Askep Cedera Otak - Kelompok 3 Kelas C [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PASIEN TRAUMA KEPALA/TRAUMA OTAK



OLEH KELOMPOK 3 KELAS C 1. Wahyu Azwar Sunati



6. Jihan Adriani Humonggio



2. Taufik Ismail Mohamad



7. Novita Zakaria



3. Zulfikar Setiadi



8. Nur Daliyah Mohamad



4. Fidya Lestari Dalanggo



9. Serli Aristiawati Hamtuna



5. Fitriah Nur



10. Vevi Anggriani Inaku



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2017



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya serta kemudahan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan



makalah



ini



dengan



judul



“Asuhan



Keperawatan



Kegawatdaruratan Pasien Cedera Otak”. Mengingat bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami. Kami menyadari bahwa dalam menulis makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan perbaikan makalah selanjutnya. Demikian harapan kami, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.



Gorontalo,



November 2017



Kelompok 3



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ..................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 2 1.3 Tujuan ................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN KONSEP MEDIS 2.1



Definisi Cedera Otak ......................................................... 3



2.2



Klasifikasi Cedera Otak ................................................... 3



2.3



Etiologi Cedera Otak ......................................................... 8



2.4



Manifestasi Cedera Otak ................................................. 8



2.5



Patofisiologi Cedera Otak ................................................. 9



2.6



Pathway Cedera Otak ....................................................... 12



2.7



Pemeriksaan Diagnostik Cedera Otak ........................... 13



2.8



Penatalaksanaan Cedera Otak ........................................ 14



2.9



Komplikasi Cedera Otak ................................................. 16



KONSEP KEPERAWATAN 2.1 Pengkajian Cedera Otak.................................................... 18 2.2 Diagnosa Keperawatan Cedera Otak ............................... 21 2.3 Rencana Keperawatan Cedera Otak ................................ 22 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ......................................................................... 29 3.2 Saran .................................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 30



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007). Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) (Wahjoepramono, 2005). Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Depkes, 2012).



1



Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi dari cedera otak? 2. Apa saja klasifikasi dari cedera otak? 3. Apa saja penyebab dari cedera otak? 4. Apa saja tanda dan gejala dari cedera otak? 5. Bagaimana perjalanan penyakit dari cedera otak? 6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari cedera otak? 7. Apa saja pentalaksanaan dari cedera otak? 8. Apa saja komplikasi dari cedera otak? 9. Bagaimana asuhan keperawatan untuk pasien dengan cedera otak? C. Tujuan Agar mahasiswa dapat mengetahui : 1. Definisi dari cedera otak. 2. Klasifikasi dari cedera otak. 3. Penyebab dari cedera otak. 4. Tanda dan gejala dari cedera otak. 5. Perjalanan penyakit dari cedera otak. 6. Pemeriksaan diagnostik dari cedera otak. 7. Pentalaksanaan dari cedera otak. 8. Komplikasi dari cedera otak. 9. Asuhan keperawatan untuk pasien dengan cedera otak.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma tembus. B. Klasifikasi Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan Mekanisme a.



Trauma Tumpul Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).



b.



Trauma Tembus Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.



3



2. Berdasarkan Beratnya Cidera Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu : a.



Cedera kepala ringan 1) GCS 13 – 15 2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. 3) Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma



b.



Cedera kepala sedang 1) GCS 9 – 12 2) Saturasi oksigen > 90 % 3) Tekanan darah systole > 100 mmHg 4) Lama kejadian < 8 jam 5) Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam 6) Dapat mengalami fraktur tengkorak



c.



Cedera kepala berat 1) GCS 3 – 8 2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam 3) Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral



Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”. 3. Berdasarkan Morfologi a.



Cedera kulit kepala Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.



4



b.



Fraktur Tengkorak Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000). Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi : 1) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit. 2) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea. 3) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).



c.



Cedera Otak 1) Commotio Cerebri (Gegar Otak) Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). 5



Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan. 2) Contusio Cerebri (Memar Otak) Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas). 3) Perdarahan Intrakranial a) Epiduralis haematoma Adalah terjadinya



perdarahan



antara tengkorak dan



durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior. b) Subduralis haematoma Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga 6



darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). c) Subrachnoidalis Haematoma Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. d) Intracerebralis Haematoma Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma. 4. Berdasarkan Patofisiologi a.



