!!! Artikel Situs Punden Beji Sari !!! [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PUNDEN BEJISARI & SITUS MENJING (KEKUNOAN YANG JARANG DIKETAHUI DI SUDUT KOTA MALANG) Oleh: Nikita Kantrikirana (Siswi SMKN 4 Malang) 0



Sejarah Lokal Daerah Malang



Punden Bejisari & Situs Menjing Kekunoan yang Jarang Diketahui di Sudut Kota Malang (Tinggalan Kepurbakalaan di Wilayah Kelurahan Jatimulyo dan Kelurahan Mojolangu) Oleh: Nikita Kantrikirana



D



esa atau kampung disuatu wilayah (misalnya, disebuah kecamatan) seringkali dipandang sebelah mata karena dinilai kurang memiliki nilainilai wisata yang menarik. Kebanyakan dari kita berpikir bahwa desa



(baca: kelurahan) terutama yang letaknya tepat diwilayah kota, hanyalah sebuah pusat tempat tinggal penduduk yang kurang memiliki daya tarik sama sekali, kecuali jika di wilayah tersebut terdapat sebuah paket wisata berupa keindahan alam yang indah, tempat petik buah, tempat rafting, dll. akan tetapi jika kategori yang demikian itu, biasanya hanya cocok dengan desa yang berada di dekat alam yang masih asri dan belum banyak terjamah manusia, sedangkan di desa yang berada di wilayah kota cenderung di anggap padat dan kumuh serta kurang menarik. Maka dari itulah disini penulis ingin mengajak para pembaca sekalian, untuk mencoba alternatif wisata yang tidak ‘mainstream (biasa)’ yaitu ‘wisata sejarah dan arkeologi’, guna merefleksi kenangan masa lalu di suatu wilayah dengan menjelajahi situs-situs sejarah dan bekas-bekas artefak yang tertinggal dari masa lampau. Dengan jenis wisata baru ini, kita akan mencoba ‘blusukan’ di desa-desa untuk menjadi ‘detektif’, guna mencari jejak-jejak artefak dan situs yang tersisa di suatu desa, untuk menguak kesejarahan desa tersebut. Ketika artefak dan situs tersebut berhasil diketemukan kemudian diidentifikasi kesejarahannya, maka kita akan merasakan kepuasan tersendiri bagaikan seorang ‘detektif’ ternama yang berhasil memecahkan suatu kasus yang rumit. Dengan keberhasilan kita dalam mengidentifikasikan situs dan artefak tersebut maka sekelumit kesejarahan suatu desa akan terkuak, suatu hal yang marik bukan. Nah, pada kesempatan kali ini penulis akan mengajak para pembaca sekalian untuk berpetualang dan menelusuri situs-situs yang berada di dua desa (kelurahan) yang berada di salah satu sudut Kota Malang. Kedua desa itu adalah Desa Jatimulyo dan Desa Mojolangu, yang secara administratif masuk ke wilayah Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Dikedua desa tersebut ternyata terdapat situs-situs bersejarah yang menarik untuk diidentifikasi dan dikuak kesejarahannya karena tidak banyak diketahui orang. 1 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



SEJARAH DAN TOPONIMI KELURAHAN JATIMULYO DAN KELURAHAN MOJOLANGU DI KOTA MALANG



Gambar 01: Peta Kotamadya Malang [Sumber Gambar: www.blogpunyashofa.blogspot.co.id (2015)]



