ASKEP HEMATHORAX Kelompok 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN HEMATHORAX



DISUSUN OLEH : KELOMPOK V



1814201183



SALSA SINGGANO



1614201269



PUTRI N. RUMAMBI



1814201177



CLAUDIA N. LANTANG



1814201272



LEONARDO W. J. WEHANTOUW



1714201236



MARTCEL P. PAAT



FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO 2021/2022



KATA PENGANTAR Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunianya kami kelompok V dapat menyelesaikan tugas “Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Pada Pasien Hemothorax”. Terima kasih kepada dosen mata kuliah keperawatan gawat darurat yang telah membantu dan membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini. Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendukung dan membantu kelompok kami sehingga dapat bersama-sama menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menjadi acuan bagi kami agar menjadi lebih baik lagi dalam menyusun tugas yang ada. Semoga Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien Hemothorax, dapat menambah wawasan para pembaca dan dapat bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.



Manado,



Mei 2021



Penyusun Kelompok V



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI LAPORAN PENDAHULUAN A. Definisi B. Etiologi C. Klasifikasi D. Anatomi & Fisiologi E. Patofisiologi F. Manifestasi Klinis G. Komplikasi H. Penatalaksanaan I. Pathway ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian B. Diagnosa Keperawatan C. Rencana Asuhan Keperawatan JURNAL A. Review Jurnal 1 B. Review Jurnal 2 DAFTAR PUSTAKA



LAPORAN PENDAHULUAN A. Definisi Hemothorax adalah kondisi adanya darah pada cavum pleura. Hemothorax sering dikaitkan dengan trauma tembus thoraks atau trauma tumpul yang disertai cedera skeletal. Penyebab lain yang lebih jarang misalnya penyakit pada pleura, induksi iatrogenik, atau hemothorax spontan. Hematothoraks



atau



hemothoraks



adalah



akumulasi



darah



pada



ronggaintrapleura. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah sistemik maupun pembuluh darah paru, dan pada trauma yang tersering perdarahan berasal dari arteri interkostalis dan arteri mammaria interna (Sub Bagian BedahThoraks Bagian Ilmu Bedah FK-USU / RS HAM / RS Pirngadi Medan, 2000). Hemothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Perdarahan mungkin berasal dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluhdarah besar (Mancini, 2011). B. Etiologi Penyebab utama hematothoraks adalah trauma, seperti luka penetrasipada paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada. Traumatumpul pada dada juga dapat menyebabkan hematothoraks karena laserasi pembuluh darah internal (Mancini, 2011). Etiologi



hemothorax berdasarkan jenisnya dapat dibedakan



menjadi



hemothorax yang disebabkan oleh trauma benda tumpul maupun tajam, hemothorax iatrogenik, dan hemothorax spontan. Hemothorax yang disebabkan oleh trauma benda tumpul maupun tajam merupakan penyebab tersering dari hemothorax di mana diperkirakan terjadi pada 60% pasien multi trauma dan 20-25% menjadi mortalitas terkait trauma. Hemothorax iatrogenik dan hemothorax spontan lebih jarang terjadi dibandingkan hemothorax akibat trauma. Hemothorax iatrogenik dapat disebabkan oleh komplikasi dari pembedahan kardiopulmonal, pemasangan kateter jugular atau subklavia, dan biopsi paru. Sedangkan hemotorax spontan umumnya disebabkan oleh ruptur dari adhesi pleura, neoplasma, metastasis paru, ataupun komplikasi dari terapi antikoagulan untuk emboli paru. Penyebab lain yang jarang dilaporkan yang mengakibatkan hemothorax spontan adalah aneurisma arteri thoracic seperti aorta, mammarian arteri, dan arteri interkostal, ruptur dari malformasi pembuluh darah pulmonal, endometriosis, dan eksostoses.



C. Klasifikasi Pada orang dewasa secara teoritis hematothoraks dibagi dalam 3 golongan, yaitu: a) Hematothoraks ringan - Jumlaj darah kurang dari 400 cc - Tampak sebagian bayangan kurang dari 15% pada foto thoraks - Perkusi pekak sampai iga IX b) Hematothoraks sedang - Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc - 15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks - Perkusi pekak sampai iga VI c) Hematothoraks berat - Jumlah darah lebih dari 2000 cc - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks - Perkusi pekak sampai iga IV



D. Anatomi Fisiologi Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan mediastinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru paru. Di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu: sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Patriani, 2012). Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang kosta berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien (Patriani, 2012).



Muskulus interkostal merupakan tiga otot pipih yang terdapat pada tiap spatium interkostalis yang berjalan di antara tulang rusuk yang bersebelahan. Setiap otot pada kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi mereka masingmasing: 1) m.interkostal eksternal merupakan yang paling superficial 2) m.interkostal internal terletak diantara m.interkostal eksternal dan profundal Muskulus interkostal profunda memiliki serabut dengan orientasi yang sama dengan muskulus interkostal internal. Otot ini paling tampak pada dinding torakslateral. Mereka melekat pada permukaan internal rusuk - rusuk yang bersebelahan sepanjang tepi medial lekuk kosta (Nugroho, 2015). Muskulus subkostal berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal profunda, merentang diantara multiple rusuk, dan jumlahnya semakin banyak diregio bawah dinding toraks posterior. Otot - otot ini memanjang dari permukaan interna satu rusuk sampai dengan permukaan internarusuk kedua atau ketiga di bawahnya (Nugroho, 2015). Muskulus torakal transversus terdapat pada permukaan dalam dinding toraks anterior dan berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal profunda. Muskulus torakal transversus muncul dari aspek posteriorprosesus xiphoideus, pars inferior badan sternum, dan kartilage kosta rusuk sejati di bawahnya.



 Suplai arterial Pembuluh-pembuluh darah yang memvaskularisasi dinding toraks terutama terdiri dari arteri interkostal posterior dan anterior, yang berjalan mengelilingi dinding toraks dalam spatium interkostalis di antara rusuk - rusuk yang bersebelahan (Hudak, 2011). Arteri interkostal posterior berasal dari pembuluh-pembuluh yang berhubungan dengan dinding toraks posterior. Dua arteri interkostal posterior yang paling atas pada tiap sisinya berasal dari arteri interkostal suprima, yang turun memasuki toraks sebagai percabangan trunkus kostoservikal pada leher. Trunkus kostoservikal merupakan suatu cabang posterior dari arteri subklavian. Sembilan pasang arteri interkostal posterior sisanya berasal dari permukaan posterior aorta torakalis (Hudak, 2011). Pada sekitar level spatium interkostalis keenam, arteri ini bercabang menjadi dua cabang terminal : 1. arteri epigastrik superior, yang lanjut berjalan secara inferior menujudinding abdomen anterior. 2. arteri muskuloprenikus, yang berjalan sepanjang tepi kostal, melewati diafragma, dan berakhir di dekat spatium interkostal terakhir Arteri interkostal anterior yang menyuplai enam spatium interkostal teratas muncul sebagai cabang lateral dari arteri torakal internal, sedangkan yang menyuplai spatium yang lebih bawah berasal dari arteri muskuloprenikus. Pada tiap spatium interkostalis, biasanya terdapat dua arteri interkostal anterior : 1) satu yang lewat di bawah tepi rusuk di atasnya,



2) satu lagi yang lewat di atas tepi rusuk di bawahnya dan kemudian bertemu dengan sebuah kolateral percabangan arteri interkostal posterior Distribusi pembuluh - pembuluh interkostal anterior dan posterior saling tumpang tindih dan dapat berkembang menjadi hubungan anastomosis.



