Askep Gangguan Eliminasi (Susanti) 22070023 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN PADA “Ny. J” DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN (VESIKOLITHIASIS)



Oleh : SUSANTI 22070023



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR YAYASAN PENDIDIKAN MAKASSAR MAKASSAR 2020-2021



LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN ELIMINASI



A. Pengertian 1. Gangguan Eliminasi Urin Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. 2. Gangguan Eliminasi Fekal Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti. B. Masalah masalah pada Gangguan Eliminasi 1. Masalah masalah dalam eliminasi urin : a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri. b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih. c. Enuresis, Sering terjadi pada anak anak, umumnya terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam. d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih. e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih. f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan. g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine 2. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu: a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras



dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap. b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB. d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi ayo mamang kue enaktertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara ffsik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat. e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.



C. Etiologi 1. Gangguan Eliminasi Urin a. Intake cairan Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine lebih banyak. b. Aktivitas Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot otot itu tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh C. c. Obstruksi: batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra. d.



Infeksi



e. Kehamilan f. Penyakit, pembesaran kelenjar ptostat g. Trauma sumsum tulang belakang h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra. i. Umur j. Penggunaan obat-obatan 2. Gangguan Eliminasi Fekal a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicema. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama



setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon. b. Cairan Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari chime. c. Meningkatnya stress psikologi Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi. d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama. Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras e. Obat obatan Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare: yang lain seperti dosis yang besar dari tranguilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian mormphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadangkadang digunakan untuk mengobati diare. f. Usia, Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular



berkembang, biasanya antara umur 2 3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi. g. Penyakit penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ifcus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor. Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami Jecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkterani. D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus 1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi. Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan. 2. Gaya hidup. Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku. 3. Stress psikologi Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi. 4. Tingkat perkembangan Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih



sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik intestinal. 5. Kondisi Patologis Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter). 6. Obat-obatan, diurctiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat terjadi retensi urine. E. Patofisiologi 1. Gangguan Eliminasi Urin Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas. Masing masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi. Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba tiba aktivitas reflex pada medulta spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen meduila yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks refleksnya tidak ada, Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinat terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. Proses berkemih melibatkan ? proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan



pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kalinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsai spinal sakral segmen 2 4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat. 2. Gangguan Eliminasi Fekalt Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.



Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar. Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus ekstemal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi. F. Tanda dan gejala 1. Tanda Gangguan Eliminasi urin a. Retensi Urin 1) Ketidak nyamanan daerah pubis. 2) Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih. 3) Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang. 4) Meningkatnya keinginan berkemih dan resah. 5) Ketidaksanggupan untuk berkemih b. Inkontinensia urin 1) pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC



2) pasien sering mengompol 2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal a. Konstipasi 1) Menurunnya frekuensi BAB 2) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan 3) Nyeri rectum b. Impaction 1) Tidak BAB 2) Anoreksia 3) Kembung/kram 4) nyeri rectum c. Diare 1) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk 2) Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat 3) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.



LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN RASA NYAMA (NYERI) A. Pengertian 1.



Kenyamanan Kenyamanan merupakan suatu keadaan seseorang merasa sejahtera atau nyaman baik secara mental, fisik maupun sosial (Keliat, Windarwati, Pawirowiyono, & Subu, 2015). Kenyamanan menurut (Keliat dkk., 2015) dapat dibagi menjadi tiga yaitu: a. Kenyamanan fisik; merupakan rasa sejahtera atau nyaman secara fisik. b. Kenyamanan lingkungan; merupakan rasa sejahtera atau rasa nyaman yang dirasakan didalam atau dengan lingkungannya. c. Kenyamanan sosial; merupakan keadaan rasa sejahtera atau rasa nyaman dengan situasi sosialnya.



2. Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman Menurut Potter & Perry (2006) yang dikutip dalam buku (Iqbal Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015) rasa nyaman merupakan merupakan keadaan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan ketentraman (kepuasan yang dapat meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan yang telah terpenuhi), dan transenden. Kenyamanan seharusnya dipandang secara holistic yang mencakup empat aspek yaitu: a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh. b. Sosial, berhubungan dengan interpersonal, keluarga, dan social. c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri seorang yang meliputi harga diri, seksualitas dan makna kehidupan. d. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia seperti cahaya, bunyi, temperature, warna, dan unsur ilmiah lainnya. Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman dapat diartikan perawat telah memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan.