Kelurahan Jatimulyo dan Kelurahan Mojolangu secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang yang terbentuk menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 tentang pembagian wilayah Kelurahan atau Desa di dalam wilayah 2 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



kecamatan di Kotamadya Malang. Sebelum peraturan tersebut disahkan Kelurahan Jatimulyo dan Kelurahan Mojolangu merupakan wilayah masih bersetatus desa yang masuk wilayah Kecamatan Blimbing sesuai dengan Peraturan daerah Nomor 4 Tahun 1967, dimana peraturan tersebut meneruskan peraturan ‘Gemeenteblad No. 108 Tahun 1937’. Baru kemudian tahun 1987 ketika Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 dikeluarkan terjadi pemekaran kecamatan yang semula tiga kecamatan menjadi lima kecamatan, tiga kecamatan awal itu adalah Kecamatan Klojen, Kecamatan Blimbing dan Kecamatan Kedungkandang. Kemudian tiga kecamatan itu dimekarkan menjadi lima yaitu: Kecamatan Klojen, Kecamatan Blimbing, Kecamatan Lowokwaru, Kecamatan Sukun dan Kecamatan Kedungkandang. Jadi, Kelurahan Jatimulyo dan Kelurahan Mojolangu saat ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Lowokwaru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 (Suwardono dan Rosmiayah, 1997:52-54). Mundur lagi ke belakang pada masa pendudukan Jepang di Kota Malang, Gadang masuk dalam struktur administrasi baru yang diperkenalkan oleh pemerintah Jepang yang tidak begitu berbeda dengan Pemerintah Kolonial Belanda di Kota Malang. Puncak pimpinan daerah ada di tangan Malang “Syutyokan (Residen)” di pimpin oleh Minoru Tanaka.dia membawahi beberapa “Kentyo (Kabupaten)” dan “Sityo (Kotapraja)”. Soewarso Tirtowijogjo merupakan pejabat walikota Malang. Masing-masing “Ken” dan “Si” membawahi beberapa “son” atau “si-Koe (Kecamatan)” dan masing-masing “son” membawahi beberapa “Koe (kampung)”. Malang “Si” membagi wilayah administratif kota Malang menjadi tiga “si-Koe” antara lain “Blimbing si-Koe”, “Klojen si-Koe” dan “Kedungkandang si-Koe”. Masingmasing “si-Koe” membawahi beberapa “koe”. Sedangkan pemimpin setiap “si-Koe” disebut dengan “si-Koetjo”. Kelurahan ‘Jatimulyo dan Mojolangu’ sendiri termasuk ke dalam wilayah dari “Blimbing si-Koe” bersama dengan “koe (kampung)”: Blimbing, Purwodadi, Purwantoro, Pandanwangi, Arjosari, Polowijen, Tunjungsekar, Tulusrejo, Lowokwaru dan Bunulrejo (Hudiyanto, 2011:62-63). Kemudian menurut toponiminya, Kelurahan Jatimulyo dan Mojolangu sama seperti kelurahan/dukuh/desa lain yang banyak menggunakan nama tumbuhan. Nama ‘Jatimulyo’ terdiri dari dua kata yaitu ‘jati’ dan ‘mulyo’, ‘jati’ adalah nama pohon yaitu pohon jati (Prawiroatmojo, 1988:179), sedangkan kata ‘mulyo’ atau “mulya” berasal dari kata ‘mulia’ (Prawiroatmojo, 1988:384). Berdasarkan arti kata tersebut bisa jadi pada zaman dahulu di wilayah desa atau kelurahan Jatimulyo ini banyak sekali tumbuh pohon jati yang berkualitas atau memberi manfaat yang baik (mulya). Sedangkan nama ‘Mojolangu’ mengandung dua unsur kata, pertama unsur kata tanaman atau pohon bernama ‘mojo (buah)’, kemudian kata 3 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



‘langu’ yang berarti ‘bau yang tidak tidak sedap’. Jadi, dapat dikatakan bahwa konon dahulu di wilayah desa/kelurahan ini banyak terdapat pohon mojo yang berbau langu (Cahyono, 2013:122). Adapun tinggalan kepurbakalaan dan toponimi kuno sebagai bukti bahwa keduanya adalah desa kuno terdapat pada dukuh-dukuh yang berada di dalamnya. Adapun kekunoan itu antara lain Punden Bejisari, Sumber Menjing, Situs Menjing (Punden Mbah Bul) dan Punden Tembalangan (khusus punden ini akan dibicarakan lain waktu). Berikut pemaparannya.



