APP Perforasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG Refleksi Kasus “Seorang Laki-laki Datang Dengan Keluhan Nyeri Perut Kanan Bawah Sejak 3 Hari”



Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Stase Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr.Adhyatma, MPH



Diajukan Kepada : Pembimbing : dr. Bondan Prasetyo, Sp.B Disusun Oleh : Fachru Riza Achmad (H2A013009P)



Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG Rumah Sakit Umum Daerah dr.Adhyatma, MPH 2017



1



LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN ILMU BEDAH Presentasi Laporan Refleksi Kasus dengan judul : “Seorang Laki-laki Datang Dengan Keluhan Nyeri Perut Kanan Bawah Sejak 3 Hari” Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Stase Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr.Adhyatma, MPH



Disusun Oleh: Fachru Riza Achmad (H2A013009P)



Telah disetujui oleh Pembimbing: Nama pembimbing Tanda Tangan dr. Bondan Prasetyo, Sp. B



.....................



Tanggal ......................



2



BAB I LAPORAN KASUS



A.



IDENTIFIKASI Nama



: Tn. P



Umur



: 30 tahun



Jenis kelamin



: Laki-laki



Agama



: Islam



Alamat



: DS Ismail Disekdrono, Semarang



Kebangsaan



: Indonesia



No. RM



: 57-11-33



Bangsal



: Angrek



MRS



: 13 September 2017



B. ANAMNESA (autoanamnesis, 14 September 2017) Keluhan Utama



: Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.



Keluhan Tambahan



: Demam, mual.



Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang ke RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang terjadi secara tiba-tiba sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan semakin hari nyeri semakin bertambah berat serta terus menerus. Nyeri mula – mula dirasakan di daerah uluhati, kemudian menjalar kebagian perut kanan bawah (paling nyeri) dan terus menjalar ke seluruh perut sampai pasien sakit jika bergerak. Pasien sudah memeriksakan sakitnya di poliklinik, namun nyeri masih dirasakan sehingga pasien berobat ke RSUD tugurejo semarang. Pasien merasa tidak nyeri jika tidak banyak bergerak, mual (+), muntah (-), demam (+), kentut (+), BAK dan BAB tidak ada kelainan.



3



Riwayat Penyakit Dahulu Keluhan perut melilit dan mencret sebelumnya disangkal Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal Riwayat darah tinggi, kencing manis, operasi perut, serta alergi obat disangkal. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal Riwayat darah tinggi, kencing manis serta keganasan disangkal. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien sudah menikah dan memiliki seorang anak. Pasien merupakan seorang karyawan swasta. Biaya pengobatan menggunakan BPJS NON PBI (JAMSOSTEK) C. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal pemeriksaan: 14 September 2017 Keadaan Umum Kesadaran



: Compos Mentis



Tekanan darah



: 120/80 mmHg



Nadi



: 98 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup.



Pernapasan



: 23 x/menit



Suhu



: 38.7 °C



BB



: 50 kg



TB



: 165 cm



IMT



: 18,7 kg/m2 (normoweight)



Keadaan Spesifik Kulit Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis (-), spider nevi (-), temperatur kulit hangat, telapak tangan dan kaki pucat (-), pertumbuhan rambut normal. Kelenjar Kelenjar getah bening di submandibula, leher, aksila, inguinal tidak teraba. Kepala Normocephali, simetris, ekspresi tampak sakit sedang, warna rambut hitam keputihan, deformitas (-) 4



Mata Eksophtalmus (-), endophtalmus (-), edema palpebra (-), konjunctiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke segala arah baik. Hidung Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-) Telinga Kedua meatus acusticus eksternus normal, nyeri tarik auricula (-), nyeri tekan tragus (-) Mulut Pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan. Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), diffuse, bruit sound (-), JVP (5-2) cmH2O, hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk (-) Thorax Paru-paru Inspeksi



