Artritis Gout Dan Pseudogout [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT Arthritis Gout dan Pseudogout



Pembimbing: dr. Hendrata Erry Andisari, M.Biomed, Sp.PD



Disusun oleh: Luh Ade Anjasswari 201704200282 Melissa Suta 201704200289



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2019



LEMBAR PENGESAHAN REFERAT ARTHRITIS GOUT DAN PSEUDOGOUT



LEMBAR PENGESAHAN Referat Bagian Ilmu Penyakit Dalam



Oleh Luh Ade Anjasswari 201704200282 Melissa Suta 201704200289



Referat “Arthritis Gout dan Pseudogout” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.



Surabaya, 11 Januari 2019 Mengesahkan, Dokter Pembimbing



i



dr. Hendrata Erry Andisari, M.Biomed, Sp.PD



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat penyertaanNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul: “Arthritis Gout dan Pseudogout”. Penyusunan referat ini merupakan salah satu pemenuhan tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam di RSAL Dr.Ramelan Surabaya. Penulis menyadari bahwa banyak bantuan, bimbingan, dukungan, dan kerja sama yang positif dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penyusunan referat ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, terutama kepada yang terhormat dr. Hendrata Erry Andisari, M. Biomed, Sp. PD yang telah membimbing penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga saran dan kritik sangat diharapkan. Demikian referat ini dibuat dengan harapan bermanfaat bagi para pembaca.



ii



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................i KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii DAFTAR ISI..................................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................3 2.1 Arthritis Gout...........................................................................................3 2.1.1 Definisi



3



2.1.2 Epidemiologi



3



2.1.3 Faktor Resiko dan Etiologi



4



2.1.4 Patogenesis



8



2.1.5 Manifestasi Klinis



9



2.1.6 Diagnosis



12



2.1.7 Diagnosis Banding



15



2.1.8 Tata Laksana



15



2.1.9 Komplikasi



18



2.1.10 Prognosis



19



2.2 Arthritis Pseudogout..............................................................................20 2.2.1 Definisi.......................................................................................20 2.2.2 Patogenesis...............................................................................20 2.2.3 Manifestasi Klinis.......................................................................21 2.2.4 Pemeriksaan Penunjang............................................................22 2.2.5 Diagnosis



23



2.2.6 Tata Laksana



24



BAB 3 PENUTUP.....................................................................................................25 3.1 Kesimpulan...........................................................................................25 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................26



iii



BAB 1 PENDAHULUAN Arthropati kristal merupakan penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia (Widyanto, 2017). Arthropati kristal adalah beragam gangguan penyakit tulang yang ditandai oleh pengendapan mineral pada berbagai sendi dan jaringan lunak yang menyebabkan peradangan. Gout merupakan jenis yang paling umum dari arthropati kristal, dan jenis arthritis lainnya yang lebih jarang adalah pseudogout (Tjokroprawiro et al., 2015) Arthritis gout adalah suatu penyakit peradangan pada persendian yang diakibatkan oleh gangguan metabolisme (peningkatan produksi) maupun gangguan ekskresi dari asam urat, sehingga terjadi peningkatan kadar asam urat dalam darah (Mandell, 2008). Asam urat akan terakumulasi pada persendian dan jaringan lunak, menyebabkan terjadinya hipersaturasi asam urat dan kristalisasi asam urat menjadi kristal monosodium urat (Cecil et al., 2012). Arthritis gout merupakan jenis arthritis terbanyak ketiga setelah osteoarthritis dan rheumatoid arthritis (Nainggolan, 2009). Prevalensi arthritis gout di dunia berkisar 1 - 2% dan mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan dua dekade sebelumnya (Hamijoyo, 2012). Sedangkan, di Indonesia, prevalensi arthritis gout diperkirakan sekitar 6-7% dan jumlah kasus gout cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Muchid, 2006; Purwaningsih, 2010). Perubahan gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern merupakan pemicu utama semakin bertambahnya kasus arthritis gout (Saag dan Choi, 2006). Pola konsumsi dan gaya hidup menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dengan insidensi arthritis gout, diantaranya konsumsi alkohol dan kebiasaan makan makanan kaya purin (Muniroh et al., 2010). Arthritis gout umumnya dialami oleh laki – laki dewasa berusia 30 sampai 50 tahun. Arthritis gout dapat juga dialami oleh wanita, yaitu pada wanita setelah menopause karena gangguan hormon, namun hanya sekitar 10% dari kasus arthritis gout (Diantari dan Candra, 2013). Kebanyakan orang mengalami serangan gout pada sendi dari ibu jari kaki. Bagian lain yang dapat terserang yaitu pergelangan kaki, tumit, pergelangan tangan, jari, dan siku. Sendi yang terserang akan tampak merah, bengkak, kulit terasa panas 1



disertai nyeri yang hebat, dan persendian akan sulit digerakkan (Departemen Kesehatan Repulik Indonesia, 2006). Arthritis pseudogout merupakan jenis arthropati kristal selain arthritis gout. Pada



arthritis



pseudogout,



terjadi



pengendapan



mineral



berupa



calcium



pyrophosphate dehydrate (CPPD) atau basic calcium phosphate (BCP) pada persendian (Tjokroprawiro et al., 2015) . Berbeda dengan arthritis gout, pseudogout lebih banyak dijumpai pada wanita. Prevalensi arthritis pseudogout meningkat sekitar 15% pada usia 65-74 tahun dan menjadi sekitar 45% pada pasien berusia 85 tahun (Tjokroprawiro et al., 2015). Arthritis pseudogout umumnya mengenai sendi lutut, pergelangan tangan, bahu, dan pergelangan kaki. Arthritis pseudogout memiliki manifestasi yang sama dengan manifestasi dari gout, namun serangan pseudogout tidak sehebat serangan dari gout (Tjokroprawiro et al., 2015). Dari uraian di atas, yaitu semakin meningkatnya prevalensi arthropati kristal di dunia maupun di Indonesia, menjadi ketertarikan bagi penulis untuk membahas referat dengan judul Arthritis Gout dan Pseudogout.