Gambar 02: Buah Maja yang digunakan menjadi nama Desa (Kelurahan) Mojolangu, adalah buah yang rasanya sangat pahit dan baunya membuat orang mual (langu) [Sumber Gambar: www.bangaoo.blogspot.co.id (2015)]



SITUS PUNDEN BEJI SARI Situs Punden Bejisari (‘Yai Beji Sari’, begitu masyarakat setempat menyebutnya) adalah sebutan masyarakat setempat untuk menamai sebuah “patirthan (sumber air)” kuno yang terletak dekat STIKES Maharani Malang tepatnya di pertigaan antara Jl. Vinolia - Jl. Simpang Candi Panggung – Jl. Akordean Selatan yang secara administratif seperti yang tertulis pada papan penunjuk, situs telaga ini terletak di wilayah RW 09, Lingkungan 4 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Panggung, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Situs ini berupa kubangan air besar, yang sumber airnya muncul dari bawah tanah. Di sekitar situs dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang menjulang tinggi sehingga wilayah situs ini tampak begitu asri. Masyarakat sekitar lebih senang menyebut ‘patirthan’ ini sebagai ‘beji’, kata ‘beji’ sendiri juga memiliki arti yaitu ‘kolam’ (Zoetmulder, 2006:123). Hal ini sesuai dengan keadaan dan bentuk situs tersebut yang menyerupai kolam.



Gambar 03: Situs Punden Bejisari berupa kolam kuno yang setidaknya sudah ada sejak masa Kerajaan Kanjuruhan dan difungsikan sebagai ‘patirthan (kolam suci)’ untuk kegiatan keagamaan di wilayah tersebut [Sumber Gambar: Surmiyati (13 Februari 2015)]



5 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Situs yang terletak ± 500 m arah barat daya gedung RRI malang ini dahulu banyak terdapat arca yang kini sudah hilang. Di dalam dan sekitar telaga masih banyak didapati semacam pondasi dari batu merah tebal (Suwardono dan Rosmiayah, 1997:14). Sementara itu, dalam menggolongkan beberapa jenis patirthan berdasarkan tingkat kesakralannya pada masyarakat Jawa Kuno, Ninie Susanti, dkk (2013:72) membagi tiga buah kategori patirthan antara lain: a) “Nista Patirthan”, yaitu patirthan biasa (profan) yang airnya digunakan untuk pemasok air guna kebutuhan sehari-hari; b) “Madya Patirthan”, yaitu patirthan pendukung aktivitas keagamaan, namun airnya dapat digunakan sehari-hari; dan c) “Uttama Patirthan”, yaitu patirthan sebagai bangunan suci mandiri, terdapat arca dewa yang menjadi tumpuan pemujaan.



Gambar 04: Sesajian yang terdapat disekitar kolam membuktikan bahwa warga sekitar masih menyakralkan situs kolam kuno tersebut [Sumber Gambar: Surmiyati (13 Februari 2015)]



Melihat informasi jika dahulu di patirthan ini terdapat arca dan pondasi bata kuno yang berserakan, dapatlah diduga bahwa patirthan ini dahulu adalah termasuk jenis kategori 6 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



“Madya Patirthan”, yaitu sebuah ‘pathirtan’ pendukung aktivitas keagamaan, namun airnya dapat digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Kesakralan patirthan ini juga diperkuat oleh ‘toponimi-toponimi’ nama dukuh-dukuh disekitar patirthan, yaitu: ‘Dukuh Bioro’, ‘Dukuh Bukur’, beserta ‘Dukuh Panggung’. Di mana dari toponim tersebut menjadi nama daerah atau wilayah disekitar Punden Beji Sari yaitu wilayah Bioro atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama ‘Jalan Vinolia’, wilayah Bukur yang diberi nama ‘Jalan Simpang Candi Panggung Barat’, dan wilayah Panggung yang mencakup Punden Beji Sari ini dikenal dengan ‘Jalan Simpang Candi Panggung’ (Anonim, 2009 diakses 18/10/2016:00:54 WIB).