 Suplai Vena Drainase vena dari dinding toraks pada umumnya paralel dengan pola suplai arterialnya. Secara sentral, vena - vena interkostal pada akhirnya akan didrainase menuju sistem vena atau ke dalam vena torakal internal, yang terhubung dengan vena brakhiosefalika dalam leher. Vena - vena interkostal posterior pada sisi kiri akan bergabung dan membentuk vena interkostal superior kiri, yang akan didrainase ke dalam vena brakhiosefalik kiri (Patriani, 2012).  Drainase Limfatik Pembuluh limfatik pada dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi



yang berhubungan dengan arteri torakal internal



(nodus



parasternal), dengan kepala dan leher rusuk (nodus interkostal), dan dengan diafragma (nodus diafrgamatikus) (Patriani, 2012).  Innervasi Innervasi dinding toraks terutama oleh nervus interkosta, yang merupakan ramus anterior nervus spinalis T1 - T11 dan terletak pada spatium interkostalis di antara rusuk-rusuk yang bersebelahan. Nervus interkostal



berakhir sebagai cabang kutaneus anterior, yang muncul baik secara parasternal, di antara kartilage kosta yang bersebelahan, ataupun secra lateral terhadap midline, pada dinding abdomen anterior, untuk menyuplai kulit pada toraks, nervus interkostal membawa : 1) Inervasi somatik motorik kepada otot – otot dinding toraks ( intercostal,subcostal, and transversus thoracis muscles ) 2) Innervasi somatik sensoris dari kulit dan pleura parietal. 3) Serabut simpatis postganglionic ke perifer. Innervasi sensori dari kulit yang melapisi dinding toraks bagian atas disuplai oleh cabang kutaneus, yang turun dari pleksus servikal di leher. Selain menginnervasi dinding toraks, nervus interkosta juga menginnervasi area lainnya : 1) Ramus anterior T1 berkontribusi ke pleksus brakhialis 2) Cabang



kutaneus



lateral



dari



nervus



interkostalis



kedua



berkontribusikepada innervasi kutaneus permukaan medial lengan atas 3) Nervus interkostal bawah menyuplai otot, kulit, dan peritoneum dinding abdomen E. Patofisiologi Utuhnya



suatu



dinding



Toraks



sangat



diperlukan



untuk



sebuah



ventilasipernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot -otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negative dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru – paru selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbedadari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum.Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait (Sudoyo, 2009). Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru – parudan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta/pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara normal toraks bertanggung jawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh. Gangguan



pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Sudoyo, 2009). Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien – pasien trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung (Sudoyo, 2009). F. Manifestasi Klinis Hemathoraks tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah di dinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul. Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis takipnea berat, takikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan penurunan curah jantung. Respon tubuh dengan adanya hemothoraks di manifestasikan dalam 2 area mayor: a) Respon Hemodinamik Respon hemodinamik sangat tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi. Tanda-tanda shock seperti takikardi, takipnea, dan nadi yang lemah dapat mucul pada pasien yang kehilangan 30% atau lebih volume darah. b) Respon respiratori Akumulasi darah pada pleura dapat mengganggu pergerakan napas. Pada kasus trauma, dapat terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi khususnya jika terdapat injuri pada dinding dada. Akumulasi darah dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan dyspnea. (Mancini,2011)



G. Komplikasi 1) Kegagalan pernapasan



2) Kematian 3) Fibrosis atau parut dari membrane pleura 4) Syok 5) Kehilangan darah.



H. Penatalaksanaaan Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan, dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura. Penanganan pada hemothoraks adalah: 1)



Resusitasi Cairan Terapi awala hgemothoraks adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatny. Darah dari rongga pleura dapat di kumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi. Bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest tube (WSD)



2)



Pemasangan Chest Tube Pemasangan chest tube (WSD) ukuran besar agar darah pada toraks dapat cepat keluar sehingga tidak membeku di dalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube caliber besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari ringga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. WSD adalah suatu system drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural. Macam WSD antara lain: 



WSD Aktif Contunous suction, gelembung berasal dari udara system







WSD Pasif Gelembung udara berasal dari cavum toraks pasien



3)



Thoracotomy Tindakan dilakukan bila dalam keadaa:



a. Jika pada awal hematoraks sudah keluar 1500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. b. Pada beberapa penderita paada awalnya darah yang keluar < 1500 ml, tetapi perdarahan tetap berlangsung terus. c. Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc/jam dalam waktu 2-4 jam. d. Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis putting susu atau luka di daerah posterior, medial dari scapula harus di pertimbangkan kemungkinan diperlukannya torakotomi karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus atau jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Tranfusi darah di perlukan selama ada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang di keluarkan dengan chest tube dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan di berikan. Warna darah (arteri/vena) bukan merupakan indicator yang baik untuk di pakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Torakotomi sayatan dapat di lakukan di samping, di bawah lengan (aksilaris torakotomi); di bagian depan, melalui dada (rata-rata sternotomy); miring di belakang ke samping (posterolateral toraktomi); atau dibawah payudara (anterolateral torakotomi). Dalam beberapa kasus, dikter dapat membuat sayatan antara tulang rusuk (interkostal di sebut pendekatan) untuk meminimalkan memotong tulang, saraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar dari hanya di bawah 12,7 cm hingga 25 cm.



I. Pathway



Trauma tajam atau tumpul



Thoraks



Cedera jaringan lunak, cedera/hilangnya kontinuitas struktur



Perdarahan jaringan interstitium, pendarahan intra alveolar, kolaps arteri dan arteri-arteri kecil, hingga tahanan perifer pembuluh darah paru meningkat.



Reabsorbsi darah oleh pleura tidak memadai/tidak optimal



Ekspansi paru



Gangguan ventilasi



Hemathoraks



Akumulasi cairan dalam kavum pleura



Merangsang reseptor



Pemasangan WSD



nyeri pada pleura Pola Napas Tidak Efektif



viseralis dan parietalis Thorakdrains bergeser Diskontinuitas jaringan Merangsang reseptor nyeri pada periver kulit Nyeri Akut Resiko Infeksi



Edema tracheal/faringeal, peningkatan produksi secret dan penurunan kemampuan batuk efektif



Bersihan Jalan Napas Tidak Efeketif



ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10). 



Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliput : 1. .Aktivitas / istirahat Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat 2. Sirkulasi Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah,tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ 3. Integritas ego Tanda : ketakutan atau gelisah 4. Makanan dan cairan Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan. 5. Nyeri/ketidaknyamanan Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajamdan nyeri, menusuk nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen. Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah 6. Pernapasan Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit parukronis,



inflamasi,/infeksi



paru,



penyakit



interstitial



menyebar,



keganasan ;pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM. Tanda : Takipnea peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ;fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ;kulit



pucat,



sian



osis,



berkeringat,



krepitasi



subkutan



;



mental



ansietas,bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif 7. Keamanan Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk keganasan Penyuluhan / pembelajaran Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedahintratorakal/biopsy paru







Pemeriksan Fisik 1. Sistem Pernafasan a) Sesak Nafas b) Nyeri,Batuk c) Terdapat retraksi klavikula/dada d) Pengambangan paru tidak simetris e) Fremitus menurun di bandingkan dengan sisi yang lain f) Pada aukultasi suara nafas menurun,bising nafas yang berkurang atau hilang g) Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat h) Gerakan dada tidak sama waktu bernafas 2. Sistem Kardiovaskuler a) Nyeri dada meningkat karena pernafasan dan batuk b) Takhikardi,lemah c) Pucat,Hb turun/normal d) Hipotensi



B. Diagnosa keperawatan 1) Pola nafas tidak efektif b/d Depresi pernafasan d/d Pola napas abnormal dan ventilasi semenit menurun dan tekanan ekspirasi serta tekanan inspirasi merun 2) Risiko infeksi b/d Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer d/d Kerusakan integritas kulit 3) Bersihan jalan napas tidak efektif b/d ketidak mampuan mebersihkan secret d/d sputum berlebih dan tidak mampu batuk.



C. Rencana Asuhan Keperawatan No 1



Diagnosa Keperawatan



Tujuan & Kriteria Hasil



Pola nafas tidak efektif b/d Depresi pernafasan Setelah d/d Pola napas abnormal dan ventilasi semenit keperawatan



dilakukan …×



Intervensi



tindakan Intervensi Utama : Manajemen Jalan Napas 24



menurun dan tekanan ekspirasi serta tekanan Diharapkan: inspirasi merun



1. Frekuensi nafas membaik



.



2. Kapasitas vital meningkat 3. Tekanan ekspirasi meningkat 4. Tekanan inspirasi meningkat



jam Observasi :  Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)  Monitor bunyi napas tambahan  Monitor sputum Terapeutik :  Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin lift  Posisikan semi-Fowler atau Fowler  Lakukan fisioterapi, jika perlu  Berikan oksigen Edukasi :  Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi  Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi :  Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu Intervensi Pendukung : Dukungan Ventilasi



Observasi :  Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas  Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernapasan  Monitor status respirasu dan oksigenasi Terapeutik :  Pertahankan kepatenan jalan napas  Berikan posisi semi Fowler atau Fowler  Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin  Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan Edukasi :  Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam  Ajarkan mengubah posis secara mandiri  Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi :  Kolaborasi pemberian bronkhodilator, jika perlu 2



Risiko infeksi b/d Ketidakadekuatan pertahanan Setelah tubuh primer d/d Kerusakan integritas kulit



keperawatan



dilakukan …×



tindakan Intervensi Utama : Pencegahan Infeksi Observasi : 24 jam



Diharapkan: 1. Elastisitas meningkat 2. Kerusakan jaringan menurun 3. Kerusakan lapisan kulit menurun



 Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik Terapeutik :  Batasi jumlah pengunjung  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien  Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi Edukasi :  Jelaskan tanda dan gejala infeksi  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar  Ajarkan etika batuk  Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi  Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi :  Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu Intervensi Pendukung : Perawatan Selang Dada Observasi :  Identifikasi indikasi dilakukan pemasangan selang dada  Monitor kebocoran udara dari selang



    



dada Monitor fungsi, posisi dan kepatenan aliran selang (undulasi cairan pada selang) Monitor jumlah cairan pada tabung (seal) Monitor posisi selang dengan sinar x Monitor volume, warna, dan konsistensi drainase dari paru-paru Monitor tanda-tanda infeksi



Terapeutik :  Lakukan kebersihan tangan sebelum dan setelah pemasangan atau perawatan selang dada  Pastikan sambungan selang tertutup sempurna  Klem selang saat penggantian tabung  Berikan selang yang cukup panjang untuk mempermudah gerakan  Lakukan kultur cairan dari selang dada, jika perlu  Fasilitasi batuk, napas dalam dan ubah posisi setiap 2 jam  Lakukan perawatan di area pemasangan selang setiap 48-72 atau sesuai kebutuhan  Lakukan penggantian tabung (seal) secara berkala  Lakukan pelepasan selang dada,



sesuai indikasi Edukasi  Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan selang  Ajarkan cara perawatan selang  Ajarkan mengenali tanda-tanda infeksi 3



Bersihan jalan napas tidak efektif b/d ketidak Setelah mampuan



mebersihkan



secret



berlebih dan tidak mampu batuk



d/d



dilakukan



tindakan Intervensi Utama : Latihan Batuk Efektif Observasi : sputum keperawatan …× 24 jam  Identifikasi kemampuan batuk Diharapkan:  Monitor adanya retensi sputum  Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Produksi sputum menurun saluran napas 2. Batuk efektif meningkat  Monitor input dan output cairan Terapeutik :  Atur posisi semi Fowler atau Fowler  Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien  Buang sekret pada tempat sputum Edukasi :  Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif  Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian kwluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik  Anjurkan mengulangi tarik napas



dalam hingga 3 kali  Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang ke-3 Kolaborasi :  Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu Intervensi Pendukung : Pemberian Obat Inhalasi Observasi :  Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi, dan kontraindikasi obat  Verifikasi order obat sesuai dengan indikasi  Periksa tanggal kadaluwarsa obat  Monitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum pemberian obat,jika perlu  Monitor efek terapeutik obat  Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi obat Terapeutik :  Lakukan prinsip enam benar  Kocok inhaler selama 2-3 detik sebelum digunakan  Lepaskan penutup inhaler dan pegang terbalik  Posisikan inhaler didalam mulut mengarah ke tenggorokan dengan



bibir ditutup rapat Edukasi :  Anjurkan bernapas lambat dan dalam selama penggunaan nebulizer  Anjurkan menahan napas selama 10 detik  Anjurkan ekspirasi lambat melalui hidung atau dengan bibir mengkerut  Ajarkan pasien dan keluarga tentang cara pemberian obat  Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang diharapkan, dan efek samping obat  Jelaskan faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan efektifitas obat



Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016



Pola trauma tembus toraks di Instalasi Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 – Juni 2015



1 2



Christianto Kissra Adrian Tangkilisan 2 Heber B. Sapan



1



Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado



2



Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email: [email protected]



Abstract: Trauma continues to be major public health problem worldwide since it is associated with high morbidity and mortality in developed and developing countries. Penetrating thoracic trauma respresents a common and challenging problem whether it is caused either by gunshot or by nongunshot-related accidents (stabs, traffic accidents). This study was aimed to obtain the profile of penetrating thoracic trauma in Surgery Emergency Unit of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from July 2013 to June 2015. This was a retrospactive descriptive study using the medical record data of penetrating thoracic trauma patients. The results showed that there were 31 patients of penetrating thoracic trauma out of 108 patients of thoracic trauma patients. Most cases occurred in 2014 (48.41%). Based on age group, the majority of patients were at the age group 16-30 years old (58.05%). Based on sex, most patients were males (96.80%). The most common causes of penetrating thoracic trauma was puncture wounds/stabs (80.64%) and the most common intrathoracic complication was hemothorax (58.1%). Keywords: trauma, penetrating thoracic trauma.