2



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Arthritis Gout



2.1.1 Definisi Arthritis gout adalah suatu penyakit metabolik berupa peradangan pada persendian yang disebabkan oleh pengendapan mineral monosodium urat atau kristal asam urat pada sendi dan jaringan lunak (Tjokroprawiro, 2015). Arthritis gout diakibatkan oleh suatu keadaan yang disebut sebagai hiperurisemia, yaitu peningkatan kadar asam urat dalam darah. Acuan untuk menyatakan keadaan hiperurisemia adalah kadar asam urat > 7,0 mg/dL pada laki -laki dan > 6,0 mg/dL pada perempuan (Tehupeiory, 2006). Peningkatan kadar asam urat dalam darah dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme (peningkatan produksi) maupun gangguan ekskresi dari asam urat (Mandell, 2008). Peningkatan kadar asam urat dalam darah akan memicu terjadinya akumulasi asam urat pada persendian dan jaringan lunak, yang kemudian akan mengalami hipersaturasi dan kristalisasi menjadi kristal monosodium urat (Cecil et al., 2012). 2.1.2 Epidemiologi Arthritis gout merupakan jenis arthritis terbanyak ketiga setelah osteoarthritis dan rheumatoid arthritis (Nainggolan, 2009). Prevalensi arthritis gout di dunia berkisar 1 - 2% dan mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan dua dekade sebelumnya (Hamijoyo, 2012). Data NHANES III pada tahun 1988 hingga 1994 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa arthritis gout menyerang lebih dari 3 juta pria dengan usia 40 tahun atau lebih, dan 1,7 juta wanita dengan usia 40 tahun atau lebih (Weaver, 2008). Sedangkan di tahun 2007 hingga 2008 penderita arthritis gout meningkat menjadi 8,3 juta penderita, dimana jumlah penderita arthritis gout pada pria sebesar 6,1 juta penderita dan penderita wanita berjumlah 2,2 juta (Zhu et al., 2011). Di Indonesia, prevalensi arthritis gout belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan sekitar 6-7% (Muchid, 2006). Prevalensi gout cukup bervariasi antara 3



satu daerah dengan daerah yang lain. Sebuah penelitian di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi arthritis gout sebesar 1,7% sementara di Bali didapatkan prevalensi hiperurisemia mencapai 8,5% (Hamijoyo, 2010). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, jumlah kasus arthritis gout cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Purwaningsih, 2010). Arthritis gout sering terjadi pada laki-laki dewasa daripada wanita. Sekitar 90% penderita arthritis gout adalah laki-laki yang berusia antara 30 dan 50 tahun (Dufton, 2011; Tjokroprawiro, 2015). Namun, setelah mencapai usia 60 tahun, angka kejadian arthritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin (Weaver, 2008). Arthritis gout pada wanita umumnya terjadi setelah menopause, seiring dengan penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik. Oleh karena itu, arthritis gout jarang didapati pada wanita muda (Roddy dan Doherty, 2010). 2.1.3 Faktor Resiko dan Etiologi Penyebab timbulnya arthritis gout adalah reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat atau akibat supersaturasi asam urat di persendian dan jaringan lunak. Akumulasi asam urat di persendian dan jaringan lunak dipicu oleh keadaan hiperurisemia, yaitu peningkatan kadar asam urat dalam darah. Acuan untuk menyatakan keadaan hiperurisemia adalah kadar asam urat > 7,0 mg/dL pada laki -laki dan > 6,0 mg/dL pada perempuan (Cecil et al., 2012; Tehupeiory, 2006). Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Peningkatan kadar asam urat dalam darah dapat disebabkan oleh peningkatan produksi dari asam urat, penurunan ekskresi dari asam urat, maupun keduanya (Mandell, 2008). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah yaitu: 1. Jenis Kelamin Arthritis gout sering terjadi pada laki-laki dewasa daripada wanita. Laki-laki memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang arthritis gout (Weaver, 2008). Sebagian kecil kasus arthritis gout dialami oleh wanita, yaitu sebanyak 10% kasus, pada wanita post menopause (Diantari dan Candra, 2013). Hal ini dikarenakan peningkatan kadar asam urat serum pada wanita terjadi setelah



4



menopause, seiring dengan penurunan level estrogen yang memiliki efek urikosurik (Roddy dan Doherty, 2010; Tjokroprawiro, 2015). 2. Usia Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting terjadinya arthritis gout pada pria dan wanita. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam urat serum (penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009). Pada laki-laki, arthritis gout umumnya terjadi pada usia antara 30 dan 50 tahun (Tjokroprawiro, 2015). Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008). Pada wanita, arthritis gout terjadi pada usia post menopause, yaitu dimulai dari usia 45 tahun, dan semakin meningkat dengan bertambahnya usia (Robby dan Doherty, 2010). 3. Obesitas dan Indeks Massa Tubuh Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan dengan resiko arthritis gout. Resiko arthritis gout sangat rendah untuk pria dengan indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk pria dengan indeks massa tubuh 35 atau lebih (Weaver, 2008). Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin, yaitu keadaan dimana terjadi penurunan sensivitas tubuh terhadap insulin. Akibatnya, level insulin di dalam darah akan tetap tinggi. Insulin diduga meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion co-transporter pada brush border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Oleh karena itu, pada keadaan obesitas, akan terjadi penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal dan menyebabkan terjadinya hiperurisemia (Choi et al., 2005). 4. Konsumsi diet tinggi purin Diet tinggi purin seperti daging, jeroan, kaldu, dan makanan laut (terutama kerang, kepiting, dan beberapa ikan laut lain) memicu peningkatan sintesis asam urat, sehingga menjadi faktor pencetus terjadinya hiperurisemia 5