Gambar 05: Warga sekitar bekerja bakti menguras kolam Punden Beji Sari menjelang bersih desa, tampak artefak batu bata kuno bersebaran di dasar kolam, hal ini membuktikan bahwa kolam tersebut adalah kolam kuno [Sumber Gambar: Agus Ciptagraha (07 Oktober 2013)] Konstelasi wilayah “Dukuh Bioro”, “Dukuh Panggung”, “Dukuh Bukur”, dan “Situs Telaga (Punden Beji Sari, pen)”, merupakan petunjuk bahwa di daerah tersebut pada masa lampau merupakan sebuah asrama perguruan keagamaan. Nama “Bioro” merupakan alih 7 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



bunyi dari kata “Vihara”, yaitu tempat dan asrama perguruan, bisa agama Buddha ataupun agama Hindu. “Telaga” (Punden Beji Sari) mempunyai fungsi sebagai air suci (amerta), yang dalam hal keagamaan, “amerta” sangat penting sebagai sarana peribadatan, dan oleh karena itu selalu berhubungan dengan asrama perguruan. Sementara kata “Panggung” menunjukkan bahwa dahulu terdapat rumah besar dengan lantai tinggi atau rumah besar bertingkat. Sedangkan kata “Bukur” adalah sebutan untuk bangunan penyerta yang bertingkat dan berada di halaman, dalams ebuah asrama perguruan keagamaan. Atas dasar bukti-bukti tersebut dapat dikatakan bahwa wilayah “Bioro-Panggung-Bukur” dahulunya merupakan asrama perguruan keagamaan yang besar (Suwardono, 2011:xiii). Sedangkan menurut Agus Sunyoto (2000:20) Situs Punden Beji Sari termasuk satu kesatuan dari “Situs Purwa” yaitu sebaran situs-situs yang berkaitan dengan kekuasaan ‘PraTumapel’ yang diperkirakan membentang dari daerah sekitar Polowijen, Tasikmadu, Bale Arjosari, Bejisari, Bioro, Pangung dan Bukur. Masyarakat sekitar Situs Punden Bejisari sendiri begitu menyakralkan situs air tersebut. Hal ini dibuktikan dengan setiap tahun pada bulan Suro warga Simpang Candi Panggung selalu melakukan bersih desa yang diberi nama “Candi Morop” (di atas tumpeng diberi bambu yang berapi) dengan diiringi tarian tradisional (jaran kepang, tayub, ludruk, wayangan) dan diiringi dengan kelompok terbang jidor, membawa sejumlah tumpeng dan sesajen ke Punden Beji Sari. Namun, saat ini kesenian tersebut tidak lagi dilakukan hanya kirap tumpeng ke Punden Beji Sari dengan diiringi terbang jidor. Sebelum melakukan bersih desa, warga setempat menguras telaga kecil tersebut terlebih dahulu (Anonim, 2009 diakses 18/10/2016:00:54 WIB). Penyakralan situs yang mengandung unsur “air” memang sudah ada sejak zaman dahulu pada masyarakat Jawa Kuno. Air termasuk salah satu unsur penting yang ada di dalam “Tri-Loka (tiga dunia)”. Adapun unsur-unsur itu dikenal dengan istilah “Panca Mahabhuta”, yaitu antara lain: “akasa” (ether, angkasa); “bayu” (angin); “teja” (cahaya, sinar); “apah” (air, zat cair); dan “prthiwi” (bumi, zat padat). Dalam konsep “Tri-Loka (tiga dunia)” setiap unsur memiliki keunggulan dalam tiap dunia (Loka)-nya sendiri, berikut pembagian unsur dan ‘Loka’, tersebut. 1) Bhuh-Loka (Manusa-Loka), yaitu dunia umat manusia yang banyak dikuasai oleh unsur “prthiwi” (bumi, zat padat) dan “apah” (air, zat cair); 2) Bhuwah-Loka (Pitr-Loka), yaitu dunia para arwah yang banyak dikuasai oleh unsur “apah” (air, zat cair) dan “teja” (cahaya, sinar) dan, 3) Swah-Loka (Dewa-Loka), yaitu dunia pera dewa (sorga) yang banyak dikuasai oleh unsur “teja” (cahaya, sinar) dan “bayu” (angin) (Kartoatmodjo, 1983:6).