: statis: dinamis; simetris kanan = kiri



Palpasi



: stem fremitus kanan sama dengan kiri



Perkusi



: sonor pada kedua lapangan paru



Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-) Jantung Inspeksi



: ictus cordis tidak terlihat



Palpasi



: ictus cordis tidak teraba



Perkusi



: batas kiri atas ICS II linea parasternalis sinistra, batas kanan bawah ICS V linea sternalis dextra, batas kiri bawah: línea midclavicularis sinistra ICS V 2 cm kearah medial



Auskultasi : HR 98 kali/menit, murmur (-), gallop (-)



5



Abdomen Inspeksi



: permukaan datar, simetris, warna sama dengan kulit sekitar.



Auskultasi : bising usus (+) normal Perkusi



: timpani seluruh lapang abdomen



Palpasi



: Nyeri tekan (+) di region iliaka kanan, umbilicalis, lumbal kanan.



Genitalia



: tidak ada kelainan



Ekstremitas : dalam batas normal Pemeriksaan Tambahan



D.



-



Nyeri tekan Mc Burney (+) hebat



-



Nyeri lepas (+)



-



Rovsing sign (+)



-



Obturator sign (+)



-



Defense muscular (-)



-



RT : Nyeri pada jam 9



PEMERIKSAAN PENUNJANG Tanggal 14 September 2017 1. Hematologi Rutin Leukosit : 13,04 103/µl Eritrosit : 5,05 106/µl Hemoglobin : 15,60 g/dl Hematokrit : 45,30 % Trombosit : 180 103/µl Eosinofil : 0,30 % Basofil : 0,20 % Neutrofil : 76,90 % Limfosit : 14,20 % Monosit : 8,40 %



(3,8-10,4) H (4,4-5,9) (13,2-17,3) (40-52) (150-440) (2-4) L (0-1) (50-70) H (25-40) L (2-8) H



E. DIAGNOSIS Diagnosis Sementara Appendisitis akut perforasi Diagnosis banding -



Gastroenteritis



-



Colitis ulseratif



-



Ureterolithiasis 6



F. DIAGNOSIS KERJA Appendisitis Akut Perforasi G. PENATALAKSANAAN  Infus RL 20 tpm  Inj Ceftriaxon 1x2gr  Inj Ketorolac 2x1 amp  Konsul Sp.B : Laparotomi, Apendiktomi I.



PROGNOSIS Quo ad vitam



: dubia ad bonam



Quo ad functionam



: dubia ad bonam



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



7



II.1 Anatomi Appendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa panjang dariapendiks sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3 sampai 8 mm dan diameter dalamlumennya berukuran antara 1 sampai 3 mm, dan berpangkal pada sekum. Lumen appendikssempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut dengan pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian ujungnya. Bagian ujung dariappendiks dapat berlokasi dimana saja pada kuadran kanan bawah dari abdomen atau pelvis.Basis dari appendisitis dapat ditemukan dengan menelusuri taenia coli yang berjalan longitudinaldan berkonfluensi pada caecum. Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri ileocolica. Arteri initerletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke mesoapendiks dekat dari basis appendiks.Percabangan arteri kecil terbentuk pada titik tersebut dan meneruskan diri sebagai arteri caecal.Perdarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.



Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang terletak sepanjangperjalanan arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari elemen simpatis pleksus mesentericsuperior (T10-L1),



8



oleh karena itu nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabutafferentnya berasal dari elemen parasimpatis nervus vagus.



Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis 1



Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama, lapisan muskularis yangtidak tersebar secara merata dan mungkin terdapat defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa,dimana terdapat



agregasi



jaringan



limfoid



dengan



atau



tanpa



disertai



struktur



tipikal



dari



centrumgerminativum. Pembuluh limfe lebih prominen pada regio dibawah agregasi limfoid. Ketiga, mukosayang menyerupai dari usus besar kecuali terdapat perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta padaappendiks memiliki iregularitas baik dari ukuran dan bentuk, berbeda dengan kripta pada colon yangmemiliki gambaran uniform. Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion, sel Schwann, seratneural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari kripta-kripta pada appendiks. Serotoninmerupakan produk sekretorik utama dan dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks non-inflamasi. Kompleks ini diduga sebagai sumber dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh karenanyaappendiks dikenal sebagai tempat asal utama tumor-tumor karsinoid.