dan meningkatkan resiko arthritis gout. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hayani & Widyaningsih (2011) menunjukkan bahwa diet tinggi purin dengan pemberian jus hati ayam 3 kali sehari selama 7 hari pada mencit menyebabkan peningkatan signifikan kadar asam urat pada darah mencit. Sedangkan, sayuran yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya dieliminasi dalam diet rendah purin, tidak ditemukan memiliki hubungan dengan terjadinya hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko arthritis gout (Weaver, 2008). Begitu pula dengan diet protein nabati yang tidak menunjukan peningkatan kadar asam urat darah secara signifikan (Tahta dan Upoyo, 2009). 5. Konsumsi alkohol Alkohol memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga mengakibatkan peningkatan produksi asam urat dalam tubuh (Zhang, 2006). Selain itu, metabolisme alkohol akan menghasilkan asam laktat pada darah yang dapat menghambat eksresi asam urat (Doherty, 2009). 6. Peningkatan apoptosis sel Penyakit yang melibatkan peningkatan kematian sel seperti penyakit autoimun, penyakit degeneratif, riwayat injury atau operasi baru dapat meningkatkan kadar asam urat. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya percepatan kematian sel dan peningkatan degradasi sel yang menghasilkan produk asam urat (Murray et al., 2009). 7. Hipertensi Hipertensi (tekanan darah tinggi) terjadi akibat vasokonstriksi pembuluh darah yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke glomerulus ginjal. Hal ini akan mengaktivasi sistem renin angiotensin yang menyebabkan terjadinya peningkatan reabsorbsi natrium. Air selalu mengikuti gerakan dari ion natrium sehingga pada saat terjadi reabsorbsi natrium maka terjadi pula reabsorbsi air. Akibatnya, terjadi penurunan aliran cairan ke ginjal, sehingga ekskresi asam urat akan ikut terhambat (Manampiring, 2011). Selain melalui mekanisme tersebut, peningkatan kadar asam urat pada hipertensi juga dapat diakibatkan oleh cedera vaskuler pada hipertensi. Cedera vaskuler dapat memicu terjadinya iskemia jaringan, sehingga sel-sel pada jaringan mengalami kematian dan terjadi degradasi seluler. Hal ini



6



menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis asam urat, sehingga kadar asam urat dalam tubuh akan meningkat (Manampiring, 2011). 8. Konsumsi obat-obatan tertentu Penggunaan obat-obatan tertentu berperan dalam peningkatan kadar asam urat. Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk perkembangan arthritis gout. Obat diuretik dapat menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan hiperurisemia. Selain itu, aspirin dosis rendah, juga meningkatkan kadar asam urat pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang mengonsumsi obat pirazinamid, ethambutol, dan niasin (Weaver, 2008).



7



2.1.4 Patogenesis



Gambar 1. Pembentukan Asam Urat



8



Gambar 2. Patogenesis Arthritis Gout Monosodium



urat



akan



membentuk



kristal



di



persendian



ketika



konsentrasinya dalam plasma berlebih, yaitu lebih dari 7,0 mg/dL. Kadar asam urat dalam



plasma



bukanlah



satu-satunya



faktor



yang



mendorong



terjadinya



pembentukan kristal. Hal ini terbukti pada beberapa penderita hiperurisemia yang tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang lama sebelum serangan arthritis gout yang pertama kali. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya serangan arthritis gout pada penderita hiperurisemia belum diketahui secara pasti. Diduga bahwa kelarutan asam urat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan ikatan antara asam urat dan protein plasma (Busso dan So, 2010). Kristal monosodium urat yang menumpuk akan menyebabkan inflamasi melalui dua cara, yaitu (Tjokroprawiro, 2015): 1. Kristal monosodium urat akan mengaktifkan sistem komplemen, terutama C3a dan C5a. Sistem komplemen yang aktif memiliki sifat kemotaktik, sehingga akan merekrut PMN (neutrofil) ke jaringan sendi dan membran sinovium. PMN kemudian melakukan fagositosis kristal monosodium urat yang akan memicu pengeluaran leukotrien B, prostaglandin, dan radikal bebas yang bersifat toksik. Selain itu, kristal monosodium urat memiliki molekul yang besar, yang mengakibatkan sel PMN yang melakukan fagositosis menjadi tidak stabil. Akibatnya, terjadi lisis dari sel PMN, dan terjadi ruptur dari lisosom serta pengeluaran enzim lisosom ke jaringan sendi. 2. Selain oleh sel PMN, kristal monosodium urat juga difagositosis oleh makrofag. Fagositosis ini menyebabkan dilepaskannya berbagai mediator proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF. Mediator-mediator ini akan memperkuat respons peradangan dengan meningkatkan kemotaksis sel PMN ke jaringan sendi, dan di samping itu, mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan sendi untuk menghasilkan enzim protease. 2.1.5 Manifestasi Klinis Gambaran klinis arthritis gout terdiri dari empat tahapan klinis, yaitu arthritis gout asimptomatik, arthritis gout akut, gout interkritikal, dan gout menahun dengan tofus (gout tophaceous kronis) (Carter, 2006). 1. Arthritis gout asimptomatik 9



Nilai normal asam urat serum pada laki-laki adalah3,5 – 7,0 mg/dL, dan pada wanita adalah 2,6 – 6 mg/dL (Dalimartha, 2008). Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/dL pada seseorang dengan arthritis gout (Carter, 2006). Pada tahap pertama, hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi ini dapat terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan yang sifatnya silent, tanpa gejala (Sunkureddi et al., 2006). 2. Arthritis gout akut Pada stadium ini muncul manifestasi berupa peradangan sendi yang umumnya bersifat monoartikuler dan terjadi secara mendadak, timbul dalam waktu yang sangat cepat dan singkat. Pasien dapat tidur tanpa merasakan gejala apapun, kemudian pada saat bangun pagi pasien merasakan nyeri yang hebat dan tidak dapat berjalan (Tehupeiory, 2006). Keluhan utama dari serangan gout akut berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, dan merah disertai dengan gejala sistemik seperti demam, menggigil dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006). Pada 50% kasus, serangan pertama terjadi pada sendi metatarsophalangeal-1 (MTP-1) yang sering disebut sebagai podagra. Lama kelamaan, serangan gout dapat bersifat poliartikular dan menyerang sendi lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan sendi-sendi pada tangan (Sunkureddi et al.,2006). Serangan arthritis gout akut memiliki karakteristik dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, memiliki rekurensi yang multiple dengan interval antara serangan, dan dapat mengenai beberapa sendi (Tehupeiory, 2006). Interval waktu yang sifatnya asimptomatik diantara serangan disebut sebagai stadium interkritikal (Sunkureddi et al., 2006). Faktor pencetus serangan akut gout antara lain berupa trauma lokal, tindakan operasi, diet tinggi purin, konsumsi alkohol berlebihan, kelelahan fisik, stres, pemakaian obat diuretik atau penurunan asam urat secara mendadak dengan allopurinol atau obat urikosurik (Tehupeiory, 2006). 3. Gout interkritikal Stadium interkritikal merupakan kelanjutan dari stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda keradangan akut, namun pada aspirasi sendi akan ditemukan kristal monosodium urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat 10