8 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Gambar 06: Acara bersih desa di dekat Punden Beji Sari, suatu bentuk upaya memelihara tradisi desa dan memelihara situs kesejarahan [Sumber Gambar: Agus Ciptagraha (10 November 2013)]



Kembali ke masalah penyakralan masyarakat sekitar terhadap Situs Punden Bejisari, karena secara konsep sudah terbukti bahwa bahwa air atau sumber air adalah salah satu unsur penting dalam alam (Panca Mahabhuta). Hal ini juga diperkuat oleh mitos-mitos dan pentangan masyarakat sekitar misalnya, tidak diperbolehkannya mengambil apapun dari Punden Beji Sari (ikan, kayu atau dahan pohon). Konon ada seseorang warga setempat yang memancing ikan di tempat tersebut sesampainya di rumah, ikan tersebut digoreng tetapi bukan jadi ikan goreng melainkan menjadi sampah daun. Apabila ada orang yang mengambil potongan kayu dan dibakar maka pakaian orang tersebut juga akan ikut terbakar. Untuk ritual seperti pesugihan warga Simpang Candi Panggung tidak pernah melakukannya sebab warga setempat tahu akibat yang akan ditanggung setelah melakukan ritual pesugihan yaitu hidung orang tersebut akan tumbuh daging panjang (daler) yang akan keluar jika ada orang yang bertamu ke rumahnya dan akan hilang jika tidak ada orang yang bertamu. Hal ini seperti yang 9 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



dikatakan oleh informan sebagai berikut: “Wong Panggung enthok tirakat ndek kono, yo diwehi tapi diwenehi daler. Wong Batu mesti ngilokno wong Panggung iku goblok. Wong ndek kulone nggene ndunyo. Lapo angel-angel golek duwek. Wong Batu ora ngerti lek mari njaok pesugihan irunge wonge cukul daging molor (daler). Lek ono tamu daging molor ndek irunge metu tapi lek gak ono tamu yo gak metu dalere. Lapo sugih tapi irunge molor?” artinya: [Orang Panggung boleh tirakat di situ, ya diberi tapi diberi daler (daging panjang). Orang Batu selalu mencemooh orang Panggung itu bodoh. Lah, di timur tempat mereka itu tempatnya dunia (kekayaan, maksudnya di mencari pesugihan di Punden Beji Sari). Buat apa sulit-sulit cari uang. Orang Batu tidak mengerti kalau selesai meminta pesugihan disitu hidungnya akan muncul daging yang menjulur (daler). Kalau ada tamu datang kerumah orang tersebut daging menjulur dihidungnya akan keluar tetapi kalau tidak ada tamu yang datang daging menjulur (daler) tersebut tidak akan keluar. Buat apa kaya tetapi hidungnya menjulur?, Pen].



Gambar 06: Suasana asri disekitar Punden Beji Sari yang menyuplai air bersih ke warga [Sumber Gambar: Surmiyati (13 Februari 2015)] 10 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Selain pantangan-pantangan di atas ada keajaiban yang terdapat pada Punden Beji Sari yaitu air dalam telaga tidak akan pernah meluap dan tidak akan pernah surut, meski saat musim hujan maupun saat musim kemarau. Padahal telaga tersebut tidak besar hanya telaga kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Pada tahun 1960-an pantangan-pantangan tersebut pernah dilanggar oleh warga setempat. Warga setempat menceritakan bahwa ada seseorang yang memancing ikan di Punden Beji Sari, sepulang dari memancing ikan tersebut digoreng namun bukan menjadi ikan goreng malah menjadi sampah dedaunan. Selain itu jika ada orang yang menebang pohon di tempat tersebut maka akan celaka dan jika mengambil dahannya lalu membakarnya bajunya akan ikut terbakar. Pada tahun 1960-an juga, warga kampung sebelah Candi Panggung menebang pohon yang berada di sekitar punden, karena warga tersebut tidak percaya akan keistimewaan punden tersebut. Dampaknya, setiap dua hari sekali warga Candi Panggung ada yang meninggal.



