Asam Folat Dengan Diare Akut [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Diare merupakan peningkatan frekuensi dan perubahan konsistensi buang air



besar menjadi lembek atau cair. Diare akut berlangsung kurang dari 14 hari, yang bisa diikuti mual, muntah, nyeri perut, gejala sistemik, atau malnutrisi. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak di negara berkembang, dan penyebab terpenting kejadian malnutrisi. Di dunia, sebanyak 4 sampai 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare, dimana sebagian besar kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2003, kira-kira 1,87 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) meninggal karena diare. Delapan dari 10 kematian tersebut terjadi di bawah usia dua tahun. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), kematian karena diare di negara berkembang diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta kematian pada tahun 2003. Walaupun angka kematian karena diare telah menurun, angka kesakitan karena diare tetap tinggi baik di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia dilaporkan bahwa tiap anak mengalami diare sebanyak 1,3 episode per tahun. Penyebab diare terbesar adalah rotavirus yang diperkirakan sebesar 20% sampai 80% di dunia dan merupakan penyebab utama kematian pada anak usia di bawah lima tahun, dengan kematian 500 000 per tahun. Penelitian yang dilakukan di enam rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa 55% balita diare disebabkan oleh rotavirus. Manajemen umum diare akut pada anak dan bayi difokuskan pada pencegahan dan pengobatan dehidrasi dengan memberikan cairan yang cukup, mencegah kekurangan nutrisi dengan memberikan makanan selama dan setelah diare,



1



2



mengurangi durasi diare serta mencegah kejadian diare berulang dengan memberikan suplemen zink. Keberadaan oralit sebagai terapi pencegahan dehidrasi telah menurunkan angka kematian diare dari 5 juta anak per tahun menjadi 3,2 juta per tahun. Hanya saja pemberian oralit tidak dapat mengurangi keparahan diare akut. Sebuah pooled analysis dari randomized controlled trial di Negara berkembang menemukan bahwa suplementasi zink mengurangi durasi dan proporsi episode diare lebih dari tujuh hari pada anak sebesar 25%, sementara penurunan volume tinja sebesar 30%. Suatu uji klinis selanjutnya didapati penurunan insiden diare pada kelompok suplemen zink dibandingkan kontrol sebesar 18%, sedangkan prevalensi diare menurun sebesar 25%. Selain penggunaan suplemen zink, dalam dekade terakhir telah banyak studi mengenai penanganan diare akut, salah satunya adalah penggunaan asam folat. Hasil studi pendahuluan di Afrika Selatan menunjukkan bahwa asam folat oral secara signifikan mengurangi durasi diare akut pada anak. 1.2



Rumusan Masalah



Apakah pemberian asam folat dapat mengurangi keparahan diare akut pada anak? 1.3



Tujuan Penulisan



1.3.1



Tujuan Umum



Mengetahui efek asam folat dalam mengurangi keparahan diare akut pada anak. 1.3.2



Tujuan Khusus



1. Mengetahui efek asam folat dalam menurunkan frekuensi diare pada anak. 2. Mengetahui efek asam folat dalam mengubah konsistensi tinja pada anak. 3. Mengetahui efek asam folat dalam menurunkan volume tinja pada anak. 4. Mengetahui efek asam folat dalam mengurangi durasi diare akut pada anak.



3



1.4



Manfaat Penulisan



1. Mendapatkan pengobatan yang terbaik dalam upaya menurunkan durasi diare akut pada anak, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian anak. 2. Menambah pengetahuan mengenai efek asam folat dalam mengurangi keparahan diare akut pada anak. 3. Hasil penulisan ini diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah dalam penanganan diare akut pada anak dan akan bermanfaat untuk meningkatkan upaya peningkatan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan anak. 1.5



Metode Penulisan Penulisan karya ilmiah ini adalah berupa tinjauan pustaka, dengan sumber



dari jurnal, textbook, majalah dan internet.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Diare Diare didefenisikan sebagai pengeluaran tinja dengan frekuensi ≥ 3 kali dalam



24 jam disertai perubahan konsistensi tinja (lembek atau cair) dengan atau tanpa darah / lendir dalam tinja, disertai atau tanpa muntah. Disebut diare akut bila diare berlangsung kurang dari 14 hari. Konsistensi



lebih



diutamakan



daripada



frekuensi



pengeluaran



tinja.



