Appadekko Ri Sampulungan (Skripsi Muhammad Ismail) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TRADISI APADEKKO PADA MASYARAKAT DI DESA SAMPULUNGAN, KABUPATEN TAKALAR: ANALISIS STRUKTURAL-FUNGSIONAL



SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin



Oleh MUHAMMAD ISMAIL Nomor Pokok F 511 14 302



UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019



i



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih dianggap memiliki nilai-nilai yang cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat pendukungnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat berkomunikasi dengan arwah para leluhur, juga merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap alam atau lingkungannya. Hubungan antara alam dan manusia adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena hubungan tersebut memiliki nilai-nilai sakral yang sangat tinggi. Hal ini diungkapkan dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni kepercayaan pada makhluk gaib, kepercayaan pada dewa pencipta, dan mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial sebagai hubungan antara binatang-binatang, burung-burung, atau kekuatan-kekuatan alam (Keesing, 1992: 131). Upacara adat erat kaitannya dengan ritual-ritual keagamaan atau disebut juga dengan ritus. Ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Kepercayaan seperti inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual-ritual. Baik ritual keagamaan (religious ceremonies) maupun ritua-ritual adat lainnya yang dirasakan oleh masyarakat pada saat1



saat genting, yang bisa membawa bahaya gaib, kesengsaraan, dan penyakit kepada manusia maupun tanaman (Koentjaraningrat, 1985: 243-246). Pelaksanaan upacara adat maupun ritual keagamaan yang didasari atas adanya kekuatan gaib masih tetap dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat di Indonesia, baik berupa ritual kematian, ritual syukuran atau selamatan, ritual tolak bala, ritual ruwatan, dan lain sebagainya (Marzuki, 2015:1). Ritual-ritual ini telah menjadi tradisi dan bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat, karena telah diwariskan secara turuntemurun oleh nenek moyang mereka kepada generasi berikutnya. Adanya berbagai ritual dan tradisi yang dilakukan telah memperkokoh eksistensi dari agama yang dianut oleh masyarakatnya. Tradisi yang berkaitan dengan siklus kehidupan berkembang dan menjadi kuat ketika telah mengakar dan membudaya di tengah kehidupan masyarakat, dimana esensi ajarannya sudah masuk dalam tradisi masyarakat karena tidak sekadar “pepesan kosong” yang tidak memiliki arti dalam sanubari budaya masyarakat. Berbicara tentang ritual seperti yang dijelaskan di atas, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang masyarakatnya masih melaksanakan beberapa ritual. Pada dasarnya, Sulawesi Selatan terdiri atas beraneka ragam suku, yakni Suku Bugis, Makassar, dan Toraja,. Masing-masing suku tersebut memiliki tradisi atau ritual yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, Sulawesi Selatan terdiri atas beraneka ragam bahasa.



2



Bentuk-bentuk ritual yang dilakukan oleh berbagai suku di Sulawesi Selatan tersebut, antara lain perkawinan, pesta adat, kematian, dan lain sebagainya. Masing-masing bentuk upacara dilakukan dengan cara-cara tertentu yang menjadi ciri khas dari masing-masing suku. Ciri khas tersebut masih ada yang dipertahankan oleh masyarakat dan tidak mengalami perubahan sama sekali. Di sisi lain, ada yang mengalami perubahan atau malah hilang sama sekali sebagai suatu tradisi yang menjadi bagian dari masyarakat. Salah satu ritual yang masih dilaksanakan, salah satunya adalah ritual pesta pacsa panen. Hampir setiap daerah masih melaksanakan, tetapi di setiap daerah mempunyai keunikkan masing-masing dalam ritual pesta pasca panen. Salah satu daerah yang masih mempertahankan tradisi Apadekko ialah Desa Sampulungan, Kabupaten Takalar. Menurut BPS (BadanPusat Statistik) Kabupaten



Takalar



tahun



2013-2016, menyatakan



bahwa mayoritas



masyarakat Desa Sampulungan berprofesi sebagai petani dan nelayan. Pada dasarnya, Tradisi Apadekko merupakan wujud dari rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen padi yang melimpah bagi warga Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar yang dirayakan dengan cara yang unik. Tradisi Apadekko melibatkan empat orang wanita dan enam orang pria dalam proses pelaksanaannya. Tradisi turun-temurun warga Desa Sampulungan yang diperingati setahun sekali ini dimulai dengan "meminta izin" di Makam Karaeng Sampulungan. Usai menyekar makam, para peserta Tradisi Apadekko ini kemudian melanjutkan ziarah ke Bungung Baraniyya atau sumur orang-orang berani, sebelum menuju lapangan tempat



3



pertunjukan Apadekko. Di Bungung Baraniyya, para peserta Tradisi Apadekko mendapatkan kekuatan magis. Hal ini juga merupakan proses penerimanan kekebalan. Setelah diisi kekebalan, para peserta Tradisi Apadekko ini kemudian mengelilingi Poko' Rita atau pohon kembar yang tingginya menjulang.



Keunikkan Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar adalah pada proses terakhir dalam ritual. Proses terakhir dalam Tradisi Apadekko, yakni mementaskan tari memukul-mukul antan dengan kayu alu dan batu yang secara kasat mata dipandang ekstrim oleh masayarakat umum. Para peserta Apadekko memamerkan kekebalannya menerima pukulan, baik dengan menggunakan kayu alu, maupun dengan menggunakan batu kali berukuran besar. Atraksi saling pukul-memukul ini diperuntukkan sebagai penyemangat bagi para pria tangguh dari Desa Sampulungan. Dahulu kala, yang melakukan Apadekko biasanya orang yang sudah dimandikan di Bungung Baraniyya untuk mengikuti perang, yang disebut To Baraniyya. Keunikkan lain dari Tradisi Apadekko ialah dilaksanakan silahturahmi dari rumah ke rumah. Masyarakat menyediakan makanan untuk menyambut tamu yang hendak datang ke rumah. Menurut Bupati takalar yang dirilis oleh Sindonews.com pada tanggal, Jumat, 24 Mei 2013, menyatakan bahwa tradisi Apadekko yang merupakan tradisi pesta panen masyarakat di Desa Sampulungan, Kabupoten Takalar telah ada sejak masa leluhur mereka di masa kerajaan Gowa di Abad ke-16. Tradisi Apadekko ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya. 4



Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural-fungsional. Pendekatan struktural-fungsional dalam penelitian diterapkan karena di dalam Tradisi Apadekko terdapat realitas-realitas menggambarkan struktur dan nilai-nilai. Struktur sosial dan fungsi tersebut akan dianalisis menggunakan pendekatan struktural-fungsional dan konsep nilai dalam tradisi. B. Identifikasi Masalah Apadekko merupakan ritual yang dilakukan secara rutin setiap tahun di Desa Sampungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Tradisi Apadekko masih dilestarikan oleh masyarakat di Desa Sampulungan sampai sekarang ini. Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pada masyarakat di Desa Sampulungan, Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Tradisi Apadekko memiliki struktur dan fungsi. Oleh karena itu, diperlukan untuk mengkaji struktur sosial fungsi pada Tradisi Apadekko. b.