3. Pengertian Gangguan Rasa Nyaman Gangguan rasa nyaman adalah perasaan seseorang merasa kurang nyaman dan sempurna dalam kondisi fisik, psikospiritual, lingkungan, budaya dan sosialnya (Keliat dkk., 2015). Menurut (Keliat dkk., 2015) gangguan rasa nyaman mempunyai batasan karakteristik yaitu: ansietas, berkeluh kesah, gangguan pola tidur, gatal, gejala distress, gelisah, iritabilitas, ketidakmampuan untuk relasks, kurang puas dengan keadaan, menangis, merasa dingin, merasa kurang senang dengan situasi, merasa hangat, merasa lapar, merasa tidak nyaman, merintih, dam takut. 4. Jenis Gangguan Rasa Nyaman Menurut (Mardella, Ester, Riskiyah, & Mulyaningrum, 2013) Gangguan rasa nyaman dapat dibagi menjadi 3 yaitu: a a. Nyeri Akut Nyeri akut merupakan keadaan seseorang mengeluh ketidaknyamanan dan merasakan sensasi yang tidak nyaman, tidak menyenangkan selama 1 detik sampai dengan kurang dari enam bulan. b. Nyeri Kronis Nyeri kronis adalah keadaan individu mengeluh tidak nyaman dengan adanya sensasi nyeri yang dirasakan dalam kurun waktu yang lebih dari enam bulan. c. Mual Mual merupakan keadaan pada saat individu mengalami sensai yang tidak nyaman pada bagian belakang tenggorokan, area epigastrium atau pada seluruh bagian perut yang bisa saja menimbulkan muntah atau tidak. 5. Penyebab Gangguan Rasa Nyaman Dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2016) penyebab Gangguan Rasa Nyaman adalah: a. Gejala penyakit. b. Kurang pengendalian situasional atau lingkungan. c. Ketidakadekuatan sumber daya (misalnya dukungan finansial, sosial dan pengetahuan). d. Kurangnya privasi. e. Gangguan stimulasi lingkungan. f. Efek samping terapi (misalnya, medikasi, radiasi dan kemoterapi).



KONSEP MEDIS A. Konsep Medis Batu Saluran Kemih 1. Pengertian Batu Saluran Kemih adalah penyakit dimana didapatkan material keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas (ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah yang dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal). Batu ini terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat dan sistein (Chang, 2009 dalam Wardani, 2014). 2. Etiologi Menurut Wijayaningsih (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi batu saluran kemih diantaranya sebagai berikut : a. Faktor intrinsik Herediter (keturunan), umur 30-50 tahun, jenis kelamin lai-laki lebih besar dari pada perempuan. b. Faktor ekstrinsik Geografis, iklim dan temperature, asupan air, diet (banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu). Menurut Purnomo (2011) dalam Wardani (2014), Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). 3. Patofisiologi Berdasaran tipe batu, proses pembentukan batu melalui kristalisasi. 3 faktor yang mendukung proses ini yaitu saturasi urin, difisiensi inhibitor dan produksi matriks protein. Pada umumnya Kristal tumbuh melalui adanya supersaturasi urin. Proses pembentukan dari agregasi menjadi partikel yang lebih besar, di antaranya partikel ini ada yang bergerak kebawah melalui saluran kencing hingga pada lumen yang sempit dan berkembang membentuk batu. Renal kalkuli merupakan tipe Kristal dan dapat merupakan gabungan dari 20 beberapa tipe. Sekitar 80% batu salurn kemih mengandung kalsium fosfat dan kalsium oksalat. 4. Manifestasi Klinis



Menurut Putri dan Wijaya (2013), tanda dan gejala penyakit batu saluran kemih sangat ditentukan oleh letaknya, besarnya, dan morfologinya. Walaupun demikian penyakit ini mempunyai tanda dan gejala umum yaitu hematuria, dan bila disertai infeksi saluran kemih dapat juga ditemukan kelainan endapan urin bahkan mungkin demam atau tanda sistemik lainnya. Batu pada pelvis ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat, umumnya gejala batu saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Tanda dan gejala yang ditemui antara lain : a. Nyeri didaerah pinggang (sisi atau sudut kostevertebral), dapat dalam bentuk pegal hingga kolik atau nyeri yang terus menerus dan hebat karena adanya pionefrosis. b. Pada pemeriksaan fisik mungkin kelainan sama sekali tidak ada, sampai mungkin terabanya ginjal yang membesar akibat adanya hidronefrosis. c. Nyeri dapat berubah nyeri tekan atau ketok pada daerah arkus kosta pada sisi ginjal yang terkena. d. Batu nampak pada pemeriksaan pencitraan. e. Gangguan fungsi ginjal. f.