Pengeluaran tinja yang sering tetapi dengan konsistensi normal, seperti misalnya pada bayi yang hanya mendapat air susu ibu (ASI), tidak dianggap sebagai diare. Kebanyakan tinja penderita diare akan cair (watery diarrhea), kadang-kadang dijumpai darah/lender dalam tinja (dysentery form). Jika diare akut berlanjut selama 14 hari atau lebih disebut sebagai diare persisten. 2.2



Etiologi dan Epidemiologi Diare Diare akut yang terjadi umumnya merupakan diare infeksius yang disebabkan



oleh virus, bakteri atau parasit.



Hasil studi di Bangladesh yang dilakukan oleh



Bingnan dkk (1990) dan Albert dkk (1999) menunjukkan bahwa rotavirus merupakan penyebab tersering kejadian diare. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia tentang penyebab diare akut, rotavirus merupakan penyebab tersering. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2003, prevalensi diare pada anak tertinggi terjadi pada usia 6 sampai 11 bulan (19,4%), 12 sampai 23 bulan (14,8%) dan 24 sampai 35 bulan (12%). Mekanisme penularan utama adalah tinja-mulut, dengan makanan dan air yang tercemar merupakan penghantar untuk kebanyakan kejadian, dan dapat ditularkan melalui kontak dari orang ke orang. Faktor-faktor yang menambah kerentanan diare adalah umur muda, defisiensi imun, campak, malnutrisi, perjalanan



4



5



ke daerah endemik, kekurangan ASI, pemajanan terhadap keadaan sanitasi jelek, makan makanan atau air yang terkontaminasi, dan tingkat pendidikan ibu. 2.3



Patofisiologi Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi



diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri



6



atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi. Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus. Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus. Adhesi Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC) Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin. Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.



7



Invasi Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella. Sitotoksin Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus. Enterotoksin Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus. ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.



8



Peranan Enteric Nervous System (ENS) Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik. Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit. 2.4



Gejala Klinis Diare Pasien dengan diare menunjukkan gejala klinis tergantung penyebabnya.



Infeksi enterik menimbulkan tanda-tanda keterlibatan saluran pencernaan serta manifestasi dan komplikasi sistemik. Keterlibatan saluran pencernaan dapat mencakup diare, mual, muntah, malabsorpsi, dan nyeri perut. Manifestasi sistemik dapat meliputi demam, malaise, dan kejang-kejang. Infeksi



ekstraintestinum



akibat



patogen



enterik



adalah



penyebaran



lokal,



menyebabkan vulvovaginitis, infeksi saluran kencing, dan keratokonjungtivitis. Penyebaran jauh dapat menimbulkan endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis, korioamionitis, infeksi jaringan lunak, dan tromboflebitis septik. Mekanisme ekstraintestinal akibat imun patogen enterik biasanya terjadi sesudah diare sembuh. Dehidrasi dapat terjadi jika diare berat dan intake oral kurang karena mual dan muntah. Manifestasi klinis akibat dehidrasi ini berupa rasa haus, penurunan urin output dengan urin yang pekat, mata cekung, dan turgor kembali lambat. Pada beberapa kasus yang berat bisa terjadi gagal ginjal akut dan perubahan sensorium seperti iritabilitas, stupor, atau koma.



9



2.5



Diagnosis Diare Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan



yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 2.1.



Gambar 2.1 Pendekatan umum Diare infeksi Bakteri.



10



2.6



Manifestasi Klinis Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau



demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.



Diare yang



berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Karena



kehilangan



bikarbonas,



perbandingan



bikarbonas



berkurang,



yang



mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif. Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.



11



2.7



Pemeriksaan Laboratorium Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan



feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya. Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan kotoran. Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7. Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.



12



2.8



Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri



a. Infeksi non-invasif. Stafilococcus aureus Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas. Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien. Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan. Bacillus cereus B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala muntah lebih dominan. Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik. Clostridium perfringens C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan



13



biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam. Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 105 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik. Vibrio cholerae V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi. Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi. Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae. Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan cairan intravena. Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal,



14



merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral. Escherichia coli patogen E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu : 1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC). 2. Enterophatogenic E. coli (EPEC). 3. Enteroadherent E. coli (EAEC). 4. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) 5. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC) Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa. Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157. Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.