Tradisi Apadekko memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut perlu dikaji atau diteliti;



c. Tradisi Apadekko memiliki peranan penting dalam pembentukkan kebudayaan pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong



5



Utara, Kabupaten Takalar. Peranan dalam pembentukkan kebudayaan tersebut harus dilakukan sebuah pengkajian; d. Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan dengan Apadekko pada masyarakat lainnya di Kabupaten Takalar memiliki hubungan yang erat. C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penelitian ini memfokuskan penelitian pada struktur dan nilai-nilai dari Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Penelitian ini akan membahas secara menyeluruh dan detail struktur sosial fungsi pada Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Struktur sosial apakah yang terdapat dalam Tradisi Apadekko pada masyarakat



di Desa Sampulungan,



Kecamatan



Galesong Utara,



Kabupaten Takalar? 2. Fungsi sosial apakah yang ditemukan dalam Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar?



6



E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini ialah: 1. Untuk mengetahui struktur sosial yang terdapat dalam Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. 2. Untuk menganalisis fungsi sosial yang ditemukan dalam Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni manfaat teoretis maupun manfaat praktis. a. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai sumbangsih ide dan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan kebudayaan, khususnya tentang Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan; 2. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi ilmiah, sehingga Tradisi Apadekko dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat dan generasi selanjutnya, khususnya generasi muda; 3. Menumbuhkan kesadaran bahwa pentingnya mengkaji tentang tradisi masyarakat Sulawesi Selatan; 4. Tradisi Apadekko dapat diketahui secara luas oleh masyarakat umum.



7



b. Manfaat Praktis 1. Bagi penulis, penelitian ini menambah pegetahuan tentang Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar; 2. Bagi peneliti, dapat menjadi bahan referensi dalam mengembangkan dan melakukan penelitian selanjutnya tentang Tradisi Apadekko pada masyarakat



di Desa Sampulungan,



Kecamatan



Galesong Utara,



Kabupaten Takalar; 3. Bagi pemerintah, penelitian ini menjadi landasan atau pedoman pemerintah untuk mendukung agar Tradisi Apadekko dapat lebih diperhatikan dan dilestarikan, agar kiranya dapat dinikmati oleh generasi muda selanjutnya.



8



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Landasan Teori 1. Struktural-Fungsional a. Pengertian Struktural-Fungsional Struktural-fungsional



dinamakan



juga



sebagai



fungsionalisme



struktural. Fungsionalisme struktural memiliki domain di teori Konsensus. Masyarakat dalam perspektif teori ini dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan bekerja secara teratur, menurut norma dan teori yang berkembang (Purwanto, 2008: 12). Struktural-fungsional adalah sebuah sudut pandang luas dalam ilmu sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah



struktur



dengan



bagian-bagian



yang



saling



berhubungan.



Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituenya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi (Idi, 2013: 24). Teori ini juga merupakan bangunan yang bertujuan mencapai keteraturan sosial. Pemikiran Struktural-fungsional sangat terpengaruh dengan pemikiran biologis, yaitu terdiri atas organ-organ yang mempunyai saling ketergantungan yang merupakan konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.



9



b. Struktural-Fungsional Radcliffe Brown Radcliffe Brown (1881-1955) merupakan salah seorang ilmuwan yang sangat penting dan dihormati dalam bidang antropologi. Radcliffe Brown menikmati popularitas profesional yang tinggi selama perjalanan karirnya. Popularitas tersebut tetap gemilang sampai sekarang ini. Popularitas yang diraih Radcliffe Brown berasal dari pikirannya yang tajam dan terbuka. Selain itu, popularitasnya juga berasal dari perjalanannya keliling dunia melintasi lima benua. Struktural-fungsional menurut Radcliffe Brown adalah sebuah teori yang menggagaskan sebuah kerangka kerja yang menggambarkan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan struktur sosial dan peradaban masyarakat tertentu. Radcliffe Brown menggunakan tiga konsep, yakni proses (process), fungsi (function), dan struktur (structure) (Koentjaraningrat, 1980: 172-177). Struktural-fungsional Radcliffe Brown dalam menjelaskan fungsi, Ihormi (1986: 61-62), berpandangan bahwa kita tidak dapat berasumsi bahwa semua kebiasaan dalam satu masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan masyarakat tersebut pada saat itu “jalan” atau berfungsi. Namun, hal terpenting adalah orientasi teoretis ini tidak berhasil memberi penjelasan mengapa sesuatu masyarakat memilih cara pemenuhan kebutuhan struktural sosial yang sifatnya tertentu. Radcliffe Brown mengemukakan gagasan dan pandangannya terhadap kehidupan



sosial



kebudayaan



melalui



karyanya



“The



Andaman



10



Islanders”(1922). Karangan tersebut menguraikan dan mendeskripsikan aspek kekerabatan upacara yang terkait dengan mitos yang dilakoni dalam penduduk Andaman. Karyanya hampir bersamaan dengan terbitnya karya etnografi  Malinowski. Beberapa tokoh yang telah mengoreksi kedua karya dari Malinowski dan Radcliffe Brown menyimpulkan adanya kesamaan pandangan dari metode keduanya mendeskripsikan bentuk kebudayaan, yakni aspek struktur sosial yang digambarkan terintegrasi secara fungsional dan hingga kini dikenal dengan kerangka konsep struktural-fungsional. Melalui karangannya Radcliffe Brown juga telah merumuskan metode pendiskripsian terhadap karangan etnografi. Salah satunya ialah melalui aspek upacara. Aspek tersebut dirumuskan ke dalam beberapa bagian, sebagai berikut: 1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, harus ada suatu sentimen dalam jiwa warganya yang merangsang meraka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan mereka; 2. setiap unsur dalam sistem sosial dan setiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat menjadi pokok orientasi dari sentimenn tersebut; 3. Sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai pengaruh hidup warga masyarakat; 4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saat tertentu;