II.2 Fisiologi Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk anatomisnya sebagai organ berongga, dimana fungsi dari appendiks ini tidak diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh 9



GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam memproduksi cairan, musin, danenzimenzim proteolitik, Appendiks dapat menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. II.3 Insidensi Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengankelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan olehmeningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi padakelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnyasebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi. II.4 Etiologi dan faktor resiko Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam 10



terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6 Bakteriologi Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 1,2,7) Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.



2)



Flora



normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7 Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acute 2 Bakteri Aerob dan Fakultatif Batang Gram (-)



Bakteri Anaerob Batang Gram (-)



Eschericia coli



Bacteroides fragilis



Pseudomonas aeruginosa



Bacteroides sp.



Klebsiella sp.



Fusobacterium sp.



Coccus Gr (+)



Batang Gram (-)



Streptococcus anginosus



Clostridium sp.



Streptococcus sp.



Coccus Gram (+)



Enteococcus sp.



Peptostreptococcus sp.



Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau 11



penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi. 2,6 Peranan lingkungan: diet dan higiene 7 Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith. II.5 Patogenesis Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2 Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7 Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7 Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan 12



kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.6 Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6 Appendix



yang



mengalami



obstruksi



merupakan



tempat



yang



baik



bagi



perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan



tekanan



intraluminal Appendix. Akhirnya,



peningkatan



tekanan



ini



menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.6 Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih



13



tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6 Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6 Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 1,7 Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang, dinding Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.1,7 Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat (bedrest). 1,9 Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 8



II.6 Gambaran klinis Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis akut 14



adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.



1,2,3,7,8



Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. 2,8 Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. 2,3,8 Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix.12,13 Tabel 2. Gejala Appendicitis acuta 9) Gejala*



Frekuensi (%)



Nyeri perut Anorexia Mual Muntah Nyeri berpindah Gejala sisa



100 100 90 75 50 klasik



(nyeri



periumbilikal



kemudian



anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian 50 demam yang tidak terlalu tinggi) *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor 6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.11) Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2 Gejala Klinik



Value 15



Gejala



Adanya migrasi nyeri Anoreksia Mual/muntah Nyeri RLQ Nyeri lepas Febris Leukositosis Shift to the left



1 1 1 Tanda 2 1 1 Lab 2 1 Total poin 10 Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.2 Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.12,13 Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.12 Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.13 II.7 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah appendiks sudah



mengalami



hanya mengalami



ruptur



ketika



sedikitperubahan



pasien



pertama kali



di periksa. Tanda-tanda



pada appendicitis tanpa



vital



komplikasi. Kenaikan



suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 ± 38,5oC) dan nadi normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna biasanyamengindikasikan adanya komplikasi atau adanya penyakit lain. Pasien dengan appendisitis biasanya lebih enak dengan posisi supine (telentang) dengan tungkai atas ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa nyeri. Apabila 16



diperintahkan untuk bergerak,mereka akan melakukannya dengan perlahan-lahan dan dengan hati-hati. Tanda ´klasik´ kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada posisi anterior. Rasanyeri terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney. Hal ini mengindikasikan adanya iritasilokal peritoneum. 1. Rovsing’s sign: Nyeri kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri bawah (daerah kontralateralnya). Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum. 2. Blumberg sign: Nyeri di kuadran kanan



bawah



ketika



tekanan



pada kuadran



kiri bawah (daerah kontralateralnya) dilepaskan. Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum. Burnbe 3. Psoas sign: Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot



tersebut.



Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan mengekstensikan paha kanan yang



mengakibatkan



peregangan



dari



m.



