Askep Difteri Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIFTERI Dosen : Dr. Tri Ratnaningsih.,S.Kep.Ns.,M.Kes



Disusun Oleh Kelompok 6 : 1. Yovani Hariyogik (201701180) 2. Nadya Wina W. (201701194) 3. Lorens Luan (201701207)



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO 1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2 LAPORAN PENDAHULUAN.............................................................................................................3 A.



Definisi......................................................................................................................................3



B.



Etiologi......................................................................................................................................3



C.



Tanda dan Gejala....................................................................................................................4



D.



Pathogenesis.............................................................................................................................5



E.



Manifestasi Klinis....................................................................................................................6



F.



Prognosis..................................................................................................................................6



G.



Pathway................................................................................................................................7



H.



Komplikasi :.........................................................................................................................8



I.



Pemeriksaan Diagnostik :........................................................................................................8



J.



Penatalaksanaan Medis :.........................................................................................................8



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.............................................................................................11 A.



PENGKAJIAN.......................................................................................................................11



B.



Diagnosa Keperawatan :.......................................................................................................12



C.



Intervensi................................................................................................................................12



D.



Evaluasi..................................................................................................................................15



KESIMPULAN...................................................................................................................................16 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................17



2



LAPORAN PENDAHULUAN A. Definisi Suatu penyakit infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering diserang terutama



saluran



pernafasan



bagian



atas



dengan



tanda



khas



timbulnya



“pseudomembran”. Kuman juga melepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum local. Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diptheriae yang bersifat gram positif dan polimorf, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Bakteri dapat ditemukan dalam sediaan langsung yang diambil dari hapusan tenggorok atau hidung, basil difteria akan mati pada suhu 60 derajat celcius selama 10 menit tapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu, dan lendir yang telah mengering. Dapat diartikan juga sebagai suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan bagian atas dengan masa inkubasi antara 2 sampai 7 hari. Basilnya dapat hidup dan berkembang biak pada saluran pernafasan atas, maka dapat menimbulkan terjadinya radang dengan terbentuknya pseudomembran local. Bila tidak mendapat pengobatan maka akan menyebar ke seluruh saluran pernafasan atas yang akhirnya menyebabkan tersumbatnya jalan nafas atau obstruksi. Basil difteri akan mengeluarkan toksin dan akan menyebar ke jantung sehingga menyebabkan paralise, menyebar ke syaraf sehingga mengakibatkan paralise, dan menyebar ke ginjal sehingga menyebabkan nepritis. B. Etiologi Corynebacterium diptheriae merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati dalam pemanasan 60 derajat celcius, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade bentuk L atau V atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob bisa dalam keadaan media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia, Corynebacterium diptheriae dapat hidup bersama – sama dengan kuman diphtheroid saprofid yang mempunyai morfologi serupa sehingga membedakannya kadang – kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose, dan sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan 3



spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa meneramgkan mengapa pada seseorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas dari C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin seperti in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai dua fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi – terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. Penularan difteri dari penderita terjadi secara langsung melalui air ludah, maupun secara tidak langsung melalui sapu tangan dan berbagai benda lain yang tercemar ludah penderita. Penularan melalui air susu dan debu dapat juga terjadi dan manusia merupakan satu – satunya sumber infeksi difteri bagi manusia lainnya. C. Tanda dan Gejala a) Gejala umum : demam tidak terlalu tinggi, lesu pucat, nyeri kepala dan anoreksia. b) Gejala ringan : pilek, secret yang keluar terkadang bercampur darah, radang selaput lender. c) Gejala berat : radang akut tenggorokan, suhu tinggi, nafas berbau, pembengkakan kelenjar getah bening, suara serak, sesak nafas dan sianosis. Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit difteri : a) Diphtheria Hidung : permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. b) Diphtheria Tonsil-Faring : Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trakea. c) Diphtheria Laring : Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.



4



d) Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga : Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. D. Pathogenesis Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati. Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan gangguan pernafasan dapat menimbulkan respon imun terhadap difteri, walaupun level toksin biasanya tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa wabah difteri biasanya terjadi di daerah beriklim sedang, dimana kasus infeksi kulit jarang terjadi sehingga level imunitas alami yang terbentuk juga rendah, hal ini terutama terjadi pada anak – anak.