Cedera kepala primer Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.



b.



Cedera kepala sekunder Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain



7



C. Etiologi 1.



Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu : a.



Trauma Primer Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)



b.



Trauma Sekunder Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.



2.



Trauma akibat persalinan



3.



Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga.



4.



Jatuh



5.



Cedera akibat kekerasan



D. Manifestasi Klinis 1.



Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut : a



Trias TIK : penurunan tingkat kesadaran, gelisah/irritable, papil edema, muntah proyektil.



b



Penurunan fungsi neurologis, seperti : perubahan bicara, perubahan reaksi pupil, sensori motorik berubah.



c 2.



3.



Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia).



Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut : a



CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung.



b



Perdarahan dibelakang membrane timpani.



c



Periorbital ekhimosis.



d



Battle’s sign (memar di daerah mastoid).



Kerusakan saraf cranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan terjadi atau kemudia dengan manifestasi sebagai berikut : a



Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus.



b



Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory. 8



c



Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktoriuos.



d



Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus okulomotor.



4.



5.



e



Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah.



f



Nistagmus karena kerusakan system vestibular.



Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut : a



Sakit kepala-pusing.



b



Retrograde amnesia.



c



Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit.



Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut : terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis : a



Peningkatan TIK



b



Tanda dan gejala herniasi otak. 1) Kontusio serebri Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Kontusio pada lobus temporal : agitasi, confuse, kontusio frontal : hemiparese, klien sadar; kontusio frontotemporal : aphasia. Tanda dan gejala tersebut reversible. 2) Kontusio Batang otak -



Respon segera menghilang dan pasien koma.



-



Penurunan kesadaran terjadi berhari-hari, bila kerusakan berat.



-



Pada system reticular terjadi comatose permanen.



-



Pada perubahan tingkat kesadaran : a) Respirasi : dapat normal/periodic/cepat. b) Pupil : simentris konstriksi dan reaktif. c) Kerusakan pada batang otak bagian atas pupis abnormal. d) Gerakan bola mata : tidak ada.



E. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi 9



kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan



itu



bisa



seketika/menyusul



rusaknya



otak



dan



kompresi,



goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang



bergerak



dan



menimbulkan



gerakan.



Akibat



dari



akselerasi,



kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. 10



Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya. Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.



11



Trauma tumpul



Cedera kepala



Ekstra kranial



Mual dan muntah Papil oedema Pandangan kabur Penurunan fungsi pendengaran 5. Nyeri kepala ri



Penurunan reflek batuk



Penumpukan sekret



Ketidakefektifan bersihan jalan nafas



intra kranial



Tulang kranial



Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vesikuler



1. 2. 3. 4.



Trauma tajam



Terputusnya kontinuitas tulang



Gangguan sirkulasi darah Peningktan TIK



Jaringan otak rusak , (kontusio ,laserasi) Gangguan autoregulasi Aliran darah ke otak



Penurunan kesadaranri



O2 ri



Gangguan menelan



Gangguan metabolisme



Penurunan reflek batuk



Risiko ketidakefektifan perfusi serebral



Rangsangan saraf simpatis Tekanan darah Tekanan pembuluh darah pulmonal



tekanan hidrostatik naik Metabolisme anaerob Kebocoran cairan kapiler Asam laktat Difusi O2 terhambat



Oedem paru



Hipoksemia, hiperkapnea 1



Ketidakefektifan pola nafas



F. Pemeriksaan Diagnostik 1.



CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.



2.



MRI Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.



3.



Cerebral Angiography Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.



4.



EEG (Elektroencepalograf) Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis



5.



X-Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.



6.



BAER Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil



7.



PET Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak



8.



CSF, Lumbal Pungsi Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.



9.



ABGs Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial



10. Kadar Elektrolit Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial 11. Screen Toxicologi Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran. 1



G. Penatalaksanaan 1.



Pre dan Intra hospital Menurut Arifin (2012) tidak ada tindakan khusus yang dapat anda lakukan terhadap penderit cedera kepala di tempat kejadian. Penting sekali melakukan pemeriksaan cepat dan mengirim penderita ke pusat yang memiliki fasilitas yang mampu menangani penderita cedera kepala sebelum sampai di rumah sakit antar lain: a.



Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigenasi yang baik. Otak tidak mampu mentoleransi hipoksia, sehinggga kebutuhan oksigenasi adalah mutlak. Jika penderita koma, harus dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal. Hal ini mencegah aspirasi dan memungkinkan oksigenasi serta ventilasi yang lebih baik karena penderit cedera kepala cenderung mengalami muntah, persiapan untuk immobilisasi ‘log-roll’ terhadap penderita dan lakuakn suction pada oropharynx, terutama jika tidak dipasang endotracheal tube.



b. Stabilisasi penderita dengan papan spine. Leher harus diimmobilisasi dengan kollar kaku dan peralatan immobilisasi yang menjadi tumpuan kepala c. Lakukan pencatatan hasil pengamatan awal. Catat tekanan darah, respirasi (frekuensi dan pola), pupil (ukuran dan reaksi terhadap cahaya), sensasi dan aktifitas motorik spontan, juga catat nilai GCS. Jika penderita mengalami hipotensi, curigai adanya perdarahan atau cedera spinal d. Sering lakukan pengamatan ulang dan catat secara berurutan e. Pasang dua infuse dengan iv catheter yang berukuran besar. Dahulu ada pemikiran untuk membatasi cairan pada penderit cedera kepala. Sudah dibuktikan bahwa bahaya terjadinya bengkak otak lebih sering disebabkan oleh hipotensi dibandingkan pemberian cairan Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut :



2



a.



Observasi 24 jam



b.



Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.



c.



Berikan terapi intravena bila ada indikasi.



d.



Pasien diistirahatkan atau tirah baring.



e.



Profilaksis diberikan bila ada indikasi.



f.



Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.



g.



Pemberian obat-obat analgetik.



h.



Pembedahan bila ada indikasi. Rencana Pemulangan :



a



Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan pengobatan.



b



Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.



c



Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.



d



Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.



e



Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila pasien mengalami gangguan mobilitas fisik.



f



Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.



g



Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.



h



Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.



2. Farmokologi a



Pemberian antibiotika bila ada luka,



b



Pemberian analgetik NSAID,



3



c



Pemberian sedatif/transquilizer bila diperlukan untuk memperbaiki kenaikan TIK dan penenang.



d



Pemberian manitol untuk menurunkan TIK secara bolus 0,25-1 gram/kgBB, erum osmolaritas harus diperiksa bawah 320 mmol/l untuk mencegah gagal ginjal.



e



Pemberian nutrisi dini secara bertahap yang harus tercapai untuk kebutuhan total dalam waktu 7 hari setelah trauma, adalah 140% dari kebutuhan basal pada pasien yang tidak dilumpuhkan dan yang diberikan secara parenteral dan enteral, sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein.



f



Pemberian Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor Agent dengan H2 Blocker dan pemberian PPI (proton Pump Inhibitrt) yang dapat menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD)



H. Komplikasi 1.



Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.



2.



Kejang/Seizure Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurangkurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy



3.



Infeksi Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya



4



berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain. 4.



Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.



5.



Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit. Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera



5



ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1.



Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat



2.



Identitas Penanggung jawab Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.



3.



Riwayat kesehatan : Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien



4.



Pengkajian persistem a.



Keadaan umum 1) Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma 2) TTV 3) Sistem Pernapasan Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas bunyi ronchi. 4) Sistem Kardiovaskuler Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian takikardi. 6



5) Sistem Perkemihan Inkotenensia, distensi kandung kemih 6) Sistem Gastrointestinal Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan selera 7) SistemMuskuloskeletal Kelemahan otot, deformasi 8) Sistem Persarafan Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan . Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh. a) Nervus cranial N.I : penurunan daya penciuman N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor. N.V : gangguan mengunyah N.VII, N.XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan



7



b) Skala Koma Glasgow (GCS) NO



1



KOMPONEN



NILAI 5



Orientasi baik



4



Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat



VERBAL 3



2



3



HASIL



Bicara



kacau/kata-kata



tidak



tepat/tidak



nyambung dengan pertanyaan



2



Suara tidak dapat dimengerti, rintihan



1



Tidak berespon



6



Dengan perintah



5



Melokalisasi nyeri



4



Menarik area nyeri



3



Fleksi abnormal



2



Ekstensi abnormal



1



Tidak berespon



4



Spontan



Reaksi membuka



3



Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)



mata (EYE)



2



Rangsang nyeri



1



Tidak berespon



MOTORIK



c) Fungsi motorik Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara internasional : RESPON



SKALA



Kekuatan normal



5



Kelemahan sedang



4



Kelemahan berat (antigravity)



3



Kelemahan berat (not antigravity)



2



Gerakan trace



1



Tak ada gerakan



0



8



B. Diagnosa Keperawatan 1.



Ketidakefektifan



Bersihan



Jalan



Napas



(00031)



(Domain



11



:



Keamanan/Perlindungan Kelas 2: Cedera Fisik) 2.



Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral (00201) (Domain 4 Aktivitas Istirahat Kelas 4 Respon Kardiovaskular/Pulmonal)



3.



Ketidakefektifan Pola Napas (00032) (Domain 4 Aktivitas/Istirahat Kelas 4 Respons Kardiovaskular/Pulmonal)



9



C. Rencana Keperawatan No



DIAGNOSA



Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas (00031) (Domain 11 : Keamanan/Perlindungan Kelas 2: Cedera Fisik) Definisi : Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.



NCC



Intervensi



NOC : 1. Respiratoty status : Ventilation 2. Respiratory status : Airway patency Tujuan : Dalam waktu ...x24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan napas kembali efektif



Kriteria Hasil : 1. Penumpukan saluran nafas Batasan Karakteristik : teratasi - Terdapat penumpukan cairan di 2. Saturasi O2 saluran nafas pasien karena ada normal akumulasi CSF dari otak yang masuk 3. Foto thorak ke dalam saluran nafas normal



cairan pada klien dapat dalam



batas



dalam



batas



Rasional



NIC Observasi 1. Karakterikstik sputum Observasi 1. Kaji warna, kekentalan, dapat menunjukkan dan jumlah sputum berat ringannya 2. Monitor respirasi dan obstruksi status O2 2. Untuk mengetahui status respirasi atau Mandiri 3. Atur posisi semifowler pernafasan pada klien 4. Bantu klien latihan nafas dalam Mandiri 5. Pertahankan intake 3. Meningkatkan ekspansi cairan sedikitnya 2500 dada ml/hari kecuali tidak 4. Batuk yang terkontrol diindikasikan dan efektif dapat 6. Lakukan fisioterapi memudahkan dada dengan teknik pengeluaran sekret ke postural drainase, dalam jalan nafas besar perkusi, dan fibrasi dada untuk dikeluarkan 5. Hidrasi yang adekuat membantu Health Education 7. Jelaskan pada pasien mengencerkan sekret ke dan keluarga tentang dalam jalan napas besar penggunaan peralatan : untuk dikeluarkan O2, Suction, Inhalasi.



10



6. Kolaborasi 8. Kolaborasi dengan tenaga medis atau dokter tentang pemasangan suction dan inhalasi



Fisioterapi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret



Health Education 7. Agar keluarga klien dapat menggunakan peralatan medis tersebut Kolaborasi 8. Untuk mengeluarkan cairan yang tertumpuk di dalam saluran nafas pasien



Resiko Ketidakefektifan Perfusi NOC : Circulation status Jaringan Serebral (000201) Tissue Prefusion : Domain 4 : Aktivitas/istirahat cerebral Kelas 4 : Respon kardiovaskular/pulmonal Kriteria Hasil : Defenisi : Suatu keadaaan dimana 1. Mendemonstrasikan status seseorang individu mengalami penurunan sirkulasi yang ditandai suplai nutrisi dan oksigen pada tingkat dengan: seluler oleh karena penurunan suplai darah o Tidak ada tanda tanda arteri peningkatan tekanan



NIC : Observasi 1. Untuk mengetahui Observasi 1. Monitor CVP apakah pemberian 2. Monitor status tindakan melalui pernafasan pemasangan CVP seperti 3. Monitor tanda-tanda obat melalui intravena perdarahan berjalan lancar/tidak ada 4. Monitor status neurologi hambatan. dan TIK 2. Untuk mengetahui 5. Monitor status oksigen tanda-tanda hipoksia jaringan yang tersedia



11



Batasan Karakteristik:  Penurunan tingkat kesadaran



intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg) 2. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan: o Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan o Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi o Memproses informasi o Membuat keputusan dengan benar o Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter



6. Pantau nilai 3. Agar dapat segera laboratorium untuk ditangani sebelum terjadi melihat perubahan perdarahan yang hebat oksigen atau 4. Untuk melihat akibat keseimbangan asam basa lain dari trauma sepertu 7. Monitor efek dari peningkatan TIK pemberian cairan dan 5. Untuk mencegah obat anti nyeri hipoksia aau kekurangan oksigen di jaringan 6. Untuk mengetahui penyebab lain dari trauma otak Mandiri 8. Posisikan pasien pada 7. Agar tidak dapat posisi semifowler menimbulkan akibat dari 9. Minimalkan stimuli dari pemberian cairan atau lingkungan obat yang berlebihan 10. Batasi gerakan pada kepala, leher dan Mandiri punggung 8. Untuk memaksimalkan suplai oksigen untuk pasien 9. Untuk mencegah HE 11. Berikan informasi stimulus yang berlebihan kepada keluarga, dari luar meliputi defenisi 10. Untuk mencegah cedera penyakit yg diderita, yang akan berlanjut pada penyebab, manifestasi kepala pasien



12



klinis, dan penatalksanaannya.



Health Education 11. Agar keluarga pasien dapat dengan sendirinya Kolaborasi 12. Kolaborasi pemberian melakukan tindakan anti-analgetik mandiri pada pasien dan agar keluarga pasien juga dapat mencegah hal yang dapat membuat kondisi pasien menjadi buruk



Kolaborasi 12. Untuk mencegah nyeri yang terjadi pada pasien NIC : : Observasi 1. Pantau adanya pucat dan : sianosis 2. Pantau efek obat pada status pernapasan 3. Pantau pernapasan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri diharapkan pola nafas pada 4. Tenangkan pasien pasien dapat efektif selama periode gawat napas



NOC : 1. Respiratory status Ketidakefektifan Pola Napas (00032) Ventilation (Domain 4 Aktivitas/Istirahat Kelas 4 2. Respiratory status Respons Kardiovaskular/Pulmonal) Airway patency Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi yang 3. Vital sign status tidak memberi ventilasi adekuat



Batasan Karakteristik : - Tidak ada batuk pada pasien



Observasi 1. Melihat apabila terjadi sianosis 2. Melihat apibila obat mempengaruhi status pernapasan 3. Mengetahui status pernapasan



Mandiri



13



Kriteria Hasil : 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) 2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafas dalam rentang normal, tidak suara nafas abnormal) 3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.



5. Anjurkan napas dalam 4. melalui abdomen selama periode gawat napas 6. Atur posisi pasien untuk 5. mengoptimalkan pernapasan 6. HE 7. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan 8. Ajarkan teknik batuk efektif 9. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleh merokok didalam ruangan 10. Instruksikan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa harus memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan



Agar klien dapat mengatur nafasnya dengan baik Untuk memenhi kebutuhan oksigen pasien Untuk memaksimalkan masukan oksigen



Health Education 7. Agar keluarga dan pasien bisa menggunakan teknik relaksasi pernapasan mandiri 8. Agar pasien dapat mengeluarkan sekret secara mandiri 9. Untuk tidak memperburuk pernapasan pasien 10. Agar penanganan cepat dilakukan Kolaborasi 11. Untuk memastikan adekuatnya ventilator



14



Kolaborasi 11. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan adekuat fungsi ventilator mekanis 12. Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola pernapasan



12. Untuk mengoptimalkan pola pernapasan



15



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma tembus. B. Saran Sebagai seorang calon perawat kita seharusnya dapat mengapikasikan teori keperawatan yang telah dipelajari ke dalam lingkungan sehari0hari khususnya di rumah sakit. Seperti pada pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera otak ini, kita harus melakukan setiap tahap-tahap proses keperawatan sesuai dengan yang telah di dokumentasikan.



16



DAFTAR PUSTAKA J.Corwin, Elizabet. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC Arif, Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius Krisanty, Paula dkk, (2011). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta. Trans Info Media Mansjoer Arif,dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal. Carpenito, Linda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC. Doenges, E. M, Mary F.M, Alice C.G. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. Herdman, T.Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC. Wilkinson, Judith & Ahern, Nancy. 2011. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC



17