Gambar 07: Penulis dan rekan-rekan peneliti selfie dahulu didepan lokasi situs [Sumber Gambar: Surmiyati (13 Februari 2015)]



11 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Berawal dari mitos-mitos warga Simpang Candi Panggung telah sepakat untuk selalu mentaati pantangan-pantangan yang juga telah diyakini oleh warga setempat. Warga setempat juga mempercayai bahwa Punden Beji Sari adalah tempat suci dan mengandung hal-hal mistik. Masyarakat setempat percaya bahwa Punden Beji Sari tersebut dapat membawa keberkahan dan keselamatan bagi masyarakat setempat. Oleh sebab itu masyarakat setempat setiap tahun pada bulan Suro melakukan ritual bersih desa yang diberi nama “Candi Morop” dengan mengarak sejumlah tumpeng menuju ke Punden Beji Sari. Masyarakat setempat percaya bahwa jika tidak melakukan ritual-ritual tersebut akan membawa bencana atau malapetaka (Anonim, 2009 diakses 18/10/2016:00:54 WIB). Ada juga artefak kekunaan lain di wilayah sekitar Punden Beji Sari, yaitu adanya sebuah umpak besar di Jl. Kenanga Indah depan SDN Jatimulyo II saya penulis belum sempat mengambil foto artefak tersebut. Selain Situs Punden Bejisari di Kelurahan Mojolangu terdapat juga Situs Sumber Menjing dan Situs Menjing (Punden Mbah Bul) berikut ini pemaparannya. SITUS SUMBER MENJING



Gambar 08: Situs Sumber Menjing (Nyi Beji Sari) sebuah sumber air artesis yang terletak tak jauh dari Punden Beji Sari [Sumber Gambar: Devan Firmansyah (2016)] 12 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Situs Sumber Menjing terletak di dukuh Menjing, Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Letak situs ini berada di turunan jalan menuju Sungai Brantas, lokasinya pas kanan jalan sebelum pertigaan Jl. Vinolia dan Jl. Pisang Kipas ± 500 meter dari Situs Punden Beji Sari. Tinggalan kekunoan di situs ini hanyalah sebuah sumber mata air kuno yang mengalir dari akr pohon ‘Loh’ besar. Sumber mata airnya dimanfaatkan oleh warga untuk keperluan air bersih, mandi, dll dengan cara dialirkan melalui pipa ke arah kamar mandi umum (MCK) yang berada di dekatnya. Selain disebut Sumber Menjing, warga sekitar menyebut juga sumber atau patirthan ini dengan sebutan “Nyi Beji Sari”. Nama tersebut diambil dari ‘Dahyang’ atau yang ‘Mbaurekso (kuasa)’ di situs tersebut. Perhatikan juga nama “Yai Beji Sari” yang digunakan untuk menamai Situs Punden Beji Sari.