Abstrak: Trauma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia karena dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik di negara maju dan berkembang. Trauma tembus toraks merupakan masalah umum dan menantang, baik oleh tembakan atau nontembakankecelakanaan (tikaman, kecelakaan lalu lintas). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 – Juni 2015. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif dengan menggunakan data rekam medik pasien trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Hasil penelitian mendapatkan jumlah kasus trauma tembus toraks sebanyak 31 pasien dari 108 pasien trauma toraks. Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2014 (48,41%). Berdasarkan kelompok usia mayoritas penderita trauma tembus toraks (58,05%)pada usia 16-30 tahun. Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar penderita (96,80%) berjenis kelamin laki-laki. Penyebab trauma tembus toraks terbanyak karena luka tusukan/tikaman (80,64%), dan komplikasi intratoraks terbanyak yaitu hemotoraks (58,1%). Kata bersifat holistik dan menyebabkan hilangnya kunci: trauma, trauma tembus toraks produktivitas seseorang. Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah karena dalam kehidupan modern penggunaan kendaraan Sejak lama trauma merupakan suatu masalah automotif dan senjata api semakin luas.1 medis yang terabaikan (neglected disease) Trauma terus menjadi masalah kesehatan oleh para dokter, masyarakat, maupun masyarakat yang utama di seluruh dunia pemerintah di seluruh dunia. Pada karena dikaitkan dengan morbiditas dan kenyataannya, trauma ialah kejadian yang mortalitas yang tinggi baik di negara maju



dan berkembang. Trauma juga dilaporkan menjadi penyebab utama kematian, perawatan di rumah sakit, dan kecacatan jangka panjang dalam empat dekade



trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013-Juni 2015. Variabel penelitian yang diteliti yaitu: tahun, usia, jenis kelamin, dan



pertama kehidupan.2



penyebab trauma tembus toraks



Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan.3 Trauma yang terkait dengan trauma toraks mencapai 3040% dari yang diterima rumah sakit dan 20-25% dari trauma dikaitkan dengan kematian. Trauma tembus toraks mencapai 1-13% dari jumlah total trauma ini. Pada laporan studi yang dipublikasikan, 85% dari trauma ini dapat dikelola, baik dengan observasi atau drainase pleura, sementara hanya 15-30% kasus yang memerlukan intervensi bedah untuk trauma pada organ yang mungkin berakibat fatal.4 Pada umumnya trauma tajam atau tembus toraks berurusan dengan pihak kepolisian atau hukum, Oleh karena itu membuat laporan dalam status penyakit harus baik dan lengkap untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Bila harus dikerjakan operasi, laporan juga harus dibuat dengan baik dan lengkap.5 Trauma tembus toraks merupakan masalah umum dan menantang, yang disebabkan baik oleh tembakan atau nontembakan-kecelakaan (tikaman, kecelakaan lalu lintas).6 Di wilayah Los Angeles dan Medical Center University of Southern California, yang merupakan pusat trauma terbesar di wilayah tersebut dengan sekitar 7000 trauma yang diterima per tahun, trauma tembus toraks di laporkan sekitar 7% dari seluruh trauma yang diterima atau sekitar 16% dari trauma tembus yang diterima.7 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2014- Juni 2015.



METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini ialah deskriptif retrospektif pada pasien trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Subjek penelitian ialah semua data rekam medik pasien



HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data rekam medik pasien trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 diperoleh sebanyak 31 pasien trauma tembus toraks dari total 108 pasien trauma toraks. Dari total 31 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 didapatkan pada tahun 2013 sebanyak 5 orang (16,10%), tahun 2014 sebanyak 15 orang (48,14%), dan tahun 2015 sebanyak 11 orang (35,49%). Tabel 1. Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan tahun Tahun 2013



Kasus trauma tembus toraks 5 (16,10 %)



2014



15 (48,41 %)



2015 Total



11 (35,49 %) 31 (100 %)



Total kasus trauma toraks 16 (14,81%) 65 (60,19%) 27 (25%) 108 (100%)



Berdasarkan kelompok usia dari total 31 pasien, didapatkan yang terbanyak ialah antara 16-30 tahun sebanyak 18 orang (58.05%) (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan kelompok usia Kelompok usia 0-15 tahun 16-30 tahun 31-45 tahun 46-60 tahun >60 tahun



Jumlah kasus (orang) 2 18 9 1 1



(%) 6,44 58,05 29,01 3,25 3,25



Total



31



100



Dari total 31 pasien, pada laki-laki didapatkan sebanyak 30 orang (96,80%) dan pada perempuan didapatkan sebanyak 1 orang (3,20%) (Tabel 3).



tembus toraks berdasarkan tahun didapatkan pada tahun 2013 sebanyak 5 orang (16,10%), tahun 2014 sebanyak 15 orang (48,41%), dan tahun 2015 sebanyak (35,49%). Data ini menunjukkan bahwa kasus trauma tembus terbanyak terjadi pada tahun 2014 diikuti tahun



Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016 2015 dan tahun 2013 (Tabel 1).



Tabel 3. Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan jenis kelamin Tahun Jumlah kasus (%) 2013



Laki-laki 5 (100%)



Perempuan 0 (0%)



2014



15 (93,15)



1 (6.85%)



2015



10 (100%)



0 (0%)



Total



30 (96,80%)



1 (3.20%)



Total 5 (16,13 %) 16 (51,63%) 10 (32,24%) 31 (100%)



Dari total 31 orang pasien trauma tembus toraks didapatkan penyebab trauma karena tusukan/tikaman yang terbanyak yaitu 25 orang (80,64%) (Tabel 4). Komplikasi intratoraks yang terbanyak ialah hemotoraks (58,1%). Tabel 4. Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan faktor penyebab Faktor Jumlah (%) penyebab kasus (orang) Tusukan/tikaman Tembakan/panah KLL 1 Total 31



25 5



80,64 16,12 3,24 100



BAHASAN Dari data pasien hasil penelitian mengenai pola trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof. Dr. R. D. kandou Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 didapatkan pasien trauma tembus toraks sebanyak 31 orang pasien dari 108 orang pasien trauma toraks, dengan distribusi trauma