Iliopsoas. Test



(+)



bila ekstensi



menimbulkan rasa sakit karena appendiks yang meradang menempel di m.Psoas. 4. Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut. Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksilalu dilakukan rotasi interna secara pasif. 5. Dunphy’s sign: Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila sengaja dibatukkan (cough sign). Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah 17



perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Hubungan Patofisiologi dengan Manifestasi Klinik Kelainan Patologi



Gejala dan Tanda



Peradangan awal



nyeri ulu hati, mungkin kolik



Appendicitis mukosa



Nyeri tekan kanan bawah (rangsanganotonomik)



Radang di seluruh ketebalan dinding



Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,mual, dan muntah



Appendicitis komplit / radang



Rangsangan peritoneum lokal (somatik),nyeri pada gerak aktif



peritoneumparietal appendiks



dan pasif, defansmuskular local



Radang jaringan yang menempel pada appendiks



Genitalia interna, ureter, m. Psoas, vesicaurinaria, rectum



Appendicitis gangrenosa



Demam, takikardi, leukositosis



Perforasi



Nyeri dan defans muskular seluruh perut



Perbaikan :   



Tidak berhasil Berhasil Abses



Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,toksik Massa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur membaik Demam remiten, KU toksik, keluhan dan tanda setempat



II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG 



LABORATORIUM Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess. CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan. Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%. Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi 18



Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria. 



RADIOLOGI Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat



sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah. Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis. II.9 DIAGNOSIS BANDING Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.Inflamasi dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan, namun penyakit ini memiliki pathogenesis dan perjalanan penyakit yang menyerupai appendicitis. Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perlu dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan). Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat



19



memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah kanan dan pyuria. Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronisdari pola defekasi. Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang telah disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: rupture dari kista maupun folikel ovarii, torsio ovarii, kehamilan ektopik, juga salpingitis akut. Pada wanita usia premenopause, endometriosis merupakan salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik, yang pada keadaan akut sering menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai kelainan ginekologis yang dapat menyerupaiapendisitis maka perlu ditanyakan riwayat ginekologis pasien dan pola siklus menstruasinya. II.10 PENATALAKSANAAN Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi 20



abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah secara konservatif. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat : 1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi. 2. Diet lunak bubur saring 3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dapat dilakukan drainase dan apendiktomi dikerjakan 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah. Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase. Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci 21



tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT. Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu dengan : •



LED







Jumlah leukosit







Massa



Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan: 1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi; 2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan 3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.16 Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat : 1. Bila LED telah menurun kurang dari 40 2. Tidak didapatkan leukositosis 3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil lagi. Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa o Apakah penderita sudah bed rest total o Pemberian makanan penderita o Pemakaian antibiotik penderita o Kemungkinan adanya sebab lain. 4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. 5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase. Teknik operasi Appendectomy 1,2,6,8): a. Open Appendectomy 1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal



Oblique



22



3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis.



sayatan M.rectus abd.



M.rectus abd. ditarik ke medial 2 lapis



b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot. 1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke medial bawah.



Keterangan gambar: 23



Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis externus. 2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.



Keterangan gambar: Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah dengan seratnya ke arah lateral. 3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.



Keterangan gambar: Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf. 4. Peritoneum dibuka.



24



Keterangan gambar: Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar. Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat. 5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke jaringan sekitarnya). Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara: Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.



Keterangan gambar: Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi. 25



6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).



7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.



8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara: a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z. b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko kontaminasi dan adhesi. c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.