11



5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas dalam jiwa masyarakat dan bertujuan meneruskan kepada generasi berikutnya (Koetjaraningrat, 1980). Sama halnya dengan Malinowski melalui kerangka konsep fungsi dari suatu pranata, Radcliffe Brown juga memberikan asumsi tentang efek dari suatu keyakinan, upacara, adat dan aspek kebudayaan lainnya. RadcliffeBrown menggunakan istilah fungsi sosial untuk merujuk terhadap gejala dalam kehidupan sosial. Sifat dari metode pendeskripsian konsep tersebut tidak lain adalah hubungan-hubungan sosial dari kesatuan-kesatun secara terintegrasi. c. Struktur Sosial Pada dasarnya, berbicara tentang struktur berarti mengacu kepada semacam susunan hubungan antara komponen-komponen, seperti struktur kulit bumi, kimia yang mempelajari molekul-molekul, atau seperti struktur kalimat. Struktur ini juga terdapat pada kehidupan sosial manusia, memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Masyarakat adalah sebuah struktur sosial yang terdiri dari jaringan hubungan sosial yang kompleks antara anggota-anggotanya. Suatu hubungan sosial antara dua orang anggota tertentu pada waktu tertentu, di tempat tertentu, tidak dipandang sebagai satu hubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu jaringan hubungan sosial yang luas, yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang tersebut harus dilihat sebagai



12



bagian dari satu struktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajian ilmu sosial, menurut Radcliffe Brown (Amri Marzali, 2006). Sebuah struktur sosial yang menjadikan individu-individu sebagai komponen yang dapat dilihat sebagai  person yang menduduki posisi atau  status,  di dalam struktur sosial tertentu. Seseorang sebagai status sosial ialah seseorang yang berhubungan dengan orang lain dalam kapasitasnya sendiri yang berlainan satu sama lain. Perbedaan-perbedaan status sosial tersebut menentukan bentuk hubungan sosial. Dasar itu juga akan mempengaruhi struktur sosial. Suatu struktur sosial adalah jaringan hubungan antar individuindividu dan kelompok person. Dimensinya ada dua, yaitu hubungan diadik, artinya antar pihak (person atau kelompok), yakni pihak pertama dengan pihak kedua. Selain itu, juga diferensial antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda atau sebaliknya (Syarif Moeis, 2008). Struktur sosial memiliki bentuk yang tetap. Apabila berubah, proses tersebut biasanya berjalan lambat. Realitas struktur sosial atau wujud dari struktur sosial, yaitu person-person atau kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, selalu berubah dan berganti. Pada dasarnya, ada beberapa peristiwa yang membuat bentuk struktur sosial ini berubah, seperti peristiwa perang atau revolusi misalnya. Radcliffe Brown (1940) dalam Syarif Moeis, menyatakan bahwa struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat. Struktur sosial mencakup seluruh hubungan antara individu-individu pada saat tertentu. Oleh karena itu,



13



struktur sosial merupakan aspek non-prosesual dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem sosial yang bersangkutan. Istilah On Social Structure yang dalam dalam pidato Radcliffe Brown,  menerangkan bahwa: 1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri atas serangkaian gejala-gejala yang disebut gejala sosial. Alam semesta ini, seperti planet-planet yang beredar dan molekul-molekul yang bergerak sebenarnya terdiri atas berbagai rangkaian gejala alam; 2. Pada dasarnya, masyarakat yang hidup merupakan suatu klas dari gejalagejala alam yang lain. Hal ini juga dapat dipelajari dengan metodologi yang sama seperti metodologi yang dipergunakan untuk mempelajari gejalagejala alam semesta yang lain; 3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial. Sistem sosial mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisme, makhluk, dan molekul; 4. Suatu ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial, mempelajari struktur dan sistem-sistem sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur kulit bumi dan ilmu biologi yang mempelajari struktur. Ilmu kimia yang mempelajari struktur dari molekul-molekul; 5. Struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara individuindividu, dan kelompok individu; 6. Struktur sosial memiliki bentuk yang tetap. Apabila berubah, proses tersebut biasanya berjalan lambat. Realitas struktur sosial dan wujud dari 14



struktur sosial, yaitu person-person dan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya yang selalu berubah dan berganti; 7. Penelitian masyarakat di lapangan, seorang peneliti mengobservasi wujud dari struktur sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada pengertian tentang bentuknya bersifat abstrak; 8. Seorang ahli ilmu sosial mendeskripsikan suatu struktur sosial pada dimensi diadik; 9. Struktur sosial dapat dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas dari suatu sistem sosial dan satu kesatuan masyarakat; 10. Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial mempelajari strukturstruktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuankesatuan dan membandingkannya dengan metode analisa komparatif untuk mencari azas-azasnya (Syarif Moeis, 2008) 2. Ritual a. Pengertian Ritual Kata ritual berhubungan dengan ritus, yaitu tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI, 2007: 959). Menurut Hadi (2000: 29), menjelaskan bahwa ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang tulus, dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Setiap manusia sadar bahwa selain dunia yang fana ini, ada suatu alam dunia yang tidak mampu dilihat kasat mata dan berada di luar batas akal.



15



Dunia ini adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib. Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan caracara biasa. Oleh sebab itu, manusia pada dasarnya ditakuti oleh manusia lainnya (Koentjaranningrat, 2002: 220). Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan, suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin lama akan kembali. Ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat. Istilah lain adalah ritual agama merupakan cara bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhan (Siahaan, 1986: 25). Peranan upacara menurut Van Ball (1997: 12), baik ritual maupun seremonial adalah untuk mengingatkan manusia agar membiasakan dalam pelaksanaan upacara berkenaan dengan eksistensi dan hubungan lingkungan mereka. Manusia yang diingatkan ini harus mampu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alam. Clifford Geertz, berpandangan sebagaimana yang dikomentari oleh Kleden (1988: 14), bahwa ritus adalah tindakan yang mempersatukan dunia nyata dan dunia imajinatif dalam bentuk simbolik. Tindakan keagamaan terjadi apabila sistem simbol tersebut diresapi dengan suatu kekuatan yang luar biasa, yang dalam agama disebut yang Illahi atau yang kudus (suci).