Distribusi trauma tembus berdasarkan usia didapatkan kelompok usia terbanyak ialah 16-30 tahun sebanyak 18 orang (58,05%) dan kedua terbanyak ialah 31-45 tahun sebanyak 9 orang (29,01%) (Tabel 2). Hal ini ditunjang sesuai data kepustakaan yang menyatakan bahwa trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor 4, tetapi pada kelompok usia 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama. 1 Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan jenis kelamin dari total 31 orang pasien didapatkan laki-laki sebanyak 30 orang (96,80%) dan perempuan sebanyak 1 orang (3,20%). Seringkali saat di bawah pengaruh alkohol laki-laki tidak dapat mengontrol prilaku sehingga terjadi tindakan kriminal menggunakan senjata tajam yang dapat menyebabkan trauma tembus toraks. Berdasarkan Riskesdas 2013, menurut jenis kelamin, maka prevalensi peminum alkohol lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. 8 Distribusi trauma tembus toraks berdasarkan faktor penyebab dari total 31 orang pasien trauma tembus toraks didapatkan penyebab trauma karena tusukan/tikaman sebanyak 25 orang (80,64%), tembakan/panah sebanyak 5 orang (16,12%), dan KLL sebanyak 1 orang (3,24%). Faktor penyebab trauma tembus terbanyak karena tusukan/tikaman mungkin karena semakin meningkatnya angka kriminalitas yang menggunakan senjata tajam dibawah pengaruh alkohol. Berdasarkan Riskesdas 2013, secara nasional prevalensi penduduk usia 10 tahun ke atas yang minum alkohol selama 12 bulan terakhir sebesar 3,0%. Sulawesi Utara termasuk provinsi dengan



prevalensi peminum alkohol termasuk tinggi yaitu sebesar 17,4%.8



SIMPULAN Dari hasil penelitian terhadap 108 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 dapat disimpulkan bahwa trauma tembus toraks terbanyak terjadi pada tahun 2014 dan yang paling sedikit terjadi pada tahun 2013. Mayoritas pasien trauma tembus toraks ialah jenis kelamin laki-laki, usia 16-30 tahun, dengan Kissra, Tangkilisan, Sapan: Pola trauma tembus toraks ... penyebab luka tusukan/ tikaman. DAFTAR PUSTAKA 1. Sjamsuhidajat R, de Jong W, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah (3rd ed). Jakarta: EGC, 2010; p. 121-2, 502-6. 2. Al-koudmani I, Darwish B, Al-kateb K, Taifour Y. Chest trauma experience over eleven year period at Al-Mouassat University Teaching HospitalDamascus: a retrospective review of 888 cases. J Cardiothorac Surg. 2012;7:35. 3. Prasenohadi, Sunartomo T. Penatalaksanaan pasien trauma dengan fraktur iga multiple. Majalah Kedokteran Terapi Intensif. 2012;2:166. 4. Paci M, Ferrari G, Annesi V, de Franco S, Guasti G, Sgarbi G: The role of diagnoctic VATS in penetrating thoracic injuries. World J Emerg Surg. 2006;1:30. 5. Rachmat KB. Trauma toraks. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tanggerang: Binarupa Aksara; 198-202, 204-8. 6. Bertolaccini L, Rizzardi G, Filice MJ, Spada E, Terzi A. The “ending neglect” of roentgenograms in penetrating chest trauma. J Thorac Dis. 2010;2:197-8. 7. Demetriades D, Velmahos GC. Penetrating injuries of the chest: indications for operation. Scandinav J Surg. 8. umum dan perilaku penduduk. 2002;91:41-5. 9. Profil kesehatan Indonesia 2013. Gambaran Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013; p. 23. Available from: http: //www.depkes.go.id/ downloads/publikasi/profil%20kesehat an%20Indonesia%202013.pdf



A. Review Jurnal 1



Pola Trauma tembus toraks di Instalasi Rawat Darurat bedah RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado periode juli 2013-2015



-



Jurnal di buat oleh : Christianto Kissra, Adrian Tangkilisan , Heber B. Sapan



-



Metode penelitian : Jenis penelitian ini deskriptif retrospektif pada pasien trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof .Dr.R. D. Kandou Manado perode juli 2013-juni 2015. Variabel penelitian yang diteliti yaitu : Tahun, usia,jenis kelamin,dan penyebab trauma tembus toraks. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan data rekam medik pasien trauma tembus toraks di IRDB RSU Prof. Dr.R.D.Kandou Manado periode juli 2013Juni 2015.



-



Hasil penelitian : Berdasarkan hasil penelitian pada pasien trauma tembus toraks pada tahun 2013-2015 di dapati sebanyak 31 pasien trauma tembus toraks dari total 108 pasien trauma toraks. Dari total 31 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou Manado periode juli 2013 sampai juni 2015, didapatkan pada tahun 2013 sebanyak 5 orang (16,10%), tahun 2014 sebanyak 15 orang (48.14%),dan tahun 2015 sebanyak 11 orang (35.49%). Berdasrkan kelompok usia dari total 31 pasien ,di dapatkan yang terbanyak ialah antara 16-30 tahun sebanyak 18 orang (58.05%). Berdasarkan kelompok jenis kelamin dari total 31 pasien pada laki-laki didapatkan sebanyak 30 orang (96,80%) dan pada perempuan didapatkan sebanyak 1 orang (3.20%). Berdasarkan penyebab trauma tembus toraks dari total 31 orang pasien trauma tembus toraks didapatkan penyebab trauma karena tusukan/ tikaman yang terbanyak yaitu 25 orang (80.64%) komplikasi intra toraks yang trbanyak ialah hemotoraks (58,1%)



-



Pembahasan : Penelitian telah dilaksanakan di IRDB RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado. Subjek penelitian ialah semua data rekam medik pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado periode juli 2013-juni 2015. Dari hasil penelitian terhadap 108 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof.Dr. R.D.Kandou manado periode juli2013 sampai juni 2015 terdapat trauma tembus toraks terbanyak terjadi pada tahun 2014 dan yang paling sedikit terjadi pada



tahun 2013 . Mayoritas pasien trauma tembus toraks ialah jenis kelamin laki-laki usia 16-30 tahun,dengan penyebab luka tusukan/ tikaman. -



Kesimpulan : Dari hasil penelitian terhadap 108 pasien trauma tembus toraks di IRDB RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2013 sampai Juni 2015 dapat disimpulkan bahwa trauma tembus toraks terbanyak terjadi pada tahun 2014 dan yang paling sedikit terjadi pada tahun 2013.