Gambar 09: Pohon ‘Loh’ besar, dari akar pohon tua inilah air di Situs Sumber Menjing (Nyi Beji Sari) mengalir tiada hentinya [Sumber Gambar: Devan Firmansyah (2016)] Jika demikian bisa jadi Situs Sumber Menjing atau Nyi Beji Sari adalah patirthan ‘wedok’ (perempuan/feminim) sedangkan situs Punden Beji Sari atau Yai Beji Sari adalah 13 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



patirthan ‘lanang’ (laki-laki/maskulin). Ini berarti kedua patirthan tersebut berdasarkan nama pemberian masyarakat sekitar, mengandung penyatuan dua buah unsur kosmik antara unsur feminim (Yin) dan uunsur maskulin (yang) yang dapat menghasilkan sebuah kekuatan (daya), terutama daya penyubur. Bandingkan hal ini dengan Sungai Brantas yang berada dekat sumber air tersebut. Pecahan Sungai Brantas memiliki dua sebutan yaitu ‘Brantas Lanang (Kali Lanang)’ dan ‘Brantas Wedok (Kali Wedok)’. Yang kini hanya tertinggal sebutan “Kali Lanang” yang dapat ditemkan (Cahyono, 2011:37). Kemudian, masih berhubungan dengan air, ada hal yang menarik yaitu toponimi Dukuh ‘Menjing’ itu sendiri. ‘Menjing’ berasal dari kata ‘Manjing’, seperti kebiasaan orang Jawa pada umumnya huruh ‘a’ jika bertemu huruf konsonan maka dibaca ‘e’, misal ‘sapta’ menjadi ‘septo’, dll. Kata ‘Manjing’ memiliki arti kata yaitu ‘masuk’ (Prawiroatmojo, 1988:334). Bandingkan dengan arti kata Kecamatan “Sumber Manjing” yang berada di Kabupaten Malang. Sumber Manjing memiliki arti yaitu sebuah sungai yang sekonyongkonyong masuk ke dalam tanah (Suwardono, 2013:251). Maka jika arti kata Dukuh Menjing dianalogikan dengan arti Kata Sumber Manjing, maka harusnya terdapat sebuah saluran air (arung/gorong-gorong) di sekitar dukuh tersebut yang mengalirkan air ke dalam tanah. Hal ini mungkin dapat diteliti lebih lanjut. SITUS MENJING (PUNDEN MBAH BUL) Situs terakhir di Kelurahan Jatimulyo yaitu Situs Menjing (Punden Mbah Bul). Situs ini terletak ± 300 meter dari Situs Sumber Menjing, yang terletak diareal pemakaman umum di atas tanah membukit ± 200 m dari aliran sungai. Situs ini berlokasi di Jl. Pisang Kipas depan tempat pembuangan sampah (TPA). Latar kesejarahan Situs Menjing kurang begitu jelas. Namun yang pasti berasal dari Masa Hindu-Buddha dan Masa Perkembangan Islam. Peninggalan arkeologi yang didapati hanya berupa bata-bata kuno dan pecahan gerabah nonglasir. Selain itu, terdapat dua makam Islam dinaungi cungkup. Warga setempat meyakini sebagai pusara dari “Mbah Bul” dan istrinya. Tradisi lisan mengkisahkan bahwa Mbah Bul adalah seorang “sing mbabad, atau sing mbedah krawang (pembuka)” daerah Menjing dan sekitarnya. Belum diperoleh kepastian apakah kedua makam itu merupakan makam yang sesungguhnya ataukah “makam semu”. Kendati jirat dan lantai makam telah dilapisi keramik, namun nisannya menggunakan bata besar, yakni bata-bata kuno, yang bisa jadi berasal dari masa Pra-Islam. Bata-bata demikian banyak terdapat di sekitar cungkup makam. Ada yang pecahan, ada pula yang utuh, bahkan membentuk struktur. Selain itu tidak sedikit terdapat 14 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



pecahan gerabah tua non-glasir di permukaan tanah. Adanya bata-bata besar, tebal dan matang dalam pembakaran serta fragmen gerabah itu menjadi petunjuk bahwa Situs Menjing berasal dari Masa Hindu-Buddha yang berlanjut ke Masa Perkembangan Islam. Jika benar demikian Situs Menjing adalah situs lintas masa (Cahyono, 2013:139-140).