terjadi satu atau beberapa kali per tahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut berikutnya (Tehupeiory, 2006). Kebanyakan orang mengalami serangan arthritis gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati (Carter, 2006). Apabila tidak dilakukan penanganan yang baik dan pengaturan asam urat dengan benar, maka serangan akut dapat timbul lebih sering, mengenai beberapa sendi, dan biasanya lebih berat (Tehupeiory, 2006). 4. Gout menahun dengan tofus Stadium gout menahun ini umumnya terjadi pada pasien yang tidak berobat secara teratur pada dokter dalam waktu yang lama. Arthritis gout menahun biasanya disertai dengan terbentuknya tofus dan mengenai poliartikuler. Tofus merupakan penimbunan asam urat yang dikelilingi oleh reaksi radang (Tehupeiory, 2006). Tofus terbentuk pada masa arthritis gout kronis akibat insolubilitas relatif asam urat. Onset terbentuknya tofus dan ukuran tofus secara proporsional berhubungan dengan kadar asam urat dalam serum. Tofus seringkali terbentuk pada MTP-1, bursa olekranon, tendon achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, jari tangan, bursa infrapatelar, dan heliks telinga (Carter, 2006; Tehupeiory, 2006). Arthritis gout kronis yang melibatkan banyak sendi dapat menyerupai arthritis rheumatoid. Pada penderita, dapat timbul tofus subkutaneus pada area yang mengalami gesekan atau trauma. Tofus tersebut seringkali diduga sebagai nodul rheumatoid, karena secara klinis sulit dibedakan dengan nodul rheumatoid (Mandell, 2008). Pada stadium kronis ini, selain terbentuknya tofus, dapat terjadi batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun sebagai manifestasi dari hiperurisemia (Tehupeiory, 2006).



11



Gambar 3. Deposit Tofus 2.1.6 Diagnosis Diagnosis yang dilakukan untuk mengetahui adanya gout adalah sebagai berikut (Ellis dan Koduri, 2010): 1. Tes darah 



Adanya leukositosis neutrofil







Penanda inflamasi umumnya meningkat selama serangan akut







Serum asam urat bisa normal atau meningkat selama flare







Adanya kemungkinan gangguan ginjal



2. Aspirasi sinovial 



Diagnosis definitif: ditemukan kristal monosodium urat dalam cairan sendi yang berbentuk seperti jarum, pada mikroskop polarisasi, tampak kristal yang bersinar, berwarna kuning, dan berada di dalam intraseluler.



3. Mikrobiologi 12







Pada kultur dari aspirasi cairan sendi dan darah, tidak didapatkan bakteri /bakteri negatif.



4. Radiologi 



Radiografi selama serangan awal dapat normal. Perubahan radiologi hanya terjadi setelah bertahun-tahun timbulnya gejala. Predileksi gout umumnya adalah pada sendi MTP-1, walaupun pergelangan kaki, lutut, siku, dan sendi lainnya juga dapat terlibat.







Foto polos dapat memperlihatkan (Patel, 2010): a. Efusi dan pembengkakan soft tissue pada sendi b. Erosi: Terdapat erosi marginal yang tampak sebagai lesi “punched out” dengan overhanging edge. Densitas tulang tidak mengalami perubahan.



Gambar 4. Gout yang mengenai sendi MTP-1 (Terjadi pembengkakan jaringan lunak yang disertai dengan erosi luas) c. Tofus: Tofus mengandung monosodium urat dan terdeposit pada tulang, jaringan lunak, dan sekitar sendi. Kalsifikasi pada tofus juga 13



dapat ditemukan, dan tofus intraoseus dapat membesar hingga menyebabkan destruksi sendi.



Gambar 5. Tofus Kriteria diagnosis yang digunakan untuk menegakkan arthritis gout adalah kriteria dari The American College of Rheumatology (ACR) yaitu (Vargas-Santoset al., 2016): 1. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi. 2. Tofi terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan mikroskopik dengan sinar terpolarisasi. 3. Diagnosis lain, seperti ditemukannya 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis dibawah ini: 1) Serangan akut dari arthritis lebih dari satu kali 2) Inflamasi maksimum yang berkembang dalam satu hari 3) Serangan oligoarthritis 4) Kemerahan pada sendi yang terlibat 5) Nyeri atau pembengkakan pada sendi MTP-1 6) Serangan pada sendi MTP-1 unilateral 7) Serangan pada sendi tarsal unilateral 8) Adanya tofus (suspek atau terbukti) 14



9) Hiperurisemia (lebih dari 2 S.D.daripada rerata populasi normal) 10)Tampak pembengkakan sendi asimetris pada foto sinar X 11)Tampak kista subkortikal tanpa erosi pada foto sinar X 12)Terminasi komplit dari serangan 2.1.7 Diagnosis Banding Arthritis gout memiliki diagnosis banding seperti calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), arthritis septik, psoriasis, dan arthritis rheumatoid (Setter dan Sonnet, 2005). 1. Calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD)/pseudogout Untuk membedakan gout dengan pseudogout, harus dikonfirmasi dengan analisis cairan sendi. Pada arthritis gout, akan didapatkan kristal monosodium urat dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi (Setter dan Sonnet, 2005). Sedangkan, pada calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD) atau pseudogout, dari analisis cairan sendi akan didapatkan kristal calcium pyrophosphate dihydrate (Tjokroprawiro, 2015). 2. Arthritis septik Analisis cairan synovial dan kultur sangat penting untuk membedakan arthritis gout dengan arthritis septik. Pada arthritis gout, akan didapatkan kultur bakteri negatif pada cairan sinovial dan darah (Tjokroprawiro, 2015). 3. Arthritis rheumatoid Arthritis gout cenderung tidak simetris dan pada pemeriksaan faktor rheumatoid akan didapatkan hasil negatif. Sedangkan, pada arthritis rheumatoid cenderung bersifat simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor rheumatoid positif (Departemen Kesehatan Repulik Indonesia, 2006). 4. Psoriasis Pada penderita psoriasis, seringkali didapatkan hiperurisemia. Adanya lesi kulit pada psoriasis membedakan kasus ini dengan arthritis gout (Departemen Kesehatan Repulik Indonesia, 2006). 2.1.8 Tata Laksana Tujuan pengobatan pada penderita arthritis gout adalah untuk mengurangi rasa nyeri, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya kelumpuhan (Neogi, 2011). Pengobatan arthritis gout tergantung pada tahap penyakitnya. 15



Hiperurisemia asimptomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Serangan akut arthritis gout, dapat diobati dengan NSAID, kolkisin, atau kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi akut dari sendi. Sedangkan,pada gout kronis, dapat diberikan profilaksis untuk mencegah kekambuhan (Carter, 2006; Tjokroprawiro, 2015). 1. Tata Laksana Non Farmakologis (Tjokroprawiro, 2015) 



Berat badan: Pada pasien dengan BMI > 35, resiko arthritis gout meningkat. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan penurunan berat badan.