Thorax Trauma Severity Score sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome pada Trauma Tumpul Toraks 1



Hendry Soesanto,



2



Adrian Tangkilisan,



3



Ishak Lahunduitan



1



PPDS Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado



2



KSM Ilmu Bedah Divisi Bedah Toraks Kardiovaskular RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou



Manado



3



KSM Ilmu Bedah Divisi Bedah Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Email: [email protected]



Abstract: Thoracic trauma is a significant cause of mortality and morbidity. Difficulties in the management of blunt thoracic trauma patients are caused by the late presentation of acute respiratory distress syndrome (ARDS). Thorax trauma severity score (TTSS), introduced by Pape et al. in 2000, includes patient age, physiologic parameters, and thoracic radiological assessment. This study was aimed to assess the ability of TTSS in prediction of the occurence of ARDS in patients with blunt thoracic trauma. Statistical analysis performed was receiver operating characteristic (ROC) curve. In this study, there were 50 blunt thoracic trauma patients (45 males and 5 females), aged ≥18 years old, admitted to Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital during August 2016 to July 2017. Patients with penetrating thoracic trauma, history of any lung disease, and blunt thoracic trauma with onset >24 hours were excluded. The patient age range was 18-73 years with a mean of 39.02 years. Overall, 12 patients (24%) developed ARDS, 9 patients (18%) with pulmonary contusion, 20 patients (40%) with rib fracture, 25 patients (50%) with hematothorax, 6 patients (12%) with pneumothorax, and 5 patients (10%) with hypoxemia. TTSS got the most optimal value of sensitivity (100%) and specifity (92.1%) in cut-off point of 6. Conclusion: TTSS can be used as a diagnostic tool to predict ARDS in blunt thoracic trauma. Keywords: thorax trauma severity score, acute respiratory distress syndrome, blunt thoracic trauma Abstrak: Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Kesulitan penanganan pasien dengan trauma tumpul toraks disebabkan keterlambatan terdeteksinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Thorax trauma severity score (TTSS) yang diperkenalkan oleh Pape dkk pada tahun 2000 mencakup usia, parameter fisiologik, dan penilaian radiologik toraks. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan TTSS dalam memrediksi kejadian ARDS pada pasien dengan trauma tumpul toraks. Analisis statistik menggunakan receiver operating characteristic (ROC) curve. Dalam studi ini terdapat 50 pasien dengan trauma tumpul toraks (45 laki-laki dan 5 perempuan), berusia ≥18 tahun yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada Agustus 2016 s/d Juli 2017. Pasien dengan trauma tembus toraks, riwayat penyakit paru, dan trauma tumpul toraks dengan onset >24 jam tidak diikut sertakan dalam penelitian. Hasil penelitian mendapatkan rentang usia pasien 18-73 tahun dengan rerata 39,02 tahun. Terdapat 12 pasien (24%) dengan ARDS, 9 pasien (18%) dengan kontusio paru, 20 pasien (40%) dengan fraktur kosta, 25 pasien (50%) dengan hematotoraks, 6 pasien (12%) dengan pneumotoraks, dan 5 pasien (10%) dengan hipoksemia. TTSS mendapatkan nilai paling optimal dari sensitivitas (100%) dan spesifitas (92,1%) pada cut-off point 6. Simpulan: TTSS dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk memrediksi kejadian ARDS pada pasien dengan trauma tumpul toraks. Kata kunci: thorax trauma severity score, acute respiratory distress syndrome, trauma tumpul toraks 34 Soesanto, Tangkilisan, Lahunduitan: Thorax trauma severitty score ... 35



Trauma toraks merupakan penyebab signifikan mortalitas dan morbiditas, terutama pada populasi usia muda. Kecelakaan lalu lintas (KLL) merupakan penyebab terbanyak trauma tumpul toraks dengan angka persentase mencapai hingga 70% pada beberapa studi.1 Kesulitan dalam pengelolaan pasien trauma tumpul toraks merupakan tantangan tersendiri dalam dunia medis. Pasien trauma tumpul toraks sering datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) awalnya tanpa kesulitan pernapasan, tetapi dapat berkembang buruk mendapat komplikasi pernapasan sekitar 48 sampai 72 jam kemudian. Untuk itu diperlukan sebuah sistem penilaian yang dapat memrediksi komplikasi pada pasien trauma toraks.1,2 Pada tahun 2000 Pape et al. mengembangkan suatu sistem skoring yaitu thorax trauma severity score (TTSS) dengan menggabungkan usia pasien, parameter fisiologik, dan penilaian radiologis toraks.3,4 Penelitian ini berujuan untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas dari TTSS dan kemampuannya untuk memrediksi kejadian acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada pasien trauma tumpul totaks.



METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini ialah deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Hasil penelitian ini dianalisis dengan uji diagnostik deskriptif sehingga didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas TTSS. Subjek penelitian ialah pasien yang berobat dengan trauma tumpul toraks yang berobat ke IRDB RSUP Prof. Dr R. D. Kandou dengan kriteria inklusi pasien berusia ≥18 tahun, trauma tumpul toraks tanpa trauma pada anggota tubuh yang lain. Kriteria eksklusi ialah trauma tembus toraks, riwayat penyakit paru-paru (antara lain tuberkulosis paru), dan trauma tumpul toraks dengan onset >24 jam. Prosedur penelitian diawali dengan pemeriksaan klinis, foto polos toraks AP tegak, dan analisis gas darah (AGD). Pemeriksaan foto polos toraks AP tegak dilakukan untuk menilai adanya kelainan anatomi pada toraks, seperti fraktur kosta, kelainan pleura (hematotoraks, pneumotoraks), dan kontusio paru. Pemeriksaan



AGD dilakukan untuk menilai adanya kelainan fisiologik. Selanjutnya dilakukan penilaian TTSS dan observasi selama 7 hari terhadap tanda-tanda terjadinya ARDS.



HASIL PENELITIAN Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada bulan Agustus 2016 s/d Juli 2017 didapatkan sampel 50 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 45 orang laki-laki (90%) dan 5 orang perempuan (10%) dengan rentang usia 18-73 tahun (rerata 39,02 tahun).



Tabel 1. Data pasien trauma tumpul toraks Variabel Hasil Usia Jenis kelamin laki-laki : perempuan ARDS TTSS Kontusio paru Fraktur kosta Hematotoraks Pneumotoraks Hipoksemia *Nilai mean



39,02 tahun* 45(90%): 5(10%) 12 kasus 5,38* 9 kasus (18%) 20 kasus (40%) 25 kasus (50%) 6 kasus (12%) 5 kasus (10%)



Hasil yang diperoleh memperlihatkan pada 25 pasien (50%) terdapat hematotoraks dan pada 6 pasien (12%) terdapat pneumotoraks. Sebanyak 6 pasien (12%) hematotoraks dan 1 pasien (2%) pneumotoraks berkembang menjadi ARDS. Dapat disimpulkan baik hematotoraks maupun pneumotoraks jarang merupakan penyebab utama terjadinya ARDS. Diperlukan trauma pada organ lain seperti kosta dan paru untuk memperburuk keadaan menjadi ARDS.