26



9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde). 10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis. b. Laparoscopic Appendectomy Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta.1



2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI 1) 1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis. 2. Hernia cicatricalis. 3. Ileus 4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum. II.11 KOMPLIKASI Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri darikumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus halus



27



Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kananbawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asalperforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium(setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasilkultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif. Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin,gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yangletal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelahterjadi perforasi apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominallain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan. II.12 PROGNOSIS Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi operatif, namunkomplikasi dapat muncul apabila terjadi keterlambatan dalam penatalaksanaan atau bila sudah terjadiperitonitis. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik,komplikasi, dan keadaankeadaan lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk penyembuhan memerlukan waktu sekitar 10 dan 28 hari. Pada anak-anak (usia kurang lebih 10 tahun), penyembuhan memerlukan waktu sekitar tiga minggu. Peritonitis



yang



mengancam



nyawa



merupakan



alasan



mengapa



apendisitis



akut



memerlukanevaluasi dan penatalaksanaan secara cepat. Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat baik dengan apendektomi, dan terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh 28



denganspontan, masih merupakan kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan apendektomi elektif untuk mencegah apendisitis rekuren. Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit untuk didiagnosis danlebih cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah dilakukan operasi secara dini. Pada keduakeadaan diatas diagnosis secara tepat dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhanpenuh terjadi antara dua sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya jarang ditemui,namun dapat terjadi apabila peritonitis berlanjut dan tidak mendapat terapi. Terdapat pula topicpembahasan yang sering mendapat perhatian mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatumassa yang terdiri dari omentum dan usus yang saling melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya infeksi. Selama masa ini, tindakan apendektomi akansangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan pus yang dibuktikan dengan adanya demam dantoksisitas atau dengan USG. Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui, yaitu terjadinya inflamasi pada sisa apendiks yang tertinggal setelah apendektomi yang tidak komplit.



BAB III REFLEKSI KASUS 1. Perasaan terhadap pengalaman Menurut saya kasus ini merupakan pengalaman yang menarik karena kasus ini merupakan kasus akut abdomen yang membutuhkan penanganan segera berupa operasi, karena apabila tidak segera dioperasi bisa terjadi komplikasi berupa peritonitis. Pada pasien ini hampir semua tanda khas appendicitis akut perforasi dapat ditemukan secara jelas, misal : nyeri tekan Mc Burney (+), nyeri lepas (+), rovsing sign (+), obturator sign (+), RT nyeri pada jam 9 (+). 2. Hubungan emosional pribadi Menurut saya kasus ini merupakan masalah yang tidak menyenangkan bagi pasiennya dan merupakan kasus yang menarik bagi saya. 3. Evaluasi



29



Dari kasus ini pengalaman yang baik bagi saya yaitu saya dapat melakukan pemeriksaan langsung pada pasien dan menemukan hasil yang positif pada gejala khas appendicitis akut perforasi yang merupakan kasus kegawatan abdomen. Namun ada juga evaluasi pengalaman buruknya, dimana saat saya follow up saya bertanya mengenai sholat dan dzikir, pasien mengatakan kurang mendekatkan diri kepada Allah SWT, jarang solat dan dzikir. Padahal Allah lah yang memberikan sakit dan menyembuhkannya seperti sabda Rasulullah SAW : “Dari Anas RA ia berkata : sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah Azza wa jalla dimana Dia menciptakan penyakit, Dia tentu menciptakan pula obat, maka kamu sekalian berobatlah.” (HR. Ahmad). Disini saya mengajarkan bagaimana cara tayamum dan solat saat sakit dengan tidur. Saya juga menjelaskan kepada pasien bahwa kita harus sabar dengan segala cobaan. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 153 yang artinya : “Wahai orang – orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan solat, sesungguhnya Allah beserta orang – orang yang sabar.” 4. Analisis Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi appendicitis. Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di region iliaka kanan, perut menjadi tegang dan kembung, peristaltic usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Perbaikan keadaan umum dengan infuse, pemberian antibiotik untuk kuman gram negative dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan, Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah. Pada kasus ini dilakukan laparotomi appendictomi.



30



DAFTAR PUSTAKA



1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93 2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34 3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72 4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www .talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg 5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x. jpg 31



6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222 7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62 8. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 1466-78 9. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html 10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif 11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado score



in



acute



Appendicitis.



Retrieved



at



Desember



13th



2012.



From:



http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf



32