16



Menurut Hobsbawn (2003: 1), ritual merupakan perangkat praktik yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-samar. Serta sifat simbolik yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan yang secara otomatis mengimplikasi adanya kesinambungan dengan masa lalu. Ritual menunjukkan adanya kesinambungan dengan masa lalu dan mewujudkan kekuatan unsurunsur religi. Hal ini menunjukkan kepercayaan manusia terhadap keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada manusia. Oleh karena itu, masyarakat menjalankan aktivitas ritual religi sebagai sarana komunikasi dengan alam gaib tersebut sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya (Purwasita, 2003:230). Iman merupakan bagian dari ritual, bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas pada pelaksanaan (Dhavamony, 1995: 167). Menurut Suhardi (2009: 12-13), ada tiga kategori jenis ritual, yaitu upacara sekuler, upacara semireligius, dan upacara religius. Upacara



semireligius



menurut



Suhardi



adalah



upacara



yang



mempunyai tujuan sekuler, tetapi juga secara jelas dan pada hakikatnya didasarkan pada sesuatu yang disakralkan. Upacara semireligius bertujuan untuk mencari jalan keselamatan, baik dalam bentuk keterpaduan masyarakat maupun membebaskan diri dari segala bentuk penyakit serta gangguan metafisik. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa17



dewa, roh nenek moyang, dan makhluk lain dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Ritus atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, maupun waktu-waktu tertentu saja, tergantung isi acara dan sejauhmana kebutuhan itu diperlukan. Endarswara (2003: 175) memberikan klasifikasi terhadap suatu ritual menjadi dua bentuk. Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Endarswara berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya akan mengalami krisis hidup (baik kesehatan maupun ekonomi) ketika sedang masuk dalam masa peralihan. Pada masa tersebut seseorang akan mengalami tahap krisis karena mengalami perubahan tahapan hidup. Kedua, ritual gangguan yaitu ritual sebagai negosiasi antara manusia dan roh agar tidak mengganggu manusia. Ritual secara umum adalah sistem upacara yang merupakan wujud kelakuan dan religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman, dan waktu tertentu. Menurut (Koentjaraningrat, 1994: 14), terkandung empat aspek dalam ritual, yaitu : (1) Keyakinan dan emosi, (2) tempat upacara keagamaan, (3) tempat pelaksanaan upacara, (4) waktu pelaksanaan upacara serta (5) bendabenda dan peralatan upacara serta orang yang melakukan dan memimpin jalannya upacara.



18



b. Komponen-Komponen Ritual Religi Ritual religi biasanya terdiri atas suatu kombinasi. Kombinasi tersebut yang merangkaikan satu, dua, atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, intositasi, dan bertapa atau semadi (Koentjaraningrat, 1985:44). Pengertian selanjutnya diungkapkan Hadi (2000), ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat kepada leluhur. 3. Kebudayaan dan tradisi a. Kebudayaan Kebudayaan dalam prespektif antropologi, merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat



yang



dijadikan



milik



diri



manusia



dengan



belajar



(Koentjaraningrat dalam Basrowi, 2005: 71). Kebudayaan dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri dan diberikan kepada masyarakat itu pula. Sehingga seringkali kita dapat melihat karakter suatu masyarakat dari hasil-hasil budayanya. Kebudayaan berasal dari kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Jadi, kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Kata lain dalam Bahasa Inggris yang juga berarti budaya adalah culture, berasal dari kata latin colere



19



yang artinya mengolah atau mengerjakan atau dapat diartikan segala daya dan upaya manusia untuk mengolah alam. Secara umum, kebudayaan dapat diartikan seluruh cara hidup suatu masyarakat. Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakantindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola- pola budaya. 6 Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi, dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui



usaha



individual



kelompok.



Koentjaraningrat



(1990:



180),



mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyrakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Clifford Geertz dalam (Saifuddin 2005: 288) mengemukakan definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sitem keteraturan dari makna dan simbolsimbol, yang dengan makna dan simbol-simbol tersebut individu-individu mendifinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik. Melalui



bentuk-bentuk



simbolik



tersebut



manusia



berkomunikasi, 20



memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber- sumber ekstrasomatik dari informasi; (4) kebudayaan adalah suatu simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diintrepetasi. Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu sendiri. Sekalipun manusia akan mati tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan terus diwariskan pada keturunannya. b. Tradisi Menurut Murgiyanto (2004: 10), menjelaskan bahwa tradisi adalah cara mewariskan pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke generasi dan dari leluhur ke anak cucu secara lisan. Pada dasarnya, tradisi merupakan bagian dari kebudayaan. Dilihat dari konsepnya, kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dilakukan secara berulangulang berdasarkan waktu tertentu dengan anggota masyarakat lain. Hasil karya yang dilakukan secara berulang-ulang tersebut telah menjadi suatu kebiasaan yang disebut dengan tradisi. Tradisi adalah suatu kebiasaan atau kepercayaan yang sudah sangat mendarah daging pada suatu masyarakat, yang apabila tidak dilaksanakan atau menyimpang akan mengakibatkan suatu kejelekan (Rafiek 2011: 38). Selain itu, secara khusus tradisi menurut C.A. van Peursen (1988: 11), diterjemahkan



21



sebagai proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, kaidahkaidah, dan harta-harta. B. Hasil Penelitian Yang Relevan Berdasarkan hasil penulusuran dan pembacaaan terhadap beberapa jurnal, skripsi, dan referensi lainnya, bahwa belum ada peneliti yang mengkaji tentang Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Namun, beberapa media telah memberitakan tentang Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, tetapi belum diteliti secara ilmiah. Media yang telah memberitakan Apadekko di Desa Sampulungan ialah, sebagai berikut: a. Tribuntakalar.com; b. Makassar.tribunnews.com; c. Jejakcelebes.blogspot.com. Pada dasarnya, terdapat peneliti yang telah melakuakn penelitian tentang Tradisi Apadekko. Salah satunya ialah Rahmat Hidayat (2016) dengan judul Solidaritas Sosial Masyarakat Petani Di Kelurahan Bontolerung Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini ialah hanya menjelaskan sedikit



tentang



Apadekko di



Kabupaten Gowa. Selain itu, Nurul Thayyibah (2017) dengan judul Trdaisi MApadekko Di Desa Walenreng Kecamatan Cina Kabupaten Bone (Studi Antropologi Budaya). Masalah yang dibahas dalam penelitian ini ialah prosesi



22



pelaksanaan Tradisi MApadekko, unsur-unsur budaya islam yang terdapat dalam Tradisi MApadekko, dan faktor-faktor yang menyebabkan Tradisi MApadekko masih dipertahankan hingga saat ini. C. Kerangka Pikir Penelitian ini memfokuskan pada salah satu ritual yang masih dijunjung tinggi



oleh masyarakatnya, yakni Tradisi Apadekko. Tradisi



Apadekko adalah tradisi pasca panen yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di Kabupaten Takalar. Namun, Tradisi Apadekko pada penelitian ini mengkaji



tentang Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan



Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Hal ini dikarenakan Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar memiliki beberapa keunikkan. Pengkajian tentang Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, dilaksanakan dengan memfokuskan penelitian dengan mengkaji tentang struktur sosial dan nilainilai yang terkandung dalam Tradisi Apadekko menggunakan pendekatan struktural-fungsional. Pendekatan struktural-fungsional digunakan untuk menganalisis struktur sosial. Untuk menemukan nilai-nilai yang terdapat pada Tradisi Apadekko, dianalisis dengan menggunakan teori Mardiatmadja tentang konsep nilai. Berikut penjelasan kerangka pikir pada gambar di bawah ini:



23



Tradisi Appadekko



Struktur Sosial



Fungsi Sosial



Struktur Sosial dan Fungsi Sosial Tradisi Appadekko



Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir



D. Definisi Operasional Penelitian ini akan menguraikan penjelasan-penjelasaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, khusunya tentang struktur sosial dan nilai-nilai. Oleh karena itu, sehubungan dengan hal ini, akan diberikan batasan-batasan pengertoan berdasarkan pada penelitian ini, sebagai berikut: 1. Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang tulus. Setiap manusia sadar 24



bahwa selain dunia yang fana ini, ada suatu alam dunia yang tak mampu diraih olehnya dan berada di luar batas akalnya; 2. Desa Sampulungan merupakan pemekaran dari Desa Tamalate, dimana historis Desa Tamalate terbentuk. Desa Sampulungan terdiri atas tiga dusun,



yakni



Sampulungan



Caddi,



Sampulungan



Lompo,



dan



Sampulungan Beru; 3. Struktural-fungsional



adalah



sebuah



teori



atau



pendekatan



yang



menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur atau sistem dengan bagian-bagian yang memiliki fungsi masing-masing yang saling berhubungan. Pendekatan struktural-fungsional, dapat dimulai dengan melihat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat; 4. Struktur adalah suatu rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat, struktur sosial itu mencakup seluruh hubungan antara individu-individu pada saat tertentu. oleh karenanya, struktur sosial merupakan aspek non-prosesual dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem sosial yang bersangkutan.Fungsi diartikan mengacu pada struktur sosial dengan kehidupan sosial dapat juga dikatakan bahwa fungsi merupakan kontribusi suatu elemen yang membentuk keseluruhan sistem sosial;



25



BAB III METODE PENELITIAN



A. Jenis Penelitian Penelitian



tentang



Tradisi



Apadekko



di



Desa



Sampulungan



menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Pada dasarnya, penelitian kualitatif sebagaimana yang diungkapkan Bogdan dan Taylor seperti yang dikutip oleh Moeleong, mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis, lisan, dan dari bentuk tindakan kebijakan (Moeleong, Lexy J. 2002: 112). Penelitian deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Mukhtar, 2013: 28). Oleh karena itu, data penelitian tentang Tradisi Apadekko harus dikumpulkan dan dijelaskan secara detail sesuai fakta yang terjadi di lapangan pada saat proses penelitian berlangsung. Penelitian ini juga menerapkan pendekatan struktural-fungsional. Struktural-fungsional adalah sebuah teori atau pendekatan yang menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur atau sistem dengan bagian-bagian yang memiliki fungsi masing-masing yang saling berhubungan. Pendekatan struktural-fungsional, dapat dimulai dengan melihat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat.



26



B. Objek Penelitian Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Pada penelitian ini, memfokuskan penelitian pada struktur sosial dan nilai-nilai dari Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Penelitian ini terdiri atas data dan sumber data. Data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang berasal dari penelitian lapangan secara langsung dan data sekunder berasal dari data penelusuran pustaka terhadap berbagai referensi. C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian menurut Iskandar (2008: 219) adalah situasi dan kondisi lingkungan tempat yang berkaitan dengan masalah penelitian. Moeleong (2000:86), menyatakan bahwa dalam penentuan lokasi penelitian cara terbaik yang ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori substantif dan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Sementara itu keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, dan tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian. Penelitian tentang Tradisi Apadekko dilakukan di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Di Desa Sampulungan, Galesong Utara, Kabupaten Takalar, masyarakat masih melaksanakan Tradisi Apadekko secara rutin setiap tahun.



27



D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tentang Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan adalah sebagai berikut: 1. Studi Pustaka Teknik ini merupakan penelaahan terhadap referensi-referensi yang berhubungan dengan faktor permasalahan penelitian. Dokumen yang dimaksud diantaranya adalah buku, artikel, skripsi, jurnal melalui internet, foto-foto yang digunakan untuk mengambil gambar informan dan melakukan wawancara. Tujuan dari studi pustaka adalah memperoleh acuan pengetahuan dalam memahami lebih lengkap objek penelitian, yakni tentang Tradisi Apadekko. 2. Penelitian Lapangan a. Observasi Pengumpulan data tentang Tradisi Apadekko dilakukan dengan melaksanakan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti, yakni Tradisi Apadekko pada masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. b. Wawancara Wawancara mendalam adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu persoalan terentu. Ini merupakan proses tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih dapat berhadap-hadapan secara fisik. Metode wawancara



28



mendalam ini digunakan untuk mendapat keterangan-keterangan secara mendalam dari permasalahan yang dikemukakan. Wawancara mendalam ini dengan percakapan secara langsung dan bertatap muka dengan informan yang diwawancarai.



Metode



wawancara



mendalam



ini



diharapkan



akan



memperoleh data primer yang berkaitan dengan penelitian ini dan mendapat gambaran yang lebih jelas guna mempermudah dan menganalisis data selanjutnya. Wawancara mendalam akan dilakukan dengan pedoman wawancara. Hal ini dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dapat terarah, tanpa mengurangi kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan, serta suasana tetap terjaga agar kesan dialogis informan nampak. Metode wawancara yang diterapkan dalam penelitian ini ialah mengedepankan dalam mewawancarai informan atau narasumber yang dianggap paham tentang Tradisi Apadekko. Informan terdiri atas ketua adat atau tokoh masyarakat, budayawan lokal, dan masyarakat di Desa Sampulungan. c. Dokumentasi Salah satu cara melakukan dokumentasi dalam penelitian adalah melakukan perekaman. Oleh karena itu, penelitian tentang Tradisi Apadekko ini menggunakanan teknik perekaman dalam mengumpulkan dokumentasi pendukng selama proses penelitian. Selain itu, bertujuan untuk mengumpulkan hasil rekaman foto-foto yang diperoleh selama proses penelitian sesuai dengan fakta yang terdapat pada proses penelitian berlangsung, dan guna



