteks lingkungan, seluruh nDalem pada kawasan Baluwarti ini berubah sesuai konteks yang berlaku dan perkembangan masyarakat di sekitarnya. NDalem Ngabean merupakan salah satu nDalem yang dulunya ditinggali pangeran Kerajanan Keraton Kasunanan Surakarta. Namun kini setelah tidak adanya penghuni yang mendiami nDalem tersebut, banyak perubahan yang terjadi karena adanya Modifying Factors dan Socio-Cultural Factors. Kedua factor ini merupakan dampak dari kontekstualnya nDalem Ngabean dengan unsur yang mempengaruhi berupa masyarakat sekitar nDalem; lingkungan existing yang telah berubah; perubuhan kebutuhan akan ruang; kondisi ekonomi dalam upaya perawatan bangunan; dan faktor religion value. NDalem Ngabean yang dulunya merupakan hunian bangsawan dengan beberapa unit rumah abdi dalem di sekitarnya sekarang beralih fungsi menjadi taman kana-kanak semi permanen di area pendopo sebelah kanan dan area perlombaan burung pada bagian pringgitan sebelah kiri. Beralihnya fungsi ini tidak terlepas dari budaya area nDalem Ngabean saat dahulu, dimana dulunya area pendopo ini memang sering digunakan sebagai tempat anak-anak dari Abdi Dalem belajar membaca, menulis, dan menghitung namun tanpa adanya dending semi permanen pada pendopo. Selain itu budaya memelihara burung oleh Abdi Dalem saat jaman dahulu pun sekarang diteruskan oleh keturunannya yang menjadikan area pringgitan dan pendopo sebagai tempat lomba kicau burung setelah tidak ada yang mendiami nDalem ini. Pergantian dan penerusan fungsi nDalem Ngabean ini sebenarnya merupakan hal yang positif demi menjaga kelestarian bangunan agar tetap mempunyai aktivitas sehingga bangunan tetap aktif. Namun perlu dipertimbangkan juga bagaimana perawatan ruang lain yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. NDalem Ngabean ini seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena meski sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya namun tidak memperoleh sedikitpun biaya untuk perawatan bangunan, sehingga masyarakat sekitar yang tinggal di sekitar nDalem harus membiayai perawatan dengan mendirikan TK, warung makan, dan event perlombaan burung. 21



SUMBER REFERENSI



\ Broadbent, Geoffrey. (1973), Design in Architecture. Architecture and the Human Sciences., John Wiley and Sons ltd: London Broadbent, Goofrey. (1980), Design In Architecture, New York: John Willey and. Sons. Brent, Brolin (1980), Architecture in Context, New Yoryk: Nostrand Reinhold Company Budiharjo (1997), Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Dajambatab Creswell, John W. (2014), Research Design: Fourth Edition, SAGE Publication, Inc. Dakung, Sugiarto (1982), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Depdikbud Kerr, N.L. (1983), Motivation Losses in Small Groups: A Social Dilemma Analysis, Journal of Personality and Social Psychology, 45 (4) Newman, I., Benz, C.R. (1998), Qualitative Quantitative Research Methodology: Exploring The Interactive Continuum Mangunwijaya, Y.B. (1988), Wastu Citra, Jakarta: Gramedia Marshall, Lane L. (1981), Landscape Architecture: Guidelines to Professional Practice BookCrafters, Inc., Chelsea, Michigan Pena, William (1977), Problem Seeking: An Architectural Programming Primer, Wall Company Inc., Houston, Texas Rapoport, Amos (1976), The Mutual Interaction of People and Their Built Environment, Berlin: De Gruyter Mouton Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture, Englewood: NJ Prentice Snyder, James C, and Anthony J Catanese (1979), Introduction to Architecture, Mc Graw-Hill, Inc. Wahyudi, Bambang (2002), Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Sulita Yunus, Hadi S. (2010), Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka P.



22