Pernah mengeluarkan batu kecil ketika kencing



ASUHAN KEPERAWATAN KASUS A. Pengkajian 1. Identitas klien Nama



: Ny. J



Umur



: 53 tahun



Jenis kelamin



: Perempuan



Pendidikan



: SMP



Pekerjaan



: Petani



Status perkawinan



: Kawin



Agama



: Islam



Suku



: Bugis



Alamat



: Jl Wahidin Sudirohuso No. 3



Identitas penanggung jawab Nama



: Tn. M



Hubungan dengan pasien : Suami 2. Riwayat Keluarga



3. Status Kesehatan a. Status kesehatan saat ini 1) Keluhan utama saat MRS : Klien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada daerah perut bagian bawah tembus hingga belakang serta menyebar ke bagian genitalia. Nyeri dirasakan terutama saat buang air kecil. 2) Keluhan utama saat pengkajian Klien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah tembus hingga belakang P (Propokatif)



: Klien mengatakan nyeri bertambah parah ketikabuang air kecil



Q (Quality)



: Klien mengatakan nyeri seperti tertusuk-tusuk



R (Radiation)



: Klien mengatakan nyeri pada perut bagian bawah tembus belakang, menyebar kebagian genitalia.



S (Severity)



: Skala nyeri yang dirasakan 6 (sedang)



T (Time)



: Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul



3) Alasan masuk Rumah Sakit dan perjalanan penyakit saat ini Pada tanggal 28 Januari klien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut bagian bawah tembus hingga belakang serta menyebar kebagian genitalia. Nyeri dirasakan 1 hari sebelum masuk rumah sakit terutama saat buang air kecil. Saat dilakukan pengkajian tanggal 25 Juli pukul 09.15 WITA klien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah tembus hinga belakang. Klien juga mengatakan setiap kali BAK kencingnya keluar sedikit sedikit dan berwarna kuning keruh dan merasa tidak tuntas. 4) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya Klien mengatakan tidak melakukan upaya apa-apa untuk mengatasi sakitnya di rumah. Saat keluhan dirasakan klien langsung memeriksakannya ke Puskesmas. b. Riwayat Kesehatan yang lalu 1) Penyakit yang pernah dialami Klien mengatakan sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit Konawe Utara dengan keluhan yang sama sekitar 1 tahun yang lalu. Klien juga mengatakan pernah berobat 6 bulan sebanyak 4 kali karena penyakit TBC . Pengobatan yang terakhir sampai tuntas. 2) Pernah dirawat Klien mengatakan sudah pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama sekitar 1 tahun yang lalu. 3) Riwayat alergi Klien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi baik pada makanan maupun pada obat-obatan. 4) Riwayat Transfusi Klien mengatakan ia tidak memiliki riwayat tranfusi 5) Kebiasaan Merokok Klien mengatakan ia sudah lama berhenti merokok, Minum Kopi Klien mengatakan tidak memiliki kebiasaan minum kopi 3, Penggunaan Alkohol Klien mengatakan tidak memiliki kebiasaan minumminuman yang beralkohol.