29



memperlihatkan kondisi nyata dari tempat penelitian yang kelak menjadi bukti pendukung sekaligus keterangan penjelas dalam penelitian. d. Validitas Data Untuk menjamin validitas data dalam penelitian digunakan teknik trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu, untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data. Penelitian ini, validitas data menggunakan trianggulasi sumber yang berarti dalam penelitian ini membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, dan membandingkan keadaan dan persepsi seseorang dengan berbagi pendapat dan pandangan. E. Teknik Penentuan Informan Menurut pendapat Spradley dalam Faisal (1990: 45) informan harus memiliki beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu : 1. Subjek yang telah lama dan intensif menyatu dengan suatu kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian biasanya ditandai oleh kemampuan memberikan informasi di luar kepala tentang sesuatu yang ditanyakan.;



30



2. Subjek masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan yang menjadi sasaran atau penelitian.; 3. Subjek mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan unuk dimintai informasi; 4. Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu dan mereka relatif masih lugu dalam memberikan informasi. Penentuan informan pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, di mana pemilihan dilakukan secara sengaja berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Penentuan informan berdasarkan teknik purposive sampling dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ketua adat atau tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan paham tentang Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar; 2. Masyarakat yang masih rutin ikut berpartisipasi dalam Tradisi Apadekko di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar; 3. Masyarakat



setempat,



dalam



hal



ini



adalah



masyarakat



Desa



Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar; 4. Budayawan lokal, tokoh agama, dan lain sebagainya.



31



F. Metode Analisis Data Menurut Sugiyono dalam Iskandar (2008: 221), analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, catatan lapangan, dan studi dokumentasi dengan cara mengotanisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstraksikan, dan transformasi data kasar yang muncul dari wawancara. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan dapat ditarik dan diverifikasi (Miles dan Huberman, 1992: 15). Setelah mengklasifikasikan data atas dasar tema. Kemudian peneliti melakukan abstraksi data kasar tersebut menjadi uraian singkat. 2. Tahap Penyajian Data (Display) Menurut Miles dan Huberman (1992: 14) data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan 32



kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap masyarakat dikumpulkan untuk diambil kesimpulan sehingga bisa dijadikan dalam bentuk narasi deskriptif. Menurut Iskandar (2008: 223), dalam penyajian data, peneliti harus mampu menyusun secara sistematis, sehingga data yang diperoleh dapat menjelaskan atau menjawab masalah yang diteliti. Peneliti harus tidak gegabah dalam mengambil kesimpulan. 3. Tahap Pengambilan Kesimpulan (Verifikasi) Pengambilan kesimpulan juga merupakan analisis lanjutan dari reduksi data dan display, sehingga data dapat disimpulkan dan peneliti masih berpeluang untuk menerima masukan (Iskandar, 2008:223). Pada tahap ini data yang telah dihubungkan satu dengan yang lain sesuai dengan konfigurasikonfigurasi lalu ditarik kesimpulan. Peneliti selalu melakukan uji kebenaran setiap makna yang muncul dari data. Setiap data yang menunjang komponen uraian diklarifikasi kembali dengan informan. Apabila hasil klarifikasi memperkuat simpulan atas data yang tidak valid, maka pengumpulan data siap dihentikan. Analisis data dalam penelitian ini juga menerapkan beberapa tahapan, sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi tentang Tradisi Apadekko;



33



2. Mengelompokkan data yang sesuai dengan permasalahan, seperti struktur sosial yang terdiri atas proses pelaksanaan Tradisi Apadekko, fungsi Tradisi Apadekko, dan nilai-nilai dalam Tradisi Apadekko; 3. Menganalisis data, setelah data-data terkumpul dari hasil penelitian, analisis selanjutnya ialah memahami secara detail hasil penelitian tentang Tradisi Apadekko. Memahami bahwa konsep penelitian ini menggunakan pendekatan struktural-fungsional untuk meneliti struktur sosial dalam Tradisi Apadekko. Nilai-nilai dalam Ritual Apapdekko dianalisis menggunakan teori Madiatmadja tentang konsep nillai; 4. Memaparkan atau mendeskripsikan hasil penelitian dan kesimpulan dari proses penelitian tentang Tradisi Apadekko dalam laporan akhir kegiatan.



34



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tradisi Apadekko Masyarakat di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar Tradisi Apadekko merupakan tradisi pesta pasca panen yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Salah satu masyarakat yang masih mempertahankan pelaksanaan Tradisi Appadekko ialah masyarakat Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Pada dasarnya, Apadekko berasal dari kata dengka (tumbuk) hal ini seiring dengan adengka ase lolo (menumbuk padi muda). Jadi, Apadekko yaitu kegiatan menumbuk padi muda, hasil panen yang sudah dirontokkan dengan cara menumbuk dengan lesung dan alu (kayu penumbuk) sehingga membentuk suara yang khas gerakan dan bunyi tumbukan berirama inilah yang menjadi asal-usul Apadekko. Apadekko juga dapat dikatakan sebagai ritus masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, mereka melaksanakan ini karena mereka percaya bahwa jenis tanaman khususnya padi ada penunggunya. Masayarakat di Desa Sampulungan,



Kecamatan



Galesong



Utara,



Kabupaten



Takalar



juga



mempercayai bahwa penunggu padi adalah seorang perempuan yang umum dikenal dengan nama Dewi Sri atau Sangiasseri. Karena latar belakang kepercayaan itu, masyarakat petani senantiasa melaksanakan Tradisi Apadekko. Tradisi Appadekko ini dilaksakan setiap tahunnya secara rutin dan telah dilaksanakan secara turun temurun. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari salah satu informan yakni Bapak Jaharuddin Dg.Bella yang merupakan tokoh



35



masyarakat yang beberapa kali ikut serta dalam pelaksanaan Tradisi Appadekko. Beliau mengatakan bahwa: “Tradisi Appadekko ini sudah sejak lama dilaksanakan di Desa Walenreng, sejak saya masih kecil sampai sudah berumur seperti sekarang ini, tradisi mappadekko masih dilaksanakan di Desa Walenreng setiap setahun sekali” Masyarakat Desa Sampulungan melaksanakan tradisi Appadekko sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang telah diperoleh. Tahapan-tahapan dalam tradisi Appadekko pada masyarakat Desa Sampulungan, Kecamatn Galesong Utara Kabupaten Takalar terdiri atas 3 tahapan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap Pra-Persiapan a. Musyawarah Sebelum melaksanakan tradisi appadekko hal yang pertama dilakukan ialah melakukan perencanaan berupa penentuan waktu yang tepat dalam melaksanakan tradisi appadekko. Untuk menentukan waktu yang tepat dalam pelaksanaan tradisi appadekko dilakukan sebuah musyawarah yang melibatkan ketua adat, ketua lembaga adat, Kepala Desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Musyawarah biasanya dilakukan di rumah ketua adat. Hal ini merupakan bentuk tindakan sikap sopan santun dan menghargai orang yang lebih dituakan dalam hal ini ketua adat. Musyawarah ini menjunjung tinggi hasil keputusan yang tepat, khususnya dalam penentuan waktu yang tepat dalam pelaksanaan tradisi appadekko. Ketua adat memiliki peran penting dalam musyawarah ini. Waktu yang digunakan dalam proses musyawarah ini guna menghasilkan keputusan yang tepat ialah selama 2-3 minggu. Pada dasarnya, pelaksanaan tradisi appadekko dilaksanakan sekali dalam setahun. Waktu yang biasanya digunakan dalam pelaksanaan tradisi appadekko ialah pada hari senin atau kamis. Alasan dipilihnya hari senin dan kamis ialah merujuk pada konsep agama islam yang dimana masyarakat Desa Sampulungan menganggap bahwa ada tiga hari yang baik dalam perspektif 36