15



2. Infeksi Invasif Shigella Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri. Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi. Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri. Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik. Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk



mempersingkat



berlangsungnya



penyakit



dan



penyebaran



bakteri.



Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan. Salmonella nontyphoid Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.



16



Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV. Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral. Salmonella typhi Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi. Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal. Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.



17



Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga. Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut. Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik. Campylobakter Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa. Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari. Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari



18



cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama. Vibrio non-kolera Spesies



Vibrio



non-kolera



telah



dihubungkan



dengan



mewabahnya



gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin. Yersinia Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi. Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis. Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157) EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan



19



Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal. Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (20 mg/dL) adalah diagnosa HUS. HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS. Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya dilakukan pada laboratorium khusus. Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.



20



Aeromonas Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin. Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran. Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole. Plesiomonas Plesiomanas



shigelloides



adalah



gram



negatif,



anaerobik



fakultatif.



Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses. Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim sulfametoksazole. 2.9



Prinsip Tatalaksana Penderita Diare



A.



Penggantian Cairan dan elektrolit Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang



adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh



21



garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara : BD plasma, dengan memakai rumus : Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml 0,001 Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis : - Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB - Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB - Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 2.2) Tabel 2.2. Skor Daldiyono



22



Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter 15 Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan : Cara I : - Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu. - Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan saat itu. - Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg. Cara II : Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter. Cara III : Dengan menggunakan rumus : Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana : Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na 2 = Kadar natrium plasma sekarang ; BW2 = volume air badan sekarang B.



Anti biotik Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut



infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik. Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare



23



pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2.3), tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman. Tabel 2.3. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri



C.



Obat anti diare



Kelompok antisekresi selektif Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan



sekresi



dari



elektrolit



sehingga



keseimbangan



cairan



dapat



dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak. Kelompok opiat Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi



24



frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan. Kelompok absorbent Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit. Zat Hidrofilik Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet. Probiotik Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat. 2.10



Komplikasi Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,



terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular



25



Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal. Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi. Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui. Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp. 2.11



Prognosis Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan



terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.



26



2.12



Pencegahan Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat



dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia. Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air. Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak. Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1



27



kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya. 2.13



Peran Asam Folat Dalam Mengurangi Keparahan Diare Akut Folat (pteroylmonoglutamic acid) adalah salah satu vitamin B yang larut



dalam air dan terdapat dalam makanan. Asam folat adalah bentuk sintetis dari folat dan dapat ditemukan pada suplemen yang ditambahkan untuk fortifikasi makanan. Asupan folat dapat diperoleh dari makanan, sayuran hijau, buah-buahan, serta produk hati. Kebanyakan folat pada makanan lebih mudah teroksidasi sehingga tidak stabil pada kondisi aerob dari penyimpanan atau proses pengolahan. Bioavaibilitas folat berupa jumlah folat yang diabsorpsi di usus dan yang digunakan untuk proses metabolik. Bioavaibilitas folat pada makanan hanya sebesar 30% sampai 80% dibandingkan dengan suplemen asam folat. Folat diabsorpsi sebagai asam folat yang secara transport aktif melewati duodenum dan jejunum oleh proses Na+ coupled carrier mediated dengan melibatkan brush-border folate binding protein (FBP). Asam folat juga diabsorpsi secara pasif melalui proses difusi, dimana mekanisme ini dapat mengabsorpsi folat sebanyak 20% sampai 30%. Malabsorpsi vitamin ini terjadi pada penyakit yang mempengaruhi mukosa usus. Sebagian besar folat di tubuh direduksi menjadi polyglutamate, sehingga untuk diabsorpsi harus diubah menjadi bentuk mono atau diglutamate. Proses konjugasi ini membutuhkan enzim folyl conjugase. Konjugasi ini terjadi di mukosa dari proksimal usus halus dan brush border. Aktifitas konjugasi berkurang pada kondisi defisiensi zink atau terpapar dengan inhibitor makanan. Hilangnya aktifitas konjugasi menyebabkan kerusakan absorpsi folat. Folat ditransport ke jaringan sebagai derivate monoglutamate dalam bentuk bebas di plasma. Uptake sel pada folat membutuhkan energi dan Na+. Dalam



28



jaringan, FBP yang mengikat folat memainkan peranan yang penting untuk stabilisasi folat dengan mengurangi pemakaian metabolik dan meningkatkan retensi intraseluler. Folat memiliki fungsi sebagai kofaktor enzim untuk sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) yang berperan dalam replikasi sel dan juga dibutuhkan untuk mengubah homosistein menjadi metionin, serta membantu mempertahankan nilai normal asam amino.