Gambar 10: Pusara Punden Mbah Bul dan istrinya (Situs Menjing) banyak ditemukan batu bata merah kuno berukuran besar dan pecahan tembikar disekitar tempat ini [Sumber Gambar: Devan Firmansyah (2016)] Kemudian beberapa waktu yang lalu penulis sempat mendapat informasi bahwa di areal persawahan sebelah utara dekat dengan TPA dan Makam sebelah tower listrik, banyak ditemukan umpak-umpak besar. Penulis belum sempat mengecek keberadaan artefak tersebut, namun hal ini semakin menguatkan bahwa dahulu di tempat tersebut terdapat mandala dan bangunan suci seperti yang telah dibahas diatas dengan diperkuat bukti adanya temuan artefak, patirthan, dan toponimi kuno. Hal ini tentu saja perlu dijaga dan dilestarikan agar sub-kawasan Jatimulyo-Mojolangu (Menjing-Bioro-Bukur-Panggung) menjadi kawasan budaya. Tentu hal ini perlu bantuan dari kita semua agar tetap lestari. Semoga. 15 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



Gambar 11: Batu bata merah besar digunakan sebagai nisan di Punden Mbah Bul dan istrinya (Situs Menjing), menandakan bahwa disekitar sini dahulu terdapat bangunan kuno [Sumber Gambar: Devan Firmansyah (2016)] PENUTUP Pembaca sekalian tibalah kita di penghujung artikel ini, di atas telah kita bahas dan kita bedah panjang lebar hasil penelusuran kita ke situs-situs yang berada di wilayah Desa (Kelurahan) Jatimulyo dan Mojolangu. Dari penelusuran tersebut kita dapati di kedua wilayah tersebut terdapat dua buah sumber air kuno dan sebuah pusara yang terdapat serakan batu bata merah serta pecahan tembikar. Maka, dari temuan-temuan situs, artefak dan toponimi (nama) kuno dari dukuh-dukuh di wilayah tersebut dapatlah kita rekontruksi, kesejarahan bahwa dahulu kedua wilayah tersebut adalah pusat wilayah keagaaman ada masa Hindu-Buddha. Hal ini tentu menjadi kebanggan dari masyarakat kedua desa tersebut, bahwa desa mereka adalah desa kuno yang telah eksis pada masa Hindu-Buddha. Pun demikian masyarakat juga sering melakukan bersih desa dan melestarikan budaya sehingga identitas desa menjadi terjaga, suatu hal yang tentu patut diapresiasi. Sekian, salam boto lawas! 16 Sejarah Lokal



Sejarah Lokal Daerah Malang



DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2009). Kepercayaan Masyarakat Terhadap Punden Beji Sari. (Online). Diupload Jumat, 15 Mei 2009. Diakses dari www.ceritakumpulansastralisan.blogspot.co.id 18/10/2016:00:54 WIB. Cahyono, M.D. (2011). Sejarah Daerah Batu, Rekontruksi Sosio-Budaya Lintas Masa. Batu: Kantor Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi Pemerintahan Kota batu dan Jejak Kata Kita. Cahyono, M.D. (2013). Wanwacarita Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Malang. Hudiyanto, R.R. (2011). Menciptakan Masyarakat Kota Malang di Bawah Tiga Penguasa 1914-1950. Yogyakarta: Penerbit Lilin. Kartoatmodjo, M.M.S. (1983). Arti Air Penghidupan Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Proyek Javanologi. Prawiroatmojo, S. (1988). Bausastra Jawa Indonesia Jilid I. Jakarta: CV Haji Masagung. Sunyoto, A. (2000). Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan. Susanti, N., dkk. (2013). Patirthãn Masa Lalu dan Masa Kini. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Suwardono dan Rosmiayah, S. (1997). Monografi Sejarah Kota Malang. Malang: Sigma Media. Suwardono. (2011). Kepurbakalaan di Kota Malang Koleksi Prasasti dan Arca. Malang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pemerintah Kota Malang. Suwardono. (2013). Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok (Pendiri Wangsa Rajasa). Yogyakarta: Ombak. Zoetmulder, P.J. (2011). Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



17 Sejarah Lokal