islam, yakni Senin, Kamis, dan Jumat. Namun, pelaksanaan tradisi appadekko ini dalam sehari membutuhkan waktu yang banyak sehingga masyarakat Sampulungan menganggap bahwa hari jumat tidak tepat untuk melaksanakan tradisi appadekko. Hal ini sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh ketua adat yang bernama Bapak Naba yang merupakan keturunan dari Lo’mo Ahmad Sampulungan, yang dimana beliau menerangkan sebagai berikut: “Pada dasarnya, Tradisi Appadekko ini dilaksanakan tiap hari senin dan kamis. Ini dimaksudkan sesuai dengan ajaran Islam dimana melaksanakan puasa sunnah di hari senin dan Kamis. Sebenarnya, terdapat tiga hari yang dimuliakan dalam islam, yakni senin, kamis, dan jumat. Namun, dikarenakan hari jumat yang waktunya begitu sedikit , jadi lebih bagus dilaksanakan pada hari senin atau kamis. Kadang pelaksanaaan tradisi appadekko ini dilaksanakan hari senin dan adakalanya dilaksanakan hari kamis. Tergantung pada keputusan pada saat musyawarah” Setelah ditentukan waktu yang tepat untuk melaksanakan tradisi appadekko, ketua adat sebagai orang yang dituakan mengintruksikan ke Kepala Desa untuk menyampaikan waktu pelaksanaan tradisi appadekko kepada masyarakat. Kepala desa mengumumkan di kantor Desa sebagai wadah penyaluran informasi. Kepala Desa dibantu oleh tokoh masyarakat,tokoh agama, dan ketua lembaga adat untuk menginformasikan secara menyeluruh kepada masyarakat Sampulungan. Diharapkan informasi tentang waktu pelaksanaan tradisi appadekko dapat tersampaikan ke seluruh masyarakat. 2. Tahap Persiapan Pada saat ingin melaksanakan tradisi appadekko, dibutuhkan beberapa persiapan yang dimana diharapkan pada saat pelaksanaan tradisi appadekko nantinya dapat berjalan dengan baik, aman, dan lancar. Adapun persiapanpersiapan yang dilaksanakan ialah sebagai berikut: -



Menyiapkan



perlengkapan



yang



akan



dilaksanakan



dalam



tradisi



appadekko, yaitu antara lain:



37



a. Lesung Lesung merupakan wadah yang digunakan dalam menumbuk padi muda yang dilaksanakan dalam proses padekko (menumbuk). Pada pelaksanaan tradisi appadekko terdapat pertunjukkan tari padekko yang merupakan inti dari pelaksanaan tradisi appadekko. Tari padekko ini mempertunjukkan aksi seorang penari yang menggunakan lesung sebagai wadah penumbuk padi. Bentuk lesung mirip perahu namun persegi panjang. Isi lesung terdiri dari tiga lubang. Masing-masing lubang memiliki fungsi yang berbeda, yakni lubang pertama berfungsi untuk memisahkan padi dari jeraminya, lubang kedua berfungsi memisahkan padi dengan kulitnya yang akan menjadi beras nantinya, dan lubang yang ketiga berfungsi sebagai tempat pembersihan. Lubang ketiga sebagai lubang terakhir dalam appadekko. Panjang lesung kurang lebih 1,5 meter dan maksimal 3 meter, serta lebarnya yakni 50 cm. Kayu yang dipakai pun bukan kayu sembarangan ada kriteria dan kayu jenis khusus



yang



dipakai



seperti



kayu



gelondongan, kayu jati dan kayu dari pohon mangga, yang dapat menimbulkan bunyi yang bagus untuk didengar. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang dikemukan oleh salah satu informan yakni Bapak Rahmat, yang merupakan salah seorang pembuat lesung. b. Alu (Alat Penumbuk) Alu (alat penumbuk) merupakan perlengkapan yang digunakan dalam proses menumbuk padi dalam tradisi appadekko. Alu (alat penumbuk) terbuat dari kayu keras yang tingginya setinggi orang dewasa. Alu ini digunakan oleh 4 orang padengka (penumbuk) perempuan. Padengka (penumbuk) ini menggunakan alu pada saat pelaksanaan tarian padekko (tarian menumbuk padi). Alu ini bukan hanya digunakan dalam pelaksanaan tari padekko, namun digunakan juga dalam proses siganrang



38



alu na batu (Saling memukul alu dan batu). Hal ini yang membedakan proses pelaksanaan dalam tradisi appadekko yang dilaksanakan pada masyarakat Desa Sampulumgan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Berikut gambar alu (alat penumbuk) yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi appadekko: c. Batu kali Batu kali yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi appadekko berukuran lumayan besar. Batu kali ini digunakan dalam pelaksanaan proses siganrang alu na batu (saling memukul alu dan batu) yang dilaksanakan dalam tradisi appadekko. Pada proses siganrang alu na batu (saling memukul alu dan batu), batu kali digunakan oleh pria yang memukulkan pria lainnya menggunakan batu. Hal ini yang membedakan pelaksanaan tradisi appadekko yang dilaksanakan pada masyarakat Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar dengan tradisi appadekko pada masyarakat di daerah lain. d. Pinang Pada proses pelaksanaan tradisi appadekko juga membutuhkan perlengkapan berupa buah pinang. Buah pinang yang digunakan dalam tradisi appadekko ialah 7 buah pinang. Pinang ini digunakan dalam appalili (mengelilingi). Pada proses appalili (berkeliling), ketua adat, ketua lembaga adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan personil appadekko melakukan ziarah kubur ke makam Lo’mo Sampulungan, ke Bungung Baraniyya (sumur orang-orang berani), dan poko’ rita (pohon Rita). Pada saat berziarah ke makam Lo’mo Sampulungan dan mengelilingi poko’ rita (pohon Rita) digunakan 7 buah pinang tersebut. e. Telur ayam Telur