Diet rendah purin: Asupan makanan kaya purin, seperti jeroan, daging merah, kerang, kaldu, dan ekstrak ragi harus dihindari untuk menurunkan produksi asam urat dalam tubuh, sehingga kadar asam urat terkontrol dengan baik.







Pasien dengan penyakit kencing batu, disarankan untuk mengonsumsi air 2 liter atau lebih tiap harinya untuk menghindari kondisi kekurangan cairan.







Alkohol: Minuman beralkohol harus dihindari atau dikurangi secara signifikan, karena meningkatkan resiko dua kali lipat untuk terjadinya serangan akut gout.







Latihan fisik: Untuk latihan fisik sebaiknya berupa latihan fisik yang ringan, dengan resiko minimal untuk menimbulkan trauma pada sendi.



2. Tata Laksana Gout Akut 



NSAID: Pemberian NSAID disarankan dilakukan segera, yaitu dalam 24 jam pertama serangan, dan dilanjutkan selama 1-2 minggu jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat golongan NSAID yang direkomendasikan sebagai lini pertama pada kondisi arthritis gout akut adalah indometasin, naproxen, dan sulindak. Namun, ketiga obat tersebut dapat menimbulkan efek samping yang serius pada saluran cerna, berupa ulserasi pada lambung dan usus, serta perdarahan saluran cerna (Cronstein dan Terkeltaub, 2006). Dosis Indometasin yang dapat diberikan adalah 75mg dua kali sehari (Tjokroprawiro, 2015). Pada penderita arthritis gout dengan masalah pada saluran cerna, dapat diberikan obat golongan cyclooxygenase-2 inhibitor (COX-2 inhibitor) seperti celecoxib dan etoricoxib (Cronstein dan Terkeltaub, 2006). Dosis 16



etoricoxib yang dapat diberikan adalah 90-120mg satu kali sehari (Tjokroprawiro, 2015). Dosis NSAID yang diberikan harus dikurangi setelah 48 jam jika memungkinkan, misalnya untuk indometasin diberikan sebanyak 150 mg/hari selama 2 hari dan dilanjutkan 75 mg/hari sampai minggu berikutnya (Tehupeiory, 2006; Tjokroprawiro, 2015). 



Kolkisin: Kolkisin efektif untuk menangani arthritis gout akut, dengan dosis



500



µg



dua



kali



sehari.



Dosis



yang



lebih



tinggi



tidak



direkomendasikan karena dapat menimbulkan efek samping berupa diare. Lama penggunaan kolkisin akan bervariasi tergantung dari situasi klinis. Pemberian kolkisin dapat diberikan sampai serangan akut berhenti dengan dosis total maksimal 6 mg. Penggunaan jangka panjang dari kolkisin tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan toksisitas (Tjokroprawiro, 2015). 



Kortikosteroid: Pada pemilihan kortikosteroid sebagai terapi inisial serangan akut arthritis gout, perlu dipertimbangkan jumlah sendi yang terlibat. Apabila sendi yang terlibat monoartikular dan merupakan sendi besar,



disarankan



pemberian



kortikosteroid



intraartikular,



yaitu



metilprednisolon asetat dengan dosis antara 40 dan 80 mg. Sedangkan, pada



gout



poliartikular



dapat



diberikan



kortikosteroid



sistemik.



Kortikosteroid sistemik yang diberikan dapat berupa oral (Prednisolon 1015mg



sehari



selama



5-7



hari)



maupun



suntikan



intramuscular



(Metilprednisolon asetat 80-120mg). Kortikosteroid sistemik juga dapat diberikan pada pasien yang tidak toleran terhadap NSAID dan refrakter terhadap pengobatan lainnya (Tjokroprawiro, 2015). 



Terapi kombinasi: Terapi kombinasi dapat dilakukan pada kondisi akut yang berat dan padaserangan arthritis gout yang terjadi pada banyak sendi besar. Terapi kombinasi yang dapat diberikan adalah kolkisin dengan NSAID, kolkisin dan kortikosteroid oral, serta kolkisin dengan steroid intraartikular. Untuk kombinasi NSAID dengan kortikosteroid sistemik tidak disarankan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping berupa iritasi pada saluran cerna (Khannaet al., 2012).



3. Tata Laksana Gout Kronis dan Rekuren (Tjokroprawiro, 2015) 17



Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan sendi dan deformitas. Rekomendasi dari European League Against Rheumatism yaitu mengurangi dan mempertahankan serum asam urat di bawah 360 µmol/L (6 mg/dL). Pedoman lainnya menetapkan target asam urat serum yang lebih rendah, yaitu di bawah 300 µmol/L. Indikasi untuk terapi penurunan asam urat : 



Terjadi 2-3 serangan gout dalam waktu satu tahun.







Secara klinis atau radiologis, didapatkan bukti arthritis gout kronis.







Didapatkan tofus gout pada jaringan lunak atau tulang subkondral.







Gout dengan gangguan ginjal atau nefrolitiasis. Pilihan obat-obatan yang dapat diberikan untuk menurunkan serum asam



urat yaitu : 



Allopurinol: Allopurinol merupakan xanthin oksidase inhibitor, yang menonaktifkan enzim xanthin oksidase baik secara langsung maupun melalui metabolit aktifnya. Dosis awal yang diberikan adalah 50-100 mg/hari, dengan penambahan sebesar 50-100 mg setiap beberapa minggu, atau sampai asam urat serum di bawah 360 µmol/L (6 mg/dL). Dosis pemeliharaan standar umumnya adalah sebesar 300 mg/hari. Pada pasien yang memiliki gagal ginjal, sebaiknya allopurinol diberikan dalam dosis yang lebih rendah yaitu kurang dari 100 mg/hari.







Urikosurik agent: Urikosuric agent diberikan pada pasien yang tidak toleran



terhadap



allopurinol.