5



E. Manifestasi Klinis Pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi (dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring). Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain. F. Prognosis Bergantung pada : 1) Umur pasien, makin muda usianya makin jelek prognosisnya 2) Perjalanan penyakit makin terlambat diketemukan makin buruk keadaannya. 3) Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan 4) Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk juga buruk 5) Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis. 6) Pengobatan : terlambat pemberian ADS maka prognosis akan memburuk.



6



G. Pathway Corynebacterium diphtheriae



Udara (droplet infection), alat terkontaminasi



Tubuh



Berkembang biak



Saluran nafas



Membentuk pseudomembran



Melepaskan eksotoksin



Faring, laring, tonsil, saluran nafas



Jalan nafas terganggu



7



Otot jantung



Saraf perifer



miokarditis



Paralisis otot pernafasan



Hati dan ginjal



H. Komplikasi : 1. Pada saluran pernafasan : terjadi obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia, atelectasis. 2. Kardiovaskular : miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang membentuk kuman difteria. 3. Kelainan pada ginjal (nefritis) 4. Kelainan saraf (kira – kira 10 % pasien difteria mengalami komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama system motoric), berupa : a. Paralisis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau), tersedak, atau sukar menelan, dan dapat terjadi pada minggu ke I sampai II. b. Paralisis / paresis otot – otot mata sehingga dapat menyebabkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu ke III. c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu ke IV, kelainan dapat mengenai otot – otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan. I. Pemeriksaan Diagnostik : 1. Laboratorium (apakah ada kuman corynebacterium diphtheriae). 2. Pemeriksaan darah (apakah ada penurunan Hb, leukosit, eritrosit, dan albumin). 3. Pemeriksaan bakteriologis 4. Shick test (apakah seseorang tersebut rentan terhadap difteri) J. Penatalaksanaan Medis : 1. Tindakan umum : a. Mencegah terjadinya komplikasi b. Mempertahankan / memperbaiki keadaan umum c. Mengatasi gejala / akibat yang timbul 2. Pengobatan : a. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) harus diberikan setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke enam menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.



8



No.



Tipe Difteria



Dosis ADS (KI)



Pemberian



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Difteria hidung Difteria tonsil Difteria faring Difteria laring Kombinasi lokasi di atas Difteria + penyulit, bullneck Terlambat berobat (>72 jam), lokasi



20.000 40.000 40.000 40.000 80.000 80.000 – 120.000 80.000 – 120.000



IM IM atau IV IM atau IV IM atau IV IV IV IV



dimana saja. b. Antibiotic : diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000 – 100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari. c. Kortikosteroid : dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala : 



Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)







Bila terdapat penyulit miokarditis, pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.



Prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap. d. Pengobatan penyulit : ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. e. Pengobatan kontak : pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berlaku atau terlaksana yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui. Pemeriksaan serologi dan observasi harian, anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. f. Pengobatan karier : mereka yang tidak merasakan atau menunjukkan keluhan, mempunyai uji Shick (-) tapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Dapat diberikan penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.



Selama



satu



tonsilektomi atau adenoidektomi. g. Imunisasi : 9



minggu.



Mungkin



diperlukan



tindakan







imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2 sampai 3 minggu. Sedangkan imunisasi aktif diperoleh setelah menderita aktif atau nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria.







Uji kepekaan Shick (menentukan kerentanan atau suseptibilitas seseorang terhadap difteria, dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara IC).







Uji kepekaan Moloney (menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil difteria, dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan toksoid secara intradermal)



10



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Biodata : Umur : biasanya terjadi pada anak – anak umur 2 sampai 10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur di bawah 6 bulan daripada remaja di atas 15 tahun. Suku bangsa : dapat terjadi diseluruh dunia Tempat tinggal : ditemukan di daerah dengan pemukiman yang sangat padat penduduknya, sanitasi dan hygiene kurang baik, dan fasilitas kesehatan yang kurang. 2. Keluhan utama : klien merasakan demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya 3. Riwayat kesehatan sekarang : klien mengalami demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya, terlihat lesu, pucat, sakit kepala, dan terkadang anoreksia. 4. Riwayat kesehatan dahulu : klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas serta mengalami pilek dengan secret bercampur dengan darah. 5. Riwayat penyakit keluarga : adanya keluarga yang menderita difteri 6. Pola fungsi kesehatan : a. Pola nutrisi dan metabolisme jumlah nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia b. Pola aktivitas klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam c. Pola istirahat dan tidur klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur d. Pola eliminasi Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan gizi atau nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia. 7. Pemeriksaan Fisik a. Pada difteria tonsil – faring : 11