ayam



digunakan



pada



saat



pelaksanaan



appalili



(mengelilingi), yang dimana berziarah ke makam Lo’mo Sampulungan,



39



Bungung Baraniyya (Sumur orang-orang berani), dan poko’ rita (pohon rita). Namun, telur ayam digunakan saat berada di Bungung Baraniyya (Sumur orang-orang berani) dan poko’ rita (pohon rita). f. Daun sirih Dauh sirih digunakan pada saat pelaksanaan appalili (mengelilingi), yang dimana berziarah ke makam Lo’mo Sampulungan, Bungung Baraniyya (Sumur orang-orang berani), dan poko’ rita (pohon rita). Seperti halnya penggunaan pinang dan telur ayam, daun sirih juga hanya digunakan saat berada di Bungung Baraniyya (Sumur orang-orang berani) dan poko’ rita (pohon rita). g. Pisang kepok Pisang kepok merupakan salah satu perlengkapan yang dibutuhkan dalam proses ammuakki, yakni dimana mengiringinkan doa dan baca-baca untuk menyampaikan ke patanna parasangang (leluhur) bahwa akan dilaksanakan tradisi appadekko yang dimana rutin dilaksanakan setiap tahunnya. h. Lilin Masyarakat Desa Sampulungan menggunakan lilin pada saat proses appalili (mengelilingi) dan ammuaki (). Pada saat proses appalili (mengelilingi)



lilin



digunakan



saat



berziarah



ke



makam



Lo’mo



Sampulungan yangh dipimpin oleh Ketua adat dan melibatkan ketua lembaga adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa, dan personil yang terlibat dalam tradisi appadekko, yakni padengka (penumbuk), padugu-dugu (penentu irama ketukan), dan penari. Selain itu, lilin bukan hanya digunakan pada saat berziarah ke makam leluhur, namun juga digunakan pada appalili (mengelilingi) bungung baraniyya (sumur orangorang berani), dan poko’rita (pohon rita). Pad proses ammuakki () yakni yang bertujuan untuk meminta restu kepada leluhur atau patanna



40



parasangang bahwa ingin diadakan tradisi appadekko juga membutuhkan perlengkapan berupa lilin. Seperti halnya fungsi lilin pada umumnya yaitu sebagai penerang, masyarakat Desa Sampulungan juga menganggap lilin sebagai penerang, penunjuk, dan pelita dalam kegelapan. Serta sebagai sumber kehidupan karena api yang menyala pada lilin menandakan sebuah kehidupan. i. Dupa Selain lilin, pada pelaksanaan tradisi appadekko juga membutuhkan perlengkapan berupa dupa. Dupa ini digunakan pada saat proses pannumbulu (meminta kekebalan) dan pada saat proses appadekko (menumbuk lesung). Dupa pada saat proses pannumbulu (meminta kekebalan) dan pada saat proses appadekko (menumbuk lesung) dianggap sesuatu yang dapat mengusir dan mendatangkan makhluk halus atau pengungsi ruh jahat. Wewangian yang dihasilkan dari dupa dianggap sebagai suatu hal yang dapat mengusir ruh jahat. Harapan dari menyalakan dupa agar proses pelaksanaan tradisi appadekko nantinya berjalan dengan lancer tanpa gangguan ruh jahat yang dapat mennghambat proses jalannya tradisi appadekko. j. Baju Bodo Baju bodo merupakan salah satu perlengkapan yang tidak pernah luput dalam setiap pelaksanaan tradisi di Provinsi Sulawesi Selatan. Baik dalam proses pernikahan, khitanan atau sunat, tradisi mappadendang (tradisi pasca panen), dan tradisi lainnya. Demikian pula halnya pada saat pelaksanaan tradisi appadekko (menumbuk lesung) juga menggunakan baju bodo. Baju bodo digunakan oleh personil yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi appadekko, yakni 4 orang padengka (penumbuk), 4 orang penari, dan padugu-dugu (penentu irama ketukan) pada saat proses menumbuk lesung. Masyarakat Desa Sampulungan menggunakan peranan Baju Bodo dalam tradisi appadekko (menumbuk lesung) sebagai bentuk pelestarian



41



terhadap peninggalan leluhur berupa pakaian tradisional. Hal ini merupakan media untuk melestarikan baju bodo dan memperkenalkan baju bodo kepada masyarakat dan generasi muda. k. Tahap pelaksanaan



DAFTAR PUSTAKA



42



Alwi, Hasan. 2007. KBBI, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Amri Marzali. 2006. Jurnal:Struktural-Fungsionalisme. Universitas Indonesia. Baal, J. Van. 1997. Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya,.PT. Gramedia: Jakarta C.A. van Peursen. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisisus. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, S. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Endraswara, S. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ghazali, A., M. 2011. Antropologi Agama (Upaya Memahamai Keragaman Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama). Bandung: Alfabeta. Hadi, Sumandiyo. 2000. Seni Dalam Ritual Agama. Yayasan untuk Indonesia: Yogyakarta. Hobsbawn, Eric dan Ranger, Terence (ed). 2003. The Invented of Tradition. United Kingdom: University Press Idi, Abdullah. 2013. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ihromi, T. O. 2004. Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor: Jakarta. Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: GP Press. Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer (I&II). Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koenjaraningrat. 1990. Sejarah Antropologi Budaya 1. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode PT.Gramedia Pustaka Utama.



Penelitian



Masyarakat.



Jakarta:



Koenjaraningrat. 2000. Antropologi Budaya. Jakarta: UI Press. Mardiatmadja. 1986. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bandung: Aswaja Pressindo. Marzuki. 2015. Ritual “Kliwonan” Bagi Masyarakat Batang. Semarang: Fakultas



43



Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UIP. Moeleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moeleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moeis, Syarif. 2008. Kelompok dalam Masyarakat. Fakultas Ilmu Pendidikan Sosial. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Mukhtar. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Purwanto. 2008. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta: Media Wacana Rafiek. M. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta. Aswaja Pressindo. Razak, Amir. 2012. http://jejakcelebes.blogspot.co.id/2012/06/prosesi-ritualApadekko-dan-aspek.html, diakses pada tanggal 05 Maret 2018, pukul 23:00 WITA. Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Siahaan. 1986. Budaya Indonesia. Bandung: Refika Aditama Erlangga. Spradley dan Faisal.1990. Format-format Penelitian Sosial.Jakarta: PT Rajawali Press. Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta. Suhardi. 2009. Ritual Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat, Perspektif Antropologi. Yogyakarta :Universitas Gajah Mada. Sulaiman. 2005. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Rajawali Press.



44