Urikosuric



agent



berfungsi



untuk



mengekskresi asam urat melalui ginjal. Pilihan obat yang dapat diberikan adalah probenesid, dengan dosis 500 mg 2 kali sehari. Dosis maksimal probenesid adalah 2 g. Obat ini tidak direkomendasikan untuk diberikan pada penderita yang mengalami penurunan fungsi ginjal dan riwayat batu saluran kemih. 2.1.9 Komplikasi Komplikasi dari arthritis gout meliputi severe degenerative arthritis dan fraktur pada sendi (Rothschild et al., 2014). Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi kronis, mengakibatkan sinovitis kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal 18



monosodium



urat



akan



mengaktifkan



kondrosit



untuk



menghasilkan



IL-1,



merangsang sintesis nitric oxide dan matriks metalloproteinase yang menyebabkan dekstruksi kartilago. Selain itu, osteoblas juga akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menyebabkan penurunan fungsi anabolik tulang dan berkontribusi terhadap kerusakan juxta artikular tulang (Choi et al, 2005). Komplikasi lain dari hiperurisemia kronis dapat berupa nefrolitiasis asam urat yang dapat mengakibatkan nefropati atau kerusakan ginjal (Rotschild et al., 2014). Pada urin penderita nefrolitiasis asam urat, terdapat tiga kelainan yang signifikan yaitu (Sakhaee dan Maalouf, 2008): 1. Hiperurikosuria, yang disebabkan oleh karena peningkatan kandungan asam urat dalam urin. 2. Rendahnya pH, yang mana menurunkan kelarutan asam urat. 3. Rendahnya volume urin, yang menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada urin. 2.1.10 Prognosis Arthritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas yang cukup besar, dengan episode serangan akut yang menyebabkan penurunan kualitas hidup dan gout kronis yang dapat menyebabkan kerusakan sendi bahkan deformitas. Namun, arthritis gout yang mendapatkan terapi secara dini dan benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga baik (Rothschildet al., 2014). Arthritis gout jarang menyebabkan kematian atau fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya, arthritis gout sering terkait dengan beberapa penyakit berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini dapat muncul sebagai komplikasi maupun komorbid dengan penyakit arthritis gout (Tehupeiory, 2006).



19



2.2



Arthritis Pseudogout



2.2.1 Definisi Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalin yang dipicu oleh penimbunan kristal kalsium pirofosfat dihidrat (KPFD), yang dihubungkan dengan kalsifikasi hialin dan fibrokartilago. Perubahan yang terjadi pada sendi ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi yang tampak pada pemeriksaan radiologis pada sendi lutut dan sendisendi besar lainnya (Rosenthal, 1998). Penggunaan mikroskop polarisasi untuk mencari kristal natrium urat di dalam cairan sinovium pasien gout dilaporkan pada tahun 1961. Sejak itu, telah dikembangkan aplikasi teknik pemeriksaan lain yang relatif sederhana seperti mikroskop elektron energy dispersive elemental analysis, dan difraksi sinar X untuk memastikan adanya mikrokristal lain, yaitu kalsium pirofosfat dihidrat (KPFD), kalsium hidroksiapatit (HA), dan kalsium oksalat (CaOx), dalam berbagai bentuk arthritis. Masing-masing kristal ini dapat menimbulkan arthritis atau periarthritis akut atau kronik. Namun, Secara klinis gejala yang timbul akibat endapan dan pelepasan natrium urat, KPFD, HA, dan CaOx tidak dapat dibedakan, walaupun terdapat perbedaan morfologi, sifat kimia, dan sifat fisika pada kristal tersebut (Hoffman, 2000). 2.2.2 Patogenesis Sebagian besar kasus KPFD asimtomatik dan penyebabnya tidak diketahui karena lebih dari 80 persen pasien berusia lebih dari 60 tahun dan 70 % telah mengalami kerusakan sendi akibat sebab lain. Perubahan fisika dan kimiawi pada tulang rawan yang menua mungkin memudahkan nukleasi kristal. Contoh perubahan kimia tersebut adalah sebagai berikut: 



Peningkatan produksi pirofosfat inorganik dan penurunan kadar pirofosfat ekstrak kartilago pasien arthritis KPFD. Yang nampaknya berkaitan dengan peningkatan



aktifitas



ATP



pirofosfohidrolase



dan



nukleotidase,



yang



mengkatalis reaksi ATP ke adenosin dan pirofosfat, yang dapat bergabung dengan kalsium untuk membentuk kristal KPFD di dalam vesikel matriks. 20







Berkurangnya glikoprotein kartilago yang secara normal menghambat dan mengatur



nukleasi



kristal. Sehingga



terjadi



defisiensi



inhibitor



yang



menyebabkan peningkatan endapan kristal. 



Kajian invitro membuktikan bahwa transforming growth faktor β1 dan faktor pertumbuhan epidermis merangsang pelepasan pirofosfat oleh kartilago sendi sehingga ikut berperan dalam pengendapan kristal KPFD. Pelepasan KPFD di ruang sendi diikuti oleh fagosistosis kristal oleh neutrofil dan pelepasan mediator inflamasi. Selain itu, neutrofil melepaskan suatu glikopeptida yang bersifat kemotaktik untuk neutrofil lain, sehingga memperberat proses peradangan (Faridin, 2007).



2.2.3 Manifestasi klinis Arthropati KPFD dapat asimptomatik, akut, subakut, atau kronik atau menimbulkan sinovitis akut yang terjadi pada sendi yang sudah sakit kronik. Gejala yang dapat terjadi adalah : 



Induksi atau peningkatan beberapa bentuk osteoarthritis







Induksi penyakit resorptif berat yang mungkin secara radiografis mirip dengan arthritis neuropatik







Timbulnya sinovitis proliferalit simetrik, yang secara klinis serupa dengan arthritis reumatoid