Gambar 1. Diagram hubungan TTSS dengan ARDS



Pada penelitian ini, dari 50 pasien terdapat 9 (18%) yang mengalami kontusio paru. ARDS terjadi pada 100% kasus kontusio paru setelah selang waktu 24-48 jam. Hal ini dikarenakan produksi dan pelepasan mediator pro inflamasi yang paling banyak pada fase awal trauma. Peningkatan pelepasan mediator proinflamasi kemudian menginduksi infiltrasi neutrofil ke



36 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 10, Nomor 1, Maret 2018, hlm. 34-38



BAHASAN Sebagian besar sampel dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki (90%). Rerata usia sampel ialah 39,02 tahun yang merupakan usia produktif dimana sebagian besar orang memiliki mobilitas tinggi dengan kendaraan bermotor. Hal ini sesuai dengan penyebab trauma tumpul toraks kebanyakan disebabkan oleh KLL. Lakilaki sebagian besar beraktivitas di luar rumah sehingga kemungkinan untuk mengalami kecelakaan lalu lintas juga lebih tinggi.5 Pada penelitian ini didapatkan kejadian ARDS sebanyak 12 pasien (24%) dan nilai rerata TTSS sebesar 5,38. Hal ini membuktikan sebagian besar cedera trauma tumpul toraks tergolong kategori ringan; hanya sebagian kecil yang berkembang menjadi ARDS. Dari data yang didapatkan, fraktur kosta ditemukan pada 20 pasien (40%). ARDS terjadi pada pasien dengan fraktur kosta (>4 kosta) sebanyak 12 dari 13 pasien ARDS (92,3%). Banyaknya fraktur kosta berkorelasi juga dengan banyaknya mediator pro inflamasi yang dilepaskan, sehingga bepeluang untuk berkembang menjadi ARDS.1,6,7



paru-paru yang nantinya menyebabkan ARDS, yang sangat terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada trauma tumpul toraks.1,6-8 Pengelolaan pasien trauma tumpul toraks dengan kontusio paru menjadi tantangan karena biasanya pada evaluasi awal pasien datang dengan kondisi klinis yang masih baik dan tanpa hipoksemia tetapi memburuk pada 24-48 jam pasca trauma dan berkembang menjadi ARDS yaitu sekitar 15,5%.9-11 Pada penelitian yang dilakukan, dari kelompok hipoksemia sebanyak 5 pasien (10%) saat pemeriksaan klinis awal, semuanya berkembang menjadi ARDS, sedangkan dari kelompok nonhipoksemia sebanyak 45 pasien (90%), 7 pasien (15,55%) di antaranya mengalami ARDS. Populasi nonhipoksemia (90%) ini yang merupakan risiko tinggi bagi klinisi untuk salah menilai dan memperkirakan perburukan klinis dari pasien. Hal ini menyokong semakin pentingnya skor trauma tumpul toraks sebagai alat diagnostik awal yang handal untuk deteksi dini dalam memrediksi terjadinya ARDS. Dari data penelitian yang didapatkan, skor TTSS dapat dikaitkan secara bermakna dengan terjadinya ARDS. Dari 13 pasien dengan skor TTSS tinggi, terdapat 10 pasien yang terbukti ARDS. Sensitivitas dan spesifisitas TTSS dalam memrediksi ARDS pada trauma tumpul toraks



yang tinggi (sensitivitas 100% dan spesifisitas 92%) pada TTSS sebesar 6, membuktikan bahwa TTSS dapat dipakai sebagai salah satu alat diagnostik awal yang akurat pada kasus trauma tumpul toraks. Mommsen et al.12 melakukan penelitian dengan memakai TTSS untuk mendeteksi adanya komplikasi pernafasan pada pasien multi trauma, namun dengan akurasi yang tidak terlalu baik, yaitu sensitivitas 63% dan spefisitas 74% pada cut-off point 8. Casas et al.4 menilai pemakaian TTSS untuk mendeteksi komplikasi pernafasan pada trauma toraks tajam maupun tumpul. Hasil akurasi yang diperoleh kurang memuaskan, yaitu sensitivitas 63% dan spesifisitas 94% dengan cut-off point 8. Elbaih et al.6 menggunakan TTSS



SIMPULAN Thorax trauma severity score (TTSS) dapat menjadi alat diagnostik dalam memrediksi kejadian ARDS pada kasus trauma tumpul toraks.



DAFTAR PUSTAKA 1. Elbaih AH, Elshapowry IM, Kalil NG, ElAouty H. Evaluation of thoracic trauma severity score in predicting the outcome of isolated blunt chest trauma patients. IJSM. 2016;2(3):100-6. 2. Battle C, Hutchings H, Lovett S, Bouamra



Soesanto, Tangkilisan, Lahunduitan: Thorax trauma severitty score ... 37 O, Jones S, et al. Predicting outcomes after untuk blunt chest wall trauma: development and external validation of a new prognostic model. Crit Care. 2014; mendeteksi mortalitas pada trauma tumpul 18:R98. 3. Pape H, Sanders R, Borrelli J. Poly toraks dan mendapatkan akurasi yang tinggi traumatized patient with fracture: multi yaitu sensitivitas 100% dan spesifitas 100% diciplinery approach. Heidelberg Berlin: dengan cut-off point 7. Springer-Verlag, 2011. Keunggulan TTSS sebagai skor yang dapat 4. Casas IM, Marchante MAA, Paduraru M, Olea AIF, Nolasco A, Medina JC. Thorax memprediksi ARDS pada trauma tumpul toraks trauma severity score: Is it reliable for disebabkan sistem penilaian yang meliputi patient’s evaluation in a secondary level penilaian anatomis (pleura, paru, dan kosta), hospital? Bull Emerg Trauma. penilaian parameter fisiologik (PaO2/FiO2) dan 2016;4(3):150-5. juga karakteristik pasien (usia) dipertimbangkan. 5. Gopinath N. Thoracic trauma. IJTCVS. Skor ini juga mudah dilakukan oleh klinisi 2004;20(3):144-8. sebagai skirining awal pada pasien trauma 6. Mattox K, Moore E, Feliciano D. Trauma tumpul toraks.1,2,4,12-15 Dianjurkan untuk (7th ed). USA: McGraw-Hill, 2013. menggunakan TTSS sebagai alat diagnostik awal 7. Raghavendran K, Notter R, Davidson B, Helinski J, Kunkel S, Knight P. Lung dalam memrediksi ARDS pada kasus trauma contusion: inflammatory mechanisms and tumpul toraks. Deteksi dini risiko ARDS interaction with other injuries. Shock. merupakan penentu untuk dijadikan pemandu 2009;32(2):122-30. manajemen awal dan keperluan ventilasi 8. Ganie F, Lone H, Lone G, Wani M, Singh mekanik. S, Majeed Dar A, et al. Lung contusion: a clinico-pathological entity with unpredictable Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan clinical course. Bull Emerg Trauma. yang harus diperhitungkan. Intervensi bedah 2013;1(1):7-16. merupakan salah satu faktor bias yang tidak 9. Bakowitz M, Bruns B, McCunn M. Acute dapat dipungkiri. Tindakan bedah sendiri dapat lung injury and the acute respiratory distress merupakan tindakan yang memperbaiki keadaan syndrome in the injured patient. SJTREM. pasien, namun dapat juga meningkatkan faktor2012;20:54. faktor proinflamasi yang nantinya dapat memicu 10. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, terjadinya ARDS. Diperlukan penilaian lanjutan Simonetti U, Slutsky A, Zhang H, et al. Acute respiratory distress syndrome: new yang dapat memasukkan tindakan bedah dalam definition, current and future therapeutic sistem skoring yang ada. options. J Thorac Dis. 2013;5(3):326-34.