Malaise







Suhu tubuh < 38,9 derajat celcius







Pseudomembran melekat dan menutup tonsil dan dinding faring







Bullneck



b. Difteria laring : 



Stridor







Suara parau







Batuk kering







Pada obstruksi laring yang berat, terdapat retraksi suprasternal, subcostal, dan supraclavicular



c. Difteria hidung : 



Secret hidung serosanginus mukopurulen







Lecet pada nares dan bibir atas







Membrane putih pada septum nasi



B. Diagnosa Keperawatan : 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema laring 2. Ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia 3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi C. Intervensi No



Diagnosa



. 1.



Pola



nafas



Intervensi



Rasional



tidak Mandiri :



1. Untuk



efektif b/d edema



1. Observasi TTV



laring.



2. Posisikan



klien



semi fowler. 3. Anjurkan



klien



banyak bergerak. 4. Kolaborasi 12



keadaan umum klien. 2. Supaya klien merasa nyaman.



agar tidak terlalu Kolaborasi :



mengetahui



3. Supaya sesak tidak bertambah. 4. Mempertahankan kebutuhan



oksigen



yang maksimal bagi



dengan tim medis



pasien.



dalam pemberian 2.



terapi oxygen Ketidakseimbangan Mandiri : nutisi kurang dari kebutuhan



b/d



anoreksia.



1. Monitor



1. Mengetahui



intake



kalori dan kualitas konsumsi 2. Berikan



porsi



kecil



dan



makanan



yang



lunak



atau makan



konsumsi oleh klien dan



mencegah



terjadinya anoreksia. 3. Meningkatkan intake 4. Mengetahui efektifitas



nutrisi



yang diberikan. 1. Mengetahui lokasi



b/d Mandiri :



proses inflamasi.



di



kurangnya BB dan



4. Timbang BB akut



mudah



makanan.



sesuai selera.



Nyeri



makanan. kecil



lembek.



3.



intake



2. Makanan dalam porsi



makanan.



3. Berikan



pemasukan



1. Lakukan pengkajian



nyeri nyeri



dan



nyeri sehingga dapat



secara



dilakukan



menyeluruh



pengobatan



(PQRST).



tepat.



2. Observasi



2. Dapat



ketidaknyamanan



tingkat



non verbal .



klien.



3. Ajarkan



untuk



menggunakan teknik



derajat



yang



mengetahui nyeri



3. Relaksasi



pada dapat



memberikan relaksasi non



pada



otot







otot



farmakologi



sehingga nyeri dapat



misalnya



berkurang dan klien



relaksasi, guided



merasa rileks.



imageri, musik, 13



terapi dan



4. Lingkungan tenang



yang



menjadikan



distraksi.



klien



4. Kendalikan faktor yang



dapat



dapat



beristirahat. 5. Nyeri bisa berkurang



mempengaruhi



dan klien bisa cepat



respon



sembuh.



klien



terhadap ketidaknyamanan, misalnya



suhu,



lingkungan, cahaya, kegaduhan, dll. Kolaborasi : 5. Pemberian analgetik indikasi. D. Evaluasi a. Pola nafas efektif\ b. Nyeri berkurang atau hilang



14



sesuai



KESIMPULAN Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan bagian atas dengan masa inkubasi antara 2 sampai 7 hari. Basilnya dapat hidup dan berkembang biak pada saluran pernafasan atas, maka dapat menimbulkan terjadinya radang dengan terbentuknya pseudomembran local. Bila tidak mendapat pengobatan maka akan menyebar ke seluruh saluran pernafasan atas yang akhirnya menyebabkan tersumbatnya jalan nafas atau obstruksi.Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa meneramgkan mengapa pada seseorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan / respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan) selain difteri 15



pernafasan adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain.



DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri. In: RI DK, editor. Jakarta: Pusat Data dan Informasi; 2017



Najmah. Epidemiologi : Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Depok: Rajagrafindo Persada; 2015



WHO. Diphtheria Reported cases by country 2017 [26 Januri 2018]. Available from: http://apps.who.int/gho/data/view.main.1540_41?lang=en. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2011



16