Baik dewasa maupun anak-anak



membutuhkan folat untuk mempertahankan sel darah merah dan mencegah anemia. Asam folat juga dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan epitel sel baru dari mukosa usus halus melalui percepatan regenerasi normal dari sel – sel yang rusak akibat diare. Selain itu perbaikan cell-mediated dan imunitas humoral juga membutuhkan asam folat . Defisiensi asam folat tidak hanya menyebabkan diare akibat rotavirus yang bertambah berat pada tikus tapi juga menghambat kenaikan berat badan selama proses penyembuhan. Pengobatan defisiensi asam folat dengan pemberian asam folat 5 mg per hari selama empat bulan. Bila mengkonsumsi asam folat secara berlebihan, maka tubuh akan membuangnya melalui sistem urin. Karena keterbatasan serapan asam folat dari makanan sehari-hari, maka disarankan untuk menambahkan asam folat dari sumber makanan lainnya. Sumber tersebut dapat diperoleh dari makanan yang difortifikasi maupun suplemen asam folat.



29



BAB III PEMBAHASAN



Diare merupakan penyebab kematian anak di seluruh dunia dan penyebab penting kejadian malnutrisi. Kebanyakan terjadi pada anak usia dibawah lima tahun di negara miskin dan berkembang. Etiologi diare akut sebagian besar adalah rotavirus. Mekanisme penularan melalui tinja-mulut. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada anak balita adalah faktor sosiodemografi dan lingkungan. Analisa bivariat menunjukkan bahwa pendidikan orangtua dan usia anak sebagai faktor sosiodemografi, dimana anak usia 12 sampai 24 bulan memiliki 2,23 kali lebih sering kejadian diare daripada usia 25 sampai 59 bulan. Sementara sumber air minum, jarak kakus dengan septik tank sebagai faktor lingkungan yang mempengaruhi insiden diare Analisa multivariat menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu, kemiskinan, dan usia anak sebagai faktor dominan yang mempengaruhi insiden diare pada anak usia di bawah lima tahun. Dimana usia ini merupakan risiko terbesar kejadian diare pada anak. Tingkat pendidikan ibu yang masih rendah dan kemiskinan merupakan faktor yang juga mempengaruhi kejadian diare pada anak. WHO mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja tiga kali atau lebih dengan konsistensi cair atau lembek dalam 24 jam. Episode baru diare dapat terjadi setelah dua hari penuh tanpa diare. Episode diare kurang dari 14 hari disebut akut. Dehidrasi merupakan penyebab kematian akibat diare, sehingga penanganan utama diare pada anak adalah terapi rehidrasi oral, melanjutkan pemberian makanan, dan pemberian antimikroba hanya pada kondisi yang diperlukan. Telah banyak dilakukan penelitian untuk mengurangi keparahan diare pada anak, salah satunya penggunaan asam folat oral. Asam folat merupakan kunci sintesis DNA