11. Ferguson N, Fan E, Camporota L, Antonelli M, Anzueto A, Beale R. The Berlin definition of ARDS: an expanded rationale, justification, and supplementary material. Intensive Care Med. 2012; 38:1573-82. 12. Mommsen P, Zeckey C, Andruszkow H, Weidemann J, Fromke C, Ouljic P, et al. Comparison of different thoracic trauma scoring systems in regards to prediction of post-traumatic complications and outcome in blunt chest trauma. J Surg Res. 2012;176(1):239-47. 13. Pharaon K, Marasco S, Mayberry J. Rib fractures, flail chest, and pulmonary contusion. Curr Trauma Rep. 2015;1:237-42.



al. Predictors of poor outcomes after significant chest trauma in multiply injured patients: a retrospective analysis from the German Trauma Registry. SJTTREM. 2014;22:52. 15. Daurat A, Millet I, Roustan J, Maury C, Taourel P, Jaber S, et al. Thoracic trauma severity score on admission



allows to determine the risk of delayed ARDS in trauma patients with pulmonary contusion. Injury. 2016;47:147-53.



14. Huber S, Biberthaler P, Delhey P, Trentzsch H, Winter H, Griensven M, et



38 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 10, Nomor 1, Maret 2018, hlm. 34-38



B. Review Jurnal 2 Thorax Trauma Severity Score sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome pada Trauma Tumpul Toraks Jurnal di susun oleh : Hendry Soesanto, Adrian Tangkilisan,Ishak Lahunduitan - Metode Penelitian : Jenis penelitian ini ialah deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Hasil penelitian ini dianalisis dengan uji diagnostik deskriptif sehingga didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas TTSS. Subjek penelitian ialah pasien yang berobat dengan trauma tumpul toraks yang berobat ke IRDB RSUP Prof. Dr R. D. Kandou dengan kriteria inklusi pasien berusia ≥18 tahun, trauma tumpul toraks tanpa trauma pada anggota tubuh yang lain. Kriteria eksklusi ialah trauma tembus toraks, riwayat penyakit paru-paru (antara lain tuberkulosis paru), dan trauma tumpul toraks dengan onset >24 jam. Prosedur penelitian diawali dengan pemeriksaan klinis, foto polos toraks AP tegak, dan analisis gas darah (AGD). - Hasil Penelitian : Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada bulan Agustus 2016 s/d Juli 2017 didapatkan sampel 50 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 45 orang laki-laki (90%) dan 5 orang perempuan (10%) dengan rentang usia 1873 tahun (rerata 39,02 tahun). - Pembahasan Dalam pembahasan jurnal disini peneliti membahas bahwa Sebagian besar sampel dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki (90%). Rerata usia sampel ialah 39,02 tahun yang merupakan usia produktif dimana sebagian besar orang memiliki mobilitas tinggi dengan kendaraan bermotor. Hal ini sesuai dengan penyebab trauma tumpul toraks kebanyakan disebabkan oleh KLL. Dan dalam data penelitian didapatkan kejadian ARDS sebanyak 12 pasien (24%) dan nilai rerata TTSS sebesar 5,38. Hal ini membuktikan sebagian besar cedera trauma tumpul toraks tergolong kategori ringan; hanya sebagian kecil yang berkembang menjadi ARDS. Sehingga dari data yang didapatkan, fraktur kosta ditemukan pada 20 pasien (40%). ARDS terjadi pada pasien dengan fraktur kosta (>4 kosta) sebanyak 12 dari 13 pasien ARDS (92,3%). Banyaknya fraktur kosta berkorelasi juga dengan banyaknya mediator pro inflamasi yang dilepaskan, sehingga bepeluang untuk berkembang menjadi ARDS.



Pada penelitian ini, dari 50 pasien terdapat 9 (18%) yang mengalami kontusio paru. ARDS terjadi pada 100% kasus kontusio paru setelah selang waktu 24-48 jam. Hal ini dikarenakan produksi dan pelepasan mediator pro inflamasi yang paling banyak pada fase awal trauma. Dari data penelitian yang didapatkan, skor TTSS dapat dikaitkan secara bermakna dengan terjadinya ARDS. Dari 13 pasien dengan skor TTSS tinggi, terdapat 10 pasien yang terbukti ARDS. Sensitivitas dan spesifisitas TTSS dalam memrediksi ARDS pada trauma tumpul toraks yang tinggi (sensitivitas 100% dan spesifisitas 92%) pada TTSS sebesar 6, membuktikan bahwa TTSS dapat dipakai sebagai salah satu alat diagnostik awal yang akurat pada kasus trauma tumpul toraks. Mommsen et al.12 melakukan penelitian dengan memakai TTSS untuk mendeteksi adanya komplikasi pernafasan pada pasien multi trauma, namun dengan akurasi yang tidak terlalu baik, yaitu sensitivitas 63% dan spefisitas 74% pada cut-off point 8. Casas et al.4 menilai pemakaian TTSS untuk mendeteksi komplikasi pernafasan pada trauma toraks tajam maupun tumpul. Hasil akurasi yang diperoleh kurang memuaskan, yaitu sensitivitas 63% dan spesifisitas 94% dengan cut-off point 8. Elbaih et al.6 menggunakan TTSS untuk mendeteksi mortalitas pada trauma tumpul toraks dan mendapatkan akurasi yang tinggi yaitu sensitivitas 100% dan spesifitas 100% dengan cut-off point 7. Keunggulan TTSS sebagai skor yang dapat memprediksi ARDS pada trauma tumpul toraks disebabkan sistem penilaian yang meliputi penilaian anatomis (pleura, paru, dan kosta), penilaian parameter fisiologik (PaO2/FiO2) dan juga karakteristik pasien (usia) dipertimbangkan. Skor ini juga mudah dilakukan oleh klinisi sebagai skirining awal pada pasien trauma tumpul toraks. - Kesimpulan: Thorax trauma severity score (TTSS) dapat menjadi alat diagnostik dalam memrediksi kejadian ARDS pada kasus trauma tumpul toraks.



DAFTAR PUSTAKA Basile, B., & Mancini, F. (2011). Eliciting guilty feeling: a preliminary study differentiating deontological and altruistic guilt. Psychology. 2 (2), 98-102. DOI: 10.4236/psych.2011.22016 Hudak dan Gallo. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi - VIII Jakarta: EGC. https://www.researchgate.net/publication/330357547_ASKEP_TRAUMA_THORAKS_HEMAT HORAKS di akses pada tanggal 07 Mei 2021 http://repository.lppm.unila.ac.id/5168/1/ARTIKEL%20DIANA-ANISA%20IKA.pdf di akses pada tanggal 07 Mei 2021 https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/13880/13454



di



akses



pada



tanggal 07 Mei 2021 Nugroho, W. 2015. Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC. Patriani. (2012). Asuhan Keperawatan pada pasien trauma dada. http://asuhankeperawatanpatriani.pdf.com/2008/07/askep-trauma-dada.html. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : PPNI Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : PPNI PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.