4. Riwayat Penyakit Keluarga Klien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang menderita penyakit yang sama seperti yang ia rasakan. 5. Diagnosa Medis dan Therapy a. Diagnosa medis : BSK b. Therapy yang diberikan pada tanggal 28 januari 2021 1) Infus RL 20 tpm (Makro drip) 2) Ciprofloxacin 500 mg 2x1 tablet 3) Ranitidin 150 mg 2x1 tablet 4) Natrium Diklofenat 25 mg 2x1 tablet 5) Alprazolam 0,5 mg 1x1 tablet 6. Pola Fungsi Kesehatan a. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit ia tidak terlalu memperhatikan kesehatannya tetapi setelah masuk rumah sakit klien mengatakan ternyata kesehatan sangatlah penting dan saat sakit sangatlah tidak nyaman. b. Nutrisi/metabolik Klien mengatakan tidak ada masalah dengan kebiasaan makannya dimana frekuensi makannya 2-3 x/hari dan porsinya selalu dihabiskan. Klien mengatakan air yang di konsumsi di rumahnya banyak mengandung kapur. Klien mengatakan tiap hari minum 2 - 2,5 liter air/hari sebelum sakit. c. Pola Eliminasi Klien mengatakan ada gangguan pada buang air kecil (BAK) 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak ada masalah pada buang air besar (BAB). Klien mengatakan sering bolak-balik WC (> 10 kali/24 jam) 44 untuk buang air kecil dan setiap kali BAK kencingnya keluar sedikitsedikit dan berwarna kuning keruh serta terasa sakit. d. Oksigenasi Klien tidak nampak terpasang oksigen



e. Pola tidur dan istirahat Klien mengatakan sebelum sakit klien tidak mengalami susah tidur terutama pada malam hari dimana klien biasa tidur 8 jam setiap harinnya tetapi pada saat sakit klien mengatakan susah untuk memulai tidur dikarenakan memikirkan penyakit yang dialaminnya. f. Pola kognitif-perseptual Klien sering menanyakan apakah penyakit yang dideritanya bisa disembuhkan dan klien juga berpersepsi bahwa penyakitnya dapat disembuhkan dengan jalan lain selain proses pembedahan misalnya dengan pengobatan tradisional. g. Pola persepsi diri/konsep diri Klien mengatakan sudah mengetahui informasi tentang penyakitnnya, tetapi klien merasa cemas memikirkannya. Klien mengatakan yang terpenting sekarang adalah ia cepat sembuh dan menjalani aktivitasnya seperti semula. h. Pola seksual dan produksi Klien mengatakan tidak ada masalah yang dirasakan terkait seksualitas i. Pola peran-hubungan j. Klien mengatakan selama sakit tidak pernah lagi menjalankan perannya sebagai penopang perekonomian keluarga seperti sebelum sakit. k. Pola manajemen koping stress Klien mengatakan sangat cemas dengan kondisi kesehatannya saat ini, klien nampak gelisah dan sering ke meja perawat bertanya mengenai kondisinya, klien berulang kali bertanya kepada perawat mengenai tindakan operasi itu seperti apa. l. Pola keyakinan-nilai Klien mengatakan selama sakit tidak pernah lagi menjalankan ibadahnya dan ibadahnya menjadi terganggu akibat penyakit yang dialaminya. 7. Riwayat Kesehatan dan Pemeriksaan fisik Keadaan umum pasien lemah dengan tingkat kesadaran sadar sepenuhnya (composmentis). Tanda-tanda vital: Tekanan darah: 150/90 mmHg, Nadi : 89 x/menit, Suhu : 36,7 oC, Pernapasan : 23 x/menit, BB : 62 , TB : 167, IMT : 62/1,67 = 22,23.



a. Kulit, Rambut, dan Kuku Distribusi rambut pasien nampak lebat, Tidak ada lesi, kulit kepala bersih, warna kulit coklat gelap, akral hangat, turgor kulit baik, tidak ada oedem, warna kuku pink. b. Kepala dan Leher Bentuk kepala pasien simetris antara kiri dan kanan dan tidak tampak ada lesi serta tidak ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran pada kelenjar tiroid dan KGB. c. Mata dan Telinga Klien tidak mengalami gangguan penglihatan dan tidak memakai kaca mata, pupil klien nampak isokor, konjungtiva klien tidak nampak anemis, sclera tidak ikterus, klien tidak mengalami gangguan pendengaran dan tidak menggunakan alat bantu pendengaran. d. Sistem Pernafasan Tidak ada batuk dan sesak 1) Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris kiri-kanan (+)/(+), deformitas tulang dada (-), trakea tidak mengalami deviasi, frequensi pernapasan normal dan tidak mengunakan otot bantu pernapasan. 2) Palpasi : Tidak ditemukan adanya benjolan dan masa. Taktil fremitus seirama. Nyeri tekan (-). 3) Perkusi : Suara perkusi resonan dan tidak ada tanda-tanda penumpukan cairan. 4) Auskultasi : Bunyi napas vesicular pada perifer paru, bunyi napas bronchial diatas trachea, bunyi broncovesiculer (+) dan tidak ada bunyi napas tambahan {crackles (-), whezing (-), mengi (-)}. e. Sistem kardiovaskular Klien tidak mengalami nyeri dada dan palpitasi. 1) Inspeksi :