Kalsifikasi diskus intervertebralis dan pembatasan mobilitas tulang belakang yang mirip dengan ankilosis spondilitis (Faridin, 2007) Lutut adalah sendi yang paling sering terkena pada arthropati KPFD. Tempat



lain adalah pergelangan tangan, bahu, pergelangan kaki, siku dan tangan. Sendi temporomandibularis, dan ligamentum flavum kanalis spinalis dapat terkena walaupun jarang. Bukti klinis dan radiografik menunjukkan bahwa endapan KPFD bersifat poliartikularis pada paling sedikit dua pertiga pasien. Bila terjadi sinovitis akut, diagnosa dibuat dengan mengidentifikasi kristal berbentuk batang atau romboid dengan birefringent positif lemah dalam cairan sinovium. Bila gambaran klinisnya mirip dengan osteoarthritis progresif lambat, diagnosis mungkin lebih sulit ditegakkan. Distribusi sendi mungkin memberi petunjuk penting, yang menyiratkan penyakit KPFD. Diagnosis pasti memerlukan pembuktian adanya kristal KPFD di cairan sinovium atau jaringan sendi. Tanpa adanya efusi sendi atau indikasi untuk 21



memperoleh



biopsi



sinovium,



kondrokalsinosis



merupakan



bukti



diagnosis



presumtive endapan KPFD (Faridin, 2007). Serangan akut KPFD dapat dicetuskan oleh trauma seperti cedera fisik pada ekstremitas, bedah sendi, keseleo atau bahkan berjalan yang lama. Kejadian ini diyakini akan menimbulkan abrasi tulang rawan dan penyebaran mikrokristal ke dalam ruang sendi (Faridin, 2007) Pada hampir 50 persen kasus, KPFD mungkin disertai demam ringan dan kadang-kadang demam setinggi 40oC. Tanpa memandang ada tidaknya bukti radiografik kondrokalsinosis pada sendi yang terkena, harus dilakukan analisis sinovium dengan pewarna dan biakan mikroba untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Pada kenyataannya, infeksi pada suatu sendi dengan proses pengendapan mikrokristal dapat menyebabkan pelepasan kristal yang diikuti oleh sinovitis akibat kristal dan mikroorganisme. Cairan sinovium pada pseudogout non komplikata memperlihatkan gambaran peradangan. Jumlah sel darah putih dapat berkisar dari beberapa ribu sampai 100.000 sel per mililiter, dengan rerata sekitar 24000 sel permililiter dan sel yang predominan adalah neutrofil. Pemeriksaan dengan mikroskop polarisasi biasanya memperlihatkan kristal birefringent positif lemah di cairan ekstrasel dan di dalam neutrofil. Bila tidak diterapi, serangan akut dapat menetap beberapa hari sampai sebulan. Terapi dengan aspirasi sendi (untuk menurunkan tekanan intraartikularis) dan obat antiinflamasi nonsteroid atau suntikan glukokortikoid intraartikularis dapat mengembalikan keadaan semula dalam 10 hari atau kurang. Untuk pasien yang mengalami serangan berulang pseudogout, terapi profilaktik setiap hari dengan kolkisin dosis rendah mungkin bermanfaat. Sayangnya belum ada pengobatan efektif untuk membersihkan endapan KPFD dari kartilago dan kapsul sendi. Akibatnya, KPFD cenderung menimbulkan arthritis yang progresif (Faridin, 2007). 2.2.4 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit meninggi. Sekitar 20% pasien dengan timbunan kristal KPFD ditemukan hiperurisemia dan 5% disertai kristal MSU (Hoffman, 2000). Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti kubus (rhomboid) atau batang pendek bersifat 22



birefringent positif lemah. Pada keadaan lain dapat berbentuk jarum seperti kristal MSU. Kedua berntuk kristal ini bersifat refringent pada pemeriksaan kristal dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya (Hoffman, 2000). Gambaran radiologis timbunan kristal KPFD dapat memperlihatkan gambaran kondrokalsinosis berupa bintik bintik atau garis garis radioopak yang sering ditemukan di meniskus fibrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa kalsifikasi pada sendi radio ulner distal, simfisis pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan posisi antero posterioos (AP), foto pelvis posisi AP, untuk melihat sekitar simfisis pubis dan panggul dan posisi postero anterior dari pergelangan tangan (Faridin, 2007).



Gambar 6. Gambaran radiologis kondrokalsinosis di kartilago hialin dan fibrokartilago pada rontgen sendi lutut



2.2.5 Diagnosis Pseudogout dicurigai bila didapatkan adanya serangan radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan



penemuan



pemeriksaan



radiologis



yang



memperlihatkan



adanya



kondrokalsinosis. McCarty mengajukan kriteria diagnosis untuk timbunan kristal KPFD yang didasarkan atas gambaran kristal dan radiologis (Faridin, 2007). 



Pembentukan kista subkondral 23







Degenerasi progresif berat: kolaps tulang subkondral (mikrofraktur), dan fragmentasi dengan pembentukan badan-badan radiosens intraartikular.



2.2.6 Tatalaksana 



Non farmakologi Mengistirahatkan sendi penting selama serangan akut dan latihan fisik



dilakukan setelah serangan akut bertujuan memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi untuk menghindari kontraktur (Faridin, 2007). 



Farmakologi Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan aspirasi sekaligus



dilanjutkan dengan pemberian steroid intraartikular. Tindakan ini disamping bertujuan untuk mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan diagnostik untuk pemeriksaan Kristal. Pemberian NSAID berupa fenilbutazon dosis 400-600mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin dosis 75-150 mg/hari atau dengan NSAID lainnya, dengan tetap memperhatikan efek samping NSAID pada saluran cerna dan pemberian pada usia lanjut (Faridin, 2007). Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor kemotaktik seperti selsel neutrofil dan mononuklir dan juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel. Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada pengobatan gout dibandingkan pseudogout (primer), tapi untuk pencegahan serangan dapat digunakan kolkisin oral.



24



BAB 3 PENUTUP 3.1



Kesimpulan Arthropati kristal merupakan penyakit yang sering ditemukan di seluruh dunia,



dengan gout merupakan jenis yang paling umum dari arthropati kristal, dan jenis arthritis lainnya yang lebih jarang adalah pseudogout. Arthritis gout merupakan suatu peradangan pada persendian yang disebabkan oleh pengendapan mineral monosodium urat atau kristal asam urat pada sendi dan jaringan lunak. Sedangkan, pseudogout disebabkan oleh pengendapan kristal kalsium pirofosfat dihidrat (KPFD) Baik arthritis gout maupun pseudogout dapat menyebabkan kerusakan sendi hingga deformitas yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Oleh karena itu, diperlukan terapi secara dini dan benar serta kepatuhan penderita yang baik terhadap pengobatan dalam penangan arthritis gout dan pseudogout.