29



30



dan RNA sehingga dapat membantu pertumbuhan epitel baru mukosa usus halus yang rusak akibat diare. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Ade Amelia,2010 Subjek dibagi menjadi dua kelompok, dimana tiap kelompok masing – masing diberi asam folat dan plasebo selama 5 hari untuk melihat perubahan frekuensi diare per hari, konsistensi tinja per kali BAB, volume tinja per hari, serta durasi diare yang dinilai sejak dari pemberian obat sampai sembuh, setelah sebelumnya anak direhidrasi oral. Konsistensi tinja menjadi normal dan volume diare mulai berubah pada hari kedua pemberian asam folat, sedangkan frekuensi diare menjadi normal mulai pada hari ketiga, Sementara pada plasebo frekuensi dan volume diare mulai menjadi normal pada hari ketiga, sedangkan konsistensi tinja normal terjadi pada hari keempat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan lama penyembuhan antara kelompok asam folat dan plasebo, dimana kelompok asam folat lebih cepat mengalami penyembuhan diare daripada kelompok plasebo. Kesembuhan diare akut dinilai dari frekuensi diare menjadi normal yaitu kurang dari 3x dalam sehari, konsistensi tinja dari cair atau lembek menjadi normal, serta volume tinja menjadi normal kurang dari 200 cc per hari. Penilaian ini dilakukan selama 48 jam. Penyembuhan diare akut dapat terjadi spontan tujuh sampai 10 hari tanpa pengobatan. Pada penelitian tersebut dengan mengamati frekuensi diare, konsistensi tinja, dan volume diare sejak diberi asam folat didapati perbedaan yang bermakna durasi penyembuhan diare 91,3 jam pada kelompok asam folat, sementara pada kelompok plasebo 117,9 jam. Jika dinilai dari hari pertama mulai diare didapati bahwa rerata lamanya diare yang dialami kelompok asam folat adalah 123,3 jam (5,14 hari), sedangkan kelompok plasebo 147.5 jam (6,14 hari). (Ade Amalia, 2010) Hasil yang didapati pada penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan (1988), dimana pada penelitian yang dilakukan terhadap anak usia 1 sampai 44 bulan didapati bahwa asam folat oral secara signifikan



31



mengurangi durasi diare akut pada anak. Hanya saja penelitian ini ini tidak dilakukan secara randomized dan blind sehingga memiliki bias yang besar. Studi selanjutnya yang dilakukan di Bangladesh (1998) pada kelompok anak usia 6 sampai 23 bulan mendapati bahwa asam folat yang digunakan sebagai adjuvant tidak memberi hasil yang baik secara klinis pada bayi dan anak yang mengalami diare akut.



32



BAB IV PENUTUP



4.1



Kesimpulan Setelah dilakukan studi tentang anak diare akut dengan memberikan asam



folat didapati penurunan frekuensi diare, konsistensi tinja, volume tinja, dan durasi diare yang signifikan. Durasi penyembuhan kelompok asam folat lebih cepat daripada plasebo. Demikian juga lamanya diare menjadi lebih singkat pada kelompok asam folat. Pemberian asam folat terbukti efektif mengurangi keparahan diare akut pada anak. 4.2



Saran Diperlukan studi lebih lanjut dengan desain dan cara kerja yang lebih baik



untuk menilai manfaat asam folat dalam mengurangi keparahan diare akut, sehingga asam folat dapat digunakan sebagai terapi adjuvan pada anak diare akut.



32



33



DAFTAR PUSTAKA



Alexander KC. 2007. Acute gastroenteritis in children : role of anti-emetic medication for gastroenteritis related vomiting. Pediatric drugs Ashraf H. 1998. Folic acid in the treatment of acute watery diarrhea in children: a doubleblind, randomized controlled trial. Acta Paediatri Bhandari N. 2007. Adding zinc to supplemental iron and folic acid does not affect mortality and severe morbidity in young children. J Nutr Bhutta ZA. 2007. Acute gastroenteritis in children. Philadelphia: Nelson textbook of pediatrics Linder MC. 1991. Nutritional biochemistry and metabolism : with clinical Applications. Prentice-Hall Int Inc Malek MA. 2006. Diarrhea and rotavirus-associated hospitalization among children less than 5 years of age: united states. Pediatrics Mouzan ME. 2006. Chronic diarrhea in children : part I. physiology. Saudi J Gastroenterol Olesen B, Neimann J. 2005. Etiology of diarrhea in young children in Denmark : a casecontrol study. J Clin Microbiol Soenarto Y. 2007. Tatalaksana diare pada anak. Jakarta: Disampaikan pada Lokakarya Tatalaksana Diare Thapar N. 2004. Diarrhoea in children : an interface between developing and developed countries. Lancet Thielman NM. 2004. Acute infectious diarrhea. The New England J Med



33



34



World Health Organization. 2005. The treatment of diarrhoea: a manual for physicians and other senior health workers. WHO World Health Organization. 2006. Implementing the new recommendations on the clinical management of diarrhea. WHO