Tidak nampak ada pembesaran vena jugularis dan bentuk dada simetris antara kiri dan kanan serta tidak ada sianosis. 2) Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan ictus kordis teraba pada ICS 5 mid klavikula kiri, CRT < 3 detik, dan tekanan vena jugular (jugularis venous pressure/JVP) 7 cmH2O. 3) Perkusi : Suara perkusi pekak pada ICS 4 dan 5 pada mid klavikula kiri. 4) Auskultasi : Tidak terdengar bunyi jantung tambahan, Bj1 dan Bj2 normal (lub-dub). Bj1 terdengar bertepatan dengan teraba pulsase nadi pada arteri carotis f. Sistem Gastrointestinal 1) Inspeksi : Mulut klien nampak bersih dengan mukosa lembab, tidak terdapat karies gigi. 2) Auskultasi : Peristaltik usus 15 x/menit. 3) Perkusi : Suara perkusi timpani, pada perut tidak ada penumpukan cairan. 4) Palpasi : Ada nyeri tekan pada perut bagian bawah, pembesaran hepar (-). g. Sistem Reproduksi Tidak ada keluhan dan tidak dilakukan pemeriksaan fisik h. Sistem Saraf GCS : 15



EYE



:4



Verbal : 5



Motorik : 6



i. Sistem Muskuloskletal 1) Inspeksi : Tidak ada hambatan pergerakan sendi pada saat jalan, duduk dan bangkit dari posisi duduk, tidak ada deformitas dan fraktur. 2) Palpasi :



Tidak ada nyeri tekan, tahan terhadap tekanan, kekuatan otot 5 dimana klien dapat melakukan rentang gerak penuh, dapat melawan gravitasi dan dapat menahan tahanan penuh.



j. Sistem Imun Klien tidak mengalami perdarahan pada gusi dan klien tidak mengalami keletihan/kelemahan. Klien nampak lemah, dikarenakan memikirkan penyakit yang sedang dialaminnya. k. Sistem Endokrin Hasil pemeriksaan laboratorium klien tidak mengalami hiperglikemia dan hipoglikemia serta tidak ada luka gangrene. 8. Pemeriksaan Penunjang a. Data laboratorium pemeriksaan darah Tanggal 28 Januari 2021 Tabel 3.1 Pemeriksaan Penunjang Nilai Jenis Pemeriksaan Hasil Normal WBC 7 4.00-10.0 RBC 4,72 4.00-6.00 HGB 12,7 12.00-16.00 HCT 38 37.0-48.0 MCV 79,7 80-97.0 MCHC 33,4 31.5-35.0 PLT 263 150-400 Creatinine 0,9 0.7-1.2 Glukosa 94 70-180 SGOT 38 10 kali/24 jam) untuk buang air kecil.  Klien mengatakan setiap kali BAK kencingnya keluar sedikitsedikit dan berwarna kuning keruh dan merasa tidaktuntas dan terasa sakit. Data obyektif :  Urine tampak kuning keruh  Kandung kemih tidak teraba Data Subyektif :  Klien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah tembus hingga belakang dan menjalar ke bagian genitalia Data Obyektif :  Tekanan darah : 150/90 mmHg  Skala nyeri 6 (sedang).  Klien nampak meringis memegang perut bagian bawah dan pinggang.  Ada nyeri tekan pada perut bagian bawah dan pada area pinggang.  Ada nyeri ketok pada pinggang bagian belakang



Data Subyektif :  Klien mengatakan sudah mengetahui informasi tentang penyakitnnya Klien mengatakan sangat cemas dengan kondisi kesehatannya saat ini.  Klien sering bertanya pada perawat tentang kondisinya.  Klien mengatakan susah untuk memulai tidur dikarenakan memikirkan penyakit yang dialaminnya.