25



DAFTAR PUSTAKA Balitbang Kemenkes R.I., 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. Busso, N. dan So, A., 2010.Gout.Mechanisms of inflammation in gout.Arthritis research & therapy, 12(2), p.206. Carter, M.A., 2006. Gout, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Volume 2 Edisi 6. EGC: Jakarta. Cecil, R.L.F., Goldman, L. dan Schafer, A.I., 2012. Goldman's Cecil Medicine, Expert Consult Premium Edition--Enhanced Online Features and Print, Single Volume, 24: Goldman's Cecil Medicine (Vol. 1). Elsevier Health Sciences. Choi, H.K., Mount, D.B. and Reginato, A.M., 2005. Pathogenesis of gout.Annals of internal medicine, 143(7), pp.499-516. Cronstein, B.N. dan Terkeltaub, R., 2006. The inflammatory process of gout and its treatment.Arthritis research & therapy, 8(1), p.S3. Dalimartha, S., 2008.Resep tumbuhan obat untuk asam urat. Niaga Swadaya. Departemen Kesehatan Repulik Indonesia, 2006.Pharmaceutical care untuk pasien penyakit arthritis rematik. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan. Diantari, E. dan Candra, A., 2013. Pengaruh Asupan Purin dan Cairan Terhadap Kadar Asam Urat Pada Wanita Usia 50-60 Tahun di Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang (Doctoral dissertation, Diponegoro University). Doherty, M., 2009.New insights into the epidemiology of gout.Rheumatology, 48(suppl_2), pp.ii2-ii8. Dufton, J., 2011. The Pathophysiology and Pharmaceutical Treatment of Gout. Pharmaceutical Education Consultants, Inc. Ellis, S. dan Koduri, G., 2010. Crystal arthropathies.Medicine, 38(3), pp.146-150.



26



Fam AG. What is new about crystals other than monosodium urate? Curr Opin Rheumatol



2000.12:228-234



[dikunjungi



29



desember



2018



http://journals.lww.com/corheumatology/Abstract/2000/05000/What_is_new_about_crystals_other_than _monosodium.13.aspx ] Faridin. 2007. Kristal Arthropati Selain Gout Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Hal 1211-1213 Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser, S., Longo, D., Jameson, J. dan Loscalzo, J., 2008.Harrison's Principles of Internal Medicine (2 Vol Set).McGraw-Hill Professional. Hamijoyo, L., 2012. Apakah Nyeri Sendi Saya Akibat Asam Urat? Kenali Gout. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Hayani, M. dan Widyaningsih, W., 2011.Efek Ekstrak Etanol Herba Putri Malu (Mimosa Pudica, L) sebagai Penurun Kadar Asam Urat Serum Mencit Jantan Galur Swiss.In Prosiding Seminar Nasional “Home Care. Hoffman, Garry. S. 2000. Arthritis Akibat Pengendapan Kristal kalsium dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13, EGC. Khanna, D., Khanna, P.P., Fitzgerald, J.D., Singh, M.K., Bae, S., Neogi, T., Pillinger, M.H., Merill, J., Lee, S., Prakash, S. dan Kaldas, M., 2012.2012 American College of Rheumatology guidelines for management of gout. Part 2: therapy and antiinflammatory prophylaxis of acute gouty arthritis. Arthritis care & research, 64(10), pp.1447-1461. Manampiring, A.E., 2011. Prevalensi hiperurisemia pada remaja obesitasdi Kota Tomohon. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Mandell, B.F., 2008. Clinical manifestations of hyperuricemia and gout.Cleveland Clinic journal of medicine, 75, pp.S5-8.



27



Muchid, A., 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik. Izkafiz: Direkloral Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Depkes. Muniroh, L., Martini, S., Nindya, T.S. dan Solfaine, R., 2010.Minyak atsiri kunyit sebagai anti radang pada penderita gout arthritis dengan diet tinggi purin.Makara, Kesehatan, 14(2), pp.57-64. Murray Robert, K., Granner Daryl, K. and Rodwell Victor, W., 2009. Biokimia Harper, Edisi 27. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. Nainggolan, O., 2009. Prevalensi dan determinan penyakit rematik di Indonesia. Majalah kedokteran indonesia, 59(12), pp.588-594. Patel, P.R., 2010. Lecture Notes: Radiology (Vol. 19). John Wiley & Sons. Purwaningsih, T., 2010.FAKTOR-FAKTOR RISIKO HIPERURISEMIA (Studi kasus di Rumah Sakit Umum Kardinah Kota Tegal) (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS DIPONEGORO). Roddy, E. dan Doherty, M., 2010.Gout.Epidemiology of gout.Arthritis research & therapy, 12(6), p.223. Rosenthal AK. 1998. Crystal arthropathies. In: Maddison P, Isenberg D, Woo P, Glass D, et al. Oxford textbook of rheumatology. 2nd ed. Oxford Rothschild, B.M., Miller, A.V. dan Francis, M.L., 2014. Gout and pseudogout. Saag, K.G. dan Choi, H., 2006.Epidemiology, risk factors, and lifestyle modifications for gout.Arthritis research & therapy, 8(1), p.S2. Sakhaee, K. dan Maalouf, N.M., 2008, March.Metabolic syndrome and uric acid nephrolithiasis.In Seminars in nephrology (Vol. 28, No. 2, pp. 174-180). WB Saunders. Setter, S.M. dan Sonnett, T., 2005. New Treatment Options in the Management of Gouty Arthritis. Jobson Publishing. Sunkureddi, P., Nguyen-Oghalai, T.U. and Karnath, B.M., 2006. Clinical signs of gout. Hospital Physician, 42, pp.39-42. 28



Tahta, A. dan Upoyo, A.S., 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Asam Urat pada Pekerja Kantor di Desa Karang Turi, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Soedirman, 4(1), pp.25-31. Tehupeiory, E.S., 2006. Arthritis Pirai (Arthritis Gout).Reumatologi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W S. FK UI: Jakarta. Tjokroprawiro, A., Septiawan, P.B., Effendi, D. dan Soegiarto, G., 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Vargas-Santos, A.B., Taylor, W.J. dan Neogi, T., 2016. Gout classification criteria: update and implications. Current rheumatology reports, 18(7), p.46. Weaver, A.L., 2008. Epidemiology of gout.Cleveland Clinic journal of medicine, 75, pp.S9-12. Widyanto, F.W., 2017. ARTHRITIS GOUT DAN PERKEMBANGANNYA.Saintika Medika, 10(2), pp.145-152. Zhu, Y., Pandya, B.J. dan Choi, H.K., 2011. Prevalence of gout and hyperuricemia in the US general population: the National Health and Nutrition Examination Survey 2007–2008. Arthritis & Rheumatism, 63(10), pp.3136-3141.



29