↓ Proses kristalisasi dan agresi substansi ↓ Pengendapan batu ↓ Pembentukan Batu Saluran Kemih ↓ Hambatan aliran urine ↓ Gangguan eliminasi urine Faktor Ekstrinsik (Asupan air mengandung kapur) ↓ Proses kristalisasi dan agresi substansi ↓ Pengendapan batu ↓ Pembentukan Batu Saluran Kemih ↓ Respon Obstruksi Penekanan pada saraf ↓ Penekanan pada saraf ↓ Mengaktifkan mediator kimia (Histamin dan bradikinin) ↓ Menstimulasi pelepasan prostaglandin di hipotalamus ↓ Nyeri dipersepsikan(nyeri kolik) ↓ Nyeri Akut Faktor Ekstrinsik (Asupan air mengandung kapur) ↓ Proses kristalisasi dan agresi substansi ↓ Pengendapan batu ↓ Pembentukan Batu Saluran Kemih ↓ Perubahan status kesehatan ↓



Nyeri Akut



Ansietas



Data Obyektif :  Tekanan darah : 150/90 mmHg  Klien sering menanyakan apakah penyakit yang dideritanya bisa disembuhkan.  Klien nampak gelisah dan sering ke meja perawat bertanya mengenai kondisinya.  Klien berulang kali bertanya kepada perawat mengenai tindakan operasi.



Ansietas



D. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan Eliminasi Urine ( Domain 3, Kelas 1, KD 00016 2. Nyeri Akut ( Domain 12, Kelas 1, KD 00132 3. Ansietas (Domain 9, Kelas 2, KD 00146) E. Intervensi Keperawatan



No



1.



2.



Tabel 3.4 Intervensi Keperawatan Diagnosa Keperawatan NOC



NIC



Gangguan Eliminasi Urine (  Kontinensia/  Monitor eliminasi urine pengendalian urine termasuk frekuensi, Domain 3, Kelas 1, KD 00016) adekuat konsistensi, bau, volume  Eliminasi urine dan warna terkontrol  Kaji kemampuan pasien untuk menahan BAK  Lakukan Rangsangan untuk BAK dengan Kompres hangat dingin  Ajarkan pasien untuk minum 8 gelas per hari  Ajarkan teknik kegel exersice  Ajarkan pasien untuk mengenali tanda dan gejala infeksi saluran kemih  lakukan pengkajian Nyeri Akut ( Domain 12, Kelas  Nyeri dilaporkan  Mengerang dan nyeri secara 1, KD 00132 meringis komprehensif .  Ekspresi Nyeri  monitor skala nyeri dan wajah observasi tanda non verbal



 ajarkan prinsip-prinsip



nyeri  dorong pasien untuk







Ansietas (Domain 9, Kelas 2, KD 00146)



3.



 Dapat  menghilangkan prekursor dari kecemasan.   Merencanakan strategis mengatasi stress.   Memonitor intensitas kecemasan 



memonitor nyeri dan penanganan nyeri ajakrkan metodenon farmakologi Kaji untuk tanda verbal dan nonverbal kecemasan. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat. Instruksikan pasien dengan menggunakan teknik relaksasi



DAFTAR PUSTAKA Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Nanda International Nursing Diagnosis: Defenitions & Classifications 2015-2017. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (10th ed.). Jakarta: EGC. M.Bulechek, G., Butcher, H. K., M.Doctherman, J., & M.Wagner, C. (2017). Nursing Interventions Classification (NIC). (I. Nurjannah & R. devi Tumanggor, Eds.) (6th ed.). Singapore: Elseiver. Moorhead, S., Johnson, M., L.Maas, M., & Swanson, E. (2017). Nursing Outcomes Classificaton (NOC). (I. Nurjannah & R. devi Tumanggor, Eds.) (5th ed.). Singapore: Elseiver. Putri & Wijaya. S.A. 2013. KMB I Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika. Wardani F.A.M, 2014. Hubungan Batu Saluran Kemih dengan Penyakit Ginjal Kronik Di Rumah Sakit An-Nur Yogyakarta Periode Tahun 2012- 2013. Yogyakarta (Tidak Di Publikasikan). Wijayaningsi. S. K. 2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media. Hamawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Eliminasi Fekal. Brunner & Suddarth 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Kedokteran EGC : Jakarta